9
BAB II TINJAUAN TEORI
2.1
PENGERTIAN TUBERKULOSIS Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang umumnya disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Meskipun dapat menyerang hampir semua organ tubuh, namun penyakit TB lebih sering menyerang organ paru (8085%). Tuberkulosis yang menyerang organ paru disebut tuberkulosis paru dan yang menyerang organ selain paru disebut tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis paru dengan hasil
pemeriksaan
sputum
menunjukkan
BTA
positif,
dikategorikan sebagai tuberkulosis paru (Depkes, 2005).
2.2
PENYEBAB TUBERKULOSIS Penyebab
penyakit
tuberkulosis
adalah
bakteri
Mycobacterium tuberculosis. Mycobacteria termasuk dalam famili
Mycobacteriaceae
dan
termasuk
dalam
ordo
Actinomycetales. Mycobacterium tuberculosis adalah suatu basil gram-positif tahan asam dengan pertumbuhan sangat lamban (Tjay dan Rahardja, 2007).
9
10
2.3
CARA PENULARAN Tuberkulosis menyebar dari orang ke orang, yaitu dari penderita TB paru BTA positif kepada orang yang berada di sekelilingnya, terutama kontak erat. Kuman menyebar melalui udara dalam bentuk percikan kecil (droplet nuclei) yaitu berupa partikel berdiameter sekitar 5 µm, setiap droplet dapat mengundang sekitar 3 kuman. Droplet diproduksi penderita TB paru BTA positif saat batuk, bersin, berbicara atau menyanyi. Berbicara selama 5 menit menghasilkan sekitar 3000 droplet, menyanyi menghasilkan sekitar 3000 droplet per menit, sedangkan bersin menghasilkan droplet lebih banyak dan terlontar lebih jauh sehingga dapat menyebar sampai 10 kaki (Jansen, 2005). Kuman yang terdapat pada droplet dapat bertahan hidup di udara pada suhu kamar selama beberapa jam dan dapat menginfeksi orang lain apabila terhirup dan masuk ke dalam
sistem
pernafasan.
Bahkan
bakteri
ini
dapat
mengalami penyebaran melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening sehingga menyebabkan terinfeksinya organ tubuh lain seperti otak, ginjal, saluran pencernaan, tulang, kelenjar getah bening dan lainnya meski yang paling banyak adalah organ paru (dapat dilihat pada gambar berikut ini).
11
Gambar 2.I : Penyebaran bakteri TB Sumber : http://www.kesimpulan.co.cc/2009/04/tuberkulosistb-paru.html Tingkat penularan dari penderita tergantung pada konsentrasi kuman yang dikeluarkannya. Derajat positif hasil pemeriksaan dahak, dapat menunjukkan tingkat keparahan penyakit, makin tinggi derajat positif makin menular penderita tersebut (Depkes, 2005).
2.4
GEJALA-GEJALA TUBERKULOSIS Keluhan pada penderita tuberkulosis paru dapat dibagi menjadi gejala lokal di paru dan keluhan pada seluruh tubuh secara umum.
12
2.4.1. Batuk Gejala batuk timbul paling awal dan merupakan gangguan yang paling sering dikeluhkan. Biasanya batuknya ringan sehingga dianggap batuk biasa atau akibat
rokok.
Proses
yang
paling
ringan
ini
menyebabkan sekret akan terkumpul pada waktu penderita tidur dan dikeluarkan saat penderita bangun pagi hari. Bila proses destruksi berlanjut, sekret dikeluarkan terus-menerus sehingga batuk menjadi lebih dalam dan sangat mengganggu penderita pada waktu siang maupun malam hari. Bila yang terkena trakea atau bronkus, batuk akan terdengar sangat keras, lebih sering atau terdengar berulang-ulang (paroksimal).
Bila
laring
yang
terserang,
batuk
terdengar sebagai hollow sounding cough, yaitu batuk tanpa tenaga dan disertai suara serak. 2.4.2. Batuk Darah Darah yang dkeluarkan penderita mungkin berupa garis atau bercak-bercak darah, gumpalan-gumpalan darah atau darah segar dalam jumlah sangat banyak (profus).
