Prevalensi Anemia dan Hubungannya dengan Status Gizi pada Santri Usia 13-18 Tahun di Pesantren X Tahun 2011 Deon Raditya Hibbattino1, Saptawati Bardosono2 2.
1. Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia. Departemen Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RSCM, Jakarta, Indonesia. E-mail:
[email protected]
Abstrak Anemia merupakan salah satu sindrom yang menjadi salah satu masalah kesehatan yang paling umum di dunia. Anemia dapat terjadi pada setiap orang termasuk remaja usia 13-18 tahun. Salah satu kelompok masyarakat yang rentan terhadap anemia adalah santri pondok pesantren. Masalah pola makan sering dijumpai sehingga dapat mempengaruhi status gizi santri tersebut. Penelitian ini merupakan studi cross sectional dengan menggunakan pengukuran indeks massa tubuh dan kadar hemoglobin dalam darah dari santri Pesantren X tahun 2011. Pengukuran indeks massa tubuh dikonversi menjadi status gizi berdasar acuan standar antropometri penilaian status gizi anak Kementerian Kesehatan Indonesia, sedangkan kadar hemoglobin akan dikonversi menjadi status anemia menggunakan batasan anemia dari WHO. Dari penelitian didapatkan prevalensi anemia sebesar 25,5% dengan tingkat prevalensi pada status gizi baik sebesar 16% dan prevalensi anemia pada gizi lebih sebesar 9,5%. Data dianalisis dengan menggunakan uji chi-square. Hasil penelitian menunjukkan nilai kemaknaan p=0,397. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara status gizi dengan terjadinya anemia pada santri pesantren tersebut.
Abstract Anaemia is a syndrome which occur wideworld and become one of the common health problem around the world. Everyone can suffer anaemia include adolescent aged at 13-18 years old. One of the society member whose at risk to develop anaemia is students of pesantren, they tend to ignore their needs include the needs to eat healthy food. This problem can influence their nutritional status. This study is a cross-sectional study using measurement of body mass index and the concentration of haemoglobin in blood from student of Pesantren X in 2011. The measurement of body mass index will be converted to nutritional status based on anthropometric assessment of child nutrition standards of Indonesian Ministry of Health, while the concentration of haemoglobin in blood will be converted to anaemic status according to WHO cut-off point. Result show that 25.5% subjects with anaemia and 16% subjects with anaemia have good nutritional status while 9.5% subjects with anaemia have excess nutritional status. Data is analyzed with chi-square and obtained p=0.397 which means that the relationship between nutritional status and anaemia prevalence in the student of pesantren doesnt have a significant means. Keywords : anaemia; nutritional status; body-mass index; student.
Pendahuluan Anemia merupakan masalah kesehatan yang paling banyak terjadi di dunia, terutama pada negara berkembang. Berdasarkan riset dari Departemen Kesehatan prevalensi anemia pada usia sekolah sebesar 37%. Di Indonesia prevalensi anemia pada remaja putri usia 15-19 tahun mencapai 26,5%. Anemia pada anak dan remaja pada usia sekolah merupakan masalah kesehatan yang dapat mempengaruhi peningkatan risiko penurunan konsentrasi belajar, kemampuan memahami pelajaran yang rendah, resiko tinggi tertular penyakit infeksi, hingga
Prevalensi anemia…, Deon Raditya Hibbattino, FK UI, 2014
depresi emosional karena turunnya kadar ferritin. Penyebab anemia paling sering adalah defisiensi zat besi yang mencakup 50% dari sema kasus anemia. Penyebab lain meliputi infeksi malaria, infeksi cacing tambang, asupan nutrisi laing yang tidak adekuat meliputi vitamin A, C, B2, B12, dan asam folat.1,2,3,4,5,6 Angka kejadian anemia yang tinggi dalam masyarakat meliputi kelompok santri dalam lingkup pondok pesantren. Santri rentan terkena anemia karena pola hidup dalam pesantren yang cenderung padat membuat pola makan yang tidak teratur. Asupan makanan menjadi tidak adekuat dan berujung pada defisiensi nutrisi, baik vitamin, mineral, dan asupan energi. Postur tubuh santri pesantren cenderung terlihat kurus. Selain itu asupan gizi yang tidak adekuat ini dapat menimbulkan masalah kesehatan, salah satunya adalah anemia.7,8
