KEJAHATAN BISNIS MULTI DIMENSI' Meray Hendrik Mezak, SH.,MH'
Abstract
Business multidimensional crimes can be identified by the following characteristics, such as: forms and classitications ol crimes that usually conceal below the legality principles which are beyond the reach of the law. These crimes are *ert organized and implemented systematically, and in many cases, they are complicated for authentication. some exaiples ot business multidimensional crimes that we usuaily melt are
corruption, banking manipulation, money
laundering,
smuggling, fiscal embezzlement, environmental pollution, aid others. To anticipate these kinds of crimes, the law has to ptay its role as an umbrella to protect the community by uphotdiig justice, utility and law certainty.
PENDAHULUAN Kejahatan bisnis multi dimensi atau kejahatan dimensi baru merupakan kejahatan yang pembuktiannya sulit. Kelahatan tersebut belum termuat dalam rumusan undang-undang pidana khusus apalagi dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)- Di samping itu justru kejahatan itu dilakukan dengan memanfaatkan celah-celah hukum sehingga sulit dijerat dengan hukum (pidana) (beyond the laul), mengingat penerapan hukum pidana harui menerapkan asas legalitas sebagaimana yang diatur dalam pasal ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Pelaku kejahatan ini sering berlindung pada asaslegalitaJ. Di samping itu para ahli dan praktisi hukum masih mempunyai persepsi yang berbeda mengenai penerapan ajaran tentang perbuatan melawan hukum. Dalam teori hukum pidana pandangan tentang perbuatan melawan hukum dibedakan ajaran perbuatan melawan hukum arti formi! dan materiil. Perbuatan melawan hukum arti formil adalah suatu ajaran yang mengedepankan delik-delik dalam rumusan hukum pidana. Terdakwa yang terbukti melakukan suatu perbuatan secara sah dan meyakinkan memenuhi unsur-unsur dalam suatu pasal undang-
I
', Dornn Tetap Fakultas llukum I tniversitas ' (Dipaparkan pada Lokakarya Nasional
Pelita I larapan Pengawasan Berwawasan Pemhinaan Departemen Kelautan dan Perikanan RI. lnspektorat Jenderal. Jakarta: l6 Septenrber 2003 (Revisi penulis).
Vol.Ul. N0.3, Desember 2003
Keiahatan Eisnis Multi Oimensi
...
29
undang hukum pidana, dihukum. Pandangan ini hanya menitikberatkan pada segi formildan perbuatan si pelaku. Lain hal dengan perbuatan melawan hukum dalam arti materiil, di mana titik beratnya ditekankan pada silat perbuatan itu, apakah perbuatan itu bertentangan dengan norma-norma kesopanan dan kepatutan dalam masyarakat. Ajaran perbuatan melawan hukum arti materiil ini dapat dibedakan atas pengertian lungsi negatif dan fungsi positif. Dalam pengertian perbuatan melawan hukum arti materiil fungsi negatif, pelaku tindak pidana meskipun telah terbukti memenuhi unsur-unsur delik yang dituduhkan kepadanya, akan tetapi perbuatan itu tidak bertentangan dengan norma-norma dan kepatutan dalam masyarakat, maka terdakwa dapat dilepaskan dari tuntutan hukum. Berbeda dengan penerapan ajaran perbuatan melawan hukum fungsipositif, suatu perbuatan yaig terbukti'formil tidak melawan undang-undang,'akan tetapi melanggar norma-norma kepatutan dalam masyarakat atau perbuatan tersebut di cela oleh masyarakat, maka pelakunya dapat dihukum. Pertimbangannya meskipun pelaku tidak memenuhi rumusan delik, akan tetapi menimbulkan kerugian jauh lebih besar bagi masyarakat atau tidak sebanding dengan keuntungan penerapan asas legalitas. Teori-teori ajaran perbuatan melawan hukum sebagaimana dikemukakan sebelumnya, menjadi acuan para hakim dalam menerapkan hukum pidana di pengadilan. Penulis lebih cenderung pada pendapat dengan penerapan ajaran perbuatan melawan hukum fungsi positif untuk diterapkan pada penegakan hukum khususnya kejahatan dimensi baru ini, mengingat selain akan memudahkan pembuktian, iuga dapat menjerat pelaku-pelaku perbuatan yang dianggap tercela/koruptif serta berlindung di balik asas legalitas. Dalam penerapan aiaran ini tentunya secara selektif dengan kriteria yang ketat dan limitatif serta kasuistis. Hal lain yang menjadi kendala dalam kejahatan ini yaitu menggunakan instrumen dan pelaku yang cara kerjanya sistematik dan terorganisir. Kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi tidak hanya ditujukan bagi kebahagian umat manusia, melainkan dalam beberapa hal diambil celahnya untuk usaha-usaha yang meng-untungkan secara jalan pintas dan melanggar etika. Penggunaan internet misalnya, disalah gunakan untuk membobol bank bahkan merusak sistem laringan informasi. Pemikiran klasik selalu menghubungkan munculnya kelahatan karena akibat dari kemiskinan dan kemiskinan selalu dikaitkan dengan kebodohan. Akan tetapi kenyataan kemajuan ekonomi mendorong kemaiuan ilmu pengetahuan dan tehnologi. Kondisi ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak untuk mencari keuntungan secara sepihak melalui keiahatan dimensi baru ini. Kejahatan dimensi baru tidak hanya menggunakan instrumen canggih secara sistematik dalam kegiatannya untuk menghilangkan jeiak/bukti, ,uga terorganiser dengan rapih yang melibatkan orang perorangan dan korporasi terlepas korporasi itu berbadan hukum atau tidak. Peran korporasi di berbagai
30
Kejahatan Bisnis Multi 0imensi ...
