TREND CORRUPTION REPORT Periode Januari - Juni 2014
“Pembentukan Kabinet Antikorupsi 2014-2019” Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM
PUSAT KAJIAN ANTI KORUPSI Fakultas Hukum UGM Jl Trengguli Blok E No.12 Bulaksumur, Yogyakarta Telp. 0274 746 7008 email
[email protected]
BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Indonesia telah menyelesaikan pemilihan umum tahun 2014, baik pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat maupun pemilihan umum presiden. Ada 560 legislator terpilih yang akan menjalankan tugas dan kewenangannya mulai tahun ini sampai 2019. Di bagian kekuasaan eksekutif, presiden dan wakil presiden yang baru juga memiliki tanggung jawab sama untuk menjalankan pemerintahan lima tahun ke depan. Dalam setiap pemerintahan baru pascareformasi, tantangan yang selalu muncul adalah bagaimana menyusun sebuah kabinet? Masalah ini hadir dikarenakan partai politik, yang menyokong dan memberikan dukungannya sebelum pemilihan presiden dilakukan, mendesak untuk diberikan jatah kursi. Dukungan secara kelembagaan dan dukungan lainnya yang diberikan partai politik dalam pemilihan presiden dan wakil presiden dimaknai sebagai modal politik yang harus beroleh keuntungan. Salah satunya adalah jatah kursi menteri. Kehatian-hatian terhadap pengaruh partai politik didasarkan pada pengalaman pemerintahan sebelumnya. Penentuan calon menteri, bagaimanapun juga, harus dilakukan dengan seksama dan berhatihati. Catatan terhadap pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, selama dua periode, 2004-2009 dan 20092014, menunjukkan setidaknya ada tiga
menteri aktif yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Andi Malarangeng, Menteri Pemuda dan Olahraga, terjerat kasus korupsi Hambalang; Suryadarma Ali, Menteri Agama, tersangkut kasus korupsi penyelenggaraan ibadah haji; Jero Wacik, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi pemerasan dan penyelenggaraan kegiatan fiktif di internal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Secara kebetulan, tiga terpidana dan tersangka korupsi tersebut adalah pejabat struktural di partai politik. Adanya menteri aktif yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi memberikan pelajaran bagi presiden terpilih supaya lebih berhati-hati memilih para calon pembantunya. Hal ini dapat ditekankan agar presiden tidak terjebak dalam politik transaksi. Berdasarkan ketentuan Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, “Menterimenteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.” Dasar hukum konstitusi sebenarnya sudah sangat jelas memberikan arah bahwa presiden memiliki hak prerogatif untuk menentukan siapa yang berhak dan menduduki jabatan kementerian. Merujuk pada ketentuan UUD NRI 1945, posisi kelompok kekuasaan di luar area presiden—termasuk partai politik dan elitenya—ada di bagian mengusulkan kandidat menteri. Sifat usulan itu tidak wajib. Keputusan terakhir tetap ada di tangan presiden.
Halaman 1
Selain harus jeli menentukan siapa calon menteri yang tepat, pemerintahan baru tetap perlu memperhatikan program pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di dalam pemerintahannya. Pemerintah pusat serta pemerintah daerah perlu meningkatkan sistem pencegahan korupsinya. Pemerintah daerah, khususnya, adalah pengguna anggaran terbesar dalam negara republik Indonesia. Sektor pembelajaan (expenditure) keuangan negara mengalir sangat banyak ke pemerintah daerah. Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM (PUKAT) menelaah kecenderungan tindak pidana korupsi yang terjadi dalam semester pertama tahun 2014. Kecenderungan korupsi tersebut dirangkum dalam sebuah laporan penelitian atau Trend Corruption Report (TCR). Pada periode ini tema yang diangkat adalah “Kabinet Antikorupsi 2014-2019”. Hasil kajian ini juga sekaligus sebagai bentuk pertanggungjawaban PUKAT kepada publik. TCR akan mengetengahkan kecenderungan mengenai pelaku korupsi, sektor korupsi, modus korupsi, jumlah kerugian negara, serta lembaga yang menangani korupsi, yang ada pada enam bulan pertama tahun 2014 (Januari-Juni). Uraian khusus untuk periode ini adalah tentang pengisian kursi menteri yang harus mengindahkan kewajiban pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Halaman 2
B. Sumber Data dan Periode Pemantauan Sumber data dalam penelitian ini menggunakan pemberitaan media, baik media cetak maupun media elektronik. Berita tentang kasus korupsi yang dikaji adalah berita yang diterbitkan pada bulan Januari sampai dengan Juni 2014. Tidak semua media cetak dan elektronik diposisikan sebagai sumber data. Berita yang memberikan informasi secara jelas saja yang digunakan sebagai sumber data. Penelitian ini tidak mengacu pada jumlah kasus korupsi—meskipun akan muncul segi kuantitas dalam laporannya. Penelitian lebih dititikberatkan pada segi kualitatif. Hal ini dimaksudkan untuk membaca kecenderungan kasus korupsi yang terjadi pada bulan Januari-Juni 2014. Oleh karena itu, hasil penelitian ini tidak memungkinkan memuat semua kasus korupsi yang sedang terjadi pada saat penelitian ini dilakukan. PUKAT mengkaji empat puluh dugaan kasus korupsi selama Januari-Juni 2014.