Tinjauan Teoritis Anemia Anemia pada remaja didefinisikan sebagai kadar hemoglobin pada eserum darah yang lebih rendah dari 12 g/dL. Kondisi ini menyebabkan kemampuan sel darah merah untuk mengangkut oksigen menuju jaringan tidak mencukupi kebutuhan fisiologis tubuh. Anemia dapat menjadi simptom dari berbagai penyakit dan kelainan. Mekanisme anemia meliputi (1) berkurangnya jumlah total sel darah merah dalam tubuh, (2) berkurangnya kuantitas hemoglobin pada sel darah merah, (3) kombinasi keduanya, dan (4) penurunan volume sel darah merah dalam darah.9,10 Anemia tidak mempunyai gejala khusus pada penderitanya. Kelelahan, konsentrasi rendah, napas pendek, sering pusing, detak jantung cepat, dan kesemutan pada ekstremitas merupakan gejala umum yang kadang terjadi. Tidak ada faktor khusus yang menyebabkan anemia, namun 50% kasus anemia merupakan anemia defisiensi besi yang disebabkan oleh kekurangan zat besi. Anemia merupakan indikator baik untuk gizi buruk dan kesehatan bruk karena banyak faktor yang dapat memicu anemia dan sebagian besar merupakan pengaruh lingkungan. Penyebab anemia meliputi faktor genetis, defisiensi mineral, metabolisme tubuh yang abnormal, dan infeksi mikroorganisme.11,12 Anemia dapat disebabkan oleh kelainan hereditas yang menyangkut masalah genetik maupun adanya mutasi pada gen. Kelainan genetik yang dapat menyebabkan anemia antara lain sickle cell anemia dan thalassemia.13,14
Prevalensi anemia…, Deon Raditya Hibbattino, FK UI, 2014
Tipe anemia Terdapat beberapa macam cara untuk mengklasifikasikan anemia dikarenakan banyaknya penyebab anemia atau penyakit yang ditandai gejalanya oleh anemia. Berdasar mekanismenya, anemia dapat dibagi menjadi tiga, yaitu anemia karena kehilangan darah, anemia hemolitik, dan anemia yang disebabkan kelainan pada produksi sel darah merah. Anemia karena kehilangan darah disebabkan karena adanya volume darah yang hilang dari dalam tubuh akibat pendarahan dan menyebabkan volume intravaskular turun. Dapat dibagi menjadi dua macam berdasar onset terjadinya, yaitu anemia kehilangan darah akut dan anemia kehilangan darah kronis. Tanda yang tampak dapat berupa pingsan, syok, hingga kematian. Pada individu yang kehilangan darah, komponen darah seperti sel darah merah, leukosit, dan trombosit tidak bisa secara cepat diganti oleh tubuh namun volume darah dapat kembali dengan cadangan cairan interstitial tubuh. Anemia kehilangan darah akut dapat diatasi oleh tubuh dengan sekresi eritropoetin dari ginjal karena rangsangan dari penurunan O2 ke ginjal. Pada anemia kehilangan darah kronis tubuh terkadang beradaptasi sehingga tidak muncul gejala meski kadar hemoglobin dalam tubuh berkurang. Salah satu penyebab anemia kehilangan darah kronis karena infeksi cacing tambang jenis Ancylostoma duodenale dan Necator americanus yang dapat menyebabkan kehilangan darah hingga 150 cc per hari.15,16 Anemia hemolitik disebabkan oleh jangka hidup sel darah merah yang abnormal dan ketidakmampuan tubuh mengganti jumlah sel darah merah yang mengalami kerusakan prematur tersebut. Anemia hemolitik meliputi sickle cell anemia, anemia akibat infeksi malaria, dan trauma sel darah merah. Pada sickle cell anemia terdapat keabnormalan bentuk sel darah merah karena defek genetik yang menyebabkan sel darah merah rapuh dan mudah pecah. Sedangkan infeksi malaria akan menyebabkan penghancuran sel darah merah oleh Plasmodium. Anemia hemolitik karena trauma sel darah merah disebabkan oleh faktor mekanik seperti penyempitan dan hambatan dalam pembuuh darah kecil menyebabkan deformasi dari sel darah merah tersebut.14,17,18 Anemia yang disebabkan karena produksi sel darah merah yang tidak mencukupi kebutuhan tubuh berdassarkan kurangnya asupan nutrisi dan ketidakmampuan tubuh memproduksi sel darah merah dapat berupa anemia megaloblastik, anemia pernisiosa, anemia karena kekurangan zat besi. Anemia pernisiosa dan anemia kekurangan zat besi masing-masing disebabkan oleh kurangnya asupan vitamin B12, dan zat besi. Kekurangan vitamin B12 yang diikuti dengan defisiensi asam folat akan menyebabkan anemia megaloblastik dimana jumlah sel darah merah menyusut namun sel prekursornya bertambah karena terjadi hambatan
