UNIVERSITAS INDONESIA
HUBUNGAN ANTARA INDEKS BODE DENGAN KEJADIAN PPOK EKSASERBASI AKUT PADA JEMAAH HAJI
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Spesialis-1 Ilmu Penyakit Dalam
HADIKI HABIB NPM : 0906646744
PROGRAM STUDI ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVESITAS INDONESIA JAKARTA SEPTEMBER 2014
SI]RAT PER}TYATAAN BEBAS PLAGIARISME Saya -y'ang bertar.da..Engan diba'wah
iai dengan sebenarnSra menyatakan bahwa tesrs ini saya
susun taapa tifidakan plagiarisme sss'.rai deagan peraturan yang berlaku
di Uaiversitas
indonesia.
Jika dikemudian hari ternyata saya
melakukan tindakan plagiarisme, saya akan
bertanggungjawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatutrkan Universitas Indonesia kepada saya.
Jakarta, 24 Septembq 2014
Hadiki Habib
Universitas lndonesia
Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014
HALAMAN PENGESAHAN Menerangkan dan mengesahkan bahwa penelitian yang berjudul
:
Hubungan Antara Indeks BODE Deagan Kejadian PPOK Ek-saserbasi Akut Pada Jemaah Haji
Dilahikan oleh dr. Hadiki Habib,l{P}"f A9A6616714 Penelitian ini telah dilalnrkan di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Iaktrtadan disetujui oleh :
Ketua Departemen Iknu Penyakit Dalam Dr. dr.Imam Subekti, SpPD,KEIvID NrP. 19580622198403 1003
Ketua Program Pendidikan Profesi Dokter Spesialis-l dr. Aida Lydi4Ph.D, SpPD, K-GH NIP. 19580716 198403 2001
Jraadvdi%
tr'
Ketua Divisi Pulmonologi Dr. dr. C. Martin Rumende, SpPD, K-P NIP. 19620824 199010 1001
M /
Pembimbing I dr. A. q/ainah ZN, SpPD,KP, MARS NrP. 14011e207 199010 l00l
Pembimbing 2 dr.Ceva V/.Pitoyo, SpPD,KP, KIC NIP. 140337156 199701 1001
&
Pembimbing Metodologi Penelitian dan Statistik Dr. tir. Muniani Abduildq SpPD,KGEH L NIP. 19620612 198901 1002
tv Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014
Univercitas lndonesia
Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur saya sampaikan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karuniaNya sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penelitian ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan program pendidikan dokter spesialis-1 dalam bidang Ilmu Penyakit Dalam pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Pada kesempatan ini saya menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
Dr. dr. Ratna Sitompul, SpM (K), sebagai Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk menjalani proses pendidikan di fakultas yang beliau pimpin
Dr.dr. Imam Subekti, SpPD,KEMD, sebagai Kepada Departemen Ilmu Penyakit
Dalam
FKUI/RSCM
dan
Dr.dr.
C.Heriawan
Soejono,SpPD,KGer, M.Epid, sebagai Kepala Departmen Ilmu Penyakit Dalam sebelumnya, atas kesempatan, perhatian dan pendidikan yang diberikan kepada saya untuk dapat mengikuti dan menyelesaikan pendidikan di Departemen Ilmu Penyakit Dalam.
dr. Aida Lydia, SpPD, KGH, PhD, sebagai ketua program pendidikan Profesi Dokter Spesialis-1 Ilmu Penyakit Dalam, yang telah banyak memberi kesempatan, petunjuk, dan saran selama pendidikan.
Dr.dr. Aru W.Sudoyo, SpPD, KHOM sebagai Ketua Program Pendidikan Profesi Dokter Spesialis-1 Ilmu Penyakit Dalam terdahulu yang telah memberikan kesempatan menerima saya sebagai anak didik di Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM.
Dr.dr. Cleopas Martin Rumende, SpPD,KP, FCCP, sebagai ketua Divisi Pulmonologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk melakukan penelitian dan memberikan pengajaran dan petunjuk di Divisi Pulmonologi
vi Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
dr. A.Uyainah ZA, SpPD,KP, MARS, sebagai pembimbing penelitian saya dan sosok guru yang memberikan banyak arahan dan pengajaran sehingga saya dapat menyelesaikan penelitian ini.
dr. Ceva W.Pitoyo, SpPD,KP,KIC, sebagai pembimbing penelitian saya dan pembimbing akademik dalam melaksanakan pendidikan dan penelitian
Dr.dr. Murdani Abdullah, SpPD,KGEH, sebagai pembimbing metode penelitian dan statistik saya atas arahan dan bimbingan sehingga saya dapat mengerjakan dan menyelesaikan penelitian ini.
Dr.Sri Rahayu, dr. Lani, dan dr. Ibnu, atas segala sumbangan tenaga dan pikirannya sehingga penelitian ini dapat terlaksana
Seluruh guru besar dan staf pengajar Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM yang telah membimbing dan mendidik saya selama pendidikan Ilmu Penyakit Dalam
Para sahabat peserta program pendidikan dokter spesialis-1 di Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM, khususnya teman seangkatan : dr. Rony Satrio Utomo, dr. Darmawan, dr. Yeti hariati, dr.Alisa Nurul Muthia, dr. Lisa Safitri, dr. Royanul Arief, dr.David Santosa, dr.Rabbinu Rangga Pribadi, dr. Hendra Dwi Kurniawan, dr. Ariska Sinaga, dr.Fendi, dr.Lukman ZA, dr. Petry, dr. Estie Puspitasari, dr. Yuhana Fitra, dr. Intan Airlina, dr. Ridho Adriansyah, dr. Jaka Panca Satriawan, dr. Gita Tiara Paramita. Semoga kebersamaan dan persaudaraan kita terus terjalin sehingga kita semua menjadi dokter yang bermanfaat untuk masyarakat.
Seluruh perawat dan para staf pendidikan PPDS-1, Ibu Yanti, Pak Heri, dan Ibu Aminah yang telah banyak memberikan bantuan dan kerjasama yang baik selama menjalani pendidikan
Seluruh staf dan perawat di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam di RSCM, RS Persahabatan, RSPAD Gatot Subroto, RS.Fatmawati, dan RSU Tangerang
Terimakasih orang tua saya tercinta, Ibunda Yerni Arief, Ibunda Aminah, serta Ayahanda Umar Zein, dan Ayahanda Syarif, atas kasih sayang,
vii Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
perhatian, dukungan, bantuan dan segala pengorbanan yang telah diberikan
Kepada istriku tercinta, dr. Salinah, atas kasih sayang, perhatian, dukungan, dan kesabaran yang tak henti-henti.
Adik-adik saya, dr. Mohammer Pasha, Yuzika Hizani,S.si, Ryanda Huzein, Ramlah, dan Zaharudin, atas segala kasih sayang, bantuan, dukungan, semangat dan doa yang tidak ternilai.
Serta kepada seluruh pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu yang telah memberikan bantuan kepada saya selama ini. Semoga Allah SWT memberi rahmat dan balasan yang berlipat ganda atas kebaikan yang telah diberikan.
Jakarta 24 September 2014
Hadiki Habib
viii Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
TIALAMAN PERYATAAI\ PERSETUJUAI\ PI}BLIKASI TUGAS AKITIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesi4 saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama
Hadiki Habib
NPM
0906646744
Program Studi
Ilmu Penyakit Dalam
Departemen
Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas
Kedokteran
Jenis Karya
Tesis
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti None}sklusif (Non-*clusive Royaly-
Free Right) atas karya ilmiatr saya yang berjudul: Hubungan Antara Indeks BODE I)engan Kejadian PPOK Eksaserbasi Akut Pada Jemaah
beserta perangkat yang ada
Noneksklusif
ini
(ika
Haji
diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalih
media/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (data base), merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di: Jakarta Pada
tanggal:24 September 2014 Yang mlnyatakan
abib)
lx Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014
Universitas lndonesia
ABSTRAK Nama Program Studi Judul
: Hadiki Habib : Ilmu Penyakit Dalam : Hubungan Antara Indeks BODE Dengan Kejadian PPOK Eksaserbasi Akut Pada Jemaah Haji
Latar Belakang : Kejadian Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) Eksaserbasi akut pada jemaah haji meningkat selama menjalankan aktivitas haji. Oleh karena itu, diagnosis dan stratifikasi PPOK sebelum haji perlu dilakukan untuk memulai tatalaksana PPOK sejak dini dan menurunkan risiko eksaserbasi akut. Indeks BODE (Body mass, Obstruction, Dyspnoe, Exercise) merupakan salah satu sistim stratifikasi multidimensional yang dapat dipakai untuk menentukan risiko eksaserbasi. Penelitian ini dibuat untuk mengetahui hubungan antara indeks BODE dengan kejadian PPOK eksaserbasi akut pada jemaah haji. Metode : Ini adalah tudi kohort retrospektif pada jemaah haji PPOK asal Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta tahun 2012. Indeks BODE ditentukan dari rekam medis. Rekam medis berasal dari skrining PPOK pada jemaah haji yang dilaksanakan 24 jam sebelum keberangkatan, dan eksaserbasi ditentukan segera setelah jemaah pulang haji melalui proses anamnesis subjek penelitian, laporan dokter kloter, dan melihat catatan di buku kesehatan haji. Hubungan antara dua variabel dan risiko relatif ditentukan dengan uji Chi-Square. Hasil : Terdapat 60 orang subjek penelitian PPOK yang diambil secara konsekutif dari data sekunder. Ada 35 (58,3%) subjek penelitian yang mengalami PPOK eksaserbasi akut, dan dari keseluruhan eksaserbasi akut ada 5 orang (14,2%) yang rawat inap. Rentang indeks BODE dari 0-6. Subjek penelitian dengan indeks BODE 0-2 berjumlah 48 orang (80%), indeks BODE 3-4 ada 6 orang (10%) dan indeks BODE 5-6 ada 6 orang (10%). Uji Chi Square dengan Fisher Exact Test antara kelompok risiko rendah (indeks BODE 0-3) dengan risiko tinggi (indeks BODE >3) didapatkan p =0,009 dengan RR 1,9 (IK 1,4-2,5) Simpulan : Rentang Indeks BODE pada jemaah haji PPOK adalah 0-6 dimana Jemaah haji PPOK dengan indeks BODE >3 memiliki risiko eksaserbasi akut 1,9 kali lebih tinggi dibandingkan dengan jemaah haji PPOK dengan indeks BODE 03. Kata Kunci : BODE, Haji, PPOK Eksaserbasi Akut.
x Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014
ABSTRACT Name Study Program Title
: Hadiki Habib : Internal Medicine :The Association Between BODE Index and Incidence of Acute Exacerbation COPD in Hajj Pilgrims
Background: Incidence of acute exacerbation of Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) increase in pilgrims during the hajj period. Early diagnosis and grading of COPD before hajj is important to start treatment and reduce risk of acute exacerbation. BODE index (Body mass, Obstruction, Dyspnoe, Exercise) is one of multidimensional grading system to predict risk of acute exacerbation COPD. This research was intend to find association between BODE index and incidence of acute exacerbation of COPD in hajj pilgrims Methods: This is a retrospective cohort study among COPD hajj pilgrims year 2012 from Jakarta. BODE index was calculated from medical record. Medical record was obtained by screening process of COPD among hajj pilgrims 24 hours before flight. Exacerbation was determined immediately after arrival through history taking and examination of subject, interview of the physician in charge of the flight group (kloter), and analyzed record from personal hajj book. Association between two variables and the relative risk were calculated by ChiSquare test or Fisher Exact test. Results: Sixty COPD subjects with complete BODE index data were identified and subsequently recruited. Thirty five subjects (58,3%) suffered from acute exacerbation of COPD. Of all exacerbation, there were 5 subjects (14,2%) who were hospitalized. BODE index range from 0-6, 48 subjects (80%) had BODE index 0-2, 6 subjects (10%) had BODE index 3-4, and 6 subjects (10%) had BODE index 5-6. Fisher Exact Test result between low risk group (BODE index 0-3) and high risk (BODE index >3) is p = 0,009, relative risk 1,9 (CI 1,4-2,5) Conclusion: The range of BODE index among COPD hajj pilgrims is 0-6; COPD hajj pilgrims with BODE index > 3 have significant higher risk of acute exacerbation of COPD 1,9 times compared with BODE index 0-3. Key Words : Acute Exacerbation of COPD, BODE, Hajj
xi Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL…………………………………………………. SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME…………………. HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS…………………….. LEMBAR PENGESAHAN…………………………………………... LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI………………………………. UCAPAN TERIMA KASIH…………………………………………. HALAMAN PERYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS………….. ABSTRAK……………………………………………………............. ABSTRACT…………………………………………………………... DAFTAR ISI ......................................................................................... DAFTAR TABEL ................................................................................. DAFTAR GAMBAR ............................................................................. DAFTAR TANDA DAN SINGKATAN……………………………... BAB 1 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6 BAB 2 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6 2.7 2.8 BAB 3 3.1 3.2
PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian................................................ Rumusan Masalah .......................................................... Pertanyaan Penelitian………………………………….. Hipotesis Penelitian……………………………………. Tujuan Penelitian ............................................................ Manfaat Penelitian .......................................................... TINJAUAN PUSTAKA Definisi dan Klasifikasi.................................................... PPOK Eksaserbasi Akut.................................................. Skrining PPOK…………………………........................ Epidemiologi …………………………………………... Indeks BODE Sebagai Prediktor Eksaserbasi Akut........ Pemantauan Eksaserbasi Akut......................................... Deskripsi Aktivitas Haji………………........................... Kerangka Teori ................................................................ KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL Kerangka Konsep ............................................................ Definisi Operasional ........................................................
BAB 4 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6 4.7 4.8 4.9
METODE PENELITIAN Desain Penelitian ............................................................. Tempat dan Waktu Penelitian ......................................... Populasi dan Sampel Penelitian ...................................... Besar Sampel…………………………………………… Kriteria Penerimaan Sampel… ........................................ Identifikasi Variabel Penelitian........................................ Cara Pengambilan Sampel................................................ Cara Penentuan Indeks BODE ...………………………. Cara Penentuan PPOK Eksaserbasi Akut………………
i ii iii iv v vi ix x xi xii xiv xv xvi
1 3 4 4 4 4 5 6 7 8 9 12 14 16 17 18
19 19 19 19 20 20 20 20 21
xii Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
4.10 Alur Pengumpulan Data Sekunder...…………………… 4.11 Pengolahan dan Analisis Data…………………………. 4.12 Etika Penelitian………………………………………... BAB 5 HASIL PENELITIAN 5.1 Karakteristik Subjek Penelitian...................................... 5.2 Karakteristik Eksaserbasi Akut…………….................. 5.3 Penilaian Indeks BODE…………................................. BAB 6 PEMBAHASAN 6.1 Karakteristik Subjek Penelitian...................................... 6.2 PPOK Eksaserbasi Akut………………………………. 6.3 Proporsi Keparahan PPOK Eksaserbasi Akut………… 6.4 Karakteristik Indeks BODE..…………………………. 6.5 Indeks BODE dan Tatalaksana PPOK..………………. 6.6 Kelebihan dan Keterbatasan Penelitian……………….. Generalisasi Hasil Penelitian………………………….. 6.7 BAB 7 SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan.......................................................................... 7.2 Saran…………………………………………………… RINGKASAN…………………………………………………………. SUMMARY…………………………………………………………… DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ LAMPIRAN............................................................................................ Lampiran 1 Proses skiring penelitian Divisi Pulmonologi IPD FKUI/RSCM………………………………… Lampiran 2 Proses Skrining Jemaah Haji PPOK dan PemilihanSubjek Penelitian…………………………………. … Lampiran 3 Kuesioner Penelitian ……………………………… Lampiran 4 Standar Etik dan Aspek Legal……………………… Lampiran 5 Formulir Penelitian………………………………. . Lampiran 6 Etik Penelitian………………………………………
21 22 22 24 25 26 29 31 32 33 37 40 40 42 42 44 45 46 50 50 52 53 55 56 59
xiii Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Tabel 2.2. Tabel 2.3. Tabel 2.4. Tabel 2.5. Tabel 2.6.
Tabel 2.7. Tabel 3.1. Tabel 5.1. Tabel 5.2. Tabel 5.3 Tabel 5.4. Tabel 5.5. Tabel 6.1.
Kriteria GOLD Berdasarkan Tingkat Keparahan Hambatan Saluran Nafas pada PPOK…………………………………… Beberapa Penelitian Deteksi Dini PPOK dengan Spirometri… Indeks BODE……………………………………………........ Skor mMRC………………….................................................. Hubungan Antara Kuartil Indeks BODE Dengan Mortalitas dan Eksaserbasi…………………………………… Hasil Metaanalisis oleh Seemugal Terhadap Penelitian PPOK yang Memantau Kejadian Eksaserbasi Akut 30 Tahun Terakhir……………………………………………. Penelitian Kohort PPOK Dalam 10 Tahun Terakhir Yang Memantau Eksaserbasi Akut…………………………… Definisi Operasional, Cara Pengukuran, dan Skala Variabel Penelitian………………….. ………………… Karakteristik Subjek Penelitian..……………………………… Karakteristik Eksaserbasi Akut………………..…………….. Karakteristik Indeks BODE………………………………….. Hubungan Antara Kejadian Eksaserbasi Akut Dengan Interval Indeks BODE… ……………………………………. Hubungan Antara Derajat Eksaserbasi Akut Dengan Interval Indeks BODE…………………………………………………. Komparasi Penelitian Yang Menilai Hubungan Antara Indeks BODE dan PPOK Eksaserbasi Akut…………………………..