BAB II Trend Korupsi Semester I Tahun 2014 A.
Pelaku korupsi
Aktor korupsi yang tercatat dalam penelitian PUKAT untuk periode semester pertama tahun 2014 berjumlah 86 orang. Tiga besar kelompok pelaku korupsi dipegang oleh pejabat/pegawai di pemerintah daerah pada peringkat pertama dengan 27 orang atau 31,40 persen. Disusul oleh pihak swasta dengan 21 orang atau 24,42 persen. Pegawai universitas ada di tempat ketiga dengan 10 orang atau 11,63 persen.
Ada perubahan komposisi dalam kelompok pelaku korupsi pada periode ini apabila dibandingkan dengan laporan kecenderungan korupsi yang dirilis PUKAT pada semester kedua tahun 2013. Data TCR PUKAT semester II tahun 2013 menunjukkan, posisi pertama aktor korupsi diisi oleh pihak swasta sebanyak 22 orang atau 33 persen. Kemudian pejabat/pegawai pemerintah daerah dengan 18 orang atau 27 persen, dan pejabat/pegawai BUMN dengan 10 orang atau 15 persen.
Tabel 1. Pelaku Korupsi Semester 1 Tahun 2014 No.
Pelaku korupsi
Jumlah
1. Pejabat/pegawai pemerintah pusat
Persen (%) 8
9,3
27
31,4
3. Anggota legislatif pusat
1
1,16
4. Pejabat/pegawai BUMN/BUMD
6
6,98
21
24,42
6. Kepala daerah
5
5,81
7. Penegak hukum
6
6,98
10
11,63
9. Menteri
1
1,16
10. Anggota KPUD
1
1,16
86
100
2. Pejabat/pegawai pemerintah daerah
5. Swasta
8. Pegawai universitas
Jumlah
Meski ada perubahan posisi, namun kelompok pelaku korupsi tidak banyak mengalami perubahan dari semester II tahun 2013 ke semester I tahun 2014. Aktor dari kelompok pemerintah daerah dan swasta hanya berganti tempat duduk saja di bagian pelaku korupsi yang paling banyak. Hal ini mengindikasikan, peningkatan pencegahan korupsi di kalangan pejabat dan aparatur pemerintah daerah seharusnya menjadi prioritas. Sebab, dari tahun ke tahun posisi pelaku korupsi sering didominasi oleh
pejabat/pegawai pemerintah daerah. Munculnya pihak pejabat/pegawai pemerintah daerah sebagai pelaku korupsi hampir selalu bersama-sama dengan pihak swasta. Artinya, kemungkinan besar antara pejabat/pegawai pemerintah daerah sering melakukan kerjasama dengan pihak swasta dalam melakukan tindak pidana korupsi. Pemerintah daerah harus berhubungan dengan pihak swasta untuk memenuhi sarana dan prasarana di dalam pemerintah daerah. Halaman 3
TCR semester I tahun 2013, misalnya, memberikan informasi bahwa pejabat/pegawai pemerintah daerah menempati urutan terbanyak dari 143 pelaku korupsi, yakni 39 orang atau 27,27 persen. Pihak swasta ada di urutan kedua dengan 36 orang atau 25,17 persen. Dengan melihat data tersebut, dapat dimaknai pencegahan korupsi di pemerintah daerah sepertinya kurang membuahkan keberhasilan, setidaknya dalam 1,5 tahun belakangan. Pengawasan terhadap pejabat/pegawai pemerintah daerah, mau tidak mau, harus pula dikembangkan kepada pengawasan terhadap pihak swasta. Karena dua pihak ini selalu saling mempengaruhi. Jika pengawasan hanya ditekankan kepada pihak pejabat/pegawai pemerintah daerah saja, maka pihak swasta masih memiliki kemampuan untuk mempengaruhi atau berusaha menyuap pejabat/pegawai pemerintah daerah. Begitu pula sebaliknya, apabila pengawasan terhadap pihak swasta ditingkatkan, namun pengawasan terhadap pejabat/pegawai pemerintah daerah dikurangi, maka pejabat/pegawai pemerintah daerah akan berpotensi menyalahgunakan kekuasaan dan kewenangannya. B. Sektor korupsi
Sektor korupsi terfavorit pada bulan Januari sampai Juni tahun 2014 adalah sektor pengadaan barang dan jasa yang dilakukan oleh 14 orang pelaku atau 16,28
2Halaman 4