Prevalensi anemia…, Deon Raditya Hibbattino, FK UI, 2014
pematangan sel darah merah. Sel darah merah yang diproduksi mempunyai ukuran yang lebih besar dan bentuk oval. Diagnosa anemia Diagnosa terhadap anemia berdasarkan oengukuran terhadap kadar hemoglobin dalam darah menggunakan kriteria dari WHO. Penderita anemia pada remaja ditentukan berdasar nilai hemoglobin yang lebih rendah daripada 12 gr/dL. Gejala lain yang dapat diamati pada penderita anemia meliputi kelelahan dimana penderita mengeluh mudah lelah, pucat, pusing, pandangan berkunang-kunang, penurunan kapasitas aktivitas sehari-hari, dan pingsan mendadak. Tanda lain berupa koilonychia dan cheilosis pada ujung kuku yang merupakan tanda defisiensi besi di jaringan.15,19 Status gizi Penentuan status gizi dapat dinilai melalui tiga kriteria. Yang pertama adalah penilaian asupan makanan. Penilaian ini dengan melakukan dokumentasi terhadap konsumsi makanan dari responden untuk mengetahui jumlah makanan dan nilai gizi yang terkandung didalamnya. Beberapa instrumen yang dapat digunkan untuk melakukan penilaian tersebut adalah dietray recall, dietary records, food frequency questioners (FFQ), dan brief dietary assessment instrument. Penilaian kedua dengan menggunakan penilaian biologis yaitu dengan melihat kadar kandungan nutrisi dalam tubuh. Penilaian asupan jangka pendek dapat dinilai dari kandungan zat dalam urin, napas, dan plasma darah. Penilaian asupan jangka menengah dapat dinilai dari sel darah merah untuk mengetahui kadar hemoglobin. Sedangkan penilaian asupan jangka panjang dapat diperiksa dalam kuku kaki asam lemak, jaringan adiposa, dan retinol dalam hati. Penilaian ketiga berdasar pengukuran antropometri meliputi pengukuran lingkar tubuh, penimbangan berat badan, pengukuran tinggi badan, dan pengukuran komposisi tubuh. Pengukuran yang sering digunakan adalah mengukur indeks massa tubuh (IMT) berdasar tinggi badan dan berat badan. Nilai IMT tersebut kemudian dibandingkan dengan nilai standar untuk melihat status gizinya. Pada anak, IMT dapat dikonversi menjadi nilai z-score yang kemudian dapat digunakan untuk menentukan status gizi berdasar umur dan jenis kelamin.19
Prevalensi anemia…, Deon Raditya Hibbattino, FK UI, 2014
Status gizi dan anemia Pada usia remaja, merupakan saat dimana pertumbuhan dan perkembangan berlangsung cepat. Pada waktu ini perlu ada asupan nutrisi yang adekuat agar tidak terjadi malnutrisi baik kelebihan maupunn defisiensi nutrisi pada anak. Status gizi anak yang dapat dinilai dengan IMT sebagai patokan untuk menilai apakah anak tersebut mempunyai gizi baik, berlebih, atau kurang. Kebutuhan nutrisi pada usia remaja meliputi makronutrisi dan mikronutrisi. Salah satu mikronutrisi yang harus tercukupi adalah besi (Fe) yang meningkat dengan meningkatnya massa tubuh, volume darah, danmenstruasi pada perempuan. Defisiensi Fe sendiri akan dapat mempengaruhi metabolisme, imunitas, dan kognitif pada remaja. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan kadar ferritin yang rendah pada remaja dengan status gizi berlebih dan obesitas dibanding pada remaja dengan status gizi normal.18
Metode Penelitian Penelitian menggunakan desain cross-sectional untuk mengetahui prevalensi anemia dan hubungannya dengan status gizi pada santri usia 13-18 tahun di pesantren. Pengambilan data dilakukan di Pesantren X, Jakarta Timur pada tanggal 22 Januari 2011. Subjek penelitian ini adalah santri laki-laki dan perempuan Pesantren X berusia 13-18 tahun yang mengisi blanko food records dan melakukan pengukuran antropometri dan kadar Hb. Data diambil melalui data pengukuran antropometri dan data pengukuran kadar Hb. Data antropometri digunakan untuk menetapkan IMT. IMT kemudian diubah menjadi z-score untuk menghitung status gizi menggunakan standar antropometri Depkes 2010 dan dibagi menjadi status gizi lebih, baik, dan kurang. Data kadar Hb diubah menjadi status anemia berdasar WHO berupa anemia dan normal. Data yang telah terkumpul kemudian diolah menggunakan program SPSS 11,5 dan dianalisa menggunakan uji bivariate chi-square untuk melihat hubungan antara variabel-variabel yang diobservasi.
