Peran Pemerintah Fiji dalam Menangani Money Laundering melalui Skema Asia Pasific Group on Money Laundering (APG) Fina Azmiya (211000015) Miftahur Rahman (211000224)
Abstrak : Pergeseran konsep keamanan nasional, mengakibatkan konsep ancaman mengalami perkembangan demikian pesat. Money laundering menjadi salah satu kejahatan transnasional yang mengancam keamanan nasional negara-negara di dunia dalam beberapa aspek antara lain ekonomi, politik, hukum, hingga keamanan nasional. Salah satu negara yang saat ini tengah menghadapi ancaman money laundering adalah Fiji. Fiji menjadi lahan basah money laundering karena posisinya yang strategis, serta kebijakan liberalisasi ekonomi yang menyebabkan perkembangan money laundering di sana kian pesat. Tulisan ini melihat bagaimana peran pemerintah Fiji dalam menangani money laundering yang salah satunya melalui skema kerjasama internasional dalam Asia Pacific Group on Money Laundering. Melalui kerjasama ini pemerintah Fiji mendapatkan beberapa rekomendasi yang diharapkan dapat menuntaskan kasus money laundering di sana.
Pergeseran struktur, relasi dan isu hubungan internasional pasca perang dingin telah menyebabkan pergeseran pemaknaan konsep ancaman dan keamanan. Dalam hubungan internasional kontemporer, konsep ancaman keamanan tidak lagi hanya diartikan sebagai perang. Namun lebih dari itu, semakin luasnya interaksi dalam hubungan internasional kontemporer, menjadikan krisis hubungan diplomatik, krisis ekonomi, krisis pangan, dan tindak kriminal lain sebagai bentuk ancaman keamanan. Salah satu sebab pergeseran hubungan internasional ini adalah fenomena globalisasi, yang diartikan oleh R. Robertson sebagai proses mengecilnya dunia dan meningkatnya kesadaran akan dunia sebagai satu kesatuan, saling ketergantungan dan kesadaran global akan dunia yang menyatu (Kiely, 2005). Menurut Jan Aart Scholte ada lima indikator yang mewarnai globalisasi, antara lain internasionalisasi, liberalisasi ekonomi, westernisasi, demokratisasi, dan deteritorialisasi (Scholte, 2001). Deteritorialisasi merupakan salah satu indikator yang mengikuti
arus globalisasi. Semakin kaburnya batas antara satu negara dengan negara lain menjadi tantangan yang terus berkembang saat ini. Seiring dengan cepatnya laju perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, globalisasi menjadi fenomena yang tak terlakkan bagi negara manapun di dunia , tidak hanya negara maju namun juga negara berkembang. Antara kemajuan teknologi dan informasi dengan globalisasi merupakan dua hal yang tak bisa dipisahkan. Sehingga, kemajuan teknologi informasi dan komunikasi serta kemudahan akses transportasi menjadi katalisator bagi fenomena globalisasi untuk terus hidup dan berkembang dalam masyarakat, tanpa mengenal kelas dan kasta. Dengan adanya globalisasi, negara seolah kehilangan daya untuk mengontrol sisi kehidupan masyarakatnya. Tidak hanya dalam bidang wilayah teritori, namun bidang-bidang lain juga terkena dampak seperti ekonomi, sosial, budaya serta pertahanan keamanan negara. Kondisi negara yang tidak lagi mempunyai power untuk mengontrol dan memenuhi kebutuhan rakyatnya nyata menjadi ancaman bagi keamanan negara, hal ini diperparah dengan deteritorialisasi yang memungkinkan masing-masing warga dapat berpindah dengan cepat, dan mengakses informasiinformasi yang tidak terduga. Hal ini menjadikan isu keamanan tidak hanya terbatas pada perang dan damai, melainkan lebih dari itu, hingga memunculkan konsep human security (keamanan manusia). Konsep keamanan diartikan Barry Buzan sebagai ketiadaan ancaman dari nilai-nilai yang dibutuhkan manusia dalam menjalani kehidupannya. Arnold Wolfers (1962) mendefinisikan konsep keamanan dalam tataran objektif diukur dengan tidak adanya ancaman, dan dalam tataran subjektif dengan ketiadaan rasa takut (Romm, 1993). Jika konsep keamanan diartikan demikian, maka konsep keamanan nasional dalam international encyclopedia of social sciences (1968) sebagai kemampuan negara untuk melindungi kondisi internal dari ancaman eksternal. Kemudian oleh Amos Jordan dan William Taylor (1981) keamanan nasional dipandang memiliki arti yang lebih luas daripada hanya sekedar melindungi dari serangan fisik, namun juga mencakup perlindungan dalam berbagai aspek seperti aspek ekonomi dan politik (Romm, 1993). Dalam perkembangannya, luasnya cakupan aspek keamanan nasional menyebabkan ancaman berkembang demikian kompleks. Di samping ancaman tradisional, muncul pula masalah-masalah keamanan baru yang mempengaruhi keamanan nasional, yakni isu ancaman
