5
TINJAUAN PUSTAKA Vitamin A Vitamin A adalah vitamin larut lemak yang pertama ditemukan. Secara luas, vitamin A merupakan nama generik yang menyatakan semua retinoid dan prekursor atau provitamin A atau karotenoid yang mempunyai aktivitas biologis sebagai retinol (Almatsier 2005). Vitamin A adalah sekelompok senyawa organik kompleks yang dibutuhkan oleh tubuh dalam jumlah yang relatif kecil tetapi sangat penting untuk pertumbuhan dan kesehatan. Pada umumnya keberadaan vitamin tidak dapat disintesis dari dalam tubuh, sehingga untuk mendapatkan jumlah vitamin yang cukup harus diperoleh dari asupan makanan (Almatsier 2005). Pada makanan, vitamin A biasanya terdapat dalam bentuk ester retinil, yaitu terikat pada asam lemak rantai panjang. Di dalam tubuh, vitamin A berfungsi dalam beberapa bentuk ikatan kimia aktif, yaitu: retinol (bentuk alkohol), retinal (aldehida), dan asam retinoat (bentuk asam) (Almatsier 2005). Vitamin A sendiri tidak terdapat di dalam tumbuhan tetapi banyak tanaman yang mengandung senyawa isoprenoid, dikenal sebagai karotenoid yang dapat diubah secara enzimatik menjadi vitamin A atau dikenal sebagai provitamin A (Lehninger 1992). Bentuk aktif vitamin A hanya terdapat dalam pangan hewani. Bentuk aktif vitamin A yang utama secara fisiologis adalah retinaldehida dan asam retinoat, keduanya merupakan turunan dari retinol (Bender 2003). Bentuk vitamin A yang paling umum dan paling aktif adalah all-transretinol. All-trans-retinol terdiri dari cincin β-ionon yang menempel pada atom C-6 pada sisi rantai yang disusun dua unit isoprena tidak jenuh (Ball 1988). Struktur kimia vitamin A dalam bentuk retinol disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1 Struktur kimia vitamin A dalam bentuk retinol Vitamin A tahan terhadap panas, cahaya dan alkali, tetapi tidak tahan terhadap asam dan oksidasi. Pada cara memasak biasa tidak banyak vitamin A yang hilang. Suhu tinggi untuk menggoreng dapat merusak vitamin A (Almatsier
6
2005). Ball (1988) menyatakan bahwa vitamin A dalam bentuk tidak teresterifikasi mudah teroksidasi oleh oksigen membentuk 5,6 – epoxide bersamaan dengan produk oksidasi. Asetat dan ester palmitat dari vitamin A lebih stabil terhadap oksidasi dibandingkan dengan alkohol bebas. Sebagian besar vitamin A disimpan di dalam hati dengan kisaran antara 100 – 1000 µg per gram jaringan (Olson 1991). Fungsi Vitamin A Fungsi vitamin A adalah untuk penglihatan, pertumbuhan, diferensiasi sel, reproduksi dan
integritas dari sistem kekebalan tubuh (Calder et al. 2002).
Vitamin A berperan dalam diferensiasi sel termasuk sel kornea dan membran konjungtiva,
sehingga
mencegah
terjadinya
xerophalmia,
dan
untuk
photoreseptor sel rod (batang) dan cone (kerucut) dari retina (Wintergrest et al. 2002). Vitamin A dapat mendorong diferensiasi sel epitel, mendorong kelangsungan hidup sistem reproduktif, utilisasi siklus penglihatan. Sel epitel yang melapisi permukaan mukosa merupakan benteng pertahanan mekanis yang penting terhadap antigen (Brody 1999). Menurut Ball (2004), vitamin A dibutuhkan untuk beberapa proses esensial di dalam tubuh seperti metabolisme, hematopoiesis, pengaturan diferensiasi sel epitel, dan berperan dalam sistem imun. Proses tersebut dapat didukung dengan semua bentuk vitamin A, termasuk karotenoid provitamin A. Proses lainnya yang terkait dengan fungsi vitamin A adalah reproduksi dan penglihatan yang membutuhkan retinol dan retinaldehid (Ball 2004). Retinol memiliki peranan yang sangat penting dalam penglihatan normal karena daya penglihatan mata sangat tergantung oleh adanya rodopsin, suatu pigmen yang mengandung retinol (Winarno 1997). Vitamin A juga berfungsi untuk kekebalan tubuh (Olson 2001) dan retinol berpengaruh terhadap pertumbuhan dan diferensiasi limfosit B yaitu leukosit yang berperan dalam proses kekebalan humoral (Almatsier 2005). Vitamin A merupakan vitamin yang bersifat anti infektif didasarkan pada peningkatan kejadian penyakit infeksi akibat defisiensi vitamin A baik pada hewan maupun manusia (Olson 2001). Pada keadaan kekurangan vitamin A, terjadi gangguan pada mekanisme imun spesifik dan non spesifik, termasuk respon humoral terhadap infeksi bakteri, parasit, dan virus.
