_____________________________________________________
TREND CORRUPTION REPORT TRIWULAN II TAHUN 2008
_____________________________________________________
_____________________________________________________ PUSAT KAJIAN ANTI KORUPSI FAKULTAS HUKUM UGM _____________________________________________________
_____________________________________________________ YOGYAKARTA, 12 JULI 2010 _____________________________________________________
1
I.
PENDAHULUAN
Kondisi umum upaya pemberantasan korupsi di Indonesia dalam beberapa waktu terakhir kian memprihatinkan. Bukannya semakin menunjukkan perbaikan, yang terjadi justru menguatnya pesimisme publik akibat lambannya aparat penegak hukum serta pudarnya komitemen penguasa dalam memerangi virus mematikan bernama korupsi. Memasuki periode tiga bulan kedua 2010, publik justru disodori sejumlah “drama” seputar penegakan hukum kasus korupsi. Mulai dari pengusutan skandal bank Century yang kian redup, penangkapan Gayus Tambunan, hingga penetapan mantan Kabareskrim Mabes Polri Susno Duaji sebagai tersangka suap dan korupsi. Belum cukup dengan itu, masih ada juga soal status pimpinan KPK Bibit S Riyanto dan Chandra M Hamzah yang kembali menjadi tersangka pasca SKPP (Surat Keterangan Penghentian Penuntutan) keduanya dibatalkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dengan deretan cerita di atas, teranglah konsentrasi aparat penegak hukum bukan terarah pada upaya mengusut kasus, tetapi justru terkuras pada penyelesaian persoalan internal yang tak kunjung reda dan tarik ulur politik pemberantasan korupsi. Situasi pelik tersebut misalnya terjadi pada internal KPK yang sibuk dengan nasib 2 komisionernya, atau Mabes Polri yang dipusingkan dengan sejumlah perwira yang terseret rekayasa kasus Gayus. Dalam kondisi semacam ini, jelas yang akan menuai untung adalah mereka para mafia dan juga komplotan koruptor. Sebaliknya, publik yang sangat menanti peningkatan grafik pemberantasan korupsi di Indonesia untuk sementara waktu harus gigit jari. Harapan yang tadinya diletakkan di pundak pemerintah beserta aparat penegak hukumnya kian hari kian pudar saja. Harus diakui bahwa situasi yang terjadi beberapa waktu terakhir sangatlah pelik. Meski begitu, pada kenyatannya upaya penegakan hukum kasus korupsi tetap berjalan. Walaupun di saat yang sama muncul banyak hambatan yang terang-terang mengganggu proses yang sedang dijalankan oleh aparat penegak hukum. Dalam konteks itulah, PuKAT Korupsi FH UGM sebagai lembaga yang concern terhadap isu pemberantasan korupsi kembali menyusun laporan tiga bulanan bertajuk Trend Corruption Report (TCR). Melalui TCR ini akan disajikan data beserta analisisnya terkait proses penegakan hukum kasus korupsi di Indonesia pada Triwulan II-2010. Dengan hadirnya laporan ini diharapkan akan muncul evaluasi serius dan berlanjut yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, pemerintah, ataupun elemen gerakan antikorupsi di Indonesia. 1.1. Pendekatan dan Sumber Data TCR Triwulan II-2010 ini adalah sebuah laporan mengenai kecenderungan tindak pidana korupsi pada bulan April-Juni tahun ini berdasarkan pemantauan yang dilakukan oleh PuKAT Korupsi FH UGM melalui pemberitaan media massa. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif-representatif. Maksudnya, pemantauan yang dilakukan tidak didasarkan pada jumlah kasus korupsi yang diberitakan oleh semua media massa. Namun, pemantauan hanya dilakukan pada kasus-kasus korupsi yang dianggap mewakili atau merepresentasikan pemberitaan media massa. Dengan mana, dipahami bahwa di saat yang sama masih banyak kasus korupsi lainnya di luar perkara yang dijadikan sebagai dasar penyusunan TCR Triwulan II-2010 ini. Untuk sumber data, PuKAT Korupsi FH UGM mendasarkannya pada media massa baik cetak maupun elektronik. Media di maksud adalah Kompas, Jawa Pos, Koran Tempo, Media Indonesia,
