Tingkat Pengetahuan Mengenai Pencegahan Skabies dan Hubungannya dengan Karakteristik Demografi Santri di Pesantren X, Jakarta Timur Ervandy Rangganata, Saleha Sungkar Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Email:
[email protected]
Abstrak Skabies merupakan penyakit kulit menular akibat infestasi dan sensitisasi terhadap tungau Sarcoptes scabiei varian hominis. Skabies biasanya menginfeksi lingkungan padat penduduktingkat sosial ekonomi dan hygiene rendah, contohnya pesantren. Prevalensi skabies di pesantren di Jakarta tergolong tinggi (78,7%). Gejala skabies dalam tahap lanjut dapat mengganggu kegiatan belajar santri. Tingkat pengetahuan yang baik mengenai pencegahan skabies diharapkan dapat mengubah pola, sikap, dan perilaku santri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan mengenai pencegahan skabies dan hubungannya dengan karakteristik demografi santri meliputi usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, jumlah sumber informasi, dan sumber informasi yang paling berkesan. Untuk mencapai tujuan tersebut, peneliti menggunakan desain penelitian studi potong lintang. Santri diberikan kuesioner mengenai sebaran karakteristik demografi mereka dan pengetahuan mengenai pencegahan skabies. Hasil penelitian menunjukkan bahwa santri yang berpengetahuan baik sebanyak 9,29%, sedang sebanyak 8,57%, dan kurang mencapai 82,14%. Pada uji chi-square didapatkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna (p>0,05) antara tingkat pengetahuan mengenai pencegahan skabies dengan usia (p=0,181), jenis kelamin (p=0,605), tingkat pendidikan (p=0,186), dan sumber informasi yang paling berkesan (p=0,697). Uji Kolmogorov-Smirnov memberikan hasil bahwa tidak ada perbedaan bermakna (p>0,05) antara tingkat pengetahuan dengan jumlah sumber informasi (p=0,999).Santri tinggal dalam ligkungan yang sama dan belajar di tempat yang sama pula. Hal tersebut dapat menyebabkan tidak terdapat hubungan bermakna antara tingkat pengetahuan santri mengenai pencegahan skabies dengan karakteristik demografi santri yang meliputi usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, jumlah sumber informasi, dan sumber informasi yang paling berkesan. Kata kunci: pencegahan skabies, tingkat pengetahuan, karakteristik demografi, santri, pesantren
Knowledge Level of Scabies Prevention among Boarding Students and its Association to Demographic Characteristics in X Boarding School, East Jakarta Abstract Scabies is a contagious skin disease which is caused by Sarcoptes scabiei mite. Scabies usually infects lower socio-economics group with dense population and people who live in environment with poor hygiene, such as boarding school. Scabies prevalence at boarding school in Jakarta remains high (78,7%). The symptoms occured bother students’ learning activities. Good knowledge about scabies prevention may change the behavior of the students. This research aims to know knowledge level of scabies prevention among boarding students and its association to their demographic characteristics in order to be used as a reference for health promotion. Regarding the goals of this research, this research used cross-sectional study by giving a questionnaire consisting demographic characteristics and questions about scabies prevention to the students.This research shows that the percentage of students who have good knowledge about scabies prevention is 9,29%, while the fair is 8,57% and poor reaches 82,14%. Using chi-square analysis, it is known that there is no significant association (p>0,05) between knowledge level of scabies prevention with age (p=0,181), gender (p=0,605), educational level (p=0,186), and the most memorable information source (p=0,697). Kolmogorov-Smirnov analysis shows that there is no significant association (p>0,05) between knowledge level with number of information sources gotten (p=0,999). Students live in the same environment and learn in the same place. It may cause there is no significant association between knowledge level of scabies prevention among boarding school students with their demographic characteristics including age, gender, educational level, number of information sources, and the most memorable information source. Keywords: scabies prevention, knowledge level, demographic characteristics, boarding school students
Tingkat Pengetahuan..., Ervandy Rangganata, FK UI, 2014
Pendahuluan Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi terhadap tungau (mite) Sarcoptes scabiei varian hominis dan produknya. Skabies dikenal di masyarakat dengan nama kudis, gudig, budukan, dan gatal agogo.1 Skabies dapat ditemukan hampir di seluruh Negara. Prevalensi scabies di masing-masing negara bervariasi. Di negara berkembang, prevalensi skabies berkisar 6% - 27%. Prevalensi skabies di negara berkembang tinggi pada bayi dan remaja.1,2 Skabies biasanya terdapat di daerah yang penduduknya dalam keadaan sosio-ekonomi yang rendah, kebersihan perorangan yang buruk, lingkungan kurang bersih, hubungan seksual yang bersifat promiskuitas.3,4 Skabies merupakan penyakit menular. Penyakit itu dapat menular baik secara langsung maupun tidak langsung.Secara langsung misalnya melalui kontak erat dengan penderita atau secara tidak langsung misalnya penggunaan handuk bersamaan, sprei tempat tidur, dan segala hal yang dimiliki pasien skabies.1Oleh karena itu, penularan skabies sering terjadi di lingkungan padat penduduk, seperti keluarga, asrama, kelompok anak sekolah, pasangan seksual, bahkan satu desa atau satu kampung. Keadaan ini juga sering ditemukan di pesantren.5,6,7 Pesantren merupakan institusi pendidikan yang menekankan pengajaran pada nilai-nilai Islam. Murid pesantren yang sedang mengikuti pendidikan di pesantren disebut santri. Para santri tinggal di pondok yang biasanya padat penghuni, memiliki higiene yang kurang baik, dan sanitasi yang kurang memadai.6 Faktor-faktor tersebut merupakan faktor risiko penularan skabies di pesantren. Kontak langsung maupun kontak tidak langsung dapat terjadi dengan mudah di pesantren.7 Prevalensi skabies mencapai angka 78,7% di pesantren yang terletak di kota Jakarta. Data lain menunjukkan prevalensi skabies di suatu pesantren yang berada di Kabupaten Pasuruan sebesar 66,7%. Prevalensi skabies lebih besar pada kelompok yang higienenya kurang baik (72,7%) dibandingkan dengan kelompok dengan higienenya baik(3,8%).3,8 Penderita skabies
