Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
TRANSFER INOVASI TEKNOLOGI PENCEGAHAN PENYAKIT SKABIES DAN CACING PADA PETERNAKAN KAMBING DI LAHAN MARJINAL, LOMBOK TIMUR (A Technology Transfer for the Prevention of Parasitic Diseases in Goat in the Marginal Arid Land of East Lombok District, West Nusa Tenggara) MURTIYENI1, E. JUARINI1 dan J. MANURUNG2 1
2
Balai Penelitian Ternak; PO Box 221, Bogor 16002 Balai Besar Penelitian Veteriner, Jl. R.E. Martadinata No. 30, Bogor 16114
ABSRACT A study of technology tranfer was conducted to prevent parasitic diseases in goats in east Lombok District, West Nusa Tenggara. A group of 20 farmers was involved in this study. Innovations introduced were including skill in providing simple medicines for preventing worms and scabies infection. The results showed that only 10% of 20 farmers have fairly good education with an average income at Rp. 4,5 million/year owning 8,2 goats per family. Farmers reported that 69,39% goats were infected by scabies during dry seasons and 6,12% showing diarrhea. During wet seasons, more goats were suffering parasitic diarrhea (47,9%) and only 26,0% goats were infected by scabies. Most farmers (56%) were still depended on animal health officers provided by the government to treat their animals against scabies and worms infections. Laboratory results showed that 36,7% goats were infected by scabies indicated by 90 eggs/g in adult goats and 70 eggs/g in young goats. Key Words: Scabies, Worm, Goats Farming in the Marginal Land, Transfer ABSTRAK Kegiatan transfer inovasi teknologi pencegahan penyakit skabies dan cacing telah dilakukan terhadap kelompok peternak yang meliputi 20 orang peternak kambing di daerah Marjinal di Lombok Timur. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan cara pengobatan dan pencegahan terhadap penyakit skabies dan cacing pada kambing. Dari hasil kegiatan menunjukkan bahwa sebagian peternak kambing berpendidikan SD bahkan tidak bersekolah, hanya 10% berpendidikan SLTP/SLTA. Meskipun demikian mereka mempunyai pengalaman beternak kambing rata-rata lebih dari 16 tahun. Pekerjaan utama bertani pada lahan kering dengan tanaman utama padi tadah hujan, jagung dan tembakau dengan tingkat pendapatan relatif rendah (Rp. 4.510.000/tahun/keluarga). Pekerjaan sampingan adalah beternak kambing dengan rata-rata pemilikan 8,2 ekor. Kondisi rumah sebagian besar masih semi permanen dan hanya 15% responden yang memiliki rumah permanen. Menurut peternak pada musim kemarau sebanyak 69.39% ternak kena skabies dan 6.12% kena mencret dari 49 ekor ternak yang sakit, tetapi sebaliknya pada musim hujan 47.95% ternak mencret dan 26.03% terkena skabies dari 73 ekor ternak yang sakit. Pada umumnya peternak mengetahui tanda-tanda skabies meskipun hanya sebagian, tetapi cara mengatasi penyakit tersebut sebagian besar (55.56%) peternak masih tergantung pada petugas. Dari hasil analisa sampel terdapat 36.7% yang terserang kudis dari 21 ekor ternak sampel yang berasal dari 5 peternak (27.77%) dari 18 peternak yang diambil sampelnya. Sedangkan untuk penyakit cacing hanya ditemukan sedikit telur cacing dari sampel feces yang sama (90 telur/g Haemonchus pada ternak dewasa dan 70 telur/g pada ternak muda). Kata Kunci: Skabies, Cacing, Peternak Kambing di Lahan Marjinal, Transfer
515
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
PENDAHULUAN Penyakit kudis/skabies adalah penyakit kulit menular pada hewan yang disebabkan oleh tungau, dan dapat mengakibatkan angka kematian mencapai 50 – 100% (WARDHANA et al., 2005). Tungau menyerang hewan dengan cara menginfestasi kulit dan bergerak membuat terowongan di bawah lapisan kulit sehingga menyebabkan gatal dan rontok bulu. Disamping kematian, kerugian yang ditimbulkan oleh penyakit tersebut berupa penurunan bobot badan dan kerusakan kulit sehingga nilai jual menjadi rendah, oleh karenanya penyakit tersebut secara ekonomis dapat menimbulkan kerugian. Selain itu dilaporkan bahwa skabies merupakan penyakit zoonosis yang dengan mudah dapat meyerang manusia terutama pada lingkungan yang sanitasinya buruk. Pada ternak domba dengan pemeliharaan secara ekstensif penyakit infeksi cacing nematoda saluran pencernaan yang ditandai dengan mencret merupakan penyakit parasit yang paling umum dan menyerang hampir 100% populasi (SUHARDONO et al., 2002). Penurunan bobot badan ternak akibat infeksi nematodiasis sekitar 38% dengan tingkat kematian mencapai 17 sampai 28% (BERIAJAYA dan STEVENSON, 1986, HANDAYANI dan GATENBY. 