2
Koran Seputar Indonesia, Republika, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Bernas, dan Harian Jogja. Sedangkan untuk media elektronik adalah, www.detik.com, www.tempointeraktif.com, www.okezone.com, dan www.vivanews.com. 1.2. Periode Pemantuan 1 April – 15 Juni 2010 II. TREND KORUPSI TRIWULAN II-2010 Selama Triwulan II-2010, PuKAT Korupsi FH UGM berhasil memantau 83 kasus korupsi. Sebagaimana dijelaskan di bagian awal, jumlah kasus tersebut bukanlah keseluruhan, melainkan representasi pemberitaan media massa sepanjang periode April-Juni 2010. Di bawah ini disajikan data statistik beserta analissnya sesuai dengan kategori yang telah ditentukan. Adapun kategori dimaksud meliputi: aktor korupsi, modus korupsi, sektor korupsi, tingkat kerugian negara, lembaga yang menangani, dan vonis pengadilan. 2.1. Aktor Korupsi Pejabat daerah mencatatkan diri sebagai aktor yang paling banyak melakukan korupsi pada periode ini. Dari 83 kasus dan total pelaku 124 orang, aktor dari unsur ini jumlahnya mencapai 27 orang (21,77%). Menyusul di urutan kedua adalah pelaku dari dari kalangan swasta. Tak tanggungtanggung, jumlahnya hingga 16,13% atau 20 orang. Menutup urutan tiga besar kategori aktor korupsi adalah anggota/mantan anggota DPR/DPRD. Dari unsur wakil rakyat ini sekurang-kurangnya tercatat 19 orang (15,32%) terjerat kasus korupsi.
Data di atas memberi petunjuk kepada kita bahwa pada Triwulan II-2010 setidak-tidaknya terdapat 13 kelompok aktor korupsi. Pengelompokan itu dilakukan untuk memudahkan dalam menganisa latar belakang profesi atau pekerjaan para pelaku. Disebutkan sebelumnya, tiga kelompok yang menempati urutan teratas kategori aktor korupsi adalah pejabat daerah, swasta, dan anggota/mantan anggota DPR/DPRD. Di luar ketiganya, masih terdapat aktor korupsi lainnya seperti dari kalangan penegak hukum, pejabat negara, dan juga perguruan tinggi. 3
Salah satu kelompok aktor korupsi yang patut disoroti pada periode ini adalah penegak hukum. Dari keseluruhan 9 pelaku, 3 di antaranya adalah polisi, 2 orang jaksa, 2 orang pengacara, dan 2 orang hakim. Dari kalangan polisi, nama Susno Duaji menjadi yang paling disorot publik. Mantan Kabareskrim Mabes Polri itu ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap penanganan kasus PT Salmah Arowana Lestari dan korupsi dana pengamanan Pilkada Jawa Barat. Nama lainnya adalah Adner Sirait, hakim pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara DKI Jakarta. Sirait dijadikan tersangka juga karena menerima suap dalam perkara Gayus Tambunan. Kenyataan bahwa aparat penegak hukum “mulai” kembali dijadikan tersangka semakin membuktikan bahwa judicial corruption atau korupsi di tubuh peradilan kita sudah sangat akut. Tidak hanya ironis, hal tersebut juga menjadi pertanda buruk bagi upaya pembenahan atau reformasi internal aparat penegak hukum. Terlebih lagi, pada Triwulan II-2010 ini juga terdapat 4 orang makelar kasus (markus) yang dijadikan sebagai pesakitan kasus korupsi. Sebagaimana disinyalir kuat selama ini, markus adalah orang yang diduga kuat menghubungkan kepentingan terdakwa dengan aparat penegak hukum guna mengatur sebuah perkara. Kolaborasi aparat penegak hukum nakal dan markus itulah yang menjadikan mafia hukum sulit dilenyapkan dari bumi Indonesia, 2.2. Modus Korupsi Pada periode Triwulan II-2010, modus yang paling sering digunakan adalah memperkaya diri sendiri atau orang lain. Totalnya adalah 39 kasus atau 46,99%. Kemudian, modus lain berdasarkan urutannya adalah: penyalahgunaan wewenang 16 kasus (19,23%), suap 11 kasus (13,25%), korupsi bersama-sama 10 kasus (12,05%), mark up dan penunjukan langsung masing-masing 3 kasus (3,61%). Di tangga terbawah, terdapat modus konvensional berupa penyalahgunaan anggaran yang diwakili 1 kasus atau 0,12%.