6 8 10 10 11
13 14 18 26 27 28 29 29 35
xiv Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Gambar 3.1. Gambar 4.1. Gambar 6.1. Gambar 6.2.
KerangkaTeori…..……....................................................... Kerangka Konsep…………………………….................... Alur Pengumpulan Data Sekunder…..………….……….. Rerata Indeks BODE dari Beberapa Penelitian…..………. Langkah Stratifikasi PPOK Dengan Menggunakan Indeks BODE……………………………………………………..
16 17 23 37 38
xv Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
DAFTAR TANDA DAN SINGKATAN
AIDS ATS BB CHF CI COPD CT Scan DM tipe 2 DKI FEV1 FEV1% FKUI FVC GOLD IK IPD IMT LABA mMRC N PJK PPDS PPOK Risti RR RSCM SABA SISKOHAT TB TB Paru WHO > > < <
Acquired Immunodeficiency Syndrome American Thoracic Society Berat Badan Congestive Heart Failure Confident Interval Chronic Obstructive Pulmonary Disease Computed Tomography Scan Diabetes Mellitus tipe 2 Daerah Khusus Ibukota Forced Expiratory Volume in 1 second Forced Expiratory Volume in 1 second percent Prediction Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Forced Vital Capacity Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease Interval Kepercayaan Ilmu Penyakit Dalam Indeks Massa Tubuh Long Acting β2 Agonist Modified Medical Research Council Jumlah Penyakit Jantung Koroner Program Pendidikan Dokter Spesialis Penyakit Paru Obstruktif Kronis Risiko tinggi Relative Risk Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Short Acting β2 Agonist Sistim Komputerisasi Haji Terpadu Tinggi Badan Tuberkulosis Paru World Health Organization Lebih dari Lebih dari atau sama dengan Kurang dari Kurang dari atau sama dengan
xvi Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Penelitian
Ibadah haji menciptakan suatu lingkungan yang unik, dimana setahun sekali jutaan orang dari berbagai daerah dan latar belakang budaya berkumpul di Mekah, Saudi Arabia. Jemaah haji Indonesia juga melakukan kunjungan ke kota Madinah sehingga total ada 40 hari perjalanan.1, 2 Tahun 2012 terdapat 3,1 juta orang yang melakukan ibadah haji dan 212.111 orang berasal dari Indonesia.1,
2
Kepadatan
populasi saat periode haji, perbedaan cuaca dari negeri asal, latar belakang kesehatan
jemaah,
perbedaan
kebiasaan,
dan
aktivitas
fisik
yang
berkesinambungan dapat menimbulkan berbagai masalah kesehatan dan menjadi tantangan di bidang kedokteran. Meski eksaserbasi Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) hanya menduduki peringkat kedua penyebab mortalitas pada jemaah haji Indonesia (12,3%) sedangkan penyakit jantung koroner ada di peringkat pertama (25,4%) namun penyakit saluran napas menjadi penyebab morbiditas terbanyak.3, 4 Infeksi saluran napas merupakan penyebab sepsis, syok sepsis dan perawatan intensif terbanyak pada jemaah haji, dan komorbid terbesar (70%) adalah penyakit paru kronik. 5, 6 Tahun 2002 Al Ghamdi melaporkan bahwa insiden PPOK eksaserbasi akut pada jemaah haji sebesar 14,4%.7 Data dari Kementrian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2010 dan 2012 menunjukkan angka perawatan jemaah haji dengan PPOK sebesar 7,21% dan 6%.2 Sedangkan tahun 2011 Sakti melaporkan insiden PPOK eksaserbasi akut
pada jemaah haji Indonesia asal Embarkasi Pondok Gede
sebesar 33,3%.8 Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) adalah penyebab kematian terbanyak keempat diseluruh dunia.9 Prevalensi PPOK pada individu yang tidak merokok adalah 3-11% dan mencapai 80% pada individu yang merokok.9 Studi menunjukkan
mortalitas
PPOK
berkisar
4,4/100.000
penduduk
sampai
130,5/100.000 penduduk.10 Eksaserbasi akut merupakan penyebab utama
1
Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
2
morbiditas dan mortalitas penderita PPOK dan lebih lanjut akan menyebabkan penurunan fungsi paru dan kualitas hidup.11 Telah banyak dibuktikan bahwa kriteria Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) berupa derajat obstruksi saluran napas dengan menggunakan volume ekspirasi paksa detik pertama (Forced Expiratory Volume 1/FEV1) tidak mampu menggambarkan status kesehatan penderita PPOK.9,
12-15
Sebab inflamasi kronis yang terjadi pada penderita PPOK menimbulkan manifestasi sistemik diluar saluran napas.12 Oleh karena itu dikembangkan berbagai sistim stratifikasi multidimensional untuk menilai status kesehatan penderita PPOK secara komprehensif.13 Salah satu stratifikasi multidimensional tersebut adalah indeks BODE yang diperkenalkan oleh Celli dan kawan-kawan tahun 2004.14 BODE merupakan singkatan dari Body mass Index (B), degree of obstruction (O), Dyspnea (D), dan Exercise capacity(E).14 Awalnya indeks ini digunakan untuk memprediksi risiko mortalitas dalam waktu 52 bulan dan terbukti lebih sensitif dibandingkan kriteria GOLD.14, 15 Studi lanjutan terhadap indeks BODE membuktikan bahwa alat ukur ini juga lebih sensitif memprediksi eksaserbasi akut dan risiko rawat inap,16-19 perubahan nilainya sesuai dengan perubahan status fungsional, progresivitas penyakit dan kualitas hidup, serta sesuai dengan derajat kerusakan jaringan paru akibat PPOK,17, 18, 20, 21 dan mempunyai hubungan yang bermakna dengan gejala cemas dan depresi pada penderita PPOK.22 Stratifikasi multidimensional menandai pergeseran paradigma yang paling menonjol dalam tatalaksana PPOK yaitu pertama, memandang PPOK sebagai penyakit dengan dampak sistemik dan menjadikan perbaikan kualitas hidup sebagai target pengobatan,9,
23
kedua, karena PPOK adalah penyakit kronik dan
progresif, maka observasi ’kejar bola’ perlu dilakukan, yaitu tidak hanya menunggu pasien PPOK datang untuk kontrol, tapi mendatangi komunitas dimana penderita PPOK ada, sehingga tindakan preventif lebih mungkin dilakukan.24, 25 Selain penelitian klinis berbasis rumah sakit yang banyak mendapatkan pasien PPOK dengan derajat obstruksi sedang dan berat, penelitian di komunitas juga Universitas Indonesia
Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014
3
sudah pernah dilakukan dengan tujuan yang berbeda-beda. Penelitian PPOK pada kelompok pekerja usia dewasa dan usia lanjut di Amerika Serikat dilakukan untuk mengetahui dampak PPOK dan eksaserbasi terhadap kualitas pekerjaan dan biaya yang habis untuk layanan kesehatan.26,
27
Sedangkan penelitian PPOK pada
kelompok pensiunan di Amerika Serikat dilakukan untuk mengetahui berapa besar uang yang terpakai untuk mengelola penyakit ini.28 Melaksanakan penelitian risiko PPOK eksaserbasi akut pada kelompok khusus seperti jemaah haji kami anggap penting karena beberapa hal yaitu penelitian pendahuluan yang dilakukan Sakti A menunjukkan risiko eksaserbasi yang besar (33.3 %) pada jemaah haji PPOK,8 belum ada penelitian yang sama sebelumnya, kondisi yang terjadi saat ibadah haji berpotensi memicu masalah saluran napas,7 dan manajemen kesehatan jemaah haji risiko tinggi perlu ditingkatkan dari tahunke tahun.2 Berdasarkan data kejadian PPOK eksaserbasi akut yang tinggi pada jemaah haji, maka sebelum berangkat haji perlu persiapan berupa deteksi, stratifikasi risiko dan tatalaksana, sehingga kejadian eksaserbasi akut dan kematian bisa dicegah dan aktivitas haji menjadi optimal. Saat ini belum ada penelitian yang menilai status kesehatan jemaah haji PPOK secara
multidimensional,
oleh
karena
itu
dilakukan
penelitian
dengan
menggunakan indeks BODE untuk menilai status kesehatan jemaah haji penderita PPOK dan hubungannya dengan risiko PPOK eksaserbasi akut. Indeks BODE dipilih karena merupakan prediktor yang baik untuk mortalitas dan eksaserbasi akut pada penderita PPOK, menggambarkan kondisi penderita PPOK secara multidimensional, terdiri atas penilaian secara subjektif dan objektif. 1.2.
Rumusan Masalah 1. Kejadian PPOK eksaserbasi akut pada Jemaah Haji Indonesia cukup tinggi, hal ini akan berdampak terhadap kelancaran pelaksanaan ibadah haji, meningkatkan angka kesakitan dan risiko kematian saat ibadah haji 2. Belum ada penelitian yang menilai hubungan antara indeks BODE dengan kejadian PPOK eksaserbasi akut pada jemaah haji. Universitas Indonesia
Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014
4
1.3.
Pertanyaan Penelitian
Bagaimana hubungan antara indeks BODE dengan kejadian PPOK eksaserbasi akut pada jemaah haji? Hipotesis Penelitian
1.4.
Ada hubungan antara indeks BODE dengan kejadian PPOK eksaserbasi akut pada jemaah haji dimana semakin tinggi indeks BODE maka semakin tinggi probabilitas PPOK eksaserbasi akut pada jemaah haji. 1.5.Tujuan Penelitian 1.5.1. Tujuan Umum Mengetahui hubungan antara indeks BODE dengan kejadian PPOK eksaserbasi akut pada jemaah haji 15.2. Tujuan Khusus 1. Mengetahui hubungan antara indeks BODE dengan frekuensi PPOK eksaserbasi akut pada jemaah haji 2. Mengetahui hubungan antara indeks BODE dengan derajat PPOK eksaserbasi akut pada jemaah haji 1.6.Manfaat Penelitian Manfaat akademis : menambah wawasan mengenai gambaran status kesehatan jemaah haji PPOK yang ditampilkan melalui indeks BODE serta peran indeks BODE untuk memprediksi PPOK eksaserbasi akut pada jemaah haji. Manfaat pelayanan : Sebagai dasar untuk menetapkan status kesehatan dan stratifikasi risiko kesakitan dan kematian pada calon jemaah haji PPOK dan diharapkan dapat dilanjutkan dengan menurunkan kejadian PPOK eksaserbasi akut, menurunkan angka kematian dan biaya perawatan jemaah haji yang sakit akibat eksaserbasi akut. Manfaat ilmiah
: Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar
penelitian lebih lanjut untuk menentukan sistim stratifikasi yang lebih paripurna terhadap kesehatan calon jemaah haji dan intervensi yang efektif untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas calon jemaah haji. Universitas Indonesia
Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Definisi dan Klasifikasi
Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) adalah penyakit yang dapat dicegah dan diobati, ditandai dengan adanya hambatan saluran napas menetap dan progresif akibat proses inflamasi kronis di saluran napas dan jaringan paru, proses ini dipicu oleh partikel atau gas yang merusak.9, 29 Diagnosis PPOK ditegakkan berdasarkan anamnesis keluhan berulang sesak napas yang progresif, batuk, dan produksi sputum, adanya riwayat paparan kronik terhadap faktor risiko seperti merokok, gas pabrik atau kenderaan bermotor, dan hasil pemeriksaan spirometri yang menunjukkan kadar FEV1 dibandingkan dengan Forced Vital Capacity (FVC) kurang dari 0,7.9 Untuk mendiagnosis PPOK, maka sebelum tindakan spirometri, pasien diberikan inhalasi Beta 2 Agonis. Tujuan pemberian inhalasi ini adalah untuk menyingkirkan kemungkinan asma. Apabila terdapat perbedaan nilai FEV1 sebelum pemberian bronkodilator sebesar ≥15 % atau ≥ 200 ml, maka pasien lebih sesuai dengan asma.9 Namun dalam praktik sehari-hari maupun ketika melakukan skrining pada orang dengan jumlah banyak, pemberian bronkodilator akan menghabiskan banyak waktu. Tinkelman tahun 2006 melakukan penelitian berupa spirometri pada pasien-pasien yang didiagnosis mengalami asma dan bronkitis kronis oleh dokter di layanan kesehatan primer. Pemeriksaan spirometri pada 597 pasien menunjukkan bahwa ternyata 235 orang (39,4%) sesuai dengan PPOK. Dari pasien yang hasil spirometrinya sesuai dengan PPOK, ternyata 121 orang (51,5%) sebelumnya didiagnosis asma, 89 orang (37,9%) sebelumnya didiagnosis bronkitis kronis dan ada 25 orang (10,6%) tidak didiagnosis penyakit paru obstruktif.30 Fakta ini menunjukkan bahwa gejala sesak napas yang selama ini sering secara klinis dianggap asma, ternyata secara spirometri sudah sesuai dengan kriteria PPOK. Berdasarkan pertimbangan praktis dan hasil penelitian Tinkelman, maka penelitian kali ini tidak menggunakan bronkodilator sebelum spirometri, dengan 5
Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
6
catatan, diagnosis asma menjadi kriteria eksklusi. Kecurigaan asma berdasarkan anamnesis berupa keluhan sesak napas yang bersifat periodik dan sudah muncul di usia muda (kurang dari 40 tahun) serta ada riwayat alergi.9 Keuntungan diagnosis PPOK dengan cara ini adalah proses skrining jadi lebih cepat, dan risiko misdiagnosis PPOK yang dianggap asma rendah, namun kerugiannya adalah penderita dengan asma yang sudah mengalami obstruksi kronis tidak terjaring dalam proses skrining. Setelah diagnosis ditegakkan, langkah selanjutnya adalah menentukan tingkat keparahan PPOK. Sesuai dengan kriteria GOLD, tingkat keparahan PPOK ditentukan berdasarkan derajat obstruksi saluran napas (tabel 2.1) Tabel 2.1. Kriteria GOLD Berdasarkan Tingkat Keparahan Hambatan Saluran Napas pada PPOK.9, 29
2.2.
Derajat keparahan
FEV1 % prediksi
PPOK ringan
>80
PPOK sedang
50-80
PPOK berat
30-50
PPOK sangat berat
<30
PPOK Eksaserbasi Akut
Progresifitas PPOK ditandai dengan adanya kejadian eksaserbasi akut. Eksaserbasi akut adalah kondisi yang ditandai dengan keluhan saluran napas yang memberat dibandingkan kondisi sehari-hari dan membutuhkan pengobatan tambahan selain obat rutin.9 Anthonisen tahun 1987 memberikan tiga kriteria eksaserbasi akut, yaitu keluhan sesak napas yang bertambah, produksi sputum yang bertambah, dan purulensi sputum yang bertambah.31,
32
Rodriquez-Roisin
menjelaskan lebih lanjut bahwa eksaserbasi PPOK terjadi apabila ada keluhan saluran napas yang memburuk minimal 2 hari disertai adanya kunjungan ke dokter untuk pengobatan atau kunjungan ke rumah sakit untuk perawatan, atau adanya perubahan pengobatan seperti penambahan terapi antibiotik dan dosis steroid.33
Universitas Indonesia
Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014
7
American Thoracic Society (ATS) membagi tiga derajat eksaserbasi akut, derajat 1 yaitu eksaserbasi yang dapat rawat jalan, derajat 2 yaitu eksaserbasi yang harus rawat inap, dan derajat 3 yaitu eksaserbasi dengan ancaman gagal napas dan harus dirawat intensif.34 Kejadian eksaserbasi akut akan berdampak pada penurunan kualitas hidup secara drastis, penurunan signifikan fungsi paru, meningkatkan risiko mortalitas, dan menambah beban sosioekonomi.9 Risiko terjadinya eksaserbasi akut akan meningkat seiring dengan meningkatnya derajat obstruksi saluran napas.9 Selain itu, riwayat kejadian eksaserbasi sebelumnya, kepatuhan berobat, usia tua, indeks massa tubuh yang rendah, sedikit aktivitas fisik, aktivitas merokok, dan tidak vaksinasi influenza dapat meningkatkan risiko eksaserbasi akut.35, 36 2.3.
Skrining PPOK
Kapan sebaiknya skrining PPOK dimulai masih menjadi perdebatan. Pemeriksaan spirometri dianjurkan untuk individu yang memiliki faktor risiko yaitu paparan kronik terhadap gas iritan dan memiliki gejala saluran napas.9 Namun sebagian besar penelitian pada PPOK mengambil sampel berupa pasien yang sudah didiagnosis PPOK di rumah sakit atau klinik. Salah satu penelitian yang mengambil sampel dari komunitas adalah OLIN study.37 Studi kohort observasional ini dilaksanakan di Swedia mulai tahun 1986, dengan entry point subjek yang di spirometri adalah adanya keluhan saluran napas kronik. Dari studi ini, ada 1.506 partisipan yang di spirometri dan 266 orang (17%) hasilnya sesuai dengan PPOK.37 Studi Tinkelman di layanan kesehatan primer yang memeriksa 818 pasien mampu menemukan 18,9% penderita PPOK yang sebelumnya tidak pernah terdiagnosis, dimana 57,4% adalah PPOK ringan, 36,8% PPOK moderat, dan 5,8% PPOK berat.38 Pada tabel 2.2 terdapat beberapa penelitian yang berusaha melakukan skrining PPOK dengan berbagai kriteria skrining dan latar belakang pengambilan sampel.