1988). Pengobatan cacing menurut BERIAJAYA dan HUSEIN (2003) lebih efektif dengan menggunakan levamisole satu kali dengan dosis 50 mg/kg secara oral. Penggunaan obat cacing pada ternak ruminansia kecil di Majalengka dan Purwakarta dapat meningkatkan pendapatan peternak lebih dari 100% (PRIYANTO dan YULISTIANI, 2005). (unpublished) Menurut RIVAI et al. (2005) (unpublished), Lombok Timur termasuk dalam kategori lahan marjinal dimana persentase petani miskin dibawah garis kemiskinan rata-rata 50,88% dan mata pencaharian utama bekerja pada sektor pertanian 93,90% pada lahan kering yang dapat dilakukan dalam waktu sangat terbatas (4 – 6 bulan) dengan komoditas padi tadah hujan, jagung dan tembakau dengan tingkat pendapatan rata-rata Rp. 838.875/kapita/tahun (KUSNADI et al., 2005). Pemilikan ternak kambing/domba sebesar 27,8% dengan skala pemilikan rata-rata 2 – 5 ekor menempati urutan ke-3 tertinggi setelah ayam (40,08%) dan sapi (30,82%). Sumber daya manusia
516
(SDM), kelompok petani miskin di Lombok Timur pada umumnya berpendidikan rendah dan selalu diidentifikasi sebagai kelompok yang enggan berubah. Untuk mendapatkan informasi teknologi pertanian termasuk penanggulangan penyakit cacing pada kambing sebagian besar petani masih menggunakan media interpersonal yang bersumber dari sesama petani dan Penyuluh Pertanian Lapang (PPL). Karena itu tranfer teknologi pencegahan dan pengobatan penyakit skabies/kudis dan cacing penting dilakukan dalam upaya meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan untuk pengembangan on farm agribisnis dan pertumbuhan ekonomi masyarakat. MATERI DAN METODE Kegiatan penelitian dilakukan di Kecamatan Pejaik Kabupaten Lombok Timur. Di lokasi kegiatan dipilih 20 orang peternak responden yang memiliki jumlah kambing minimal 2 ekor dewasa dan merupakan petani yang mendapatkan bantuan ternak kambing pada kegiatan penelitian P4MI tahun 2000. Sebelum dilakukan transfer inovasi cara pencegahan dan pengobatan penyakit skabies dan cacing dilakukan wawancara terhadap masing-masing anggota kelompok meliputi: data demografi peternak, pendapatan dari hasil pertanian selama setahun terakhir, informasi penyakit yang sering terjadi pada ternak kambing dan menggali pengetahuan peternak terhadap penyakit skabies dan cacing pada kambing. Hal tersebut perlu diketahui untuk melihat keberhasilan transfer teknologi yang disampaikan kepada responden. Pengambilan sampel skabies dengan cara mengerok bagian kulit kambing yang diduga terkena skabies. Pengambilan sampel cacing dilakukan secara acak pada setiap peternak dari ternak dewasa dan anak baik jantan maupun betina. Sampel feses diambil dengan cara memasukkan jari ke dalam anus, kemudian feses yang didapat dimasukkan kedalam kantong plastik kecil lalu disimpan dalam termos dan diberi es batu agar sampel tidak rusak. Sampel diperiksa dilaboratorium guna memperoleh data riil untuk meyakinkan peternak. Berdasarkan data tersebut maka peningkatan pengetahuan dan ketrampilan dilakukan dengan memberikan media cetak (booklet), demonstrasi cara
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
meramu obat dan cara pengobatan terhadap kambing yang terjangkit cacing dan scabies yang kemudian setiap peternak mempraktekkan cara-cara tersebut. Pertemuaan kelompok secara berkala untuk melakukan pembinaan guna memecahkan masalah yang dihadapi dalam pencegahan dan pengobatan terhadap kambing yang terserang penyakit scabies dan cacing. Monitoring dilakukan oleh petugas yang ditunjuk untuk memonitor keadaan ternak, yaitu: kelahiran, kematian, dan pengobatan. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terlebih dahulu ditabulasi kemudian dianalisis secara deskriptif terhadap data hasil interview dan hasil pengamatan serta hasil monitoring.
