PENGARUH METODE SOSIODRAMA TERHADAP KETERAMPILAN BERBICARA BAHASA INDONESIA SISWA KELAS V SEMESTER GENAP TAHUN PELAJARAN 2013/2014 DI GUGUS V KECAMATAN SUKASADA ida ayu alit artini. h1, Made Sumantri2, I Made Citra Wibawa3 123
Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar, FIP Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja, Indonesia
e-mail :
[email protected],
[email protected],
[email protected] Abstrak Masalah yang sering dihadapi dalam pembelajaran Bahasa Indonesia adalah proses pembelajaran masih kurang bermakna karena metode yang digunakan pada saat pembelajaran masih menggunakan metode ceramah. Sehubungan dengan itu maka tujuan penelitian ini untuk mengetahui perbedaan keterampilan berbicara Bahasa Indonesia antara kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran dengan menggunakan metode Sosiodrama dengan kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional di kelas V SD Gugus V Kecamatan Sukasada. Penelitian ini adalah penelitian populasi yang melibatkan siswa kelas V di SD No 1 Panji dan kelas V di SD No. 2 Panji. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen semu menggunakan Posstest Only Control Group Design. Variabel bebas berupa model Sosiodrama dan variabel terikat adalah keterampilan berbicara Bahasa Indonesia. Populasi penelitian adalah seluruh siswa kelas V di SD Gugus V Kecamatan Sukasada, tahun pelajaran 2013/2014. Sampel pada penelitian adalah siswa kelas V SD No.1 Panji sebagai kelompok eksperimen dan siswa kelas V SD No. 2 Panji sebagai kelompok kontrol. Teknik pengambilan sampel dengan menggunakan teknik undian. Teknik pengumpulan data dengan menggunakan teknik lembar observasi. Teknik analisis data dengan menggunakan uji t. Berdasarkan hasil analisis data menggunakan uji “t” di atas diketahui t hitung = 6,27 dengan db = 45 dan taraf signifikansi 5%diketahui ttabel = 2,014. Dari hasil perhitungan tersebut diketahui thitung > ttabel ini berarti hasil penelitian signifikan. Kata Kunci : sosiodrama, keterampilan Berbicara Abstract The main problem that is often faced in social science learning is that the process is still less effective because the method used mainly lecturing method. For that reason, the purpose of this research is to find out the difference of the learning perfomance between the Indonesian speak skill group who attended Sociodrama Learning method and the group of students who attended the conventional learning method in grade V of the group V elementary school, in Sukasada regency. This research used population method which involved the elemantary school students of grade V Panji state in SD No. 1 Panji and SD No. 2 Panji. I used posttest only control group design. The independent variabel model was Sociodrama and the dependent variabel was the learning performance of Indonesian speak skill class. The population of the research was all elementary students of grade V in group V in Sukasada regency for academic year of 2013/2014. The sampel of the research was the grade V students in SD No. 1 Panji as the experiment group and grade V students in SD No. 2 Panji as the control group. The sample technique used was
the sampling technique. The data collection technique used was the observation sheet. The data analysis technique was t-test. Based on the data analysis result using t-test, it was found that the t-count is 6,27 with db= 45 and the level of significance was 5% and the t-tabel is 2.014. From the result of the calculation it was found that the t-count is higher than t-tabel, which meant that the research was significant. Keywords: sociodrama, speak skill
Pendahuluan Bahasa memiliki peran setral dalam perkembangan sosial intelektual dan emosional peserta didik. Bahasa menjadi unsur penting dalam menunjang keberhasilan. Dengan kemampuan bahasa yang baik, seseorang mampu mengenal dirinya, budaya miliknya maupun budaya orang lain, mengemukakan gagasan, memiliki perasaan berpartisipasi dalam masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut, menemukan serta menggunakan analisis serta imaginatif yang ada dalam dirinya. Salah satu aspek berbahasa yang harus dikuasai oleh siswa adalah berbicara, sebab keterampilan berbicara menunjang keterampilan lainnya (Tarigan, 1986:86). Keterampilan ini bukanlah suatu jenis keterampilan yang dapat diwariskan secara turun temurun walaupun pada dasarnya secara alamiah setiap manusia dapat berbicara. Namun, keterampilan berbicara secara