persen. Urutan kedua jatuh ke sektor kesejahteraan sosial yang menjerat 11 orang pelaku korupsi atau 12,79 persen. Sedangkan di urutan ketiga terdapat dua sektor. Pertama, sektor pendidikan. Kedua, sektor badan usaha milik negara maupun milik daerah. Di masing-masing sektor tersebut ada 9 pelaku atau 10,47 persen. Dari dua semester terakhir, sektor pengadaan barang dan jasa selalu muncul di urutan atas sektor korupsi. Pada semester II tahun 2013, sektor pengadaan barang dan jasa dikorupsi oleh 19 orang pelaku atau 61 persen. Posisi ini naik dari semester I tahun 2013 yang hanya menyumbang 12 orang pelaku atau 13,64 persen, kalah dari sektor keolahragaan, pendidikan, dan keagamaan yang memberikan 17 orang pelaku korupsi atau 19,32 persen. Pencegahan dan pengawasan di sektor pengadaan barang dan jasa masih menjadi pekerjaan rumah yang belum terselesaikan. Langkah pemerintah selama ini yang berusaha mengubah pengadaan barang dan jasa secara manual ke pengadaan barang dan jasa secara elektronik sebenarnya memberikan perubahan. Hanya saja, perubahan tersebut masih tetap harus diimbangi dengan peningkatan pengawasan terhadap pengadaan barang dan jasa, meskipun sudah diubah ke pengadaan barang dan jasa elektronik. Kebocoran di sektor pengadaan barang dan jasa elektronik, misalnya, dipicu karena
ada indikasi operator pelaksana sistem elektronik pada unit layanan pengadaan barang dan jasa di masing-masing lembaga melakukan tindakan melawan hukum. Misalnya saja, menonaktifkan sistem elektronik pengadaan barang dan jasa atau memberikan kunci masuk (password) pada pihak tertentu. Untuk mencegah korupsi pengadaan barang dan jasa elektronik, diharapkan ada audit terhadap sistem elektronik (server) yang dipakai dalam pengadaan barang dan jasa elektronik. Audit tersebut dilaksanakan setidaknya sebelum dan sesudah pengadaan barang dan jasa dikerjakan.
Di dalam sektor korupsi, juga muncul sektor pendidikan. Sektor ini sebenarnya bukan sektor korupsi baru, mengingat pada TCR PUKAT semester I tahun 2013 ada 17 kasus atau 19,32 persen kasus korupsi di sektor pendidikan. Sektor ini mulai mencuat dengan keterangan yang muncul dalam persidangan di seputar kasus korupsi wisma atlet. Ada proyek pemerintah di lingkungan universitas yang ternyata diselewengkan. Pencegahan dan pengawasan terhadap sektor pendidikan semestinya ditingkatkan. Karena lembaga pendidikan menjadi tempat untuk menyiapkan calon pengisi jabatan publik maupun privat.
Tabel 2. Sektor Korupsi Semester I Tahun 2014 No.
Sektor korupsi
Jumlah
Persen (%)
1.
Penerimaan negara
4
4,65
2.
Pemilihan umum kepala daerah
2
2,33
3.
Pertanian/kehutanan/peternakan/perikanan
7
8,14
4.
Pekerjaan umum
5
5,81
5.
Keolahragaan, pendidikan, dan keagamaan
2
2,33
6.
Penegakan hukum
5
5,81
11
12,79
8. BUMN/BUMD
9
10,47
9.
4
4,65
9
10,47
14
16,28
12. Pajak
1
1,16
13. Pendidikan
9
10,47
14. Keuangan/perbankan
3
3,49
15. Keagamaan
1
1,16
86
100
7. Kesejahteraan sosial
Energi dan sumber daya mineral
10. Kesehatan 11. Pengadaan barang dan jasa
Jumlah
Halaman 5
C.
Modus korupsi
Cara melakukan korupsi dalam semester I tahun 2014 masih sangat banyak dipegang oleh modus merugikan keuangan negara dan/atau menyalahgunakan kewenangan. Dari 40 kasus yang diteliti oleh PUKAT, terdapat 35 kasus korupsi yang diduga menggunakan modus merugikan keuangan negara dan/atau menyalahgunakan kewenangan. Sisanya, suap menyuap ada di 3 kasus, penggelapan dalam jabatan dan kesaksian palsu masing-masing 1 kasus. Tidak ada perubahan signifikan dalam modus korupsi. Sebagaimana pada semester kedua tahun 2013, modus merugikan keuangan negara dan/atau menyalahgunakan kewenangan masih menempati posisi pertama cara melakukan korupsi. 25 kasus korupsi atau 80,65 persen modus merugikan keuangan negara dan/atau menyalahgunakan kewenangan ada di semester II tahun 2013. Namun demikian, ada modus baru yang dipotret pada periode semester I tahun 2014, yakni memberikan keterangan/kesaksian palsu.