Berdasar pada tabel di atas jelas terlihat bahwa upaya memperkaya diri sendiri atau orang lain merupakan modus yang paling banyak digunakan oleh para aktor korupsi. Contoh pelaku tindak haram sebagaimana diatur Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 itu adalah Dirut PT Sarana Rekatama Dinamika, Yohanes Waworuntu. Karena terbukti bersalah dalam kasus Sisminbakum di Kementerian Hukum dan HAM, MA memvonis Waworuntu 5 tahun penjara. Modus serupa juga dilakukan mantan 4
Kepala Desa Panca Mulia, Bahrum Sirait, dalam kasus dugaan korupsi Alokasi Dana Desa (ADD) Rp Rp 53 juta. Oleh Kejaksaan Negeri Sengeti, Bahrum kini ditetapkan sebagai tersangka. Kenyataan bahwa upaya memperkaya diri sendiri atau orang lain sebagai modus yang paling sering terjadi pada periode ini tidaklah mengejutkan. Temuan tersebut sejatinya hanyalah pengulangan pada periode Triwulan I-2010. Yang patut dijadikan sebagai sorotan justru adalah terungkapnya sejumlah perkara yang dilakukan degan cara suap. Sebut di antaranya adalah dugaan suap untuk menghilangkan pasal tuntutan terhadap kasus Gayus Tambunan. Dalam perkara ini, Mabes Polri telah menetapkan 9 tersangka, dengan beberapa di antaranya adalah nama penting seperti: Jaksa Cirus Sinaga dan Poltak Manulang, Andi Kosasih, Sjahril Djohan, Haposan Hutagalung, Lambertus, Alif Kuncoro, Kompol Arafat, AKP Sri Sumartini, dan hakim Muhtadi Asnun. Terungkapnya sejumlah nama dari kalangan penegak hukum itu jelas menjadi catatan buruk. Dan dalam kondisi seperti inilah ketegasan institusi penegak hukum diperlukan guna mengusut tuntas anak buahnya yang diduga terlibat kasus. Kemudian, modus suap juga dilakukan oleh Bupati Pandeglang, Dimyati Natakusumah. Hanya saja majelis hakim akhirnya memutus bebas Dimyati yang kini memiliki posisi baru sebagai anggota DPR. Terakhir, kasus suap juga mencuat karena menyeret nama Susno Duaji dalam penanganan kasus PT Salmah Arowana Lestari. Namun keberlanjutan perkara yang diduga penuh degan “skandal” itu sampai saat ini masih belum final karena proses hukumnya sedang berjalan. 2.3. Sektor Korupsi Dari sisi sektor korupsi, pengadaan barang dan jasa menempati urutan teratas dengan 20 kasus (24,1%). Berada di deretan selanjutnya adalah sektor kesejahteraan sosial 15 kasus (18,07%), pemerintah daerah 12 kasus (14,46%), dan eksekutif daerah 7 kasus (8,43%). Selanjutnya, sektor pendapatan negara tercatat sebanyak 6 kasus (7,22%), DPR, DPRD, dan lain-lain masing-masing 5 kasus (6,02%). Berada dii urutan terbawah adalah sektor perbankan dan pendidikan masing-masing 3 kasus (3,61%), swasta 2 kasus (2,4%), pemerintah desa dan departemen masing-masing sebanyak 1 kasus (1,20%).
