2010
TREND CORRUPTION REPORT TRIWULAN-III
PUSAT KAJIAN ANTIKORUPSI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA
1
I.
PENDAHULUAN
Pemberantasan tindak pidana korupsi masih menjadi pekerjaan rumah yang tidak kunjung selesai. Meski umur kemerdekaan sudah lebih 65 tahun, tanda korupsi akan hilang tidak begitu kentara. Aksi menguras uang negara, membentuk persekongkolan, percaloan, nepotisme merebak tidak terbendung dan sangat vulgar. Kondisi negara yang tampak carut-marut karena badai korupsi, semakin diperburuk dengan rasa kepemimpinan pemerintahan yang dinilai hambar. Beberapa kasus institusional penegakan hukum, baik yang muncul tiba-tiba atau yang sudah usang, serta mekanisme pergantian pucuk pimpinan lembaga penegak hukum yang berbau misteri adalah tambahan permasalahan dalam upaya melakukan pemberantasan korupsi. Proses penentuan pimpinan baru KPK pasca diberhentikannya Antasari Azhar hingga saat ini macet di tangan legislatif. KPK mengakui kosongnya satu kursi pimpinan sedikit memperlambat kinerja penindakan. Macetnya pengambilan keputusan di tingkat DPR menyembulkan kegelisahan bahwa penentuan pemilik kursi pimpinan pengganti KPK adalah objek kompromi politik elit. Boleh jadi, belum didapatkan kesepakatan politik mengenai untung-rugi penentuan tersebut. Jika demikian adanya, berarti simpul memperlambat pemberantasan korupsi kembali mengencang. Lembaga penegakan hukum antikorupsi lainnya juga terganjal. Gugatan Yusril Ihza Mahendra atas keabsahan Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung memang tidak langsung menjadikan lambatnya penindakan kasus korupsi oleh kejaksaan, yang sebelumnya sudah compang-camping akiabt perilaku buruk pejabatnya—kasus jaksa UTG, kasus Anggodo dan sebagainya. Di samping itu, ini adalah pertanda rasa hambar gaya kepemimpinan pemerintahan. Berikutnya, Kepolisian Negara Republik Indonesia juga terancam integritas pemberantasan korupsinya. Kasus rekening mencurigakan milik perwira tinggi dan menengahnya belum sampai diusut tuntas. Penyelidikan atas kasus tersebut dilakukan pihak internal tanpa mengundang pihak eksternal untuk turut-serta memeriksa. Hasil yang disampaikan ke publik, hanyalah
2
sebatas tuntutan formal belaka tanpa menyentuh substansi agar nama baik kepolisian tetap terjaga. Dua hal besar lain yang berperan melucuti penegakan hukum antikorupsi adalah, SKPP atas dugaan penyalahgunaan wewenang oleh pimpinan KPK, Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah dan kasus bail out dan pemberikan fasilitas pinjaman jangka pendek ke Bank Century. SKPP Bibit-Chandra ditolak oleh Mahkamah Agung. Penolakan tersebut disebabkan oleh ketidakjelasan Kejaksaan Agung memberikan alasan atas terbitnya SKPP. Kasus ini menjadi polemik dalam penegakan hukum, sekaligus meruncingkan kembali potensi gesekan antara KPK dengan Kejaksaan dan Kepolisian. Selanjutnya, kasus Bank Century yang seharusnya dicari kebenarannya atas nama hukum, ternyata menjadi satu dari banyak objek kompromi politik elit. Meski panitia khusus DPR yang melakukan pemeriksaan politik menyatakan terdapat pelanggaran hukum terhadap bail out dan FPJP ke Bank Century, namun para penegak hukum belum menemukan apapun yang dianggap pelanggaran hukum dalam kasus Bank Century. Kasus ini kemungkinan dipetiemaskan, baik secara politik maupun secara hukum. II. PENDEKATAN DAN WAKTU PEMANTAUAN Trend Corruption Report (TCR) atau laporan kecenderungan korupsi Triwulan ke-3 Tahun 2010 yang disusun oleh Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM (Pukat Korupsi) adalah laporan mengenai kecenderungan tindak pidana korupsi berdasarkan pemantauan yang dilakukan selama tiga bulan (1 Juli-15 September 2010) melalui pemberitaan media cetak maupun elektronik. Pendekatan yang digunakan adalah kualitatif-representatif. Pemantauan tidak didasarkan pada jumlah kasus korupsi yang diberitakan oleh semua media massa. Tetapi, yang dianggap mewakili pemberitan saja. Jumlah korupsi yang terekam sangat banyak. Padahal, masih banyak kasus korupsi yang mungkin tidak terliput oleh media dan/atau tidak diberitakan. Kasus korupsi yang dipantau dianggap mewakili pemberitaan kasus korupsi yang dilakukan oleh media massa, yang menjadi objek dari penelitian ini.