formal memerlukan latihan dan pengarahan yang intensif. Farris (dalam Supriyadi, dkk., 2005) menyatakan bahwa pembelajaran keterampilan berbicara di sekolah dasar penting dikuasai siswa agar mampu mengembangkan kemampuan berpikir, membaca, menulis, dan menyimak. Kemampuan berpikir mereka akan terlatih ketika mereka mengorganisasikan, mengonsepkan, mengklarifikasikan, dan menyederhanakan pikiran, perasaan, dan ide kepada orang lain secara lisan. Keterampilan berbicara harus dikuasai oleh para siswa Sekolah Dasar karena keterampilan ini secara langsung berkaitan dengan seluruh proses belajar siswa di Sekolah Dasar. Keberhasilan belajar siswa dalam mengikuti proses kegiatan belajar-mengajar di sekolah sangat ditentukan oleh penguasaan kemampuan berbicara mereka. Siswa yang tidak mampu berbicara dengan baik
dan benar akan mengalami kesulitan dalam mengikuti kegiatan pembelajaran untuk semua mata pelajaran. Jadi secara keseluruhan, keterampilan berbicara sangat berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. Pelaksanaan pembelajaran bahasa Indonesia dari jenjang Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas masih terkesan bahwa guru terlalu banyak menyuapi materi, guru kurang mengajak siswa untuk lebih aktif menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Proses pembelajaran di kelas yang tidak relevan dengan yang diharapkan, mengakibatkan kemampuan berbicara siswa menjadi rendah. Jadi, sangat dibutuhkan suatu metode pembelajaran yang mampu melatih dan mengembangkan keterampilan berbicara siswa. Salah satu metode pembelajaran yang dipandang mampu meningkatkan keterampilan berbicara siswa adalah metode Sosiodrama. Moedjiono, dkk. (2008:27) menyatakan bahwa “metode Sosiodrama atau simulasi secara bahasa berasal dari kata simulate yang artinya berpura-pura atau berbuat seolah-olah dan juga dari kata simulation yang artinya tiruan atau perbuatan yang berpura-pura saja”. Sejalan dengan pendapat tersebut, (Djamarah 2006) menyatakan bahwa “metode sosiodrama dan role playing dapat dikatakan sama artinya dan dalam pemakainannya sering disilihgantikan”. Jadi, metode pembelajaran Sosiodrama adalah metode pembelajaran yang melibatkan interaksi antara dua siswa atau lebih tentang suatu topik dimana siswa memainkan peran atau mendramatisasikan tingkah laku sesuai dengan tokoh yang ia lakoni dalam hubungan sosial antara manusia setelah mendengar penjelasan guru tanpa harus
mengalami latihan dan menghafal naskah sebelumnya. Metode Sosiodrama mampu meningkatkan aktivitas siswa dalam berbicara. Hal ini dikarenakan kegiatan drama yang dilakukan adalah tanpa naskah (Sudjana, 2002), maka metode ini mampu meningkatkan kreativitas siswa. Selain itu, dengan penerapan metode Sosiodrama, proses belajar mengajar menjadi lebih berkesan dengan kuat dan tahan lama dalam ingatan siswa. Karena kegiatan pembelajaran menjadi menarik, sehingga memungkinkan kelas menjadi dinamis dan penuh antusias. Gairah dan semangat optimisme dalam diri siswa serta menumbuhkan rasa kebersamaan dan kesetiakawanan sosial yang tinggi. Siswa juga dapat menghayati peristiwa yang berlangsung dengan mudah, dan dapat memetik butir-butir hikmah yang terkandung di dalamnya dengan penghayatan siswa sendiri. Sedangkan dalam proses belajar mengajar pada pembelajaran konvensional, umumnya sering digunakan kovensional. Purnami (2014:1) menyatakan bahwa “metode konvensional yang dimaksud adalah metode pengajaran yang tidak merangsang untuk mengaktifkan siswa misalnya menggunakan metode ceramah”. Metode ceramah sangat sering dipakai guru tanpa banyak melihat kemungkinan penerapan metode lain sesuai dengan jenis materi dan bahan serta alat yang tersedia. Metode ceramah cukup mudah dilakukan karena kurang menuntut usaha yang terlalu banyak. Baik dari guru maupun dari siswa, akibatnya materi pelajaran dijejalkan kepada para siswa dan kurang memperhatikan taraf perkembangan mental siswa secara umum dan secara perseorangan. Sedangkan siswa yang bersifat pasif dalam proses belajar mengajar sehingga siswa sulit untuk menerima pelajaran karena dengan keadaan belajar yang terpusat pada guru, siswa hanya mendengarkan penjelasan dari guru dan mencatat apabila disarankan oleh guru. Pembelajaran menggunakan metode Sosiodrama dapat mengakses paham konstruktivis dengan menekankan adanya dialog mendalam dan berpikir kritis. Penelitian yang dilakukan oleh Suarsana
