UNIVERSITAS INDONESIA KONSTRUKSI IDENTITAS TOKOH UTAMA DALAM FILM LA NOIR DE... KARYA OUSMANE SEMBÈNE
MAKALAH NON – SEMINAR 0806395850
Program Studi Sastra Perancis Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Depok, 2014
Konstruksi identitas…, Tiana Ayu Maulana, FIB UI, 2014
1 Konstruksi identitas…, Tiana Ayu Maulana, FIB UI, 2014
2 Konstruksi identitas…, Tiana Ayu Maulana, FIB UI, 2014
Konstruksi Identitas Tokoh Utama dalam Film La Noire de... Karya Ousmane Sembène
Tiana Ayu Maulana Joesana Tjahjani Program Studi Prancis Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Januari 2014
Abstract This article explores Ousmane Sembene's short story La Noire de… (Black Girl) and its film version by using the binary structure of the film, corresponds to the crude binary system that underlies any system of oppression and exploitation, a system that divides the world into two opposing categories: the oppressed and the oppressors. By focusing exclusively on Diouana's situation, we can trace a similar binary relationship in reverse. This film leads to the study of society that linked between female domestic labor and the general political structure. Pendahuluan Sinema Francophone Film-film yang bermunculan pasca penjajahan di negara Afrika disebut sebagai Cinema Francophone atau Film Frankofon. Artinya, film itu diproduksi dari negara bekas koloni Prancis (termasuk Afrika, Indo-China, dan Kepulauan Karibia) dengan menggunakan bahasa Prancis. Aspek bahasa menjadi penting dalam sinema Frankofon, sebab Prancis dan negara koloninya adalah 'keluarga' yang terikat oleh budaya (Andrade-Watkins: 2). ACCT (Agence de la cooperation culturelle et technique) yang didirikan pada tahun 1970 merupakan sarana untuk memberikan dukungan teknis dan kerjasama budaya ke bekas koloni Prancis. Organisasi ini berganti nama menjadi Agence de la Francophonie, sebuah organisasi internasional dengan 52 anggota yang berasal dari kawasan Eropa, Afrika Utara, Afrika Hitam, Arab, Asia dan Amerika Utara (Spass: 2). Oleh karena itu, istilah Frankofon dimaknai sebagai institusi global yang bertujuan melestarikan pengaruh kolonialisme Prancis. Sufiks phone pada kata tersebut merupakan istilah linguistik yang berkaitan dengan sejarah kolonial negara penjajah untuk melegitimasi bahasa Prancis sebagai lingua franca, yaitu sebuah bahasa yang unggul dan memiliki sifat universal, yang tentu saja membungkam bahasa asli dan budaya negara koloninya.
3 Konstruksi identitas…, Tiana Ayu Maulana, FIB UI, 2014
Sinema atau film Frankofon Afrika pada dasarnya merepresentasikan keberadaan neokolonialisme di negara-negara bekas jajahan Prancis. Perpanjangan warisan kolonial ini menjadi identik dengan cita-cita Frankofon, karena film merupakan instrumen budaya utama dalam menjaga eksistensi Prancis di bekas kawasan jajahannya itu. Profesor kajian sinema Afrika dari Emerson College, Boston, Claire Andrade-Watkins, menyebutkan dalam bukunya Film Production in Francophone Africa 1961 to 1977: Ousmane Sembène -An Exception, bahwa film Frankofon merupakan sebuah substitusi kolonialisme, di mana 'teori kolonialisasi diwujudkan lewat layar' (Andrade-Watkins: 30). Pengaruh Frankofon di Afrika dapat dipisahkan menjadi dua kategori yang berbeda, Maghreb dan Afrika Sub-Sahara atau Afrika Barat. Maghreb terdiri dari tiga negara, yaitu Aljazair, Maroko dan Tunisia, yang semuanya secara umum lekat dengan agama Islam dan bahasa Arab. Daerah ini terbilang unik dalam posisi budaya dan geografis, karena memiliki asal-usul dari bangsa Berber yang dikenal resisten terhadap invasi Arab. Negara ini hanya dipisahkan dari Eropa oleh Mediterania, dan dari Afrika Hitam oleh Sahara. Namun, efek dari kolonialisme Prancis bervariasi di tiga negara tersebut, di mana Aljazair mengalami dampak terparah dibanding dua negara lain. Negara Maghreb dinilai cukup menonjol dalam keterlibatannya mengembangan sinema Prancis. Hal ini disebabkan oleh relasi erat keduanya akibat migrasi besar-besaran orang-orang Maghribi ke Prancis, seperti yang tercermin dalam film Bye-Bye karya Karin Dridi tahun 1966. Tunisia juga menjadi negara bekas koloni pertama yang menyelenggarakan festival film Afrika. Negara itu sukses mempromosikan sinema