3
Media massa yang dipantau terdiri dari dua kelompok, yakni cetak dan elektronik. Media cetak meliputi Harian yang berukuran nasional serta lokal, seperti Kompas (dan grupnya), Jawa Pos (dan grupnya), Koran Tempo, Media Indonesia (dan grupnya), Koran Seputar Indonesia, Republika, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Bernas, dan Harian Jogja. Sedangkan media elektronik meliputi detik.com, tempointeraktif.com, okezone.com, vivanews.com, antaranews.com, matanews.com. Rentang waktu pemantauan dimulai sejak 1 Januari hingga 15 Maret 2010. III. KECENDERUNGAN KORUPSI TRIWULAN-III 2010 Pukat Korupsi memantau 113 kasus yang melibatkan 236 pelaku, 116 modus, dan 113 sektor korupsi. Kasus tersebut lebih lanjut dipaparkan dalam beberapa bagian, meliputi aktor, modus, sektor, tingkat kerugian negara, penegak hukum yang menangani, dan vonis yang dijatuhkan. A. Aktor Korupsi 236 pelaku yang dipantau dalam triwulan ketiga 2010 ini dibagi dalam 38 macam, meliputi anggota DPR, kepala daerah/mantan kepala daerah, dirut perseroan terbatas, kepala dinas, pejabat departemen, kepala desa, pegawai dinas pemda, anggota/mantan anggota DPRD, kepala sekolah, sekretaris daerah, mantan menteri, perangkat desa, pejabat universitas, pengusaha, pengurus koperasi, anggota ormas, kepala kantor pajak, auditor BPK, pegawai pemkab/pemprov, polisi, anggota/pegawai KPUD, kepala kantor pos, dirut perusda, dokter, camat, kepala kantor pertanahan, pengurus klub, pegawai kantor DPRD, pagawai BUMD, ketua proyek, pegawai bank, pegawai BUMN, pejabat perguruan tinggi, markus, hakim, pegawai pajak, masyarakat biasa, dan pemuka agama. Jumlah pelaku terbanyak masuk pada kelompok anggota/mantan anggota DPRD sebanyak 56 orang. Diikuti oleh anggota DPR (29 orang), kepala dinas (18 orang), pegawai pemprov/kabupaten (17 orang), pegawai dinas pemda (13 orang), dan dirut perseroan terbatas (11 orang). Sedangkan kelompok yang lain jumlahnya berada pada kisaran di bawah sepuluh orang. Terpantaunya anggota/mantan anggota DPRD sebagai kelompok aktor korupsi terbanyak menandakan bahwa korupsi di daerah masih menjalar
4
dan belum ada sinyal mengalami penyusutan. Laporan yang diberitakan banyak media juga mensinyalir hal yang sama. Konsep memeratakan kemakmuran untuk daerah ternyata tidak tercapai seluruhnya. implementasi otonomi daerah berubah menjadi penjarahan keuangan daerah. Daerah menjadi kubangan korupsi. Hal itu terlihat bahwa posisi pelaku korupsi peringkat atas didominasi oleh pejabat di tingkat daerah, seperti kepala dinas, pegawai pemprov/kabupaten (pemda).
