BAB II
TINJAUAN TEORI II.1.
DEFINISI
II.1.1.
TENUNAN
Menurut beberapa referensi, ‘tenun’ dan ‘tenunan’ berarti: 1. Tenun n 1 hasil kerajinan yang berupa bahan (kain) yang dibuat dari benang (kapas, sutra, dsb) dengan cara memasuk-masukkan pakan secara melintang pada lungsi. Tenunan n hasil menenun; barang-barang yang ditenun. (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2005: 1176) 2. Kain n tekstil; ~ belongsong kain tenun; ~ benang kain lajak/sutra; ~ panas flannel; ~ rentang kolong layar, spanduk, tajuk rawal. (Endarmoko, 2006: 284) 3. Tenunan kata benda sesuatu yang dibuat dengan menganyam: tekstil atau bentuk material lain yang dibuat dengan menganyam. 4 4. Tenun ialah penganyaman dua sistem benang yang dianyam dari kanan ke kiri dan sebaliknya. Sistem benang yang memanjang disebut lungsi dan yang melintanginya disebut pakan. Tenun dikerjakan dengan alat yang memungkinkan lungsi dan pakan dianyam sesuai dengan desain tenunan yang direncanakan. (The Editors of American Fabrics Magazine, 1972: 319⎯diterjemahkan oleh penulis) 5. “Proses yang digunakan pada metoda ini ialah pertenunan (weaving), yaitu suatu proses penganyaman (interlacing) antara benang lusi dan pakan yang letaknya tegak lurus satu sama lain. Hasil proses ini disebut kain tenun...” (Pengetahuan Barang Tekstil, 1977: 143)
4
Dikutip dari Microsoft Encarta Dictionaries. Microsoft® Student 2007 [DVD], 2006. (Diterjemahkan oleh penulis.)
06
Secara garis besar, ‘tenunan’ dapat didefinisikan sebagai barang tenun, yakni hasil proses penganyaman benang dengan memasukkan pakan (horisontal) secara melintang pada lungsi (vertikal). Jenis tenunan dapat diklasifikasi berdasarkan: 1. Alat dan proses pengerjaan: tenunan tradisional dan tenunan modern. 2. Anyaman: tenunan polos, tenunan polos tidak seimbang, tenunan ganda, tenunan keper (keper pakan, keper lusi, keper 450, keper 600, keper kanan, keper kiri, keper runcing, dan keper tulang ikan 5 ), tenunan satin, tenunan leno, dan tenunan pike.
II.1.2.
SUTRA
Menurut beberapa referensi, ‘sutra’ berarti: 1. Sutra n benang halus dan lembut yang berasal dari kepompong ulat sutra. (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2005: 1112) 2. Serat sutra adalah helaian filamen panjang yang diproduksi ulat sutra untuk membentuk kokonnya. (The Editors of American Fabrics Magazine, 1972: 125⎯diterjemahkan oleh penulis) 3. Sutra ialah serat yang diproduksi oleh ulat sutra untuk lapisan kokon, dan bernilai guna sebagai material maupun kain yang berkualitas. Sutra dari serangga lain, khususnya laba-laba, digunakan untuk proses manufaktur tertentu, terutama untuk cross hairs (sepasang filamen tipis yang melintang didalam lensa, untuk fokus lensa 6 ) pada teleskop dan alat optik lainnya. 7 4. Sutra adalah serat yang diperoleh dari jenis serangga yang disebut lepidoptera. Serat sutra berbentuk filamen, dihasilkan oleh larva ulat sutera waktu membentuk kepompong. (Pengetahuan Barang Tekstil, 1977: 46) Secara garis besar, ‘sutra’ dapat didefinisikan sebagai jenis serat protein yang dihasilkan larva pada fase metamorfosis. Dalam bahasa Bugis, sutra diistilahkan dengan sabbe’. Sutra yang umum digunakan untuk industri tekstil, yang penampilannya halus dan berkilau, diambil dari kokon ngengat. Serat tersebut termasuk golongan serat alam protein karena terbentuk dari liur larva yang diproduksi oleh sepasang kelenjar sutera (silk 5
Jenis kain tenun, berdasarkan buku Pengetahuan Barang Tekstil, halaman 152-187. Cross hairs dapat diartikan sebagai garis tipis: sepasang garis atau filamen tipis yang melintang di sudut kanan di dalam sebuah lensa atau alat pembidik, digunakan untuk memfokuskan peralatan optik ataupun membidik senapan. Menurut Microsoft Encarta Dictionaries, (Microsoft® Student 2007 [DVD], 2006), diterjemahkan oleh penulis. 7 “Silk.” Microsoft® Student 2007 [DVD]. Redmond, WA: Microsoft Coorporation, 2006. (Diterjemahkan oleh penulis.) 6
07
grands) pada saat pengokonan. Kokon ini berfungsi untuk melindungi larva ngengat selama metamorfosisnya menjadi pupa (pengkristalan atau chrysalis) hingga imago (dewasa). Jenis sutra umumnya diklasifikasi berdasarkan: 1. Kualitas kokon sesuai Standar Nasional Indonesia: sutra kokon cacat dan sutra kokon normal. 2. Spesies penghasil sutra, contohnya: sutra Bombyx mori, sutra Criculla trifenestrata, sutra Attacus atlas, dan lain-lain. 3. Habitat: sutra hasil budidaya dan sutra alam bebas (atau yang lebih sering disebut oleh pelaku pasar sebagai sutra liar).