Frankofon di tingkat internasional melalui festival dua tahunan tersebut yang bernama Journées de Carthage. Negara-negara berbahasa Prancis di Afrika Sub-Sahara, seperti Pantai Gading, Mali, Chad, Kamerun, dan Senegal mengalami sejarah poskolonial yang cukup 'buruk' karena hegemoni budaya Barat dalam perfilman mereka cukup besar. Kesuksesan film Afrika di kancah internasional dikaitkan dengan ke-Eropa-an para sineasnya. Misalnya karya-karya Ousmane Sembène, seorang sutradara Senegal, dinilai sebagai 'fertilisasi silang antara menulis bahasa Eropa dengan membuat film Afrika' (Andrade-Watkins: 172). Pasalnya pendanaan film-film Frankofon Sub-Sahara sangat tergantung pada Eropa. Prancis menjadi sumber utama pendanaan film mereka dari mulai produksi, distribusi hingga dipublikasikan secara massal. Namun demikian, perfilman di Afrika Barat menunjukkan bagaimana industri film di negara-negara Frankofon Afrika Barat memainkan peran penting dalam melaksanakan strategi pembangunan bangsa selama masa transisi dari pemerintahan kolonial menuju 4 Konstruksi identitas…, Tiana Ayu Maulana, FIB UI, 2014
periode poskolonial awal. James E. Genova dalam bukunya Cinema and West Development in West Africa (2013: 15) melihat bahwa konstruksi identitas Afrika dan pembangunan ekonomi menjadi tema utama dalam literatur politik dan produksi budaya saat itu. Berfokus pada film baik sebagai industri dan genre estetika, ia menunjukkan tempat yang unik dalam pembangunan ekonomi dan menuturkan sejarah lengkap pembuatan film di wilayah Afrika Barat selama masa transisi itu. Salah satu yang menjadi perhatiannya adalah Senegal dengan tokoh perfilmannya yang tersohor, Ousmane Sembène. Di bawah ini, profil Ousmane Sembène akan dijelaskan, sekaligus menceritakan film awalnya yang berjudul La Noire de…
Ousmane Sembène dan film La Noire de... Bagi
Ousmane
Sembène,
sutradara
terkemuka
film
Afrika,
film
dapat
memvisualisasikan segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan serta mengemukakan kepada khalayak tentang segala rahasia pemerintah. Menurutnya pula, film dapat berbicara kepada Dunia Barat tentang kekuasaan yang menindas, juga kepada negaranya, Senegal, dan negara dunia ketiga lain, tentang bentuk penindasan yang terjadi di tanah Afrika. Melalui film, Ousmane percaya bahwa seni ini dapat mengatasi masalah buta huruf di kawasan Afrika, sebab film dapat diakses baik oleh mereka yang mampu baca-tulis, maupun mereka yang buta aksara sama sekali. Hal ini menjelaskan mengapa Sembène lebih memilih menggunakan bahasa Wolof bahasa asli Senegal- ketimbang bahasa Prancis dalam karya-karya film terakhirnya. Alih-alih menggunakan film untuk menarik perhatian Dunia ketiga dan dikotomi Barat, Sembène memberikan kontribusi yang cukup besar bagi perkembangan film bertemakan politik. Ousmane Sembène lahir di Senegal pada tahun 1923. Ia memulai hidupnya sebagai seorang nelayan dan kemudian bersekolah di l'Ecole de Ceramique di Marcassoum. Setelah lulus, ia pergi ke Dakar dan bekerja sebagai tukang ledeng, tukang batu, dan montir mekanik. Ia pernah bertugas di bawah tentara Prancis pada Perang Dunia II. Setelah perang usai, ia menjadi pemimpin serikat buruh pelabuhan dan perdagangan di Marseille. Ketertarikannya yang besar dalam film, ia pun menghubungi sutradara Jean Rouch dan pembuat film lainnya untuk membantunya membuat film. Sayangnya, kala itu ia gagal mendapatkan dukungan mereka. Di Moskow, ia menghabiskan masa satu tahun untuk belajar film kepada sutradara Rusia yang merupakan favorit Stalin, Mark Donskoi. Selama hidupnya, karya-karya film Sembène yang cukup penting, antara lain: Le Charretier (1963), film pertama Ousmane yang menggambarkan dokar sebagai alat transportasi Dakar; Tauw (1971), mengenai lelaku muda 5 Konstruksi identitas…, Tiana Ayu Maulana, FIB UI, 2014