Universitas Indonesia
Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014
8
Tabel 2.2. Beberapa Penelitian Deteksi Dini PPOK Dengan Spirometri Studi
Kriteria skrining
Tinkelman et (Amerika Serikat)38
al
Ichinose et al (Jepang, 2007)39
Mosharraf-Hossain et al (Bangladesh,2009)40 Sakti A (Indonesia 2011)8
2.4.
Usia ≥ 40 tahun Perokok Baru berhenti merokok (tidak dijelaskan berapa lama) subjek dari klinik Usia ≥ 45 tahun Perokok Memiliki gejala saluran napas subjek di komunitas Pasien kontrol di bagian respirasi Calon jemaah haji yang perokok dan mantan perokok
Kriteria PPOK GOLD
Jumlah sampel 818 orang
Hasil PPOK 18,9%
GOLD
400 orang
52 %
GOLD
400 orang
12,5%
GOLD
425 orang
0,2%
Epidemiologi
Laporan dari GOLD tahun 2013 menyatakan bahwa PPOK adalah penyebab kematian ke empat terbesar di dunia.9 Prevalensi PPOK semakin meningkat terutama akibat makin banyak paparan terhadap partikel yang merusak dan meningkatnya proporsi penduduk usia lanjut.9, 29 Prevalensi PPOK barvariasi di tiap negara. Studi epidemiologi di kanada menunjukkan prevalensi PPOK 4,4% di usia 35 tahun atau lebih.41 Sementara itu di Spanyol prevalensi PPOK di usia 40-69 tahun ada 9,1%.42 Studi Inggris menyatakan prevalensi PPOK 3-10% dari seluruh populasi.43 Penelitian dari COPD Working Group tahun 2008 menyebutkan prevalensi PPOK di Indonesia ada 5,6%.10 Hasil survey berbasis rumah sakit oleh Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Menular dan Pengelolaan Lingkungan di 5 propinsi (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, dan Sumatera Selatan) tahun 2004 menunjukkan bahwa di bidang saluran napas, PPOK adalah penyumbang pertama angka kesakitan (35%), diikuti asma bronkial (33%) kanker paru (30%) dan lainnya (2%).44 Morbiditas yang ditimbulkan akibat PPOK akan menurunkan kualitas hidup penderita,20 menurunkan produktivitas dan meningkatkan biaya pemeliharaan kesehatan dan penanganan eksaserbasi.45 Penderita PPOK dapat mengalami eksaserbasi akut rata-rata 1-3 kali dalam setahun, angka mortalitas akibat eksaserbasi berkisar 4%-30%.46 Universitas Indonesia
Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014
9
2.5.
Indeks BODE Sebagai Prediktor Eksaserbasi Akut
Telah diketahui bahwa PPOK, selain memengaruhi fungsi dan anatomi dari saluran napas besar, saluran napas kecil dan parenkim paru, juga memiliki efek sistemik.29 Efek sistemik dapat timbul akibat inflamasi kronik, faktor risiko PPOK seperti merokok, dan pengaruh steroid sebagai pengobatan PPOK.9, 29 Kelemahan otot akan timbul pada penderita PPOK yang sering mengalami eksaserbasi akut akibat terbatasnya aktivitas fisik.47 Inflamasi kronik akan menurunkan indeks massa tubuh dan meningkatkan risiko eksaserbasi.9, 14, 29 Selain komplikasi, PPOK sering disertai dengan komorbid penyakit kardiovaskular, osteoporosis, sindrom metabolik, depresi dan kanker paru.9 Resultan dari semua masalah ini adalah kualitas hidup yang rendah.9, 20 Berdasarkan penjelasan di atas, derajat keparahan PPOK dengan menggunakan kriteria GOLD tidak menggambarkan manifestasi ekstra paru dan kualitas hidup penderita PPOK.9,14 oleh karena itu dikembangkan berbagai metode untuk memprediksi prognosis penderita PPOK, baik dengan menentukan penanda biologis, maupun dengan penilaian fenotip penderita PPOK. Tahun 2004 Celli dan kawan-kawan memperkenalkan indeks BODE sebagai prediktor mortalitas pada penderita PPOK.14 (tabel2.3). Indeks BODE merupakan kriteria yang bernilai 0 sampai 10. Variabel dalam indeks BODE didapatkan setelah mengevaluasi 14 variabel yang dianggap berperan sebagai prediktor mortalitas PPOK, sampai akhirnya didapatkan 4 komponen yang paling bermakna. Variabel yang dinilai adalah persentasi FEV1 prediksi, Uji jalan 6 menit (Six Minute Walking Distance Test/6MWDT), derajat sesak napas yang dinilai dengan skala sesak napas modified Medical Research Council (mMRC), dan indeks massa tubuh (IMT).
Tabel 2.3. Indeks BODE Variabel FEV1 prediksi (%) Uji jalan 6 menit (meter) Skala mMRC Indeks massa tubuh
Nilai 0 ≥ 65 ≥ 350 0-1 >21
1 50-64 250-349 2 ≤ 21
2 36-49 150-249 3
3 ≤35 ≤ 149 4
Universitas Indonesia
Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014
10
SkormMRC yang dipakai sesuai dengan tabel 2.4
Tabel 2.4. Skor mMRC Skor 0 1 2
3 4
Keterangan Sesak napas timbul bila beraktivitas berat Sesak napas bila berjalan cepat atau jalan menanjak Berjalan lebih lambat dari orang lain yang berumur sama akibat sesak napas, atau harus berhenti berjalan karena sesak napas ketika berjalan biasa Berhenti berjalan karena sesak napas setelah berjalan 100 meter atau setelah berjalan beberapa menit dengan kecepatan biasa Terlalu sesak napas untuk berjalan keluar rumah atau sesak napas saat berpakaian
Penilaian dengan indeks BODE mewakili kondisi penderita PPOK karena menilai secara objektif derajat kerusakan saluran napas (FEV1% prediksi), menilai subjektivitas pasien (skala mMRC), dan mengevaluasi kondisi sistemik dengan uji jalan 6 menit dan indeks massa tubuh.14 Indeks ini juga mudah untuk dinilai (skala 0-10) tanpa ada perhitungan khusus dan tiap variabel mudah dievaluasi tanpa membutuhkan alat khusus selain spirometri.14 Celli dan kawan-kawan juga membuktikan bahwa indeks BODE adalah prediktor mortalitas yang lebih baik dibandingkan dengan kriteria GOLD.14,15 Skor BODE dikelompokkan kedalam empat kuartil (tabel 2.5), skor 0-2 memiliki risiko mortalitas 20% dalam jangka waktu 52 bulan, skor 3-4 risiko mortalitas 60% dalam jangka waktu 52 bulan, skor 5-6 memiliki risiko mortalitas 70% dalam waktu 52 bulan dan skor 7-10 memiliki risiko mortalitas 80%.14
Tabel 2.5. Hubungan Antara Kuartil Indeks BODE dengan Mortalitas dan Eksaserbasi Kuartil
Indeks
Mortalitas Hospitalisasi 52 bulan (1 tahun)
Kuartil 1 Kuartil 2
0-2 3-4
20% 60%
1 1,94
Kuartil 3
5-6
70%
0,3
Kuartil 4
7-10
80%
4,18
Universitas Indonesia
Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014
11
Penelitian-penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa ada korelasi antara indeks BODE dengan gejala depresi dan cemas pada penderita PPOK.22 Indeks BODE berhubungan dengan eksaserbasi akut PPOK dan angka rawat inap dan saturasi oksigen yang lebih rendah.16,21,48 Perubahan indeks dapat menentukan progresifitas PPOK,21,33 berkorelasi dengan derajat kerusakan paru yang dinilai dengan Computed Tomography (CT) scan,49 memprediksi penurunan kualitas hidup,20,50 dan dapat digunakan untuk evaluasi respon rehabilitasi paru dan terapi Long Acting Beta 2 Agonist (LABA).51, 52 Perbandingan dengan klasifikasi multidimensional lain seperti ADO (Age, Dyspnea, Obstruction) dan pemeriksaan biomarker menunjukkan Indeks BODE lebih superior dan sederhana,49,
53,54
dan memiliki nilai prediksi kualitas hidup
yang sama dengan skala subjektif seperti skor COPD Assessment Test (CAT) dan COPD Severity Score (CSS).55, 56 Beberapa penelitian mencoba mengganti alat ukur variabel Indeks BODE, seperti mengganti skala mMRC dengan skala lain49 dan mengganti uji jalan 6 menit dengan kuesioner riwayat eksaserbasi15 namun tidak ada peningkatan sensitivitas prediksi, sehingga BODE indeks yang konvensional masih dijadikan patokan karena sudah divalidasi.14 Aktivitas
fisik
dapat
mencerminkan
kapasitas
pernapasan
dan
sistim
kardiovaskular. Gangguan kronik dalam sistim pernapasan dapat menurunkan kemampuan ambilan oksigen puncak, dan nilai oksigen puncak ini memiliki korelasi yang kuat dengan kemampuan subjek dalam melaksanakan uji latih kardiopulmonal.17 Uji Jalan 6 menit sudah direkomendasikan oleh American Thoracic Society (ATS) untuk menilai secara objektif kapasitas fungsional pasien dengan penyakit paru.57 Uji jalan 6 menit dianggap lebih aman, lebih efisien, lebih praktis dan lebih representatif menggambarkan aktivitas sehari-hari dibandingkan dengan uji jalan yang lain.57 Standar nilai uji jalan pada individu yang sehat adalah 400 meter sampai 700 meter.58 Cara melakukan uji jalan adalah pasien diminta berjalan sendiri dengan santai tanpa membawa barang-barang dalam lintasan lurus, dengan panjang lintasan Universitas Indonesia
Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014
12
sebaiknya 30 meter, namun tidak ada rekomendasi khusus dari ATS. Pasien juga tidak boleh diikuti berjalan dari belakang, atau diberikan dorongan kata-kata untuk berjalan. Apabila dalam uji jalan pasien merasa lelah, diperbolehkan berhenti atau melambatkan langkah, namun waktu yang terpakai tetap diukur sampai 6 menit berakhir.58 2.6.
Pemantauan PPOK Eksaserbasi Akut
Studi ECLIPSE tahun 2010 menunjukkan bahwa prediktor terbaik eksaserbasi akut pada penderita PPOK adalah riwayat eksaserbasi sebelumnya.59 Data ini menunjukkan peran anamnesis sangat penting untuk mengetahui apakah seorang penderita memiliki risiko eksaserbasi dengan frekuensi yang lebih tinggi atau tidak, namun kelemahannya adalah untuk penderita yang baru didiagnosis PPOK, belum dijelaskan definisi eksaserbasi sehingga belum bisa mengenali apakah dirinya mengalami eksaserbasi akut atau tidak. Dalam penelitian kohort observasional yang bertujuan menilai eksaserbasi akut, terdapat berbagai cara pemantauan. Meta analisis dari Seemugal mengumpulkan 9 penelitian kohort observasional dalam 3 dekade terakhir menunjukkan cara pemantauan eksaserbasi yang berbeda-beda, mulai dari menanyakan keluhan pasien melalui telepon secara berkala, meminta pasien mengisi buku diari eksaserbasi, atau melakukan kunjungan langsung secara berkala (Tabel2.6).60 Dari meta analisis Seemugal disimpulkan bahwa evaluasi frekuensi PPOK dengan anamnesis riwayat eksaserbasi akan lebih banyak menimbulkan recall bias. Usaha pencatatan dengan kartu diari juga tidak memperbaiki ketepatan pelaporan karena komplians yang rendah. Evaluasi pasien dengan cara kunjungan aktif lebih mampu mendeteksi ada tidaknya eksaserbasi.60,61
Universitas Indonesia
Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014
13
Tabel 2.6. Hasil Metaanalisis oleh Seemugal Terhadap Penelitian PPOK yang Memantau Kejadian Eksaserbasi Akut 30 Tahun Terakhir Penelitian
Negara
Sampel (orang)
Evaluasi (tahun)
Jenis pasien
Frekuensi eksaserbasi/tahun
Monto
Amerika Serikat
142
1
2,33
Fletcher
Inggris
792
8
PPOK dan bronchitis kronis Tidak dipilih
Anthonisen
Canada
173
3.5
PPOK
1,3
Kanner
Amerika Serikat
84
4
Campuran
0,34
Seemungal Seemungal TORCH
Inggris Inggris Multisenter
70 101 6.112
1 2.5 3
PPOK PPOK PPOK
3 2.5 1,13
INSPIRE UPLIFT
Eropa Multisenter
1.323 5.993
2 4
PPOK PPOK
1,3 0,85
2,34
Cara tindak lanjut Telepon tiap minggu Kunjungan tiap 6 bulan Kunjungan tiap 3 bulan Telepon tiap minggu Kartu diari Kartu diari Kunjungan tiap 3 bulan Kartu diari Kunjungan tiap 3 bulan
Penelitian kohort pada penderita PPOK dalam 10 tahun terakhir sudah menggunakan kunjungan aktif atau pencatatan rekam medik saat ke dokter atau rumah sakit untuk mendeteksi adanya eksaserbasi (Tabel 2.7)
Universitas Indonesia
Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014
14
Tabel2.7. Penelitian Kohort PPOK Dalam 10 Tahun Terakhir yang Memantau Eksaserbasi Akut (selain dari metaanalisis Seemugal) No
Penelitian
1.
Hurst JR et al, ECLIPSE Study, 201059
2.
Cote et al, 200733
205
3.
Celli et al, 200414
207
4.
Bu et al, SIngapura, 201121
56
5.
Ong et al, Singapura, 200516
120
2.7.
Jumlah sampel 2138
Kriteria Inklusi Usia 40-75 tahun Merokok ≥10 bungkus /tahun minimal 1 tahun FEV1/FVC post bronkodilator ≤0,7 Usia 40-84 tahun Merokok ≥ 20 bungkus /tahun minimal 1 tahun FEV1/FVC post bronkodilator <0,7 Usia 40-75 Merokok ≥10 bungkus /tahun minimal 1 tahun FEV1/FVC post bronkodilator ≤0,7 Usia ≥ 40 tahun Merokok ≥10 bungkus /tahun minimal 1 tahun FEV1/FVC post bronkodilator ≤0,7 Usia 40-75 Merokok ≥10 bungkus /tahun minimal 1 tahun FEV1/FVC post bronkodilator ≤0,7
Kriteria eksaserbasi
Follow up
Alat pencatat Kuesioner ATSDLD
Tujuan
Eksaserbasi : ditetapkan oleh dokter yang merawat berdasarkan panduan umum Terdiri atas 0/1/≥2
Tiap 6 bulan selama 3 tahun
ATS
Tiap 6 bulan selama 2 tahun
Indeks BODE SGQL
Mengetahui dampak eksaserbasi terhadap perubahan nilai indeks BODE
Anthonisen
Tiap 3-6 bulan selama 2 tahun
Indeks BODE
Mengetahui prediktor mortalitas PPOK
Anthonisen
Selama 2 tahun, evaluasi setelah akhir tahun kedua Tiap 3 bulan selama 2 tahun
Indeks BODE SGQL Indeks Charlson
Mengetahui dampak eksaserbasi terhadap perubahan nilai indeks BODE
Jumlah rawat inap
Mengetahui peran indeks BODE dalam memprediksi hospitalisasi
Anthonisen
Mengetahui faktorfaktor yang berhubungan dengan eksaserbasi
Deskripsi Aktivitas Haji
Haji merupakan ibadah fisik, sehingga dibutuhkan tubuh yang sehat agar ibadah dapat dilaksanakan dengan sempurna. Tahun 2012 ada 212.111 jemaah haji Indonesia, dengan kelompok umur tertinggi adalah 51-60 tahun (32,48%).2 Paket haji yang diselenggarakan oleh Departemen Agama Republik Indonesia berlangsung selama 40 hari, yang terdiri atas ibadah haji (Mekah, Arafah, dan Mina) serta ibadah di Madinah. Ibadah haji terdiri atas aktivitas tawaf tujuh kali Universitas Indonesia
Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014
15
mengelilingi Ka’bah, berlari-lari kecil (Sa’i) antara bukit Safa dan Marwa sebanyak 7 kali, bermalam (mabid) di muzdalifah, melontar jumrah di Mina, dan tinggal satu hari (wukuf) di Padang Arafah. Selain aktivitas di atas, jemaah haji sering melakukan umrah di luar waktu haji yang terdiri atas tawaf, dan sa’i.62 Luas area tempat ibadah saat haji juga berbeda-beda. Lokasi disekitar Masjidil Haram, Mekah, memiliki luas hampir 1200 meter persegi, sedangkan disekitar Madinah luas daerahnya 589 meter persegi per orang, Arafah 10,4 meter persegi per orang, dan yang paling kecil adalah di Mina, dengan luas daerah 2,9 meter persegi per orang.63 Mina merupakan lokasi yang paling padat selama periode ibadah haji dimana jemaah akan tinggal dalam 30.000 tenda ukuran 4x4 meter sampai dengan 8x12 meter, dan satu tenda diisi 50 sampai 100 jemaah.63 Aktivitas fisik jemaah haji yang paling banyak dilakukan adalah berjalan. Iklim Saudi Arabia yang berbeda dengan Indonesia dan kepadatan populasi di lokasi ibadah haji merupakan tantangan semua jemaah haji, karena terdapat risiko tinggi infeksi saluran napas. Kondisi fisik yang baik akan melancarkan aktivitas ibadah, dan kondisi yang tidak prima akan menghambat ibadah diri sendiri, menghambat ibadah jemaah haji lain dan memperberat beban petugas kesehatan haji.62
Universitas Indonesia
Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014
16
2.8.