II.1.3.
TRADISIONAL
Menurut beberapa referensi, ‘tradisi’ dan ‘tradisional’ berarti: 1. Tradisi n 1 adat kebiasaan turuntemurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat; 2 penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan yang paling baik dan benar. Tradisional a 1 sikap dan cara berpikir serta bertindak yang selalu berpegang teguh pada norma dan adat kebiasaan yang ada secara turuntemurun; 2 menurut tradisi (adat). (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2005: 1208) 2. Tradisi n adat istiadat, etik, kebiasaan, kultur, institusi, konvensi, leluri (Jw), pagar adat, pranata, rasam, tali peranti. Tradisional a konvensional; kuno, lama, lapuk (ki), tua, usang. (Endarmoko, 2006: 679) Secara garis besar, ‘tradisional’ dapat didefinisikan sebagai nilai, kebiaasan, maupun cara lama, yang ada secara turuntemurun dan masih dijalankan dalam masyarakat.
II.1.4.
MODERN
Menurut beberapa referensi, ‘modern’ berarti: 1. Modern 1 a terbaru, mutakhir; 2 n sikap dan cara berpikir serta cara bertindak sesuai dengan tuntutan jaman. (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2005: 751) 2. Modern a baru, futuristik, kontemporer, modis, mutakhir, segar, trendi (cak). (Endarmoko, 2006: 417) Secara garis besar, ‘modern’ dapat didefinisikan sebagai cara-cara baru, yang ada karena penyesuaian tututan kebutuhan (yang berkembang seiring dengan jaman).
08
Pembaruan juga disebabkan fitrah manusia yang selalu ingin berkembang.
II.1.5.
TENUNAN SUTRA
Dari terminologi ‘tenunan’ dan ‘sutra’ yang telah dibahas sebelumnya, maka tenunan sutra dapat berarti barang tenun sutra⎯kain atau bentuk lain yang terbuat dari material serat alam sutra yang dipintal menjadi benang lalu dianyam hingga menjadi lembaran. Atau singkatnya, hasil kegiatan pertenunan sutra. Tenunan sutra yang beredar di pasar tidak hanya yang terdiri dari seratus persen sutra, tetapi juga yang sudah dicampur dengan benang dari material lain. Coraknya pun ada yang polos dan ada pula yang diberi ragam hias beraneka warna. Umumnya tenunan dari benang campuran ini dikategorikan sebagai sektor industri nonsutra.
II.1.6.
TENUNAN TRADISIONAL
Definisi tenunan tradisional disini ialah kain tenun yang dibuat secara manual dengan peralatan sederhana dan menurut tradisi (kebiasaan). Umumnya, tenunan tradisional merupakan produk budaya suatu daerah tertentu karena dipengaruhi oleh kondisi geografis serta sosialbudaya yang melingkupinya, dan diwariskan secara turuntemurun sehingga lambat laun tenunan ini menjadi ciri khas daerah tersebut.
II.1.7.
TENUNAN MODERN
Tenunan modern ialah hasil tenun yang dibuat dengan metode-metode baru, yang disesuaikan dengan tuntutan jaman. Dalam hal ini, contohnya tenunan ATM yang diproduksi secara massal dengan menggunakan mesin berkapasitas tinggi sehingga efektivitas produksi semakin meningkat. Alat tenun mesin juga memungkinkan desain motif dan tekstur tenunan yang beraneka ragam, seperti misalnya alat tenun Dobby, dan diproduksi berulang-ulang dengan hasil serupa (identik).