5
Bertenggernya pengadaan barang dan jasa di posisi tertinggi modus korupsi untuk periode Triwulan II-2010 lagi-lagi tidak mengejutkan dan bukan barang baru. Hal tersebut tidak lain karena pada periode sebelumnya, Triwulan I-2010 dan tahun 2009, sektor tersebut juga menempati rangking pertama. Konsistensi tersebut justru menegaskan alpanya aparatur pemerintah dalam memperbaiki kualitas proses pengadaan barang dan jasa. Pengawasan yang semestinya dapat dijadikan sebagai celah untuk menghindari praktik “pencurian” pundi negara itu selama ini tak dijalankan dengan baik. Padahal untuk prosedur pengadaan barang dan jasa telah diatur dengan jelas dalam Perpres No. 95 Tahun 2007. Di sisi lain, target pemerintah untuk menggolkan RUU Pengadaan Barang dan Jasa pada pertenghahan tahun ini juga tidak membuahkan hasil. Salah satu kasus korupsi pada sektor di atas adalah proyek pengadaan sarung, mesin jahit, dan sapi impor di Departemen Sosial yang melibatkan sang mantan Menteri, Bachtiar Chamsyah. Kasus yang terjadi pada tahun 2004-2007 itu diduga merugikan uang negara Rp 38,6 miliar. Namun demikian, penanganan perkara ini nampaknya juga masih panjang. Sektor korupsi yang menempati dua besar adalah bidang kesejahteraan sosial. Untuk hal ini, contoh yang menarik adalah kasus pengadaan alat kesehatan 32 rumah sakit umum daerah di kawasan timur Indonesia pada 2003. Dalam kasus tersebut sang terdakwa yang juga bekas Menteri Kesehatan, Achmad Sujudi, dituntut 5 tahun penjara. Kemudian, sektor tertinggi berikutnya adalah pemerintah daerah. Untuk yang satu ini, salah satu kasus yang cukup disorot adalah dugaan penyalahgunaan APBD Kabupaten Langkat pada 20002007 yang dilakukan oleh Gubernur Sumatera Utara, Syamsul Arifin. Seperti diketahui, dugaan yang dialamatkan kepada Syamsul terjadi saat ia masih menjabat sebagai Bupati Langkat. 2.4. Tingkat Kerugian Negara Kerugian negara akibat korupsi sangatlah besar. Dari level yang paling rendah, yaitu untuk kerugian negara di bawah satu miliar jumlahnya 19 kasus. Kemudian untuk kisaran 1-10 miliar ditemukan 29 kasus, 10-50 miliar sebanyak 8 kasus, dan 50-100 ada 1 kasus. Untuk yang tertinggi, korupsi yang merugikan negara di atas 100 miliar tercatat sebanyak 4 kasus. Di luar itu, masih terdapat 17 kasus dan 5 kasus yang belum dan tidak diketahui nilai kerugiannya.