(2013) yang menyatakan bahwa metode Sosiodrama dapat meningkatkan motivasi dan hasil belajar IPS. Demikian pula penelitian yang dilakukan oleh Purnami (2014) yang menyatakan bahwa metode Sosiodrama berbantuan cerita rakyat dapat meningkatkan keterampilan berbicara siswa. Metode Sosiodrama atau simulasi secara bahasa berasal dari kata simulate yang artinya berpura-pura atau berbuat seolah-olah dan juga dari kata simulation yang artinya tiruan atau perbuatan yang berpura-pura saja (Moedjiono, dkk., 2008). Sejalan dengan pendapat tersebut, (Djamarah 2006) menyatakan bahwa metode sosiodrama dan role playing dapat dikatakan sama artinya dan dalam pemakainannya sering disilihgantikan. Jadi, metode pembelajaran Sosiodrama adalah metode pembelajaran yang melibatkan interaksi antara dua siswa atau lebih tentang suatu topik dimana siswa memainkan peran atau mendramatisasikan tingkah laku sesuai dengan tokoh yang ia lakoni dalam hubungan sosial antara manusia setelah mendengar penjelasan guru tanpa harus mengalami latihan dan menghafal naskah sebelumnya. Gilstrap (dalam Moedjiono, 2008) menyatakan bahwa jika melihat dari sifat tiruannya, simulasi dapat berbentuk seperti role playing, psikodrama, dan permainan. Sedangkan menurut Hyman dalam bukunya Ways of Teaching, simulasi merupakan salah satu metode yang termasuk ke dalam kelompok role playing. Bentuk-bentuk role playing yang lain adalah sosiodrama, permainan, dan dramatisasi. Sudjana (2002: 94) mendeskripsikan sosiodrama sebagai sandiwara tanpa skrip (naskah) tanpa latihan terlebih dahulu sehingga dilakukan secara spontan masalah-masalah yang berkaitan dengan situasi sosial. Dalam pelaksanaannya Simulasi sebaiknya dilakukan dalam langkah-langkah yang berurutan agar berjalan dengan sistematis dan lancar. Engkoswara (dalam Usman, 2002) menyatakn bahwa ada 3 (tiga) langkah dalam menggunakan metode sosiodrama. a. Tahap Persiapan
Dalam tahap ini, diperlukan penentuan pokok permasalahan yang akan didramatisasikan terlebih dahulu, menentukan para pemain, dan mempersiapkan para siswa sebagai pendengar yang menyaksikan jalannya cerita. Masalah yang akan didramatisasikan dipilih secara bertahap, dimulai dari persoalan yang sederhana dan dilanjutkan dengan pertemuanpertemuan berikutnya yang lebih sulit dan lebih bervariasi. Selain itu, masalahmasalah yang akan ditetapkan harus menarik perhatian siswa (Sudjana, 2002). Suhirman (2008) menegaskan para pelaku yang dipilih sebaiknya yang memahami persoalan dan mempunyai daya fantasi, bukan anak yang pandai melucu atau pemalu. b. Tahap Pelaksanaan Setelah tahap-tahap dalam persiapan terselesaikan, siswa dipersilahkan untuk mendramatisasikan masalah-masalah yang diminta selama kurang lebih 4 sampai 5 menit berdasarkan pendapat dan inisiasi mereka sendiri (Engkoswara dalam Usman, 2002). Dalam hal ini, (Ahmadi 2005) menambahkan bahwa dalam melaksanakan sosiodrama siswa diberi kesempatan untuk menggambarkan, mengungkapkan atau mengekspresikan suatu sikap, tingkah laku atau penghayatan sesuatu yang dipikirkan, dirasakan, atau diinginkan seandainya ia menjadi tokoh yag diperankannya itu secara spontan. Semua teks atau naskah cerita tidak diperlukan oleh siswa pada saat itu. Mereka cukup memahami garisgaris besar yang akan didramatisasikan. c. Tahap Tindak Lanjut Engkoswara (dalam Usman, 2002) mengungkapkan bahwa sosiodrama merupakan sebuah metode mengajar sehingga dalam praktiknya tidak hanya berakhir pada pelaksanaan dramatisasi semata, melainkan hendaknya dapat dilanjutkan dengan tanya jawab, diskusi, kritik, atau analisis persoalan. Dan bila dipandang perlu, siswa lainnya diperbolehkan mengulang kembali peranan tersebut dengan lebih baik lagi. (Sudjana 2002) menambahkan bahwa sebagai salah satu upaya tindak
lanjut siswa dapat melakukan aktifitas menilai atau memberi tanggapan terhadap pelaksanaan sosiodrama dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk membuat kesimpulan hasil Sosiodrama. Sebuah metode tentunya memiliki kelebihan dan kelemahan. Adapun kelebihan dari metode Sosiodrama adalah sebagai berikut. a. Dapat berkesan dengan kuat dan tahan lama dalam ingatan siswa. Di samping merupakan pengalaman yang menyenangkan yang sulit untuk dilupakan. b. Sangat menarik bagi siswa, sehingga memungkinkan kelas menjadi dinamis dan penuh antusias c. Membangkitkan gairah dan semangat optimisme dalam diri siswa serta menumbuhkan rasa kebersamaan dan kesetiakawanan sosial yang tinggi d. Dapat menghayati peristiwa yang berlangsung