Vol.Vl, N0.3, Oesernber 2003
sektor bisnis, diibaratkan seperti gurita yang merambah kesegala arah tanpa kendali dengan melanggar tatanan dan etika bahkan rnemanfaatkan celah hukum untuk kepentingannya. Adapun yang dapat dikatagorikan sebagai kejahatan bisnis dimensi baru ini bisa berupa kejahatan korupsi, kejahatan perbankan, kejahatan pencucian uang, kejahatan pengrusakan/pencemaran lingkungan, tindak pidana ekonomi (kejahatan penyelundupan dan penggelapan fiskal), dan kejahatan-kejahatan bisnis lainnya. Kejahatan dimensi baru memang benar berdampak tidak hanya pada orang perorang, badan usaha apakah berbadan hukum atau tidak, masyarakat pada umumnya, bahkan negara. Berbicara kejahatan dimensi baru erat kaitan dengan kejahatan korupsi/tindak pidana korupsi. Di lndonesia, korupsi sudah meluas tidak hanya dilakukan oleh, pejabat eksekutif melainkan oleh pejabat legislatif dan partai politik, bahkan pihak swasta sering terjebak dalam persoalan korupsi. Perkembangan tindak pidana korupsi di lndonesia terjadi secara meluas dan sistematik sehingga meng-akibatkan kerugian keuangan negara yang begitu besar, bahkan menghambat ekonomi dan hak-hak sosial masyarakat. Peran korporasi dalam kejahatan dimensi baru, begitu besar. Pemerintah dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) nasional mencantumkan korporasi sebagai salah satu subyek yang dapat diminta pertanggungjawaban perbuatan pidana. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nom or 20 Tahun 2001 untuk subyek hukum, menggunakan kata setiap orang (lihat Pasal 2). Kata setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi (lihat Pasal 1 angka 3). Dengan rumusan tersebut, subyek hukum dalam undang-undang ini adalah orang-perorang atau korporasi, apakah berbadan hukum atau tiOat< berbadan hukum. Korporasi diartikan adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisir baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum (lihat , Pasal 1 angka 1). Bandingkan istitah barang siapa dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 yang menunjuk subyek hukum dan Pasal 59 KUHP yang berarti orang (naturliike person) sebagai subyek hukum. Tindak Pidana Korupsi atau bisa jugi disebut sebagai kejahatan jabatan menjadi suatu kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crimes\ disebabkan karena faktor-faktor sebagai berikut: 1. Keiahatan yang sedemikian rapihnya sehingga tidak dapat dijerat dengan peraturan perundang-undangan. Rumusan tindak pidana korupsi dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undangundang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dapat kita lihat dalam Bab !l Tindak Pidana Korupsi yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut: a. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (lihat Pasal 2).
Vol.Vl, N0.3, Desember 2003
Kejahatan Bisnis Multi Dimensi
... 3l
b.
c.
Dengan tujuan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatannya atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (lihat Pasal 3). Ketentuan-ketentuan tindak pidana korupsi yang tersebar pada pasal-pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) khusus delik yang dilakukan oleh pejabat:
1). Penggelapan dalam jabatan (lihat Paasl 415 KUI-|F). 2). Pemalsuan buku/daftar pemeriksaan administrasi (lihat Pasal 416 KUHP).
3). Penerimaan suap (lihat Pasal418 KUHP). diri sendiri atau orang lain dengan melawdn hak (lihat ' 4). Menguntungkan Pasal423 KUHP). 5). Turut campur dalam pemborongan dalam mengadakan barang atau hak pak (lihat Pasal435 KUHP). d. Ketentuan-ketentuan tindak pidana korupsi yang terdapat dalam KUHP tentang menyuap/menyogok pegawai negeri (lihat Pasal 209 dan 210 )
KUHP).
e.