keamanan baru non tradisional, yang salah satunya adalah money laundering. Money laundering menjadi ancaman untuk beberapa aspek kehidupan seperti ekonomi, penegakan hukum, politik, serta keamanan manusia. Dalam bidang ekonomi, Money laundering menyebabkan turunnya efektivitas ekonomi nasional, maraknya tindakan korupsi, serta melemahnya sistem ekonomi negara sehingga menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat pada negara (www.interpol.go.id). Kemudian, money laundering memungkinkan tindak kejahatan transnasional lain seperti terorisme, penyelundupan obat terlarang dan perdagangan manusia, untuk dapat memperluas aksinya. Karna money laundering menjadi salah satu kantung pendanaan kejahatan-kejahatan transnasional ini. Ini berarti, selain mengancam keamanan nasional, money laundering juga mengancam keamanan manusia. Money laundering juga menjadi salah satu bentuk kejahatan transnasional yang dianggap ancaman bagi negara-negara di dunia. Ketika kegiatan ekonomi global sudah tidak lagi memperhatikan batas wilayah dari kedaulatan sebuah negara (terintegasi), dengan begitu akan sangat mudah dan cepat, bahkan aman, bagi setiap pengguna jasa bank untuk melakukan transaksi keuangan (Nasution, 2011). Transaksi keuangan ini kemudian dijadkan sebagai jalan bagi para pelaku kejahatan pencucian uang (money launderers) untuk menghilangkan jejak ataupun mengubah beberapa bukti dari asal usul pendapatan uang tersebut yang merupakan uang hasil dari kejahatan lainnya. Inilah salah satu penyebab mengapa kejahatan pencucian uang mengalami hambatan pada saat penegakan hukum. Istilah money laundering ditemukan pertama kali pada tahun 1920-an di Amerika Serikat, pada masa itu para mafia melakukan “pencucian uang” dari hasil penjualan narkoba, penjualan minuman keras, pemerasan, perdagangan illegal dan prostitusi (Sastraadmodjo, 2004). Pengertian lainnya yang mendefinisikan money laundering adalah pengertian dari Konvensi PBB tahun 1988 adalah; “The convention or transfer of property, knowing that such property is derived from any serious (indictable) offence or offences, or from act of participation in such offence or offences, for the purpose of concealing or disguising the illicit of the property or of assisting any person who is involved in the commission of such an offence or offences to evade the legal consequences of his action; or the concealment or disguise of the true nature, source, location, disposition, movement, rights with respect to, or ownership of property, knowing that such property is derived from a serious (indictable) offence or offences or from an act of participation in such an offence or offences.”
Namun pada konvensi ini hanya mengatur pencucian uang yang dihasilkan dari penjualan narkoba dan obat-obat terlarang, sedangkan untuk pencucian uang yang didorong oleh motif
lainnya belum ditetapkan, hal ini disebabkan pada masa itu praktik pencucian uang yang berasal dari kegiatan korupsi ataupun juga pendanaan terorisme belum marak terjadi (Husein, 2004). Money laundering menjadi ancaman yang semakin besar mengingat pertumbuhannya beberapa tahun belakangan menunjukkan kenaikan yang tajam. Michael Camdessus, Mantan Managing Director GDP dunia, atau hampir setara dengan AS$ 600 Milyar (Commonwealth, 2006). Selain karena jumlahnya yang besar, dari sudut pandang pemerintahan ada beberapa alasan mengapa money laundering menjadi ancaman (Commonwealth, 2006) :
Kegagalan mencegah dan mengatasi money laundering memungkinkan para kriminal mendapatkan keuntungan dari tindakannya, sehingga menyebabkan mereka semakin atraktif dalam melakukan kejahatan. Ini juga memungkinkan mereka membiayai tindak kriminal lainnya.