7
Satuan dan Kecukupan Vitamin A Penentuan kadar vitamin A dalam pangan perlu memperhatikan jumlah vitamin A yang aktif. Aktivitas vitamin A bahan makanan biasanya dinyatakan sebagai retinol ekuivalen (Winarno 1997). Pada hewan, vitamin A terdapat secara berlimpah dalam hati, dan pada umumnya disimpan dalam bentuk alkohol bebas atau teresterifikasi. Pada tanaman dan fungi, aktivitas vitamin A terdapat di dalam sejumlah karotenoid yang selama metabolisme dikonversi menjadi vitamin A setelah penyerapan (Muchtadi et al 1993). Institute of Medicine (2001) memperkenalkan suatu konsep baru tentang retinol activity equivalents (RAE). Pada konsep RAE, aktifitas vitamin A yang berasal dari karotenoid provitamin A adalah setengahnya dari aktifitas vitamin A dalam satuan RE (Tabel 1). Perubahan nilai ekuivalen ini didasarkan pada hasil penelitian bahwa aktivitas vitamin A dari β-karoten pada minyak hanyalah setengahnya. Perbandingan interkonversi unit vitamin A dan karotenoid dalam satuan E dan RAE disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Perbandingan interkonversi unit vitamin A dan karotenoid NRC (1989) *
IOM (2001) **
1 Retinol Equivalent (μg RE) 1 Retinol Activity Equivalent (μg RAE) = 1 μg all-trans-retinol = 1 μg all-trans-retinol = 2 μg supplemen all-trans- β -karoten = 2 μg supplemen all-trans- β -karoten = 6 μg all-trans-β-karoten dari makanan =12 μg all-trans-β-karoten dari makanan =12 μg karotenoid provitamin A lainnya =24 μg karotenoid provitamin A lainnya dari makanan dari makanan 1 IU = 0,6 μg all-trans- β –karoten (Bender 2003) * NRC = National Research Council ** IOM = Institute of Medicine Sumber: IOM (2001)
Pada setiap golongan umur dan jenis kelamin memiliki kecukupan vitamin A berbeda-beda. Banyaknya vitamin A yang dibutuhkan oleh orang dewasa lebih tinggi daripada yang dibutuhkan oleh anak-anak. Pada anak-anak, yaitu golongan usia 1-8 tahun kebutuhan vitamin A berkisar antara 400-450 RAE seperti pada Tabel 2. Tabel 2 Angka kecukupan vitamin A anak-anak Golongan Umur
a
µg RE
1-3 thn 400 4-8 thn 450 a Sumber: Muhilal dan Sulaeman (2004) b IOM (2001)
b
µg RAE 300 400
8
Kebutuhan gizi seseorang akan vitamin A bergantung pada sejumlah faktor yang saling berhubungan, termasuk umur, kecepatan pertumbuhan, jenis kelamin, efisiensi penyerapan dan penyimpanan, efisiensi pengangkutan oleh plasma dan status kesehatan secara keseluruhan. Seperti misalnya kecepatan pertumbuhan yang rendah untuk suatu umur tertentu secara nyata akan menurunkan kebutuhan, sedangkan parasit pencernaan, kekurangan gizi dan penyakit saluran pencernaan, hati serta ginjal akan meningkatkan kebutuhan akan vitamin A. Dengan demikian, untuk mengetahui besarnya kebutuhan secara nyata sulit diduga, namun para ahli berupaya untuk mencari jalan keluarnya, yang dikenal dengan RDA (Recommended Dietary allowance). Klasifikasi Status dan Kekurangan Vitamin A Status
vitamin
A
seseorang
dapat
diklasifikasikan
berdasarkan
kandungan vitamin A dalam serum darah. Behman dan Victor
(1988)
menyatakan kadar normal retinol pada bayi adalah 20-50 µg/dl sedangkan bagi anak-anak dan orang dewasa 30-225 µg/dl. Seseorang dikatakan kekurangan vitamin A jika kadar vitamin A dalam serumnya < 20 µg/dl (Sommer & West 1996). WHO mengajukan bahwa jumlah prevalensi suatu populasi yang memiliki konsentrasi retinol serum sebesar < 0,07 µmol/L atau < 20 µg/dl digunakan untuk mengindikasikan adanya masalah kesehatan pada suatu masyarakat. Status vitamin A dikategorikan menjadi empat yaitu defisiensi vitamin A, rendah (marginal), normal (cukup), dan berlebih. Klasifikasi status vitamin A disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Klasifikasi status vitamin A Status vitamin A Berlebih Cukup Marginal Defisiensi
Kadar Serum µg/dl µmol/liter > 50 > 1,05 20 – 50 0,7 – 1,05 10 – 19,99 0,35 – 0,69 < 10 < 0,35
Sumber : Olson (1994) Kekurangan vitamin A dapat menyebabkan kesakitan dan kematian bagi setiap orang di dunia, terutama pada balita, anak-anak, dan wanita di negara berkembang. KVA dapat disebabkan oleh kurangnya asupan vitamin A ataupun kurangnya ketersediaan provitamin A (Miller et al 2002). Kekurangan vitamin A (KVA) terjadi ketika simpanan tubuh habis terpakai sehingga mengganggu fungsi fisiologis. Kekurangan vitamin A dapat merupakan kekurangan primer akibat kurang konsumsi, atau kekurangan sekunder karena
9
gangguan penyerapan dan penggunaannya dalam tubuh, kebutuhan yang meningkat, ataupun karena gangguan konversi karoten menjadi vitamin A (Almatsier 2005). Kekurangan vitamin A pada tahap awal, terjadi gangguan pada integritas sel epitel dan kemudian mengganggu sistem imun, selanjutnya diikuti gangguan pada sistem penglihatan. Dalam keadaan kekurangan vitamin A, integritas mukosa epitel terganggu, hal ini sebagian besar disebabkan oleh hilangnya sel goblet penghasil mukus. Konsekuensinya adalah meningkatkan kerentanan terhadap kuman patogen di mata dan saluran nafas serta saluran pencernaan. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian bahwa anak-anak dengan KVA, menderita penyakit saluran nafas (Karyadi et al. 2002; Long et al 2006). Kekurangan vitamin A sekunder dapat terjadi pada penderita Kurang Energi Protein (KEP), penyakit hati, lipoproteinemia, atau gangguan absorpsi karena kekurangan asam empedu (Almatsier 2005). Asupan lemak yang rendah mengakibatkan penyerapan vitamin A yang rendah (Wiseman (2002), asupan protein yang rendah mengakibatkan kekurangan protein pengangkut serta penurunan konsentrasi vitamin A dalam plasma (Behrman dan Victor 1988). Kekurangan vitamin A dapat mempengaruhi aspek imunitas diantaranya adalah ekspresi keratin dalam saluran pernapasan, saluran genitourinari dan permukaan okular yang abnormal, berkurangnya jumlah silia dari sel epitel dalam saluran pernapasan, kehilangan mikrovili usus kecil, penurunan sel goblet dan produksi musin pada epitel mukosa, fungsi neutrofil yang abnormal; kegagalan proses haematopoiesis, penurunan jumlah dan fungsi sel limfosit B, kegagalan respon antibodi (Semba 2002). Metabolisme, Transport, dan Ekskresi Vitamin A Proses metabolisme vitamin A secara keseluruhan dapat digambarkan oleh dua fungsi biologis utama yaitu menyediakan jumlah retinoid yang cukup untuk jaringan di tubuh yang digunakan dalam produksi asam retinoat untuk proses diferensiasi jaringan dan ekspresi gen, dan menyediakan retinol untuk produksi 11-cis-retinal yang berada dalam retina (Ross & Harison 2007). Vitamin A dalam makanan sebagian besar terdapat dalam bentuk retinil ester, bersama karotenoid bercampur dengan lipida lain di dalam lambung. Ester retinil dihidrolisis oleh enzim-enzim pankreas esterase menjadi retinol yang lebih efisien diabsorpsi daripada ester retinil di dalam sel-sel mukosa usus halus. Sebagian dari karotenoid, terutama β-karoten di dalam sitoplasma sel mukosa
10
usus halus dipecah menjadi retinol (Almatsier 2005). Dalam mukosa intestinal, βkaroten dikonversi menjadi retinal dengan bantuan enzim beta karotenoid 15,15’ dioksigenase, kemudian direduksi menjadi retinol dan diesterifikasikan dan diikat ke dalam kilomikron dan dibawa ke saluran darah melalui sirkulasi limfa (getah bening). Ester dan karotenoid yang tidak berubah membentuk kilomikron, ditransportasikan melalui sistem limfa ke hati sebagai cadangan/simpanan. Dalam keadaan normal, sebagian besar (90%) vitamin A disimpan di dalam hati dalam bentuk retinil ester, sedangkan sisanya ditemukan dalam hampir seluruh jaringan, seperti lemak badan, adrenal korteks, dan kulit (Semba 2002). Hati mempunyai kemampuan menyimpan vitamin A yang cukup untuk beberapa bulan. Kapasitas penyimpanan pada anak-anak lebih kecil dibanding dengan orang dewasa. Bersama-sama dengan Retinol Binding Protein (RBP) dan transtiretin, retinol keluar dari hati (Semba 2002). Pengambilan retinol oleh berbagai sel tubuh bergantung pada reseptor pada permukaan membran yang spesifik untuk RBP. Retinol kemudian diangkut melalui membran sel untuk kemudian diikatkan pada Cellular Retinol Binding Protein (CRBP) dan RBP kemudian dilepaskan (Almatsier 2005). Menurut Almatsier (2005), bila tubuh mengalami kekurangan konsumsi vitamin A, asam retinoat diabsorpsi tanpa perubahan. Asam retinoat merupakan sebagian kecil dari vitamin A dalam darah yang aktif dalam diferensiasi sel dan pertumbuhan. Retinol dimetabolisme dalam hati menjadi beberapa produk, diantaranya yaitu glucoronic acid atau taurine untuk diekskresikan dalam empedu (Sporn et al 1984 dalam IOM 2001). Jumlah metabolit Vitamin A yang diekskresikan dalam empedu akan meningkat bila konsentrasi vitamin A dalam hati sudah berlebihan. Ini merupakan mekanisme perlindungan untuk mengurangi resiko bahaya dari cadangan vitamin A yang berlebihan di hati (Hicks et al 1984 dalam IOM 2001). Penilaian Status Vitamin A Penentuan status vitamin A dilakukan untuk melihat kadar vitamin A dalam tubuh seseorang. Tubuh menyimpan vitamin A di hati dalam bentuk retinil ester. Pengukuran cadangan vitamin A dalam hati merupakan indeks terbaik untuk mengetahui status vitamin A, disamping konsentrasi retinol serum (Gibson 2005). Konsentrasi retinol serum dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, dan ras. Selain itu, konsentrasi retinol serum juga dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mempengaruhi pengeluaran holo-RBP. Faktor lain yang berpengaruh adalah
11
asupan lemak yang rendah dalam makanan, misalnya asupan kurang dari 5-10 g/hari akan mengganggu absorpsi provitamin A (karoten) dan pada jangka panjang
menurunkan
konsentrasi
retinol.
Kurang
energi
protein
dapat
menurunkan apo-RBP, kekurangan zink dapat menurunkan kadar retinol karena peranannya dalam sintesa hepatik atau sekresi RBP (Gibson 2005). Retinol serum dapat ditentukan dengan spektrofotometri atau menggunakan HPLC (High Perfomance Liquid Chromatography). HPLC dapat membedakan retinol dari retinil ester sedangkan metode lain hanya mengukur total serum vitamin A (Dee Pee dan Diary 2002). Konsentrasi vitamin A dalam hati bervariasi tergantung dari asupan makanan. Ketika asupan vitamin A cukup, lebih dari 90% total vitamin A tubuh berada di hati (Raica et al 1972 dalam IOM 2001) dalam bentuk retinil ester (Schindler et al 1988 dalam IOM 2001) yang terkonsentrasi dalam droplet perisinusoidal stellate cells (Hendriks et al 1985 dalam IOM 2001). Di negara berkembang dengan prevalensi KVA yang tinggi, konsentrasi biopsi hati contoh berkisar 17 sampai 141 μg/g hati (Flores and the de Araujo 1984; Haskell et al 1997 dalam IOM 2001). Konsentrasi sedikitnya 20 μg retinol/g hati pada dewasa merupakan level yang minimal (Olson 1982 dalam IOM 2001). Rata-rata simpanan vitamin A hati pada anak-anak (1 sampai 10 tahun) dilaporkan sebesar 171 sampai 723 μg/g hati (Flores and the de Araujo 1984 dalam IOM 2001), sedangkan rata-rata simpanan vitamin A hati pada bayi lebih rendah yaitu dari 0 sampai 320 μg/g hati (Flores and the de Araujo 1984 dalam IOM 2001). Efisiensi simpanan vitamin A di hati akan rendah bersamaan dengan semakin rendahnya status vitamin A. Persentasi simpanan vitamin A tubuh total akan berkurang
rata-rata
0,5%
setiap hari pada dewasa
yang
tidak
mengkonsumsi vitamin A dalam makanannya (Sauberlich et al 1974 dalam IOM 2001).