5
B. Modus Korupsi Modus korupsi pada triwulan-III 2010 dibagi dalam sembilan kategori, yakni penyelewengan anggaran, mark-up, suap, penyalahgunaan wewenang, memperkaya diri/orang lain, korupsi bersama-sama, penunjukan langsung, gratifikasi, dan penyimpangan proyek yang tersebar dalam 116 modus. Dari atas ke bawah modus yang digunakan untuk mencuri uang negara ditempati oleh modus memperkaya diri/orang lain dengan 57 kali, korupsi secara bersama-sama (15 kali), dan mark-up (11 kali), penyalahgunaan wewenang (9 kali), suap (7 kali), gratifikasi dan penyelewengan anggaran (masing-masing 5 kali), dan penyimpangan proyek serta penunjukan langsung (masing-masing 4 kali). Posisi modus memperkaya diri/orang lain sebagai modus yang paling sering digunakan sebagai modus korupsi belum tergantikan. pada triwulan-I 2010 jumlahnya mencapai 56 kali dari 101 modus dan pada triwulan-II sebanyak 39 kali dari 83 modus.
C. Sektor Korupsi
6
Pukat korupsi mencatat ada 27 sektor yang dijarah dalam tindak pidana korupsi pada trwulan-III 2010, meliputi pengadaan barang dan jasa, APBD, pendapatan negara/daerah, pertanahan, pendidikan, BUMN, perbankan, pemerintah daerah, DPRD, kesehatan, olahraga, departemen, kehutanan, pilkada, DPR, BUMD, kelautan, bantuan bencana alam, kas daerah, ketenagakerjaan, perumahan, perkoperasian, keagamaan, pariwisata, dan kesejahteraan sosial yang meliputi bantuan sosial dari pemerintah pusat/daerah, bantuan kesehatan, serta program penanggulangan rakyat miskin. Sektor yang paling sering dijadikan ajang korupsi masih ditempati oleh pengadaan barang dan jasa yang ditemukan dalam 33 kasus. Peringkat kedua diambil oleh sektor kesejahteraan sosial (13 kasus). Sedangkan posisi ketiga menjadi milik sektor APBN dan pendidikan (masing-masing 10 kasus). Berikutnya, pertanahan (7 kasus), pendapatan negara/daerah (5 kasus), BUMN (4 kasus), perbankan, pemerintah daerah, DPRD, kesehatan, dan olahraga (masing-masing 3 kasus), departemen, kehutanan, dan pilkada (masing-masing 2 kasus), DPR, BUMD, kelautan, bantuan bencana alam, kas daerah, ketenagakerjaan, perumahan, perkoperasian, keagamaan, pariwisata (masing-masing 1 kasus).
7
Posisi sektor pengadaan barang dan jasa menjadi sektor terfavorit masih konsisten. Pada triwulan pertama 2010 jumlahnya mencapai 30 kasus. Sedangkan pada triwulan kedua sebanyak 20 kasus. konsistensi sektor pengadaan barang dan jasa ini menandakan bahwa regulasi yang dibentuk oleh pemerintah terhadap pengadaan barang dan jasa ternyata tidak banyak membantu menurunkan tingkat korupsi. Boleh jadi untuk menurunkan angka korupsi di sektor ini tidak terlalu banyak membutuhkan pembentukan regulasi, melainkan implementasi regulasi yang harus ditegakkan oleh pejabat dan petugas pengadaan barang dan jasa. Dibutuhkan pejabat dan petugas pengadaan barang dan jasa yang berintegritas, yang tidak bisa dibeli, dan bersikap adil. Konglomerasi hitam dan calo pengadaan barang dan jasa bergerak sangat aktif melakukan berbagai macam cara untuk memenangkan tender dan tidak segan-segan menyuap atau memberikan gratifikasi. Dengan banyaknya aturan pengadaan barang dan jasa dibentuk, langkah berikutnya adalah menyiapkan pejabat dan petugas pengadaan barang dan jasa yang berintegritas dan nirkorupsi. D. Tingkat Kerugian Negara Tingkat kerugian negara terbanyak pada triwulan-III 2010 berkisar pada angka di bawah Rp 1 miliar dengan 39 kasus. Kerugian negara antara Rp 1 hingga Rp 10 miliar (31 kasus), Rp 10 – Rp 50 miliar (10 kasus), Rp 50 – Rp 100 miliar (1 kasus), di atas Rp 100 miliar (2 kasus). Jumlah itu belum termasuk pada kasus yang belum diketahui jumlah kerugian negaranya (30 kasus) karena masih dalam tahap penyelidikan penegak hukum. Jumlah sementara uang negara yang dijarah sebesar Rp 2.017.527.070.741,00.