Money laundering memungkinkan terjadinya tindak korupsi. Kekuatan ekonomi dan finansial yang dikuasai politisi yang korup atau organisasi criminal dapat merusak sistem perekonomian dan sistem demokrasi sebuah negara.
Tindakan Money Laundering dapat merusak integritas sektor finansial. Ini juga akan berdampak pada sektor makroekonomi dan nilai tukar mata uang negara.
Money Laundering merupakan bentuk pelanggaran hukum yang menimbulkan turunnya kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Ancaman Money Laundering di Fiji Seiring dengan kemajuan teknologi informasi, Money Laundering menjadi tindak kejahatan lintas negara yang berkembang di berbagai wilayah. Negara-negara dengan sistem keuangan mapan pun turut menjadi lahan money laundering. Salah satu kawasan yang menjadi lahan basah tindak money laundering adala kawasan pulau-pulau kecil di Pasifik. Arus globalisasi menyebabkan aliran uang ke kawasan pasifik semakin deras. Negara-negara maju banyak mengalirkan modal untuk pembangunan di pulau-pulau di pasifik. Arus investasi menyebabkan perkembangan lembaga keuangan seperti perbankan, yang biasa digunakan money launderingsebagai media. Perkembangan yang pesat di kawasan pasifik ini menciptakan prospek bagi money laundering untuk terus berkembang (Herman, 1999).
Negara Fiji yang terletak di kawasan pasifik menjadi salah satu negara tujuan pelaku money laundering di kawasan ini. Fiji merupakan negara Republik dengan kondisi ekonomi yang cukup baik. Ekspansi ekonomi yang dilakukan pada tahun 2010 menjadi masa pertumbuhan ekonomi berkelanjutan sejak kemerdekaannya pada tahun 1970. Menurut data Bank Dunia, PDB Fiji dari tahun 2010 hingga tahun 2013 pun terus mengalami peningkatan. Tahun 2010 PDB Fiji berkisar pada angka US $ 3,1 milyar, hingga pada tahun 2013 sebesar US $ 3,9 milyar. PDB fiji pada tahun 2012-2013 diklasifikasikan sebagai ekonomi menengah atas oleh Bank Dunia. Pemerintah pun mendukung pertumbuhan ekonomi dengan menyambut investasi asing dan meyakinkan investor bahwa Fiji adalah tempat yang aman untuk melakukan bisnis. Fiji menjadi pusat aktivitas ekonomi di Pasifik Selatan, di mana berbagai transaksi keuangan terjadi melalui sistem keuangan Fiji dan melintasi batas-batas yurisdiksinya. Sebagai negara kecil dengan penduduk kurang dari satu juta jiwa, Fiji memiliki sumber daya alam yang relatif signifikan dan merupakan salah satu negara yang paling maju dibanding negara-negara kepulauan Pasifik lainnya. Fiji menjadi pusat regional untuk transportasi dan pengiriman berbagai komoditas untuk negara-negara pulau Pasifik lainnya. Lokasi geografis Fiji yang strategis, menjadi tempat yang nyaman untuk kegiatan kriminal di Australia dan Selandia Baru. Hal ini terbukti dengan meningkatnya kasus penyelundupan obat terlarang dan perdagangan manusia di wilayah ini. Beberapa hal ini menjadi alasan mengapa Fiji menjadi lahan basah money laundering. Selain itu, kebijakan ekonomi dan moneter Fiji dirancang untuk menuju liberalisasi perdagangan di dunia internasional (FijiFIU, 2013). Kebijakan ini di satu sisi memberikan keuntungan seperti membuka peluan penanaman modal asing dan meningkatkan arus perdagangan internasional untuk pulau kecil seperti Fiji. Namun, di sisi lain kebijakan ini juga menimbulkan kerentanan, berupa meningkatnya kemungkinan terjadinya money laundering. Diperkirakan terjadi pencucian uang sekitar AS$ 100 juta tiap tahun melalui transaksi keuangan. Fiji Financial Intelligence Unit telah mengidentifikasi beberapa teknik pencucian uang, antara lain sebagai berikut (FijiFIU, 2013) :
Menggunakan transaksi perusahaan sebagai modus pencucian uang. Transaksi dilakukan melalui rekening Bank perusahaan dengan dalih pembayaran biaya operasional perusahaan sehingga sulit untuk dilacak.