Kerangka Teori
Paparan kronik gas iritan Rokok
Destruksi parenkim paru
Iritasi kronik Inflamasi kronik
Fibrosis Saluran napas
PPOK atherosklerosis
Usia
Tekanan arteri pulmonal ↑
FEV1 Prediksi rendah
Balans protein negatif
lemak↓
Infeksi saluran napas
malnutrisi
Kehilangan massa otot
IMT ↓
Kepadatan populasi di tanah suci
Cuaca yang berbeda
Aktivitas fisik meningkat Penyakit kardiovaskular Sindrom metabolik DM Osteoporosis
6MWDT ↓
Gejala sesak napas↑ Kepatuhan berobat ↓
PPOK Eksaserbasi Akut
Gambar 2.1. Kerangka Teori Universitas Indonesia
Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1.
Kerangka Konsep
Berdasarkan landasan teori, diketahui bahwa kejadian PPOK eksaserbasi akut meningkat selama ibadah haji karena faktor intrinsik seperti derajat obstruksi saluran napas, indeks massa tubuh, kemampuan berjalan selama 6 menit dan faktor ekstrinsik berupa perubahan cuaca, aktivitas fisik, dan kepadatan populasi saat haji. Penilaian risiko eksaserbasi akut pada jemaah haji PPOK sebelum keberangkatan perlu dilakukan agar upaya pencegahan dapat dilakukan. Indeks BODE sebagai suatu sistim skor multidimensional selama ini digunakan untuk menentukan prognosis mortalitas dan eksaserbasi PPOK pada pasien-pasien PPOK di pusat layanan kesehatan. Penelitian ini akan menggunakan indeks BODE pra keberangkatan untuk memprediksi kejadian PPOK eksaserbasi akut pada jemaah haji saat menjalankan ibadah haji. Indeks BODE akan menjadi variabel tidak tergantung dan kejadian eksaserbasi akut PPOK menjadi variabel tergantung. Gambar 3.1 merupakan kerangka konsep penelitian.
Ibadah Haji
Indeks BODE
PPOK Eksaserbasi Akut
Gambar 3.1. Kerangka Konsep
17
Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
18
3.2. Definisi Operasional Tabel 3.2. Definisi Operasional,Cara Pengukuran Dan Skala Variabel Penelitian VARIABEL Umur Jenis kelamin
DEFINISI Umur berdasarkan buku kesehatan haji (dalam satuan tahun) Pria atau wanita
Berat Badan (BB)
Nilai yang didapat dari menimbang tubuh subjek
Tinggi Badan (TB)
Nilai yang didapat dari pengukuran tinggi badan
Indeks Massa Tubuh (IMT)
Dihitung dengan rumus: IMT=Berat Badan(BB)/Tinggi Badan(TB)2
Faal paru (nilai FEV 1)
Kapasitas paksa ekspirasi detik pertama dalam satuan liter
Merokok
Merokok minimal 10 bungkus/tahun selama minimal 1 tahun, atau baru berhenti merokok selama maksimal 5 tahun Jarak yang mampu dicapai subjek penelitian dengan cara berjalan santai di lintasan yang lurus dan datar selama 6 menit Sesuai kriteria mMRC14
Nilai Uji Jalan 6 Menit
Skor sesak napas mMRC Eksaserbasi Akut
Sesuai kriteria Rodriguez-Roisin34
Derajat Eksaserbasi
Sesuai kriteria ATS34
Indeks BODE
Nilai kumulatif dari FEV1 prediksi (ditentukan dengan spirometri), tes uji jalan 6 menit, skor mMRC,dan nilai IMT14 Berdasarkan nilai FEV1 prediksi9
Derajat keparahan PPOK Meninggal dunia
Hilangnya tanda-tanda kehidupan dinyatakan meninggal oleh petugas kesehatan dan tercatat dalam laporan jemaah haji yang meninggal dunia akibat berbagai penyebab
CARA PENGUKURAN Berdasarkan catatan buku kesehatan haji Dikelompokkan: Laki-laki Wanita Ukuran berat badan dalam kilogram dengan timbangan yang sudah dikalibrasi Ukuran tinggi badan dalam meter dengan alat ukur (meteran) yang sudah dikalibrasi IMT= BB/(TB)2
SKALA Numerik
Menggunakan alat Spirometri dan dilakukan dengan manuver yang benar, derajat obstruksi disesuaikan dengan nilai pneumobile Indonesia64 Keterangan subjek 1. Masih merokok 2. Sudah berhenti ≤ 5 tahun
Numerik
Mengukur jarak lintasan yang dilalui subjek penelitian saat berjalan selama 6 menit dalam satuan meter58
Ordinal
Anamnesis
Ordinal
Didapatkan dari pencatatan diari eksaserbasi, anamnesis subjek penelitian, dan catatan dokter kloter Dikelompokkan menjadi Ada eksaserbasi PPOK Tidak ada eksaserbasi PPOK Derajat 1. Dapat rawat jalan Derajat 2. Membutuhkan rawat inap Derajat 3. Membutuhkan rawat intensif, risiko gagal napas Penjumlahan dari nilai tiap variabel nilai 0-10
Nominal
Sesuai kriteria GOLD (1 sampai 4)
Ordinal
Dikelompokkan dalam menjadi kelompok meninggal dan tidak meninggal
Nominal
Nominal
Numerik
Numerik
Ordinal
Nominal
Ordinal
Ordinal
Universitas Indonesia
Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014
BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1.
Desain Penelitian
Desain penelitian ini adalah kohort retrospektif 4.2.
Tempat dan Waktu Penelitian
Pegumpulan data sekunder dilakukan bulan Februari 2013 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Data dikumpulkan dari hasil skrining PPOK pada jemaah haji DKI Jakarta tahun 2012. Skrining PPOK dan evaluasi eksaserbasi pada jemaah haji merupakan penelitian yang dilakukan oleh Divisi Pulmonologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM tahun 2012 dengan judul ‘Profil dan Analisis Kejadian Eksaserbasi Akut Penyakit Paru Obstruktif Kronis Pada Jemaah Haji Embarkasi Jakarta-Pondok Gede Tahun 2012’. 4.3.
Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi terjangkau penelitian ini adalah jamaah haji asal DKI jakarta tahun 2012 dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK). Sampel adalah populasi terjangkau yang memenuhi kriteria penelitian. 4.4.
Besar Sampel
Perhitungan untuk besar sampel minimal yang diperlukan untuk uji hipotesis terhadap hubungan antara dua proporsi adalah ( n Z Z P2 RR P1 P Q Q1 Q2
√
√
)
= jumlah sampel minimal = batas kepercayaan, diambil 5% = derivat baku alfa dengan =0,05 didapatkan nilai 1,96 = derivat baku beta dengan =0,2 didapatkan nilai 0,842 =proporsi eksaserbasi pada kelompok PPOK ringan = 0,33 8 = risiko relatif yang dianggap bermakna secara klinis = 216 = dihitung dari P2 dan RR didapatkan 0,67 = ½ (P1+P2) =1–P = 1 – P1 = 1 – P2 19
Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
20
Berdasarkan rumus diatas, didapatkan n1= n2 = 26 orang (untuk tiap kelompok eksaserbasi akut dan tidak eksaserbasi akut) 4.5.
Kriteria Penerimaan Sampel
Sampel penelitian adalah jemaah haji PPOK asal DKI Jakarta yang berhasil di skrining dalam penelitian Divisi Pulmonologi Penyakit Dalam FKUI/RSCM tahun 2012 dan memiliki data indeks BODE dan kejadian eksaserbasi. 4.6.
Identifikasi Variabel Penelitian
Variabel penelitian terdiri dari variabel bebas yaitu indeks BODE, dan variabel tergantung pada penelitian ini adalah kejadian eksaserbasi PPOK 4.7.
Cara Pengambilan Sampel
Subjek penelitian ditentukan secara konsekutif dari data jemaah haji PPOK asal Jakarta tahun 2012 yang memenuhi kriteria inklusi. Data Jemaah haji PPOK didapat dari proses skrining yang dilakukan Divisi Pulmonologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM. Cara Penentuan Indeks BODE
4.8.
Dalam penelitian Divisi Pulmonologi, skrining dengan spirometri dilakukan pada jemaah haji usia 40 tahun atau lebih yang merokok aktif atau sudah berhenti merokok maksimal 5 tahun. Proses skrining dilakukan di Embarkasi Pondok Gede satu hari sebelum keberangkatan ke Mekah. Jemaah haji dengan faktor risiko dan bersedia mengikuti penelitian akan melalui beberapa pemeriksaan yaitu, 1. Anamnesis : usia, riwayat merokok, keluhan saluran pernapasan, penyakit PPOK sebelumnya, penyakit lain yang diderita, nilai mMRC 2. Pemeriksaan tinggi badan dan berat badan 3. Pemeriksaan spirometri, yang diulang 3 kali untuk mendapatkan hasil terbaik, data yang diambil adalah FEV1%, FVC, dan FEV1% prediksi 4. Melakukan uji jalan 6 menit, dalam lintasan lurus dan datar sepanjang 15 meter, secara santai dan diobservasi oleh petugas terlatih
Universitas Indonesia
Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014
21
5. Menyerahkan kepada subjek penelitian dan dokter kloter kartu pemantauan eksaserbasi yang isinya mengenai nama-nama jemaah haji PPOK di tiap kloter dan tanda-tanda PPOK eksaserbasi akut. Alat spirometri yang digunakan adalah Chestograph HI 101 produksi Tokyo, Jepang tahun 2007. Surveyor adalah dokter peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Penyakit Dalam FKUI/RSCM yang mendapatkan pelatihan kalibrasi alat spirometri dan penggunaan alat spirometri di Divisi Pulmonologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM, dan menggunakan buku panduan dari British Thoracic Society tahun 2005.65 Kalibrasi alat dilakukan tiap minggu. Derajat obstruksi dikoreksi sesuai dengan standar faal paru Indonesia berdasarkan data Pneumobile Indonesia.64 Terdapat tim teknis yang membantu proses pelaksanaan skrining terdiri atas 3 orang dokter yang bertugas di Divisi Pulmonologi Departemen IPD FKUI/RSCM. 4.9.
Cara Penentuan PPOK eksaserbasi akut
Kejadian eksaserbasi akut ditentukan dengan melakukan anamnesis ulang jemaah haji PPOK segera setelah pulang haji (di Bandara Soekarno-Hatta, Indonesia) konfirmasi kunjungan ke dokter kloter dilakukan dengan mewawancarai dokter kloter dan melihat buku catatan kesehatan jemaah haji. Keputusan apakah subjek penelitian mengalami eksaserbasi akut ditetapkan dalam forum yang dipimpin oleh ahli penyakit dalam konsultan paru dengan mempertimbangkan semua data yang dikumpulkan. Keterangan mengenai proses pengurusan izin pengumpulan data dan proses skrining jemaah haji PPOK ada di lampiran 1 dan 2. 4.10
Alur Pengumpulan Data Sekunder
Penelitian ini dimulai dengan identifikasi subjek penelitian dari arsip penelitian Divisi Pulmonologi, dilanjutkan dengan penyusunan data sesuai kebutuhan penelitian, kemudian data dianalisis secara statitik dan hasilnya dilaporkan. Skema 4.1. menunjukkan proses penelitian.
Universitas Indonesia
Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014
22
Jemaah Haji PPOK berdasarkan data penelitian Divisi Pulmonologi FKUI/RSCM
Mengambil data sekunder dari arsip penelitian Divisi Pulmonologi
Menentukan sampel penelitian yang sesuai dengan kriteria inklusi
Data dikumpulkan dan disusun
Analisis statistik
Pelaporan hasil
Gambar 4.1. Alur Penelitian 4.11. Pengolahan Dan Analisis Data Sebelum data di entry, dilakukan editing data terlebih dahulu. Editing dilakukan untuk memudahkan tahap entry. Data deskriptif akan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Hubungan antara indeks BODE dengan kejadian eksaserbasi akan di uji dengan Chi-Square dan bila perlu Fisher Exact Test. Pengolahan data dilakukan dengan Software SPSS versi 17.0 4.12. Etika Penelitian Penelitian ini merupakan salah satu bagian dari penelitian divisi Pulmonologi Departemen IPD FKUI/RSCM dengan judul ‘Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Eksaserbasi Akut Penyakit Paru Obstruktif Kronis pada Jemaah Haji Embarkasi Jakarta Tahun 2012’. Ethical clearance mengacu pada penelitian induk yang Universitas Indonesia
Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014
23
sudah dikeluarkan oleh Panitia Tetap Etik Penelitian Kedokteran FKUI Jakarta no 461/PT 02.FK/ETIK/2012. Semua data yang dikumpulkan dari sampel penelitian akan dijaga kerahasiaannya.
Universitas Indonesia
Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014
BAB 5 HASIL PENELITIAN
5.1.
Karakteristik Subjek Penelitian
Pemilihan dan evaluasi data yang digunakan untuk penelitian dilakukan mulai Februari 2013. Subjek penelitian adalah jemaah haji PPOK Asal DKI Jakarta yang berangkat Oktober 2012 dan pulang ke tanah air Desember 2012. Total jemaah haji asal DKI Jakarta tahun 2012 berdasarkan data Sistem Komputerisasi Haji Terpadu (SISKOHAT) adalah 7.074 orang. Jumlah Jemaah haji usia ≥40 tahun sebanyak 5.880 orang, penderita PPOK yang didapatkan dari proses skrining adalah 61 orang dari total populasi berisiko (1,03%). Alur proses skrining dapat dilihat di lampiran 2. Sebanyak 60 subjek diikutsertakan dalam penelitian, satu orang tidak dianalisis karena tidak melakukan uji jalan 6 menit. Tabel 8 menunjukkan karakteristik subjek penelitian, data dengan sebaran normal akan ditampilkan sebagai rerata, sedangkan data dengan sebaran tidak normal ditampilkan sebagai nilai tengah. Sebanyak 56 orang (93,3%) subjek penelitian adalah laki-laki, rerata usia adalah 58,8±8,4 tahun, dengan usia tertua adalah 80 tahun, dan termuda 40 tahun. Rerata IMT adalah 23,22±4,2, derajat obstruksi ratarata ada 64,29± 17,13, dimana kelompok GOLD 1 ada 11 orang (18,3%), kelompok GOLD 2 ada 36 orang (60%), kelompok GOLD 3 ada 11 orang (18,3%) dan kelompok GOLD 4 ada 2 orang (3,3%).Rerata uji jalan 6 menit 337,4 ± 58,3 meter, dan nilai tengah mMRC adalah 1. Sebagian besar subjek penelitian masih merokok atau baru berhenti kurang dari 5 tahun, komorbid tidak terdeteksi pada lebih dari separuh subjek penelitian, sedangkan sisanya diketahui memiliki penyakit hipertensi, diabetes mellitus tipe 2, dan penyakit jantung koroner, 1 subjek penelitian dapat memiliki 2 komorbid.
24
Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
25
Tabel 5.1. Karakteristik Subjek Penelitian Karakteristik Laki-laki perempuan Usia (tahun) < 60 tahun ≥ 60 tahun Indek massa tubuh (kg/m2) FEV1 (liter) FVC (liter) FEV1% prediksi mMRC Uji Jalan 6 Menit (meter) Status merokok Merokok Berhenti ≤ 1 tahun Berhenti > 1 tahun Komorbid Tidak ada Ada Hipertensi DM PJK CHF
5.2.
n (%) 56 (93,3) 4 (6,7)
Rerata
58,8 ± 8,4 33 (54,1) 27 (45,9) 23,22 ± 4,23 1,49 ± 0,43 2,40 ± 0,66 64,29± 17,13 1 (min 0, maks 3) 337,45 ± 58,27 24 (40) 25 (41,7) 11 (18,3) 33 (53%) 27 (47%) 15 10 3 1
Karakteristik Eksaserbasi Akut
Ada 35 orang (58,3%) subjek penelitian yang mengalami eksaserbasi dan dari keseluruhan eksaserbasi, ada 5 orang (14,2%) harus rawat inap (eksaserbasi moderat). Tabel 5.2 menunjukkan karakteristik jemaah haji yang mengalami eksaserbasi akut. Pada penelitian ini didapatkan usia 60 tahun keatas lebih banyak mengalami eksaserbasi, selain itu, proprosi eksaserbasi lebih banyak dijumpai pada kelompok dengan skor mMRC lebih tinggi, nilai uji jalan yang lebih pendek, dan derajat obstruksi yang lebih berat.