mengalami gejala yang mengganggu kenyamanan dalam beraktivitas
sehari-hari. Penderita mengeluh gatal, terutama pada malam hari. Gatal terjadi terutama di bagian sela-sela jari tangan, bawah ketiak, pinggang, alat kelamin, sekeliling siku, areola mammae, dan permukaan depan pergelangan tangan.1 Hal tersebut
Tingkat Pengetahuan..., Ervandy Rangganata, FK UI, 2014
mempengaruhi
produktivitas kerja penderita skabies. Anak menjadi terganggu dalam belajar karena mengalami rasa gatal yang hebat.2 Selain menyebabkan rasa gatal, skabies juga menimbulkan lesi berupa papul, vesikel, dan pustul. Lesi tersebut pada keadaan lanjut dapat mengakibatkan eksematisasi. Lesi yang timbul akibat skabies dapat menyebabkan penderita lebih rentan terhadap infeksi sekunder. Hal tersebut dapat menimbulkan demam pada penderita. Bahkan, lesi di tangan pada keadaan lanjut mengakibatkan nyeri hebat dan bernanah sehingga santri tidak dapat menulis.6 Berdasarkan uraian di atas, skabies harus diberantas dengan pengobatan yang diikuti dengan punyuluhan kesehatan. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan para santri dapat memiliki pengetahuan yang baik tentang skabies dan dapat menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Pengobatan yang tanpa diikuti dengan penyuluhan PHBS akan meningkatkan risiko terjadinya reinfeksi skabies pada para santri dalam waktu singkat. Sikap para santri berperan penting dalam pencegahan skabies. Sikap santri diharapkan akan berpengaruh pada perilaku santri dalam rangka pencegahan skabies di lingkungan pesantren. Tidur bersama, pakaian kotor yang digantung atau ditumpuk di kamar, pemakaian handuk bersama merupakan contoh sikap yang dapat menjadi faktor risiko penularan skabies di lingkungan pesantren.5,9 Dalam membentuk sikap tersebut, para santri harus memiliki pengetahuan yang memadai mengenai skabies, terutama pencegahan skabies di lingkungan pesantren. Pemberian edukasi yang baik dan materi yang tepat dapat meningkatkan pengetahuan santri terhadap pencegahan skabies di lingkungan pesantren.7 Pesantren X yang berada di daerah Jakarta Timur merupakan salah satu pesantren dengan karakteristik pesantren pada umumnya. Pesantren tersebut padat penghuni, santri yang berasal dari golongan sosial-ekonomi rendah serta sanitasi yang kurang memadai. Hilmy melaporkan, 51,6% santri yang tinggal di pesantren tersebut menderita skabies. Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan pengobatan masal untuk memberantas skabies. Pengobatan tersebut diikuti dengan penyuluhan kesehatan mengenai PHBS yang terkait skabies. Hal ini dilakukan agar reinfeksi tidak terjadi dalam waktu singkat. Agar hasil dari penyuluhan yang diberikan sesuai dengan harapan, para santri harus diberikan penyuluhan yang sesuai dengan tingkat pengetahuan yang telah dimiliki dan karakteristik demografi mereka. Untuk mengetahui hal-hal tersebut, peneliti melakukan survei dengan tujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan santri mengenai skabies dan hubungannya
Tingkat Pengetahuan..., Ervandy Rangganata, FK UI, 2014
dengan karakteristik demografi santri namun karena keterbatasan penelitian, peneliti hanya berfokus pada survei pencegahan skabies.
Tinjauan Teoritis Skabies Skabies adalah penyakit kulit menular yang disebabkan oleh infestasi maupun sensitisasi terhadap S. scabiei varian hominis dan produknya pada tubuh.1 Penyebab skabies adalah S. scabiei varian hominis. S. scabiei digolongkan dalamfilum Arthropoda, kelas Arachnida, ordo Acarina, super-famili Sarcoptoidea, famili Sarcoptidae, genus Sarcoptes.10 S. scabiei hidup di lapisan luar epidermis dengan menggali terowongan pada lapisan ini sebagai tempat hidup dan bertelur. Lapisan epidermis manusia terus mengalami pertumbuhan yang cepat. Hal tersebut mengakibatkan terowongan yang dibuat tungau hanya terlihat pada bagian luar epidermis yang mengeras.S. scabiei melakukan kopulasi di permukaan kulit atau di dalam terowongan yang dibuat oleh tungau betina (pejantan masuk ke dalam terowongan betina). Setelah melakukan kopulasi, tungau betina yang telah dibuahi akan berkeliaran di permukaan kulit mencari daerah dengan stratum corneum tebal (seperti telapak tangan dan kaki). Tungau betina menggunakan penghisap pada kakinya (kaki penghisap ambulakral) untuk menempel pada permukaan kulit kemudian membuat lubang di kulit menggunakan rahang dan sisi tajam pada tibia kedua kaki depannya. Terowongan yang dibuat sepanjang hidupnya dapat mencapai panjang 2-3 cm dan terlihat seperti garis tipis berkelok pada kulit. Kemudian betina tersebut selama hidupnya (hingga dua bulan), bertelur (2-3 telur per hari) dalam terowongan. Sekitar tiga hari kemudian, larva yang memiliki tiga pasang kaki menetas dan sebagian besar berkeliaran keluar dari terowongan. Dalam tiga sampai empat hari mereka berkembang ke tahap protonymphal atau larva yang sudah menyerupai tungau dewasa (sudah memiliki empat pasang kaki). Sekitar tiga hari setelah itu, mereka masuk ke tahap tritonymphal atau tungau dewasa. Dalam kondisi terbaik, hanya sekitar 10% dari telur yang mencapai tahap tungau dewasa. Setelah dewasa, mereka kembali mengulangi siklus. Siklus hidup ini dapat berulang dengan sempurna dalam periode 10-14 hari.11,12 Penyebaran skabies hampir merata di seluruh dunia. Skabies umumnya banyak terdapat di daerah dengan kepadatan penduduk yang tinggi dengan higiene yang buruk. Oleh karena itu, skabies banyak ditemukan di tempat-tempat seperti pengungsian, panti asuhan, asrama, dan