dengan mudah, dan dapat memetik butir-butir hikmah yang terkandung di dalamnya dengan penghayatan siswa sendiri. e. Dimungkinkan dapat meningkatkan kemampuan profesional siswa dan dapat menumbuhkan atau membuka kesempatan bagi lapangan kerja Di samping kelebihan di atas ada pula beberapa kelemahan Metode sosiodrama. Kelemahan metode sosiodrama dan bermain peranan ini adalah sebagai berikut. a. Sosiodrama dan bermain peranan memerlukan waktu yang relatif panjang/banyak. b. Memerlukan kreativitas dan daya kreasi yang tinggi dari pihak guru maupun murid. Dan ini tidak semua guru memilikinya. c. Kebanyakan siswa yang ditunjuk sebagai pemeran merasa malu untuk memerlukan suatu adegan tertentu. d. Apabila pelaksanaan sosiodrama dan bermain pemeran mengalami kegagalan, bukan saja dapat memberi kesan kurang baik, tetapi sekaligus berarti tujuan pengajaran tidak tercapai. e. Tidak semua materi pelajaran dapat disajikan melalui metode ini. (Zaini, dkk., 2008).
Djamarah (2006) menyatakan bahwa metode pembelajaran konvensional adalah metode pembelajaran tradisional atau disebut juga dengan metode ceramah, karena sejak dulu metode ini telah dipergunakan sebagai alat komunikasi lisan antara guru dengan anak didik dalam proses belajar dan pembelajaran. Dalam pembelajaran sejarah metode konvensional ditandai dengan ceramah yang diiringi dengan penjelasan, serta pembagian tugas dan latihan. Tarigan (1986) mengemukakan berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan serta menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan. Sejalan dengan pendapat tersebut, (Nurgiyantoro 1995) menyatakan bahwa berbicara adalah aktivitas berbahasa kedua yang dilakukan manusia dalam kehidupan berbahasa, yaitu setelah aktivitas mendengarkan. Berdasarkan bunyi-bunyi yang didengar itu, kemudian manusia belajar untuk mengucapkan dan akhirnya terampil berbicara. Berbicara diartikan sebagai kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan dan menyampaikan pikiran, gagasan,serta perasaan. Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa keterampilan berbicara adalah kemampuan untuk mengekspresikan, menyatakan, serta menyampaikan ide, pikiran, gagasan, atau isi hati kepada orang lain dengan menggunakan bahasa lisan yang dapat dipahami oleh orang lain. Aktivitas anak yang dapat dilakukan yaitu dengan berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang-orang yang ada disekitarnya, sehingga dapat melatih anak untuk terampil berbicara. Berbicara merupakan suatu sistem tanda-tanda yang dapat didengar (audible) dan yang kelihatan (visible) yang memanfaatkan sejumlah otot tubuh manusia demi maksud dan tujuan gagasan atau ide-ide yang dikombinasikan. Berbicara merupakan suatu bentuk perilaku manusia yang memanfaatkan faktor-faktor fisik,
psikologis, neurologis, semantik, dan linguistik. Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa berbicara diartikan sebagai suatu alat untuk mengkombinasikan gagasan-gagasan yang disusun serta mengembangkan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan sang pendengar atau penyimak. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kegiatan berbicara adalah faktor urutan kebahasaan (linguitik) dan non kebahasaan (nonlinguistik). Direktorat Pembinaan Sekolah Dasar (Kemendikbud, 2013) menyatakan bahwa keterampilan berbicara terdiri dari empat (4) aspek. a) Kelancaran (fluency) b) Pengucapan (pronounciation) c) Intonasi (intonation) d) Pilihan kata (diction) Dalam penelitian ini, aspek yang dipilih untuk menilai keterampilan berbicara siswa adalah aspek kelancaran, pengucapan dan intonasi. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen yang meneliti hubungan sebab akibat dengan memanipulasi satu variabel pada satu kelompok eksperimental. Hasil yang diperoleh kemudian dibandingkan dengan kelompok kontrol (yang tidak dimanipulasi). Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimen semu karena tidak semua variabel yang muncul dalam kondisi eksperimen dapat diatur dan dikontrol secara ketat. Sugiyono (2008), populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas, obyek/subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. “populasi adalah keseluruhan objek dalam suatu penelitian, sedangkan “sampel adalah sebagian dari populasi yang diambil, yang dianggap mewakili seluruh populasi dan diambil dengan menggunakan teknik tertentu”. Arikunto (2002:108-109) menyatakan “populasi keseluruhan subjek penelitian”.