Menggunakan pihak ketiga atau anggota keluarga. Akun rekening anggota keluarga atau pihak ketiga menjadi cara klasik untuk mencuci uang. Untuk mengatasi money laundering, Fiji telah memiliki The Financial Intelligence Unit
(FIU), sebuah badan khusus
yang dibuat untuk mengumpulkan, menganalisis dan
mengungkapkan informasi keuangan dan intelijen. FijiFIU menjadi garda depan depan dalam melawan pencucian uang, pembiayaan teroris, aktivitas penipuan, dan kejahatan keuangan lainnya. Setiap tahunnya, FijiFIU menerima laporan mengenai transaksi-transaksi yang dicurigai sebagai tindak kejahatan keuangan, termasuk money laundering di dalamnya.
Gambar 1. Peran Financial Intellegence Unit. Sumber Gambar : FijiFIU 2012 Annual Report
Pada tahun 2012, FijiFIU mengiidentifikasi 246 kasus potensi pencucian uang, penggelapan pajak dan kejahatan keuangan yang terkait. Selain itu, FijiFIU juga memberikan bantuan investigasi atas 133 kasus ke lembaga penegak hukum yang relevan (FijiFIU, 2013). Sedangkan pada tahun 2013, FijiFIU menerima 522 laporan transaksi mencurigakan, 380.430 laporan transaksi tunai. Selama tahun itu pula, FijiFIU juga menerima 160 permintaan bantuan penyelidikan dari lembaga penegak hukum, serta 459 laporan mata uang perbatasan yang diajukan pada tahun 2013 (FijiFIU, 2014).
Mengatasi ancaman ini, pemerintah Fiji selain melalui FijiFIU juga menggunakan beberapa langkah lain. Fiji menerapkan langkah preventif melalui institusi finansial dan institusi non keuangan dan profesi, Melalui pengaturan organisasi, serta keikutsertaan dengan organisasi internasional. ketiga langkah ini diterapkan untuk mempertajam langkah Fiji dalam mengatasi ancaman Money Laundering.
Asia Pacific Group on Money Laundering Komplektisitas dari proses pencucian uang yang telah melampaui batas wilayah negara akan membuat proses penyelsaiannya pun menjadi rumit. Oleh karena itu penyelesaiannya pun dibutuhkan sebuah skema kerjasama antar negara yang erat, serta dengan melakuakan pertukaran informasi keuangan antar negara. Beberapa upaya yang dilakukan pemerintah Fiji dalam membumihanguskan praktek dan perilaku pencucian uang adalah dengan bergabung dengan kerjasama global. Selain mendaftarkan diri sebagai anggota dari FIUs, Fiji juga bergabung dengan Asia Pasific Group on Money Laundering (APG) yang juga menjadi bagian dari sebuah kerjsama global dari Financial Action Task Force (FATF) on Money Laundering. Asia/Pacific Group on Money Loundering merupakan sebuah bentuk kerjasama internasional yang berdiri pada 1997 di Bangkok, Thailand. Efektifitas yang dimilki oleh kerjasama APG terletak pada fungsinya yang selalu memastikan penerimaan dana, implementasi dana, serta yang paling mendasar adalah penegakkan standarisasi Anti Money Loundering and Counter Terrorist Financing (AML-CTF). Hingga saat ini, APG telah beranggotakan 25 negera dari berbagai kawasan regional yakni: Asia Tenggara, Asia Timur dan Pasifik Selatan. Negaranegara yang bergabung adalah: Afghanistan, Australia, Bangladesh, Kingdom of Bhutan, Brunei Darussalam, Cambodia, Canada, People's Republic of China, Cook Islands, Fiji, Hong Kong (China), India, Indonesia, Japan, Korea, Republic of Korea, Lao PDR, Macau (China), Malaysia, Maldives, Marshall Islands, Mongolia, Myanmar, Nauru, Nepal, New Zealand, Niue, Pakistan, Palau, Papua New Guinea, Philippines, Samoa, Singapore, Solomon Islands, Sri Lanka, Chinese Taipei, Thailand, Timor-Leste, Tonga, United States of America, Vanuatu, Vietnam. Selain negara yang resmi menjadi member, APG juga beranggotakan negara observers serta organisasi internaional-regional (www.apgml.org).