II.1.8.
TENUNAN SUTRA TRADISIONAL GEDOGAN
Tenunan sutra tradisional ialah kain tenun sutra yang dibuat secara tradisional. Dalam hal ini, alat tenun yang digunakan ialah alat tenun kayu sederhana yang disebut Gedogan (dalam bahasa Bugis, alat tenun ini disebut tennung walida). Istilah ‘gedogan’ sendiri tidak termuat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia 2005 (KBBI 2005). Namun gedog dalam bahasa Jawa berarti ketuk, sesuai dengan bunyi ketuk
09
alat tersebut⎯yang menyerupai bunyi “dog” berulang-ulang⎯saat digunakan. 8 Ada pula yang menyebutnya ‘gedokan’, namun ‘gedokan’ dalam KBBI 2005 berarti mesin penggiling padi. 9 Pengambilan kata-kata ini bertujuan untuk menunjukkan fokus penelitian dengan menjelaskan spesifikasi jenis tenunan berdasarkan material dan alat yang digunakan.
8
“…Disebut pula dengan istilah tenun gedog, dikarenakan bunyinya terdengar dog, dog, dog, sewaktu menekan benang pakan…disamping itu gedog (bahasa Jawa) berarti pula ketuk…” (Djoemena, 2000: 12) 9 Gedok n gedokan n mesin penggiling padi yang digunakan untuk memisahkan beras pecah kulit dari gabah, terdiri atas ruang-ruang yang disusun secara zigzag. (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2005: 341)
010
alat tersebut⎯yang menyerupai bunyi “dog” berulang-ulang⎯saat digunakan. 9 Ada pula yang menyebutnya ‘gedokan’, namun ‘gedokan’ dalam KBBI 2005 berarti mesin penggiling padi. 10 Pengambilan kata-kata ini bertujuan untuk menunjukkan fokus penelitian dengan menjelaskan spesifikasi jenis tenunan berdasarkan material dan alat yang digunakan.
II.2.
TEORI DASAR
II.2.1.
METODE DAN PROSEDUR PENELITIAN
II.2.1.1. Format Penelitian Deskriptif Penelitian deskriptif (descriptive research) menggambarkan dan meringkaskan berbagai kondisi, situasi, atau berbagai variabel. Penelitian ini berkaitan dengan pengumpulan data untuk memberikan gambaran atau penegasan suatu konsep atau gejala, juga menjawab pertanyaan-pertanyaan sehubungan dengan status subjek penelitian pada saat ini. Data deskriptif pada umumnya dikumpulkan melalui metode pengumpulan data, yaitu wawancara atau metode observasi. Sifat penelitian deskriptif ialah sekadar mengungkap fakta (fact finding). Hasil penelitian lebih ditekankan pada pemberian gambaran secara objektif tentang keadaan sebenarnya dari objek yang diselidiki. Akan tetapi, guna mendapatkan manfaat yang lebih luas, disamping mengungkap fakta juga diberikan interpretasi yang cukup kuat. Oleh karena penelitian deskriptif bertujuan menggambarkan secara sistematik, dan akurat, fakta dan karakteristik populasi atau bidang tertentu, analisis yang dilakukan dalam penelitian ini pun hanya sampai pada taraf deskriptif, yaitu menganalisis dan menyajikan fakta secara sistematik sehingga dapat lebih mudah untuk dipahami dan disimpulkan. Kesimpulan yang diberikan selalu memiliki dasar faktual yang jelas sehingga selalu dapat dikembalikan langsung pada data yang diperoleh. Uraian kesimpulan didasari pada angka yang diolah secukupnya, dan pengolahan data secara umum didasarkan pada analisis presentase dan analisis kecenderungan (trend). Penelitian deskriptif juga dapat menuturkan dan menafsirkan data yang berkenaan dengan hubungan antarvariabel pertentangan dua kondisi atau lebih, pengaruh terhadap suatu kondisi perbedaan-perbedaan antarfakta, dan lain-lain, yang memungkinkan penelitian ini 9
“…Disebut pula dengan istilah tenun gedog, dikarenakan bunyinya terdengar dog, dog, dog, sewaktu menekan benang pakan…disamping itu gedog (bahasa Jawa) berarti pula ketuk…” (Djoemena, 2000: 12) 10 Gedok n gedokan n mesin penggiling padi yang digunakan untuk memisahkan beras pecah kulit dari gabah, terdiri atas ruang-ruang yang disusun secara zigzag. (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2005: 341)