20 tahun Senegal yang putus asa mencari pekerjaan di dermaga Dakar; Emitai (1971) tentang perempuan desa yang memberikan perlawanan kepada penjajah Prancis. Xala (1974), film yang menunjukkan lumpuhnya beberapa tradisi Afrika yang sama besarnya dengan penindasan Barat. Lalu, film terakhirnya yang diembargo di negeri asalnya, Ceddo (1977), bercerita tentang penindasan yang terjadi selama periode awal islamisasi di Senegal. Masingmasing film Sembène pada dasarnya mempertanyakan masalah sosial yang ada dan mencerminkan latar belakang politik Sembène sebagai seorang intelektual Afrika dengan pola-pikir Eropa dan seorang seniman komunis berpaham neorealisme. Ousmane Sembène pernah mengatakan bahwa perempuan menjadi salah satu objek penelitiannya dalam menciptakan film, karena baginya "Africa can't develop without participation of its woman" (Afrika tidak dapat berkembang tanpa partisipasi dari perempuan-perempuannya), seperti yang terekam dalam film Emitai (1971) dan Ceddo (1976)1. Di seluruh film garapan Ousmane Sembene, potret perempuan Senegal memainkan peran penting dalam pembangunan Afrika. Dalam narasi film, karakter perempuan ditampilkan sebagai penghubung antara masa lalu dan masa depan, tradisional dan kontemporer, individu dan masyarakat. Sèmbene pun tidak menggambarkan perempuan sebagai obyek pasif dari keinginan laki-laki. Tidak seperti pada film-film Hollywood umumnya, karakter perempuan dalam film Sèmbene, bertindak sebagai agen dari kedua kelompok serta sebagai agen perubahan sosial. Mereka tidak mewakili komoditas atau barang-barang yang diinginkan. Sebaliknya film-film Sèmbene kerap menggambarkan perempuan bagaikan garam bumi di antara subjek lain. Mereka memberikan kekuatan kohesif yang secara tradisional dipegang masyarakat Afrika, namun juga menjadi mesiu yang akan memicu revolusi sosial di masa depan. La Noire de… adalah sebuah film hitam-putih karya Sèmbene yang digarap pada tahun 1966. La Noire de... atau dalam versi Inggris disebut Black Girl (Gadis Hitam), merupakan film yang tidak mewakili cerita seorang individu, melainkan dibangun atas kondisi sosio-budaya masyarakat Senegal. Meskipun hanya berdurasi 60 menit, film berbahasa Prancis ini memenangkan penghargaan Prix Jean Vigo, yang membuat film ini menjadi pembahasan internasional. Reputasi Sembène sebagai sineas Afrika diacungi jempol, hingga ia dijuluki "The Father of Africa" oleh media-media setempat.
1
Dikutip dari isi surat Ousmane Sembene untuk Françoise Pfaff dalam Pfaff's The Cinema of Ousmane Sembene (Weatport CN: Greenwood press, 1984). "There can he no development in Africa if women are left out of the account. In a modern Africa, women can take part in production, education, but they are still refused the right of speech."
6 Konstruksi identitas…, Tiana Ayu Maulana, FIB UI, 2014
La Noire de... menngisahkan perempuan Senegal yang bekerja di Prancis. Diouana yang diperankan oleh Thérèse Mbissine Diop, diceritakan telah diterima bekerja sebagai pengasuh anak untuk keluarga ekspatriat Prancis. Ia pun percaya mimpinya mengunjungi Prancis akan menjadi kenyataan. Dari sebuah kapal pesiar, ia dijemput oleh Monsieur (Robert Fontaine), yang mengajaknya ke apartemen yang terletak di Riviera Prancis. Sesaat setelah ia menetap di sana, Diouana menyadari bahwa anak-anak dirawat di tempat lain. Alih-alih menjadi pengasuh, ia pun dieksploitasi sebagai pembantu rumah tangga, tukang masak dan pencuci untuk pasangan suami-isteri Prancis, kerabat dan teman-temannya. Dengan latar sosial pasca kolonialisme, film ini tidak hanya mewakili cerita dari tokoh utama Diouana. Narasi dalam film ini merupakan representasi atas realita masyarakat Senegal yang terjadi kala itu. Oleh karena itu, film La Noire de… memberikan contoh akan pentingnya film fiksi sebagai kunci untuk studi masyarakat. Komposisi visual yang memanfaatkan dikotomi hitam dan putih dalam film menyiratkan makna semantik yang lebih luas dalam dari sekadar film berwarna hitam dan putih. Mulai dari keberangkatan Diouana ke Prancis, hingga kedatangannya ke apartemen sang majikan, semuanya tak luput dari skema hitam-putih. Persoalan eksploitasi masa neokolonialisme terhadap situasi politik Senegal yang muncul di film ini merupakan hal yang sangat penting untuk dibahas lebih lanjut. Eksploitasi bukan perkara individu atau subjek, tetapi berakar pada masalah yang paling mendasar dan mengikat serta sistemik, yaitu polemik politik yang terjadi di negara tersebut. Oleh karena itu, Diouana sebagai perempuan imigram yang bekerja di rumah keluarga Prancis menjadi kajian yang menarik jika ditelaah melalui perspektif poskolonial.