Berdasarkan pendapat para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa populasi adalah keseluruhan objek dalam suatu penelitian yang dapat berupa orang, benda atau suatu hal yang dapat memberikan informasi (data) penelitian, sedangkan sampel adalah sebagian atau wakil
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
populasi yang diambil dengan menggunakan teknik tertentu untuk diteliti. Dalam situasi ini, populasinya adalah seluruh kelompok siswa kelas V di Gugus V Kecamatan Sukasada yang terdiri dari 9 sekolah dasar, seperti pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1 Populasi Penelitian Di Kecamatan Sukasada Sekolah Jumlah Siswa SD Negeri 1 Panji 26 SD No 2 Panji 21 SD No 3 Panji 18 SD No 4 Panji 26 SD No 5 Panji 23 SD No 6 Panji 17 SD No 1 Sambangan 16 SD No 2 Sambangan 36 SD No 3 Sambangan 32 Total 191
Arikunto (2005) mengatakan sampel adalah bagian dari populasi (sebagian atau wakil populasi yang diteliti). Selain itu sampel merupakan sebagian kecil dari populasi yang karakteristiknya hendak diselidiki. Pemilihan sampel yang digunakan sebagai kelas ekperimen dan kelas kontrol tidak dilakukan dengan teknik simple random sampling yaitu pemilihan sampel secara bertahap dengan cara random. Teknik ini digunakan sebagai teknik pengambilan sampel karena individu-individu pada populasi telah terdistribusi ke dalam kelaskelas sehingga tidak memungkinkan untuk melakukan pengacakan terhadap individuindividu dalam populasi. Kedua SD tersebut diundi kembali untuk menentukan kelas eksperimen dan kelas kontrol. Hasil dari pengundian tersebut yaitu kelas V SD No 1 Panji sebagai kelas eksperimen dan kelas V SD No 2 Panji sebagai kelas kontrol. Rancangan dalam penelitian ini adalah eksperimen semu karena tidak semua variabel dikontrol secara ketat. Desain penelitian yang digunakan adalah post-test only control group design (Sugiyono, 2008). Instrumen penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah lembar observasi keterampilan berbicara Bahasa Indonesia. Untuk menilai
keterampilan berbicara, maka kelompok siswa diminta bermain drama. Kriteria penilaian lembar observasi keterampilan berbicara menggunakan lembar observasi dengan rubrik penilaian dengan skala 0-3 untuk tiap aspek. Karena terdapat empat aspek yang dinilai, skor maksimal ideal
18 100 100 , dan skor minimal 18 0 idealnya : 100 0 Sebelum 18 adalah :
digunakan, lembar observasi serta rubrik penskoran diuji ahli terlebih dahulu tanpa uji coba pada siswa. Hasil dan Pembahasan Data yang terkumpul dalam penelitian ini disusun sesuai dengan keperluan analisis. Data diperoleh dari penelitian yang berjumlah 47 orang siswa. Sampel ini terdiri dari 26 orang siswa kelas V SD Negeri 1 Panji sebagai kelas eksperimen dan 21 orang siswa kelas V SD No. 2 Panji sebagai kelas kontrol. Kelompok eksperimen diberikan perlakuan berupa metode pembelajaran Sosiodrama, sedangkan pada kelas kontrol berupa pembelajaran dengan metode konvensional. Variabel keterampilan berbicara siswa diukur dengan lembar observasi keterampilan
berbicara. Untuk mengetahui gambaran tentang keterampilan berbicara siswa, disajikan deskripsi data sebagai berikut. Deskripsi umum yang dipaparkan pada bagian ini adalah deskripsi penyebaran atau distribusi data, skor rata-
kelompok
rata ( X ) dan standar deviasi (SD) keterampilan berbicara yang diperoleh dari lembar observasi. Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa penelitian ini adalah penelitian eksperimen yang menggunakan analisis uji-t. Dengan demikian, deskripsi data yang akan disajikan pada bagian ini terdiri atas dua kelompok distribusi, yaitu: (1) keterampilan berbicara kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran dengan metode Sosiodrama dan (2) keterampilan berbicara kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran dengan metode konvensional. Masing-masing dari kedua kelompok distribusi tersebut disajikan dengan cara menyajikan ratarata sebagai ukuran pemusatan, sandar deviasi sebagai ukuran penyebaran, tabel frekuensi, dan histogram. Perhitungan ukuran sentral (mean, modus, median) dan ukuran penyebaran data (standar deviasi) dapat dilihat pada tabel 4.1 berikut. Tabel 4.1 Rekapitulasi Hasil
2
Perhitungan Ukuran Tendensi Sentral dan Ukuran Penyebaran Skor Keterampilan Berbicara Data pengukuran keterampilan berbicara siswa terhadap 26 siswa kelas eksperimen menunjukkan bahwa skor tertinggi adalah 50 dan skor terendah adalah 90. Berikut ini ringkasan distribusi frekuensi data keterampilan berbicara
Data Eksperimen Kontrol
Kolmogorov-Smirnov (Dhitung) 0,123 0,154
Kriteria pengujian, jika Dhitung < Dtabel dengan taraf signifikasi 5%, maka data berdistribusi normal. Berdasarkan perhitungan pada tabel kerja di atas,
eskperimen.