10
memiliki metode yang mengarah pada studi komparatif⎯membandingkan persamaan dan perbedaan gejala-gejala tertentu. 11
II.2.1.2. Pendekatan Studi Kasus dan Kualitatif II.2.1.2.1. Studi Kasus Studi kasus merupakan tipe pendekatan dalam penelitian yang menelaah suatu kasus secara intensif, mendalam, mendetail, dan komperhensif. Studi kasus dapat dilakukan terhadap individu dan juga kelompok. Individu atau kelompok, berikut berbagai variabel dan kemungkinan hubungan antarvariabel, inilah yang kemudian ditelaah secara mendetail dan mendalam. Oleh karenanya, peneliti studi kasus bisa jadi melahirkan pernyataan-pernyataan yang bersifat eksplanasi, meskipun eksplanasi tersebut tidak dapat diangkat sebagai suatu generalisasi. 12 Pendekatan studi kasus ini digunakan dalam penelitian dengan pertimbangan efisiensi biaya dan waktu, juga berdasarkan data bahwa daerah yang dipilih (Kabupaten Wajo) dapat ditemukan perajin tenunan sutra Gedogan, ATBM, serta pengusaha ATM.
II.2.1.2.2. Kualitatif Pendekatan kualitatif dilakukan dengan sasaran yang terbatas, tetapi data dapat digali sebanyak mungkin. Dengan demikian, sasaran penelitian yang terbatas justru membuat kedalaman data, atau sebut saja kualitas data, menjadi tidak terbatas. Semakin dalam data yang dikumpulkan maka penelitian tersebut juga semakin berkualitas. Pendekatan ini lebih menekankan analisisnya pada proses penyimpulan deduktif dan induktif serta pada analisis terhadap dinamika hubungan antarfenomena yang diamati, dengan menggunakan logika ilmiah. Hal ini bukan berarti bahwa pendekatan kualitatif sama sekali tidak menggunakan dukungan data kuantitatif. Akan tetapi, penekanannya tidak pada pengujian hipotesis, melainkan pada usaha menjawab pertanyaan penelitian melalui cara-cara berpikir formal dan argumentatif. Banyak penelitian kuantitatif yang merupakan penelitian dengan sampel berukuran kecil. Pendekatan kualitatif bersifat deskriptif karena analisis data yang dilakukan tidak untuk menerima atau menolak hipotesis (jika ada) melainkan berupa deskripsi atas gejala-gejala yang diamati, yang tidak selalu harus berupa angka-angka atau koefisien antarvariabel. Pada pendekatan kualitatif pun bukan tidak mungkin ada data yang kuantitatif. 13
11 12 13
Berdasarkan buku Metode Penelitian Sosial Ekonomi, halaman 154-155. Berdasarkan buku Metode Penelitian Sosial Ekonomi, halaman 90. Berdasarkan buku Metode Penelitian Sosial Ekonomi, halaman 133-135.
11
Peneliti kebudayaan selama ini cenderung menggunakan pendekatan kualitatif, hal ini sejalan dengan kondisi budaya itu sendiri yang merupakan cabang ilmu humaniora yang unik. Data yang diperoleh dari lapangan biasanya tidak terstruktur dan relatif banyak, sehingga pendekatan kualitatif memungkinkan peneliti untuk menata, mengkritisi, dan mengklasifikasi dengan lebih menarik. Selain itu, pendekatan ini cenderung mengandalkan kekuatan indera peneliti. Pengamatan indera ini dipertimbangkan lebih akurat untuk melihat kebudayaan yang cenderung berubah-ubah seiring pergeseran jaman. Perubahan ini tentu saja sulit diukur dan dirata-rata menggunakan pendekatan kuantitatif. Fenomena budaya memang memiliki kekhususan sehingga kurang memungkinkan diterapkan pendekatan secara kuantitatif, karena pendekatan kuantitatif dianggap kurang mampu memahami kedalaman fenomena humaniora. 14 Secara garis besar perbedaan kualitatif dan kuantitatif terletak pada prinsip dasar masingmasing. No
Prinsip pengenal
Penelitian kuantitatif
Penelitian kualitatif
1.
