4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Depresi 2.1.1 Definisi Depresi Depresi adalah gangguan mental yang umum terjadi, ditandai dengan mood depresi, kehilangan minat atau kesenangan, perasaan bersalah atau harga diri yang rendah, gangguan tidur atau nafsu makan, perasaan kelelahan, dan kurang konsentrasi (Marcus et al., 2012). Depresi dapat menetap ataupun berulang. Depresi mempengaruhi kemampuan individu untuk menjalankan fungsinya di tempat kerja atau sekolah atau untuk menghadapi kehidupan sehari-hari. Pada keadaan yang paling parah, depresi dapat menyebabkan keinginan bunuh diri. Pada keadaan ringan, depresi dapat diobati tanpa obat-obatan tetapi pada keadaan sedang atau berat diperlukan obat-obatan dan konseling yang professional (Marcus et al., 2012). 2.1.2 Etiologi dan Patofisiologi Depresi Penyebab gangguan jiwa senantiasa dipikirkan dari sisi organobiologik, sosiokultural, dan psikoedukatif. Dari sisi biologik dikatakan adanya gangguan pada neurotransmitter norepinefrin, serotonin, dan dopamin. Ketidakseimbangan kimiawi otak yang bertugas menjadi penerus komunikasi antar serabut saraf membuat tubuh menerima komunikasi secara salah dalam pikiran, perasaan, dan perilaku (Depkes RI, 2007). Dari penelitian keluarga didapatkan gangguan depresi mayor dan gangguan bipolar, terkait erat dengan hubungan saudara; juga pada anak kembar, suatu bukti adanya kerentanan biologik pada genetik keluarga tersebut. Episode pertama gangguan sering kali dipicu oleh stressor psikososial pada mereka yang biologiknya rentan. Gangguan depresi juga mungkin dialami oleh mereka yang tidak mempunyai faktor biologik sebagai kontributor terhadap terjadinya gangguan depresi, hal ini lebih merupakan gangguan psikologik (Depkes RI, 2007). Mereka dengan rasa percaya diri rendah senantiasa melihat dirinya dan dunia luar dengan penilaian pesimistik. Jika mereka mengalami stress besar,
Universitas Sumatera Utara
5
mereka cenderung akan mengalami gangguan depresi. Faktor pembelajaran sosial juga menerangkan kepada kita mengapa masalah psikologik kejadiannya lebih sering muncul pada anggota keluarga dari generasi ke generasi. Jika anak dibesarkan dalam suasana pesimistik, dimana dorongan untuk keberhasilan jarang atau tidak biasa, maka anak itu akan tumbuh dan berkembang dengan kerentanan tinggi terhadap gangguan depresi (Depkes RI, 2007) 2.1.3 Gejala Klinis Depresi Gejala klinis depresi tampak dari emosional, sikap fisik, intelektual dan psikomotorik penderita (Marianne, 2010). 1. Gejala Emosional a. Kehilangan ketertarikan dan kesenangan pada aktivitas yang biasa dilakukan (hobbi) atau pekerjaan b. Perasaan sedih yang berlebihan c. Pesimis d. Ingin bunuh diri e. Cemas (dialami oleh 90% pasien) f. Rasa bersalah yang tidak realistis g. Simtom psikotik, dapat mendengar suara (halusinasi auditori) yang mengatakan bahwa mereka orang buruk dan mereka seharusnya bunuh diri. 2. Gejala Fisik a. Rasa lelah yang tidak hilang dengan beristirahat b. Nyeri, terutama nyeri kepala c. Gangguan tidur d. Gangguan selera makan (meningkat atau menurun) e. Kehilangan ketertarikan seksual (penurunan libido) f. Keluhan
pada
saluran
pencernaan
dan
jantung
(palpitasi/berdebar) 3. Gejala Intelektual a. Penurunan kemampuan untuk berkonsentrasi atau berpikir agak lambat
Universitas Sumatera Utara
6
b. Ingatan yang kurang untuk peristiwa yang baru terjadi c. Bingung 4. Gejala Psikomotor a. Retardasi psikomotor yaitu berupa pergerakan fisik dan berbicara yang lamban b. Psikomotor yang bergejolak, yaitu berupa perbuatan yang tidak diketahui maksudnya 2.1.4 Diagnosis Depresi Menurut DSM-IV-TR (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 4th ed., Text Revision. Washington, American Psychiatric Association, 2000) diagnosis depresi dapat ditegakkan sebagai berikut (Marianne, 2010) : 1. Terdapatnya 5 (atau lebih) gejala berikut dalam satu periode (2 minggu berturut-turut) yang merupakan perubahan dari fungsi sebelumnya, minimal terdapat satu dari 2 gejala berikut ini yaitu (1) suasana hati tertekan atau (2) hilangnya minat atau kesenangan a. Mood depresi sepanjang hari dan hampir setiap hari b. Berkurangnya minat atau kesenangan secara nyata dalam semua hal sepanjang hari dan hampir setiap hari c. Perubahan berat badan yang signifikan tanpa adanya diet (terjadinya penurunan atau peningkatan berat badan lebih dari 5% dalam satu bulan), diakibatkan adanya kenaikan atau penurunan nafsu makan hampir setiap hari d. Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari e. Agitasi psikomotor atau retardasi hampir setiap hari (keadaan ini diamati pula oleh orang lain, bukan hanya perasaan subjektif) f. Kelelahan atau hilangnya energi hampir setiap hari g. Perasaan tidak berharga atau bersalah berlebihan (delusi) hampir setiap hari h. Berkurang kemampuan untuk berpikir atau berkonsentrasi, atau keraguan hampir setiap hari
Universitas Sumatera Utara
7
i. Pikiran berulang tentang kematian (tidak hanya takut akan kematian), berulang kali memiliki rencana untuk bunuh diri tanpa rencana yang spesifik, atau usaha untuk bunuh diri 2. Gejala yang dapat menyebabkan keadaan menderita atau keadaan yang buruk pada kehidupan sosial, pekerjaan atau fungsi penting lainnya. 3. Gejala yang tidak terkait langsung dengan efek fisiologis dari suatu obat (seperti penyalahgunaan obat atau akibat penggunaan obat tertentu), atau kondisi medis umum (seperti: hipotiroidisme). Untuk memastikannya dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium, antara lain: pemeriksaan darah rutin, uji fungsi tiroid serta elektrolit darah 4. Gejala yang tidak dapat dikaitkan dengan reaksi yang dialami akibat kehilangan orang yang dicintai; gejala bertahan selama lebih dari 2 bulan atau ditandai dengan gangguan fungsional yang signifikan; dipenuhi pemikiran yang tidak wajar mengenai perasaan tidak berharga, ide bunuh diri, gejala psikosis, retardasi psikomotor Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ III) diagnosis depresi ditegakkan sebagai berikut (Marianne, 2010) : Tabel 2.1 Gejala depresi berdasarkan PPDGJ III Gejala Utama
Gejala Tambahan
Suasana perasaan yang sedih/murung
Konsentrasi dan perhatian berkurang
Kehilangan minat dan kegembiraan
Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
Berkurangnya energy yang menuju
Perasaan bersalah dan tidak berguna
kepada meningkatnya keadaan mudah
Pandangan masa depan yang suram dan
lelah dan berkurangnya aktivitas
pesimistik Gagasan atau perbuatan yang membahayakan diri atau bunuh diri Gangguan tidur Nafsu makan berkurang
Berdasarkan gejala diatas, maka dapat ditentukan derajat depresi berdasarkan gejala yang dialami oleh pasien tersebut. (Marianne, 2010) :
Universitas Sumatera Utara
8
Tabel 2.2 Derajat depresi No
Derajat Depresi
1
Ringan (mild)
Kriteria Jika terdapat sekurang-kurangnya 2 dari 3 gejala utama ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala tambahan yang sudah berlangsung minimal 2 minggu. Tidak boleh ada gejala yang berat
2
Sedang (moderate)
Jika terdapat sekurang-kurangnya 2 dari 3 gejala utama ditambah sekurang-kurangnya 3 (sebaiknya 4) gejala tambahan
3
Berat (severe)
Jika
terdapat
3
gejala
sekurang-kurangnya
4
utama gejala
ditambah tambahan,
beberapa diantaranya harus berintensitas berat. Untuk menentukan derajat depresi seorang pasien dapat ditentukan dengan beberapa metode yaitu Hamilton Depression Rating Scale, Beck’s Depression Inventory, Zung Self Depression Scale (Tabel 2.3) (Marianne, 2010). Tabel 2.3 Metode pengukuran derajat depresi No
Metode Pengukuran
Penjelasan
1
Beck’s Depression
Suatu skala pengukuran depresi terdiri dari
Inventory (BDI)
21 item pernyataan yang diberikan oleh pemeriksa, namun dapat juga digunakan oleh
pasien
untuk
menilai
derajat
depresinya sendiri 2
Hamilton Depression
Suatu skala pengukuran depresi terdiri dari
Rating Scale (HDRS)
21 items pernyataan dengan fokus primer pada
gejala
somatik
dan
penilaian
dilakukan oleh pemeriksa 3
Zung Self Depression