Universitas Indonesia
Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014
26
Tabel 5.2.Karakteristik Eksaserbasi Akut Karakteristik
Kejadian
Usia <60 tahun 60 tahun Skor mMRC 0-1 2 3 Uji Jalan 6 Menit (meter) ≥350 250-349 150-249 Indeks Massa Tubuh (kg/m) >21 ≤21 Interval Indeks BODE 0-2 3-4 5-6
Total
% eksaserbasi dalam kelompok
Eksaserbasi Akut (n=35)
Tidak Eksaserbasi akut (n=25)
18 17
16 10
33 27
54,5 63
23 10 2
21 4 0
44 14 2
52,3 71,4 100
13 21 1
11 14 0
24 35 1
54,2 60 100
25 10
18 7
43 17
58,1 58,8
26 3 6
22 3 0
48 6 6
54,1 50 100
Tabel 5.3. Karakteristik Indeks BODE BODE
Total (%)
0
Eksaserbasi Akut Ya
Tidak
10 (16,7)
7
3
1
12 (20)
6
6
2
26 (43,3)
13
13
3
4 (6,7)
1
3
4
2 (3,3)
2
0
5
4 (6,7)
4
0
6
2 (3,3)
2
0
5.3. Penilaian Indeks BODE Tabel 5.3 memperlihatkan sebaran indeks BODE pada jemaah haji PPOK, kelompok terbesar adalah indeks BODE 2, namun semakin besar nilai indeks BODE proporsi eksaserbasi akut PPOK di tiap kelompok juga semakin besar. Universitas Indonesia
Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014
27
Indeks BODE interval 0-2 ada 48 orang (80%), interval 3-4 ada 6 orang (10%) dan interval 5-6 ada 6 orang (10%). Berdasarkan data di tabel 5.2 data indeks BODE interval 1 dan 2 memiliki proporsi kejadian eksaserbasi yang hampir sama, berdasarkan penelitian Marin19, risiko eksaserbasi akut yang membutuhkan penanganan segera akan meningkat pada indeks BODE diatas 2,9 maka penelitian ini membagi indeks BODE kedalam 2 kelompok yaitu dengan indeks BODE ≤3 (risiko rendah) dan >3 (risiko tinggi). Tabel 5.4. Hubungan Antara Kejadian Eksaserbasi Akut Dengan Interval Indeks BODE Interval Indeks BODE
Risiko rendah (0-3) Risiko tinggi (> 3)
Eksaserbasi akut PPOK Ya Tidak (n=35) (n=25) 27 8
25 0
Total
% eksaserbasi dalam kelompok
52 8
51.9 100
Hasil uji Fisher’s Exact Test p (one tailed) = 0,009, RR 1,9 (IK 1,4-2,5) yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kejadian eksaserbasi akut antara indeks BODE 0-3 dan >3, dimana jemaah haji PPOK dengan risiko tinggi (indeks BODE >3) berisiko 1,9 kali mengalami eksaserbasi akut dibandingkan jemaah haji PPOK risiko rendah (Indeks BODE 0-3). Berdasarkan tingkat keparahan eksaserbasi, maka tabel 5.5 membagi dua kelompok, yaitu yang mengalami rawat inap dan rawat jalan, tidak ada jemaah haji yang mengalami perawatan intensif. Tabel 5.5. Hubungan Antara Derajat Eksaserbasi Akut Dengan Interval Indeks BODE Interval Indeks BODE
Risiko rendah (0-3) Risiko tinggi (> 3) Total
Eksaserbasi Akut PPOK Rawat inap Tidak Rawat Inap 2 25 3 5 5 30
Total
% eksaserbasi dalam kelompok
27 8 35
7,4 37,5
Tabel 5.5 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan proporsi yang mencolok antara jumlah jemaah haji risiko rendah dan risiko tinggi, namun apabila persentasi Universitas Indonesia
Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014
28
kejadian eksaserbasi pada masing-masing kelompok dibandingkan terlihat bahwa proporsi rawat inap akibat PPOK eksaserbasi akut pada jemaah haji risiko tinggi (37,5%) lebih besar dibandingkan dengan jemaah haji risiko rendah (7,4%).
Universitas Indonesia
Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014
BAB 6 PEMBAHASAN
6.1.
Karakteristik Subjek Penelitian
Dalam proses skrining PPOK dan evaluasi kejadian PPOK eksaserbasi akut, evaluasi keluhan saluran napas pasien dilakukan dengan cara anamnesis. Fokus pertanyaan adalah adanya keluhan kronik batuk, dahak, dan sesak napas. Anamnesis dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang dimodifikasi dari kuesioner American Thoracic Society-Division of Lung Disease-78 (ATS-DLD78).34, 59 Kuesioner ini banyak digunakan untuk penelitian epidemiologi penyakitpenyakit saluran napas, memiliki bahasa sederhana dan terminologi yang lebih jelas.59 Jumlah penderita PPOK yang berhasil didiagnosis dalam proses skirining adalah 61 orang, atau 1,1% dari kelompok usia ≥ 40 tahun, lebih rendah dari prevalensi PPOK di Indonesia (5,6%).10 Apabila dilakukan stratifikasi usia, maka prevalensi PPOK usia diatas 30 tahun di Indonesia adalah 1,6% pada laki-laki dan 0,9% pada perempuan. Data yang didapat dari jemaah haji ini bisa dimaknai (1) jumlah penderita PPOK yang menunaikan ibadah haji memang kecil,(2) banyak penderita PPOK yang tidak terdiagnosis saat proses pemeriksaan kesehatan calon jemaah haji (3) proses skrining belum cukup baik dalam mendiagnosis penderita PPOK. Skrining terhadap 1.237 orang di Swedia menunjukkan hanya 50% penderita PPOK derajat berat (GOLD 3 dan 4) yang didiagnosis PPOK dilayanan kesehatan, bahkan angka ini lebih kecil pada penderita PPOK ringan (GOLD 1) yang hanya 5%.66 Di tingkat layanan kesehatan primer, Tinkelman melaporkan terdapat sampai 20% penderita PPOK yang tidak terdiagnosis 38 Rerata usia subjek penelitian adalah 58,8 tahun, dengan kelompok usia diatas 60 tahun ada 45,9%. rerata ini lebih rendah apabila dibandingkan data demografi dari RSCM tahun 2013 yang menunjukkan median 64 tahun, dan ada 66,3% usia diatas 60 tahun.67 Penelitian pada jemaah haji PPOK tahun 2011 menunjukkan usia jemaah haji PPOK diatas 60 tahun ada 52,8%.8
29
Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
30
Sebagian besar subjek penelitian termasuk dalam BODE interval 0-2. Semua subjek penelitian baru didiagnosis PPOK saat skrining, tidak ada diagnosis yang sama di buku catatan kesehatan, sebagian besar hanya memiliki keluhan saluran napas ringan sehari-hari (mMRC= 1) dan tidak menyadari adanya masalah paruparu. Kemampuan fisik yang dinilai melalui uji jalan 6 menit menunjukkan bahwa ada 35 orang yang aktivitas fisiknya mulai menurun. Jumlah penderita PPOK laki-laki jauh lebih banyak dibandingkan dengan perempuan. Hal ini terjadi karena merokok merupakan kriteria skrining yang ditetapkan untuk melakukan spirometri, dan karena di Indonesia prevalensi perokok laki-laki jauh lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan. Penelitian Yusalena di RSCM juga mendapatkan proporsi penderita PPOK laki-laki 87,5% dan perempuan 12,5%.67 Meskipun demikian, di beberapa negara seperti Swedia memiliki kebiasaan merokok laki-laki dan perempuan yang hampir sama, dan prevalensi PPOK pada perempuan dengan jumlah yang lebih tinggi.68 Peningkatan prevalensi merokok pada perempuan ini cukup mengkhawatirkan karena perempuan lebih mudah mengalami kerusakan paru dibandingkan laki-laki.69 Pada penelitian ini, tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara merokok aktif dan berhenti merokok dengan kejadian PPOK eksaserbasi akut (p = 0,53). hal ini dapat terjadi karena banyak subjek PPOK stadium awal, sehingga dampak kerusakan paru akibat merokok belum signifikan muncul. Komorbid terbanyak pasien-pasien PPOK pada penelitian ini adalah hipertensi (51,7%), PJK (10,3%),
CHF (3,4%), dan DM Tipe 2 (34,4%). Penelitian
Yusalena di RSCM tahun 2013 menunjukkan bahwa komorbid terbanyak pada penderita PPOK adalah hipertensi (46,19%), PJK (33,15%), CHF (27,1%) dan DM tipe 2 (16,3%).67 Penelitian lain di Amerika Serikat tahun 2007 mendapatkan komorbid terbanyak adalah hipertensi (52,40%) , CAD (31,70%), DM tipe 2 (28,10%), dan CHF (25,10%).70 Pada penelitian ini, ada lebih dari 50% subjek penelitian yang tidak memiliki komorbid, hal ini dapat terjadi karena subjek penelitian memang baru didiagnosis PPOK dari proses skrining, sehingga sebagian besar belum memiliki komplikasi sistemik PPOK, sedangkan pada subjek yang memiliki komorbid, hipertensi Universitas Indonesia
Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014
31
adalah kondisi terbanyak. Diikuti dengan penyakit jantung koroner, diabetes, dan penyakit jantung kongestif. Tingginya komorbid metabolik ini karena semua subjek memiliki risiko kardiometabolik yang sama yaitu merokok. Selain itu, PPOK sendiri meningkatkan risiko kerusakan vaskular antara lain 2 kali berisiko penyakit jantung koroner, 3,9 kali berisiko penyakit jantung kongestif, 2,4 kali berisiko aritmia, dan 1,5 kali berisiko stroke.71 Peran komorbid sebagai prediktor PPOK eksaserbasi akut sejauh ini masih kontroversi, namun Cote membuktikan bahwa komorbid dapat memprediksi mortalitas pada penderita PPOK dengan membuat sistim skor indeks COTE.72 6.2.
PPOK Eksaserbasi Akut
Kejadian eksaserbasi akut pada jemaah haji PPOK yang diteliti ada 57,4% dan sebagian besar termasuk eksaserbasi ringan, yang hanya membutuhkan kontrol ke dokter untuk mendapatkan obat antibiotik dan atau steroid. Hasil ini lebih tinggi dibandingkan penelitian pendahuluan oleh Sakti A tahun 2011 yang mendapatkan insiden eksaserbasi pada jemaah haji PPOK sebesar 33,3%.8 Angka eksaserbasi yang tinggi ini karena faktor eksternal seperti cuaca di Arab Saudi, kepadatan populasi saat haji, dan aktivitas fisik saat jemaah haji meningkatkan risiko infeksi saluran pernapasan dan memicu eksaserbasi PPOK. Laporan dari Departemen Kesehatan Republik Indonesia pada musim haji tahun 2012 menyatakan bahwa tiga kasus rawat jalan terbanyak adalah common cold (26,25%) diikuti infeksi saluran pernapasan atas (10,65%) dan faringitis akut (9,28 %).2 Proses penegakan diagnosis eksaserbasi dan penentuan prognosis, penyakit saluran napas seperti PPOK dan asma sangat berpegang dari anamnesis pasien.60 Meta-analisis Seemugal menjelaskan beberapa metode pemantauan eksaserbasi seperti menanyakan keluhan pasien via telepon secara berkala dengan pertanyaan terstruktur, mengajarkan pasien mengisi buku diari eksaserbasi, atau melakukan kunjungan langsung berkala.60 Proses evaluasi eksaserbasi dengan metode recall ini memiliki kelemahan karena pada eksaserbasi ringan, pasien sering menganggap keluhan yang dialami masih biasa dan tidak perlu ke dokter, penelitian Langsetmo di Kanada tahun 2007 menunjukkan hanya sepertiga kejadian eksaserbasi yang dilaporkan pasien dan Universitas Indonesia
Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014
32
mendapatkan penanganan medis, padahal pada mereka yang tidak melaporkan eksaserbasi, terdapat penurunan status kesehatan sebesar 43%, dan yang melaporkan eksaserbasi mengalami penurunan status kesehatan sebesar 52%. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa penderita PPOK yang memiliki diari eksaserbasi melaporkan eksaserbasi lebih banyak dibandingkan yang tidak memiliki diari eksaserbasi (62% vs 19%)
25
Xu di Cina mempertegas dampak
eksaserbasi yang tidak dilaporkan terhadap penurunan kualitas kesehatan dan memberikan saran untuk memperkuat edukasi dan monitoring mandiri kesehatan saluran napas penderita PPOK.24 Untuk mengurangi bias dalam proses penentuan eksaserbasi, dilakukan langkah seperti (1) edukasi dokter kloter tentang PPOK, diagnosis eksaserbasi, dan tatalaksana, (2) memberitahukan dokter kloter bahwa terdapat jemaah haji PPOK dalam rombongannya, (3) menjelaskan kepada jemaah haji PPOK gejala eksaserbasi dan apa yang harus dilakukan bila gejala itu terjadi, (4) memberikan kartu pemantauan eksaserbasi kepada jemaah haji PPOK yang berisi gejala dan tanda PPOK, (5) melihat buku catatan kunjungan jemaah haji ke dokter kloter (6) melakukan anamnesis pada jemaah haji segera setelah tiba di tanah suci yaitu saat tiba di bandara. 6.3.
Proporsi Keparahan PPOK Eksaserbasi Akut
Dari 35 orang jemaah haji PPOK yang mengalami eksaserbasi akut, ada 5 orang (14%) jemaah yang rawat inap akibat eksaserbasi akut. Tidak ada jemaah yang dirawat intensif dan tidak ada yang meninggal dunia. Angka ini dapat lebih besar apabila proses skrining dan penegakan diagnosis PPOK dilakukan secara aktif pada calon jemaah haji.
Dalam laporan Departemen Kesehatan Indonesia
mengenai 10 penyakit rawat inap terbanyak saat haji, peringkat 3 besar diagnosis dipegang oleh DM tipe 2 (10,26%), dispepsia (10,11%), dan hipertensi (8,16%). Masalah saluran napas ada di peringkat 4 yaitu pneumonia (6,56%), dan PPOK eksaserbasi akut di peringkat kelima.2 Berdasarkan asal daerah, Jakarta merupakan provinsi dengan angka kematian 10 orang, dimana total kematian ada 452 orang, terbanyak dari Jawa Timur (84 orang).2
Universitas Indonesia
Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014
33
6.4.