8
Data tersebut memberikan gambaran bahwa tindak pidana korupsi kelas teri ternyata banyak diminati oleh pelaku tindak pidana korupsi. Kemungkinan besar pelaku korupsi menilai bahwa melakukan korupsi dengan tingkat kerugian negara yang kecil tidak akan mendapatkan hukuman yang berat. Hal lainnya adalah, kerugian negara di bawah Rp 1 miliar akan menghindarkan para pelaku korupsi dari pemeriksaan KPK. Ketentuan hukum mengatakan kasus yang dapat ditangani KPK adalah kasus yang diindaksikan merugikan keuangan negara di atas Rp 1 miliar. Artinya, dengan tindak pidana korupsi di bawah Rp 1 miliar, KPK tidak akan menjangkaunya. Sebab, sudah lazim hingga saat ini, ketika sebuah kasus korupsi ditangani KPK, maka kasus tersebut tidak akan lolos. Kemungkinan lainnya tujuan para pelaku korupsi banyak menjarah uang negara di bawah Rp 1 miliar agar jika ditangkap, penanganannya berada di tangan kepolisian atau kejaksaan. Dua intitusi ini tampak sedikit lebih lentur dibandingkan dengan KPK dalam penanganan tindak pidana korupsi, yang boleh jadi memberikan potensi harapan bagi pelaku korupsi untuk lolos dari jerat hukum. E. Lembaga yang Menangani Dari 113 kasus yang dipantau Pukat korupsi, Kejaksaan Negeri menangani 73 kasus. KPK menangani 18 kasus, Kejaksaan Tinggi 14 kasus, Kepolisian Resort 5 kasus, Kejaksaan Agung 1 kasus, Mabes Polri 1 kasus, dan Kepolisian Daerah 1 kasus.
9
Sama seperti pada TCR triwulan-I dan II 2010, Kejaksaan Negeri tetap berada diurutan teratas lembaga yang menangani kasus korupsi. pada triwulan pertama tercatat menangani 55 kasus dari 101 kasus, dan 39 kasus dari 83 kasus pada triwulan kedua. Angka tersebut tetap tidak terlalu membanggakan, melihat jumlah Kejaksaan Negeri tersebar di seantero nusantara. Namun demikian, tidak salah kiranya data tersebut dijadikan pelecut bagi korps kejaksaan untuk terus meningkatkan kinerjanya dalam memberantas tindak pidana korupsi. F. Vonis Pengadilan
Untuk vonis pengadilan, pada triwulan ketiga ini, pengadilan negeri dan pengadilan tinggi menjatuhkan 68 vonis bersalah. Sedangkan pengadilan tipikor menjatuhkan 6 vonis, dan Mahkamah Agung 1 kasus.