Tingkat Pengetahuan..., Ervandy Rangganata, FK UI, 2014
pesantren. Di suatu pondok pesantren di Jakarta, prevalensi skabies mencapai 78,7% yang umunya menyerang bayi hingga remaja.12 Skabies ditemukan diseluruh dunia dengan angka prevalensi bervariasi yang disebabkan faktor-faktor berhubungan. Di negara berkembang prevalensi skabies 6-27%, sedangkan di Indonesia prevalensi pada populasi umum sebesar 4,6-12,9%. Prevalensiskabies mencapai 73,70%di lingkungan yang padat penduduk seperti pesantren, panti asuhan, barak tentara dan pengungsian.Sebagian besar skabies terdapat pada kelompok yang higienenya buruk (63%), sedangkan pada kelompok yang higienenya baik prevalensi skabies hanya berkisar 2-3%. Faktor-faktor berhubungan yang mempengaruhi kejadian skabies adalahsosial ekonomi yang rendah, hubungan seksual yang bersifat promiskuitas, higiene yang buruk, sosial ekonomi rendah, dan kepadatan penduduk. Kepadatan penduduk adalah faktor yang sangat berpengaruh dalam peningkatan prevalensi skabies.12 Manifestasi dari S. Scabiei menyebabkan rasa gatal yang umumnya timbul pada malam hari. Kelainan kulit disebabkan oleh tungau skabies dan garukan. Rasa gatal tersebut muncul karena sensitisasi terhadap sekret dan ekskret tungau yang memerlukan waktu 3-4 minggu setelah infestasi primer. Pada pasien yang sebelumnya telah terinfestasi skabies, biasanya gejala muncul 1-3 hari setelah reinfestasi karena pasien telah memiliki sistem imun.12,13 S. scabiei semakin berkembang apabila penderita terus menggaruk bagian tubuh yang diserang.Hal tersebut mempermudah tungau membuat terowongan pada stratum korneum yang relatif tipis. Pada saat itu, akan terlihat terowongan namun tidak terasa gatal.12,13 Gatal merupakan gejala klinis yang utama pada skabies. Keluhan yang umumnya dirasakan pada awal masa infestasi tungau pada skabies adalah rasa gatal yang terjadi pada malam hari (pruritus nokturna), cuaca panas, dan badan berkeringat. Rasa gatal biasanya dirasakan di sekitar lesi, namun pada tahap kronis rasa gatal dapat dirasakan hingga ke seluruh tubuh. Rasa gatal itu disebabkan sensitisasi kulit terhadap ekskret dan sekret tungau yang dikeluarkannya pada saat membuat terowogan.
Lesi pada kulit berupa terowongan halus sedikit
meninggi,berkelok-kelok, danberwarna putih keabu-abuan serta memiliki garis 2-15 mm.Adanya papul atau vesikelpada bagian ujung terowongan. Di daerah yang beriklim tropis jarang ditemukan terowongan. Biasanya, S. scabiei memilih epidermis tipis sebagai tempat untuk membuat terowongan seperti sela jari, pergelangan tangan dan kaki, penis, areola mammae,periumbilikalis, dibawah payudara perempuan, pinggang, bagian bawah bokong dan paha, dan lipatan aksila anterior dan posterior. Pada orang dewasa, skabies jarang menyerang
Tingkat Pengetahuan..., Ervandy Rangganata, FK UI, 2014
leher, muka, kulit kepala yang berambut, punggung bagian atas, telapak kaki dan tangan, namun pada bayi daerah-daerah tersebut sering terinfestasi dan dapat pula menyerang seluruh badan.Lesi kulit dapat berupa vesikel, papul, dan urtika. Berat ringannya kerusakan kulit yang dialami tergantung pada derajat sensitisasi, lamanya infeksi, higiene perorangan, dan riwayat pengobatan sebelumnya. Pada tahap yang kronik, skabies dapat mengakibatkan penebalan kulit (likenifikasi) dan berwarna lebih gelap (hiperpigmentasi).1,14,15 Luka juga sering ditemukan pada kulit yang sering digaruk karena gatal. Jika terjadi infeksi sekunder oleh bakteri maka akan terdapat pustul dan pembesaran kelenjar getah bening. Selain itu, ruam kulitnya menjadi polimorf (pustul, ekskoriasi, dan lain- lain).1,14,16 Ada beberapa bentuk khusus skabies yang bermanifestasi klinis berbeda dari skabies klasik. Pada orang yang immuno-compromised, Infestasi kutu skabies dapat terjadi dengan tingkatan yang lebih parah. Hal itu disebut dengan skabies Norwegia. Tanda dan gejala yang timbul yakni ditemukan tungau parasit dalam jumlah yang sangat banyak (ribuan hingga jutaan) bila dibandingkan dengan kasus umum (10 hingga 50) serta timbul lesi krusta tebal (hiperkeratosis). Pada kasus skabies yang diikuti infeksi sekunder oleh bakteri, terkadang dijumpai infeksi bakteri Staphylococcus aureusyang menyebabkan munculnya bentuk khusus skabies yang disebut bullous scabies. Infeksi bakteri tersebutdapatterjadi di lengan, tungkai, maupun badan dan harus segera ditangani terlebih dahulu.1,14,15 Sekitar 7% dari seluruh kasus skabies adalah skabies nodular yang ditandai dengan munculnya nodul berukuran 2-20 mm di daerah alat kelamin laki-laki, bokong, paha, dan ketiak. Nodul-nodul tersebut sangat gatal, berwarna merah kecoklatan, dan tidak megandung tungau di dalamnya. Nodul-nodul tersebut diduga muncul akibat hipersensitivitas tubuh.1,14 Skabies merupakan penyakit yang dapat dicegah apabila seseorang mempunyai kesadaran untuk menjaga kebersihan diri serta lingkungannya. Beberapa cara pencegahan skabies adalah mandi teratur menggunakan air bersih, sabun, serta peralatan mandi yang bersih, hindari pemakaian handuk atau pakaian secara berganti-gantian, hindari kontak yang lama dan erat dengan penderita skabies misalnya tidur bersama, seluruh anggota keluarga atau masyarakat yang terinfeksi sebaiknya diobati secara merata untuk bisa memutuskan rantai penularan scabies, semua pakaian, sprei, dan handuk sebaiknya dicuci dengan air panas minimal 2 minggu sekali agar tungau dapat dimusnahkan, dan mencuci pakaian,menjemur dibawah sinar matahari minimal 30 menit, serta menyetrika dengan setrika panas.
Tingkat Pengetahuan..., Ervandy Rangganata, FK UI, 2014
Secara umum, pencegahan skabies terbagi menjadi tiga tahap yaitu pencegahan primer, sekunder, dan tersier. Pencegahan primer bersifat preventif berupa pencegahan skabies. Bentuk pencegahan primer dilakukan dengan menjaga kebersihan diri sendiri, lingkungan, serta membiasakan diri untuk tidak menggunakan barang-barang pribadi secara bersamasama.12 Pencegahan sekunder dilakukan apabila seseorang telah terjangkit skabies. Bentuk pencegahan sekunder dilakukan dengan mengobati penderita secara langsung dan melakukan isolasi sementara pada penderita agar tungau tidak menginfeksi orang-orang yang berada di sekitarnya. Diperlukan pula pemeriksaan terhadap orang-orang yang pernah melakukan kontak langsung dengan penderita maupunyang sering berada di sekitar penderita.16,17 Pencegahan tersier berfokus pada pencegahan reinfeksi skabies pada orang yang sama. Hal ini dilakukan dengan mencuci bersih semua barang pribadi penderita seperti pakaian, handuk, sprei, dan sarung dengan menggunakan detergen dan dijemur di bawah terik matahari agar seluruh tungau mati.16,17 Pengetahuan Pengetahuan dapat berkembang menjadi ilmu. Supaya pengetahuan dapat berkembang menjadi ilmu, dibutuhkan syarat-syarat yang mampu mengubah pengetahuan menjadi ilmu. Syarat-syarat tersebut antara lain pengetahuan memiliki sasaran (objek kajian) yang jelas, menggunakan metode pendekatan tertentu dalam mendapatkan suatu hasil, dan hasil ini disusun secara sistematis dan diakui secara universal. Setelah semua syarat terpenuhi, pengetahuan dapat berkembang menjadi ilmu.18 Seperti yang telah kita ketahui sebelumnya, bahwa pengetahuan adalah hasil dari tahu akan sesuatu. Tentunya, manusia mendapatkan hasil dari tahu tersebut melalui penginderaan. Manusia dapat melakukan penginderaan karena manusia memiliki alat indera, yang disebut dengan panca indera manusia. Dalam ranah kognitif pengetahuan, terdapat 6 tingkatan, yakni mengetahui, memahami, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi.19,20 Karakteristik Usia seseorang tidak mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang secara langsung, meskipun pada umumnya semakin tua usia seseorang semakin luas pula pengetahuannya. Rasa ingin tahu seseorang sangat erat hubungannya dengan usia orang tersebut.21,22
Tingkat Pengetahuan..., Ervandy Rangganata, FK UI, 2014
Prevalensi skabies pada perempuan lebih rendah dibanding laki-laki. Saroh melaporkan bahwa perempuan memiliki kemungkinan lebih kecil mengalami skabies karena kecenderungannya untuk merawat diri dan menjaga kebersihan. Hal tersebut secara tidak langsung menyatakan bahwa perempuan memiliki perhatian terhadap masalah kesehatan yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki.23 Pada pesantren, tingkat pendidikan ada beberapa macam seperti madrasah ibtidaiyah, madrasah tsanawiyah, dan madrasah aliyah. Secara umum, semakin tinggi tingkat pendidikan santri semakin bertambah pengetahuannya termasuk masalah kesehatan,namun tingkat pendidikan tidak berpengaruh apabila santri sering tidur bersama dengan tidak membedakan tingkat pendidikan.24, 25, 26 Pada dasarnya, semakin tinggi tingkat pendidikan semakin kecil pula kemungkinan untuk menderita skabies. Hal itu disebabkan semakin tinggi tingkat penegetahuan semakin tinggi pula kesadaran diri untuk terhindar dari skabies berdasarkan pengalaman maupun pengetahuan yang telah didapatkan, namun tidak selamanya tingkat pendidikan berbanding lurus dengan kebiasaan maupun karakteristik seseorang.24,26 Seseorang tidak mungkin mendapatkan pengetahuan dengan sendirinya kecuali insting yang memang bawaan sejak lahir. Seseorang bisa mendapatkan pengetahuan apabila terpapar oleh sumber informasi. Semakin banyak paparan sumber informasi semakin tinggi tingkat pengetahuan orang tersebut.27 Pengguaan fasilitas pribadi menjadi salah satu faktor yang memungkinkan seseorang tertular skabies.Kebiasaan pinjam-meminjam barang seperti sabun, handuk, dan pakaian yang dapat meningkatkan risiko penyakit menular, harus dihindari karena barang-barang tersebut dapat menjadi perantara tungau untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya.28 Kepadatan kamar merupakan salah satu faktor pendukung tingginya prevalensiskabies di suatu pesantren. Di sebuah kamar dengan kepadatan santri yang tinggi, sangat memungkinkan timbulnya skabies karena higiene yang buruk serta faktor penularan yang sangat tinggi, baik secara langsung melalui kontak dengan penderita maupun secara tidak langsung melaui fasilitas-fasilitas pribadi maupun fasilitas umum.29
Tingkat Pengetahuan..., Ervandy Rangganata, FK UI, 2014
Metode Penelitian Desain penelitian adalah studi potong lintang. Analisis hipotesis yang digunakan adalah uji chi-square dan Kolmogorov-Smirnov. Subjek penelitian adalah santri Pesantren X, Jakarta Timur. Penelitian dilakukan di Pondok Pesantren X, Jakarta Timur. Pengambilan data dilakukan pada tanggal 22 Januari 2011. Penelitian ini menggunakan data primer yaitu berupa kuesioner yang telah divalidasi. Data diolah menggunakan program SPSS for Windows version 11,5 melalui editing, coding, cleaning, dan entry. Variabel dependen penelitian ini adalah tingkat pengetahuan mengenai pencegahan skabies. Variabel independen penelitian ini adalah karakteristik demografi santri yang meliputi usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, jumlah informasi paling berkesan, dan variabel perancu adalah keadaan sosial ekonomi dan tingkat pendidikan orang tua.
Hasil Penelitian Data Umum Pondok Pesantren X terletak di RT.003/RW.005 Kelurahan Balekambang Kecamatan Kramat Jati, Condet, Jakarta Timur. Luas bangunannya mencapai 7050 m2 dan berada di atas tanah seluas 12500 m2. Pondok Pesantren X menyelenggarakan program pendidikan formal dan salafiyah. Program pendidikan formal terdiri dari Raudhatul Athfal (RA), Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA), Madrasah Diniyyah (MD), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA), Program Kesetaraan Paket A, B, dan C dengan masing-masing jumlah santrinya adalah RA 35 orang, TPA 63 orang, MD 75 orang, MTs 120 orang, dan MA 100 orang. Program pendidikan salafiyah merupakan pendidikan berbasis pada kurikulum pesantren dengan menggunakan kitab salaf (kitab kuning). Terdapat 36 orang pengajar dan 15 orang pengurus di pesantren tersebut. Pesantren tersebut berada di lingkungan padat penduduk. Bukan hanya penduduk di sekitar pesantren yang banyak dan tinggal berdekatan, tapi juga warga pesantren, yang terdiri atas pengurus dan murid pesantren,berjumlah cukup banyak dan tinggal bersama dalam lingkungan yang padat.
Tingkat Pengetahuan..., Ervandy Rangganata, FK UI, 2014
Santri yang tinggal di asrama pesantren hanya santri yang sedang menempuh pendidikan tingkat tsanawiyah dan aliyah. Asrama pesantren terdiri atas asrama putra dan putri. Asrama putra terdiri atas 6 kamar dan terletak di dekat bangunan sekolah. Sedangkan, asrama putri terdiri atas dua buah rumah (tanpa kamar) yang terletak didekat kediaman pengurus pesantren. Selain dua gedung sekolah dan asrama, pesantren X juga memiliki bangunan satu masjid, satu perpustakaan, satu laboratorium komputer,
satu kantin, satu poskestren (pos kesehatan
pesantren), satu lapangan utama, satu lapangan bawah, satu toko buku, satu wartel (warung telekomunikasi), dan satu ruang aula. Di bagian depan, kanan, dan kiri bangunan pesantren berbatasan dengan perumahan penduduk. Di bagian belakang dari bangunan pesantren terdapat perkebunan dan tanah lapang. Data Khusus Pesantren X memiliki 220 santri yang terdiri atas 120 santri madrasah tsanawiyah dan 100 santri madrasah aliyah. Jumlah guru pesantren berjumlah 36 orang dan pengurus pesantren berjumlah 15 orang. Saat pengambilan data penelitian sedang dilakukan, sebagian santri pulang ke rumahnya masing-masing. Santri yang bersedia ikut serta dalam penelitian berjumlah 152 orang. Beberapa santri memenuhi kriteria dropout sehingga data yang dapat diolah sebanyak 140 orang. Berdasarkan data yang diperoleh, karakteristik demografi santri di Pesantren X, Jakarta Timur adalah sebagai berikut santri laki-laki berjumlah 81 orang (57,9%) dan santri perempuan berjumlah 59 orang (42,1%) dengan rentang usia ≤15 tahun sebanyak 80 orang (57,1%) dan >15 tahun sebanyak 60 orang (42,9%). Subjek penelitian lebih banyak santri tsanawiyah, yakni 72 orang (51,4%) dibandingkan santri aliyah, yakni 68 orang (48,6%). Jumlah responden tersebut telah memenuhi kriteria minimal yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Dari Tabel 4.2.1. dapat diketahui bahwa sebagian besar responden (35,0%) memperoleh informasi mengenai skabies dari 2 sumber informasi yang diikuti oleh 3 sumber informasi (27,9%).
Tingkat Pengetahuan..., Ervandy Rangganata, FK UI, 2014
Tabel 4.2.2 menunjukkan bahwa sejumlah 68 responden (48,6%) memilih dokter yang tergolong petugas kesehatan sebagai sumber informasi paling berkesan diikuti oleh teman (17,9%) dan kemudian guru (15%).
Pada uji chi-square didapatkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna (p>0,05) antara tingkat pengetahuan mengenai pencegahan skabies dengan usia, jenis kelamin, tingkat pendidikkan, dan sumber informasi yang paling berkesan. Uji Kolmogorov-Smirnov memberikan hasil bahwa tidak ada perbedaan bermakna (p>0,05) antara tingkat pengetahuan mengenai pencegahan skabies dengan jumlah sumber informasi (Tabel 4.2.3). Tabel 4.2.3.Tingkat Pengetahuan Responden Mengenai Pencegahan Skabies Sebelum Penyuluhan dan Karakter Demografi Santri
Variabel
Kategori
Usia
≤ 15 tahun > 15 tahun
Jenis kelamin
Laki-laki Perempuan
Tingkat Tsanawiyah Pendidikan Aliyah Jumlah <3
Tingkat Pengetahuan P Baik Sedang Kurang 5 9 66 0.181 8 3 49
Uji Chi Square
9 4
6 6
66 49
0,605
Chi Square
4
8
60
0.186
Chi Square
9 8
4 10
55 88
0.999
Kolmogorov Smirnov
Tingkat Pengetahuan..., Ervandy Rangganata, FK UI, 2014
Sumber Informasi Sumber informasi yang paling berkesan
>3 Petugas Kesehatan
5 7
2 7
27 54
0.697
Chi Square
Non Petugas 6 5 61 Kesehatan Tabel 4.2.4. menunjukkan sebaran responden berdasarkan skor pada tiap soal mengenai pencegahan skabies di nomor 21 - 25. Pada soal nomor 21, responden yang mendapatkan skor paling tinggi (skor 5) adalah sebesar 5,71 %, sebagian besar responden mendapatkan skor 2 (48,57%). Hal tersebut juga dapat ditemukan pada soal nomor 22, 23,24, dan 25 dimana hanya sebagian kecil responden yang mendapatkan skor paling tinggi. Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa semua pertanyaan mengenai pencegahan skabies sulit dijawab oleh santri. Tabel 4.2.4. Proporsi Skor Jawaban Terhadap Pertanyaan Mengenai Pencegahan Skabies Pertanyaan Skor Jumlah % Kudisan dapat dicegah dengan cara...
Pemberantasan kudisan dilakukan dengan...
Tindakan yang harus dilakukan agar kudisan tidak menular adalah...
Untuk mencegah wabah kudisan tindakan yang dilakukan adalah... Bila ada orang di sekitar
0 1 2 3 4 5 0 2 3 5 0 1 2 3 4 5 0 2 3 5 0
14 39 68 9 2 8 9 93 18 20 13 12 96 3 8 8 17 29 83 11 14
Tingkat Pengetahuan..., Ervandy Rangganata, FK UI, 2014
10,00% 27,86% 48,57% 6,43% 1,43% 5,71% 6,43% 66,43% 12,86% 14,29% 9,29% 8,57% 68,57% 2,14% 5,71% 5,71% 12,14% 20,71% 59,29% 7,86% 10,00%
kita yang terkena kudisan, sikap kita adalah...
1 4 5
15 106 5
10,71% 75,71% 3,57%
Diskusi Skabies pada umumnya tidak berbahaya dan dapat dicegah, namun penyakit itu dapat menimbukan rasa gatal yang hebat dan dapat menimbulkan komplikasi yang serius. Rasa gatal yang ditimbulkannya mengganggu konsentrasi dan produktivitas penderita. Skabies mudah menular melalui baik kontak langsung atau tidak langsung. Penyakit tersebut mudah menyebar di lingkungan padat penduduk, misalnya pesantren. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa prevalensi skabies di pesantren tergolong tinggi. Agar santri dapat mencegah skabies, santri perlu dibekali dengan pengetahuan mengenai Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dan skabies. Pengetahuan mengenai pencegahan skabies dapat diberikan melalui penyuluhan dan penyuluhan sebaiknya diberikan berdasarkan penelitian mengenai tingkat pengetahuan santri mengenai pencegahan skabies dan hubungannya dengan karakteristik demografi mereka. Tingkat pengetahuan yang diteliti pada penelitian ini adalah pengetahuan santri mengenai pencegahan skabies yang meliputi cara pencegahan, cara pemberantasan, tindakan yang harus dilakukan agar tidak menular, tindakan yang harus dilakukan untuk mencegah wabah, dan sikap apabila terdapat orang di sekitar yang menderita skabies. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar santri di Pesantren X memiliki pengetahuan yang rendah mengenai pencegahan skabies. Berdasarkan penelitian ini, hanya 9,29% responden memiliki pengetahuanbaik dan 8,57%memiliki pengetahuan sedang, sedangkan sebanyak 82,14% memiliki pengetahuan rendah. Rendahnya persentase santri yang memiliki pengetahuan baik mengenai pencegahan skabies sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Andayani di sebuah pesantren di Sumatera Utara. Andayani melaporkansantri dengan tingkat pengetahuan pencegahan skabies baik hanya 14% dari total santri, sisanya (86%) berpengetahuan sedang atau kurang.36Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Saroh di sebuah pesantren di Kota Tegal yang menyatakan bahwa sebagian besar santri (61,8%) memiliki tingkat pengetahuan yang kurang baik mengenai pencegahan skabies.23
Tingkat Pengetahuan..., Ervandy Rangganata, FK UI, 2014
Hal tersebut disebabkan pengetahuan mengenai skabies tidak masuk dalam kurikulum pesantren sehingga pengetahuan tersebut tidak diajarkan kepada santri.37 Selain itu, slogan “belum jadi santri kalau belum pernah kudisan” membuat santri beranggapan bahwa kudisan merupakan sesuatu yang wajar sehingga santri tidak berusaha untuk mencari tahu penyakit yang dideritanya, mencegah, atau bahkan mengobatinya. Ada beberapa teori yang mendasari hubungan tingkat pengetahuan seseorang dengan usia. Pada umumnya, tingkat pengetahuan seseorang berbanding lurus dengan usia seseorang. Hal tersebut dikemukakan oleh Irmayanti yang mengungkapkan bahwa semakin tua seseorang maka semakin banyak ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Hal tersebut didasari oleh proses pembelajaran dari pengalaman, daya tangkap, dan berkembangnya pola pikir seseorang. Sedangkan, terdapat teori yang menyatakan sebaliknya. Survei Persatuan Guru Republik Indonesia menyatakan bahwa seseorang yang berusia muda memiliki tingkat pengetahuan tinggi. Hal tersebut didasari oleh rasa ingin tahu yang besar dan penyerapan informasi yang mudah.28 Hal tersebut juga ditunjang oleh Rumondang yang dikutip oleh Ubaidilah yang menyatakan bahwa kemampuan terbaik manusia untuk menyerap informasi dan menyimpannya sebagai memori terjadi pada usia 8-12 tahun.28 Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan mengenai pencegahan skabies dengan usia santri (p=0,181). Hal itu disebabkan responden berada pada rentang usia yang sempit, yakni 11-20 tahun. Responden dikelompokkan berdasarkan usia menjadi dua kelompok, yakni < 15 tahun dan >15 tahun sehingga tidak terdapat hubungan bermakna antara tingkat pengetahuan mengenai pencegahan skabies dengan usia santri. Selain itu, santri juga berada di lingkungan yang sama sehingga pergaulan santri terbatas dan memengaruhi pola pikir, daya tangkap, dan kesempatan santri untuk bertukar pendapat. Berdasarkan hasil penelitian ini, apabila ingin melakukan penyuluhan mengenai pencegahan skabies, penyuluh perlu memberikan materi secara merata kepada semua santri tanpa mempertimbangkan faktor usia.30 Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan bermakna antara tingkat pengetahuan mengenai pencegahan skabies dengan jenis kelamin santri (p=0,605). Sedangkan, Muin dalam penelitian yang dilakukannya tahun 2009 yang dikutip oleh Ubaidilah melaporkan bahwa perempuan mempunyai kemungkinan lebih kecil menderita
Tingkat Pengetahuan..., Ervandy Rangganata, FK UI, 2014
skabies karena perempuan memiliki kecenderungan untuk merawat diri dan menjaga kebersihan.28 Pada umumnya, perempuan lebih banyak menyerap serta menerima informasi karena ia lebih banyak berkomunikasi, bertukar pikiran dengan teman-temannya, menonton televisi, dan membaca. Selain itu, perempuan juga mempunyai kemampuan untuk mengingat suatu kejadian dengan komponen emosional yang lebih kuat. Faktor-faktor tersebut menjadi faktor pendukung bagi perempuan untuk mencari tahu mengenai pencegahan skabies lebih jauh. Dengan demikian, perempuan diharapkan memiliki pengetahuan lebih baik daripada laki-laki mengenai kesehatan pada umumnya dan skabies pada khususnya.23 Hasil penelitian ini menunjukkan hal yang berlawanan karenabaik santri laki-laki maupun santri perempuan tinggal, menetap, dan belajar di lingkungan yang sama dan dalam jangka waktu yang cukup lama. Oleh karena itu, baik santri laki-laki maupun santri perempuan memiliki tingkat pengetahuan mengenai pencegahan skabies yang tidak berbeda bermakna. Berdasarkan hasil penelitian ini, apabila ingin melakukan penyuluhan mengenai pencegahan skabies, penyuluh perlu memberikan materi secara merata kepada semua santri tanpa mempertimbangkan faktor jenis kelamin. Pada umumnya, tingkat pengetahuan seseorang berbanding lurus dengan tingkat pendidikan yang telah dijalankannya. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Wazir et al yang melaporkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin baik tingkat pengetahuan mengenai kesehatan yang dimilikinya. Wazir et al meneliti hubungan antara tingkat pendidikan tukang cukur di Pakistan dengan tingkat pengetahuan mengenai beberapa penyakit menular, salah satunya skabies. Hasil penelitian tersebut mengemukakan bahwa terdapat perbedaan bermakna (p<0,05) tingkat pengetahuan mengenai beberapa penyakit menular dengan tingkat pendidikan tukang cukur. Tukang cukur yang berpendidikan lebih tinggi memiliki tingkat pengetahuan lebih baik daripada yang berpendidikan rendah. 31 Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan mengenai pencegahan skabies dengan tingkat pendidikan santri (p=0,186). Hal tersebut disebabkan pelajaran mengenai skabies tidak masuk dalam kurikulum pesantren sehingga santri Tsanawiyah dan Aliyah tidak mendapatkan pengetahuan mengenai pencegahan skabies.
Tingkat Pengetahuan..., Ervandy Rangganata, FK UI, 2014
Berdasarkan hasil penelitian ini, apabila ingin melakukan penyuluhan mengenai pencegahan skabies, penyuluh perlu memberikan materi secara merata kepada semua santri tanpa mempertimbangkan faktor tingkat pendidikan. Pada zaman sekarang, informasi secara mudah diperoleh dari berbagai sumber. Sumber informasi tersebut dapat berupa media cetak, media elektronik, dan berbagai sumber informasi lainnya. Menurut Notoatmodjo, jumlah informasi yang didapatkan seseorang akan memperdalam pengetahuan serta mempengaruhi pola pikir seseorang untuk menganalisis suatu masalah. Pada umumnya, seseorang yang mendapatkan informasi dari berbagai sumber memiliki tingkat pengetahuan yang baik tentang informasi tersebut.21 Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sukanto yang menyatakan bahwa semakin banyak jumlah sumber informasi yang dipaparkan kepada seseorang, maka semakin tinggi tingkat pengetahuan orang tersebut.22 Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan paparan di atas. Penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan mengenai scabies dengan jumlah sumber informasi yang didapatkan oleh santri.Hal itu dapat disebabkan oleh banyak faktor, antara lain kualitas sumber informasi, variasi sumber informasi, dan daya serap responden erhadap sumber informasi. Sumber informasi yang tidak diiringi dengan kualitas yang baik tidak akan membuat informasi tersebut diterima oleh santri dengan baik. Hal tersebut berdampak pada daya serap satri terhadap informasi menjadi tidak maksimal. Selain itu, lingkungan tempat hidup santri yang sama membuat sumber informasi yang diterima oleh santri satu dengan santri yang lain tidak variatif. Mereka mendapatkan informasi dari sumber informasi yang sama. Pada masa kini, sumber informasi yang tersedia beragam. Sumber informasi tersebut dapat diperoleh secara langsung maupun tidak langsung. Sebagai contoh, informasi yang dapat diperoleh secara langsung melalui guru, dokter, orang tua, dan teman. Sedangkan, informasi yang dapat diperoleh secara tidak langsung contohnya melalui internet, radio, televisi, koran, majalah, dan berbagai sumber informasi lainnya. Masing-masing sumber informasi tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan. Selain itu, masing-masing sumber informasi itu meninggalkan kesan tersendiri bagi penerima informasi.
Tingkat Pengetahuan..., Ervandy Rangganata, FK UI, 2014
Sumber informasi yang paling berkesan bagi santri diharapkan meningkatkan daya serap santri terhadap informasi yang diberikan, khususnya mengenai skabies. Peningkatan daya serap tersebut dapat meningkatkan tingkat pengetahuan santri mengenai skabies. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Wazir et al yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan (p=0,01) antara tingkat pengetahuan mengenai beberapa penyakit menular termasuk di antaranya skabies dengan akses tukang cukur ke televisi.Dari 78% tukang cukur yang memiliki TV, 69% di antaranya memiliki pengetahuan tentang bahaya skabies.31 Dari hasil penelitian didapatkan bahwa sumber informasi yang paling berkesan bagi santri adalah dokter (48,6%), namun, penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan bermakna antara tingkat pengetahuan santri mengenai pencegahan skabies dengan informasi yang paling berkesan (p=0,697). Hal tersebut dapat disebabkan oleh rendahnya frekuensi pertemuan santri dengan dokter. Dokter mengunjungi pesantren dan bertemu dengan santri sebulan sekali. Rendahnya intensitas bertemunya dengan dokter dapat menyebabkan tingkat pengetahuan santri mengenai pencegahan skabies tergolong rendah.
Kesimpulan Karakteristik demografi santri Pesantren X, Jakarta Timur adalah 81 orang (57,9%) laki-laki, 59 orang (42,1%) perempuan, 72 orang (51,4%) santri tsanawiyah dan 68 orang (48,6%) santri aliyah. Tingkat pengetahuan 82,1% santri mengenai pencegahan skabies tergolong kurang, 8,6% tergolong cukup, dan 9,3% tergolong baik. Tingkat pengetahuan santri mengenai pencegahan skabies tidak berhubungan dengan karakteristik demografi santri (usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, jumlah sumber informasi, dan informasi yang paling berkesan).
Saran Tingkat pengetahuan santri pesantren X mengenai pencegahan skabies perlu ditingkatkan dengan memberikan edukasi berupa penyuluhan dengan memperhatikan sebaran jawaban yang paling banyak salah dijawab oleh santri.
Tingkat Pengetahuan..., Ervandy Rangganata, FK UI, 2014
Penyuluhan dapat diberikan ke semua santri tanpa memperhatikan usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, jumlah sumber informasi, dan informasi yang paling berkesan.