Karotenoid Definisi dan Karakteristik Karotenoid merupakan pigmen alami yang memberikan warna kuning, jingga atau merah (Fennema 1996). Kristal karotenoid terdapat dalam beberapa bentuk dan warna yang bervariasi, mulai dari merah-oranye hingga ungu kehitaman (Hendry & Houghton 1996). Karotenoid diklasifikasikan berdasarkan struktur kimianya, yaitu : (1) Hydrophobic hydrocarbon carotenoid (a-, β-karoten
12
dan likopen); (2) Monohydroxycarotenoid (β-kriptoxantin); (3)Dihydroxycarotenoid (lutein, zeaxanthin) (Bender 2003). Karotenoid dibagi menjadi dua kelompok, yaitu karoten atau hydrocarotenoids, yang mengandung karbon dan hidrogen dan xanthophylls atau oxycarotenoids, merupakan turunan dari karoten (Kjellenberg 2007). Karotenoid memiliki melting point yang tinggi, biasanya berkisar dari 130220°C. Karotenoid dapat larut dalam lemak atau minyak dan tidak larut dalam air (Hendry dan Houghton 1996). Hal ini disebabkan karena karotenoid memiliki struktur yang nonpolar (Fennema 1996). Penyinaran langsung cahaya ultraviolet dan cahaya matahari akan menyebabkan isomerisasi cis dan trans atau kerusakan pada karoten. Kepekaan karoten terhadap cahaya serta panas biasanya menjadi katalis dalam proses oksidasi. Selain itu, faktor yang mempengaruhi biosintesis dan degradasi karotenoid adalah air. Karotenoid akan cepat dioksidasi pada produk yang kering atau mengalami dehidrasi, karena air yang terikat di dalam permukaan produk membentuk lapisan pelindung. Bahan makanan yang dikeringkan sangat mudah mengalami kehilangan aktivitas provitamin A karena pengeringan memberi kesempatan terjadinya oksidasi melalui mekanisme oksidasi radikal bebas (Andarwulan dan Koswara 1992). Menurut Wiseman (2002) kandungan karotenoid juga dipengaruhi oleh tingkat kemasakan. Efisiensi
penyerapan
karotenoid
dari
makanan
sekitar
50-60%,
tergantung bioavailabilitasnya (Olson 1996). Banyaknya karotenoid yang dapat diserap tubuh dipengaruhi oleh faktor diet lain seperti pencernaan kompleks protein dengan karotenoid dan kadar serta jenis lemak dalam diet (vitamin larut lemak memerlukan lemak untuk penyerapan optimum) (Mahan & Stump 2004). Kandungan vitamin A beberapa jenis pangan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Kandungan Vitamin A pada pangan Jenis Pangan Red Palm Oil Wortel Sayuran Daun a
Kandungan vitamin A (µg REa /100 g BDD) 30.000 2000 685
Jumlah Retinol Equivalen (RE) diperoleh dengan membagi kandungan β-karoten (µg) dengan faktor konversi = 6 Sumber : Passmore R dan Eastwood M.A (1986); Ball (1988)
Beberapa jenis karotenoid yang penting dan mempunyai hubungan dengan gizi disajikan dalam Tabel 5.
13
Tabel 5 Jenis-jenis karotenoid dan aktivitas provitamin A Jenis karotenoid α-karoten β-karoten -karoten β-zeakaroten β-karoten -5,6-mono epoksida 3,4 dehidrobetakaroten
Aktifitas provitamin A (%) 50-54 100 42-50 20-40 21 75
Sumber : (Linder 1991)
Karotenoid sebagai Provitamin A Karotenoid yang merupakan prekursor vitamin A adalah karotenoid yang mengandung cincin β-ionon yang dapat diubah menjadi vitamin A, diantaranya α-, β- dan -karoten. Pigmen α-, β- dan -karoten disebut provitamin A, dimana dalam tubuh hewan dipecah atau diubah menjadi vitamin A (Hendry dan Houghton 1996). Karoten sebagian besar merupakan sumber dari vitamin A yang banyak terdapat dalam bahan-bahan nabati. Karoten bersifat larut dalam lemak dan stabil bersama antioksidan dan juga dapat melindungi lemak itu sendiri. Peroksida atau asam lemak yang terbentuk pada proses oksidasi lemak akan mempercepat oksidasi karoten (Setiana 1993). Tubuh manusia mampu mengubah sejumlah besar karoten menjadi vitamin A (Winarno 2002). Gross (1991) mengatakan bahwa β-karoten dengan dua cincin β merupakan provitamin A dengan aktivitas yang paling tinggi. Ball (1988) menyatakan bahwa β-karoten memiliki aktivitas vitamin A 100% karena adanya dua molekul retinol yang terdapat pada ujung-ujung struktur β-karoten. Sedangkan karotenoid provitamin A lainnya yang mempunyai satu cincin β seperti α-karoten dan -karoten, memiliki aktivitas yang lebih rendah. Struktur kimia β-karoten disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2 Struktur kimia β-karoten Pada manusia, sekitar 25-60% β-karoten yang dikonsumsi akan diubah menjadi vitamin A, tergantung dari jenis makanan dan faktor-faktor lain (Muchtadi
14
1989). Menurut Ball (1988), nilai biologis dari β-karoten makanan bervariasi tergantung dari efisiensi penyerapan. Menurut Fennema (1996), sekitar 25 persen dari β-karoten yang diabsorbsi pada mukosa usus tetap dalam bentuk utuh, sedang 75 persen sisanya diubah menjadi vitamin A (retinol) dengan bantuan enzim 15,15’ β-karoten dioksigenase. β-karoten memiliki Acceptable Daily Intake (ADI) sebesar 2,5 mg/kg berat badan (Hui 1996). β-karoten diserap secara sebagian oleh sistem limfatik usus serta sebagian lainnya dibelah menjadi dua buah molekul retinol. Ester retinil yang terdapat dalam susunan makanan dihidrolisis menjadi retinol dalam usus. Retinol diesterifiksi dengan asam palmitat, di dalam sel-sel mukosa serta disimpan di dalam hati sebagai retinilpalmitat, pada gilirannya dihidrolisis menjadi retinol bebas untuk diangkut ke tempat ia melakukan kegiatannya. Untuk mobilisasi ini diperlukan seng. Kadar normal retinol dalam plasma bayi adalah 20-50 μg/dl sedangkan bagi anak-anak dan orang dewasa 30-225 μg/dl (Behrman dan Victor 1988).
Wortel (Daucus carota, L) Definisi dan Klasifikasi Wortel (Daucus carota L.) adalah tumbuhan jenis sayuran umbi yang biasanya berwarna kuning kemerahan atau jingga kekuningan dengan tekstur serupa kayu (Malasari 2005). Berdasarkan bentuk umbinya terdapat tiga tipe wortel. Pertama, tipe chantenay, yaitu berbentuk bulat panjang dengan ujung tumpul, kedua, tipe imperator, yaitu berbentuk bulat panjang dengan ujung runcing dan ketiga, tipe nantes, merupakan gabungan tipe imperator dan chantenay. Pada Gambar 3 dapat dilihat bentuk ketiga tipe wortel tersebut.