Ketentuan-ketentuan tindak pidana dengan akal tipu mendatangkan bahaya
bagi keselamatan orang atau barang atau keselamatan negara waktu perang (lihat Pasal 387 dan 388 KUHP).
Pengaturan ketentuan-ketentuan tindak pidana korupsi sebagaimana yang tersebar dalam KUHP tersebut secara eksplisit dituangkan dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undangundang Nomor 20 Tahun 2000. Rumusan ketentuan-ketentuan pidana sebagaimana disebutkan sebelumnya bisa saja tidak dapat menjerat pelaku kejahatan tindak pidana korupsi, men(-ingat asas yang digunakan dalam penerapan hukum pidana adalah asas legalitas, mengingat pula kejahatan ini dilakukan secara sistematik dan terorganisir. Dikatakan secara sistematik karena bisa saja instrumen yang dijadikan sarana kejahatan dapat menghilangkan jejak/alat bukti. Dikatakan terorganisir sebab pelaku kejahatan tidak tunggal, oleh karena itu sudah tepat subyek hukum pidana tidak orang-perseorangan saja, tetapi bisa saja korporasi terlepas apakah berbadan hukum atau tidak berbadan hukum.
2.
32
Adanya celah hukum dalam deregulasi peraturan perundang-undangan. Dalam mengantisipasi dan memberantas korupsi pada era reformasi, diawali dengan mengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 dengan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam undang-undang yang baru, mengantisipasi perkembangan dan
Keiahatan Bisnis Multi Dimensi ...
Vol.Vl. N0.3, Desember 2003
kebutuhan hukum dalam masyarakat, dengan memperluas pengertianpengertian sebagai berikut: a. Subyek hukum (orang perseorangan dan korporasi) sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya. Penulis sependapat dengan dijadikannya korporasi sebagai subyek hukum pidana, kendati dalam beberapa pandangan ,mengatakan hanya orang yang dapat dimintakan pertanggungan jawab pidana karena perbuatan itu diawali oleh niat dan niat itu ada pada orang. Jika dilihat dari pertanggung jawab fungsional, korporasi dapat dimintakan pertanggung-jawaban pidana, karena korporasi mengupah karyawan yang melakukan perbuatan fisik.
b.
c.
Pegawai Negari, sebagaimana dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971
(pegawai negeri menurut Undang-undang tentang Kepegawaian dan pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam KUHP) diperluas dengan orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah, dan dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, atau korporasi lain yang menggunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat (lihat Pasal 1 ayal 2 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Perumusan delik materiil dalam UU No.3 Tahun 1971 ke perumusan delik formil dalam UU No. 31 Tahun 1999 (lihat Pasal 2). Dengan demikian yang dianut yaitu delik materiil dan delik formil.
d. Adanya rumusan pidana e.
pengganti yang berupa pembayaran uang jumlahnya pengganti yang sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diper-oleh daritindak pidana korupsi (lihat Pasal 18). Adanya sistem pembuktian terbalik yang terbatas menurut UU No. 31 Tahun 1999 dan kemudian sistem pembuktian terbalik yang diperluas sebagaimana diubah dalam UU No. 20 Tahun 2000 (lihat Pasal 37 dan 37A). Ketentuan mengenai pembuktian terbalik dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi sebagai ketentuan yang bersitat"premium remidium" dan sekaligus mengandung sifat preferensi khusus terhadap pegawai negeri...(lihat penjelas-an UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).
ANTISIPASI MENGHADAPI KEJAHATAN BISNIS DIMENSI BARU Pembentukan Hukum Dalam rangka mengantisipasi dan memberantas kejahatan demensi baru perlu membentuk hukum baru yang sifatnya responsif artinya hukum itu tidak hanya menitik beratkan pada masalah keadilan melainkan merupakan kebutuhan masyarakat dalam rangka menjamin adanya kepastian hukum. Hukum yang demikian merupakan titik temu antara aspirasi masyarakat dan kebijakan politik
Vol.Vl. N0.3. Oesember 2003
Kejahatan Bisnis Multi Dimensi
...
33
pemerintah (negara). Di samping itu perlu ada deregulasi terhadap peraturan perundang-undangan untuk menutup celah hukum terhadap kejahatan dimensi baru. Perlunya persamaan presepsi antar penegak hukum antara lain tentang pemahaman perbuatan melawan hukum yang diterapkan dalam hukum pidana. Khusus tindak pidana dimensi baru/multi dimensi, rumusan perbuatan melawan hukum arti materiil fungsi positif perlu diterapkan sebagai solusi pemberantasan tindak pidana dimensi baru/multi tipologi meskipun dilakukan secara limitatif dan kasuistis. Kemudian, perluasan pemahaman subyek hukum pidana tidak hanya terbatas pada orang perorang, melainkan termasuk korporasi terlepas apakah korporasi itu berbadan hukum atau tidak. Sistem Pembuktian Sistem pembuktian terbalik khususnya asal muasal harta kekayaan pelaku kejahatan bisnis demensi baru, diakui dan diterapkan dalam hukum acara pidana. Dalam pengertian ini barangsiapa yang didakwa melakukan kejahatan bisnis, ia harus membuktikqn bahwa harta kekayaan yang dimilikinya tidak merupakan hasil dari perbuatan melawan hukum (kejahatan). Penemuan Hukum Dalam rangka menggali rasa keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum dalam masyarakat, perlu dikembangkan penemuan hukum melalui yurisprudensi sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman.