Paradigma Poskolonialisme Poskolonialisme merupakan pendekatan yang penting dalam beberapa ilmu di antaranya ilmu budaya, antropologi, dan studi bahasa. Teori postkolonialisme itu sendiri dibangun atas dasar peristiwa sejarah dan pengalaman pahit dijajah oleh bangsa lain. Permasalahan pokok dalam poskolonialisme pada dasarnya meliputi kegiatan masyarakat yang melampaui batas negara, isu bangsa dan nasionalisme, dampak chauvinisme budaya yang memungkinkan terjadi imperialisme. Poskolonialisme menunjukkan proses perlawanan dan rekonstruksi oleh negara non-Barat terhadap negara Barat. Selama ini. poskolonialisme kerap
mengeksplorasi
segala
bentuk
penindasan
dalam
berbagai
bentuk
seperti
penindasan/perbudakan, perlawanan, ras, gender, representasi, perbedaan, penyingkiran, dan
7 Konstruksi identitas…, Tiana Ayu Maulana, FIB UI, 2014
migrasi dalam hubungannya dengan wacana-wacana penguasa Barat mengenai sejarah, filsafat, sains, linguistik, dan sastra-budaya. Berangkat dari ilmu sastra dan budaya, poskolonialisme sebagai suatu kajian teoritis diartikan sebagai gerakan melawan dominasi dengan menyajikan sudut pandang baru. Selama ini, teori-teori yang sudah mapan seperti Marxisme, Liberalisme, dan Realisme selalumemposisikan Barat sebagai suatu yang ideal dan sentral. Hal tersebut menjadikan segala sesuatu yang berasal dari non-Barat dianggap sebagai objek atau liyan (yang lain). Oleh karena itu, berbagai fenomena sosial yang timbul pasca imperealisme telah mulai dilihat melalui sudut pandang Timur/non-Barat atau Negara dunia ketiga seperti Senegal di Afrika tengah. Sebagai salah satu peneliti kajian poskolonialisme, Moore-Gilbert dalam bukunya yang berjudul Postcolonial Theory: Contexs, Practices, Politics (2010) mengemukakan konsep poskolonialisme sebagai persoalan relasi yang berbentuk “dominasisubordinasi”. Relasi ini terjadi mulai dari level makro sampai mikro, mulai dari antar negara sampai dengan antar level masyarakat dan bahkan sampai dengan antar atau sesama penanda seks. Moore-Gilbert pun mengungkapkan bahwa kata “post” pada poskolonialisme mengindikasikan adanya kontinuitas, bukan diartikan ‘masa setelah penjajahan’, dalam arti lain poskolonialisme tidak diartikan sebagai periode pasca kolonial. Kolonialisme mengklaim bahwa ‘peradaban’ datang untuk memberantas ‘barbarisme’ yang sering melakukan tindakan biadab (savage), dengan tujuan menguatkan karakter kaum Eropa yang ‘beradab’ dan melegitimasi tindakan otoriter pada masa Edward Said dalam buku yang berjudul Orientalism (1979) menyajikan bagaimana Barat memandang Timur sebagai “stranger” (orang aneh) dengan segala keterbatasannya, sehingga membentuk justifikasi Barat untuk mengintervensi dan menjajah Timur. Dengan pemikiran yang sama, hal inilah yang membuat Afrika sebagai “white man’s burden” atau beban orang kulit putih. Menurut Charles E. Bressier dalam artikelnya yang berjudul Postcolonialism: the Empire Writes Back dalam Literary Criticism: An Introduction to Theory and Practice mengatakan bahwa poskolonialisme memiliki tiga karakter utama: kekuasaan atau pengetahuan, identitas, dan perlawanan (1996; 226-227). Dua terakhir ini lah yang dianggap penulis relevan konstruksi identitas tokoh Diouana dalam film La Noire de… Identitas dalam wacana poskolonialisme adalah bersifat paradoks, seperti Barat dan Timur, Utara dan Selatan, hitam dan putih, serta penjajah dan terjajah. Ketiga, adalah perlawanan (resistance), yaitu suatu kemampuan pihak terjajah untuk menyerap budaya kolonial sebagai “senjata” bagi penjajah. Di dalam resistance, dikenal 8 Konstruksi identitas…, Tiana Ayu Maulana, FIB UI, 2014
istilah hibriditas, yaitu melawan dominasi budaya kolonial dengan cara memanfaatkan apa yang datang darinya. Resistance seakan menempatkan mereka (terjajah) tidak sepenuhnya terjajah dan hanya menjadi korban pasif dari kolonisasi, atau dalam kata lain disebut sebagai hibriditas. Melalui pendekatan poskolonialisme dari berbagai kajian seperti Moore-Gilbert serta Edward Said, meningkatkan perhatian masyarakat terhadap ketimpangan yang terdapat pada teori-teori analisis yang bersifat western-centric. Apalagi ditunjang dengan sumber data penelitian yang berupa salah satu film Afrika, maka aplikasi pendekatan ini menunjukkan hubungan resiprokal antara orang kulit putih sebagai penjajah, dan non-putih sebagai terjajah.