Pada dasarnya, modus ini bukanlah modus korupsi materiil, melainkan modus lain yang dianggap sebagai modus korupsi. Bab III tentang Tindak Pidana Lain yang Berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi Pasal 22 menyatakan, “Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35, atau Pasal 36 yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan yang tidak benar, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 150 juta dan paling banyak Rp 600 juta.” Dengan dikenalkannya penjeratan tersangka dengan Pasal 22 tersebut (tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan tidak benar), diharapkan setiap saksi akan memberikan keterangan yang benar dan tidak menyesatkan serta tidak ada lagi saksi yang coba-coba berani memberikan kesaksian palsu. Di samping itu, pemeriksaan kasus korupsi akan bisa diselesaikan dengan cepat dengan keterangan yang benar itu.
Tabel 3. Modus Korupsi Semester I Tahun 2014 No.
Modus korupsi
1. Merugikan keuangan negara dan/atau
Jumlah
Persen (%)
35
87,5
2. Suap menyuap
3
7,5
3. Penggelapan dalam jabatan
1
2,5
4. Keterangan/kesaksian palsu
1
2,5
40
100
menyalahgunakan kewenangan
Jumlah 2Halaman 6
D.
Kerugian negara
Jumlah kerugian negara yang paling banyak pada periode Januari-Juni 2014 ada di angka Rp 1-10 miliar dengan 16 kasus atau 48,48 persen. Kerugian negara di bawah Rp 1 miliar ada 9 kasus atau 27,27 persen. Sedangkan kerugian negara di atas Rp 100 miliar berjumlah 5 kasus atau 15,15 persen. Jika dibandingkan dengan jumlah kerugian negara pada semester II tahun 2013 tidak ada pergeseran jumlah kerugian keuangan negara. 10 kasus atau 66,67 persen kasus korupsi berpotensi merugikan keuangan negara antara Rp 1-10 miliar. Demikian juga secara keseluruhan pada tahun 2013, jumlah kerugian negara antara Rp 1-10 miliar tetap berada paling atas dengan total 30 kasus (29.13 persen). Posisi berikutnya ditempati oleh kerugian negara di bawah Rp 1 miliar dengan 27 kasus atau 26,21 persen.
Rata-rata kerugian negara antara Rp 1-10 miliar menunjukkan bahwa pelaku korupsi tidak segan-segan mencuri uang negara miliaran rupiah. Angka kemungkinan kerugian negara yang paling besar ada pada dugaan kasus korupsi direktorat pengelolaan informasi administrasi kependudukan yang mencapai Rp 1,1 triliun. Selanjutnya, ada di dugaan kasus korupsi di Univeritas Sumatera Utara yang mencapai potensi kerugian keuangan negara sampai Rp 41,4 miliar. Jumlah keseluruhan potensi kerugian keuangan negara pada semester I tahun 2014 adalah Rp 1.972.713.798.000,00. Angka ini jauh lebih besar dibandingkan dengan potensi kerugian keuangan negara pada akhir tahun 2013 yang hanya Rp 275.160.906.522,00. Kenaikan potensi kerugian negaranya mencapai 75,52 persen. Dengan melihat besarnya kemungkinan keuangan negara, usaha untuk mengembalikan keuangan negara mesti menjadi program utama.
Tabel 4. Potensi Kerugian Negara Semester I Tahun 2014 No. 1.
Potensi kerugian negara Di bawah Rp 1 miliar
2. Rp 1 – 10 miliar
Jumlah
Persen (%) 9
27,27
16
48,48
3.
Rp 10-50 miliar
3
9,09
4.
Di atas Rp 100 miliar
5
15,15
Jumlah
33
100
Halaman 7
E.
Lembaga Penanganan
Kejaksaan negeri menangani 24 orang yang diduga korupsi di enam bulan pertama tahun 2014. Selanjutnya, dalam catatan PUKAT, KPK menangani 23 orang terperiksa korupsi. Kemudian, kejaksaan agung mengurus 16 pelaku diduga korupsi. Korps kejaksaan—baik kejaksaan negeri, kejaksaan tinggi, maupun kejaksaan agung
-sebenarnya selalu menjadi tumpuan dalam pemberantasan korupsi. Fakta bahwa kejaksaan lebih banyak menangani terperiksa korupsi dibandingkan dengan penegak hukum lainnya dapat dijadikan dasar mendorong kejaksaan lebih aktif dalam memeriksa tindak pidana korupsi. Dengan fakta demikian, pemberantasan korupsi, korps kejaksaan mesti lebih meningkatkan kinerjanya.