Sifat realitas
Tunggal, konkrit, dan teramati
Ganda, holistik, hasil konstruksi dari pemahaman.
2.
Hubungan peneliti dengan yang diteliti
Independen
Interaktif, tidak dapat dipisahkan
3.
Kemungkinan generalisasi
Cenderung membuat generalisasi
Trasferabilitas (hanya mungkin dalam ikatan ruang dan waktu tertentu)
4.
Peranan nilai
Bebas nilai
Terikat nilai
Tabel II.2.1.2.2.1., Perbedaan prinsip kuantitatif dan kualitatif. (Endraswara, 2003: 16)
Seperti halnya penggunaan studi kasus, pendekatan kualitatif juga digunakan dalam penelitian kali ini berdasarkan pertimbangan waktu. Dengan sasaran yang terbatas, pengumpulan data dapat dilakukan lebih efisien.
II.2.1.3. Populasi Sasaran dan Sampel Dalam suatu penelitian, pengumpulan data ditujukan kepada obyek tertentu, atau populasi, sehingga dapat dikatakan bahwa “…keseluruhan obyek penelitian disebut populasi atau universe…” (Ali, 1985: 54) Berdasarkan pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa populasi ialah keseluruhan obyek pada suatu tempat tertentu yang diteliti. Pada penelitian ini, yang akan
14
Berdasarkan buku Metode Penelitian Kebudayaan, halaman 14-15.
12
menjadi populasi ialah tenunan sutra Gedogan Sulawesi Selatan, yang meliputi aspekaspek teknik, estetika, dan budaya. Populasi tersebut dirasakan terlalu besar mengingat keterbatasan peneliti. Maka untuk membatasi populasi diambillah sampel yang dapat mewakili. Hal ini berarti populasi diperkecil agar pelaksanaan penelitian dapat terlaksana sesuai yang diharapkan. Menurut Nasution (1982), “Tidak ada aturan yang tegas tentang jumlah sampel yang dipersyaratkan untuk suatu penelitian dari populasi yang tersedia, juga tidak ada batasan yang jelas apa yang dimaksud sampel besar dan kecil…” Sehubungan dengan hal tersebut, maka peneliti mengambil sampel tenunan sutra Gedogan di Kabupaten Wajo, serta tenunan ATBM dan ATM di lokasi yang sama untuk data pembanding. Sementara teknik yang diambil ialah purpossive sampling, yakni ”…teknik pengambilan sampel yang didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu, yang dibuat oleh peneliti sendiri…” (Ali, 1985: 70) Adapun pertimbangan peneliti memilih Kabupaten Wajo sebagai sampel ialah karena kabupaten ini dikenal sebagai sentra pertenunan sutra terbesar di Sulawesi Selatan, sehingga dianggap cukup mewakili keseluruhan populasi penelitian. Meskipun tenunan ATM dianggap sebagai golongan industri nonsutra namun industri ini berkembang dari tradisi pertenunan sutra setempat. Sehingga untuk membahas perkembangan industri tenunan sutra di Kabupaten Wajo, topik mengenai ATM pun tidak dapat dihilangkan begitu saja.
II.2.1.4. Instrumen Penelitian Kebenaran suatu penelitian sangat ditentukan oleh instrumen penelitian, atau alat pengumpul data, yang digunakan. Dengan instumen ini, data dapat dijaring sesuai kebutuhan penelitian agar penarikan kesimpulan dapat dilakukan dengan lebih akurat. Ada dua cara pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Adapun penelitian lapangan dilakukan dengan tiga teknik yaitu observasi, wawancara, dan dokumentasi. Observasi, atau pengamatan, dapat diartikan sebagai peninjauan secara cermat. Observasi yang dilakukan dalam penelitian ini dilakukan secara langsung ke lokasi penelitian. Sementara itu, wawancara ialah suatu bentuk komunikasi verbal, semacam percakapan yang bertujuan untuk memperoleh informasi. Pada penelitian ini dilakukan tanyajawab tak tertulis secara langsung, atau tatapmuka, terhadap narasumber.
13
Dokumentasi dapat diartikan sebagai pemberian atau pengumpulan bukti-bukti dan keterangan seperti gambar-gambar dan sebagainya. Pengumpulan data dapat menjadi lengkap dengan teknik dokumentasi karena dapat dibuktikan melalui hasil perekaman kondisi lapangan.