Gambar 3 Wortel tipe Chantenay (a); Imperator (b); dan Nantes (c) Komponen Kimia dan Kandungan Gizi Wortel Wortel segar mengandung air, protein, karbohidrat, lemak, serat, abu, gula alamiah (fruktosa, sukrosa, dektrosa, laktosa dan maltosa), mineral (kalsium, fosfor, besi, kalium, natrium, magnesium), vitamin (B dan C) dan
15
karotenoid. Kandungan zat gizi wortel per 100 gram berat basah dapat diihat pada Tabel 6. Tabel 6 Kandungan zat gizi wortel per 100 g berat basah Komposisi Zat Gizi Satuan Jumlah Air g 88,29 Protein g 0,93 Lemak g 0,24 Karbohidrat g 9,58 g 2,8 Serat g 4,74 Gula total g 1,43 Pati Abu g 0,97 Kalsium mg 33 Fosfor mg 35 Besi mg 0,66 Kalium mg 240 Natrium mg 2,4 Magnesium mg 18 Vitamin B1 mg 0,04 Vitamin B2 mg 0,05 Vitamin B3 mg 1,2 Vitamin B6 mg 0,1 Vitamin C mg 5,9 Vitamin A μg RAE 835 Karoten, beta mg 8285 Karoten, alpha mg 3477 Lycopene mg 1 Lutein + Zeaxanthin mg 256 Sumber: USDA National Nutrient Database for Standard Reference (2007)
Umbi wortel mempunyai kantong minyak dalam ruang antarsel perisikel yang mengandung minyak esensial yang menyebabkan bau dan aroma yang khas wortel (Dalimartha 2006). Karoten tidak tersebar merata dalam umbi. Pembentukan karoten optimum pada suhu 16-250C. Karoten terakumulasi dan mencapai konsentrasi maksimum setelah tanaman berumur sekitar 90-120 hari, dan selanjutnya berhenti atau secara perlahan berkurang (Rubatzky & Yamaguchi 1997). Karoten pada wortel tersebar di seluruh sitoplasma sel dan terdapat dalam tiga bentuk, yaitu: (1) membentuk ikatan dengan protein; (2) membentuk kompleks dengan butir-butir pati; dan (3) sebagai caroten bodies. α-dan β-karoten adalah pigmen karotenoid utama yang menyebabkan warna kuning dan jingga pada wortel. β-karoten biasanya mencapai sedikitnya 50% dari kandungan total karotenoid. Perbandingan α-dan β-karoten biasanya sekitar 1:2 (Rubatzky & Yamaguchi 1997).
16
Minyak Sawit Kasar (Crude Palm Oil) Definisi dan Karakteristik Minyak Sawit Kasar (Crude Palm Oil-CPO) merupakan minyak yang diperoleh dari mesokarp atau sabut buah sawit (Elaeis guineensis, Jacq) (Ketaren 2008). Saat ini Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia menggantikan Malaysia. Kapasitas produksi CPO Indonesia telah mencapai 19 juta ton dengan lahan perkebunan kelapa sawit tersebar di 16 propinsi dan 52 kabupaten dengan luas sekitar 5,5 juta Ha (Gabungan Pengusaha Sawit Indonesia-GAPKI 2008). Bentuk buah kelapa sawit dan CPO disajikan pada Gambar 4 dan 5.
Gambar 4 Kelapa sawit
Gambar 5 CPO
CPO memiliki dua komponen asam lemak yang utama yaitu asam palmitat dan asam oleat. Asam palmitat merupakan asam lemak jenuh rantai panjang yang memiliki titik cair (melting point) yang tinggi, yaitu 64oC, sehingga pada suhu ruang minyak sawit kasar berbentuk semi padat. Kandungan asam palmitat yang tinggi ini membuat CPO lebih tahan terhadap oksidasi (ketengikan) dibanding jenis minyak lain. Asam oleat merupakan asam lemak tidak jenuh rantai panjang dengan rantai C18 dan memiliki titik cair lebih rendah dibanding asam palmitat, yaitu 14oC (Ketaren 2008). Ketaren (2008) menyatakan bahwa CPO mempunyai karakter yang belum layak makan, karena mengandung air, serat mesokarp, asam lemak bebas, fosfolipid dan fosfatida lain, logam serta berbagai produk hasil oksidasi. Bau dari senyawa volatil, warna yang pekat dan banyaknya komponen padatan serta senyawa lain yang terlarut menyebabkan perlunya langkah pemurnian. Pemurnian tersebut menghasilkan Red Palm Oil (RPO). RPO merupakan hasil pemurnian minyak sawit kasar (Crude Palm Oil – CPO) yang diproses secara minimal sehingga nilai karotennya masih tinggi. Komponen Kimia dan Kandungan Gizi CPO CPO
memiliki
kandungan
karotenoid
dan
tokoferol
yang
tinggi
dibandingkan dengan minyak nabati lainnya. Kandungan karotenoid CPO
17
bervariasi dari 400-3500 µg/g tergantung dari varietas kelapa sawit (Ping & Lian 2005). Minyak sawit kasar memiliki komponen kimia CPO dibandingkan dengan minyak nabati lain seperti disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Komponen kimia CPO dibandingkan dengan minyak nabati lain Komponen dalam Minyak Karotenoid (ppm)
Minyak Sawit 200-800
Minyak Kelapa -
Minyak jagung -
Minyak Kedelai -
Vitamin E : Tokoferol Tokotrienol
642 530
11 25
782 -
958 -
Asam Lemak (%) : Jenuh tidak jenuh
50 49
94 5.9
16 83
14 85
Fitosterol (ppm)
18
14
50
28
Sumber : (Winarno 1997)
Warna merah pada CPO disebabkan oleh karotenoid yang larut dalam minyak. Bau dan flavour terdapat secara alami, bau khas CPO ditimbulkan oleh gugus β-ionon dari karotenoid, sedangkan bau yang menyimpang terjadi akibat kerusakan asam-asam lemak rantai pendek yang membentuk asam lemak bebas
RPO (Red Palm Oil) CPO dalam industri pangan digunakan sebagai bahan dasar pembuatan minyak goreng. Warna merah pada CPO dihilangkan agar minyak yang dihasilkan menjadi jernih dan bening dan membuat sebagian besar β-karoten hilang. Oleh karena itu, dilakukan upaya untuk mempertahankan kandungan βkaroten pada CPO, yaitu minimal processing yang menghasilkan minyak yang sudah bersih dengan kandungan β-karoten yang tinggi. Minyak ini disebut minyak sawit merah atau Red Palm Oil (RPO). Pembuatan RPO Proses pemurnian CPO menghasilkan RPO. Salah satu metode yang digunakan dalam pembuatan RPO adalah dengan metode fraksinasi. Menurut Winarno (1997), fraksinasi minyak sawit kasar akan menghasilkan fraksi olein dan fraksi stearin. RPO merupakan fraksi olein dari hasil fraksinasi CPO. Fraksinasi CPO dilakukan untuk memisahkan fraksi olein (cair) dengan fraksi stearin (padat). Pemisahan dilakukan dengan cara meningkatkan suhu sampai 70oC dan penurunan suhu secara perlahan-lahan hingga tercapai suhu kamar sambil diagitasi. Pada suhu kamar terjadi kristalisasi fraksi stearin
18
sehingga fraksi olein yang masih bersifat cair dapat diperoleh dengan penyaringan vakum (Weiss 1983). Choo
et
al
(1989)
menyatakan
bahwa
fraksinasi
CPO
dapat
menghasilkan olein sebesar 70-80% dan stearin 20-30%, sedangkan kandungan karotenoid dalam fraksi olein menjadi lebih tinggi (10-20%). Data komponen fisiko kimia CPO dan RPO yang telah diolah disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Komponen fisiko kimia CPO dan RPO Parameter Komposisi asam lemak (%) Asam palmitat Asam stearat Asam oleat Asam linoleat Asam linolenat Bilangan asam (mgKOH/g minyak) Asam lemak bebas (%) Bilangan Iod (g I2/100 g minyak) Kandungan karoten (ppm) Beta karoten (ppm) Sumber: Sirajuddin (2003)
Nilai parameter sifat fisiko kimia minyak CPO RPO 44,0 4,5 39,2 10,1 0,37 2-15 4,5 48-56 500-700 329-347
39,8 4,4 42,5 11,2 0,4 0,64 0,04 56,4-57,84 650-700 337-375
RPO memiliki kandungan vitamin A yang tinggi jika dibandingkan dengan kandungan vitamin A beberapa pangan, seperti tersaji pada Tabel 9. Tabel 9 Kandungan vitamin A pada pangan Jenis Pangan Red Palm Oil (RPO) Wortel Sayuran daun Tomat Aprikot Pisang Ubi jalar (putih) Ubi jalar (merah dan kuning) Jus jeruk
Kandungan vitamin A (µg RE*/100 g BDD) 30.000 2000 685 100 250 30 50 670 8
* Jumlah Retinol Equivalen (RE) diperoleh dengan membagi kandungan β-karoten (µg) dengan faktor konversi = 6. Sumber : Passmore R & Eastwood M.A (1986) dalam Ball (1988).