6
Merujuk pada data di atas, untuk kerugian negara paling rendah adalah Rp 24 juta. Angka tersebut ditemukan pada kasus korupsi dana Koperasi TANI SEJATI tahun 2000 dengan terdakwa anggota DPRD Trenggalek, Sutikno. Sementara untuk kerugian negara tertinggi diwakili kasus dugaan korupsi dalam divestasi saham PT Kaltim Prima Coal (KPC) ke PT Kutai Timur Energi (KTE). Tak main-main, perkara dengan tersangka Dirut PT KTE, Anung Nugroho dan Direktur PT KTE Afidian Triwahyudi ini diduga menguras kas negara hingga Rp 576 miliar. Dalam pemberantasan korupsi, hal penting yang terkadang luput dari konsentrasi aparat penegak hukum dan juga perhatian publik adalah besaran rupiah yang berhasil dikembalikan ke kas negara. Dan hingga saat ini, rasa-rasanya hingga periode ini belum ada catatan atau laporan dari aparat penegak hukum mengenai total uang atau aset yang sukses diselamatkan. Oleh karena itu, ke depan sudah semestinya orientasi tidak hanya ditekankan pada sang pelaku tetapi juga aset yang dicuri dari kas negara. 2.5. Lembaga yang Menangani
Pada Triwulan II-2010, lembaga yang paling banyak menangani perkara korupsi adalah Kejaksaan. Dari level Kejaksaan Agung, institusi ini tercatat menangani 4 kasus, Kejaksaan Tinggi 20 kasus, dan Kejaksaan Negeri 39 kasus. Kemudian, di urutan selanjutnya adalah KPK dengan 15 kasus. Di deretan terakhir terdapat Kepolisian dengan 7 kasus, yakni 2 kasus ditangani Polres dan 3 kasus diproses Mabes Polri. Merujuk pada data di atas, terlihat bahwa Kejaksaan merupakan lembaga yang paling banyak menangani perkara korupsi di banding KPK dan Kepolisian. Meski demakian, banyaknya kasus yang ditangani tak serta merta bernding lurus dengan kualitas penegakan hukumnya. Hal ini bisa dilihat dari masih adanya beberapa kasus korupsi kelas kakap yang proses hukumnya mandeg. Kemudian, catatan lainnya perlu diberikan kepada KPK. Sebagai lembaga yang super body, KPK dalam kurun waktu Triwulan II-2010 ini juga terlihat “melempem”. Salah satu indikasinya adalah KPK lamban dalam menangani skandal bank Century yang merugikan negara Rp 6,7 triliun. Dalam konteks ini, KPK yang telah melakukan serangkaian pemeriksaan saksi-saksi, belum juga menentukan sikap terkait ada atau tidanya tindak pidana korupsi pada perkara yang diduga melibatkan dua nama penting, Boediono dan Sri Mulayani. Terang saja, “kelambanan” KPK ini jelas mengusik ekspektasi publik pada komisi antikorupsi tersebut. 7
Sikap KPK yang terlalu berhati-hati bisa jadi disebabkan karena lembaga tersebut sedang “limbung” karena Bibit S Riyanto dan Chandra Hamzah kembali menyandang status tersangka. Atau penyebab lainnya adalah karena skandal tersebut bakal menyeret sederet nama penting yang duduk di jajaran elit politik saat ini. Jika salah satu atau bahkan kedua kemungkinan itu benar, maka sekali lagi hal tersebut patut disesalkan. Oleh karena itu, terlepas dari persoalan internal yang melanda KPK, lembaga tersebut harus mampu bertindak tegas dan tetap mempertahankan independensinya. Jika tidak, maka jangan harap kasus korupsi kelas kakap dapat diseret ke meja hijau. 2.6. Vonis Pengadilan Sepanjang Triwulan II-2010, setidaknya tercatat 38 kasus korupsi yang proses hukumnya sampai pada tahap putusan hakim. Dari total perkara tersebut, dapat dirinci sebagai berikut: Pengadilan Negeri/Tinggi sebanyak 23 perkara, Pengadilan Tipikor sebanyak 9 perkara dan MA jumlahnya 6 perkara. Lebih rinci lagi, tercatat 18 perkara dari 23 perkara yang diadili di Pengadilan Negeri/Tinggi diputus bersalah. Sementara 5 sisanya divonis bebas. Kemudian, untuk Pengadilan Tipikor dan MA, kesemua perkara korupsi yang masuk pada meja majelsi hakim diputus bersalah. Jika dirata-rata, maka akan dihasilkan angka sebagai berikut: dari total 23 perkara yang ditangani, Pengadilan Negeri/Tinggi memutus selama 1,7 tahun atau 20,43 bulan. Sementara Pengadilan
Tipikor, dengan tidak ada satu kasus pun yang diputus bebas, rata-ratanya adalah 3,04 tahun atau 36,48 bulan. Sedangkan putusan MA rata-ratanya adalah 2 tahun 6 bulan penjara. Dari rerata di atas, terlihat bahwa putusan yang dijatuhkan Pengadilan Negeri/Tinggi masih lebih rendah disbanding Pengadilan Tipikor. Adanya disparitas putusan ini kembali menjadi catatan mengingat hal serupa selalu terjadi dan berulang. Dengan kata lain, sampai saat ini masih ada cara pandang dan spirit yang berbeda di antara para hakim dalam memutus perkara korupsi. Di satu sisi hakim di Pengadilan Tipikor dinilai lebih tegas sementara di sisi lainnya para hakim di kalangan Pengadilan Negeri/Tinggi seringkali justru dianggap tidak tegas dan putusannya terlalu ringan bagi para koruptor. III. KASUS STRATEGIS TRIWULAN II-2010 1.