Upaya-upaya APG dalam memberantas praktek money laundering semakin nyata dan dibuktikan dengan adanya bantuan kepada negara negara di kawasan Asia Pasifik dalam membuat beberapa regulasi mengenai kejahatan finansial, membantu dalam membuat laporan tahunan maupun laporan laporan lainnya terkait hasil investigasi dari beberapa transaksi yang mencurigakan. Sebagai contoh adalah peraturan dalam besarnya transaksi yang diperbolehkan dalam hitungan sekali transaksi tunai. Tiap individu hanya boleh melakukan transaksi sebanyak $30,000 dan sebebsar $150,000 untuk sebuah perusahaan.Apabila sebuah bank menemukan transaksi yang mencurigakan, maka bank tersebut akan mengirimkan laporan berupa jumlah transaksi mencurigakan yang sedang berjalan. Pada tahun 2012, Pemerintah Fiji mendapatkan sebanyak 48% laporan terkait transaksi mencurigakan, grafik berikut akan menjelaskan perbanadingan jumlah presentasi dari STRs; (FijiFIU, 2012).
Gambar 2. Suspicious Transactions Reported Sumber; Fiji FIU Annual Report, 2012
Pembentukan APG merupakan cerminan dari kegiatan FATF dipermulaan 1990-an yang merupakan bagian dari strategi untuk menganjurkan agar money laundering cuonter-measure diterima diseluruh dunia. Untuk mempermudah akses dan mewujudkan hasil dari kegiatan APG yang lebih nyata, yaitu memperoleh komitmen regional dan mendirikan suatu badan regional serupa FATF, Australia setuju untuk mendirikan sekretariat APG di negara tersebut. Dengan berdirinya sekertariat APG dibawah kendali Polisi Federal Australia (AFP) di Sidney,
diharapkan akan lebih mempermudah langkah-langkah APG dalam mencapai misinya. Poin utama yang menjadi kewajiban Sekertariat APG tersebut diantaranya adalah; (www.apgml.org) ....Providing expertise and research on money laundering, terrorist financing and proliferation financing in relation to weapons of mass destruction as well as other emerging issues to members and interested persons and organisations; Dari poin tersebut, APG kemudian memfokuskan kinerja oganisasi anti-money laundering (AML) tersebut dengan merumuskan sebuah skema fungsi organisasi yakni: 1) Mutual evaluation; 2) Technical assistance and training; 3) Typologies Research; 4) Global policy development; 5) Private sector engagement. Fungsi mutual evaluation bertujuan untuk memantau dan mengontrol aktifitas kejahatan transanional yang ada dalam negara anggota APG, serta terus berupaya untuk berbagi informasi sesama anggota APG terkait aliran dana yang mencurigakan dan teridentifikasi sebagai tindak pencucian uang. Kemudian Technical Assistance and Training dibentuk sebagai badan yang mengatur bantuan-bantuan serta mengkoordinir pelatihan yang digelar dengan tujuan untuk bisa menyamakan persepsi sesama anggota APG dalam upaya pemberantasan dan pencegahan kejahatan money laundering. Sebagai Negara anggota APG, Fiji menunjuk Badan khusus pemberantasan kasus pencucian uang, 3 divisi tersebut adalah: Director of Public Prosecutions (DPP), Fiji Police Force (FPF), dan Fiji Island Revenue and Custom Authority (FIRCA). Ketiga badan khusus tersebut diberikan legitimasi dan kekuatan penuh untuk bisa mengenali aliran dana yang mencurigakan serta menginvestigasi pihak yang terlibat dalam aliran dana tersebut. Setiap agen yang tergabung diberikan pelatihan skill, pelatihan teknis, pelatihan materi yang tentu semuanya bertujuan agar setiap agen memiliki kompetensi tersendiri untuk bisa mendeteksi gerak-gerik pencucian uang.