Prevalensi anemia…, Deon Raditya Hibbattino, FK UI, 2014
Hasil Penelitian Tabel 1. Karakteristik Subyek Berdasarkan Kelompok Usia dan Jenis Kelamin Variabel
Kategori
Jumlah
Persentase (%)
Usia
13 - 15 tahun
86
62,8
15 - 18 tahun
51
37,2
Laki-laki
83
60,6
Perempuan
54
39,4
Jenis kelamin
Populasi subyek dari penelitian ini merupakan santri laki-laki dan perempuan yang mengikuti pengukuran antropometri dan pengukuran kadar Hb. Total terdapat 155 santri yang mengikuti pengukuran antropometri dan kadar Hb, namun 18 diantaranya harus dikeluarkan karena tidak memenuhi kriteria yaitu tidak berada pada rentang usia 13-18 tahun sehingga terdapat 137 subyek yang menjadi data penelitian. Karakteristik subyek penelitian dapat dilihat pada tabel 1, dimana subyek laki-laki lebih dominan (60,6%) dan jumlah subyek dalam rentang usia 13-15 tahun (62,8%) lebih besar dari rentang usia 15-18 tahun (37,2%). Dari 83 subyek laki-laki 62 (74,7%) memiliki gizi baik, 17 (20,5%) memilki gizi lebih, dan hanya 4 (4,8%) yang memiliki status gizi kurang. Pada perempuan didapati 33 (61,1%) memiliki status gizi baik, 21 (38,9%) memiliki status gizi lebih, dan tidak ada yang termasuk status gizi kurang dari total 54 anak perempuan. Tabel 2. Sebaran Subyek Berdasar Status Gizi dengan Kelompok Usia dan Jenis Kelamin Status Gizi Gizi Kurang N
%
Gizi Baik
Gizi Lebih
N
%
N
%
Usia: 13-15
1
1,2
57
66,3
28
32,6
16-18
3
5,9
38
74,5
10
19,6
Laki-laki
4
4,8
62
74,7
17
20,5
Perempuan
-
-
33
61,1
21
38,9
Jenis Kelamin
Tabel 3. Sebaran Subyek Berdasar Status Hemoglobin
Prevalensi anemia…, Deon Raditya Hibbattino, FK UI, 2014
Variabel
Kategori
Status Anemia
Jumlah
Persentase (%)
Hemoglobin (g/dL) Rerata
SD
Anemia
35
25,5
11,10
0,89
Normal
102
74,5
13,75
1,11
Prevalensi anemia terdapat pada 35 dari 137 (25,5%) subyek penelitian. Jika memperhatikan jenis kelamin subyek maka prevalensi anemia lebih banyak terjadi pada subyek perempuan (20,4%) daripada pada subyek laki-laki (4,1%). Tabel 4. Hubungan Antara Prevelensi Anemia dengan Status Gizi Status Anemia Variabel Status gizi
Kategori Lebih
1
Baik Kurang 1
1
Anemia
Tidak
p
Uji
0,397
Chi square
Anemia
13
73
22
25
-
4
data digabung dalam proses analisa menggunakan uji chi square
Hubungan antara prevalensi anemia dengan status gizi pada subyek penelitian dapat dilihat pada tabel 4. Uji chi-square menghasilkan nilai p sebesar 0,397. Hasi nilai p>0,05 menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara prevalensi anemia dan status gizi pada santri pondok pesantren.