SKPP BIBIT-CANDRA
Salah satu kabar yang cukup menghebohkan pada Triwulan II-2010 ini adalah dikabulkannya gugatan pra peradilan yang diajukan Anggodo terkait terbitnya SKPP untuk 2 pimpinan KPK Bibit S Riyanto dan Chandra M Hamzah. Tepat tanggal 19 April 2010, hakim tunggal Nugroho Setyadi membacakan putusannya, yang intinya adalah menyatakan SKPP yang dikeluarkan Kejaksaan Agung dengan alasan sosiologis tidaklah sah. Lebih jauh lagi, hakim memerintahkan Kejaksaan untuk meneruskan kasus Bibit dan Chandra ke pengadilan. Tak pelak, keluarnya putusan yang dianggap sebagai “kemenangan” Anggodo mengejutkan semua pihak. Sebab dengan begitu maka status Bibit dan Chandra kembali menjadi tersangka dan keduanya harus non aktif sebagai pimpinan KPK. Petaka yang terjadi beberapa bulan sebelumnya terulang, yakni KPK hanya dipimpin oleh dua komisioder sisa, M Jasin dan Haryono Umar.
8
Atas pembatalan SKPP tersebut, Kejaksaan Agung kemudian mengajukan banding. Naasnya, memori banding korps adhyaksa itu tidak cukup meyakinkan hakim Pengadilan Tinggi. Akibatnya upaya banding tersebut ditolak dan SKPP tersebut tetap dinyatakan tidak sah. Lagi-lagi hakim menilai alasan sosiologis yang dijadikan dasar Kejaksaan dalam menerbitkan SKPP tidak tepat dan tidak dikenal dalam sistem hukum Indonesia. Penguatan pembatalan SKPP jelas sangat menohok banyak pihak. Terlebih bagi mereka yang percaya dan meyakini bahwa kasus yang ditimpakan kepada Bibit dan Chandra hanyalah rekayasa dengan Anggodo sebagai sutradaranya. Oleh karena itu, banyak ahli hukum yang berpendapat bahwa semestinya Kejaksaan dapat menempuh “jalan” lain untuk mengakhiri kasus 2 komisioer KPK itu. Caranya adalah dengan mengesampingkan perkara atau deponeering. Namun Kejaksaan nampaknya sudah terlanjur basah. Kalah ditingkat banding, lembaga yang dipimpin Hendarman Supandji itu mengajukan langkah hukum luar biasa atau peninjauan kembali di akhir bulan Juni 2010. Cara ini ditempuh mengingat untuk persoalan pra peradilan tidak dikenal upaya kasasi. Dengan peninjuan kembali tersebut, Kejaksaan terlihat masih ingin “berjudi” di tengah polemik kasus ini. Dalam arti, meski mengetahui bahwa langkah peninjauan kembali tidaklah dikenal dalam hukum acara (untuk persoalan ini), Kejaksaan tetap nekat dan tidak bersedia mengambil kebijakan yang lebih aman dengan men-deponeer perkara Bibit dan Chandra. Dari rangkaian persitiwa di atas terbukti bahwa SKPP yang diterbitkan Kejaksaan Agung merupakan “bom waktu” yang siap meledak setiap saat. Pertanyaannya kemudian adalah, apa yang akan dilakukan oleh Jaksa Agung jika peninjauan kembali yang diajukannya kembali ditolak MA? Apakah ia akan meneruskan perkara ini ke meja hijau sebagaimana diperintahkan hakim atau akan menempuh cara lain (ex: deponeering) mengingat rekomendasi Tim 8 dan juga perintah Presiden agar kasus ini diselesaikan di luar pengadilan. Dengan melihat perkembangan saat ini, pelik memang perkara yang menerpa