Gambar 3. Peta Fiji Sumber; http://www.state.gov/p/eap/ci/fj/ APG yang merupakan salah satu dari program khusus FATF memiliki prosedur tersendiri dalam menangani kasus pencucian uang. Semua prosedur tersebut dirangkum dalam sebuah kesepakatan yang dikenal sebagai 40 Recommendations of the FATF, dan kesepakatan tersebut telah dijadikan standar internasional (internationally standards) bagi semua Negara Anggota APG.Selain 40 Rekomendasi tersebut, ada pula 9 Special Recommendations Combating the Financing of Terrorism. Dari 40+9 rekomendasi tersebut adalah bukti bahwa Negara-negara yang tergabung dalam APG dan FATF memiliki tekad yang kuat dalam menyiapkan sebuah regulasi yang diharapkan bisa memudahkan Fiji menuntaskan kasus pencucian uang yang semakin menjamur dan mencegah berbagai bentuk aksi kriminal yang bisa mengundang tindak pencucian uang. Dari rekomendasi itu pula diharapkan bisa membantu meiningkatkan kekuatan hukum, membuat regulasi yang lebih signifikan serta berupaya mengimplementasikan undangundang kejahatan transnasional dalam kebijakan nasional.(Fiji Report On Observance, 2006) Sesuai dengan 40+9 Recommendations, upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang haruslah mengawasi beberapa sektor serta menginvestigasinya, sektor tersebut adalah: (Fiji Report on Observance, 2006) a. Institusi Keuangan;
Sebuah institusi keuangan merupakan sektor terpenting dalam mengenali laju berjalannya transaksi, terutama transaksi yang mencurigakan. Selain Bank Negara dan Bank Swasta yang menjadi pokok perhatian institusi lainnya seperti: Institusi Pemberi Pinjaman, Asuransi kehidupan, Asuransi umum, Jasa Penyimpanan Uang (securities brokers), securities dealers, investment advisors, unit investment trusts, foreign exchange dealers, fund transfer dealers, credit unions, cooperatives, money lenders merupakan sektor yang perlu diinvestigasi lebih dalam terkait perputaran uang di dalamnya dan yang memiliki legitimasi sebagai investigator adalah FIU. (Fiji Report on Observance) Untuk bisa mempermudah pengawasan perputaran uang di Negara Fiji, maka pemerintah melarang berdirinya sebuah tempat perjudian (Casino), Fiji juga memiliki peraturan ketat terkait jasa Notaris, dan untuk menjadi seorang Notaris haruslah dari seorang Hakim atau Akuntant yang telah memiliki surat ijin khusus dari Kementrian Keadilan Fiji (Ministry of Justice).
b. Non-Financial Businesses and Professions Sektor ini lebih banyak dipegang oleh perusahaan swasta seperti Dealer Mobil dan Jasa Travel adalah sektor yang masuk di dalamnya. Tidak semua sektor yang masuk dalam kategori ini bisa diinvestigasi, karena sektor tersebut memiliki regulasi tersendiri dan memiliki standar operasional keuangan yang berbadan hukum. Oleh karena itu, untuk dapat menginvestigasi sektor ini, dibutuhkan regulasi khusus yang disebut sebagai Ministerial Regulations. Saat ini, Pemerintah Fiji memberikan wewenang penuh kepada FIU sebagai Badan yang bisa mendapatkan ijin untuk menginvestigasi atau disebut sebagai Financial Transactions Reporting Act. Tabel berikut merupakan hasil dari rangkuman 40+9 Recommendations dan akan lebih mempermudah dalam menjelaskan rekomendasi serta tindakan yang harus dilakukan Fiji sebagai anggota FAFT dan APG untuk mencegah atau mengatasi masalah terkait tindak pidana pencucian uang. Tabel 1. 40+9 Recommendation Preventive Measures - Financial Institutions
Customer due diligence, including enhanced or reduced measures (R.5– 8)
• Conduct a full vulnerability assessment and consider excluding less vulnerable sectors from the scope of AML/CFT measures. • Ensure non-bank foreign exchange and fund transfer service providers adequately implement their AML/CFT obligations under the Act. • Clarify the requirements to identify the “beneficial owner.”