RPO tidak dianjurkan sebagai minyak goreng karena karoten yang terkandung di dalamnya mudah rusak pada suhu tinggi. RPO lebih dianjurkan untuk digunakan sebagai minyak makan dalam menumis sayur, minyak salad, dan bahan fortifikan.
19
Mi Instan Definisi Definisi mi instan menurut SNI 01-3551-1994 adalah produk makanan kering yang dibuat dari tepung terigu dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan tambahan makanan yang diizinkan, berbentuk khas mi dan siap dihidangkan dengan air mendidih paling lama empat menit. Peningkatan Kandungan Karoten pada Mi Lee et al (2002) telah melakukan penelitian pengaruh tepung labu merah matang terhadap karakteristik dan kualitas mi yang dihasilkan.
Hasil
penelitiannya
yang
menunjukkan
bahwa
semakin
tinggi
tepung
labu
ditambahkan, semakin tinggi kandungan β-karoten pada mi. Demikian pula warnanya semakin kuning dengan semakin banyaknya tepung labu yang ditambahkan. Prananto (2003) telah melakukan penelitian pembuatan mi instan dengan menambahkan wortel pada adonan mi. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa mi yang dihasilkan dapat diterima oleh konsumen, meskipun warnanya lebih orange. Berikut adalah kandungan zat gizi mi instan wortel yang dianalisis meliputi kadar air, abu, protein, lemak dan serat pangan. Kandungan zat gizi mi wortel dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Kandungan zat gizi dan serat pangan mi instan wortel Zat gizi Air Abu Protein Lemak Karbohidrat total Serat pangan β-Karoten
Kandungan %bb 7,75 1,51 12,81 1,30 76,63 4,11
%bk 1,64 13,89 1,41 83,06 4,46 2.390 µg/100 g
Sumber : Rahayu (2009)
Analisis kandungan gizi mi RPO dilakukan oleh peneliti sebelumnya (Rucita 2010) meliputi kadar air, kadar abu, protein, lemak, karbohidrat (by difference), serat makanan dan karotenoid mi. Tabel 11 merupakan hasil analisis kandungan gizi pada produk mi instan RPO.
20
Tabel 11 Kandungan gizi mi instan RPO Zat Gizi Kadar air Kadar abu Protein Lemak Karbohidrat β-Karoten
Mi RPO % bb 7,40 1,86 12,65 9,12 68,97
% bk 2,01 13,66 9,84 74,49 7.644 µg/100 g
Sumber : Rucita (2010)
Sistem Imunitas Definisi dan Mekanisme Sistem Imun Imunitas atau kekebalan adalah kemampuan tubuh untuk melawan infeksi, meniadakan kerja toksin dan faktor virulen lainnya yang bersifat antigenik dan imunogenik. Antigen adalah suatu bahan atau senyawa yang dapat merangsang pembentukan antibodi. Antigen dapat berupa protein, lemak, polisakarida, asam nukleat, lipopolisakarida, lipoprotein, dan lain-lain. Antigenik adalah sifat suatu senyawa yang mampu merangsang pembentukan antibodi spesifik terhadap senyawa tersebut. Sedangkan imunogen adalah senyawa yang dapat merangsang pembentukan kekebalan/imunitas, dan imunogenik adalah sifat senyawa yang dapat merangsang pembentukan antibodi spesifik yang bersifat protektif dan peningkatan kekebalan seluler. Jika sistem imun melemah, kemampuannya untuk melindungi tubuh juga berkurang, sehingga membuat patogen, termasuk virus dapat tumbuh dan berkembang dalam tubuh. Sanitasi yang buruk, kesehatan personal, kepadatan penduduk, makanan dan air yang terkontaminasi serta pengetahuan gizi yang kurang memberikan kontribusi terhadap menurunnya kekebalan (Roitt 2003). Imunitas juga diartikan sebagai resistensi terhadap penyakit terutama penyakit infeksi. Gabungan sel, molekul, dan jaringan yang berperan dalam resistensi terhadap infeksi disebut sistem imunitas. Reaksi yang dikoordinasi oleh sel-sel, molekul-molekul terhadap mikroba dan bahan lainnya disebut respon imunitas (Baratawidjaja 2006). Sistem imun adalah sistem perlindungan pengaruh luar biologis yang dilakukan oleh sel dan organ khusus pada suatu organisme. Sistem imun secara efektif dan efisien mampu melindungi tubuh dari serangan mikroorganisme seperti infeksi bakteri, kapang dan virus, serta menghancurkan sel kanker dan zat asing lain dalam tubuh. Sistem imun terdiri dari mekanisme pertahanan,
21
homeostatis, dan pengawasan. Mekanisme pertahanan meliputi pemusnahan mikroorganisme yang berhasil memasuki tubuh, sedangkan mekanisme homeostatis meliputi pemusnahan sel-sel yang aus. Mekanisme pengawasan berfungsi dalam mendeteksi dan menghancurkan sel yang termutasi atau menunjukkan tanda-tanda tidak normal karena terinfeksi oleh virus atau mikroorganisme lain (Zakaria 1996). Menurut Surono (2004) kondisi imunitas menentukan kualitas hidup. Berikut adalah gambaran umum sistem imun disajikan pada Gambar 6. Sistem Imun
Non Spesifik
Fisik Kulit Selaput Lendir Silia Batuk Bersin
Larut Lisozim Laktoferin Komplemen Interferon CRP
Spesifik
Selular Fagosit Sel NK Sel Mast Basofil
Humoral
Selular
Sel B
Sel T
IgG IgA IgM IgD IgE
Th1 Th2 Ts/Th3 Tdth CTL/Tc
