4
TINJAUAN PUSTAKA RPO (Red Palm Oil) Minyak yang diperoleh dari mesokarp atau sabut buah kelapa sawit (Elaeis guineensis JACQ) disebut minyak sawit kasar (Crude Palm Oil -CPO). Hasil pemurniannya disebut Red Palm Oil (RPO) (Ketaren 2008). Berger (2005) menyebutkan, setelah CPO dimurnikan menjadi RPO kandungan karotenoidnya sebesar 550 ppm, sedangkan menurut Butt et al. (2004) karotenoid RPO sebesar 580 ppm. Karotenoid pada RPO dapat diabsorbsi lebih baik dibandingkan sumber karotenoid nabati lainnya. Absorbsi karotenoid pada RPO sebesar 98% sedangkan karotenoid dari sumber nabati lain adalah 37-75%. Jika dibandingkan dengan karotenoid yang ada pada wortel, tingkat absorbsi karotenoid RPO sebesar 15 sampai 40 kali lebih besar (Scrimshaw 2000). Tingginya tingkat absorbsi ini disebabkan karena karotenoid RPO berada pada medium minyak (Narasinga 2000). Suplementasi RPO telah digunakan untuk meningkatkan kadar vitamin A dalam pangan, seperti penggunaannya pada cake, biskuit, roti, cookies dan shortening (El Hadad et al. 2009). Pada penelitian Rucita (2010), RPO juga telah dimanfaatkan sebagai sumber provitamin A produk mie instan. Vitamin A Istilah Vitamin A yang biasa digunakan mencakup berbagai komponen kimia yang memiliki aktivitas biologis vitamin, yakni: provitamin A karotenoid, retinol dan metabolit aktifnya (Bender 2003). Aktivitas biologis vitamin A ditentukan berdasarkan konversi komponen aktif vitamin A menjadi Retinol Equivalents (RE) (Eitenmiller 2008). Satuan vitamin A dan ekivalennya berdasarkan National Research Council adalah sebagai berikut: 1,0 RE
= 1,0 μg retinol = 6,0 μg β-karoten = 12,0 μg karotenoid lain = 3,3 SI (Satuan Internasional) retinol = 9,9 SI (Satuan Internasional) β-karoten
Menurut Institute of Medicine (2004), konversi komponen aktif vitamin A menjadi Retinol Activity Equivalents (RAE) adalah sebagai berikut: 1,0 RAE
= 1,0 μg retinol = 12 μg β-karoten
5
= 24,0 μg α-karoten = 24,0 μg β-kriptoxantin RAE sebagai satuan provitamin A karotenoid dalam pangan bernilai dua kali lebih besar daripada RE. Bentuk vitamin A yang paling umum dan paling aktif adalah all-transretinol. All-trans-retinol terdiri dari cincin β-ionon yang menempel pada atom C-6 pada sisi rantai yang disusun oleh dua unit isoprena tidak jenuh (Ball 1988). Vitamin A tidak larut di dalam air, tetapi larut dalam minyak dan lemak serta pelarut organik (Eitenmiller et al. 2008). Oleh karena itu, asupan lemak yang rendah akan mengakibatkan penyerapan vitamin A yang rendah pula. Begitu juga dengan asupan protein yang rendah akan mengakibatkan kekurangan protein pengangkut serta penurunan konsentrasi vitamin A dalam plasma (Wiseman 2002). Vitamin A umumnya stabil terhadap panas, asam dan alkali, tetapi sangat mudah teroksidasi oleh udara. Vitamin A akan rusak bila dipanaskan pada suhu yang tinggi bersama udara, sinar dan lemak yang sudah tengik (Winarno 2008). Pada cara memasak biasa tidak banyak vitamin A yang hilang. Suhu tinggi untuk menggoreng dapat merusak vitamin A (Almatsier 2005). Vitamin A berperan dalam berbagai proses faali tubuh diantaranya penglihatan, diferensiasi sel, fungsi kekebalan, pertumbuhan dan perkembangan, reproduksi, serta pencegahan kanker dan penyakit jantung (Almatsier 2005). Oleh karena itu, asupan vitamin A yang cukup diperlukan untuk fungsi tubuh normal dan agar imunitas tubuh tetap terjaga. Kecukupan vitamin A berbedabeda pada setiap golongan umur dan jenis kelamin. Kekurangan vitamin A merupakan masalah serius terutama di negara berkembang. Asia Tenggara memiliki prevalensi KVA pada balita tertinggi di antara wilayah lain. Data prevalensi KVA dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Prevalensi KVA pada anak dibawah lima tahun Defisiensi Subklinis Defisiensi Klinis Wilayah Juta % Juta % Afrika 49 45,8 1,08 1,0 Amerika 17 21,5 0,06 0,1 Asia 125 70,2 1,3 0,7 Tenggara Eropa Timur Tengah 23 31,5 0,16 0,3 Pasifik Barat 42 30,0 0,1 0,1 Total 256 40.3 2.7 0.1 Sumber: Bender (2003)
6