Judul dan Makna La Noire de... Seperti telah disinggung di atas, judul film ini memiliki ambiguitas makna, khususnya jika merujuk pada judul versi Prancis. La Noire de... akan kehilangan makna jika diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai Black Girl. Hal ini terjadi sebab elipsis yang ditandai dengan preposisi de tidak diartikan dalam judul versi Inggris. Faktanya, de dalam bahasa Prancis memiliki dua makna. Pertama sebagai 'from' atau preposisi yang menyatakan tempat, contoh; La Noire du Senegal berarti ‘Perempuan hitam dari Senegal’. Kedua sebagai 'of' atau preposisi yang menyatakan kepemilikian, contoh, La noire de moi yang berarti ‘Perempuan kulit hitam milikku’. Ambiguitas elipsis tersebut terlihat jelas dalam konteks bahasa Prancis. Keduanya pun seakan merepresentasikan dua identitas dari tokoh utama film ini, yaitu Diouana sebagai perempuan kulit hitam yang ke-Ada-annya menjadi milik orang lain, dan sebagai perempuan kulit hitam yang memiliki masalah dengan daerah asalnya. Komposisi visual La Noire de... diperlihatkan melalui permainan dikotomi warna yang sangat jelas; hitam dan putih. Sinematografi hitam-putih menciptakan pemaknaan dasar dari film ini. Pertama, Diouana digambarkan memakai gaun putih dengan aksen polkadot hitam; kopernya pun berwarna hitam. Apartemen juga digambarkan sepenuhnya dalam skema hitam-putih. Pula dengan makanan yang jatuh pada kategori yang sama; kopi hitam, susu putih, dan nasi putih. Bahkan wiski yang ditampilkan dalam film, hadir dengan merek "Black and White". Musik juga menunjukkan oposisi yang sama. Musik Barat mengalun bergantian dengan musik Afrika. Bentuk oposisi yang paling dramatis pun diperlihatkan saat kamera berfokus pada tubuh hitam nan lebam Diuoana yang terbaring tak berdaya di sebuah bak mandi berwarna putih.
9 Konstruksi identitas…, Tiana Ayu Maulana, FIB UI, 2014
Identitas Diouana sebagai perempuan imigran dan pembantu rumah tangga di rumah keluarga Prancis Sebagai salah satu film awal produksi Sèmbene, La Noire de... sudah memiliki banyak elemen tanda yang memungkinkan adanya penafsiran atau interpretasi akan makna kekerasan domestik pembantu rumah tangga perempuan kulit hitam. Struktur biner yang jelas dalam film ini pada dasarnya adalah struktur biner mentah yang mendasari setiap sistem penindasan dan eksploitasi, yang telah membagi dunia ke dalam dua kategori identitas yang berlawanan: mereka yang tertindas dan penindas. Eksploitasi perempuan yang tertindas dalam film ini dibawa oleh sosok Diouana yang notabene adalah pembantu rumah tangga. Sebaliknya, sang penindas adalah majikan perempuannya yang berkulit putih. Meskipun demikian, Diouana sebagai tokoh utama memiliki pengaruh besar dalam menjalankan narasi. Keberadaannya menjadi penting, sebab perlakuan kekerasan yang dialami Diouana berhubungan dengan sistem politik Senegal atau negara dunia ketiga saat itu Sebagai seorang tuna aksara, Diouana tak memiliki pengetahuan tentang Prancis selain yang ia dengar dari ucapan lisan majikan perempuannya, serta dari gambar-gambar menawan yang ia temukan di sebuah majalah ELLE yang dibawa oleh kekeasihnya saat pertemuan mereka di Dakar. Kehidupan yang ia dambakan di Prancis sepenuhnya terilhami dari representasi perempuan-perempuan yang ada di majalah ELLE itu. Diouana mengharapkan menemukan toko-toko yang indah, di mana ia akan membeli pakaian elegan dari upah yang ia dapatkan. Perempuan-perempuan ELLE yang tampil dengan pakaian renang membuat ia membayangkan foto dirinya sedang berada di sebuah pantai. Ia pun berpikir untuk mengirimkan foto itu ke kampung halamannya di Dakar, berharap agar banyak perempuan Dakar iri dengannya. Namun Sebaliknya, saat tiba di Prancis, Diouana bagaikan tahanan di sebuah apartemen. Prancis yang ia lihat tidak lah sama dengan yang ia dambakan sebelumnya. Di Prancis, ia menjadi pembantu rumah tangga dari seorang majikan kulit