Karakteristik Indeks BODE
Sebagian besar subjek penelitian memiliki indeks BODE ringan (interval 1, Indeks 0-2), hal ini berbeda bila dibandingkan dengan penelitian lain yang berusaha menilai peran indeks BODE sebagai prediktor eksaserbasi yaitu penelitian Faganello, Ong, dan Marin (tabel 6.1). Banyak subjek penelitian dengan kondisi PPOK ringan terjadi karena penelitian dilakukan di komunitas melalui proses skrining pada orang-orang yang sebelumnya tidak didiagnosis PPOK, sedangkan penelitian sejenis dilakukan di pusat-pusat layanan kesehatan saluran napas pada orang-orang PPOK. Gambar (6.1) menunjukkan rata-rata indeks BODE penelitian yang dilakukan di rumah sakit atau klinik saluran napas yang lebih tinggi dibandingkan penelitian pada jemaah haji. Hal ini juga bisa terjadi karena rata-rata usia pasien di penelitian pembanding lebih tua dibandingkan penelitian ini. Berdasarkan ras dan geografi, maka penelitian yang dilakukan Ong di Singapura dengan populasi Asia adalah yang paling sesuai dengan penelitian ini. Penelitian Marin dilakukan di Spanyol Mewakili Eropa, dan Faganello di Brazil mewakili Benua Amerika.73 Latar belakang ras tampak berbeda dari indeks massa tubuh (IMT). Nilai IMT di penelitian Ong hampir sama dengan penelitian Indeks BODE pada jemaah haji, sedangkan nilai IMT pada penelitian Faganello dan Marin lebih tinggi, penelitian Indeks BODE pada jemaah haji mendapatkan ada 44 orang (72%) yang memiliki IMT >21, dan apabila dibandingkan dengan kejadian eksaserbasi, maka IMT diatas atau dibawah 21 sama-sama punya risiko lebih dari 50% mengalami eksaserbasi. Dalam proses penentuan indeks untuk memprediksi mortalitas yang dilakukan Celli, IMT memiliki hubungan terbalik dengan kesintasan.14 jadi meskipun pada penderita penyakit paru kronis banyak yang gemuk, namun mortalitas justru lebih tinggi pada pasien yang kurus.14 Patogenesis kondisi ini belum jelas, diduga proses inflamasi kronis yang lebih hebat terjadi pada pasien PPOK yang kurus.74
Universitas Indonesia
Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014
34
Tabel 6.1. Komparasi Penelitian yang Menilai Hubungan Antara Indeks BODE danPPOK Eksaserbasi Akut penelitian
Ong
Faganello
Marin
Yusalena
Habib
Singapura 2005 RS pendidikan
Brazil 2010 Klinik respirasi
Spanyol 2008 RS pendidikan
Indonesia 2013 RS pendidikan
Pasien PPOK
Pasien PPOK
Pasien PPOK
Pasien PPOK
Indonesia 2014 jemaah haji DKI Jakarta Baru didiagnosis
Prospektif
Prospektif
Prospektif
Lama follow up
16,2 bulan
12 bulan
Kohort retrospektif 2 bulan
Usia (tahun) Total sampel IMT FEV1%prediksi GOLD
70,9 ± 8,2 127 20,8 ± 3,9 70,9±8,2 GOLD1: 7,87% GOLD2: 24,4% GOLD3: 47,2% GOLD4: 20,4% 323,3±141,8
64,8 ± 9,5 120 25,9 ± 5,7 64,8±9,5 GOLD 1 : 20% GOLD2: 38 % GOLD3: 17% GOLD4: 25% 436.9±90,1
5,1 tahun (max 8 tahun) 65 275 27,64 ± 2,33 49,57±17,6 GOLD1: 4,4% GOLD2: 41,9% GOLD3:30,9% GOLD4: 22,8% 463,5
Kohort retrospektif 1 tahun 64 (41-95) 184 20 (12,4-33)
58,8±8,45 60 23,3±4,31 64,29±17,13 GOLD1: 18,3% GOLD2: 60% GOLD3:18,3% GOLD4: 3,3% 335,68±59,42
1,9±1,2 4,5±2,7 Rentang 0-10 BODE1: 26,7 BODE2: 26,7 BODE3: 21,2 BODE4: 25,2 40%
2 (2- 3) 2,1± 1,9 Rentang 0-10 BODE 1: 62.5 BODE2: 22.5 BODE3&4: 15
1,73±1,09 2,59 Rentang 0-10
50%
87,3 %
Tidak ada data
57,4%
2,5
0,8
1,95
Tidak ada data
Tidak ada data
Karakteristik Negara Tahun publikasi Asal subjek penelitian Latar belakang PPOK Jenis penelitian
Uji jalan 6 menit(meter) mMRC BODE BODE klasifikasi (%)
Kejadian eksaserbasi selama pemantauan Eksaserbasi/tahun
GOLD1: 12,5% GOLD2: 51,6% GOLD3: 27,2% GOLD4: 8,7% Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada data
1 (0,3) 1 (0, 5) Rentang 0-6 BODE1: 80 BODE2: 10 BODE3: 10
Penelitian lain mengevaluasi kejadian eksaserbasi dalam kurun waktu lama (evaluasi dalam satuan tahun) karena subjek berada dalam kondisi sehari-hari. Sedangkan penelitian ini dilakukan pada jemaah haji dimana mereka melakukan aktivitas khusus dalam lingkungan khusus yang memiliki potensi menimbulkan gangguan saluran napas, sehingga meskipun di pantau dalam kurun waktu 2 bulan, PPOK eksaserbasi akut masih bisa terjadi. Selain itu, aktivitas subjek yang sangat dinamis selama proses haji menjadi tantangan dalam pemantauan kesehatan dan keteraturan berobat, sedangkan pada penelitian Ong, Faganello, dan Marin, pemantauan dapat dibuat lebih teratur melalui sistim kunjungan berkala Universitas Indonesia
Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014
35
dan telepon berkala, serta evalusi catatan medis saat kontrol ke pusat layanan kesehatan. Kejadian eksaserbasi akut pada seluruh subjek penelitian selama pemantauan bervariasi di tiap-tiap penelitian. Ong melaporkan ada 40% subjek yang mengalami eksaserbasi akut yang membutuhkan perawatan rumah sakit selama pemantauan. Faganello melaporkan 50% eksaserbasi akut ringan dan sedang selama pemantauan, sedangkan Marin melaporkan 87,3% kejadian eksaserbasi akut selama pemantauan. Penelitian Habib melaporkan 57,4% eksaserbasi akut selama ibadah haji sebagian besar ringan (tabel 6.1). Kemampuan berjalan subjek penelitian Habib dan Ong berada dalam kisaran 300 meter, sedangkan pada penelitian Fagenello dan Marin berada di kisaran 400 meter, memang salah satu yang mempengaruhi hasil uji jalan adalah panjang langkah, dimana pada ras kaukasia tubuhnya lebih tinggi dibandingkan ras Asia, maka akan memiliki langkah yang lebih panjang sehingga jarak tempuh lebih jauh, namun hipotesis ini perlu dibuktikan dengan penelitian yang terstruktur. Dalam tabel stratifikasi uji jalan dan kejadian eksaserbasi, terlihat sebanyak 33 orang (54%) mampu menempuh jarak sampai interval 2 (250-349 meter), dan apabila dihubungkan dengan kejadian eksaserbasi, maka, makin pendek jarak tempuh maka, risiko eksaserbasi makin besar. Uji jalan 6 menit merupakan uji yang sudah terstandarisasi dan mendapat rekomendasi dari American Throracic Society untuk mengevaluasi kemampuan fisik pasien dengan masalah saluran napas.58 Meta-analisis Solway juga mendukung alasan penggunaan uji jalan 6 menit sebagai metode yang paling sering dan representatif menilai kapasitas fungsional.57
Uji jalan 6 menit dapat memprediksi risiko mortalitas pada
penderita PPOK, risiko mortalitas pada pasien yang akan menjalani prosedur reduksi massa paru, pasien dengan kardiomiopati, dan penderita hipertensi pulmonal. 14 Keluhan saluran napas subjek penelitian yang digambarkan dengan skor mMRC menunjukkan bahwa sebagian besar tidak memiliki keluhan saluran napas yang berarti dengan mMRC 0 ada 18 orang (29,5%) dan mMRC 1 ada 27 orang (44,2%). Hal yang berbeda tampak di penelitian pembanding dimana nilai mMRC rata-rata subjek penelitian diatas 1 (tabel 6.1). Memang subjek penelitian indeks Universitas Indonesia
Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014
36
BODE pada jemaah haji baru didiagnosis saat proses skrining, dan sebelumnya merasa tidak ada keluhan saluran napas yang bermakna, atau memiliki keluhan namun belum mendapatkan evaluasi medis yang memadai. Di negara-negara berkembang, persepsi adanya batuk atau sulit bernapas pada perokok masih dianggap biasa akibat asap yang dihisap, sehingga merasa tidak perlu berobat.75 Apabila nilai mMRC dikelompokkan berdasarkan tabel 5.2 terlihat bahwa subjek penelitian dengan nilai mMRC yang lebih tinggi (2-3) memiliki kejadian eksaserbasi lebih besar. Skor mMRC merupakan bentuk sederhana dari skor COPD Assesment Test (CAT), skor ini dapat menggambarkan perubahan kualitas hidup dan mortalitas penderita PPOK.9 Sedangkan rerata dan sebaran indeks BODE penelitian ini dibandingkan penelitian Ong, Marin, dan Faganello cukup berbeda. Penelitian ini menggunakan subjek yang beru terdiagnosis PPOK, hal ini berimplikasi pada nilai indeks BODE yang sebagian besar masih rendah (gambar 6.1), dan sebaran indeks BODE terendah adalah 0 dan tertinggi 6, tidak ada subjek penelitian yang memiliki indeks BODE 7-10. 5
4,5
4,5 4 3,5 3 2,5
2
2 1,5
1,73
1
1 0,5 0
Skor
Habib
Ong
Faganello
Marin
BODE
Gambar 6.1. Rerata Indeks BODE dari Beberapa Penelitian
Universitas Indonesia
Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014
37
6.5. Indeks BODE dan Tatalaksana PPOK Spanyol adalah salah satu negara yang meggunakan Indeks BODE sebagai acuan dalam tatalaksana PPOK, penentuan derajat keparahan PPOK menggunakan Indeks BODE, dan terdapat proses penggolongan fenotip penderita PPOK, namun tatalaksana untuk setiap stadium tidak berbeda dibandingkan dengan panduan dari GOLD.76
Gambar 6.2. Langkah Stratifikasi PPOK Dengan Menggunakan Indeks BODE(sumber : Spanish COPD Guideline) Dari skema diatas, ada dua langkah untuk menilai derajat keparahan PPOK. Untuk pasien yang telah didiagnosis PPOK, aktivitas uji jalan dapat diganti dengan dokumentasi riwayat eksaserbasi dalam setahun terakhir (BODEx). Apabila skor awal ≥5 maka uji jalan dilakukan untuk mengetahui nilai dari Indeks BODE. Panduan ini membagi indeks BODE sesuai dengan empat kuartil , kuartil 1 (nilai indeks BODE 0-2) merupakan PPOK derajat ringan, kuartil 2 (nilai indeks BODE 3-4) merupakan PPOK derajat sedang, kuartil 3 (nilai indeks BODE 5-6) merupakan PPOK derajat berat, sedangkan nilai indeks BODE ≥7 adalah PPOK derajat sangat berat, dimana apabila terdapat riwayat perawatan di rumah sakit ≥3 Universitas Indonesia
Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014
38
kali dalam 1 tahun, sesak napas derajat 3-4, keterbatasan fisik berat, gagal napas, maka pasien sudah dikelompokkan dalam stadium lanjut dan masuk perawatan paliatif. Dari penelitian Habib, didapatkan nilai indeks BODE tertinggi adalah 6, tidak ada jemaah haji yang masuk dalam kelompok PPOK sangat berat, menunjukkan calon jemaah haji PPOK yang akan berangkat haji masih dalam kondisi yang cukup layak, atau proses seleksi kesehatan yang dilakukan sudah cukup mampu menyisihkan calon jemaah yang kondisinya tidak layak berangkat haji. Sesuai dengan penelitian Marin yang menyatakan bahwa risiko eksaserbasi yang membutuhkan penanganan segera saat rawat jalan meningkat pada penderita PPOK dengan nilai indeks BODE diatas 2,9, maka pasien PPOK pada jemaah haji dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok dengan nilai indeks BODE 0-3, dan kelompok dengan nilai indeks BODE >3. Analisis statistik menunjukkan terdapat perbedaan bermakna kejadian eksaserbasi akut antara kelompok indeks BODE 0-3 dan kelompok >3, dimana kelompok dengan nilai indeks BODE >3 berisiko 1,9 kali mengalami eksaserbasi PPOK dibandingkan dengan kelompok dengan nilai indeks BODE 0-3. Sedangkan apabila dibandingkan dengan kejadian hospitalisasi akibat eksaserbasi, maka, kelompok dengan nilai indeks BODE >3 memiliki proporsi rawat inap yang lebih tinggi dibandingkan kelompok dengan indeks BODE 0-3. Untuk mempermudah pengawasan kesehatan jemaah haji, Departemen Kesehatan Republik Indonesia membuat kriteria risiko tinggi (risti). Jamaah haji risti adalah mereka dengan kondisi kesehatan yang secara epidemiologi berisiko sakit dan atau meninggal selama perjalanan ibadah haji.62, 77 Adapun kriteria risti yaitu : 1. Jemaah haji usia > 60 tahun 2. Jemaah haji penderita penyakit menular tertentu yang tidak boleh terbawa keluar dari Indonesia berdasarkan peraturan kesehatan yang berlaku 3. Jemaah haji wanita hamil 14-26 minggu 4. Jemaah haji dengan penyakit kronis dan ketidakmampuan tertentu seperti hemiparesis paska stroke. Universitas Indonesia
Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014
39
Berdasarkan data ini, maka jemaah haji PPOK termas uk kriteria risti,dimana pengawasan khusus dengan visitasi berkala oleh petugas kesehatan haji diberikan pada mereka dengan indeks BODE >3. Pemberian label risti ini akan lebih objektif dan selektif serta mempermudah petugas kesehatan haji untuk fokus memantau jemaah-jemaah yang kesehatannya rentan terganggu. Intervensi sebelum keberangkatan pada saat pemeriksaan kesehatan di puskesmas dapat dilakukan sesuai dengan panduan GOLD.9,62 Pada penderita PPOK, diupayakan program pencegahan eksaserbasi akut yaitu berhenti merokok bagi mereka yang masih merokok. Berhenti merokok akan menurunkan progresivitas kerusakan saluran napas dan mengurangi risiko penyakit kardiovaskular.9 Edukasi bahwa yang bersangkutan memiliki masalah saluran pernapasan dan berpotensi untuk mengalami eksaserbasi, sehingga harus menghindari hal-hal yang mencetuskan eksaserbasi seperti aktivitas yang terlalu berat, mengalami perubahan cuaca ekstrim, dan menghindari infeksi dengan memakai masker dan mengikuti program vaksinasi. Semua penderita PPOK dianjurkan mendapatkan vaksin influenza karena dapat menurunkan rawat inap akibat infeksi paru.78 Vaksin pneumococcus dianjurkan untuk penderita PPOK usia ≥ 65 tahun atau penderita dengan usia yang lebih muda, namun memiliki komorbid penyakit jantung.79 Sesuai dengan panduan dari Spanish Guideline of COPD, fisioterapi dianjurkan pada penderita PPOK moderat (indeks BODE >3). Jemaah haji dengan risiko rendah (BODE 0-3) dapat diberikan terapi farmakologi berupa inhalasi B2 agonis kerja pendek, atau antikolinergik inhalasi kerja pendek, atau B2 agonis kerja panjang, sedangkan pada jemaah haji PPOK risiko moderat, diberikan terapi maintenans kombinasi inhalasi β2 agonis kerja panjang dan antikolinergik inhalasi kerja panjang, dan dapat ditambahkan dengan kombinasi kortikosteroid inhalasi.76 Selama penerbangan, penderita PPOK dapat mengalami gejala hipoksia dan dapat menginduksi eksaserbasi akut atau gangguan kardiovaskular, karena itu persediaan oksigen diperlukan untuk mencegah perburukan kondisi jemaah haji.34 Apabila jemaah haji mengalami perburukan fungsi pernapasan, maka dengan adanya diagnosis PPOK akan mengarahkan dokter kloter menegakkan diagnosis Universitas Indonesia
Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014
40
PPOK eksaserbasi akut. Adanya derajat keparahan PPOK akan membantu dokter menentukan prognosis dan menetapkan pengobatan empiris yang adekuat. 6.6.
Kelebihan dan Keterbatasan Penelitian
Ini adalah penelitian pertama yang menilai hubungan antara indeks BODE pada jemaah haji PPOK dan kejadian eksaserbasi akut saat ibadah haji. Teknis yang dilaksanakan juga berbeda dibandingkan dengan penelitian sejenis karena dilakukan di populasi yang dinamis (jemaah haji). Metode kohort retrospektif juga mengurangi bias dalam menetapkan kejadian eksaserbasi dan hospitalisasi. Stratifikasi derajat keparahan PPOK akan memudahkan petugas kesehatan haji untuk menentukan jemaah haji risiko tinggi. Data jemaah haji PPOK diambil dari proses skrining dengan menggunakan spirometri. Peneliti ikut serta dalam proses penelitian divisi Pulmonologi IPD FKUI/RSCM sebagai petugas yang melakukan spirometri. Sebelum melakukan skrining, dilakukan pelatihan di divisi pulmonologi sehingga pelaksana spirometri memiliki keterampilan dasar yang sama. Keterbatasan dari penelitian ini adalah jumlah sampel yang sedikit. Sehingga uji validasi untuk sistim skor tidak bisa dilakukan. Tidak ada perwakilan dari tim penelitian Divisi Pulmonologi yang ikut berangkat ke Mekah dan melakukan observasi langsung kejadian eksaserbasi, sehingga penetapan berdasarkan proses recall. 6.7.
Generalisasi Hasil Penelitian
Penilaian generalisasi dilakukan untuk menentukan apakah hasil penelitian ini dapat diaplikasikan pada populasi yang lebih luas, yaitu jemaah haji Indonesia, ada tiga validitas yang akan dievaluasi, yaitu, validitas interna, validitas eksterna 1 dan validitas eksterna 2. Validitas interna dinilai dari kelengkapan dan kebenaran data penelitian, semua subjek penelitian yang dipilih jumlahnya sama dengan yang dianalisis, tidak ada subjek penelitian yang keluar dari penelitian. Jumlah sampel tidak terlalu besar namun masih memungkinan untuk melakukan analisis non parametrik. Penelitian dilakukan secara kohort retrospektif, sehingga hubungan temporal antara kejadian Universitas Indonesia
Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014
41
eksaserbasi dan penetapan diagnosis jelas. Indeks BODE terdiri atas parameter yang mudah diukur, terdiri atas komponen subjektif dan objektif, ditentukan satu kali sebelum jemaah berangkat haji oleh petugas medis yang sudah dilatih. Penetapan eksaserbasi dilakukan secara recall, sehingga ada risiko recall bias dalam penentuan eksaserbasi akut. Antisipasi sudah dilakukan untuk menurunkan risiko bias dengan cara edukasi dan follow up subjek penelitian dan dokter kloter sebelum dan setelah pulang haji. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan validitas interna penelitian ini cukup baik. Proses skrining jemaah haji PPOK dilakukan secara konsekutif pada populasi terjangkau yaitu seluruh calon jemaah haji provinsi DKI Jakarta tahun 2012 dengan PPOK atau faktor risiko PPOK. Semua jemaah haji PPOK yang sesuai kriteria inklusi diikusertakan dalam penelitian. Berdasarkan hal tersebut, maka validitas eksterna I penelitian ini baik. Karakteristik demografi subjek penelitian sesuai dengan karakteristik subjek penelitian Sakti A di Indonesia tahun 2011 yang mengambil sampel penelitian dari 2 provinsi, DKI Jakarta dan Banten. Penelitian yang dikerjakan juga relevan dengan kondisi kesehatan jemaah haji Indonensia, dan dapat dilakukan di puskesmas pada saat
proses pemeriksaan
kesehatan haji.
Berdasarkan
pertimbangan diatas, maka validitas eksterna II penelitian ini baik. Meskipun demikian, diperlukan penelitian yang bersifat multisenter di daerah-daerah Indonesia sehingga dapat dilakukan uji validasi indeks BODE sebagai prediktor PPOK eksaserbasi akut jemaah haji Indonesia.