Batuk
darah
jarang
merupakan
tanda
permulaan dari penyakit tuberkulosis atau initial symptom karena batuk darah merupakan tanda telah
13
terjadinya ekskavasi dan ulserasi dari pembuluh darah pada dinding kavitas. Batuk darah pada pemerisaan radiologis tampak ada kelainan. Sering kali darah yang dibatukkan pada penyakit tuberkulosis bercampur dahak yang
mengandung basil tahan asam. Batuk
darah juga dapat terjadi pada tuberkulosis yang sudah sembuh karena robekan jaringan paru atau darah berasal dari bronkiektasis yang merupakan salah satu penyulit tuberkulosis paru. Pada saat seperti ini dahak tidak mengandung basil tahan asam (negatif). 2.4.3. Nyeri Dada Nyeri dada pada tuberkulosis paru termasuk nyeri pleuritik yang ringan. Bila nyeri bertambah berat berarti telah terjadi pleuritis luas (nyeri dikeluhkan di daerah aksila, di ujung skapula). 2.4.4.
Sesak Napas Sesak napas pada tuberkulosis disebabkan oleh penyakit
yang
luas
pada
paru
atau
oleh
penggumpalan cairan di rongga pleura sebagai komplikasi TB Paru. Penderita yang sesak napas sering mengalami demam dan berat badan turun.
14
2.4.5. Demam Merupakan gejala paling sering dijumpai dan paling penting. Sering kali panas badan sedikit meningkat pada siang maupun sore hari. Panas badan meningkat atau menjadi lebih tinggi bila proses berkembang menjadi progresif sehingga penderita merasakan badannya hangat atau muka terasa panas. 2.4.6. Menggigil Dapat terjadi bila panas badan naik dengan cepat, tetapi
tidak
diikuti
pengeluaran
panas
dengan
kecepatan yang sama atau dapat terjadi sebagai suatu reaksi umum yang lebih erat. 2.4.7. Keringat Malam Keringat malam bukan gejala yang patognomonis untuk penyakit tuberkulosis paru. Keringat malam umumnya baru timbul bila proses telah lanjut, kecuali pada orang-orang dengan vasomotor labil, keringat malam dapat timbul lebih dini. Nausea, takikardi dan sakit kepala timbul bila ada panas. 2.4.8. Anoreksia Anoreksia yaitu tidak selera makan dan penurunan berat badan merupakan manifestasi lebih sering dikeluhkan bila proses progresif. Rendahnya asupan
15
makanan
yang
disebabkan
oleh
anoreksia,
menyebabkan peningkatan metabolisme energi dan protein dan utilisasi dalam tubuh. Asupan yang tidak kuat menimbulkan pemakaian cadangan energi tubuh yang berlebihan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis dan mengakibatkan terjadinya penurunan berat badan.