Tabel 5. Lembaga Penanganan Korupsi Semester I Tahun 2014 No.
Lembaga penanganan korupsi
1.
Komisi pemberantasan korupsi
2.
Persen (%)
23
26,74
Kepolisian resort
5
5,81
3.
Kepolisian daerah
6
6,98
4.
Markas besar polisi
1
1,16
5.
Kejaksaan negeri
24
27,91
6.
Kejaksaan tinggi
11
12,79
7.
Kejaksaan agung
16
18,6
86
100
Jumlah
2Halaman 8
Jumlah
BAB III Kasus Strategis A. Korupsi di sektor anggaran dinas Pada semester pertama 2014 terdapat beberapa kasus korupsi anggaran yang terjadi di lembaga pemerintahan, dua diantaranya terjadi di lembaga hukum. Kasus pertama terjadi di Komisi Yudisial dengan tersangka Al Jona Kautsar, seorang staf pada Subbagian Verifikasi dan Pelaporan Akuntansi Bagian Keuangan Biro Umum. Tugas tersangka membuat Daftar Rekapitulasi untuk pembayaran uang layanan persidangan (ULP) dan uang layanan penanganan/penyelesaian laporan masyarakat (ULS) kepada pegawai atau pejabat Komisi Yudisial. Sejak tahun 2009 sampai 2013 tersangka diduga memanipulasi anggaran dengan cara mark up sehingga terdapat selisih Rp 4.165.261.341,00. Kasus ini bermula dari temuan internal yang dilaporkan sendiri oleh Komisi Yudisial kepada Kejaksaan Agung. Kasus kedua adalah korupsi anggaran operasional di Kejaksaan Negeri Wamena. Tidak tanggung-tanggung, yang menjadi tersangkanya adalah Kepala Kejaksaan Negeri Wamena, I Putu Suarjana dan Bendahara Kejaksaan Negeri Wamena, Firman Rahman. Tersangka Firman Rahman telah dinonaktifkan dari jabatannya dan dilakukan penahanan oleh Kejaksaan Tinggi Papua. Sedangkan perlakuan berbeda terjadi pada I Putu Suarjana yang dimutasi dan ditangani oleh Kejaksaan Agung. Kasus korupsi ini bermula dari pengawasan Kejaksaan Tinggi Papua yang menemukan
penyalahgunaan anggaran penanganan perkara untuk kepentingan pribadi. Para tersangka diduga memanipulasi anggaran penyidikan dengan memalsukan data perkara menjadi lebih banyak dari yang ditangani. Korupsi anggaran ini terjadi pada tahun 2012 dengan jumlah anggaran Rp 3,9 miliar dan tahun 2013 sejumlah Rp 1 miliar. Korupsi anggaran dengan modus menaikkan (mark up) nilai anggaran, pemalsuan data, dan pemalsuan dokumen termasuk modus lama yang sudah terjadi di institusi pemerintahan sejak lama. Artinya modus ini adalah modus konvensional korupsi birokrasi. Pelaku mengambil secara langsung anggaran negara yang menjadi kewenangannya. Menjadi penting untuk diperhatikan kembali maraknya modus korupsi anggaran dewasa ini. Dua kasus yang dibahas di atas adalah potret kecil dari banyak kejadian yang tentu tidak semuanya terungkap. Korupsi anggaran pada dua kasus di atas dilakukan dengan cara klasik sehingga dapat dikategorikan “mudah terungkap”. Pelaku memiliki kewenangan anggaran dan melakukan pelaporan fiktif dengan memalsukan data dan dokumen. Korupsi anggaran biasanya terjadi pada berbagai tahap, mulai dari perencanaan, penyusunan anggaran, pelaksanaan, dan terakhir pengawasan dan pertanggungjawaban. Pada tahap perencanaan, korupsi biasanya bermula dari niat untuk mengarahkan jenis
Halaman 9
mengarahkan jenis pekerjaan yang hanya dapat dilaksanakan oleh pihak-pihak tertentu. Sedangkan pada tahap penyusunan anggaran, modus korupsi biasanya berupa anggaran kegiatan fiktif, anggaran yang nilainya tidak rasional, anggaran yang melanggar aturan, dan modus lainnya. Pada pelaksanaan anggaran, korupsi biasanya berupa pelaksanaan anggaran yang tidak sesuai dengan anggaran yang telah disusun. Sedangkan korupsi pada pertanggungjawaban anggaran misalnya berupa laporan pertanggungjawaban fiktif maupun suap menyuap pelaksana anggaran dengan pengawas. Korupsi anggaran semakin mudah dilakukan apabila minim transparansi dan partisipasi. Tertutupnya penganggaran mulai dari perencanaan sampai pertanggungjawaban menyebabkan banyak pihak dengan mudah bisa mempermainkan anggaran, baik berupa korupsi maupun tindakan koruptif dalam bentuk bagi-bagi proyek berdasarkan kepentingan tertentu. Korupsi anggaran juga sering terjadi pada perjalanan dinas dan kegiatan non-fisik. Pelaporan kegiatan fiktif, mark up, pemalsuan bukti perjalanan dinas, menjadi beberapa modus kotor yang sering dilakukan abdi negara. Perjalanan dinas masih dianggap sebagai sumber penghasilan tambahan bagi sebagian pegawai negeri. Perjalanan dinas tentu saja mutlak diperlukan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan. Namun, ketentuan
2 Halaman 10
perjalanan dinas harus diperjelas agar tidak membebani anggaran negara apalagi menjadi salah satu titik kebocoran. Hal lain yang bisa dipelajari dari dua kasus di atas adalah awal mula terungkapnya kasus melalui pengawasan internal yang menemukan pelanggaran pada penggunaan anggaran. Ini semakin menunjukkan pentingnya fungsi pengawasan internal dalam mencegah dan memberantas korupsi. Fungsi pengawasan inspektorat menjadi ujung tombak, karena inspektorat memahami secara detail internal kementerian, lembaga, atau pemerintah daerah. B.