Universitas Indonesia
Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014
BAB 7 SIMPULAN DAN SARAN 7.1.
Simpulan
Rentang indeks BODE pada jemaah haji PPOK adalah 0-6, dimana jemaah haji PPOK dengan indeks BODE >3 memiliki risiko relatif eksaserbasi akut PPOK 1,9 kali lebih tinggi dibandingkan jemaah haji PPOK dengan indeks BODE 0-3. 7.2.
Saran
Indeks BODE memiliki potensi sebagai prediktor PPOK eksaserbasi akut pada jemaah haji, penelitian lebih lanjut dapat dikerjakan dengan besar sampel yang sesuai untuk penelitian multisenter, serta melakukan pengamatan
langsung
subjek
penelitian
saat
ibadah
haji
untuk
meningkatkan kekuatan penelitian yang menyokong peran indeks BODE sebagai prediktor PPOK eksaserbasi akut pada jemaah haji
Penegakan diagnosis PPOK pada calon jemaah haji harus dilakukan petugas kesehatan sebelum berangkat haji, sehingga intervensi dini dapat dilakukan dan kejadian PPOK eksaserbasi akut saat ibadah haji dapat diturunkan.
42
Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
43
RINGKASAN Kejadian PPOK eksaserbasi akut meningkat selama melaksanakan ibadah haji. Dibutuhkan stratifikasi sederhana dan komprehensif pada jemaah haji PPOK sebelum berangkat haji untuk memprediksi risiko eksaserbasi akut. Indeks BODE adalah sistim skoring multidimensional yang digunakan untuk memprediksi mortalitas dan kejadian PPOK eksaserbasi akut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara indeks BODE dengan kejadian PPOK eksaserbasi akut pada jemaah haji. Penelitian ini adalah studi kohort retrospektif. Subjek penelitian berasal dari rekam medik hasil skrining PPOK jemaah haji asal DKI Jakarta tahun 2012. Indeks BODE dan data demografi lain seperti usia, jenis kelamin, riwayat merokok, dan komorbid ditentukan dari rekam medik. Kejadian PPOK eksaserbasi akut ditentukan melalui analisis hasil anamnesis jemaah haji PPOK saat kembali ke Indonesia, laporan dokter kloter, dan laporan tertulis buku kesehatan haji. Penelitian mendapatkan 60 subjek yang sesuai dengan kriteria penerimaan. Indeks BODE 0-2 ada 48 orang (80%), Indeks BODE 3-4 ada 6 orang (10%) dan indeks BODE 5-6 ada 6 orang (10%). Terdapat 35 orang (58,3%) yang mengalami PPOK eksaserbasi akut, dan 5 orang diantaranya rawat inap. Hasil uji Chi-Square dengan Fisher Exact Test antara kelompok indeks BODE 0-3 dan >3 dengan kejadian eksaserbasi akut memberikan hasil p = 0,009, RR 1.9 (IK 1,4-2,5) Sebagai kesimpulan, rentang Indeks BODE pada jemaah haji PPOK adalah 0-6 dimana terdapat hubungan antara indeks BODE dan kejadian PPOK eksaserbasi akut dengan kelompok risiko ringan (indeks BODE 0-3) memiliki risiko relatif PPOK eksaserbasi akut 1,9 kali lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok risiko tinggi (indeks BODE >3). Berdasarkan kesimpulan ini indeks BODE memiliki potensi untuk digunakan sebagai prediktor eksaserbasi akut pada jemaah haji PPOK. Dibutuhkan penelitian kohort multisenter dengan jumlah subjek yangsesuai untuk meningkatkan kekuatan penelitian yang menilai penggunaan indeks BODE ini pada jemaah haji PPOK.
Universitas Indonesia
Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014
44
SUMMARY
Risk of acute exacerbation of COPD is increasing during hajj activities. Therefore a simple and comprehensive grading system should be measured in COPD hajj pilgrims before they perform religious activities to predict risk of acute exacerbation. BODE index is a multidimensional grading system that used to predict mortality and risk of acute exacerbation in COPD. There is no previous research that implement BODE index as a predictor of acute exacerbation of COPD in hajj pilgrims. This was a cohort retrospective study among COPD hajj pilgrims from Jakarta year 2012. BODE index and other demographic data such as age, sex, smoking history, and komorbid was obtained from medical records of COPD screening project. Incident of acute exacerbation of COPD was determined by analysis of anamnesis of subject when they arrived in Indonesia, report from general physician in charge from the kloter, and document report form personal health report book of the pilgrims. There were 60 subjects met the inclusion criteria and as many as 35 (58,3%) of them experienced acute exacerbation od COPD during hajj, 5 of them got hospitalized. We discovered 48 subjects (80%) with BODE index 0-2, 6 subjects (10%) with BODE index 3-4, and 6 subjects (10%) with BODE index 5-6. Fisher Exact Test between groups BODE index 0-3 and >3 showed significant association (p = 0,009, RR 1,9 (CI 1,4-2,5) In conclusion, range of BODE Index of COPD hajj pilgrims is 0-6. The risk of acute exacerbation will increase 1.9 times between COPD hajj pilgrims with BODE index >3 compare with BODE index 0-3. Based on these conclusion, BODE index is potential to be used as a predictor of acute exacerbation COPD in hajj pilgrims. Futher research should conduct with kohort and multicentre area to increase power of the research.
Universitas Indonesia
Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014
45
DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3.
4. 5.
6.
7. 8. 9. 10. 11. 12.
13.
14.
15.
16. 17. 18.
Hajj 2012 statistics. Central Department of Statistics and Informations Kingdom of Saudi Arabia. 2014 [diunduh 12 Juli 2012]. Terdapat dalam: http://www.cdsi.gov.sa/english. Supriyantoro. Evaluasi Nasional Penyelenggaraan Kesehatan Haji tahun 2012. Direktur Jendral Bina Upaya Kesehatan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Deris ZZ, Hasan H, Wahab MS, Sulaiman SA. The Association between pre-morbid conditions and respiratory tract manifestations amongst Malaysian Hajj Pilgrims. Tropical Biomedicine. 2010;27(2): 294–300 Penyebab Kematian Jamaah Haji Indonesia tahun 1429 H/2008 M: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia.2009. Mandourah Y, Al-Radi A, Ocheltree AH , Ocheltree SR, Fowler RA. Clinical and temporal patterns of severe pneumonia causing critical illness during hajj. BMC Infectious Diseases 2012;12:117-21. Baharoon S, Al-Jahdali H, Al Hashmi J, Memish ZA, Ahmed QA. Severe sepsis and septic shock at the Hajj: etiologies and outcomes. Travel Med Infect Dis. 2009 Jul;7(4):247-52. Al-Ghamdi SM, Akbar HO, Qari YA, Fathaldin OA, Al-Rashed RS. Pattern of admission to hospitals during muslim pilgrimage (Hajj). Saudi Med J. 2003 Oct;24(10):1073-6. Sakti A. Faktor-faktor yang mempengaruhi eksaserbasi penyakit paru obstruksi kronik pada jamaah haji DKI Jakarta 2011. Jakarta: Indonesia; 2011. GOLD, editor. Global strategy for diagnosis, management, and prevention of chronic obstructive pulmonary disease: GOLD inc; 2013. Stockley RA, Mannino D, Barnes PJ. Burden and pathogenesis of chronic obstructive pulmonary disease. Proc Am Thorac Soc. 2009 Sep 15;6(6):524-6. Anzueto A. Impact of exacerbations on COPD. Eur Respir Rev. 2010 Jun;19(116):113-8. Gan WQ, Man SFP, Senthilselvan A, Sin DD. Association between chronic obstructive pulmonary disease and systemic inflammation: a systematic review and a metaanalysis. Thorax. 2004;59:574–80. Van Dijk WD vdBL, van den Haak-Rongen S, Bischoff E, van Weel C, Veen J et al. Multidimensional prognostic indices for use in COPD patient care : a systematic review. Respiratory Research. 2011;12:151-62. Celli BR, Cote CG, Marin JM, Casanova C, Oca MM, Mendez RA et al. The body mass index, airflow obstruction, dyspnea, and exercise capacity index in chronic obstructive pulmonary disease. N Eng J Med. 2004;350:1005-12. Soler-Cataluna JJ, Martinez-Garcia MA, Sanchez LS, Tordera MP, Sanchez PR. Severe exacerbations and BODE index: two independent risk factors for death in male COPD patients. Respir Med. 2009 May;103(5):692-9. Ong KC. A Multidimensional grading system (BODE Index) as predictor of hospitalization for COPD. Chest. 2005;128(6):3810-6. Cote CG, Celli BR. BODE index: a new tool to stage and monitor progression of chronic obstructive pulmonary disease. Pneumonol Alergol Pol. 2009;77(3):305-13. Alcázar B G-PC, Herrejón A, Ruiz LA, de Miguel J, Ros JA, García-Sidro P, Conde GT, López-Campos JL, Martínez C, Costán J, Bonnin M, Mayoralas S, Miravitlles M. Factors associated with hospital admission for exacerbation of chronic obstructive pulmonary disease. Arch Bronconeumol. 2012;48(3):70-6.
Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014
46
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30. 31.
32. 33. 34.
Marin JM, Carrizo SJ, Casanova C, Martinez-Camblor P, Soriano JB, Agusti AG, et al. Prediction of risk of COPD exacerbations by the BODE index. Respir Med. 2009 Mar;103(3):373-8. Koblizek V, Salajka F, Cermakova E, Tomsova M, Pohnetalova D, Papousek P, et al. Relationship between quality of life and BODE index of stable ex-smokers with chronic obstructive pulmonary disease. Vnitr Lek. 2009 Oct;55(10):940-7. Bu XN YT, Thompson MA, Hutchinson AF, Irving LB. . Changes in the BODE index, exacerbation duration and hospitalisation in a cohort of COPD patients. Singapore Med J. 2011;52(12):894-900. Funk G-C, Kirchheiner K, Burghuber O, Hartl S. BODE index versus GOLD classification for explaining anxious and depressive symptoms in patients with COPD – a cross-sectional study. Respiratory Research. 2009;10(1):1. Janson C, Marks GB, Buist S, Gnatiuc L, Gislason Th, Mc Burnie MA, et al. The impact of COPD on health status : finding from the BOLD study. Eur Respir J. 2013;42:147283. Xu W, Collet JP, Shapiro S, Lin Y, Yang T, Wang C, et al. Negative impact of unreported COPD exacerbation on health related quality of life at 1 year. Eur Respir J. 2010;35:1022-30. Langsetmo L, Platt RW, Ernst P, Bourbeau J. Underreporting exacerbation of chronic obstructive pulmonary disease in a longitudinal cohort. Am J Respir Crit Care Med. 2008;177:396-401. Di Bonaventura MC, Paulose-Ram R, Su J, McDonald M, Zou KH, Wagner J, et al. The burden of chronic obstructive pulmonary disease among employed adults. International Journal of COPD. 2012;7:211-9. Di Bonaventura MC, Paulose-Ram R, Su J, McDonald M, Zou KH, Wagner J, et al. The impact of COPD on quality of life, productivity loss, and resource use among the elderly United States Workforce. International Journal of COPD. 2012;9:46-57. Pasquale MK, Sun SX, Song F, Hartnett HJ, Stemkowski SA. Impact of exacerbation on health care cost and resource utilization in COPD patients with chronic bronchitis From a predominantly medicare population. International Journal of COPD. 2012;7:757-64. Reilly JJ SE, Shapiro SD. Chronic obstructive pulmonary disease. In: Kasper B, Longo, Fauci, Hauser,Jameson, editor. Harrison Principle of Internal Medicine. 18th ed: Mc Graw-Hill; 2011. p. 1547-53. Tinkelman DG, Price DB, Nordyke RJ, Halbert RJ. Misdiagnosis of COPD and asthma in primary care patients 40 years of age and over. J Asthma. 2006 Jan-Feb;43(1):75-80. Garcia-Aymerich J, Farrero E, Felez MA, Izquierdo J, Marrades RM, Anto JM. Risk factors of readmission to hospital for a COPD exacerbation: a prospective study. Thorax. 2003 Feb;58(2):100-5. Kelly MG, Elborn JS. Admissions with chronic obstructive pulmonary disease after publication of national guidelines. Ir J Med Sci. 2002 Jan-Mar;171(1):16-9. Cote CG, Dordelly LJ, Celli BR. Impact of COPD exacerbations on patient-centered outcomes. Chest. 2007;131(3):696-704. ATS. Standards for the diagnosis and treatment of patients with COPD: a summary of the ATS/ERS position paper. Eur Respir J. 2004;23:932–46.
Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014
47
35.
36. 37.
38. 39.
40.
41.
42. 43. 44.
45.
46. 47.
48.
49.
50.
Garcia-Aymerich J, Monso E, Marrades RM, Escarrabill J, Felez MA, Sunyer J, et al. Risk factors for hospitalization for a chronic obstructive pulmonary disease exacerbation. EFRAM study. Am J Respir Crit Care Med. 2001 Sep 15;164(6):1002-7. Pitta F, Troosters T, Probst VS, Spruit MA, Decramer M, Gosselink R. Physical activity and hospitalization for exacerbation of COPD. Chest. 2006 Mar;129(3):536-44. Lundback B, Eriksson B, Lindberg A, Ekerljung L, Muellerova H, Larsson LG, et al. A 20-year follow-up of a population study-based COPD cohort-report from the obstructive lung disease in Northern Sweden studies. COPD. 2009 Aug;6(4):263-71. Tinkelman DG, Price DB, Nordyke RJ, Halbert RJ. COPD effort in primary care : what is the yield ? Primary Care Respiratory Journal. 2007;16(1):41-8. Ichinose M, Aizawa H, Ishizaka A, Nagai A, Fukuchi Y, Mullerova H, et al. Chronic obstructive pulmonary disease (COPD) burden in Japan--confronting COPD Japan survey. Nihon Kokyuki Gakkai Zasshi. 2007 Dec;45(12):927-35. Mosharraf-Hossain KM, Islam S, Kalam Azzad A, Pasha MM, Sultana F, Hossain RZ, et al. Detection of chronic obstructive pulmonary disease using spirometric screening. Mymensingh Med J. 2009 Jan;18(1 Suppl):S108-12. O'Donnell DE, Aaron S, Bourbeau J, Hernandez P, Marciniuk DD, Balter M et al. Canadian Thoracic Society recommendations for management of chronic obstructive pulmonary disease - 2007 update. Can Respir J. 2007 Sep;14 Suppl B:5B-32B. Celli B. The light at the end of the tunnel: is COPD prevalence changing? Eur Respir J. 2010 Oct;36(4):718-9. White P. Prevalence of COPD in primary care: no room for complacency. Fam Pract. 2009 Feb;26(1):1-2. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1022/MENKES/SK/XI/2008. Pedoman Pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik. In: Departemen Kesehatan Republik Indonesia, editor. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2008. Omachi TA, Gregorich SE, Katz PP, Penaloza RA, Yelin RH, Irribaren C. In COPD, BODE index components add predictive value to existing risk adjusted capitated payment models and may facilitate equity in health care access among racial-ethnic groups. 2011:B102. Donaldson GC, Wedzicha JA. COPD exacerbations .1: Epidemiology. Thorax. 2006 Feb;61(2):164-8. Godtfredsen NS, Lam TH, Hansel TT, Leon ME, Gray N, Dresler C, et al. COPD-related morbidity and mortality after smoking cessation: status of the evidence. Eur Respir J. 2008 Oct;32(4):844-53. Ko FW, Tam W, Tung AH, Ngai J, Ng SS, Lai K, et al. A longitudinal study of serial BODE indices in predicting mortality and readmissions for COPD. Respir Med. 2011 Feb;105(2):266-73. Camiciottoli G BF, Bartolucci M, Cestelli L, Paoletti M, Diciotti S, Cavigli E, Magni C, Buonasera L, Mascalchi M, Pistolesi M. BODE-index, modified BODE-index and ADOscore in chronic obstructive pulmonary disease: relationship with COPD phenotypes and CT lung density changes. COPD. 2012 Simon KM CM, Correa KS, Dos Santos K, Karloh M, Mayer AF. Relationship between daily living activities (ADL) limitation and the BODE index in patients with Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD). Rev Bras Fisioter. 2011;15(3):212-8.
Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014
48
51. 52.
53.
54.
55.
56.
57.
58. 59.
60.
61.
62. 63. 64.
65. 66.
67. 68.