10
Namun demikian, pengadilan negeri masih saja ada yang menjatuhkan vonis bebas. Yakni PN Surabaya yang menjatuhkan vonis bebas pada Daniel Sunarya Kuswandi, direktur PT Iglas, dan kepada Sonny Turang, direktur utama PT Indopacking Gelora Langgeng Sukses, sebagai mitra kerja PT Iglas. Keduanya adalah terdakwa dalam kasus korupsi di BUMN PT Iglas pada tahun 2006 yang diduga merugikan keuangan negara sebesar Rp 25,253 miliar. Vonis bebas ini terang melucuti semangat pemberantasan korupsi. Rekor penjatuhan vonis terberat berada di tangan pengadilan tipikor. Tiga kasus teratas yang dijatuhi vonis terberat adalah kasus pajak PT Bank Jabar Banten dengan terdakwa Eddi Setiadi, mantan kepala kantor pemeriksaan dan penyidikan pajak dengan vonis 6,5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 6 bulan penjara yang dijatuhkan pengadilan tipikor. Kemudian, kasus suap di pengadilan tinggi tata usaha negara dengan terdakwa hakim Ibrahim dengan vonis 6 tahun penjara dan denda Rp 200 juta yang dijatuhkan pengadilan tipikor. Peringkat ketiga adalah kasus pembangunan lapangan terbang di Kabupaten Banyuwangi dengan terdakwa mantan Bupati Samsul Hadi berupa vonis 6 tahun penjara dan denda RP 50 juta subsider 2 bulan kurungan oleh PN Banyuwangi. Di samping itu, rata-rata vonis yang dijatuhkan pengadilan negeri dan tinggi adalah 1 tahun 6 bulan, Mahkamah Agung 2 tahun. Sedangkan pengadilan tipikor 4 tahun 5 bulan. Data itu menunjukkan bahwa kiprah pengadilan tipikor masih jauh melampaui pengadilan negeri, tinggi, maupun MA dalam hal mendukung pemberantasan tindak pidana korupsi. sekaligus, data tersebut harus menjadi catatan bagi pengadilan negeri, tinggi, dan MA untuk terus mengejar kinerja pengadilan tipikor. Minimal berkiprah sama dengan pengadilan tipikor. IV. KASUS BERNILAI STRATERGIS A. SKPP Bibit-Chandra Perjalanan kasus dugaan penyalahgunaan wewenang dan pemerasan oleh pimpinan KPK, Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah, masih tetap berjalan. Dua pimpinan tersebut dituduh melanggar Pasal 23 UU Nomor 31
11
Tahun 1999 jo Pasal 12 dan Pasal 15 UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 421 KUHP. Pada 15 September 2009 Bibit dan Chandra ditetapkan sebagai tersangka oleh Mabes Polri. Meski berkas pimpinan KPK tersebut bolak-balik Kepolisian-Kejaksaan, Bibit dan Chandra tetap ditahan. Alasan Kepolisian adalah dikhawatirkan keduanya menggalang opini dengan menggelar jumpa pers. Atas desakan masyarakat, Presiden SBY membentuk tim 8 guna mencari dan menverifikasi fakta di sekitar kasus Bibit dan Chandra. Hasilnya, pimpinan KPK tidak bersalah dan benar telah menjadi korban rekayasa. Kejaksaan Agung didesak untuk mengambil langkah hukum menghentikan kasus Bibit dan Chandra serta menyelesaikannya di luar pengadilan. Langkah yang diambil Kejaksaan Agung tepat dengan menerbitkan SKPP. Namu, SKPP tersebut sepertinya setengah hati dan membuka kemungkinan diperkarakan oleh pihak lain. Alasan sosiologis yang dijadikan dasar penerbitan SKPP keluar dari jalur yang ditentutkan oleh peraturan perundang-undangan. Akhirnya setelah sempat di praperadilankan dan ditolak oleh pengadilan, Kejaksaan Agung memintakan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Langkah peninjauan kembali ini dipandang lemah. Dan terbukti, MA menolak PK Kejaksaan Agung. Setidaknya ada tiga langkah hukum yang dapat dilakukan oleh Kejaksaan Agung untuk menyikapi putusan MA tersebut. Pertama, deponering. Berdasarkan Pasal 35 huruf c UU 