Korupsi di universitas
Melihat data TCR semester I tahun 2014, sektor pendidikan menyumbang tersangka korupsi sebanyak 10 orang. Tersangka yang didominasi oleh pengajar ini, banyak terjadi di sektor pengadaan barang dan jasa serta pengelolaan asset universitas. Jika pada semester II tahun 2013 kasus korupsi di perguruan tinggi banyak dilakukan di sektor pengadaaan barang dan jasa, maka pada semester I tahun 2014 bergeser ke sektor pengeloaan aset universitas. Contoh kasus korupsi pengelolaan aset terdapat di dua perguruan tinggi. Pertama, di Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim, Malang, menjerat mantan rektor Prof. Dr. Imam Suprayogo. Kasusnya adalah pembelian lahan untuk pembangunan kampus II UIN Malang di daerah Kota Batu. Kedua, di Universitas
Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Terdapat empat dosen yang berasal dari Fakultas Pertanian UGM yang ditahan karena diduga mengalihkan/menjual aset milik Fakultas Pertanian dengan cara melawan hukum. Selain pengajar, ada juga pegawai administrasi di lingkungan universitas yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Kasusnya penyalahgunaan dana hibah yang mencapai Rp 700 juta. Pada awalnya, dana tersebut diperuntukkan untuk kepentingan pengembangan pendidikan di Akademi Farmasi Banda Aceh, akan tetapi disalahgunakan oleh pegawai universitas tersebut untuk kepentingan pribadi. Persoalan pengelolaan aset yang menjerat para dosen aktif di beberapa universitas menunjukkan bahwa sistem pengawasan internal di universitas tidak berjalan sebagaimana mestinya. Aset yang yang begitu besar ternyata tidak dikelola secara profesional. Mulai dari pembelian, penjualan, serta kepemilikan dapat menjadi celah korupsi. Perbaikan sistem administrasi menjadi langkah awal dalam perbaikan sistem pengelolaan aset di universitas. C. Peran pemerintah dalam pencegahan tindak pidana korupsi Dalam usaha pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, sebenarnya pemerintah telah memiliki beberapa program yang dimasukkan dalam strategi nasional pemberantasan
korupsi. Melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2013 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2013, Presiden menetapkan aksi pencegahan dan pemberantasan korupsi melalui enam strategi sebagai berikut: a. Pencegahan; b. Penegakan hukum; c. Peraturan perundang-undangan; d. Kerjasama internasional dan penyelamatan aset hasil korupsi; e. Pendidikan dan budaya antikorupsi; dan f. Mekanisme pelaporan. Hanya saja, dalam pelaksanaan aksi pencegahan dan pemberantasan korupsi, strategi tersebut belum dapat dimanfaatkan secara maksimal. Misalnya, dalam mekanisme pelaporan, setiap pemerintah daerah sudah diwajibkan agar membentuk rencana aksi pencegahan dan pemberantasan korupsi. Kenyataannya, belum semua daerah membentuk dokumen pencegahan tindak pidana korupsi tersebut. Ditambah lagi, sanksi bagi daerah yang tidak memenuhi pembentukan rencana aksi daerah pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi juga tidak terlalu transparan. Semestinya, bagi daerah yang tidak membuat aksi dan program pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi harus diberikan hukuman, misalnya, dengan mengurangi dana perimbangan. Begitu sebaliknya, pemerintah daerah yang tertib mengikuti instruksi pemerintah pusat harus diberikan penghargaan dengan menambah dana perimbangan. Halaman 11
Strategi pencegahan sebenarnya bertumpu pada reformasi birokrasi, karena birokrasi yang bersih dan profesional akan mencegah terjadinya tindak pidana korupsi. Meskipun reformasi birokrasi telah menjadi agenda pemerintah bahkan dijadikan sebagai nama kementerian, tetapi perkembangannya sangat lambat dan sering salah arah. Reformasi birokrasi yang salah arah terjadi ketika sekedar diartikan sebagai naiknya gaji dan pendapatan pegawai negeri. Dalam hal penegakan hukum, pemerintah juga kurang begitu merespon harapan publik. Remisi bagi pelaku tindak pidana khusus, termasuk tindak pidana korupsi, seharusnya lebih diperketat. Seperti halnya pemberian remisi, pembebasan bersyarat juga harus diperketat. Namun, belakangan pemerintah bersikap berseberangan. Mudahnya pemberian fasilitas pengurangan masa hukuman dan pembebasan bersyarat menunjukkan pemerintah tidak begitu bersemangat dalam usaha pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Strategi peraturan perundang-undangan tidak memperlihatkan perkembangan positif bagi pencegahan dan pemberantasan korupsi. Selain belum rapihnya peraturan perundang-undangan yang bisa meminimalisir terjadinya korupsi justru terdapat RUU KUHAP yang mengandung masalah khususnya dalam mendukung pemberantasan korupsi di Indonesia.