masing-masing terdistribusi rata yaitu sebesar 15%. Meskipun demikian ada 20% yang menyatakan tidak memiliki usaha sampingan. Tabel 1. Profil peternak responden N
Distribusi (%)
Tidak pernah sekolah
6
30,00
Tidak tamat SD
7
35,00
Tamat SD
5
25,00
SMP/SMA
2
10,00
-
-
Pendidikan
Pengalaman Beternak (tahun) Terendah (tahun) Tertinggi (tahun)
HASIL DAN PEMBAHASAN Profil peternak responden Data survey menunjukkan bahwa mayoritas peternak responden berpendidikan rendah ≥ SD bahkan tidak pernah sekolah (30%) dan hanya 10% responden berpendidikan tingkat lajutan (Tabel 1). Gambaran ini menunjukkan bahwa betapa sulitnya melakukan transfer teknologi kepada peternak tanpa ada pembinaan yang intensif melalui media yang mudah dimengerti oleh mereka. Pengalaman betemak yang rata-rata sudah mencapai 16 tahun tidak menjadi jaminan bahwa peternak selalu mengikuti dinamika informasi teknologi yang terus berkembang. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya akses untuk mendapatkan informasi akibat minimnya tingkat pendidikan yang disandangnya. Disamping itu juga fungsi temak sebagai barang tabungan menjadikan posisinya sulit berkembang karena tidak dikelola secara agribisnis. Akibatnya terjadinya wabah suatu penyakit menjadi hal yang wajar tanpa ada penanganan secara khusus dan bersifat masal. Jika dilihat dari mata pencaharian menunjukkan bahwa responden adalah petani murni (95%) baik sebagai pemilik sekaligus penggarap tanah maupun hanya sebagai penggarap. Untuk menambah pendapatan dilakukan usaha sampingan berupa pemeliharaan temak yang merupakan pilihan mayoritas (35%), sedangkan usaha seperti buruh, dagang dan kusir saldo (delman)
Rata-rata (tahun)
16,03
Pekerjaan Utama Tani
19
95,00
Tukang/buruh
1
5,00
Buruh
3
15,00
Beternak
7
35,00
Dagang
3
15,00
Sampingan
Kusir sado
3
15,00
Tidak ada
4
20,00
Aset peternak responden Dari hasil survei, diketahui bahwa penguasaan lahan sawah masih menunjukkan luasan yang lebih besar dibanding dengan lahan lainnya. Rataan penguasaan sawah sebesar 1.759 m2 sedangkan untuk tegalan sebesar 383 m2 dan pekarangan sebesar 302 m2. Dari luas lahan tersebut dapat memberikan hasil sebesar Rp. 4.510.000/tahun/satuan keluarga dengan rincian hasil panen padi memiliki nilai jual sebesar Rp. 1.460.000, ditambah daun tembakau sebesar Rp. 2.850.000 dan tanaman palawija/hortikultura sebesar Rp 200.000. Nilai tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian KUSNADI et al. (2005) sebesar Rp. 3.355.500. Peningkatan tersebut kemungkinan harga produk pertanian lebih tinggi dibandingkan tahun 2005. Karena minimnya penghasilan,
517
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
maka petani tersebut masuk dalam katagori petani miskin. Keadaan ini juga tercermin dari kondisi rumah yang sebagian besar rumah semi permanen (60%) kemudian disusul dengan rumah sederhana (25%) dan permanen (15%). Dari hasil survei diduga bahwa usaha sampingan yang didapat secara harian atau mingguan cenderung digunakan untuk mencukupi kebutuhan harian. Sedangkan hasil dari pertanian ada upaya peternak responden untuk menyimpan dalam bentuk tunai guna keperluan yang bersifat lebih besar seperti memperbaiki rumah. Selain aset tak bergerak, peternak responden masih memiliki aset bergerak sebagai sarana menunjang usaha sampingan yaitu penguasaan ternak. Dari hasil wawancara menunjukkan bahwa peternak responden menguasai kambing dengan rataan sebanyak 8,2 ekor dengan taksiran nilai sebesar Rp. 1.340.250 disertai pemilikan ternak ayam kampung rata-rata sebanyak 8,5 ekor dan itik/entok sebanyak 0,25 ekor yang semuanya (ayam dan entok) bernilai Rp. 49.350. Ternak ayam kampung dan itik/entok tersebut hanya diusahakan oleh 10% dari total responden. Sementara 60% hanya memelihara ayam kampung dan 30% tidak memelihara ayam maupun itik/entok. Penyakit pada kambing Apabila ingatan peternak dibawa