putih. Rutinitasnya hanya memasak, mencuci pakaian, mencuci piring, membersihkan rumah, dan mengantarkan anak-anak pergi ke sekolah. Dalam kehidupan sehari-hari, Diouana selalu mempraktikkan apa yang menjadi keinginannya di Prancis, seperti memakai wig, menggunakan berbagai aksesori, dan mengenakan gaun. Hal tersebut membuat marah majikan perempuannya. Dia lalu memberi celemek dan meminta Diouana untuk melepas sepatu hak tinggi –sepatu khas Baratmiliknya. Selama percakapan Diouana dengan sang majikan, ia tidak pernah mengucapkan sepatah kata selain "Oui, Monsieur” (Ya, Tuan), dan "Oui, Madame” (Ya, Nyonya). Sikap 10 Konstruksi identitas…, Tiana Ayu Maulana, FIB UI, 2014
dan tindakan Diouana terlihat seperti tidak memiliki hak untuk berbicara, melainkan hanya tunduk pada apa yang dikatakan majikannya. Hal yang paling tragis dalam film ini adalah mengenai "foto dirinya di pantai". Kenyataannya, ia tidak pernah difoto di dekat pantai atau pun laut. Sebaliknya, penonton disuguhkan dengan adegan terbaringnya sesosok perempuan hitam tak bernyawa di dalam sebuah bak mandi berwarna putih. Segera setelah itu, adegan pun berlanjut dengan sekerumunan orang di pantai dengan pakaian renang sedang membaca berita bunuh diri Diouana. Berita itu dimuat di dalam kolom Faits Divers (berita lokal) yang dimuat di sebuah surat kabar Prancis. Saat di Prancis, pihak yang menjadi mediator adalah majikan Diouana. Di saat ibu Diouana meminta majikan porempuan untuk menulis surat atas nama Diouana (karena beliau berpikir bahwa "perempuan pada dasarnya adalah seorang ibu"), sayangnya bukan ia yang membantu Diouana menuliskan surat, melainkan majikan laki-laki. Diouana tak mau menjawab surat tersebut dan memilih untuk diam. Tetapi, majikan laki-laki itu tetap menjawab dan menerjemahkan kebisuan Diouana ke dalam kalimat dengan mengatakan bahwa Diouana baik-baik saja. Setiap surat balasan yang masuk, seluruhnya dipegang oleh sang majikan. Hal tersebut menimbulkan kecurigaan bagi Diouana, sebab ia tidak bisa membaca, ibunya tidak bisa menulis, dan ia tidak bisa menuliskan surat balasan kepadanya. Lantas mengapa selalu ada surat balasan kepadanya? Diouana menjawab dengan menganggap bahwa selama ini majikannya lah yang menuliskan surat kepadanya dengan seolah-olah berasal dari ibunya. Surat-surat itu memicu drama akhir Diouana yang menyadari bahwa dirinya tidak memiliki kemampuan untuk bertahan, seperti yang ia katakan dalam film ini.
"Jika saya bisa menulis, saya akan memberitahu mereka ... "
Oleh karena itu, kematiannya menjadi cara Diouana untuk berbicara dan menuliskan arti dari pemberontakan. Setidaknya ada dua bentuk pemberontakan yang terekam dalam film ini, baik saat Diouana di Prancis maupun pasca kematian Diouana di Dakkar, Pertama, penolakan uang yang diberikan majikan kepada Diouana, juga dilakukan ibunya saat majikannya menjumpai ibunya di Dakkar. Kedua, tindakan Diouana yang mengambil kembali topeng dari majikannya, juga dilakukan kembali oleh bocah laki-laki di Dakkar. Kedua bentuk penolakan itu diartikan sebagai bentuk pemberontakan masyarakat Senegal kepada Prancis. Pada penolakan pertama diartikan sebagai penolakan atas eksploitasi 11 Konstruksi identitas…, Tiana Ayu Maulana, FIB UI, 2014
ekonomi Barat, sedangkan pada tindakan kedua berarti penolakan atas akulturasi budaya Barat dengan Afrika. Oleh karena itu, dapar diartikan bahwa ketiga orang Senegal yang buta huruf dari film ini (Diouana, ibu, dan bocah laki-laki) mewakili tiga generasi berbeda yang melakukan pemberontakan atas kehadiran bangsa Barat yang diwakili orang Prancis. Namun adegan terakhir dari film ini bermain pada prasangka atau asumsi negatif yang sangat tradisional. Di film ini ada kisah perempuan yang membunuh dirinya sendiri dan seorang bocah laki-laki yang mengejar pria dewasa Prancis. Perempuan diartikan sebagai korban dan bocah laki-laki sebagai penuntut balas di masa depan.