Klasifikasi status vitamin A didasarkan pada kandungan vitamin A dalam serum darah. Seseorang dikatakan kekurangan vitamin A jika kadar vitamin A dalam serumnya < 20 µg/dl (Sommer dan West 1996). Klasifikasi status vitamin A lebih lengkap dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Klasifikasi status vitamin A Status vitamin A µg/dl Normal ≥ 20 Low 10 – 20 Deficient < 10
Kadar Serum µmol/liter ≥ 0,7 0,35 – 0,69 < 0,35
Sumber: Sommer dan West (1996)
Kekurangan vitamin A dapat menyebabkan kegagalan dalam fungsi sistemik (dicirikan oleh kelainan perkembangan janin), gangguan dalam spermatogenesis, anemia, lemahnya fungsi imun (menurunkan jumlah dan respon mitogenik dari sirkulasi limfosit T). KVA juga dapat menyebabkan keratinisasi pada mukosa membran yang melapisi saluran pernafasan, saluran pencernaan, saluran urinari, kulit dan epitelium pada mata (Mahan & Stump 2004). Selain itu, defisiensi vitamin A dapat menyebabkan buta senja dan berbagai perubahan pada mata (atrofi kelenjar mata, keratinisasi, melunaknya kornea, perdarahan, dan lain-lain) (Almatsier 2005). Sehubungan dengan vitamin A dan anemia, Ramakrishnan (2001) menyatakan, defisiensi vitamin A dapat menyebabkan anemia. Deplesi vitamin A pada penelitian di Amerika menyebabkan penurunan Hb. Pada penelitian tersebut, penurunan Hb tidak terjadi pada suplementasi zat besi yang dilakukan bersama vitamin A. Mekanisme pasti mengenai hal ini masih terus diteliti, salah satunya kemungkinan mobilisasi penyimpanan vitamin A yang terhambat karena defisiensi vitamin A pada reseptor transferin. Karotenoid Kristal karotenoid terdapat dalam beberapa bentuk dan warna yang bervariasi, mulai dari merah-orange hingga ungu kehitaman (Hendry & Houghton 1996). Bender (2003) mengklasifikasikan karotenoid berdasarkan struktur kimianya, yaitu : (1) Hydrophobic hydrocarbon carotenoid (α-, β-karoten dan likopen); (2) Monohydroxycarotenoid (β- kriptoxantin); (3) Dihydroxycarotenoid (lutein, zeaxanthin). Karotenoid memiliki melting point yang tinggi, biasanya berkisar antara 130-220oC. Karotenoid dapat larut dalam lemak atau minyak dan tidak larut
7
dalam air (Hendry & Houghton 1996). Hal ini disebabkan karena karotenoid memiliki struktur yang nonpolar (Fennema 1996). Efisiensi
penyerapan
karotenoid
dari
makanan
sekitar
50-60%,
tergantung bioavailabilitasnya (Olson 1991). Mahan dan Stump (2004) menyatakan bahwa banyaknya karotenoid yang dapat diserap tubuh dipengaruhi oleh faktor diet lain seperti pencernaan kompleks protein dengan karotenoid dan kadar serta jenis lemak dalam diet (vitamin larut lemak memerlukan lemak untuk penyerapan optimum). Karotenoid yang merupakan prekursor vitamin A adalah karotenoid yang mengandung cincin beta ionon yang dapat diubah menjadi vitamin A, diantaranya α-, β- dan γ-karoten. Ketiga karotenoid ini dalam tubuh hewan akan dipecah atau diubah menjadi vitamin A (Hendry & Houghton 1996). Struktur kimia β-karoten disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1 Struktur kimia β-karoten Pada manusia, sekitar 25-60% β-karoten yang dikonsumsi akan diubah menjadi vitamin A, tergantung dari jenis makanan dan faktor-faktor lain (Muchtadi 1989). Beta karoten memiliki Acceptable Daily Intake (ADI) sebesar 2,5 mg/Kg berat badan (Kitts 1996). Karoten bersifat larut dalam lemak dan stabil bersama antioksidan dan juga dapat melindungi lemak itu sendiri. Karoten juga larut dalam pelarut organik namun tidak larut dalam air (Mosquera et al. 2002). Provitamin A pada umumnya cukup stabil selama pengolahan pangan, tetapi mempunyai sifat sangat mudah teroksidasi oleh udara dan akan rusak bila dipanaskan pada suhu tinggi bersama udara, sinar dan lemak yang sudah tengik (Winarno 2008). Pada penelitian Sulaeman et al. (2001), α- dan β-karoten pada produk keripik wortel relatif stabil selama proses deep frying. Oksidasi menyebabkan perubahan bentuk karotenoid menjadi tidak aktif, baik oleh reaksi enzimatis selama penyimpanan maupun terpapar cahaya dan oksigen (Olson 1991). Kehilangan aktivitas vitamin A dari karotenoid makanan terutama terjadi karena reaksi autooksidasi ataupun isomerisasi geometris pada rantai isoprenoid tidak jenuh (Fennema 1996).