satu tahun kebelakang (recall) maka beberapa informasi penyakit yang terjadi pada ternak kambing dituangkan pada Tabel 2. Menurut peternak bahwa pada musim kemarau penyakit ternak yang dominan adalah kudis, sedangkan untuk penyakit lainnya seperti cacingan, mencret, kembung, Orf dan lain-lainya persentasi kejadiannya relatif rendah. Tingginya ternak yang terkena kudis pada musim kemarau kemungkinan adanya hubungan dengan cara pemenuhan kebutuhan pakan pada musim tersebut. Sumber pakan pada saat musim hujan 76,19% responden melakukan dengan cara menyabit rumput dan dibawa ke kandang (cut and carry), 19,05% ternaknya diangon dan 4,76% dengan cara kombinasi. Sedangkan, untuk musim kemarau terjadi sebaliknya yakni peternak lebih suka dengan cara mengangon
518
kambingnya (76,19%) karena dinilai lebih praktis dan efisien dalam penggunaan tenaga kerja. Pengambilan rumput pada musim kemarau dengan mengarit hanya dilakukan oleh 19,05% responden dan 4,76% dengan caralainnya. Pemeliharaan dengan cara diangon pada musim kemarau tersebut memungkinkan terjadinya penularan dimana kontak antar ternak baik secara langsung maupun tidak langsung bisa terjadi. Tabel 2. Beberapa pemunculan penyakit dalam satu tahun terakhir Jenis penyakit
Musim kemarau Ekor
Musim hujan
%
Ekor 19
% 26,03
Skabies
34
69,39
Cacing
5
10,20
4
5,48
Mencret
3
6,12
35
47,95
Kembung
3
6,12
1
1,37
Orf (cacar mulut)
-
-
14
19,18
Lain-lain
-
8,16
-
-
Total
49
73
Lain-lain diantaranya adalah penyakit mata, lemas, berkutu dan koreng
Mencret merupakan kejadian yang banyak dialami oleh kambing peternak dengan persentase jawaban 47,95% untuk kondisi musim hujan dan musim kemarau hanya 6,12%. Tingkat pengetahuan peternak dan cara mengatasi penyakit kudis Mayoritas peternak mengetahui tanda-tanda penyakit kudis, dari 20 responden sebanyak 18,52% peternak melihat gejalanya yaitu gatalgatal yang terus menerus, sebanyak 74,07% melaporkan adanya keropeng atau luka pada tubuh kambingnya dan 7,41% melaporkan adanya rontok bulu. Tentang penyebab penyakit kudis maka 39,13% peternak mengaku akibat kontak dengan hewan yang sakit dan 39,13% lagi akibat kandang yang kurang bersih dan sisanya 21,74% tidak mengetahui penyebabnya. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun mereka telah cukup lama memelihara kambing tetapi masih ada peternak yang tidak mengetahui penyebabnya. Kondisi ini perlu mendapat
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
perhatian berupa penyuluhan yang intensif dengan menunjukkan fakta di lapangan. Cara peternak mengatasi penyakit kudis, sebanyak 55,56% dari total responden telah minta bantuan petugas setempat untuk pengobatan kudis yang menyerang kambingnya dan sebanyak 18,52% melakukan pengobatan dengan cara memandikan ternak, 11,11% peternak menjual dalam keadaan sakit dan 14,81% peternak melakukan pengobatan terlebih dahulu baru kemudian ternak dijual. Pengobatan yang dilakukan petugas setempat bahwa sebanyak 88,24% responden mengakui hasil pengobatannya bagus, sedangkan yang kurang baik hanya 11,76%. Setelah ternak dilakukan pengobatan, peternak umumnya 90% langsung mengandangkan ternaknya ke dalam kandang semula tanpa perlakuan khusus terhadap lingkungan kandang. Hasil pemeriksaan sampel kudis Disela-sela wawancara dilakukan pengambilan sampel secara acak terhadap kambing yang diduga terkena kudis. Kulit kambing yang diduga terjangkit kudis dikerok kemudian kerokan dimasukkan kedalam plastik kecil lalu disimpan ke dalam termos es untuk di periksa dilaboratorium. Dari hasil pemeriksaan sampel di tiga dukuh yaitu Pejaik, Wakan dan Embung Dalam, Desa Sukaraja terdapat 8 (38,09%) kambing yang terserang kudis jenis Sarcoptes scabiei dari 21 ekor ternak yang berasal dari 18 peternak responden. Sedangkan 2 peternak responden lainnya tidak terambil karena ternak sedang digembalakan di luar desa. (Tabel 3).