II.2.2.
NILAI-NILAI DALAM KRIYA
Dalam KBBI 2005, nilai didefinisikan sebagai harga, angka kepandaian, banyak sedikitnya isi, kadar, mutu, sifat-sifat yang penting atau berguna bagi kemanusiaan, ataupun sesuatu yang menyempurnakan manusia sesuai dengan hakikatnya. Maka secara garis besar dapat disimpulkan bahwa nilai adalah kandungan atau muatan dari suatu obyek. Menurut Yudoseputro (1983) dalam bukunya Seni Kerajinan Indonesia, kegiatan kerajinan atau kriya timbul atas desakan kebutuhan praktis dengan mempergunakan bahan yang tersedia dan berdasarkan pengalaman kerja yang diperoleh dari kehidupan sehari-hari. Setiap penciptaan karya kriya didukung oleh tiga unsur utama yakni tersedianya bahan, yang dapat memberi ciri visual dan taktual untuk menampilkan nilai estetik pada karya kriya; perasaan manusia, yang ikut menentukan kualitas karya kriya; serta sumber ide dan daya cipta, yang mendorong perbuatan mencipta atau mewujudkan hasil pemikiran. Ketiga unsur ini tampil secara utuh, saling berkaitan dan tidak terpisahkan satu sama lainnya. Dari unsur-unsur tersebut maka muncullah keragaman bentuk corak dan kekayaan ornamentik, sehingga seni kriya dapat mencerminkan identitas budaya Indonesia yang beraneka ragam. Selain itu, seni kerajinan Indonesia juga memiliki potensi sosial ekonomis. Karena seni kriya yang tersebar di setiap daerah tidak hanya merupakan bentuk pernyataan seni tetapi juga bentuk manifestasi kehidupan bangsa Indonesia. Dari hasil seni kriya tersebut dapat dikenali seluruh segi kehidupan bangsa, seperti struktur sosial masyarakat, pandangan serta perbuatan agama, dan kehidupan ekonomi. Ada tiga nilai yang terkandung dalam karya kriya, yakni nilai seni, nilai pakai, dan nilai teknik.
1. Nilai Seni Karya Kriya Apabila kerajinan, atau kriya, didukung oleh perasaan perajin dalam menggunakan bahan dan alat maka tampillah gejala-gejala daya cipta yang mengandung nilai keindahan, dan hasilnya merupakan karya seni yang dapat dilihat dan diraba sehingga tergolong pada kelompok senirupa. Pengertian nilai seni atau nilai estetik pada karya kriya terbagi atas
14
dasar ide, yakni sumber pribadi, sumber kelompok, dan sumber universal; dan secara visual, yakni unsur-unsur garis, bentuk, tekstur, warna, dan desain.
2. Nilai Pakai Karya Kriya Nilai pakai, atau nilai fungsional, karya kriya meliputi fungsi spiritual dan fungsi fisikal. Fungsi spiritual karya kriya berkaitan dengan sumber ide yang didukung oleh kebutuhan rohaniah manusia, yang manifestasinya dicapai dalam bentuk berbagai kegiatan termasuk kegiatan seni. Oleh karena itu, karya kriya dapat merupakan sumber kepercayaan yang memiliki nilai magis (bertuah, gaib), nilai animistik (kepercayaan pada roh), dan nilai adat (warisan budaya, tradisi kebudayaan feodal); sumber agama, yang menjadi ide dan daya cipta perajin, seperti Hindu dan Budha, Islam, dan sinkretisme (campuran berbagai kepercayaan dan agama); sumber lambang dari kepercayaan dan agama, serta kedudukan sosial dan pribadi perajinnya; serta sumber pandangan hidup, seperti gotongroyong, mistikmagis, kehidupan sesudah mati, dan amalbhakti. Sementara itu fungsi fisikal karya kriya menyangkut segi kegunaan praktis. Cara penggunaan benda pakai tidak dapat dilepaskan dari cara-cara hidup masyarakat. Oleh karenanya ada perbedaan kegunaan praktis bagi masyarakat petani, masyarakat nelayan, dan masyarakat kota. Watak bahan dari benda pakai juga mempengaruhi pilihan bentuk. Sehingga benda yang memiliki fungsi pakai yang sama belum tentu memiliki bentuk yang sama. Selain itu karya kriya juga memiliki kegunaan praktis lainnya seperti kepentingan membela diri serta kepentingan rekreasi, pertunjukan, dan permainan.