Suatu skala depresi terdiri dari 20 kalimat
Scale
dan penilaian derajat depresinya dilakukan oleh pasien sendiri
Universitas Sumatera Utara
9
Beck’s Depression Inventory-II adalah versi revisi dari Beck’s Depression inventory yang digunakan untuk menilai tingkat depresi pada dewasa dan remaja. BDI-II adalah bentuk perbaharuan dari BDI original yang diubah agar sesuai dengan kriteria dari DSM-IV-TR untuk menilai gangguan depresi (Arnau, et al, 2001) 2.1.5 Terapi Depresi Terapi depresi dapat dilakukan secara non farmakologi, farmakologi ataupun kombinasi keduanya tergantung tingkat keparahan depresi yang dialami oleh seseorang. Namun terapi depresi dengan kombinasi keduanya menunjukkan efikasi yang jauh lebih baik dibandingkan bila salah satu saja. 1. Terapi Non Farmakologi (Sadock, 2010) a. Rawat inap b. Terapi psikososial c. Terapi kognitif d. Terapi interpersonal e. Terapi perilaku f. Terapi berorientasi psikoanalitik g. Terapi keluarga 2. Terapi Farmakologi (Marianne, 2010). a. Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI) Mekanisme kerja SSRI adalah menghambat pengambilan kembali 5-HT (dengan kemampuan tinggi) di pre sinaps sehingga meningkatkan jumlah 5-HT yang akan berikatan dengan reseptor di pasca sinaps. Obat golongan ini memiliki efek antikolinergik yang minimal, sehingga lebih disukai dan menjadi pilihan pertama dalam terapi depresi untuk pasienpasien tanpa adanya komplikasi atau kontra indikasi terhadap obat tersebut. Contoh SSRI adalah fluoksetin, sertralin, fluvoksamin, paroksetin, sitalopram dan escitalopram
Universitas Sumatera Utara
10
b. Tricyclic Antidepresants (TCA) Mekanisme kerja TCA adalah menghambat pengambilan kembali 5-HT (dengan kemampuan rendah sampai tinggi) dan NE (dengan kemampuan rendah sampai sedang). Potensi dan selektivitas sangat bervariasi, tergantung jenis obatnya. TCA mempengaruhi sistem reseptor lain, yaitu : kolinergik (sebagai antikolinergik), neurologik dan sistem kardiovaskular. Amin tersier bekerja pada sistem serotonergik. Amin sekunder bekerja mengaktifkan sistem norepinefrin. Karena banyak mempengaruhi sistem reseptor lain, obat-obat golongan ini perlu dipertimbangkan pemberiannya terutama pada pasienpasien manula dan keadaan klinis tertentu c. Monoamine Oxidase Inhibitor (MAOI) Mekanisme kerja MAOI adalah meningkatkan konsentrasi NE, 5-HT dan DA dalam sinaps neuronal melalui inhibisi enzim MAO. Enzim MAO ini berfungsi untuk memetabolisme neurotransmitter menyebabkan
monoamin.
downregulation
Penggunaan reseptor
kronik
dapat
β-adrenergik,
α-
adrenergik dan serotonergik d. Golongan lain •
Serotonin-Norepinefrin Reuptake Inhibitor,
contohnya
venlafaksin. •
Atypical Antidepressants, contohnya bupropion, nefazodon, dll.
•
Dopamine Reuptake Inhibitor, contohnya amineptin.
•
Selective
Serotonin
Reuptake
Enhancer,
contohnya
tianeptin. •
Ekstrak St John’s wort (Hypericum perforatum)
Universitas Sumatera Utara
11
2.2 Hemodialisis Faal ginjal dapat dibagi menjadi faal eksresi dan faal endokrin. Pada PGK kedua golongan faal ini memburuk walaupun tidak selalu proporsional. Terapi yang ideal adalah yang dapat menggantikan kedua faal ini. Hemodialisis adalah terapi yang menggantikan sebagian faal eksresi (Rahardjo, dkk, 2009). Hemodialisis dilakukan dengan mengalirkan darah ke dalam suatu tabung ginjal buatan (dialiser) yang terdiri dari dua kompartemen yang terpisah. Darah pasien dipompa dan dialirkan ke kompartemen darah yang dibatasi oleh selaput semipermeabel buatan (artifisial) dengan kompartemen dialisat. Kompartemen dialisat dialiri cairan dialisis yang bebas pirogen, berisi larutan dengan komposisi elektrolit mirip serum normal dan tidak mengandung sisa metabolisme nitrogen. Cairan dialisis dan darah yang terpisah akan mengalami perubahan konsentrasi karena zat terlarut berpindah dari konsentrasi yang tinggi kearah konsentrasi yang rendah sampai konsentrasi zat terlarut sama di kedua kompartemen (difusi). (Rahardjo, dkk, 2009). Terdapat dua jenis cairan dialisat yang sering