Kambing di dukuh Pejaik dan Wakan tiap hari digembalakan sehingga bila ada yang terserang kudis akan cepat menular ke kambing lain di padang penggembalaan atau di dalam kandang. Kandang pada umumnya tidak bersekat. Kandang juga kurang memenuhi standar kandang sehat, seperti kandang bagian dalam kurang mendapatkan sinar matahari karena rendahnya atap kandang. Selain itu kandang tidak berpintu sehingga orang sulit masuk kedalamnya dan menyebabkan rendahnya frekuensi pembersihan kandang. Di Dukuh Embung Dalam temyata tidak terjadi serangan kudis, karena temak kambingnya selalu dikandangkan sepanjang hari, dan hanya pada kondisi tertentu saja temaknya digembalakan. Tingkat pengetahuan dan cara mengatasi penyakit cacing Sebagian besar peternak mengetahui tanda-tanda ternak cacingan (55%) dan 45% tidak mengetahui. Pengetahuan tentang gejala klinis cacingan, peternak mengatakan ternak kambing jadi kurus (50%), sedangkan 25% menyatakan kambingnya mencret akibat penyakit cacing ini dan selebihnya menyatakan bulu kusam. Sebagian peternak telah menyadari besarnya kerugian akibat penyakit cacing sehingga ternak yang sakit diobati. Meskipun sebagian peternak menyatakan telah mengetahui gejala ternak yang terkena cacing namun kemungkinan dugaan peternak tersebut belum tentu benar. Untuk itu masih perlu informasi yang lebih lengkap tentang tandatanda klinis kambing yang terkena cacing.
Tabel 3. Kambing yang terserang penyakit kudis pada ternak responden Dukuh
Jumlah sampel (ekor)
Pejaik
11
Wakan
7
Rusni Sandi
Embung Dalam
3
Zaenal -
Nama responden Seruni Mahamin
Kambing terserang kudis Jenis kelamin
Umur (bulan)
Jantan Jantan Betina Jantan Betina Betina Jantan Betina -
4 4 30 4 4 2 4 24 -
519
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
Hasil pemeriksaan sampel feses Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan bahwa rata-rata setiap sampel feses mengandung cacing Haemonchus sp. sebanyak 90 cacing per 1 g feses temak kambing dewasa (umur > 12 bulan) dan 70 cacing per 1 g feses pada kambing muda (umur 5 – 12 bulan). Untuk ternak di bawah 5 bulan tidak diambil sampel karena pada musim kemarau ternak tersebut kurus dan anus sangat kecil, jika dipaksakan bisa terjadi pendarahan di bagian anus. Jenis cacing lainnya yang banyak menyerang kambing diantaranya adalah Oesophagustomum yang cenderung lebih peka terhadap kambing muda dibandingkan dengan kambing yang dewasa (tua). Demikian juga cacing jenis Strongyloides yang lebih banyak menyerang kambing muda. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kambing muda memiliki resiko intensitas yang lebih tinggi untuk terinfeksi larva cacing dibanding dengan kambing dewasa. Hasil identifikasi larva cacing yang menginfeksi kambing di Lombok Timur disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Jumlah telur cacing/g dalam samples feses pada kambing di lokasi kegiatan Umur kambing (bulan) > 12
5 – 12
Haemonchus
90
70
Cooperia
0
3
Oesopagusthomum
1
10
Oesopagusthomum
3
17
Bunostomum
0
9
Strongyloides
4
9
<5
-
Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa jumlah telur cacing pada semua tingkat umur berkisar antara 0 sampai 90 telur per gram feses. Berdasarkan penggolongan yang dilakukan BERIAJAYA dan STEVENSON (1986) dan MC KENNA (1987) maka jumlah telur tersebut tergolong rendah. Dari hasil tersebut juga terlihat bahwa pada anak kambing dibawah umur 5 bulan tidak ditemukan telur cacing, hal ini mungkin disebabkan karena terlalu sedikitnya sample yang dapat diambil karena ternak kurus. Rendahnya tingkat infeksi cacing pada kambing di lokasi kegiatan, mungkin