Sumber : Baratawidjaja (2006) Gambar 6 Gambaran umum sistem imun Sistem imun terdiri dari berbagai mekanisme yang secara garis besar dapat digolongkan menjadi dua kategori yaitu kekebalan adaptif dan non adaptif (Baratawidjaja 2006). Kekebalan non adaptif diperantarai oleh sel yang merespon terhadap molekul asing secara tidak spesifik dan termasuk di dalamnya sistem fagositosis oleh makrofag, sekresi lisozim, dan sel lisis oleh natural killer (NK). Kekebalan non spesifik tidak berkembang atau bertambah kuat dengan meningkatnya paparan terhadap molekul asing secara berulang kali. Sementara itu pada kekebalan spesifik atau adaptif ditujukan untuk melawan molekul asing yang spesifik dan akan bertambah kuat dengan terjadinya paparan yang berulang kali. Kekebalan spesifik atau adaptif diperantarai oleh sel-sel limfosit yang dapat mensintesis reseptor permukaan sel atau mensekresikan protein yang dapat berikatan secara spesifik dengan molekul asing. Protein yang
22
disekresikan dikenal dengan nama antibodi. Molekul asing yang dapat berikatan dengan antibodi disebut antigen. Sistem kekebalan spesifik mempunyai kemampuan untuk mengenal benda yang dianggap asing bagi dirinya. Benda asing yang pertama kali muncul dalam tubuh akan segera dikenal oleh sistem imun spesifik sehingga terjadi sensitasi sel-sel sistem imun. Bila sel imun yang sudah tersensitasi terpapar kembali dengan benda asing yang sama, maka benda asing yang terakhir akan dikenal lebih cepat, kemudian akan dihancurkan. Sistem imun spesifik secara umum bekerjasama antara antibodi-komplemen-fagosit dan antara sel Tmakrofag (Baratawijaya 2006). Pada sistem kekebalan spesifik terdapat dua populasi sel limfosit yang berperan yaitu limfosit B yang menghasilkan kekebalan humoral dan sel limfosit T yang menghasilkan kekebalan seluler (Roitt 2001). Kedua populasi limfosit merupakan anggota sel darah putih yang mulai berkembang dari sel awal pada kehidupan janin haematopoietik yang diproduksi di sumsum tulang. Limfosit B atau sel B memainkan peranannya di dalam sistem imun spesifik humoral, Bila sel B dirangsang oleh benda asing, sel akan berpoliferasi dan berkembang menjadi sel plasma yang dapat membentuk antibodi. Antibodi yang dilepas dapat ditemukan di dalam serum. Fungsi utama antibodi adalah pertahanan terhadap infeksi ekstraseluler, virus, dan bakteri serta menetralisir toksin (Baratawidjaya 2006). Sel limfosit B menjadi dewasa dalam sumsum tulang dan dalam kelenjar limfa setelah bermigrasi dari sumsum. Sel ini bertanggung jawab terhadap serangan sel dan senyawa asing dengan mensintesis antibodi dimulai dengan aktivitas seluler ketika sel B bertemu dengan antigen. Setelah pertemuan dengan antigen, sel B mengalami aktivitas seluler, berubah menjadi limfoblast lalu berproliferasi dan mensintesis antibodi antigen yang ditemuinya. Sel B dapat mensintesis lima jenis antibodi yaitu IgG, IgM, IgA, IgE, dan IgD serta melepaskannya ke dalam darah untuk memusnahkan antigen dengan membentuk kompleks antibodi (Kresno 2001). Pembentukan Respon Imun Apabila tubuh diberikan imunogen akan terjadi respons imun. Perkenalan pertama dengan suatu imunogen akan membangkitkan respons primer dan pemberian ini tidak segera dapat ditemukan oleh antibodi dalam serum. Masa antara pemberian imunogen dengan ditemukannya antibodi dalam serum disebut periode laten atau periode induksi (Bellanti dan Joseph 1993). Selama waktu
23
tersebut imunogen masih dikenal sebagai benda asing, selanjutnya diproses, dan isyarat dikirimkan ke sel-sel yang ditugaskan untuk membentuk antibodi. Bila antigen pertama kali masuk ke dalam tubuh, akan terjadi satu respons imun primer yang ditandai dengan munculnya imunoglobulin M (IgM) beberapa hari setelah pemaparan. Kadar IgM mencapai puncaknya setelah 7 hari. Tujuh hari setelah pemaparan muncul IgG dalam serum (dapat dideteksi), kemudian kadar IgM mulai menurun sebelum IgG mencapai puncaknya. Kadar IgG mencapai puncaknya antara 10-14 hari setelah pemaparan antigen (Tizard 1988). Kadar antibodi kemudian berkurang tetapi biasanya IgG masih dapat dideteksi 4-5 minggu setelah pemaparan. Apabila pemaparan antigen yang sama tersebut di atas terjadi lagi untuk kedua kalinya, maka akan terjadi pembentukan respons imun sekunder (booster), IgM dan IgG cepat meningkat. Puncak kadar IgM pada respons sekunder umumnya tidak melebihi puncaknya pada respons primer. Sebaliknya, kadar IgG akan meningkat jauh lebih tinggi dan berlangsung lebih lama (Wibawan et al. 2003). Imunoglobulin G Integritas respons imun sering dinilai dengan cara mengukur kadar berbagai jenis kelas imunoglobulin di dalam serum seseorang atau dengan mengukur titer
antibodi setelah diberi stimulus antigenis yang cukup.