2.5
PERJALANAN PENYAKIT 2.5.1. Tuberkulosis primer Merupakan sindrom yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis pada pasien non-sensitif yaitu
mereka
yang
sebelumnya
belum
pernah
terinfeksi. Pasien biasanya tanpa gejala (Rubenstein, 2008). Tuberkulosis primer sering terjadi pada anak (Hidayat, 2006), tetapi bisa terjadi pada orang dewasa dengan daya tahan tubuh yang lemah, seperti penderita HIV, DM, orang tua, dan sebagainya (Luhur, 2008). TB paru primer dimulai dengan masuknya Mycobacterium tuberculosis secara aerogen ke dalam alveoli yang mempunyai tekanan oksigen tinggi, atau melalui traktus digestivus (Malueka, 2007). Bakteri yang terhirup membentuk satu fokus infeksi di paru, disertai keterlibatan kelenjar limfe hilus (kompleks
16
primer). Biasanya hanya timbul sedikit gejala, dan pemulihan sering terjadi secara spontan. Individu yang bersangkutan tidak menular bagi orang lain dan bereaksi negatif terhadap uji bakteriologis walaupun uji kulit tuberkulinnya (Heaf test) mungkin sensitif. Waktu antara
terjadinya
infeksi
sampai
pembentukan
kompleks primer adalah 4-6 minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi positif (Zulkoni, 2010). Kompleks primer
ini
selanjutnya
dapat
menjadi
sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat, sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik, kalsifikasi di hilus, keadaan ini terdapat pada lesi pneumoni, berkomplikasi dan menyebar secara per kontinuitatum yakni menyebar ke sekitarnya,
secara
bronkogen
pada
paru
yang
bersangkutan maupun paru di sebelahnya, secara limfogen, ke organ tubuh lainnya, secara hematogen, ke organ tubuh lainnya (Sudoyo, 2007). 2.5.2. Tuberkulosis post primer Merupakan sindrom yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
tuberculosis
pada
yang
pernah
terinfeksi dan oleh karenanya pasien sensitif terhadap
17
tuberkulin (Rubenstein, 2008). TB paru post primer biasanya terjadi akibat dari infeksi laten sebelumnya. Infeksi ini dapat menimbulkan suatu gejala TB bila daya tahan tubuh host menurun. Mikroorganisme yang laten dapat berubah menjadi aktif dan menimbulkan nekrosis.
TB
sekunder
progresif
menunjukkan
gambaran yang sama dengan TB primer progresif (Icksan dan Luhur, 2008). Pemulihan spontan tidak dijumpai pada tuberkulosis post primer dan pasien mungkin menular bagi orang lain sebelum diterapi secara efektif (Gould dan Brooker, 2003). Tuberkulosis post primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas tuberkulosis post primer adalah kerusakan paru yang luas dan parah (Zulkoni, 2010).
2.6
KLASIFIKASI TUBERKULOSIS PARU Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI 2006),
terdapat
beberapa
klasifikasi
TB
berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA) :
paru,
yaitu
18
2.6.1.
Tuberkulosis paru BTA (+), yaitu : 1. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif. 2. Hasil
pemeriksaan
satu
spesimen
dahak
menunjukkan BTA positif dan kelainan radiologi menunjukkan gambar tuberkulosis aktif. 3. Hasil
pemeriksaan
satu
spesimen
dahak
menunjukkan BTA positif dan perkembangbiakan positif. 2.6.2. Tuberkulosis paru BTA (-), yaitu : 1. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinis dan kelainan radiologi menunjukkan tuberkulosis aktif. 2. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan perkembangbiakan M. tuberculosis positif.
2.7
DIAGNOSA TUBERKULOSIS PARU 2.7.1. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik pertama terhadap keadaan umum
pasien
mungkin
ditemukan
pucatnya
konjungtiva mata atau kulit pucat karena anemia, suhu demam subfebril, badan kurus atau berat badan
19
menurun
(Amin,
2007).
Tempat
kelainan
lesi
Tuberkulosis paru yang paling dicurigai adalah bagian apeks paru. Bila dicurigai adanya infiltrat yang agak luas maka didapatkan perkusi yang redup dan auskultasi suara nafas bronkial dan ditemukan juga suara nafas berupa ronki basah, kasar dan nyaring. Tetapi bila infiltrat ini diliputi oleh penebalan pleura, suara nafasnya menjadi vesikular melemah. Pada keadaan
konsolidasi
dan
fibrosis
meningkatkan
penghantaran getaran sehingga pada palpasi didapati frenitus meningkat serta pada auskultasi suara nafas menjadi
bronkovesikuler
atau
bronkhial.