2 Halaman 12
Strategi pendidikan dan budaya antikorupsi juga belum terlihat sebagai gerakan yang terarah. Justru, strategi ini terdistorsi menjadi sekedar ceremony atau slogan di banyak kementerian, lembaga, atau pemerintah daerah. Budaya integritas belum terlembaga terlihat dari masih mudahnya ditemui pungli pada pelayanan publik.
BAB IV Pembentukan Kabinet Antikorupsi 2014-2019 Presiden terpilih periode 2014-2019 harus membentuk kementerian negara demi membantu pelaksanaan tugas dan kewenangan presiden. Dalam membentuk kementerian negara, presiden tunduk pada aturan hukum yang ada, yakni UndangUndang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008, pembentukan kementerian perlu mempertimbangak perihal efisiensi dan efektivitas; cakupan tugas dan proporsionalitas beban tugas; kesinambungan, keserasian, dan keterpaduan pelaksanaan tugas; dan/atau perkembangan lingkungan global. Seorang calon menteri harus memenuhi syarat yang ditentukan dalam Pasal 22 ayat (2) dan Pasal 23. Undang-undang mengatur bahwa calon menteri haruslah: 1. WNI; 2. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; 3. Setia kepada Pancasila, UUD NRI 1945, dan cita-cita proklamasi kemerdekaan; 4. Sehat jasmani dan rohani; 5. Memiliki integritas; dan 6. Tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.
Dengan ketentuan undang-undang tersebut, maka calon menteri haruslah seseorang yang tidak memiliki catatan pidana—khususnya yang berkaitan dengan perbuatan yang diancam dengan penjara lima tahun atau lebih. Batasan demikian sebenarnya juga bisa dipakai untuk menutup kesempatan bagi kandidat yang bermasalah dan diduga terlibat dalam tindak pidana dalam perebutan kursi menteri. Para kandidat yang memiliki catatan, setidaknya, korupsi atau diduga korupsi—termasuk pencucian uang, pelanggaran HAM—termasuk perdagangan orang, kasus narkoba atau psikotropika, kasus terorisme atau tindak pidana lainnya secara otomatis tidak dapat menduduki kursi kementerian atau lembaga negara. Pemerintahan terpilih 2014-2019, dalam menyusun kabinet perlu mempertimbangkan masukan dari masyarakat. Para calon yang diusulkan sebagai menteri tidak boleh memiliki masalah dengan kejahatan korupsi dan pencucian uang, kejahatan kemanusiaan, kejahatan terorisme, kejahatan narkoba atau psikotropika, dan semua kejahatan yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih. Presiden terpilih bisa menggunakan data dari pusat pelaporan dan analisis transaksi keuangan. Tindakan preventif agar tidak ada kandidat menteri yang tersangkut pidana dapat ditelusuri dari transaksi keuangan yang dimilikinya.