3. Nilai Teknik Karya Kriya Nilai teknik ialah nilai yang terkandung pada kemampuan teknis, yakni kemampuan untuk mengenal watak bahan, mengolah dan mempergunakannya berdasarkan berbagai teknik. Kemampuan teknis itu sendiri harus bisa menjawab tututan estetika dari seni kerajinan, hubungan kedua nilai ini adalah timbalbalik dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Adapun sarana teknik karya kriya dapat menggunakan tangan, mesin, maupun campuran.
II.2.3.
ESTETIKA
Menurut Djelantik (1999) dalam bukunya Estetika: Sebuah Pengantar, ada bermacammacam hal yang bisa menimbulkan rasa indah pada saat kita mengalaminya. Secara ringkas, Djelantik menggolongkan hal-hal indah tersebut ke dalam dua golongan, yakni keindahan alami yang tidak dibuat oleh manusia, seperti keindahan alam ciptaan Tuhan; dan keindahan yang diciptakan dan diwujudkan oleh manusia, secara umum disebut barang kesenian.
15
Akan tetapi, banyak barang-barang keperluan sehari-hari buatan manusia yang berfungsi sebagai hiasan, yang tidak kurang keindahannya dibanding barang kesenian. Barangbarang yang demikian disebut kerajinan tangan. Sebutan ini samasekali tidak berkaitan dengan penilaian tentang keindahan barang-barang kerajinan tangan, melainkan hanya sebagai penggolongan semata. Perbedaannya adalah bahwa pada barang kesenian terdapat maksud dari sang pencipta sebagai ungkapan perasaan atau pesan tertentu, sementara barang kerajinan tangan mempunyai penggunaan praktis disamping untuk memberikan kepuasan indah belaka. Dengan kata lain, sebutan yang berbeda mengacu pada maksud dan proses dalam penciptaan dan perwujudan barang-barang tersebut. Pada umumnya, apa yang kita sebut sebagai indah dapat menimbulkan rasa senang, rasa puas, rasa aman dan nyaman, serta rasa bahagia di dalam jiwa. Apabila perasaan itu sangat kuat, dapat membuat kita terpaku, terharu, terpesona, serta menimbulkan keinginan untuk mengalami kembali perasaan itu walaupun sudah dinikmati berkali-kali. Rasa nikmat-indah yang terjadi pada kita timbul karena peran panca-indera, yakni indera penglihatan (visual), pendengaran (akustis/auditif), peraba, pencium, dan pengecap, yang memiliki kemampuan untuk menangkap rangsangan dari luar dan meneruskannya ke dalam sehingga rangsangan tersebut diolah menjadi kesan. Untuk menimbulkan rasa indah ini, tentunya barang kesenian memiliki unsur-unsur, yang tampak sebagai ciri-ciri khasnya, yang dapat merangsang indera kita. Unsur-unsur tersebut dinamakan unsurunsur estetik. Ilmu estetika mengandung dua aspek, yakni aspek ilmiah dengan metodologi yang sama dengan observasi, analisa, dan eksperimen; serta aspek filosofis dengan metodologi observasi, analisa, komparasi, analogi, asosiasi, sintetis, dan konklusi. Sementara dalam tenunan, ragam hias dan warna sangat mempengaruhi pada nilai estetikanya: II.2.3.1.
Ragam Hias
Dalam KBBI 2005, istilah ‘ragam’ dapat berarti macam ataupun jenis. ‘Ragam’ juga dapat berarti warna, corak, atau ragi. Sementara istilah ‘hias’ dapat diartikan sebagai sesuatu untuk memperindah dan mempersolek suatu benda. Sehingga, secara garis besar dapat disimpulkan bahwa ragam hias ialah segala macam sesuatu, baik itu warna maupun corak, untuk memperindah dan mempersolek suatu benda. Ragam hias sering disebut juga dengan istilah ‘ornamen’, yang berasal dari bahasa Yunani ornare yang berarti hiasan.
16
II.2.3.2.