Bila
tuberkulosis mengenai pleura, sering terbentuk efusi pleura dalam pernafasan perkusi akan memberikan suara pekak (Halim, 1998). 2.7.2. Pemeriksaan Bakteriologik Pemeriksaan menegakkan
dahak
diagnosa,
berfungsi menilai
untuk
keberhasilan
pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk menegakkan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan
yaitu:
Sewaktu-Pagi-Sewaktu
(SPS)
20
(Depkes RI, 2006). Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lainnya (cairan pleura, CSF, bilasan bronkus, bilasan lambung, urin, feses dan jaringan biopsi dapat dilakukan dengan cara mikroskopis dan biakan) (PDPI, 2006). Pemeriksaan mikroskopis dengan menggunakan pewarnaan ZiehlNielssen, sedangkan pemeriksaan biakan dengan menggunakan Egg Base Media Lowenstein-Jensen atau Ogama (PDPI, 2006). 2.7.3. Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan radiologi adalah pemeriksaan yang sensitif tapi tidak spesifik untuk mendiagnosa suatu tuberkulosis aktif (Barker, 2009). Beberapa bagian kelainan yang dapat digunakan pada foto rontgen adalah : 1. Sarang berbentuk awan dengan densitas rendah atau sedang dan batas tidak tegas. Sarangsarang seperti ini biasanya menunjukkan bahwa proses aktif, 2. Lubang (kavitas) selalu berarti proses aktif kecuali bila lubang sudah sangat kecil yang dinamakan lubang sisa (residual cavity), 3. Sarang seperti garis-garis (fibrotik) atau bintik-bintik kapur yang menunjukkan bahwa proses telah baik (Rasad, 2008).
21
2.7.4. Indikasi pemeriksaan foto toraks Pada
sebagian
besar
TB
paru,
diagnosis
terutama ditegakkan dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks. Namun pada kondisi tertentu pemeriksaan foto toraks perlu disesuaikan dengan indikasi sebagai berikut (Depkes RI, 2006) : 1.
Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini pemeriksaan foto toraks
dada
diperlukan
untuk
mendukung
diagnosis TB paru BTA positif. 2.
Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasil BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
3.
Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang memerlukan penanganan khusus
(seperti:
pneumotoraks,
pleuritis,
eksudatif, efusi perikarditis atau efusi pleural) dan pasien yang mengalami hemioptisis berat (untuk menyingkirkan bronkiektasis atau aspergiloma). Diagnosis TB paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA)
22
pada 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu-pagi-sewaktu
(SPS).
Pada
program
TB
nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis
merupakan
diagnosis
utama.
Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan, dan uji kepekaan
dapat
digunakan
sebagai
penunjang
diagnosis sesuai dengan indikasinya, tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambar yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi over diagnosis (Depkes RI, 2006).
2.8
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA TUBERKULOSIS PARU 2.8.1. Umur Beberapa faktor resiko penularan penyakit TB di Amerika yaitu umur, jenis kelamin, ras, asal negara bagian serta infeksi AIDS. Variabel umur berperan dalam kejadian TB. Dari hasil penelitian
yang
dilaksanakan di New York pada panti penampungan orang-orang
gelandangan
menunjukkan
bahwa
kemungkinan mendapat infeksi tuberkulosis aktif meningkat secara bermakna sesuai dengan umur.