No Recommendations Third parties and introduced business (R.9) Financial institution secrecy or No Recommendations. confidentiality (R.4) Record keeping and wire • Determine that financial institutions, which do not pose ML/TF risk are transfer rules (R.10 & SR.VII) exempted or subjected to simplified requirements. . • Ensure implementation through guidance and supervision. Monitoring of transactions and relationships (R.11 & 21)
Suspicious transaction reports and other reporting (R.13, 14, 19, 25 & SR.IV)
Internal controls, compliance, audit and foreign branches (R.15 & 22)
• Take measures to exempt sectors that do not pose ML/TF risk from the obligations to conduct enhanced due diligence under or simplifying their obligations. • Revise the mandatory requirement to examine all transactions with persons in countries which do not or insufficiently apply the FATF recommendations to restrict it to situations where such transactions have no apparent economic or lawful purpose. • Put measures in place to advise financial institutions of countries that have weak AML/CFT measures in place. • Revise the requirement in Section 14(1)(b) to report information that does not arise from a suspicious transaction involving the reporting institution. • Provide financial institutions with guidelines to assist in the implementation of their obligations. • Provide guidance to financial institutions on developing internal procedures, policies and controls relating to AML/CFT compliance. • Assess the capacity and nature of business of the newly covered non-bank financial institutions with a view to tailoring the guidelines to their specific business operations. • Ensure non-bank financial institutions, especially foreign exchange dealers, credit institutions, securities and insurance companies are adequately implementing internal AML/CFT policies and procedures.
Preventive Measures – NonFinancial Businesses and Professions Customer due diligence and record-keeping (R.12)
• Where applicable, conduct a detailed risk assessment of the relevant activity to enable an appropriate threshold to be set. • Tailor the regulations that detail the obligations of DNFBPs to the nature and size of their operations.
Suspicious transaction reporting (R.16)
• Prescribe the threshold for the obligations to enter into force in a sequential manner and subject to adequate and realistic risk assessment. • Raise awareness of the obligations under the Act.
Regulation, supervision, monitoring, and sanctions (R.17, 24 & 25)
Other designated non-financial businesses and professions (R.20)
• Adopt a risk-based approach to determine the method and degree of monitoring to apply to each of the covered sectors of DNFBPs.
• Conduct careful risk and resource assessment to determine the appropriate timeframe for introducing a threshold that will bring the obligations of these additional sectors into effect.
Sumber: Report Detailed Assessment Report For AML-CFT on Fiji, The World Bank. 2006. Kesimpulan Secara geografis, Republic of Fiji terletak di antara dua Negara besar di kawasan Millanesians Group (MSG)telah menjadikannya Negara tujuan bagi para pelaku kriminal lintas negara untuk melancarkan aksi sepertipendanaan aksi terorisme, pencucian uang, peredaran obatobat terlarang, perdagangan orang, serta beberapa kasus kejahatan internasional di Asia. Meskipun Fiji bukan termasuk dalam pusat perdagangan di kawasan Pasifik, namun letaknya yang strategis, serta banyaknya sumber daya alam yang dimiliki Fiji, menjadikannya sebagai “Negara penyambung” bagi Negara-negara di kepulauan Pasifik.Dengan populasi sekitar 874.700 jiwa, Fijimampu mencapai angka GDP sebesar 3.9juta US Dolar. GDP tersebut adalah hasil dari upaya pemerintah yang terus mengundang para investor untuk terus bisa mendanai pembangunan ekonomi Fiji. Upaya pemerintah dalam mendatangkan investor untuk menyumbangkan uangnya menjadi bumerang bagi Fiji, karena seiring dengan masuknya investor maka para pelaku money laundering memulai untuk melancarkan aksinya, baik dalam bentuk pembelian rumah mewah, real estate, mobil mewah, serta tindakan lainnya. Padahal, tindakan money laundering menjadi ancaman bagi keamanan nasional dalam beberapa aspek seperti ekonomi, hukum, politik, hingga keamanan manusia.