Pembahasan Karakteristik subyek dalam penelitian ini lebih banyak berada dalam rentang usia 13 – 15 tahun sebanyak 62,8 persen dibanding dengan rentang usia 15 – 18 tahun sebanyak 37,2 persen. Responden laki-laki mempunyai jumlah yang lebih besar, yaitu 60,6 persen dibanding dengan responden perempuan yang hanya sebesar 39,4 persen. Sebaran ini menunjukkan kecenderungan yang sama dengan sebaran penduduk Indonesia dimana jumlah laki-laki lebih banyak dari jumlah perempuan, namun demikian persentase yang ditunjukkan dalam tabel 4.1 cukup berbeda dengan persentase sebaran penduduk Indonesia dimana penduduk laki laki sebesar 50,3 persen dan penduduk perempuan sebessar 49,7 persen. Hal ini mungkin
Prevalensi anemia…, Deon Raditya Hibbattino, FK UI, 2014
disebabkan karena lokasi penelitian adalah sebuah pesantren yang memiliki kecenderungan mempunyai santri laki-laki lebih banyak dari santri perempuan.7,21 Pada penelitian ini didapatkan status gizi dari santri, sebesar 72,2 persen adalah normal yaitu berada pada rentang gizi baik berdasar pada nilai z-score Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak Menkes tahun 2010.29 Status gizi kurang hanya didapati pada satu santri (1,1 persen), dan sisanya mempunyai status gizi berlebih sebanyak 26,7 persen yang dikategorikan sebagai gemuk hingga obesitas. Prevalensi status gizi lebih yang sebesar 26,7 persen ini lebih tinggi dibandingkan dengan prevalensi obesitas nasional tahun 2010 yaitu sebesar 21,7 persen.22 Status gizi lebih terutama pada remaja merupakan salah satu masalah gizi yang sekarang dihadapi di Indonesia. Transisi pola makan anak usia sekolah dari makanan tradisional menjadi pola makan barat dikarenakan adanya kemajuan bidang teknologi dan peningkatan ekonomi menjadi hal umum di masyarakat perkotaan. Kelebihan frekuensi makan makanan utama dan kelebihan asupan energi merupakan faktor risiko dengan kejadian obesitas. Selain itu pada remaja dengan aktivitas fisik yang rendah juga ditemukan kecenderungan mengalami obesitas. Hal ini dapat dibandingkan dimana pada remaja obesitas asupan energi, protein, dan lemak lebih tinggi dari remaja yang tidak obesitas.24,25 Status anemia ditetapkan menggunakan pengukuran kadar hemoglobin dalam darah (g/dL). Anemia ditentukan oleh kadar hemoglobin yang kurang dari 12 g/dL berdasarkan cut-point dari WHO. Prevalensi anemia sebesar 25,5 persen dari seluruh populasi sampel dengan ratarata kadar hemoglobin pada kelompok ini 11,10 g/dL. Prevalensi ini mendekati prevalensi anemia di dunia antara tahun 1993 hingga 2005 yang sebesar 24,8 persen. Prevalensi ini lebih tinggi dari prevalensi anemia pada remaja di daerah DKI Jakarta sebesar 14,2 persen.11,26 Hasil analisis statistik menggunakan uji chi-square antara status gizi dan hubungannya dengan anemia yang dialami oleh santri menunjukkan bahwa p>0,05 sehingga tidak ada hubungan bermakna antara status gizi dengan prevalensi anemia pada santri di pesantren X. Hal ini menunjukkan bahwa status gizi tidak memiliki kontribusi yang signifikan terhadap terjadinya anemia, sehingga baik pada remaja dengan status gizi kurang, baik, atau lebih memiliki risiko yang sama menderita anemia. Hasil dari kedua analisa yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan bermakna antara status gizi dengan prevalensi anemia juga didapatkan pada penelitian oleh Yulianasari.27 Dimana pada penelitian ini status gizi yang diukur berdasar IMT tidak mendapatkan hubungan bermakna dengan kadar hemoglobin pada remaja. Pada penelitian ini juga didapati sebaran anemia lebih banyak terdapat pada status gizi baik dibanding dengan status gizi lainnya. Hal ini disebabkan karena adanya faktor lain
Prevalensi anemia…, Deon Raditya Hibbattino, FK UI, 2014
yang mungkin mendasari terjadinya anemia yang tidak diteliti dalam penelitian ini seperti infeksi cacing tambang, infeksi akut, atau infeksi malaria. Menstruasi pada perempuan juga dapat menimbulkan terjadinya anemia. Selain itu pola makan yang kurang beragam seperti kurangnya konsumsi protein hewani juga dapat mengurangi penyerapan zat besi yang memicu anemia. Proses penyerapan zat besi dalam tubuh salah satunya membutuhkan zat gizi protein. Rendahnya konsumsi protein hewani dapat dikarenakan pola makan yang tidak teratur dan kecenderungan remaja untuk mengkonsumsi makanan tinggi karbohidrat tapi rendah protein, seperti mie instan.28 Namun pada penelitian oleh Eftekhari MH et al20 didapati adanya hubungan yang signifikan antara status gizi lebih dengan defisiensi besi yang menyebabkan anemia. Pada penelitian tersebut disebutkan bahwa pada remaja dengan status gizi lebih dan memiliki IMT di atas normal mempunyai cadangan Fe yang lebih sedikit dalam tubuhnya dan berisiko menderita anemia lebih besar dari remaja yang memiliki IMT normal. Berdasar perbandingan ini, sebenarnya masih perlu bukti yang lebih akurat apakah status gizi, terutama status gizi lebih memiliki hubungan bermakna terhadap anemia. Karena pada penelitian Eftekhari et al20 digunakan parameter yang lebih rinci, spesifik, dan jumlah sampel yang lebih besar sedangkan pada penelitian ini hanya digunakan parameter kadar hemoglobin dalam darah dan jumlah sampel yang lebih kecil.
Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, disimpulkan bahwa: 1. Karakteristik subyek penelitian berdasar jenis kelamin terbagi atas laki-laki 60,6 persen dan perempuan 39,4 persen. Sedangkan berdasar kelompok umur dominan atas kelompok usia 13-15 sebesar 62,8 persen dibanding kelompok usia 15-18 tahun sebesar 37,2 persen. 2. Prevalensi status gizi santri yaitu 72,2 persen memiliki status gizi baik, 26,7 persen memiliki status gizi lebih, dan 1,1 persen memiliki status gizi kurang. 3. Persebaran status gizi lebih, lebih besar pada rentang usia 13-15 tahun sebesar 32,6 persen. Sedangkan berdasar jenis kelamin, status gizi lebih, lebih besar pada perempuan sebesar 38,9 persen
Prevalensi anemia…, Deon Raditya Hibbattino, FK UI, 2014
4. Prevalensi anemia sebesar 25,5 persen dengan tingkat prevalensi anemia pada santri dengan status gizi baik sebesar 16,0 persen. Lebih tinggi dibanding prevalensi anemia pada status gizi lebih sebesar 9,5 persen. 5. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara status gizi dengan anemia berdasar hasil analisis statistik menggunakan uji chi-square (p = 0,397)
Saran Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, untuk dapat menurunkan prevalensi anemia pada kelompok usia remaja dapat dengan memberikan peningkatan asupan tambahan zat besi, terutama pada kelompok remaja perempuan. Berdasar hasil penelitian untuk lebih mengetahui hubungan antara prevalensi anemia dengan status gizi perlu untuk melakukan penelitian lebih lanjut menggunakan parameter yang lebih spesifik, meliputi kadar hemoglobin, hematokrit, serum Fe, dan serum ferritin dengan metode pengukuran dan alat ukur yang lebih baik terhadap jumlah sampel yang lebih besar.