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia mengatakan, Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Tugas dan wewenang tersebut melekat pada “Jaksa Agung”, bukan pada “pelaksana tugas Jaksa Agung”. Keadaan sekarang bahwa tidak terdapat Jaksa Agung, melainkan pelaksana tugas Jaksa Agung. Masih menjadi perdebatan apakah pelaksana tugas Jaksa Agung boleh mengenyampingkan perkara demi kepentingan umum. Ini adalah tantangan bagi Kejaksaan Agung, Kedua, menerbitkan SKPP baru. Ketika menerbitkan SKPP baru, ada kemungkinan juga akan dipraperadilankan oleh pihak lain. Langkah ini juga
12
menjadi tantangan baru bagi Kejaksaan Agung untuk membuat alasan yang tepat untuk diterbitkannya SKPP. Ketiga, meneruskan Bibit dan Chandra ke pengadilan dan menuntut bebas keduanya. Langkah ini seperti menjadi tamparan bagi Kejaksaan Agung. Sebab, sebelumnya Kejaksaan Agung menyatakan bahwa kasus BibitChandra sudah P21. Menuntut bebas berarti menjilat ludah sendiri. Ketiga langkah hukum tersebut memang pahit bagi Kejaksaan Agung. Akan tetapi tetap satu diantara ketiganya harus diambil agar kasus Bibit dan Chandra yang penuh rekayasa serta berusaha melemahkan KPK ini berhenti. B. Seleksi Pimpinan KPK Atas diberhentikannya Antasari Azhar karena kasus pembunuhan, KPK mengalami kekosongan kursi pimpinan. Pemerintah mengadakan seleksi untuk mencari pimpinan baru mengisi kursi Antasari. 285 orang terdata mengikuti proses pilah-pilih anggota KPK pada hari terakhir pendaftaran, 14 Juni 2010. Latar belakang pendaftar pun bermacammacam. 82 orang (28,77 persen) berasal dari swasta, 81 orang (28,42 persen) adalah advokat, 63 orang (22,11 persen) pegawai negeri sipil, 24 orang (8,42 persen) akademisi, 23 orang (8,07 persen) anggota TNI dan Polri serta purnawirawan, 9 orang (3,16 persen) jaksa dan pensiunan, dan 3 orang (1,05 persen) hakim dan pensiunan. Dari jumlah tersebut, panitia seleksi menentukan dua nama dan mengajukannya ke Presiden, yakni Busyro Muqoddas dan Bambang Widjojanto pada 27 Agustus 2010. Presiden mengusulkan nama Busyro dan Bambang ke DPR pada 31 Agustus 2010. Sesuai dengan Pasal 30 ayat (10) UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, DPR wajib memilih nama paling lambat tiga bulan sejak tanggal diterimanya usul dari Presiden. Artinya, akhir November adalah batas akhir dipilihnya satu nama antara Busyro dan Bambang. Namun demikian, sampai saat ini DPR belum tampak mau memilih nama. Padahal sudah lebih dari sebulan sejak diusulkannya nama.
13
Keadaan ini memunculkan kecurigaan bahwa DPR sedang menyusun kompromi politik untuk mengulur masuknya dua nama tersebut ke tubuh KPK. Hal ini mengingatkan pada diulur-ulurnya pembentukan UU Pengadilan Tipikor (UU Nomor 46 Tahun 2009) pascaputusan Mahkamah Konstitusi. Kompromi politik (akseptabilitas politik) tidak boleh mengalahkan kompromi publik (akseptabilitas publik). V. KESIMPULAN Dalam penelitian triwulan-III 2010, aktor korupsi berjumlah 236 pelaku yang dibagi dalam 38 macam. Posisi teratas didominasi oleh kelompok anggota/mantan anggota DPRD sebanyak 56 orang. Diikuti oleh anggota DPR (29 orang), kepala dinas (18 orang), pegawai pemprov/kabupaten (17 orang), pegawai dinas pemda (13 orang), dan dirut perseroan terbatas (11 orang). Sedangkan kelompok yang lain jumlahnya berada pada kisaran di bawah sepuluh orang. Terdapat 116 modus korupsi yang dikelompokkan dalam sembilan kategori. Dari atas ke bawah modus yang digunakan untuk mencuri uang negara ditempati oleh modus