Imunoglobulin G merupakan komponen utama imunoglobulin dalam serum dan IgG memiliki sifat opsonin yang efektif karena mempunyai reseptor untuk fraksi Fc (fragmen crystallizable) dari IgG sehingga mempererat hubungan fagosit dengan sel-sel sasaran. IgG banyak ditemukan dalam serum dan kadar IgG meninggi dalam infeksi kronis dan penyakit autoimun. Imunoglobulin G dalam keadaan normal menempati 80% dari semua imunoglobulin dalam serum manusia (Roitt 1991) dalam Widayani (2007). IgG pada manusia disintesis kirakira 35 ml/kg/hari dengan waktu paruh (half life) sekitar 23 hari. IgG berukuran relatif kecil, oleh karena itu lebih mudah keluar dari pembuluh darah dibandingkan dengan molekul imunoglobulin yang lain. Oleh karena itu, IgG cepat mengambil bagian utama dalam mekanisme pertahanan pada ruang jaringan dan permukaan tubuh (Tizard 1988). Kaitan Vitamin A dengan Imunitas Sekitar 253 juta anak-anak beresiko imunodefisiensi (immunodeficiency) karena defisiensi vitamin A (World Health Organization 1995 dalam Calder et al
24
2002). Diantara zat gizi mikro lainnya, vitamin A mempunyai peran yang terbesar dalam fungsi imun. Sistem imunitas memerlukan zat gizi antioksidan antara lain untuk memproduksi dan menjaga keseimbangan sel imun (hematopoiesis), melindungi membran sel dari SOR (senyawa oksigen reaktif) untuk melawan mikroorganisme
penyebab
penyakit
(imunitas
bawaan/innate/native
dan
dapatan/adaptive) (Wintergerst et al 2007). Peranan vitamin A pada sistem imunitas terkait dengan pertumbuhan dan diferensiasi limfosit B (Wintergerst et al 2002). Vitamin A berpengaruh terhadap sintesis protein, dengan demikian berpengaruh terhadap pertumbuhan sel (Almatsier 2005). Oleh karena itu, vitamin A esensial untuk pertumbuhan dan perkembangan dan pemeliharaan fungsi sel epitel. Sel epitel pada permukaan mukosa berperan dalam menimbulkan dan menghantarkan sinyal antara mikroba patogen baik yang invasif maupun non invasif dengan sel-sel yang terdapat di dalam mukosa atau yang berdekatan dengan mukosa. Stipanuk (2000) menyebutkan vitamin A dan metabolismenya dalam spektrum yang luas mempunyai fungsi biologis, antara lain : (1) esensial untuk penglihatan, (2) reproduksi, (3) fungsi imun, (4) berperan penting dalam diferensiasi seluler, proliferasi, dan pemberian isyarat (signaling). Vitamin A juga berperan penting dalam proliferasi dan aktivasi limfosit. Diduga retinol berpengaruh terhadap pertumbuhan dan diferensiasi limfosit B (leukosit yang berperan dalam proses kekebalan humoral). Pada penderita KVA terjadi penurunan respon antibodi yang bergantung pada sel-T (limfosit yang berperan pada kekebalan selular) (Almatsier 2005). Sebagai salah satu zat gizi mikro, vitamin A dalam fungsi imun sangat berperan penting dan banyak studi telah menunjukkan peran vitamin A dalam berbagai segi aspek imunitas. Pada studi metaanalisis ditemukan konsep : sindrom vitamin A berhubungan dengan penurunan imunitas dan peningkatan infeksi (Semba et al 2002). Kelebihan vitamin A dapat terjadi jika mengkonsumsi vitamin A dengan jumlah
yang
berlebihan
dalam
jangka
waktu
lama.
Kelebihan
dapat
menyebabkan kerusakan hati, sakit pada tulang dan sendi, alopecia, sakit kepala, muntah, dan kulit mengering (FAO/WHO 2001). Kelebihan terjadi bila konsumsi vitamin A dalam bentuk vitamin A.
25
Hewan Percobaan Hewan percobaan adalah setiap hewan yang digunakan dalam penelitianpenelitian biologis maupun biomedis. Untuk memperoleh hasil-hasil yang relevan dengan tujuan penelitian dan mempunyai nilai ulang yang tinggi, hewan-hewan yang dipergunakan harus memenuhi persyaratan atau standar dasar yang diperlukan sebagai hewan percobaan (Smith 1988). Penggunaan hewan percobaan diantaranya dilakukan untuk uji efikasi ataupun menguji keamanan atau efek samping dari suatu bahan kimia atau alami sebelum diujikan pada manusia (Malole MBM dan Pramono CSU 1989). Hewan percobaan harus memiliki kriteria jika dijadikan penelitian, antara lain kemiripan fungsi fisiologis dengan manusia, perkembangbiakan yang cepat, mudah didapat dan dipelihara serta murah secara ekonomi (Subahagio et al. 1997). Pada umumnya, fungsi dan bentuk organ, proses biokimia dan biofisik serta fisiologis antara tikus dan manusia memiliki banyak kemiripan. Penggunaan tikus sebagai hewan percobaan dalam suatu penelitian karena memiliki saluran pencernaan yang menyerupai manusia, sehingga yang dimakan oleh manusia dapat dimakan oleh tikus. Perbedaan antara tikus dan manusia antara lain terdapat pada struktur dan fungsi plasenta tikus, pertumbuhan tikus lebih cepat, tikus tidak mempunyai kandung empedu dan tidak dapat muntah karena struktur anatomi yang tidak lazim di tempat esofagus bermuara ke dalam lambung. Terdapat lima basic stock tikus albino yang biasa digunakan, yaitu Long evans, Osborne Mendel, Sherman, Sprague-Dawley, dan Wistar. Di dunia, tikus yang paling banyak digunakan adalah jenis Long Evans. Di Indonesia sendiri, tikus putih yang banyak dikembangbiakkan dan digunakan dalam berbagai penelitian berasal dari strain Sprague-Dawley dan Wistar (Muchtadi 2010). Umumnya penelitian yang terkait vitamin A menggunakan tikus Sprague dawley jantan karena tikus jantan hormonnya lebih stabil dibandingkan dengan tikus betina. Tikus Sprague dawley merupakan tikus albino yang digunakan pada penelitian medis mempunyai ciri berkepala kecil, leher sedang, dan panjang tubuh bisa sama panjang atau lebih pendek daripada ekor. Jenis tikus ini mudah ditangani dan lebih tenang (Kesenja 2005). Tikus Sprague dawley memiliki karakteristik antara lain: (1) Nocturnal, berarti aktif pada malam hari dan tidur pada siang hari (kecuali bila ada gangguan, misalnya selama percobaan berlangsung), (2) Tidak mempunyai kantung empedu (gall blader), (3) Tidak dapat mengeluarkan isi perutnya
26
(muntah), dan (4) Tidak pernah berhenti tumbuh, walaupun kecepatannya menurun setelah berumur 100 hari. Zat-zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan tikus hampir sama dengan manusia, yaitu karbohidrat, minyak atau lemak, protein, mineral, dan vitamin (Muchtadi 2010).