Daftar Pustaka 1. Fauziyahh N.R., Faktor Determinan Kejadian Anemia siswa SMP di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Jakarta. Universitas Indonesia. 2006. 2. Akramipour R., Rezaei M., Rahimi Z., Prevalence of iron deficiency anemia among adolescent schoolgirls from Kermanshah, Western Iran. Iran. Hematology 13 No 6. 2008. p.352-355 3. Afandi D., Mulatsih R., Julia M. Comparison of Daily vs. Weekly Single-dose ferrous sulphate treatment in female junior high school students with iron deficiency anemia. Jogjakarta. Berkala Ilmu Kedoktrean 41. No 1. Maret 2009. page 26-32. 4. Satyaningsih E. Anemia Gizi Besi Pada Remaja Putri SMK Amaliyah Sekadau Kalimantan Barat Tahun 2007 [article on the internet]. 2009 [cited 2011 Jan 11]. Available from: http://digilib.litbang.depkes.go.id/go.php?id=jkpkbppk-gdl-res-2009elsasatyan-3292&q=anemia 5. Salyed F., Ayoya MA, Prakash V, Aguayo V. School Based weekly iron and folic acid supplementation reduce anemia in adolescent girls in Bihar, India. Bihar. Unicef India
Prevalensi anemia…, Deon Raditya Hibbattino, FK UI, 2014
6. Ahmed F., Khan MR., Banu CP., Qazi MR., Akhtaruzzaman M., The coexistence of other micronutrient deficiencies in anaemic adolescent schoolgirls in rural Bangladesh. Bangladesh. European Journal of Clinical Nutrition, 62. 2008. 365–372 7. Ghafur AHS. Integrasi Tradisi Pesantren (Kajian Fungsional Terhadap Pesantren Lirboyo Kediri Dalam Mengintegrasikan Tradisinya). Jakarta. Perpustakaan Universitas Indonesia (Tesis S2). 8. Zakiyah N, Hidayati FNR, Setyawan I. Correlation Between Self-Adjustment and Academic Procrastination At Student’s of Boarding School SMPN 3 Peterongan Jombang. Semarang. Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro. Mei 2010. 9. Silbernagl S, Lang F. Color Atlas of Pathophysiology. Stuttgart-New York. Thieme. 2000. P. 30-40. 10. Widmaier EP, Raff H, Strang KT. Human Physiology: The Mechanism of Body Function 9th edition. The McGraw-Hills Company. 2003. P. 376-378. 11. Benoist B, McLean E, Egli I, Cogswell M, ed. World Prevalence of Anaemia: WHO Global Database on Anaemia. Geneva: World Health Organization; 2008. p. 1 12. Provan D, Krentz A. Oxford Handbook of Clinical and Laboratory Investigation. Oxford. Oxford University Press. 2002. page 9. 13. Barasi M E. At a glance Ilmu gizi: Erlangga Medical Series; 2007: 55 14. Gibney MJ, Margetts BM, Kearney JM, Arab L. Public Health Nutrition, ed. Terj. Hartono A. eds. Widyastuti P, Hardiyani EA. Jakarta: EGC, 2008: 276-286 15. Karen KJ, Hafen BQ, Limmer D.Brady: First Responder a Skills Approach edisi 5. New Jersey: Prentice-Hall, Inc; 1998. Page 291 16. Budhathoki S, Shah D, Bhurtyal KK, Amatya R, Dutta AK. Hookworm causing melaena and anemia in early infacy. Nepal: Annals of Tropical Paediatrics (2008) 28, 293–296 17. Theml H, Diem H, Haferlach T. Color Atlas of Hematology – Practical and Clinical Diagnosis 2nd revised edition. Stuttgart-New York. Thieme. 2004. P 148 18. Lanzkowsky P. Manual of Pediatric Hematology and Oncology 4th edition. California. Elsevier. 2005. P 147 19. Anonymous. World health organization technical report series no. 405: Nutritional anaemias. Geneva: WHO Scientific Group; 1968. p9 20. Eftekhari MH, Khosravi HM, Shidfar F. The relationship between BMI and iron status in iron-deficient adolescent Iranian girls. Iran: Public Health Nutrition; 12(12). 2009. p2377 –81
Prevalensi anemia…, Deon Raditya Hibbattino, FK UI, 2014
21. Anonymous.
Kemenkes
RI
no
1995/menkes/SK/XII/2010
tentang
Standar
antropometri penilaian status gizi anak. Indonesia. Direktorat Bina Gizi Kementerian Kesehatan RI. 2011. 22. Anonymous. Riset Kesehatan Dasar 2010. Indonesia: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI; 2010. 23. Anonymous. Profil kesehatan Indonesia 2012. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kemernterian Kesehatan RI; 2011. 24. Priyanto R. Besar resiko frekuensi makan, asupan energi, lemak, serat, dan aktivitas fisik terhadap kejadian obesitas pada remaja sekolah mengenah pertama. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro; 2007. 25. Nurfaridah S. Hubungan antara asupan energi, protein, dan lemak western fast food serta tingkat aktivitas fisik dengan obesity pada anak SMP Islam Al-Azhar 14 Semarang. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro; 2011. 26. Anonymous. Riset Kesehatan Dasar 2007. Indonesia: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI; 2008 27. Yulianasari AI. Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian anemia pada remaja dan dewasa di DKI Jakarta tahun 2007. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia IPB; 2009. 28. Younalis LA. Hubungan perilaku diet dengan kejadian anemia defisiensi besi pada remaja putri di SMAN 1 Sleman. Yogyakarta: STIKES Aisyiyah; 2011.
Prevalensi anemia…, Deon Raditya Hibbattino, FK UI, 2014