23
Pada wanita prevalensi mencapai maksimum pada umur 40-50 tahun kemudian berkurang, sedangkan pada pria prevalensi terus meningkat sekurangkurangnya mencapai usia 60 tahun (Crofton, 2002). Resiko untuk mendapatkan TB dapat dikatakan hanya seperti kurva terbalik, yaitu tinggi ketika awalnya, menurun ketika di atas dua tahun hingga dewasa memiliki daya tangkal terhadap TB dengan baik. Puncaknya pada dewasa muda dan menurun kembali ketika seseorang atau kelompok menjelang usia tua (Achmadi, 2005). Hasil survei TB paru di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi TB paru berbeda secara signifikan berdasarkan kelompok umur, dimana kelompok umur di bawah 45 tahun (74/100.000) lebih rendah dari kelompok umur 45 tahun ke atas (211/100.000) (Soemantri, 2005). 2.8.2. Jenis kelamin Wanita pada usia reproduksi mempunyai resiko lebih tinggi untuk menderita TB di bandingkan dengan laki-laki pada usia yang sama. Prevalensi TB paru pada
wanita
secara
keseluruhan
lebih
rendah
dibandingkan dengan pria. Peningkatan prevalensi
24
seiring
dengan
usia
yang
relatif
kurang
tajam
dibandingkan dengan peningkatan pada pria, namun pada wanita prevalensi terus meningkat sampai sekurang-kurangnya mencapai usia 60 tahun (Crofton, 2002). Hal ini sejalan dengan hasil prevalensi TB paru di Indonesia tahun 2004, dimana prevalensi TB paru pada
pria
adalah
138/100.000
lebih
tinggi
dibandingkan dengan prevalensi pada wanita sebesar 72/100.000. 2.8.3. Tingkat pendidikan Tingkat mempengaruhi
pendidikan terhadap
seseorang
pengetahuan
akan
seseorang
diantaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat kesehatan dan pengetahuan penyakit TB paru, sehingga dengan pengetahuan yang cukup maka seseorang akan mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersih dan sehat. Selain itu tingkat pendidikan seseorang
akan
mempengaruhi
terhadap
jenis
pekerjaannya (Helda, 2009), dan pada mereka yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi umumnya lebih mudah dalam menyerap dan menerima informasi masalah
kesehatan
dibandingkan
dengan
yang
berpendidikan lebih rendah, sehingga mempengaruhi
25
terhadap keputusan dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan yang tersedia. Suatu studi kasus yang dilakukan di Myanmar menunjukkan bahwa proporsi kejadian TB banyak terjadi pada kelompok yang mempunyai tingkat pendidikan rendah. Kelompok tersebut juga lebih banyak mencari pengobatan tradisional dibandingkan pada pelayanan medis yang tersedia (WHO, 2002). 2.8.4. Jenis pekerjaan Jenis pekerjaan menentukan faktor resiko apa yang harus dihadapi setiap individu. Bila pekerja bekerja di lingkungan yang berdebu terpapar partikel debu
di
terjadinya Paparan
daerah
terpapar
gangguan kronis
pada
udara
akan
mempengaruhi
saluran
yang
pernafasan.
tercemar
dapat
meningkatkan morbiditas, terutama terjadinya gejala penyakit saluran pernafasan. Jenis pekerjaan seseorang juga mempengaruhi terdapat pendapatan keluarga yang akan mempunyai dampak terhadap pola hidup sehari-hari di antara konsumsi makanan, pemeliharaan kesehatan selain itu juga akan mempengaruhi terhadap kepemilikan rumah (kontruksi rumah). Kepala keluarga yang mempunyai
26
pendapatan
dibawah
UMR
akan
mengkonsumsi
makanan dengan kadar gizi yang tidak sesuai dengan kebutuhan bagi setiap anggota keluarga sehingga mempunyai status gizi yang kurang dan akan memudahkan
untuk
terkena
penyakit
infeksi
diantaranya TB paru. 2.8.5. Kebiasaan merokok Menurut (Aditama, 2002), perilaku merokok adalah aktivitas menghisap atau menghirup asap rokok. Seperti halnya perilaku lain, perilaku merokok pun muncul karena adanya faktor internal (faktor biologis dan faktor psikologis, seperti perilaku merokok dilakukan untuk mengurangi stres) dan faktor eksternal (faktor lingkungan sosial). Didapat bahan-bahan kimia yang dikandung dalam rokok seperti nikotin, CO (Karbonmonoksida) dan tar akan memacu kerja dari susunan syaraf pusat dan susunan simpatis sehingga mengakibatkan tekanan darah meningkat dan detak jantung bertambah cepat, menstimulasi kanker dan berbagai penyakit yang lain seperti penyempitan pembuluh darah, tekanan darah tinggi, jantung, paruparu dan bronchitis kronis. Seseorang yang dikatakan perokok berat adalah bila mengkonsumsi rokok lebih
27
dari 21 batang perhari dan selang merokoknya lima menit
setelah
bangun
pagi.