Warna
Warna, adalah faktor yang sangat penting untuk menciptakan suasana/kesan. Teori lingkaran warna mengambil tiga warna utama sebagai warna dasar, atau disebut juga dengan warna primer, yaitu merah, kuning, dan biru. Apabila dua diantaranya dicampur, maka akan menghasilkan warna kedua atau warna sekunder. Dan bila warna sekunder dicampur kembali dengan warna primer, akan dihasilkan warna ketiga atau warna tersier. Jika warna tersier dicampur kembali dengan warna primer ataupun warna sekunder, maka akan menghasilkan warna netral. 15 Warna juga memiliki psikologinya masing-masing. Menurut Graves dan Chijiwa, warna terbagi menjadi dua kelompok, yakni warna panas/hangat (dalam lingkaran warna, terutama warna-warna yang berada dalam range merah ke kuning) yang sifatnya positif, agresif, aktif, merangsang; serta warna dingin/sejuk (dalam lingkaran warna, terletak dalam range hijau ke ungu, melalui biru) yang sifatnya negatif, mundur, tersisih, tenang, aman. Sementara itu, Kobayashi membaginya dalam empat bagian sesuai kesan yang ditampilkan, 1.
Warna lembut : romantis, natural, bersih, elegan (rapuh, lembut, emosional, fashionable, kalem).
2.
Warna hangat : cantik, manis, kasual, dinamis, menawan.
3.
Warna kuat
: klasik, dandy, modern (metalik), menawan (mellow), elegan
(modest). 4.
Warna dingin : modern, chic, kasual, sejuk, bersih .
Selain itu, warna juga memiliki tingkat/kadar kepekatan (hue). Gradasi ke arah putih akan menghasilkan warna-warna muda (soft colour) dengan tingkat kepekatan rendah, sebaliknya gradasi ke arah hitam akan menghasilkan warna-warna gelap yang tingkat kepekatannya tinggi.
II.2.4.
STRATEGI KEBUDAYAAN
Menurut van Peursen (1976) dalam bukunya Strategi Kebudayaan, dewasa ini kebudayaan diartikan sebagai manifestasi kehidupan setiap orang dan setiap kelompok orang-orang. Sebab, manusia tidak sertamerta terbenam dalam alam sekitarnya melainkan selalu mengubah lingkungan hidup alamiahnya, dan inilah yang dinamakan kebudayaan, endapan dari kegiatan dan karya manusia.
15
Teori warna Munsell.
17
Studi kebudayaan secara teoritis tidak lagi menjadi hal yang utama di masa sekarang, melainkan persoalan-persoalan yang lebih bersifat praktis. Strategi kebudayaan muncul sebagai suatu pendekatan praktis yang ingin menjadikan manusia sadar tentang kebudayaannya, dan ini berarti setiap individu secara aktif turut memikirkan dan merencanakan arah yang akan ditempuh oleh kebudayaan manusiawi. Lebih lanjut, van Peursen membagi kebudayaan menjadi tiga macam tahap untuk menggambarkan beberapa periode peralihan kebudayaan yang mencolok, yaitu: 1. Tahap mitis Pada tahap ini manusia bersikap seolah terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib sekitarnya, seperti dipentaskan dalam mitologi-mitologi yang dinamakan bangsabangsa primitif. 2. Tahap ontologis Tahap ontologis ialah sikap manusia yang tidak hidup lagi dalam kepungan kekuasaan mitis, melainkan yang secara bebas ingin meneliti segala hal ikhwal. Manusia mengambil jarak terhadap segala sesuatu yang dulu dirasakan sebagai kepungan. Ia mulai menyusun suatu ajaran atau teori mengenai dasar hakekat segala sesuatu (ontologi) dan mengenai segala sesuatu menurut perinciannya (ilmu-ilmu). Ontologi itu berkembang dalam lingkungan-lingkungan kebudayaan kuno yang sangat dipengaruhi oleh filsafat dan ilmu pengetahuan. 3. Tahap fungsionil Yang dimaksud dengan tahap fungsionil ialah sikap dan alam pikiran yang semakin tampak pada manusia modern. Ia ingin mengadakan relasi-relasi baru, suatu kebertautan yang baru terhadap segala sesuatu dalam lingkungannya. Strategi kebudayaan sebetulnya lebih dari sekadar menyusun peraturan tertentu mengenai kebudayaan. Skema pembagian tahap kebudayaan diatas dapat membantu manusia untuk melihat masalah kebudayaan secara instrumental, yakni sebagai sarana atau alat yang dapat menjadikan manusia sadar mengenai strateginya sendiri. Dengan demikian timbullah pengertian mengenai rencana yang terdapat dalam setiap lingkungan kebudayaan.
18