Relasi Kuasa Antara Barat dan Timur Walaupun film ini merupakan salah satu karya Sembène paling awal, namun La Noire de... telah mengandung begitu banyak tanda-tanda semiotik yang memungkinkan penafsiran lebih lanjut. Struktur biner yang jelas dalam film ini sesuai dengan sistem biner 'mentah' yang mendasari sistem penindasan dan eksploitasi, yakni sistem yang membagi dunia ke dalam dua kategori yang berlawanan: the opressed (si tertindas) dan the opressor (si penindas). Di saat film ini bermain dengan oposisi hitam-putih yang kontras, namun film ini tidak membentuk oposisi perempuan-laki-laki di sepanjang baris yang sama. Pasalnya, Diouana sebagai tokoh perempuan kulit hitam diperbudak bukan oleh laki-laki, tetapi oleh seorang perempuan kulit putih. Selain itu, saat berniat untuk pergi ke Prancis, ia memperoleh izin dari ibunya dan bukan dari ayahnya. Penindasan yang dialami Diuoana sebagai pembantu rumah tangga pada dasarnya adalah bentuk eksploitasi perempuan kulit hitam yang biasa terjadi kala itu. Akan tetapi, konteks eksploitasi yang dihadirkan dalam film, sengaja menghubungkan antara kekerasan domestik pembantu rumah tangga dengan isu politik Senegal secara umum. Meskipun film ini berfokus secara eksklusif pada situasi Diouana, eksploitasi dan kematiannya tidak lah berdiri sebagai kejadian individual semata. Film ini menghubungkan kematian Diouana dengan kematian orang-orang Senegal lain di Eropa, yakni mereka yang tewas dalam Perang Dunia I dan II. Dimensi politik dalam film ini mendapat penekanan melalui peran dan sikap kekasih Diouana. Pasalnya, sebelum keberangkatan Diouana ke Prancis, ia dan sang kekasih tengah berada dekat dengan monumen peringatan yang menewaskan ratusan tentara Senegal di Perang Dunia. Pada adegan itu, Diouna tak menyadari akan pentingnya monumen tersebut bagi kekasihnya. Diouana bahkan menari tanpa alas kaki di atas monumen, seraya mencurahkan kegembiraannya karena akan pergi ke Prancis dalam waktu dekat. Akibat tindakannya tersebut, sang kekasih memarahi Diouana dan menyuruhnya untuk segera turun. 12 Konstruksi identitas…, Tiana Ayu Maulana, FIB UI, 2014
Adegan ini memiliki dua pemaknaan. Pertama, tarian yang dilakukan Diouana di monumen perang tersebut mengimplikasikan kematiannya di Prancis. Kedua, keberangkatan Diouana ke Prancis yang diakhiri dengan tindakan bunuh dirinya dapat dikaitkan dengan keterlibatan politik Senegal ke dalam Perang Dunia I dan II. Rasa hormat sang kekasih pada monumen mengungkapkan kebanggaan ia atas keberanian dan pengorbanan tentara Senegal. Setidaknya ada dua bentuk pengorbanan yang sama, namun sengaja diciptakan paradoks dalam film ini, yaitu antara kepergian Diouana ke Prancis dan partisipasi tentara Senegal dalam Perang Dunia I dan II. Keduanya pergi ke Prancis sama-sama untuk memperjuangkan kebebasan. Bedanya, tentara untuk memperoleh kebebasan Prancis, Diuoana untuk memperoleh kebebasan dirinya di Prancis. Perbedaannya terletak pada bagiaman dua perjuangan kebebasan itu dipandang dalam konteks sosial dan politik. Tentara setelah tewas di medan perang, sebisa mungkin seluruh jasad dan pakaiannya dibawa kembali ke Tanah Air. Keluarga yang ditinggalkan pun akan mendapatkan sejumlah uang dari negara. Hal yang sama juga terjadi pada kematian Diouana di Prancis. Barang-barangnya dikembalikan ke Dakkar, daerah asalnya. Pakaiannya dibawa kembali kepada ibu nya, dan keluarganya ditawarkan sejumlah uang sebagai kompensasi. Keterpaduan ini menunjukkan bahwa di balik eksploitasi terang-terangan yang terjadi pada diri Diouana, kebebasan yang dibayar oleh kematiannya itu diperlakukan berbeda satu sama lain. Kematian tentara dianggap terhormat dan perlu diperingati sebagai pejuang Senegal. Namun kematian Diouana sebagai pembantu rumah tangga hanya lah kematian biasa yang tidak menjadi perhatian serius negara. Kematian Diouana pada dasarnya berawal dari eksploitasi yang dialami Diouana di rumah sang majikan. Eksploitasi yang terdapat dalam film ini memang tidak mengandung kekerasan fisik seperti menyakiti dan melukai tubuh korban. Melainkan lebih kepada kekerasan verbal yang melukai batin korban. Eksploitasi hanya sebatas pemanfaatan tenaga atas diri orang lain yang bukan menjadi kewajibannya. Dalam adegan di mana perempuan Prancis tengah berjalan di antara para perempuan Senegal di Dakkar, ia berhenti untuk memilih salah seorang yang akan ia bawa ke Prancis. Diouana adalah salah satu dari para perempuan Senegal yang duduk di tepian jalan itu. Di saat perempuan-perempuan Senegal mendekati perempuan Prancis secara agresif agar berharap untuk dipilih, Diouana malah memilih untuk tetap duduk. Pasifnya Diouana menyiratkan bahwa kejadian itu bukan kali pertama terjadi padanya. Tawaran untuk bekerja ke Prancis sering kali datang, namun ia tidak pernah berhasil terpilih. Namun hari itu seakan momen spesial bagi Diouana, di mana ia adalah orang yang dipilih oleh perempuan Prancis itu. 13 Konstruksi identitas…, Tiana Ayu Maulana, FIB UI, 2014