Cote CG. Pulmonary rehabilitation and the BODE index in COPD. European Respiratory Journal. 2005;26(4):630-6. Celli BR, Cote CG, Goodwin E, Sciarappa K, Curry L, Hanrahan JP. Change in BODE with LABA Therapy in COPD: Association with Exacerbation Frequency and Patient Status. Am J Respir Crit Care Med. 2009;179. Esteban C, Quintana JM, Moraza J, Aburto M, Aguirre U, Aguirregomoscorta JI, et al. BODE-Index vs HADO-Score in chronic obstructive pulmonary disease: Which one to use in general practice? BMC Medicine. 2010;8(1):28. Dickens JA, Miller BE, Edwards LD, Silverman EK, Lomas DA, Tal-Singer R. COPD association and repeatability of blood biomarkers in the ECLIPSE cohort. Respiratory Research. 2011;12(1):146. Jones PW, Harding G, Berry P, Wiklund I, Chen WH, Kline Leidy N. Development and first validation of the COPD Assessment Test. European Respiratory Journal. 2009;34(3):648-54. Omachi TA, Yelin EH, Katz PP, Blanc PD, Eisner MD. The COPD severity score: a dynamic prediction tool for health-Care utilization. COPD: Journal of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. 2008;5(6):339-46. Solway S, Brooks D, Lacasse Y, Thomas S. A qualitative systematic overview of the measurement properties of functional walk tests used in the cardiorespiratory domain. CHEST. 2001;119(1):256-70. Enright P. The six-minute walk test. Respir care. 2003;48(8):783-5. Hurst JR. Vestbo J, Anzueto A, Locantore N, Müllerova H, Tal-Singer R, Bruce Miller et al. Susceptibility to exacerbation in chronic obstructive pulmonary disease. N Engl J Med. 2010;363:1128-38. Seemungal TAR, Hurst JR, Wedzicha JA. Exacerbation rate, health status and mortality in COPD – a review of potential interventions. International Journal of COPD. 2009;4: 203–23. Walters EH, Walters J, Wills KE, Robinson A, Wood-Baker R. Clinical diaries in COPD: compliance and utility in predicting acute exacerbations. International Journal of COPD. 2012;7:427-35. Kementrian Kesehatan RI. Bahan Bacaan Peserta Tim Kesehatan Haji Indonesia. 2011. Hajj Ratings. 2007 [di unduh 21 Mei 2013]. Terdapat dalam www.HajjRatings.com. Alsagaff H, Mangunegoro H. Nilai normal faal paru orang Indonesia pada usia sekolah dan pekerja dewasa berdasarkan rekomendasi American Thoracic Society (ATS) 1987. Airlangga University Press Surabaya. 1993 Bellamy D, editor. Spirometry in practice: A practical guide to using spirometry in primary care 2ed. London: BTS COPD Consortium; 2005. Lindberg A, Bjerg A, Ronmark E, Larsson LG, Lundback B. Prevalence and underdiagnosis of COPD by disease severity and the attributable fraction of smoking Report from the Obstructive Lung Disease in Northern Sweden Studies. Respir Med. 2006 Feb;100(2):264-72. Yusalena. Faktor-faktor risiko eksaserbasi akut PPOK. Tesis IPD FKUI/RSCM. 2013. Lokke A, Lange P, Scharling H, Fabricius P, Vestbo J. Developing COPD : A 25 year follow up study of the general population. Thorax. 2006;61(935-939).
Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014
49
69.
70. 71. 72.
73.
74. 75. 76.
77. 78.
79.
Sorheim I, Johannessen A, Gulsvik A, Bakke PS, Silverman EK, DeMeo DL. Gender differences in COPD : are women more susceptible to smoking effects than men? Thorax. 2013;65:480-5. Chatila WM, M. B, Thomashow, Minai OM, Criner GJ, Make BJ. Comorbidities in chronic obstructive pulmonary disease. Proc Am Thorac Soc 2008;55( ):549–55. Finkelstein J CE, Scharf SM. Chronic obstructive pulmonary disease as an independent risk factor for cardiovascular morbidity. International Journal of COPD. 2009;4 337–49. Divo M, Cote C, de Torres JP, Casanova C, Marin JM, Pinto-Plata V, et al. Comorbidities and risk of mortality in patients with chronic obstructive pulmonary disease. Am J Respir Crit Care Med. 2012 Jul 15;186(2):155-61. Faganello MM, Tanni SE, Sanchez FF, Pelegrino NR, Lucheta PA, Godoy I. BODE index and GOLD staging as predictors of 1-year exacerbation risk in chronic obstructive pulmonary disease. Am J Med Sci. 2010 Jan;339(1):10-4. Guerra S, Sherrill DL, Bobadilla A, Martinez FD, Barbee RA. The relation of body mass index to asthma, chronic bronchitis, and emphysema. CHEST. 2002;122:1256–63. Shen N, He B. Is the new GOLD classification applicable in China? The Lancet. 2013;1:247-8. Miravitlles M, Soler-Cataluna JJ, Calle M, Molina J, Almagro P, Quintano JA, et al. Spanish COPD guidelines : pharmacological treatment of stable COPD. Arch Bronconeumol. 2012;48(7):247-57. Jemaah Haji Risti 2014 [diunduh 20 Mei 2014]. Terdapat dalam: www.petugashaji.com. Wongsurakiat P, Maranetra KN, Wasi C, Kositanont U, Dejsomritrutai W, Charoenratanakul S. Acute respiratory illness in patients with COPD and the effectiveness of influenza vaccination : a randomized controlled study. CHEST. 2004;125:2011-20. Niewoehner DE. Outpatient management of severe COPD. N Engl J Med 2010;362:1407-16.
Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014
50
Lampiran 1. Proses Skrining Penelitian Divisi Pulmonologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM Proses skrining terdiri atas 2 langkah, 1. Pengurusan izin pengumpulan data di lapangan dan mencari data sekunder demografi jemaah haji Waktu Bulan 1
Aktivitas Pengurusan izin ke Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta Meminta data sekunder profil calon jemaah haji dari Departemen Agama Bulan 2 Pengurusan izin ke Asrama Haji Pondok Gede dan 3 Pengurusan izin ke Badan Kebangsaan dan Politik Provinsi DKI Jakarta Pengurusan izin ke Gubernur DKI Jakarta Pengurusan izin ke Puskesmas Kecamatan DKI Jakarta Pengurusan izin ke Kantor Kesehatan Pelabuhan DKI Jakarta 2. Pengambilan sampel penelitian dan pencatatan kejadian eksaserbasi akut Waktu Bulan ke 4
Bulan ke 5 Bulan ke 6 Bulan ke 7 Bulan ke 8
Aktivitas Skrining PPOK di puskesmas kecamatan saat vaksinasi meningitis (percobaan) Edukasi calon TKHI tentang PPOK, cara diagnosis, tatalaksana dan cara mengisi kartu pemantauan Skrining PPOK di Embarkasi untuk melengkapi pengumpulan data dari seluruh wilayah DKI Jakarta Ibadah haji di Madinah dan Mekah Masa kepulangan jemaah haji Pengumpulan data eksaserbasi PPOK di Bandara Udara Soekarno-Hatta Kunjungan rumah untuk melengkapi data subjek penelitian yang kurang atau tidak jelas
Pengambilan sampel dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan skrining calon jemaah haji, yang dilakukan di Embarkasi Pondok Gede. Calon jemaah haji yang sesuai dengan kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi akan di periksa fungsi paru dengan spirometri.Spirometri dilakukan dalam posisi berdiri sebanyak 3 kali, tanpa bronkodilator, dan diambil nilai terbaik. Semua calon jemaah haji dengan nilai spirometri sesuai kriteria diagnosis PPOK dari GOLD kemudian di catat data berupa :
Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014
51
(lanjutan) 1. Umur, jenis kelamin, indeks massa tubuh, penyakit penyerta, kebiasaan merokok, riwayat vaksinasi influenza 2. FEV1 prediksi 3. Hasil penilaian uji jalan 6 menit 4. Skor mMRC Setelah pemeriksaan dan pencatatan data selesai, peneliti akan mengedukasi subjek penelitian mengenai penyakit PPOK dan gejala eksaserbasi akut PPOK. Calon jemaah haji juga dibekali dengan kartu pemantauan eksaserbasi PPOK yang mudah dibawa dalam saku atau tas kecil. Dalam kartu pemantauan tersebut ditulis dengan huruf yang jelas dan mencolok tanda-tanda eksaserbasi akut dan tindakan yang harus dilakukan apabila mengalami PPOK eksaserbasi akut. Selanjutnya dokter kloter akan mendapat nama-nama jemaah haji secara tertulis beserta kartu pemantauan PPOK di embarkasi satu hari sebelum berangkat haji. Di jelaskan kepada dokter kloter untuk mengamati dan mencatat didalam kartu pemantauan apabila jemaah haji dengan diagnosis PPOK berobat ke dokter kloter karena gejala saluran nafas selama melaksanakan ibadah haji di Arab Saudi. Setelah pulang haji, data dari dokter kloter dan jemaah haji yang ikut sebagai subjek penelitian akan dikumpulkan saat di embarkasi, atau disusul di rumah subjek penelitian. Bila terdapat perbedaan data frekuensi eksaserbasi dan rawat inap antara catatan dokter kloter dan catatan subjek penelitian, maka diambil data hasil catatan dokter kloter.
Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014
52
Lampiran 2. Proses Skrining Jemaah Haji PPOK dan Pemilihan Subjek Penelitian
Jemaah haji DKI Jakarta 2012 7.074 orang Berusia kurang dari 40 tahun 1.194 orang Jemaah berusia ≥ 40 tahun 5.880 orang
Bukan current smoker ataubekas perokok lebih dari 5 tahun atau menolak pemeriksaan spirometri 5.364 orang
Jemaah dengan faktor risiko PPOK 516 orang Bukan PPOK 455 orang Jemaah haji PPOK 61 orang Tidak uji jalan 1 orang Subyek penelitian 60 orang
Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014
53
Lampiran 3. Kuesioner Penelitian Judul penelitian : Profil dan Analisis Kejadian Eksaserbasi Akut Penyakit Paru Obstruksi Kronik pada Jemaah Haji Embarkasi Jakarta-Pondok Gede Tahun 2012 Peneliti Utama :
dr. Anna Uyainah ZN, SpPD, KP, MARS
Tim Peneliti :
dr. Ali Sakti, M.Kes
dr. M. Ikhsan Mokoagow
dr. Dadang Herdiana
dr. Yulidar
dr. Hadiki Habib
Asisten Peneliti :
dr. Sri Rahayu
Pengesahan oleh Peneliti Bersama ini saya menyatakan telah memberi penjelasan tujuan serta manfaat penelitian Profil dan Analisis Kejadian Eksaserbasi Akut Penyakit Paru Obstruksi Kronik pada Jemaah Haji Embarkasi Jakarta-Pondok Gede Tahun 2012dan telah dimengerti oleh pasien/keluarga pasien.
Peneliti,
Tanggal : ________________________
___________________________ dr. Anna Uyainah ZN, SpPD, KP, MARS
Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014
54
(lanjutan) Persetujuan Pasien/Kelurga Pasien Saya yang bertandatangan di bawah ini: Nama Pasien / Keluarga Pasien
: ______________________
Umur
: ______________________
Alamat rumah
: ______________________
Telp : ____________________ Hp : ______________________
Setelah membaca, mendengar penjelasan tentang penelitian ini, saya memahami tujuan, risiko, dan manfaat penelitian ini. Saya menyatakan secara sukarela bersedia mengikuti prosedur penelitian dari awal hingga selesai dan setuju data mengenai kesehatan saya/keluarga saya dipergunakan untuk penelitian ini baik data dari wawancara, hasil kuesioner, pemeriksaan fisik, laboratorium, maupun pemeriksaan penunjang lainnya Demikian surat pernyataan ini dibuat agar dapat dipergunakan dengan semestinya. Tanggal
: _______________________
Pasien/Keluarga pasien
: _______________________
Saksi
: _______________________
Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014
55
Lampiran 4. Standar Etik dan Aspek Legal Informed Consent (terlampir) Peneliti harus menjelaskan kepada subjek penelitian mengenai semua hal yang berkaitan dengan penelitian termasuk juga lembar informasi pasien yang telah disetujui oleh komite etik. Sebelum subjek berpartisipasi pada penelitian, formulir informed consent harus ditandatangani oleh subjek, atau wakil dari subjek. Formulir informed consent yang digunakan adalah yang sudah disetujui oleh komite etik. Komite etik Peneliti mengajukan proposal dan protokol penelitian kepada komite etik. Selama penelitian berlangsung, setiap adanya perubahan penelitian akan dilaporkan kepada komite etik. Monitoring penelitian Peneliti akan melakukan penelitian sesuai protokol dan proposal penelitian. Penelitian akan dilakukan sesuai jadwal penelitian yang telah ditetapkan. Peneliti akan mencatat semua data pada formulir penelitian yang telah disiapkan secara akurat dan tepat. Monitoring penelitian akan dilakukan langsung oleh peneliti. Kepemilikan data dan penggunaan hasil penelitian Seluruh data, hasil, informasi, dan penemuan serta informasi lain yang dikumpulkan selama penelitian ini adalah milik peneliti. Untuk itu, peneliti berhak menggunakan data penelitian ini. Laporan penelitian dan publikasi Peneliti bertanggung jawab terhadap hasil dan laporan penelitian dan berhak untuk mempublikasikan hasil penelitian. Efek samping Tidak terdapat efek samping atas penggunaan kuesioner. Tidak terdapat efek samping pada pemeriksaan spirometri.
Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014
56
Lampiran 5. Formulir Penelitian PROFIL DAN
ANALISIS KEJADIAN EKSASERBASI AKUT PENYAKIT
PARU OBSTRUKSI KRONIK PADA JAMAAH HAJI EMBARKASI JAKARTA-PONDOK GEDE TAHUN 2012 Apakah anda (dilingkari yang ya) 1. Berusia ≥ 40 tahun 2. Merokok lebih dari 10 bungkus/tahun (minimal 3 batang tiap minggu?) 3. Terpapar polusi udara (asap pabrik, kenderaan bermotor, asap dapur rutin minimal 3x seminggu?) atau stop merokok ≤ 5 tahun 4. FEV1 : 5. FVC : 6. FEV1/FVC < 0.7 Kriteria eksklusi 1. Riwayat serangan jantung 4 bulan terakhir 2. Saat ini sedang sesak nafas 3. Ada riwayat asma atau sesak nafas sejak usia muda yang hilang timbul 4. Umur >80 tahun 5. Dalam pengobatan TBC < 2 bulan Identitas Jamaah No. Rekam Medik : ......................................................... Nama pasien : ......................................................... Jenis Kelamin : 1. Pria 2. Wanita Berat badan : TinggiBadan : IMT : Umur : ........................................................... Pendidikan : …………….…………………………… Alamat pasien :….......................................................... No. Telepon : ............................................................. Tanggal pemeriksaan:............................................................... Dokter :............................................................... Tanggal berangkat: ...................................................... Kloter :........................................................ Tempat vaksin : Puskesmas Vaksinasi influenza : yatidak Komorbid : Asma, Hipertensi, PJK, CHF, DM, penyakit ginjal, CV
Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014
57
(Lanjutan) Sesak nafas : jawaban Ya maka dianggap keluhan sesak nafas (+) Apakah anda merasa mudah lelah atau nafas menjadi pendek saat berjalan terburu-buru atau menanjak ? A. Ya B. Tidak Batuk : jika ada 1 poin jawaban maka dianggap keluhan batuk (+) 1. Apakah anda sering batuk-batuk ? (terutama saat merokok atau keluar rumah ? A. ya B. Tidak 2. Apakah anda batuk sebanyak 4 sampai 6 kali sehari, selama minimal 4 hari seminggu ? A. Ya B. Tidak 3. Apakah anda biasa batuk saat bangun di pagi hari A. Ya B. Tidak 4. Apakah anda biasa batuk saat sore dan malam hari ketika tidur ? A. ya B. Tidak
Dahak : jika ada 1 poin jawaban maka dianggap keluhan dahak (+) 1. Apakah anda sering membuang dahak terutama saat diluar rumah? A. Ya B. Tidak 2. Apakah anda membuang dahak minimal 2 kali sehari, minimal 4 hari A. ya B. tidak 3. Apakah anda biasa membuang dahak saat pagi hari setelah bangun tidur? A. Ya B. Tidak 4. Apakah anda biasa membuang dahak saat sore dan malam hari ? A. Ya B. Tidak Skor MMRC Skor 0 1 2
3 4
Keterangan Sesak nafas timbul bila beraktivitas berat Sesak nafas bila berjalan cepat atau jalan menanjak Berjalan lebih lambatdari orang lain yang berumur sama akibat sesak nafas, atau harus berhenti berjalan Karena sesak nafas ketika berjalan biasa Berhenti berjalan karena sesak nafas setelah berjalan 100 meter atau setelah berjalan beberapa menit dengan kecepatan biasa Terlalu sesak nafas untuk berjalan keluar rumah atau sesak nafas saat (Lanjutan) berpakaian
Uji Jalan 6 Menit Saturasi sebelum uji : Jarak : Saturasi setelah uji :
Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014
58
Pemeriksaan Fisik Bila pasien sudah pernah didiagnosis PPOK/bronchitis paru Nama obat yang biasa digunakan: Yang meresepkan : 0 =Tenaga kesehatan selain dokter 1=Dokter umum 2=Dokter spesialis Paru/P.Dalam Lama pengobatan : bulan/ tahun Kepatuhan : 0= Reguler 1=Tidak regular Tempatberobat 0=. Puskesmas 1= Rumah Sakit Umum Riwayat serangan PPOK memberat sebelumnya : 0= Tidakpernah 1=Pernah Frekwensi eksaserbasi dalam setahun :0 = ≤ 3x eksaserbasi 1 = > 3x eksaserbasi Riwayat vaksinasi : 0 = belum vaksinasi Influenza/Pneumokokus 1= sudah vaksinasi Influenza/Pneumokokus Dilanjutkan dengan pengisian CAT score
Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014
59
Lampiran 6 . Etik Penelitian
Hubungan antara…, Hadiki Habib, FK UI, 2014