digunakan yaitu cairan asetat dan bikarbonat. Kerugian cairan asetat adalah bersifat asam sehingga dapat menimbulkan suasana asam didalam darah yang akan bermanifestasi sebagai vasodilatasi. Vasodilatasi akibat cairan asetat ini akan mengurangi kemampuan vasokonstriksi pembuluh darah yang dibutuhkan tubuh untuk memperbaiki gangguan hemodinamik yang terjadi selama hemodialisis. Keuntungan cairan bikarbonat adalah dapat memberikan bikarbonat ke dalam darah yang akan menetralkan asidosis yang biasa terdapat pada pasien dengan penyakit ginjal kronik dan juga tidak menimbulkan vasodilatasi (Rahardjo, dkk, 2009). Di Indonesia hemodialisis dilakukan 2 kali seminggu dengan setiap hemodialisis dilakukan selama 5 jam. Di senter dialysis lain ada juga dialisis yang dilakukan 3 kali seminggu dengan lama dialysis 4 jam (Rahardjo, dkk, 2009). Pada umumya indikasi dialisis pada GGK adalah bila laju filtrasi glomerulus sudah kurang dari 5mL/menit, tetapi keadaan ini tidak selalu sama sehingga dialisis dianggap perlu dimulai bila dijumpai salah satu dari hal tersebut di bawah : (Rahardjo, dkk, 2009)
Universitas Sumatera Utara
12
a. Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata b. K serum >6 mEq/L c. Ureum darah >200 mg/dL d. pH darah <7,1 e. Anuria berkepanjangan (>5 hari) f. Fluid overloaded
2.3
Depresi dan Hemodialisis Depresi adalah komplikasi psikologi yang paling sering terjadi pada
hemodialisis dan berhubungan dengan perubahan kualitas hidup. Semakin bertambah umur pasien hemodialisis, tingkat depresi juga semakin meningkat dan kualitas hidup pasien menurun. Depresi pada hemodialisis disebabkan oleh perubahan gaya hidup, ketergantungan akan hemodialisis, kehilangan pekerjaan dan posisi sosial, penurunan status keuangan, perubahan pola makan, disfungsi seksual, dan kecemasan akan kematian. Depresi dapat menurunkan kualitas hidup dan dapat menimbulkan keinginan untuk bunuh diri (Cengic dan Resic, 2010). Peningkatan risiko bunuh diri pada pasien hemodialisis harus selalu diingat. Pasien harus ditanyakan tentang pemikiran dan rencana untuk bunuh diri. Jika ada, maka dirujuk ke psikiatri. Psikiatri di unit dialisis dapat membantu mengkategorikan depresi dan mengarahkan pilihan terapi. Pengkombinasian pengobatan anti-depresan, konseling psikologi dan terapi kognitif dapat meningkatkan keberhasilan pengobatan daripada pengobatan dengan obat saja (Cengic dan Resic, 2010). Pada penelitian yang dilakukan Kizilcik et al (2012), dari 87 pasien yang menjalani hemodialisis dibawah 1 tahun sebanyak 24,1% mengalami depresi, dari 101 pasien hemodialisis 2–5 tahun sebanyak 28,7 mengalami depresi, dari 58 pasien hemodialisis 6-9 tahun 25,9% mengalami depresi, dan dari 48 pasien yang sudah hemodialisis diatas 10 tahun 35,4% mengalami depresi. Ditemukan bahwa semua nilai dari SF-36 jauh lebih rendah pada orang dengan depresi dibandingkan dengan yang lain (P<0,001). Dengan kata lain, kualitas hidup pasien hemodialisis yang depresi mengalami penurunan secara signifikan.
Universitas Sumatera Utara
13
Pada penelitian yang dilakukan Anees et al (2011), dari 125 pasien hemodialisis (72 hemodialisis diatas 8 bulan dan 53 pasien hemodialisis dibawah sama dengan 8 bulan) didapatkan kualitas hidup yang lebih baik pada pasien yang hemodialisis dibawah 8 bulan daripada pasien yang hemodialisis diatas 8 bulan (P=0,03). Depresi dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien yang menjalani hemodialisis. Semakin tinggi derajat depresi semakin rendah kualitas hidup. Kualitas hidup yang rendah akan meningkatkan angka rawat inap dan mortalitas pada pasien yang menjalani hemodialisis (Wjiaya, 2005) Pada penelitian yang dilakukan Chen et al (2010), dari 200 pasien yang menjalani hemodialisis sebanyak 70 (35%) pasien mengalami depresi dan 43 (21,5%) mempunyai keinginan untuk bunuh diri di bulan sebelumnya. Hasil ini menunjukkan pengaruh langsung yang signifikan depresi dan kecemasan terhadap keinginan bunuh diri.
Universitas Sumatera Utara