Majikan Diouana yang seorang perempuan kulit putih, secara tegas digambarkan sebagai penindas. Sebaliknya, suaminya -yang juga berkulit putih- atau majikan laki-laki digambarkan sebagai orang Prancis yang bersikap manusiawi dan cukup sopan. Hal itu dibuktikan melalui adegan yang memperlihatkan sang majikan laki-laki sedang membawa koper Diouana saat ia menjemput kedatangan Diouana di dermaga Prancis. Sang majikan laki-laki juga bertanya tentang perjalanan Diouana dan memberikan uang kepada Diuoana. Ia juga menunjukkan sikap pengertian atas perasaan depresif yang dialami Diouana, memahami rasa rindu Diouana, menyarankan Diouana untuk pergi ke luar rumah dan bahkan sebuah liburan untuknya. Yang pula patut menjadi catatan penting, film ini tidak menggambarkan eksploitasi seksual yang dilakukan majikan laki-laki kulit putih terhadap pekerja perempuan hitam. Biasanya, film yang menggambarkan opresi sering memperlihatkan adegan pemerkosaan saat sang majikan laki-laki hanya berdua dengan si pembantu atau ia tengah mabuk. Sebaliknya, film ini lebih menekankan akan konfrontasi verbal maupun fisik antara majikan perempuan (sang istri) dengan Diouana. Salah satunya ditunjukkan lewat adegan perebutan topeng Afrika. Sang istri menganggap Diouana sebagai orang yang tidak tahu berterima kasih karena mengambil kembali apa yang telah diberikan Diouana kepadanya. Namun sang suami mengatakan kepada istrinya bahwa topeng tersebut, meskipun memang pernah diberikan Diouana kepada istrinya, adalah masih milik Diouana. Insiden ini menawarkan oposisi mencolok antara ketenangan suami dan kemarahan maha dahsyat istri. Bahkan, eksploitasi Diouana itu menggantikan eksploitasi perempuan Prancis itu sendiri. Sikap memberontak Diouana merupakan ancaman nyata bagi si istri, namun tidak untuk suami, seperti yang terlihat dari pernyataan Diouana berikut:
"Tidak pernah lagi dia mengatakan kepadaku: 'Diouana, cuci lah kaos Monsieur'."
Kesimpulan Identitas Diouana terbangun melalui bagaimana Diouana diposisikan sebagai perempuan kulit hitam yang bekerja di rumah keluarga Prancis. Pemosisian diri Diouana sebagai 1) imigran dan 2) Pembantu Rumah tangga ini membuat relasi kuasa yang jelas antara Barat dan Timur. Di film ini, Barat diwakili oleh majikan Prancis, sedangkan Timur direpresentasikan oleh tokoh Diouana sebagai seorang “budak” atau orang yang selalu berada di bawah kekuasaan dan dominasi Barat. Film La Noire de... dianggap penulis sebagai teks
14 Konstruksi identitas…, Tiana Ayu Maulana, FIB UI, 2014
budaya yang mengukuhkan dominasi Barat atas Timur. Kendati demikian, film ini juga menggugat dikotomi Barat dan Timur. La Noire de… menggunakan sosok perempuan sebagai metafora dari kolonialisme Prancis. Sembène memperlihatkan beberapa aspek seksual, namun tidak menjadikannya sebagai realita politik yang dapat ditangani, diperjuangkan, dan diubah. Kendati menggunakan perempuan sebagai metafora artistik untuk memecahkan beberapa konflik dasar, bagaimana pun Sembène terjebak dalam kontradiksi yang belum terselesaikan. Beberapa isu mendasar di Afrika kala itu, seperti feminisme dan poligami tidak disinggung sama sekali dalam film ini.
15 Konstruksi identitas…, Tiana Ayu Maulana, FIB UI, 2014
Daftar Pustaka
Buku Bressler, Charles E. 1999. “Postcolonialism: the Empire Writes Back” in Literary Criticism: An Introduction to Theory and Practice. New Jersey: Prentice Hall. (p. 265-270). Hall, Stuart. 1996. The Question of Cultural Identity Modernity An Introduction to Modern Societies. London: Blackwell Publisher. ---------------. 1994. “Cultural Identity and Diaspora.” Colonial Discourse and Post-colonial Theory. London: Harvester Wheatsheaf. Moore-Gilbert, Bart. 2000. Postcolonial Theory: Contexs, Practices, Politics. London: Verso. Said, Edward, 1985. Orientalism, Penguin Book, London. Genova, James E. 2013. Cinema and West Development in West Africa. Indiana: Indiana University Press.
E-Book Andrade-Watkins, Claire. 1991. Film Production in Frankofon Africa 1961 to 1977: Ousmane
Sembène
-An
Exception.
England:
Emerson
College.
Frankofon
African
Cinema.
http://scholarworks.umass.edu/cibs/vol11/iss1/5
Internet An
introduction
to
Sub
Saharan
http://culturalzeitgeist.wordpress.com/2012/10/28/an-introduction-to-sub-saharanFrankofon-african-cinema/. Ousmane Sembène's Biography. http://postcolonialstudies.emory.edu/ousmane-sembene/
16 Konstruksi identitas…, Tiana Ayu Maulana, FIB UI, 2014