memperkaya diri/orang lain dengan 57 kali, korupsi secara bersama-sama (15 kali), dan mark-up (11 kali), penyalahgunaan wewenang (9 kali), suap (7 kali), gratifikasi dan penyelewengan anggaran (masing-masing 5 kali), dan penyimpangan proyek serta penunjukan langsung (masing-masing 4 kali). Sektor yang paling sering dijadikan ajang korupsi masih ditempati oleh pengadaan barang dan jasa yang ditemukan dalam 33 kasus. Peringkat kedua diambil oleh sektor kesejahteraan sosial (13 kasus). Sedangkan posisi ketiga menjadi milik sektor APBN dan pendidikan (masing-masing 10 kasus). Berikutnya, pertanahan (7 kasus), pendapatan negara/daerah (5 kasus), BUMN (4 kasus), perbankan, pemerintah daerah, DPRD, kesehatan, dan olahraga (masing-masing 3 kasus), departemen, kehutanan, dan pilkada (masing-masing 2 kasus), DPR, BUMD, kelautan, bantuan bencana alam, kas daerah, ketenagakerjaan, perumahan, perkoperasian, keagamaan, pariwisata (masing-masing 1 kasus). Tingkat kerugian negara terbanyak pada triwulan-III 2010 berkisar pada angka di bawah Rp 1 miliar dengan 39 kasus. Kerugian negara antara Rp 1 hingga Rp 10 miliar (31 kasus), Rp 10 – Rp 50 miliar (10 kasus), Rp 50 – Rp 100 miliar (1 kasus), di atas Rp 100 miliar (2 kasus). Jumlah itu belum
14
termasuk pada kasus yang belum diketahui jumlah kerugian negaranya (30 kasus) karena masih dalam tahap penyelidikan penegak hukum. Jumlah sementara uang negara yang dijarah sebesar Rp 2.017.527.070.741,00. Dari 113 kasus yang dipantau Pukat korupsi, Kejaksaan Negeri menangani 73 kasus. KPK menangani 18 kasus, Kejaksaan Tinggi 14 kasus, Kepolisian Resort 5 kasus, Kejaksaan Agung 1 kasus, Mabes Polri 1 kasus, dan Kepolisian Daerah 1 kasus. Untuk vonis pengadilan, pada triwulan ketiga ini, pengadilan negeri dan pengadilan tinggi menjatuhkan 68 vonis bersalah. Sedangkan pengadilan tipikor menjatuhkan 6 vonis, dan Mahkamah Agung 1 kasus. Namun demikian, pengadilan negeri masih saja ada yang menjatuhkan vonis bebas. Yakni PN Surabaya yang menjatuhkan vonis bebas pada Daniel Sunarya Kuswandi, direktur PT Iglas, dan kepada Sonny Turang, direktur utama PT Indopacking Gelora Langgeng Sukses, sebagai mitra kerja PT Iglas. Sedangkan dalam triwulan-III 2010, ada dua kasus yang bernilai strategis. Pertama, SKPP Bibit dan Chandra yang ditolak oleh Mahkamah Agung. Setidaknya ada tiga upaya yang dapat dilakukan oleh Kejaksaan Agung, (1) mengenyampingkan perkara demi kepentingan umum atau deponering. Tantangan upaya ini adalah, berdasarkan Pasal 35 huruf c UU 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, wewenang mengenyampingkan perkara tersebut ada di tangan Jaksa Agung. Pejabat yang ada sekarang adalah pelaksana tugas Jaksa Agung, bukan Jaksa Agung. (2) menerbitkan revisi SKPP. Namun, ada kemungkinan revisi tersebut dipraperadilankan kembali oleh beberapa pihak. (3) meneruskan kasus BibitChandra ke pengadilan dan menuntut bebas. Tetapi langkah ini seperti menjilat ludah sendiri. Ketiga upaya tersebut memang pahit, tetapi tetap harus diambil. Perihal kedua adalah seleksi pimpinan KPK. proses menentukan pimpinan KPK lambat di tangan DPR. Keadaan ini memunculkan kecurigaan bahwa DPR sedang menyusun kompromi politik untuk mengulur masuknya dua nama tersebut ke tubuh KPK.
15
Yogyakarta, 21 Oktober 2010 Salam Antikorupsi Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM
Zainal Arifin Mochtar Totok Dwi Diantoro Hasrul Halili
Hifdzil Alim (086543264320) Danang Kurniadi (08985074972) Lutfi Aji P (085643869307)