520
disebabkan karena pengaruh waktu pengambilan yang kurang sesuai dengan siklus hidup cacing yaitu pada musim kemarau. Kemungkinan lain karena memang intensitas dan jumlah cacing yang menginfeksi kambing relatif rendah, sehingga tidak mengganggu produktivitas dan pertumbuhan kambing. Inovasi teknologi dan pembinaan kelompok Peternak kambing dilokasi kegiatan merupakan peternak yang mendapatkan bantuan bibit kambing kegiatan penelitian tahun 2004 dengan sistem maparo terhadap keturunannya dan hasil maparo yang dikembalikan digulirkan kepeternak lain. Oleh karena itu, peternak tersebut telah terwadahi dalam kelompok, tetapi belum ada aktifitas yang dilakukan secara teratur setelah kegiatan penelitian tahun 2004 berakhir. Dalam pembinaan kelompok dilakukan transfer teknologi cara penanggulangan penyakit kudis dan cacing melalui media cetak (booklet) yang dibagikan pada peternak dan melakukan demonstrasi secara langsung cara meramu obat tradisional dan penggunaan obat paten diperagakan di depan para peternak yaitu: 1. Membuat obat kudis dari olie 50% 2. Salep belerang 50% 3. Air tembakau 10% 4. Vaselin tea tree oil 50% 5. Bernomec, suntikan di bawah kulit 6. Larutan asuntol 0,1% (1 g/hari) 7. Penggunaan valbazen Populasi ternak sebelum dan sesudah kegiatan Tabel 6 menunjukkan bahwa pada awal kegiatan tercatat pejantan, induk dan anak lahir hidup secara berturut-turut sebanyak 17 ekor, 60 ekor dan 86 ekor dan pada akhir kegiatan menjadi 16 ekor, 55 ekor dan 133 ekor. Dilihat dari catatan kematian yang terjadi 6 bulan sebelum kegiatan dilakukan dan 6 bulan selama kegiatan terlihat adanya penurun mortalitas yaitu dari jantan mati 3 ekor (15%) turun menjadi 1 ekor (6%), pada induk dari mati 9 ekor (13%) turun menjadi 5 ekor (8.3%), demikian pula pada anak dari 90 ekor
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
(51%) turun menjadi 21 ekor (14%). Menurunnya mortalitas yang cukup tinggi ini sesuai dengan hasil penelitian PRIYANTO dan YULISTIANI (2005) bahwa dengan kontrol yang ketat terhadap penyakit cacing melalui pengobatan secara rutin terlihat mampu menekan kematian ternak sebesar 35,48% di Purwakarta dan 64,88% di Majalengka. Demikian pula yang terjadi di Lombok Timur, kemungkinan turunnya mortalitas tersebut karena adanya pencegahan penyakit skabies dan cacing oleh peternak. Hal ini menunjukkan bahwa peternak sudah dapat mempraktekkan teknologi yang diterima untuk mencegah dan bahkan mengobati ternak kambing yang terserang penyakit terutama skabies dan cacing. Masih rendahnya anak lahir sampai akhir kegiatan karena sebagian besar induk masih dalam keadaan bunting. Tabel 6. Mutasi ternak responden pada awal dan akhir kegiatan Populasi awal*)
Uraian
N Pejantan
%
Populasi akhir**) N
%
17
23
Mati Hilang
3
13,04
-
-
Dijual
2
8,70
1
5,90
Digulirkan
1
4,34
-
-
-
-
-
-
60
Betina
70
Mati
9
12,86
5
8,53
Hilang
1
1,93
-
-
Dijual
-
-
-
-
Digulirkan
-
-
-
-
Anak lahir
208
Mati
90
11
15,94
-
-
1
20,20
32-
15,38
-
-
Hilang Digulirkan
69 43,26
*)
Akumulasi populasi dan mutasi ternak dari Januari –Juli 2006 **) Akumulasi populasi dan mutasin ternak berdasarkan monitoring