Perokok
sedang
menghabiskan 11-21 batang dan perokok ringan menghabiskan rokok kurang dari 10 batang (Aditama, 2002). Merokok
diketahui
mempunyai
hubungan
dengan meningkatkan resiko untuk mendapatkan kanker paru-paru, penyakit jantung koroner, bronchitis kronik dan kanker kandung kemih. Kebiasaan merokok meningkatkan resiko untuk terkena TB paru sebanyak 2,2 kali (Sitepoe, 2000). Didapat data riset kesehatan dasar (Riskesdas, 2010) usia perokok di Indonesia adalah pada usia 5-9 tahun sebesar 1,7%, usia 10-14 tahun 17,5%, usia 1519 tahun sebesar 43,3%, usia 20-24 tahun sebesar 14,6%, usia 25-29 sebesar 4,3% dan usia ≥ 30 tahun sebesar 3,95%. 2.8.6. Status gizi Status gizi merupakan variabel yang sangat berperan
dalam
timbulnya
kejadian
TB
paru.
Kekurangan gizi akan berpengaruh terhadap kekuatan dan daya tahan tubuh dan respon imunologik terhadap penyakit.
Beberapa
studi
menunjukkan
adanya
28
hubungan antara gizi dengan kejadian tuberkulosis. Oleh sebab itu salah satu upaya untuk menangkalnya adalah status gizi yang baik, baik untuk wanita, lakilaki, anak-anak maupun dewasa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang dengan status gizi kurang mempunyai resiko 3,7 kali untuk menderita TB paru berat dibandingkan dengan orang
yang
status
gizinya
cukup
atau
lebih.
Kekurangan gizi pada seseorang akan berpengaruh terhadap kekuatan daya tahan tubuh dan respon immunologi terhadap penyakit (Achmadi, 2005). 2.8.7. Perilaku Faktor
resiko
perilaku
lainnya
yang
berhubungan dengan kejadian TB paru adalah : kebiasaan tidur dengan anggota keluarga lain yang terinfeksi TB, tidak menjemur kasur dan bantal, membuang ludah sembarangan, tidak membuka jendela
kamar
tidur
setiap
hari,
tidak
pernah
membersihkan lantai, tidak menutup mulut saat bersin atau batuk (Edwan, 2008). Perilaku dapat terdiri dari pengetahuan, sikap dan tindakan. Pengetahuan penderita TB paru yang kurang tentang cara penularan, bahaya dan cara
29
pengobatan akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku sebagai orang sakit dan akhirnya berakibat menjadi sumber penularan bagi orang di sekelilingnya (Helda, 2009).
2.9
KERANGKA KONSEP Kerangka penelitian ini menggambarkan bahwa angka kejadian TB paru disebabkan oleh faktor lingkungan rumah, jenis pekerjaan, kebiasaan merokok. Kerangka konsep dari kejadiaan TB paru adalah sebagai berikut :
Skema 2.1 Kerangka Konsep Penelitian Variabel bebas
Variabel terikat
Jenis pekerjaan
Kebiasaan merokok
Kejadian TB paru pada pria dan wanita
2.10 HIPOTESIS Menurut (Sugiyono, 2010), hipotesis diartikan sebagai jawaban sementara tehadap rumusan masalah penelitian. Terdapat dua macam hipotesis yaitu : hipotesis nol dan hipotesis alternatif. Hipotesis nol diartikan sebagai tidak
30
adanya perbedaan antara parameter dengan statistik, atau tidak adanya perbedaan antara ukuran populasi dan ukuran sempel. Dalam penelitian ini, hipotesis yang ditetapkan adalah sebagai berikut : a. Ha
:
ada
perbandingan
jenis
pekerjaan
dan
kebiasaan merokok pada pria dan wanita yang menderita penyakit TB paru di RSPAW Salatiga. b. Ho: tidak ada perbandingan jenis pekerjaan dan kebiasaan merokok pada pria dan wanita yang menderita penyakit TB paru di RSPAW Salatiga.