Dalam menanggulangi kerentanan tindak money laundering di Fiji, pemerintah melakukan dua upaya besar, yakni pertama berupa upaya pemberantasan dari dalam negeri, dan kedua melalui upaya kerjasama internasional. Upaya dari dalam negeri, pemerintah Fiji membentuk sebuah badan bernama The Financial Intelligence Unit (FIU), atau yang biasa disebut FijiFIU, yakni sebuah badan khusus yang dibuat untuk mengumpulkan, menganalisis dan mengungkapkan informasi keuangan dan intelijen. Kemudian, upaya kerjasama internasional yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi money laundering yakni dengan masuknya Fiji ke beberapa organisasi internasional seperti APG on money laundering. Sebagai tindak lanjut atas kerjasama ini, pemerintah Fiji membentuk beberapa regulasi khusus terkait money laundering, serta mengimpelentasikan hasil kesepakatan APG ke dalam undang-undang nasional. Asia Pasific Group on Money Laundering (APG) yang merupakan salah satu dari program khusus Financial Action Task Force (FATF) on Money Laundering memiliki prosedur tersendiri dalam menangani kasus pencucian uang. Melalui skema keterlibatan dalam APG yang menghasilkan bernagai rekomendasi, diharapkan dapat membantu Fiji menuntaskan kasus pencucian uang yang semakin menjamur dan mencegah berbagai bentuk aksi kriminal yang bisa mengundang tindak pencucian uang.
Referensi : Commonwealth Secretariat. 2006. Combating Money Laundering and Terrorist Financing. London : Commonwealth Secretariat. Scholte, Jan Aart .2001. The Globalization of World Politics. Oxford: Oxford University Press. Kiely, Ray. 2005. The Clash of Globalizations. Leiden : Koninklijke Brill NV. Romm, Joseph J. 2003. Defining National Security. New York : The Council on Foreign Relation Jurnal; Edi Nasution, Memahami Praktik Pencucian Uang Hasil Dari Kejahatan, Jakarta; jurnal pendidikan. 2011. Rijanto Sastraadmodjo, Sumber Keuangan Rahasia dan Seluk Beluknya, (Jakarta: tanpa penerbit, 2004) Yunus Husein, Arti Penting Pelaksanaan Undang-undang Anti Money Laundering dan prinsip mengenai Nasabah Bagi Bank dan Nasabah. Makalah ynag disampaikan pada SESPIBI. 2004 di Bank Indonesia. Herman, Anselm. 1999. Money Laundering & the Law in the Republics of Fiji and Vanuatu : a Critical Analisys. http://www.usp.ac.fj/index.php?id=13151 Fiji Financial Intelligence Unit. 2013. Money Laundering. http://www.fijifiu.gov.fj/getattachment/a1619bf7-ec58-4580-b6b5-c2a99b54049f/FIAJournal,-October-2013l-Money-Laundering.aspx Fiji Financial Intelligence Unit. 2013. Press Release Financial Intellegence Unit Annual Report 2012. http://www.fijifiu.gov.fj/getattachment/aa277446-72c3-4fe9-995d906c2c186a54/Press-Release-15-2013-Financial-Intelligence-Unit.aspx Fiji Financial Intelligence Unit. 2014. Press Release Financial Intellegence Unit Annual Report 2013. http://www.fijifiu.gov.fj/getattachment/3fffb4ec-ad0e-46ae-90a585799288dd9f/Press-Release-18-2014-Financial-Intelligence-Unit.aspx http://www.interpol.go.id/id/kejahatan-transnasional/pencucian-uang/97-kerugian-negara-akibatpencucian-uang