KESIMPULAN Dari hasil pembahasan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa transfer teknologi pencegahan dan pengobatan penyakit skabies dan cacing pada daerah miskin dan berpendidikan rendah dengan menggunakan media informasi booklet dan dikombinasikan demonstrasi cara meramu obat cacing dan obat scabies, cara pencegahan dan pengobatan dapat meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan peternak. Ternak yang digembalakan cenderung mudah terkena skabies dan cacing dari pada ternak yang dikandangkan. Tingkat mortalitas ternak sesudah adanya kegiatan pencegahan dan pengobatan penyakit kudis dan cacing cenderung lebih rendah dibandingkan dengan sebelum adanya kegiatan, karena peternak telah mampu melakukan pencegahan dan pengobatan mandiri kecuali dengan penyuntikan. DAFTAR PUSTAKA BERIAJAYA dan A. HUSEIN. 2003. Efitasi pemberian antelmintik golongan levamisole dan invermectin pada domba yang terinfeksi cacing yang resisten terhadap antelmentik golongan benzimidazole. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 29 – 30 September 2003. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 218 – 222. BERIANJAYA and P. STEVENSON. 1986. Reduced Productivity on small Ruminant in Indonesia as a Result of Gastrointestional Nematode Infections. Proc. 5th. Int. Conf. Lvstk. Dis. Trop. pp. 28 – 30. CHAMDI, A.N. 2003. Kajian profil sosial ekonomi usaha kambing di Kecamatan Kradenan Kabupaten Grobogan. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 29 – 30 September 2003. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 312 – 317. HANDAYANI, S.W. dan R.M. GATENBY. 1988. Effect of management System. Legume Feeding and anthelmintic Treatment on the Performance of Lambs in North Sumatera. Trop. Anim. Helth. Prod. 20: 122 – 128.
Sumber: BPTP NTB
521
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
KUSNADI, U, K. DWIYANTO dan S. BAHRI. 2005. Pengembangan sistem usahatani ternak tanaman pangan berbasis kambing di Kabupaten Lombok Timur Nusa Tenggara Barat. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 12 – 13 September 2005. Puslitbang Peternakan, Bogor. Hlm. 685 – 692.
SUHARDONO, BERIAJAYA dan D. YULISTIANI. 2002. Infeksi cacing nematoda saluran pencernaan pada domba yang digembalakan secara ekstensif di daerah padat ternak di Jawa Barat. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Ciawi – Bogor, 30 September – 1 Oktober 2002. Puslitbang Petenakan, Bogor. hlm. 370 – 375.
MCKENNA. P.B. 1987. The Estimation of Gastrointestinal Strongyle Worm Burdeus in Young Sheep Flocks. A New Approach to the Interpretation of Faecal Egg Counts 1. Development. N.Z. Vet. J. 35: 94 – 97.
WARDHANA, A.H., J. MANURUNG dan T. ISKANDAR. 2005. Sakbies: Tantangan penyakit zoonotik parasiter masa kini dan masa datang. Bahan Seminar Zoonosis.
PRIYANTO, D. dan D. YULISTIANI. 2005. Estimasi dampak ekonomi penelitian partisipatif penggunaan obat cacing dalam peningkatan pendapatan peternak domba di Jawa Barat. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 12 – 13 Spetember 2005. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 512 – 520.
DISKUSI Pertanyaan: 1. Judul tatalaksana tetapi isinya lebih banyak survei sosial, kenapa tidak diganti adopsi teknologi? 2. Bagaimana ramuan obat-obat untuk scabies mana yang untuk cacing dan mana untuk scabies? 3. Booklet apa bisa untuk transfer pengetahuan, padahal banyak yang tidak bisa baca? Jawaban: 1. Judul mengarah ke Transfer Inovasi Teknologi Pencegahan penyakit scabies dan cacing. 2. Ramuan akan dilengkapi dengan cara membuat agar lebih jelas. 3. Bisa karena transfer inovasi tidak hanya booklet tapi dengan praktek langsung, booklet berisi gambar-gambar yang menunjukkan cara-caranya.
522