10 8
8
6
6
5
4
5
2
0 50 – 58 59 – 67 68 – 76 77 – 85 86 – 94
Data keterampilan berbicara siswa yang diperoleh melalui lembar observasi terhadap 21 orang siswa menunjukkan bahwa skor tertinggi adalah 90 dan skor terendah adalah 50. Berikut ini ringkasan distribusi frekuensi data keterampilan berbicara kelompok kontrol. 8 6
6 5
4
5
4
2 1 0 50-59 60-69 70-79 80-89 90-99 Uji normalitas dilaksanakan untuk menguji suatu distribusi empirik mengikuti ciri-ciri distribusi normal atau untuk menyelidiki fo (frekuensi observasi) dari gejala yang diselidiki tidak menyimpang secara signifikan dari fh (frekuensi harapan) dalam distribusi normal. Uji normalitas dilakukan terhadap kelompok data keterampilan berbicara siswa yang dibelajarkan dengan metode Sosiodrama dan metode konvensional, sehingga terdapat dua buah kelompok data yang diuji. Data skor keterampilan berbicara diuji secara manual dengan menggunakan Teknik Kolmogorov-Smirnov. Rekapitulasi hasil uji normalitas disajikan pada Tabel 4.4 berikut ini. Dtabel
Ket
0,267 0,3
Normal Normal
diperoleh bahwa Dhitung untuk kedua kelompok < Dtabel maka hipotesis nol diterima. Jadi, kedua kelompok data
berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Uji homogenitas varians antar kelompok bertujuan untuk memeriksa kesamaan varians antar kelompok perlakuan. Dalam penelitian ini uji
homogenitas dilakukan terhadap varians pasangan antar kelompok eksperimen dan kontrol. Uji yang digunakan adalah uji-F dengan kriteria data homogen jika Fhitung< Ftabel.
Tabel 2. Hasil Uji Homogenitas Kelompok Sampel Kelompok Eksperimen dan Kontrol
Fo
Ftabel
Status
0,58
2,07
Homogen
Berdasarkan tabel di atas, diketahui Fhitung hasil kelompok eksperimen dan kontrol adalah 0,58. Sedangkan Ftabel dengan dbpembilang = 25, dbpenyebut = 20, dan taraf signifikansi 5% adalah 2,07. Hal ini berarti, varians data hasil kelompok eksperimen dan kontrol adalah homogen. Dari hasil uji asumsi statistik yaitu uji normalitas dan homogenitas diperoleh bahwa data dari kelompok sampel normal dan homogen. Berdasarkan hal tersebut, maka dilanjutkan pada pengujian hipotesis penelitian atau hipotesis alternatif. Sehingga hasil analisisnya akan membuktikan apakah data yang diperoleh dari lembar observasi terhadap responden akan mendukung atau tidak terhadap hipotesis yang telah diajukan. Adapun hipotesis nol (Ho) yang akan diuji menyatakan bahwa “tidak terdapat pengaruh terhadap penerapan metode sosiodrama terhadap keterampilan berbicara siswa kelas V di SD gugus V kecamatan Sukasada. Pengujian hipotesis tersebut dilakukan dengan uji “t” dengan ketentuan hipotesis, tolak Ho jika thitung > ttabel dan terima Ho jika thitung < ttabel. Dari hasil perhitungan uji-t diperoleh thitung sebesar 6,27. Untuk mengetahui signifikansinya maka dibandingkan dengan nilai ttabel dengan db = n1 + n2 -2 = 45. Harga t tabel untuk db 45 dan taraf signifikansi 5% adalah 2,014. Karena thitung lebih besar dari nilai ttabel (6,27 > 2,014) maka Ho ditolak. Ini berarti metode sosiodrama berpengaruh terhadap keterampilan berbicara Bahasa Indonesia siswa kelas V di SD gugus V kecamatan Sukasada.