Halaman 13
Selanjutnya, calon menteri dilarang memiliki jabatan lain selain sebagai pimpinan kementerian. Undang-undang menyatakan bahwa untuk menjabat sebagai menteri, maka calon menteri: 1. Tidak boleh menjadi pejabat negara lainnya; 2. Komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; dan 3. Pimpinan organisasi yang dibiayai dari APBN/APBD. Aturan di atas jelas, nantinya tidak boleh ada menteri yang merangkap jabatan. Hal ini ditujukan agar menteri dapat fokus dalam mengemban amanahnya sebagai pembantu presiden. Di samping itu, juga untuk menghindari adanya program kementerian yang salah sasaran. Atau sebaliknya, untuk mencegah supaya ada program titipan dari organisasi yang tidak ada sangkut-pautnya dengan program kementerian. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 memang tidak melarang presiden terpilih untuk mengambil kandidat menteri dari unsur partai politik. Namun demikian, alangkah baik apabila presiden mempertimbangkan untuk tidak menentukan susunan menteri dari unsur partai politik. Mengingat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana diubah dengan UndangUndang Nomor 2 Tahun 2011 masih memberikan ruang bagi partai politik untuk mengumpulkan dana bagi
2 Halaman 14
kelangsungan partai dari anggotanya. Dalam Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 disebutkan, “Keuangan partai politik bersumber dari a) iuran anggota; b) sumbangan yang sah menurut hukum; dan c) bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.” Ketentuan pasal ini memberikan jalur hukum bagi partai politik untuk mengambil dana dari masing-masing anggota dengan cara membayar iuran wajib. Asumsi yang dibangun melalui pasal ini adalah apabila menteri berasal dari partai politik, kemudian partai membutuhkan dana untuk keberlangsungan partai, maka partai akan meminta iuran wajib dari menteri tersebut. Jika dana yang dibutuhkan sangat besar, besar kemungkinan menteri bersangkutan akan mengambil dana dengan cara me-mark up atau membuat kegiatan fiktif untuk mendapatkan dana yang nantinya akan diberikan kepada partai. Dengan demikian, korupsi akan sulit dicegah di dalam kementerian yang menterinya berasal dari unsur partai politik. Dalam memilih kandidat menteri, setidaknya ada tiga hal yang harus diperhatikan oleh presiden terpilih periode 2014-2019. Pertama, integritas. Ukuran integritas sudah sangat jelas. Bakal calon menteri tidak boleh tersangkut dengan kejahatan yang diancam hukuman lima
tahun atau lebih. Ukuran ini lebih ditingkatkan dari pada yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008. Artinya, bakal calon menteri tidak boleh memiliki catatan atau keterkaitan dengan tindak kejahatan yang diancam dengan penjara lima tahun atau lebih. Bakal calon yang disangkut-pautkan dengan, misalnya, tindak pidana korupsi, pencucian uang, terorisme, narkoba, kejahatan hak asasi manusia, harus ditolak sebagai bakal calon menteri. Kedua, akseptabilitas. Penerimaan publik adalah faktor kedua dalam penentuan bakal calon menteri. Seorang kandidat, meskipun bukan dari unsur partai politik, akan tetapi pernah terlibat kasus yang diancam hukuman lima tahun, atau tindak-
-an asusila, harus dikeluarkan sebagai bakal calon menteri. Oleh karena itu, bakal calon yang pernah dipidana penjara atas kejahatan yang diancam penjara lima tahun atau lebih dan/atau dikaitkan tindakan asusila tidak bisa menduduki kursi bakal calon menteri. Ketiga, kapabilitas. Kemampuan dalam memimpin kementerian dapat diprediksi dari catatan pengalaman (track record) bakal calon menteri. Kriteria ini memungkinkan kandidat yang tidak menguasai bidang kementerian dimaksud, tidak akan dapat menduduki kursi bakal calon menteri. Kriteria ini juga berpotensi mengurangi tawaran partai politik yang ingin menempatkan elitenya dalam kementerian tertentu.
Halaman 15
BAB V Penutup Presiden periode 2014-2019 mempunyai hak prerogatif untuk menyusun program dan kabinetnya. Pengawasan terhadap pemerintahan daerah harus terus ditingkatkan dengan cara mengefektifkan pengawasan internal. Memberikan apresiasi bagi daerah yang dengan taat merencanakan, membuat, dan melaksanakan program antikorupsi. Misalnya, dengan menambah persentase perolehan dana perimbangan. Begitu pula, pemerintah pusat harus memberikan hukuman terhadap pemerintah daerah yang tidak tertib merancang, membuat, dan melaksanakan program antikorupsi melalui pengurangan perolehan dana perimbangan. Presiden terpilih dalam menyusun kabinet sangat perlu mendengarkan pertimbangan dari publik. Memilih menteri dari jalur profesional memang bukan jaminan. Namun setidaknya, menyaring kandidat menteri dan menolak para bakal calon menteri yang memiliki catatan kejahatan dan pidana akan menjauhkan presiden dari kemungkinan lahirnya menteri atau kementerian yang bermasalah. Integritas, akseptabilitas, dan kapabilitas, adalah tiga kriteria yang harus diperhatikan oleh presiden terpilih untuk menyaring bakal calon menteri supaya diperoleh kandidat yang benar-benar mampu mendukung presiden dalam menjalankan tugas menyejahterakan rakyat.
Halaman 16