Bibit dan Chandra. Jika nantinya MA menolak peninjuan kembali yang diajukan Kejaksaan Agung, yang berarti kasus keduanya diteruskan di pengadilan, maka sudah barang tentu hal itu akan sangat mengganggu kinerja KPK. Pasalnya, dengan proses persidangan yang panjang, maka Bibit dan Chandra akan terus non aktif alias tidak bisa menjalankan tugas sehari-harinya di KPK. Dan bila itu benar-benar terjadi, maka kesolidan pimpinan KPK jelas akan terganggu. Lebih buruk lagi, situasi semacam itu pastinya akan mempengaruhi berbagai kebijakan dan langkah KPK dalam mengusut sejumlah kasus korupsi. Yang paling mengkhawatirkan jika situasi semacam itu akan mengancam ketegasan dan independensi KPK. Oleh karena itu, guna mengakhiri polemik di atas, sudah semestinya Kejaksaan mengambil sikap tegas. Dalam hal ini, jika memang yakin bahwa kasus Bibit dan Chandra adalah penuh rekayasa, maka institusi tersebut mestinya berani mengambil resiko dengan menghentikan kasus ini dan tidak membuka celah untuk dipersoalkan di kemudian hari. Seperti disebutkan di atas salah satu cara yang bisa digunakan adalah deponeering. Atau, dan ini ekstrim, jika memang Kejaksaan yakin kasus ini cukup bukti, maka segera ajukan saja ke pengadilan. Di sana akan dibuktikan siapa yang bersalah. Hal ini akan lebih baik dan membuat terang persoalan, di banding harus menggantungnya seperti saat sekarang. 2.
PANSEL PIMPINAN KPK
Salah satu perkembangan menarik di luar persoalan penegakan hukum kasus korupsi pada Triwulan II-2010 ini adalah dibentuknya Panitia Seleksi (Pansel) KPK oleh Presiden. Sebagaimana ditentukan 9
dalam Keppres No. 6 Tahun 2010, tugas Pansel adalah memilih satu orang pimpinan KPK guna mengisi posisi lowong pasca Antasari Azhar dijadikan sebagai terdakwa (dan sudah divonis bersalah) dalam kasus pembunuhan berencana. Setidaknya ada beberapa isu penting yang perlu disoroti terkait keberadaan Pansel. Pertama, besarnya anggaran untuk Pansel. Dengan durasi kerja yang hanya sekitar 3 bulan dan hanya untuk memilih seorang pimpinan KPK, pengucuran dana sebesar Rp 2,5 miliar jelas merupakan pemborosan. Dibandingkan anggaran seleksi sebelumnya, tahun 2003 misalnya, Pansel hanya butuh Rp 3,8 miliar. Dan pada seleksi tahun 2007 anggarannya sebesar Rp 2,9 miliar. Perlu dicatat bahwa total dana tersebut digunakan untuk menyaring 5 orang. Kedua, masa kerja pimpinan KPK hasil seleksi Pansel. Dalam hal ini terdapat perbedaan yang serius mengenai durasi kerja bagi pimpinan KPK terpilih, yakni 4 tahun versi Pansel ataukah hanya 1 tahun (hingga berakhir tahun 2011) sebagaimana dikehendaki DPR. Adanya perbedaan di atas ke depan jelas akan sangat mengganggu. Tidak hanya bagi si komisioner KPK terpilih tetapi juga KPK sebagai sebuah lembaga. Oleh karena itu, sudah semestinya pemerintah melalui Pansel berkoordinasi dengan DPR guna mencari solusi atas persoalan ini. Sebab sangat mungkin perdebatan mengenai masa jabatan ini dalam perjalanannya akan dijadikan sebagai “deal” politik antara Pansel, pimpinan KPK terpilih, dan juga DPR. Dan jika hal itu terjadi, maka betapa naas masa depan KPK di masa mendatang. Ketiga, banyaknya nama “pengacara hitam” yang masuk menjadi calon pimpinan KPK. Fenomena tersebut tentu saja tidak dapat dipandang sebelah mata. Dalam arti bahwa saat ini nampaknya ada upaya yang gencar dari semua kalangan untuk tidak hanya “menghajar” KPK, tetapi juga menyusupinya dari dalam. Pasalnya, bagaimana mungkin ke depan KPK akan berjaya memerangi korupsi jika orang yang memimpinnya adalah bekas pengacara para koruptor. Oleh karena itu, Pansel harus selektif dan bersikap tegas dalam menghadapi masalah ini. Proses seleksi tentu tidak hanya berpedoman pada syarat tekstual sebagaimana disebutkan dalam undang-undang, tetapi juga perlu dilacak lebih dalam mengenai track record atau rekam jejak pada pelamar ketua KPK. Ini menjadi penting agar pimpinan KPK terpilih benar-benar orang yang kredibel dan dapat dipercaya. IV. KESIMPULAN Pada Triwulan II-2010 aktor korupsi didominasi oleh pejabat daerah. Berada di urutan berikutnya adalah mereka dari kalangan swasta. Menutup peringkat 3 besar pelaku korupsi adalah anggota/mantan anggota DPR/DPRD. Di luar Kemudian, dilihat dari modusnya, upaya meperkaya diri sendiri atau orang lain tercatat sebagai yang paling sering dilakukan. Secara berturut-turut, modus korupsi di bawahnya ialah penyelahgunaan wewenang, suap, korupsi bersama-sama, dan mark up. Modus lain yang juga digunakan oleh pelaku korupsi adalah penunjukan langsung, dan juga penyalahgunaan anggaran. Dari sudut sektor korupsi, pengadaan barang dan jasa pada periode ini kembali menempati urutan teratas. Berada di deretan selanjutnya adalah sektor kesejahteraan sosial, pemerintah daerah, dan eksekutif daerah. Itulah empat sektor tertinggi yang paling banyak dijadikan sebagai lahan basah para koruptor. Kategori berikutnya, kerugian negara, tercatat ada 19 kasus yang merugikan negara di bawah satu miliar. Kemudian untuk kisaran 1-10 miliar ditemukan 29 kasus, 10-50 miliar sebanyak 8 kasus, dan 50-100 ada 1 kasus. Untuk yang tertinggi, korupsi yang merugikan negara di atas 100 miliar tercatat sebanyak 4 kasus. 10
Selanjutnya, dilihat dari lembaga yang menangani, Kejaksaan kembali mencatatkan diri sebagai lembaga yang paling banyak menangani perkara korupsi. Mengekor di belakanganya adalah KPK dan Kepolisian. Terakhir, dari proses hukum yang telah berjalan, tak kurang 38 perkara korupsi telah divonis hakim. Jika dirata-rata, untuk Pengadilan Negeri/Tinggi menjatuhkan hukuman 1,7 tahun penjara, Pengadilan Tipikor 3,04 tahun atau 36,48 bulan. Sedangkan putusan MA rata-ratanya
adalah 2 tahun 6 bulan penjara.
Salam Antikorupsi! Yogyakarta, 12 Juli 2010 Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM Zainal Arifin Mochtar Hasrul Halili Totok Dwi Diantoro
Lutfi Adji P. (085643869307) Hifdzil Alim (085643264320) Danang Kurniadi (08985074972)
11