Pembahasan Hasil analisis data membuktikan bahwa terdapat perbedaan keterampilan berbicara yang signifikan antara kelompok siswa yang belajar menggunakan metode Sosiodrama dengan kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran dengan metode konvensional. Hal ini ditunjukkan dengan hasil analisis data menggunakan uji-t, diketahui thitung = 6,27 dan ttabel dengan taraf signifikansi 5% = 2,014. Hasil perhitungan tersebut menunjukkan bahwa thitung lebih besar dari ttabel (thitung> ttabel), sehingga hasil penelitian adalah signifikan. Selanjutnya perbedaan dilihat dari rata-rata skor observasi siswa. Rata-rata skor observasi yang mengikuti pembelajaran menggunakan metode Sosiodrama adalah 74,1 dan rata-rata skor observasi siswa yang mengikuti pembelajaran dengan metode konvensional adalah 70,76. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran menggunakan metode
Sosiodrama memiliki keterampilan berbicara yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran dengan metode konvensional. Jadi, metode Sosiodrama memiliki pengaruh yang lebih baik terhadap keterampilan berbicara siswa. Temuan penelitian yang menunjukkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan metode Sosiodrama berpengaruh terhadap keterampilan berbicara siswa dengan kecenderungan sebagian besar skor siswa tinggi disebabkan oleh beberapa faktor.
Faktor pertama, pembelajaran dengan metode Sosiodrama melatih siswa untuk lebih banyak berbicara melalui kegiatan diskusi dan bermain peran. Melalui kegiatan diskusi siswa berlatih mengungkapkan pikiran dan berkomunikasi dengan baik. Kemudian melalui kegiatan bermain peran siswa juga berlatih berbicara sesuai kaidah dan sesuai dengan tema drama. Kegiatan-kegiatan tersebut akan tanpa disadari siswa melatih kelancaran, pengucapan dan intonasi siswa dalam berbicara. Kualitas kelancaran, pengucapan dan intonasi siswa dalam berbicara siswa berkembang karena terus-menerus dilatih melalui interaksi. Hal ini sejalan dengan pendapat Yamin (2006:15) yang menyatakan bahwa “metode Sosiodrama adalah metode yang melibatkan interaksi antara dua orang siswa atau lebih”. Faktor kedua, kegiatan pembelajaran dengan bermain peran selalu mengacu pada proses pemecahan masalah sehari-hari. Hal ini melatih siswa berpikir secara spontan sehingga memberikan kebebasan kepada siswa untuk mengeksplorasi kemampuanya. Permasalahan sehari-hari yang digunakan membuat siswa merasa tidak asing dengan situasi pembelajaran. Ketika siswa merasa nyaman, maka proses pembelajaran dan proses kreatif siswa menjadi maksimal. Kemampuan analisis dan kreativitas yang baik mendukung siswa menyusun kalimat yang bermakna dengan pembendaharaan kata yang luas sehingga siswa mampu berbicara dengan lancar, tidak terbata-bata dan dengan intonasi yang baik. Temuan ini didukung oleh pendapat George Shaftel (dalam Uno, 2007) yabg menyatakan bahwa kegiatan bermain peran menciptakan analogi otentik ke dalam suatu situasi permasalahan kehidupan nyata sehingga siswa dapat aktif (keterlibatan spontan) dengan disertai kemampuan analisis. Terkait dengan kreativitas, Sudjana (2002) menyatakan bahwa metode Sosiodrama mampu meningkatkan kreativitas siswa. Faktor ketiga, pembelajaran dengan metode Sosiodrama mampu memberikan pengalaman yang menyenangkan yang sulit untuk dilupakan. Gairah dan semangat optimisme bangkit dalam diri siswa serta
menumbuhkan rasa kebersamaan. Dengan begitu, siswa tidak merasa takut lagi untuk berbicara. Siswa tidak merasa tertekan jika melakukan kesalahan sehingga siswa semakin sering mendapat kesempatan melatih keterampilan berbicara. Hal ini didukung oleh pendapat Zaini, dkk (2008) yang menyatakan bahwa pembelajaran dengan metode Sosiodrama sangat menarik bagi siswa, sehingga memungkinkan kelas menjadi dinamis dan penuh antusias. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Suarsana (2013) menunjukkan bahwa metode Sosiodrama dapat meningkatkan motivasi dan hasil belajar IPS. Ia menemukan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar yang signifikan antara siswa yang mengikuti pembelajaran dengan metode bermain peran berbantuan asesmen kinerja dengan siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional (F hitung 112,556; p < 0,05), dengan rerata hasil belajar siswa yang mengikuti pembelajaran dengan bermain peran berbantuan asesmen kinerja sebesar 83,22, lebih tinggi dari rerata siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional yaitu sebesar 70,66. Ia juga menemukan bahwa terdapat perbedaan motivasi berprestasi yang signifikan antara siswa yang mengikuti pembelajaran dengan metode bermain peran berbantuan asesmen kinerja dengan siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional (F hitung 4,547; p < 0,05) dimana rerata motivasi berprestasi siswa yang mengikuti pembelajaran dengan metode bermain peran berbantuan asemen kinerja adalah 98,62 yang lebih besar dari skor rerata siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional yaitu sebesar 95,18. Demikian pula penelitian yang dilakukan oleh Prestiana (2013) yang menyatakan bahwa metode Sosiodrama (role playing) dapat meningkatkan hasil belajar IPS pada siswa kelas V SD. Dalam penelitiannya disimpulkan bahwa hasil belajar IPS kelompok siswa yang dibelajarkan dengan metode sosiodrama lebih baik dibandingkan kelompok siswa yang dibelajarkan dengan metode konvensional.
Sejalan dengan dua penelitian di atas, Purnami (2014) yang menyatakan bahwa metode Sosiodrama berbantuan cerita rakyat dapat meningkatkan keterampilan berbicara siswa. Dilihat dari rata-rata keterampilan berbicara, diketahui rata-rata keterampilan berbicara kelompok eksperimen adalah 21,78 dan rata-rata keterampilan berbicara kelompok kontrol adalah17,10. Berdasarkan rata-rata tersebut, dapat disimpulkan bahwa kelompok siswa yang dibelajarkan dengan metode sosiodrama berbantuan cerita rakyat lebih baik dibandingkan kelompok siswa yang dibelajarkan dengan metode konvensional. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diinterpretasikan bahwa terdapat perbedaan keterampilan berbicara yang signifikan antara siswa yang belajar menggunakan metode Sosiodrama dengan siswa yang mengikuti pembelajaran dengan metode konvensional siswa kelas V di Gugus V Kecamatan Sukasada tahun ajaran 2013/2014. Dengan kata lain, metode pembelajaran Sosiodrama berpengaruh terhadap keterampilan berbicara siswa kelas V di Gugus V Kecamatan Sukasada tahun ajaran 2013/2014.
UIN Sunan Gunung Djati Bandung: Tidak Diterbitkan. Kemendikbud. 2013. Model Penliaian Autentik dan Laporan Capaian Kompetensi. Moedjiono, dkk. 2008. Strategi Belajar Mengajar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Nurgiyantoro. 1995. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Yogyakarta: BPFE. Purnami. 2014. “Pengaruh Metode Sosiodrama Berbantuan Cerita Rakyat terhadap Keterampilan Berbicara Siswa Kelas V SD”. E-Journal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD (Vol: 2 No: 1 Tahun 2014). Sudjana, N. 2002. Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Sugiyono. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV. Alfabeta. Supriyadi, dkk. 2005. Pendidikan Bahasa Indonesia 2. Jakarta: Depdikbud. Tarigan, D. 1986. Berbicara sebagai suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.
Uno, Daftar Rujukan Ahmadi, Abu. H. 2005. Stategi Belajar Mengajar. Bandung: Pustaka Setia. Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara. -------. 2005. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Djamarah, Syaiful Bahri. 2006. Psikologi Belajar. Jakarta: PT Rineka Cipta. FTK, 2011. Pedoman Kuliah Microteching Jurusan/Prodi Fakultas Tarbiyah dan Keguruan (FTK).
Hamzah, B. 2007. Model Pembelajaran: Menciptakan Proses Belajar Mengajar yang Kreatif dan Efektif. Jakarta: Bumi Aksara.
Usman,
Basyiruddin. 2002. Metodologi Pembelajaran Agama Islam. Jakarta: Ciputat Pers.
Yamin,
Martinis. 2006. Strategi Pembelajaran Berbasis Kompetensi. Jakarta: Gaung Persada Press.
Zaini,
dkk. 2008. Strategi Pembelajaran Aktif. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani.