Tingkat Pengetahuan Mengenai Pengobatan Skabies dan Hubungannya dengan Karakteristik Demografi Santri di Pesantren X, Jakarta Timur Yuniar Sarah Ningtiyas, Saleha Sungkar
Skabies merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi terhadap Sarcoptes scabiei.Prevalensi skabies di pesantren padat penghuni di Jakarta tergolong tinggi (78,7%). Di Jakarta Timur, terdapat pesantren dengan kepadatan santri yang tinggi dan fasilitas sanitasi terbatas sehingga perlu diberikan penyuluhan mengenai skabies sebagai upaya preventif. Agar penyuluhan memberikan hasil yang baik, penyuluhan harus sesuai tingkat pengetahuan dan karakteristik demografi santri. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan mengetahui tingkat pengetahuan santri mengenai pengobatan skabies dan hubungannya dengan karakteristik santri. Penelitian dilakukan di Pesantren X, Jakarta Timur dengan desain cross-sectional. Data diambil tanggal 22 Januari 2011 dengan memberikan kuesioner berisi pertanyaan mengenai pengobatan skabies kepada semua santri. Data diolah dengan program SPSS versi 11,5 dan dianalisis dengan uji chi-square dan Kolmogorov-Smirnov. Hasilnya menunjukkan santri yang memiliki tingkat pengetahuan baik 8 orang (5,7%), cukup 33 orang (23,6%), dan pengetahuan rendah 99 orang (70,7%). Tidak terdapat perbedaan bermakna antara tingkat pengetahuan dengan usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, informasi yang paling berkesan (Kolmogorov-Smirnov, p>0,05), dan jumlah informasi (chi square= 0,895) Disimpulkan tingkat pengetahuan mengenai pengobatan skabies umumnya tergolong rendah dan tidak berhubungan dengan usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, jumlah informasi, dan informasi yang paling berkesan.
Kata kunci: pengobatan skabies, tingkat pengetahuan, karakteristik demografi, pesantren
Latar Belakang Masalah Skabies merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi dari tungan parasit obligat yaitu Sarcoptes scabiei var. hominis. Masyarakat sering menyebut penyakit itu dengan kata gudik, budukan, atau gatal agogo. Diperkirakan lebih dari 300 juta orang di seluruh dunia terinfeksi tungau skabies.1,2
Tingkat Pengetahuan..., Yuniar Sarah Ningtiyas, FK UI, 2012
Skabies dapat menginfeksi semua orang terutama kelompok sosial-ekonomi rendah di daerah pemukiman padat penduduk dengan sanitasi yang buruk. Prevalensi skabies di negara berkembang adalah 6%-27% dan di Indonesia prevalensinya 4,6%-13%.1,2,3,4 Pesantren adalah institusi pendidikan yang menekankan pada nilai-nilai Islam dimana muridnya disebut santri tinggal di asrama. Pada umumnya, kondisi lingkungan asrama padat penghuni dan santri hidup dalam lingkungan dengan higiene dan sanitasi kurang baik sehingga risiko terinfeksi skabies tinggi.3,5 Prevalensi skabies di pesantren padat penghuni di Jakarta adalah 78,7% dan di Kabupaten Pasuruan 66,7%. Prevalensi tersebut lebih tinggi pada kelompok yang higienenya kurang baik yaitu 72,7% dan pada kelompok dengan higiene yang baik prevvalensi skabiesnya hanya 3,8%.3,6 Skabies mengganggu kenyamanan penderita karena menimbulkan gatal yang teramat terutama pada malam hari dan di bagian tubuh tertentu seperti sela-sela jari tangan, di bawah ketiak, pinggang, alat kelamin, sekeliling siku, areola mamae, dan permukaan depan pergelangan tangan. Rasa gatal mengganggu anak dalam belajar karena sulit berkonsentrasi.7,8 Lesi skabies berupa papul, vesikel, dan pustul yang pada keadaan lanjut berupa eksematisasi. Infeksi sekunder dapat mengakibatkan demam dan lesi menjadi sumber infeksi. Pada keadaan lanjut, lesi di tangan mengakibatkan nyeri hebat dan lesi bernanah sehingga santri tidak dapat menulis.1,2 Skabies perlu diberantas dengan melakukan pengobatan massal yang diikuti dengan penyuluhan kesehatan agar santri dapat melakukan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Pengobatan yang tidak diikuti dengan PHBS maka reinfeksi akan terjadi dalam waktu singkat. Di Jakarta Timur, terdapat pondok pesantren padat penghuni dengan santri yang berasal dari golongan sosial-ekonomi rendah. Hilmy melaporkan, prevalensi skabies di pesantren tersebut cukup tinggi yaitu 51,6%. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengobatan massal untuk memberantas skabies. Selanjutnya agar reinfeksi tidak mudah terjadi, santri perlu diberikan penyuluhan mengenai PHBS yang terkait skabies.10
Tingkat Pengetahuan..., Yuniar Sarah Ningtiyas, FK UI, 2012
Agar penyuluhan memberikan hasil sesuai dengan yang diharapkan maka penyuluhan harus diberikan sesuai tingkat pengetahuan santri yang telah dimiliki dan karakteristik demografi mereka. Oleh karena itu, perlu dilakukan survei untuk mengetahui tingkat pengetahuan santri mengenai skabies dan hubungannya dengan karakteristik santri. Cakupan pengetahuan yang perlu diketahui dan dipahami santri adalah penyebab skabies, gejala klinis, pengobatan, penularan, dan pencegahan skabies. Kemudian pada survei ini difokuskan pada tingkat pengetahuan santri mengenai pengobatan skabies di Pesantren X, Jakarta timur dan hubungannya dengan karakteristik demografi santri. Tinjauan Teoritis Skabies Skabies adalah suatu penyakit kulit menular yang menyebabkan kulit gatal dan berwarna kemerahan. Kondisi tersebut disebabkan oleh sensitisasi dan infestasi tungau Sarcoptes Scabiei var Hominis. Tungau penyebab skabies berukuran sangat kecil yaitu sekita 1/3 milimeter dan memiliki kaki sebanyak 8 buah. Tungau skabies menggali lapis demi lapos kulit manusia dan proses itu menyebabkan rasa gatal yang teramat sangat. Karakteristik khusus dari skabies adalah rasa gatal yang dialami penderita cenderung bertambah parah pada malam hari.12,13 Di kalangan masyarakat awam, skabies dikenal dengan kudis, budukan, dan gatal agogo.2 Insidensi skabies di seluruh dunia berfluktuasi disebabkan oleh beberapa faktor yang masih belum diketahui sepenuhnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi antara lain keadaan sosial-ekonomi yang rendah, higiene yang buruk, dan kepadatan penduduk. Di antara faktor – faktor tersebut kepadatan penduduk merupakan faktor terpenting dalam penyebaran skabies. Penelitian yang dilakukan pada tahun 2009 menunjukkan bahwa prevalensi skabies di seluruh dunia mencapai 300 juta setiap tahunnya. 3,4 Menrut Departemen Kesehatan RI, skabies menempati urutan 12 sebagai penyakit kulit yang sering diderita.14Angka prevalensi skabies meningkat pada daerah padat penghuni seperti pesantren. Menurut penelitian yang dilakukan tahun 2002, prevalensi skabies di sebuah pondok pesantren Jakarta mencapai 78,7% dan di Kabupaten Pasuruan mencapai 66,7%. Di pesantren tersebut, prevalensi lebih tinggi
Tingkat Pengetahuan..., Yuniar Sarah Ningtiyas, FK UI, 2012
terdapat pada kelompok dengan higiene kurang baik yaitu 72,7% dan pada kelompok dengan higiene baik prevalensi skabies hanya 3,8%.3,6 Siklus hidup tungau penyebab skabies diawali dengan kopulasi tungau jantan dan betina yang terjadi di atas kulit. Setelah kopulasi, tungau betina akan membuat terowongan-terowongan dengan menggali kulit bagian stratum korneum sembari meletakkan telur-terlurnya dengan kecepatan 2-3 milimeter per hari. Tungau betina dapat bertahan hidup selama satu bulan. Telur yang diletakkan tungau betina setiap harinya sebanyak 2-4 buah dan tungau akan berhenti apabila telur yang diletakkan kira-kira mencapai 40-50 buah. Telur akan menetas setelah 3-5 hari. Telur kemudian akan berkembang menjadi larva dan nimfa. Terdapat perbedaan fase pada nimfa jantan dan betina. Nimfa betina mengalami 2 fase perkembangan dimana pada fase kedua sudah menyerupai dewasa namun alat genitalnya belum terbentuk sempurna. Nimfa jantan hanya mengalami 1 fase perkembangan. Seluruh siklus hidup tungau penyebab skabies, mulai dari telur hingga dewasa memakan waktu 8-12 hari.2,7,8,17 Rasa gatal merupakan gejala utama skabies. Rasa gatal akan memburuk pada malam hari, ketika suhu udara hangat, dan penderita berkeringat. Awitan gatal terjadi 3 sampai 4 minggu setelha infeksi dan bertepatan dengan itu pulan terjadi erupsi papul hasil inflamasi. Awitan dapat semakin cepat apabilal penderita pernah mengalami skabies sebelumnya (reinfeksi). Rasa gatal terjadi akibat sensitisasi kulit terhadap ekskret dan sekret tungau yang dikeluarkan sewaktu permbuatan terowongan.19 Erupsi kulit khas pada skabies berupa terowongan halus sepanjang 2-3 mm, sedikit meninggi, berkelok-kelok, berwarna putih keabu-abuan, dan tampak sedikit bersisik. Terowongan terbentuk akibat aktivitas tungau sambil memakan debris stratum korneum. Tungau juga mampu mengeluarkan sekret yang dapat melisiskan stratum korneum.13 Jalur masuk tungau dapat ditandai dengan adanya sedikit sisi sedangkan bagian distalnya berupa vesikel yang sangat kecil. Dalam membuat terowongan, S. scabiei memilih daerah yang berkulit tipis seperti aksila, umbilikus, areola mammae, pergelangan tangan, sela-sela jari tangan, telapak tangan, dan bahkan pada lakilakii dapat ditemui di organ genitalia. Pada perempuan, terowongan sering ditemukan di telapak tangan sedangkan pada laki-laki jarang sekali. Pola persebaran
Tingkat Pengetahuan..., Yuniar Sarah Ningtiyas, FK UI, 2012
terowongan belum dipahami dengan jelas namun tungau lebih suka kulit berambut sedikit dan are dengan produksi sebum sedikit. Pada bayi dan anak kecil infeksi tungau dapat mengenai seluruh tubuh.13 Lesi skabies dapat berupa papul, vesikel, pustul, dan urtikaria. Eskoriasi, eksematisasi, dan infeksi sekunder akibat garukan membuat gambaran lesi primer menjadi tidak khas lagi. Tingkat keparahan erupsi kulit tergantung pada derajat sensitisasi, lama infeksi, higiene pribadi, dan riwayat pengobatan sebelumnya. pada skabies kronis, kulit dapat mengalami likenifikasi dan hiperpigmentasi.13,19 Penggarukan pada lesi dapat menyebabkan onfeksi bakteri sekunder (impetigo) atau meningkatkan keparahan kondisi kulit seperti eksim atau psoriasis. Ruam pada kulit dapat ditemukan di manapun tanpa perlu bersinggungan terlebih dahulu dengan situs infestasi dari tungau skabies. Meskipun demikian, seringkali rasa gatal berasal dari tempat munculnya ruam pertama kali. Galian tungau yang terdapat di bawah kulit terkadang tampak seperti garis-garis berwarna perak atau hitam sepanjang 1 cm dengan bintik hitam di ujungnya. Penampakan dan keparahan dari skkabies bervariasi pada tiap individu dan reaksi alerginya tergantung respon imun tubuh.7 Rasa gatal yang menyerang anak-anak dapat membuat mereka lelah dan gelisah karena tidurnya terganggu dan akhirnya dapat menyebabkan turunnya nafsu makan. Demam dan limfadenopati dapat terjadi pada infeksi sekunder oleh bakteri. Selain itu, pada keadaan lanjut lesi yang disertai pus di telapak tangan menyebabkan anak tidak dapat menulis. Skabies juga merupakan faktor predisposisi pioderma yang disebabkan oleh Streptococcus dan Staphylococcus.13,19 Meskipun
tungau
skabies
tidak
termasuk
dalam
golongan
insect
tetapi
pengobatannya dilakukan dengan insektisida topikal. Keberhasilan pengobatan bergantung pada kecepatan penanganan karena bisa saja seseorang tidak menunjukkan gejala apapun padahal dia menderita skabies. Rekomendasi pengobatan skabies di tiap negara berbeda bukan karena medical evidence melainkan berdasarkan preferensi tiap dokter, ketersediaan obat, dan biaya obat.7,8 Obat yang sering digunakan untuk pengobatan skabies adalah krim benzyl benzoate dan permetrin. Krim benzyl benzoate (10% atau 25%) merupakan obat lini pertama untuk pengobatan skabies yang sering digunakan di negara berkembang.
Tingkat Pengetahuan..., Yuniar Sarah Ningtiyas, FK UI, 2012
Penggunaan obat harus dilakukan berulang dan dapat menimbulkan efek samping seperti kulit teriritasi, sensasi terbakar, dan sebagainya. Adapun permetrin digunakan sebagai obat lini pertama di daerah Amerika, Inggris, dan Australia karena tingkat toksisitasnya yang rendah. Pemakaian permetrin harus dilakukan ke seluruh tubuh dan dibiarkan selama 8 hingga 12 jam, kemudian dibilas, dan diaplikasikan ulang. Kontraindikasi permetrin antara lain tidak boleh digunakan di kulit yang ada luka atau hal lain yang dapat mengakibatkan infeksi sekunder, bayi usia di bawah 2 bulan tanpa pengawasan, dan orang yang alergi terhadap chrysantemum.7,8 Setelah dilakukan pengobatan, maka pada akhirnya rantai penularan skabies harus diputus. Penularan terutama melalui kontak langsung seperti tidur bersama, eberjabat tangan, dan hubungan seksual. Penularan melalui kontak tidak langsung juga dapat terjadi pada pemakaian handuk, pakaian, atau perlengkapan tidur secara bergantian.Seseorang yang telah terlanjur berkontak dengan penderita skabies harus diobati dengan skabisida topikal. Hal tersebut harus dilakukan untuk mencegah penyebaran skabies lebih lanjut karena saat masa inkubasi penderita skabies seringkali tidak menunjukkan gejala apapun.4,3,7 Pengetahuan Pengetahuan (knowledge) adalah hasil penginderaan seseorang terhadap suatu objek tertentu sehingga menjadi tahu atau dengan kata lain pengetahuan merupakan suatu bentuk dari manusia yang diperolehnya dari pengalaman, perasaan, akal pikiran, dan intuisinya setelah melakukan penginderaan terhadap objek. Penginderaan terjadi melalui indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh dari mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif penting dalam pembentukan tindakan seseorang. Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif memiliki 6 tingkatan yaitu tahu, memahami, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. 24 Karakteristik Terdapat tiga karakteristik yang dijadikan variabel dalam penelitian ini yaitu usia, jenis kelamin, dan tingkat pendidikan. Usia merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi angka kejadian skabies. Kejadian skabies dapat terjadi pada segala
Tingkat Pengetahuan..., Yuniar Sarah Ningtiyas, FK UI, 2012
usia namun lebih sering pada anak-anak. Prevalensi yang tinggi pada anak diakibatkan oleh daya tahan tubuh anak relatif lebih rendah daripada orang dewasa, tingkat higiene pada anak rendah, dan intensitas pertemuan anak-anak dengan teman bermainnya sehingga mempermudah penularan. Jenis kelamin sebenarnya tidak terdapat hubungan signifikan dengan jumlah penderita skabies. Hal tersebut dapat terjadi karena tingkat hygiene dan asupan gizi mereka relatif sama. Adapun mengenai tingkat pendidikan santri yang tinggal di pesantren terdiri atas beberapa tingkat pendidikan antara lain tingkat SMP atau sederajat dan SMA atau sederajat. Penelitian yang dilakukan oleh Nur tentang perbedaan angka kejadian skabies antara kelompok santri berdasarkan lama belajar di pesantren, menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan angka kejadian skabies yang bermakna.24,25,26 Pondok Pesantren HA Timur Jailani, memberi batasan yaitu pondok pesantren terdiri atas dua gabungan kata pondok dan pesantren. Pondok berarti rumah penginapan sedangkan pesantren adalah tempat untuk membina menjadi manusia lebih baik. jadi, dapat disimpulkan bahwa pondok pesantren berarti tempat untuk membina manusia menjadi lebih baik berlandaskan Al Quran dan Al Hadits di mana terdapat pemondokan juga di dalamnya.27 Metode Penelitian Desain penelitian adalah cross-sectional dengan analisis hipotesis menggunakan uji chi-square dan Kolmogorov-Smirnov. Subyek penelitian adalah santri Pesantren X, Jakarta Timur. Penelitian dilakukan di Pondok Pesantren X, Jakarta Timur dan data diambil pada tanggal 22 Januari 2011. Sumber data penelitian ini menggunakan data primer yaitu berupa kuesioner yang telah divalidasi. Data penelitian kemudian diolah menggunakan program SPSS for Windows version 11,5 melalui editing, coding, cleaning, dan entry. Variabel dependen penelitian ini adalah tingkat pengetahuan mengenai pengobatan skabies. Variabel independen penelitian ini adalah karakteristik demografi santri yaitu usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, jumlah informasi paling berkesan, dan variabel perancu adalah keadaan sosial ekonomi dan tingkat pendidikan orang tua. Hasil Penelitian
Tingkat Pengetahuan..., Yuniar Sarah Ningtiyas, FK UI, 2012
Data Umum Penelitian dilakukan di Pesantren X yang terdiri atas Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau setara SMP dan Madrasah Aliyah (MA) atau setara SMA. pesantren itu terletak di Jakarta Timur dengan luas tanah 12 500 m2 dan luas bangunan 7 050 m2. Santri perempuan menginap di ruangan tanpa sekat dengan kapasitas 30 orang sementara santri laki-laki menginap di ruangan bersekat. Santri di Pesantren X memiliki kebiasan dalam pinjam meminjam barang baik perlengkapan tidur maupun perlengkaoan mandi. Data Khusus Pesantren X memiliki 220 santri yang terdiri atas 120 santri madrasah tsanawiyah dan 100 santri madrasah aliyah. Jumlah guru pesantren berjumlah 36 orang dan pengurus pesantren berjumlah 15 orang. Pada akhirnya, santri yang diikutsertakan dalam penelitian sebanyak 154 orang karena sisanya tidak hadir pada saat pengambilan data, namun, karena terdapat beberapa orang yang drop-out maka data yang dapat diolah sebanyak 140 orang dengan rincian santri laku-laki 81 orang (57,9%) dan jumlah santri perempuan 59 orang (42,1%) dengan rentang usia ≤15 tahun sebanyak 80 orang (57,1%) dan >15 tahun sebanyak 60 orang (42,9%). Selain itu,, lebih
dominan
santri
dengan
pendidikan
tsanawiyah
yakni,
72
orang
(51,4%)
dibandingankan santri aliyah yakni, 68 orang (48,6%). Pada Tabel 4.2.1 dapat dilihat bahwa santri paling banyak mendapatkan informasi dari 2 sumber informasi (35%) yang diikuti oleh 3 sumber informasi (27,9%).
Tingkat Pengetahuan..., Yuniar Sarah Ningtiyas, FK UI, 2012
Tabel 4.2.2 menunujukkan bahwa sumber informasi paling berkesan berasal dari dokter(48,6%). Setelah itu diikuti dengan informasi dari teman (17,9%) dan guru (15%).
Pada uji chi-square didapatkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna antara tingkat pengetahuan mengenai pengobatan skabies dengan jumlah sumber informasi. Uji Kolmogorov-Smirnov memberikan hasil bahwa tidak ada perbedaan bermakna (p>0,05) antara tingkat pengetahuan mengenai pengobatan skabies dengan usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan sumber informasi yang paling berkesan (Tabel 4.2.3).
Tingkat Pengetahuan..., Yuniar Sarah Ningtiyas, FK UI, 2012
Tabel 4.2.4 menunjukkan sebaran responden berdasarkan skkor pada soal mengenai pengobatan skabies di nomor 11-15. Hasil menunjukkan bahwa hanya pada soal nomor 15 sebagian besar responden mendapatkan skor paling tinggi (skor 5), yakni sebesar 57,9%. Hal yang sebaliknya terjadi pada nomor 14, yang merupakan soal dimana responden paling banyak salah menjawab pertanyaan (skor 0), yakni sebesar 77,1%.
Tingkat Pengetahuan..., Yuniar Sarah Ningtiyas, FK UI, 2012
Diskusi Pengetahuan memiliki peran penting dalam membentuk tindakan seseorang. Penerimaan perilaku yang berdasarkan pegetahun, kesadaran, dan sikan yang positif akan bersifat langgeng. Sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan berlangsung lama. Tingkat pengetahuan yang dikaji dalam penelitian ini adalah pengetahuan santri mengenai pengobatan skabies meliputi pentingnya pengobatan, obat yang digunakan, pengobatan yang benar, dan cara penggunaan obat. Berdasarkan penelitian, hanya 5,7% responden yang punya pengetahuan baik dan 23,6% punya pengetahuan cukup sedangkan sebagian besar mempunyai pengetahuan kurang yaitu 70,7%. Rendahnya tingkat pengetahuan disebabkan santri tidak mendapat mata pelajaran
Tingkat Pengetahuan..., Yuniar Sarah Ningtiyas, FK UI, 2012
biologi, tingkat ekonomi, dan higienitas yang rendah. Hasil penelitian ini sesuai dengan laporan Saroh29 yang menyatakan bahwa santri puteri di pesantren Kabupaten Tegal memiliki pengetahuan kurang mengenai skabies (61,8%).28 Secara umum, tingkat pengetahuan seseorang berhubungan dengan usia. Semakin bertambah usi seseorang semakin bertambah pula pengetahuannya karena terdapat perkembangan daya tangkap dan pola pikir seseorang. Ubaidillah melaporkan bahwa terdapat hubungan antara usia seseorang dengan kejadian skabies. Pada kenyataannya, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan santri tidak berhubungan dengan usia. Hal tersebut diakibatkan santri tinggal di lingkungan yang sama sehingga pergaulannya terbatas di lingkungan tersebut.30,31 Pada umumnya perempuan lebih banyak berbicara dan bertukar pikiran dengan teman-temannya. Selain itu, perempuan lebih banyak mendapatkan informasi baik dari media elektronik maupun media cetak sehingga diharapkan pengetahuan perempuan mengenai pengobatan skabies lebih baik dari laki-laki. Pada kenyataannya, hasil penelitian ini menunjukkan tingkat pengetahuan mengenai pengobatam skabies tidak berhubungan dengan jenis kelamin disebabkan baik santri laki-laki maupun perempuan sama-sama tinggal di pesantren dengan aktivitas dan sumber informasi yang sama. Hasil penelitian ini bertentangan dengan hasil penelitian Ardaniati yang melaporkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara jenis kelamin dan angka kejadian skabies. Berdasarkan hasil tersebut, jika akan memberikan penyuluhan kesehatan mengenai pengobatan, penyuluhan perlu diberikan secara merata tanpa mempertimbangkan faktor jenis kelamin.32 Tingkat pendidikan seseorang berbanding lurus dengan pengetahuannya. Hal ini disebabkan pendidikan dapat menambah wawasan dan membentuk pola pikir yang lebih dewasa. Pada penelitian ini, hal tersebut tidak berlaku karena tingkat pengetahuan mengenai pengobatan skabies pada murid tsanawiyah lebih tinggi dibandingkan dengan aliyah. Pada uji Kolomogorov-smirnov juga ditemui hasil yang tidak berbeda bermakna hal tersebut berarti bahwa tingkat pengetahuan responden tidak berhubungan dengan tingkat pendidikan. Tidak adanya hubungan bermakna karena santri hidup di lingkungan yang sama dan bersekolah di tempat yang sama pula dimana tidak terdapat pelajaran mengenai skabies. Hasi penelitian ini bertentangan dengan penelitian Ubaidillah31 yang dilakukan di sebuah pesantren
Tingkat Pengetahuan..., Yuniar Sarah Ningtiyas, FK UI, 2012
Kudus, Jawa Tengah. Berdasarkan laporan Ubaidillah terdapat hubungan bermakna antara tingkat pendidikan dengan kejadian skabies. Uji hipotesis yang selanjutnya dibahas adalah mengenai jumlah informasi. Jumlah informasi yang diterima seseorang tentunya berpengaruh terhadap tingkat pengetahuaannya. Ketika seseorang menerima banyak informasi maka informasi yang dimiliki juga banyak. Marini (dikutip Sari33) menyatakan bahwa semakin banyak jumlah informasi yang diterima oleh seseorang melalui berbagai media maka pengetahuan yang dimiiki juga cenderung lebih baik. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan paparan teori yang telah dipaparkan di atas. Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh berbagai hal misalnya jumlah informasi yang banyak tidak dibarengi dengan kualitas yang memadai sehingga informasi yang diperoleh juga kurang valid. Uji hipotesis yang terakhir berkenaan dengan informasi paling berkesan. Informasi yang paling berkesan penting untuk mendapat perhatian karena pada umumnya orang yang mendapatkan informasi dari sumber yang berkesan memiliki kecenderungan untuk memahami dan mengingat kembali informasi dengan lebih mudah. Penelitian yang dilakukan Wazir et al34 pada tukang cukur rambut menunjukkan bahwa dari 78% tukang cukur memiliki akses televisi dan 69% diantaranya memiliki pengetahuan mengenai bahay kesehatan yang berkaitan dengan profesi salah satunya adalah skabies. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa sumber informasi yang paling berkesan bagi responden adalah dokter. Hasil uji Kolomogrov smirnov menunjukkan tidak terdapat hubungan bermakna antara sumber informasi paling berkesan dengan tingkat pengetahuan responden mengenai pengobatan skabies. Informasi dari dokter paling berkesan namun tidak dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan santri kemungkinan karena frekuensi pemberian informasi dari dokter yang jarang, hanya satu kali setiap bulannya. Kesimpulan Karakteristik demografi santri Pesantren X, Jakarta Timur adalah 81 orang (57,9%) laki-laki, 59 orang (42,1%) perempuan, 72 orang (51,4%) murid tsanawiyah dan 68 orang (48,6%) murid aliyah. Di Pesantren X, 99 santri (70,7%) memiliki tingkat pengetahuan mengenai pengobatan skabies yang rendah, 33 santri (23,6%) cukup, dan 8 santri (5,7%) baik. Tingkat pengetahuan santri mengenai pengobatan skabies
Tingkat Pengetahuan..., Yuniar Sarah Ningtiyas, FK UI, 2012
tidak berhubungan dengan usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, jumlah sumber informasi, dan informasi yang paling berkesan. Saran Tingkat pengetahuan santri Pesantren X mengenai pengobatan skabies perlu ditingkatkan lagi dengan cara memberikan edukasi berupa penyuluhan dengan memperhatikan jawaban yang mayoritas sala pada kuesioner. Edukasi diberikan kepada semua santri tanpa terkecuali. Daftar Pustaka 1. Stone SP, Goldfarb JN, Bacelieri RE. Scabies, other mites, and Pediculosis. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 7th edition. New York: Mc Graw Hill; 2008.p.2029-33. 2. Handoko RP. Skabies. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editor. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi kelima. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2009.p.122-5. 3. Kuspriyanto. Pengaruh sanitasi dan higiene perorangan terhadap penyakit [tesis]. Surabaya: Universitas Airlangga; 2002. 4. Burkhart CG. Scabies: an epidemiologic reassesment. Ann lntern Med 1983; 98: 498-503. 5. Nugraheni DN. Pengaruh sikap tentang kebersihan terhadap timbulnya skabies (gudik) pada santriwati di Pondok Pesantren al-Muayyad Surakarta. Skripsi. Surakarta: FIK Universitas Muhammadiyah Surakarta; 2008 6. Parsons J. Peran pesantren dan cita-cita santri putri: sebuah pembandingan diantara dua pondok pesantren di Jawa. [makalah]. Malang: Universitas Muhammadiyah; 2002. 7. Gould D. Prevention, control and treatment of scabies. Nursing Standard (2010, Nov 3), [cited April 12, 2011]; 25(9): 42-46. Available from: CINAHL Plus with Full Text. 8. Heukelbach J, Feldmeier H. Scabies. Lancet. (2006, May 27), [cited April 12, 2011]; 367(9524): 1767-1774. Available from: MEDLINE with Full Text. 9. WHO.
Prevention
and
control
of
schistomiasis
and
helminthiasis. Geneva: World Health Organization; 2002.
Tingkat Pengetahuan..., Yuniar Sarah Ningtiyas, FK UI, 2012
soil-transmitted
10. Mosby’s Medical, Nursing and Allied Health Dictionary, Fourth Edition, MosbyYear Book Inc. 1994. 11. James WD, Berger TG, Elston DM. Andrew’s Disease of The Skin: Clinical Dermatology. 10th edition. Canada: Elsevier; 2006.p.452-3. 12. Burns DA. Disease caused by arthropoda and other noxious animals. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, editor. Rook’s Text Book of Dermatology. 8th edition. Oxford: Wiley-Blackwell; 2010.p.36-46 13. Harahap M. Penyakit kulit dan kelamin di Indonesia. Maj Kedokt Indon. 1987.p.403-10. 14. Rockoff A, Stoppler M. Scabies. Medicinenet. Available at: www.medicenet.com (cited: April 11, 2011) 15. Taplin D, Meinking T. Scabies infestations. In: Schacher LA, Hansen RC editor. Pediatric dermatology. New York: Churcill Livingstone;1988.p.1487-501. 16. Mellanby K. Biology of the parasite. In: Orkin M, Maibach, Parish, Schwartzman, editors. Scabies and pediculosis. Philadelphia: JB Lippincott;1977.p.8-16. 17. Soedarto M. Skabies. Dalam: Daili SF, Makes WIB, Zubier F, Judanarso J, editor. Penyakit menular seksual. Edisi II. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2001.p.162-7. 18. Hicks MI, Elston DM. Scabies. Dermatologic Therapy, Vol.22; 2009.p.279-292. 19. McCroskey. Emergency Department Care. Scabies in Emergency Medicine Treatment & Management. 2010. Available at: www.emedicine.medscape.com (cited: April 13, 2011) 20. Falk Es, ThorseyE. HLA Antigens in Patients with Scabies. British Jurnal Dermatology;1981.p.317 21. Arlian LG. Diagnosis and treatment of scabies. BMJ. 1967;223-5. 22. Kusmarinah, Aisah S. Skabies. MDVI. 1985;33:20-7. 23. Notoatmodjo S. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta: Bineka Cipta; 2003.p.128-30 24. Atmaprawira MU. Penelitian Skabies pada Pesantren di Jakarta Timur. Tesis. Jakarta: Universitas Indonesia;1982. 25. Ma’rufi I, Keman S, Notobroto HB. Faktor Sanitasi Lingkungan yang Berperan terhadap Prevalensi Penyakit Skabies. Jurnal Kesehatan Lingkungan vol. 2, no. 1; 2005.p.11-8.
Tingkat Pengetahuan..., Yuniar Sarah Ningtiyas, FK UI, 2012
26. Walsh M. Pondok pesantren dan golongan ajaran Islam ekstrim. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang; 2002. 27. Andayani LS. Perilaku Santri Dalam Upaya Pencegahan Penyakit Skabies di Pondok Pesantren Ulumu Qur’an Stabat. Medan: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara; 2009.p.172-7. 28. Notoatmodjo S. Prinsip-prinsip dasar ilmu kesehatan Masyarakat. Cetakan kedua. Jakarta: Rineke Cipta; Mei 2003. 29. Saroh S. Gambaran tingkat pengetahuan santri putri tentang penyakit kulit skabis di Pondok Pesantren Ma’haduttholabah Babakan Lebaksiu Kabupaten Tegal. Skripsi. Jakarta: FKUI UIN Sayrif Hidayatullah. 2010. 30. Meliono I, et al Modul pengembangan kepribadian terintegasi 1. Jakarta: Lembaga Penerbitan FEUI; 2007. 31. Ubaidillah. Hubungan karakteristik ,faktor lingkungan, dan prilaku terhadap kejadian skabies di pondok Pesantren Alqui Oumanian Desa Kauman, Kecamatan Jengkulo Kabupaten Kudus .[Ungraduate thesis]. Semarang: Universitas Muhammadiyah Semarang; 2010. 32. Ardaniati. Faktor risiko kejadian penyakit skabies di Pondok Pesantren AlLuqamaniyah Kota Yogyakarta [thesis]. Yogyakarta: Universitas Ahmad Dahlan; 2010. 33. Sari A. Tingkat pengetahuan ibu rumah tangga yang telah mendapatkan penyuluhan mengenai gejala DBD di Paseban Timur, Jakarta Pusat [skripsi]. Jakarta: Universitas Indonesia; 2010. 34. Wazir MS, Mehmood S, Ahmed A, Jadoon HR. Awareness among barbers about health hazardss associated with their profession. J Ayub Medd Coll Abbottabad. 2008;20(2).
Tingkat Pengetahuan..., Yuniar Sarah Ningtiyas, FK UI, 2012