Daftar Pustaka 1. Handoko RP. Skabies. Dalam: Djuanda A, Hamzah A, Aisah S, editor. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi 5. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas kedokteran Universitas Indonesia; 2007: 122-24. 2. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ. Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine. 7th edition. New York: Mc Graw Hill; 2008.p.2029-31. 3. Kuspriyanto. Pengaruh Sanitasi dan Higiene Perorangan Terhadap Penyakit. Tesis. Surabaya: Universitas Airlangga; 2002. 4. Ma’rufi. I. 2005. Faktor Sanitasi Lingkungan yang Berperan Terhadap Prevalensi Penyakit Skabies. Jurnal Kesehatan Lingkungan. Vol. 2, No. 1. juli 2005. hal : 11-18. 5. Andayani LS. Perilaku Santri Dalam Upaya Pencegahan Penyakit Skabies di Pondok Pesantren Ulumu Qur’an Stabat. Medan ; 2005. 6. Handajani. 2007. Hubungan Antara Praktik Kebersihan Diri dengan Kejadian Skabies di Pondok Pesantren Nihayatul Amal Waled Kabupaten Cirebon. [cited on: 2 Januari 2010] Available from : http://fkm.undip.ac.id/data/index.php?action=4&idx=3264 7. Asra,Pajri H. Pengaruh Pengetahuan dan Tindakan Higiene Pribadi terhadap Kejadian Penyakit Skabies di Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah Medan. Medan : Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara; 2010. 8. Parsons J. Peran Pesantren dan Cita-Cita Santri Putri:Sebuah Pembandingan Diantara Dua Pondok Pesantren di Jawa. [makalah]. Malang: Universitas Muhammadiyah; 2002. 9. Nugraheni DN. Pengaruh Sikap tentang Kebersihan Terhadap Timbulnya Skabies (Gudik) pada Santriwati di Pondok Pesantren al-Muayyad Surakarta. Skripsi. Surakarta: FIK Universitas Muhammadiyah Surakarta; 2008 10. Angeles RM. A closer look at sarcoptes scabiei. Arch Pathol Lab Med. 2005;129(6):810. 11. Samuel W, Kocan A, Pybus M, Davis J. Parasitic diseases of wild mammals: Iowa State University Press; 2001.
Tingkat Pengetahuan..., Ervandy Rangganata, FK UI, 2014
12. Scabies sarcoptes scabiei [Internet]. Centers for Disease Control & Prevention Center for
for
Global
Health;
[cited
2011
July
9].
Available
from:
http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/HTML/Scabies.htm. 13. Chosidow O. Clinical practices. Scabies. The New England Journal Of Medicine. 2006;354(16):1718-27. 14. Vivier A, McKee P. Atlas of clinical dermatology: Churchill Livingstone; 2002. 15. Shahab RKA, Loo DS. Bullous scabies. J Am Acad Dermatol. 2003;49:346-50. 16. Jekel J. Epidemiology, biostatistics, and preventive medicine: Saunders/Elsevier; 2007 17. Stöppler MC. Is it possible to prevent scabies? [Internet]. E-Medicine; 2009 [updated August
25,
2011;
cited
2011
January
13];
Available
from:
http://www.emedicinehealth.com/script/main/art.asp?articlekey=104988. 18. Sastroasmoro S, Ismael S. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. 3rd ed. Jakarta: Sagung Seto; 2010. 19. Notoatmodjo S. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta; 2010. 20. Meliono I, Hayon YP, Syamtasiah I, Poerbasari AS, Suhartono. Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Terintegrasi Buku Ajar I: Logika, Filsafat Ilmu, dan Pancasila. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2010. 21. Notoadmodjo S., Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta, 2003 22. PGRI. Hubungan antara karakteristik masyarakat dengan rasa ingin tahu mengenai hal baru
[Internet].
[cited
2011
July
22]
Available
from:
www.bumiputera.org/artikel/artikel.php?aid=318;21. 23. Saroh S. Gambaran tingkat pengetahuan santri putri tentang penyakit kulit skabies di Pondok Pesantren Ma'haduttholabah Babakan Lebaksiu Kabupaten Tegal [skripsi]. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; 2010. 24. Rohmawati RN. Hubungan antara faktor pengetahuan dan perilaku dengan kejadian skabies di Pondok Pesantren Al Muayyad Surakarta [skripsi]. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta; 2010. 25. Sudjari, Rofiq A, Rachmatullah MR. Hubungan pengetahuan dan derajat klinis penderita skabies di Pondok Pesantren Darul Hadits, Malang [skripsi]. Malang: Universitas Brawijaya; 2004. 26. Asra HP. Pengaruh pengetahuan dan tindakan higiene pribadi terhadap kejadian penyakit skabies di Pesantren Ar-raudhatul Hasanah Medan [skripsi]. Medan: Universitas Sumatera Utara; 2010.
Tingkat Pengetahuan..., Ervandy Rangganata, FK UI, 2014
27. Rubaiah. Hubungan pengetahuan, sikap, dan praktik usia dini pada santri dengan kejadian skabies di Pondok Pesantren Darul Taufik Muih Kulon Kecamatan Wedung Kabupaten Demak [skripsi]. Semarang: Universitas Muhammadiyah Semarang; 2008. 28. Ubaidilah. Hubungan karakteristik, faktor lingkungan dan perilaku terhadap kejadian skabies di Pondok Pesantren Alqui Oumania Desa Kauman, Kecamatan Jengkulo, Kabupaten Kudus [skripsi]. Semarang: Universitas Muhammadiyah Semarang; 2010. 29. Muzakir. Faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit skabies pada pesantren di Kabupaten Aceh Besar tahun 2007 [skripsi]. Medan: Universitas Sumatera Utara; 2008. 30. Aini N. Hubungan faktor lingkungan dan perilaku santri terhadap prevalensi scabies di pondok pesantren putra "Sidogiri" Kecamatan Kraton - Kabupaten Pasuruan [skripsi]. Malang: University of Muhammadiyah Malang; 2009. 31. Wazir MS, Mehmood S, Ahmed A, Jadoon HR. Awareness among barbers about health hazards associated with their profession. J Ayub Med Coll Abbottabad. 2008;20(2):35-8.
Tingkat Pengetahuan..., Ervandy Rangganata, FK UI, 2014