34
Kejahatan Bisnis Multi Dimensi ...
Vol.Vl, N0.3, Desember 2003
KEJAHATAN BISNIS MULTI DIMBNSI I.
CIRI.CIRI:
A. B. C.
BENTUK.BENTUK KEJAHATAN YANG SULIT DIJANGKAU OLEH HUKUM (otfences beyond the reach of the low\. DILAKUKAN SECARA SISTEMATIK DAN Tf,RORGANISIR. PEMBUKTIANNYA RUMIT
SULIT DIIDENTIFIKASI
o BERLINDUNG PADA ASAS LEGALITAS (Pasal 1 ayat(1) KUHP
o PERBEDMN PRESEPSI: PERBUATAN MELAWAN HUKUM
ArtiFormil ArtiMateril: FungsiNegatif FungsiPositif Fungsi Negati
KEJAHATAN SISTEMATIK & TERORGANISIR
o MENGGUNAMN
.
INSTRUMEN TEKNOLOGI CANGGIH DILAKUK,AN DENGAN SISTEM JARINGAN 1. Orang 2. Korporasi (lebih satu orang, intelektual cerdas, selalu menghilangkan jejaUbukti)
PEMBUKTIAN RUMIT
o ASAS PRADUGA TAK
.
BERSALAH
SISTEM PEMBUKTIAN KUHAP (UU No.8 Thn. 1981) Sekurang-kurang dua alat bukti yg sah 1.Ket. Saksi 2. Ket. Ahli 3. Surat
4. Ket. Terdakwa 5. Petunjuk melalui: a, Saksi b. Surat
c. Keterangan Terdakwa
Vol.Vl, N0.3. 0esember 2003
Kejahatan Bisnis Multi Dimensi
...
35
KEJAHATAN MULTI DIMENSI
JENIS-JENIS KEJAHATAN SEPERTI
:
FTSKAL)
FAKTORFAKTOR PENYEBAB
DINAMIKA MASYARAKAT
Era Global Kemajuan Ekonomi Kemajuan IPTEK
IPOLEKSOSBUDHANKAM
-
Deregulasi Peraturan yang Mempunyai Celah Hukum Penegakan Flukum (Setengah Hati)
Kualitas tlukum (Belum ldeal)
BudayaHukum (Tingkat Kesadaran llukum Masih Rendah)
36
Keiahatan Bisnis Muhi 0imensi ...
Vol.Vl, N0.3, Desember 2003
l-
ANTISIPASI MENANGGULANGI KEJAHATAN BISNTS MULTI DTMENSU KEJAHATAN LUAR BIASA
S
o L U
S
PENEGAMN HUKUM KHUSUS TINDAK PIDANA MULTI DIMENSI/ LUAR BIASA:
PERSAMAAN PRESEPS' DALAM PEMAHAMAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM YAITU PERBUATAN MEUWAN HUKUM MATERIIL FUNGS/ POS/I/F.
KEADILAN
KEPASTIAN PEMBERLAKUAN PEMBUKTIAN TERBALIK
I
KEGUNAAN SUBYEK HUKUM DIPERLUAS (OMNG PEROMNG DAN
KORPOMST)
YURISPRUDENSI
Vol.V1, ttlo.3. Desember 2003
Kejahatan Bisnis Multi Dimensi
...
37
PUSTAKA Departemen Penerangan R!, 1982. "Kitab llndang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)". Penerbit Simplex, Jakarta.
lndrianto Seno Adji,2001. "Korupsi dan Hukum Pidana". Kantor Pengacara & Konsultan Hukum Prof. Oemar Seno Adji, SH, Jakarta. Nursyahid. H.N, dkk., 2OO2. "Undang-undang Republik lndonesia No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi". BP. Panca Usaha, Jakarta. Robintan Solaiman., 2001. "Otopsi Kejahatan Bisnis'. Pusat Studi HLkum Bisnis FH Universitas Pelita Harapan, Jakarta.
R. Soesilo, 1985. -Kitab llndang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal". Politea, Bogor.
38
KejahatanBisnisMultiOimensi...
Vol.Vl. N0.3, Desember 2003