8
Sosis Kata sosis berasal dari bahasa latin salsus, yang berarti daging yang diawetkan
dengan
penggaraman.
Pembuatan
sosis
bertujuan
untuk
mengawetkan daging segar yang tidak langsung dikonsumsi. Sosis adalah contoh emulsi minyak dalam air dimana lemak berfungsi sebagai fase diskontinu dan air sebagai fase kontinu, sedangkan protein daging berfungsi sebagai pengemulsi (Kramlich 1978). Menurut Wilson (1981), proses pembuatan sosis sangat dipengaruhi oleh kemampuan daging yang dengan penambahan garam, air serta bahan pembantu seperti polifosfat dan bahan lain yang berfungsi untuk membentuk emulsi dengan lemak yang stabil. Kestabilan emulsi ini ditunjukkan dengan tidak terpisahnya lemak dari sosis. Berdasarkan kehalusan emulsi daging, sosis dibedakan menjadi sosis kasar dan
sosis emulsi. Pada proses
pembuatan
sosis kasar tahap
pengolahannya lebih singkat dan sederhana, yaitu menggiling daging sampai halus kemudian mencampurkannya dengan lemak sampai merata sedangkan pada proses pembuatan sosis emulsi, tahapan pencampuran dikembangkan menjadi pencampuran, pencacahan dan pengemulsian dengan menggunakan alat-alat khusus (Pearson dan Tauber 1984). Proses penggilingan bertujuan untuk membentuk daging giling dan untuk mendistribusikan lemak. Butiranbutiran lemak yang ditambahkan pada tahap pencampuran diharapkan terdistribusi dan merata (Kramlich 1978). Menurut Forest et al. (1975), berdasarkan metode pembuatannya, sosis dibagi menjadi enam kategori, yaitu (1) sosis segar, merupakan sosis yang dibuat dari daging segar, tidak diperam (tanpa curing), dicacah, dilumatkan atau digiling diberi bumbu-bumbu dan dimasukkan dan dipadatkan dalam selongsong. Sosis ini harus dimasak sebelum dikonsumsi. (2) Sosis asap tidak dimasak, merupakan sosis yang dimasak dari daging segar, bisa diperam atau tidak, dan langsung diasap tanpa pemasakan terlebih dahulu. (3) Sosis asap dimasak, merupakan sosis yang dibuat dari daging segar, bisa diperam atau tidak, dan dimasak sebelum dilakukan pengasapan. (4) Sosis masak, merupakan sosis yang dibuat dari daging segar, bisa diperam atau tidak, dimasukkan dan dipadatkan dalam selongsong, tidak diasap, harus segera dimasak dan siap untuk dimakan. (5) Sosis fermentasi, sebagai hasil kerja bakteri pembentuk laktat, baik yang terdapat dalam daging secara alami, maupun bakteri starter
9
yang ditambahkan dan diasap. (6) Daging giling masak, merupakan sosis yang dibuat dalam bentuk batangan atau daging loaf, diperam atau tidak diperam, dimasak dan jarang diasap. Sosis merupakan salah satu produk emulsi minyak dalam air. Minyak dan air adalah cairan yang tidak dapat bersatu, tetapi dalam sosis minyak dan air dapat dicampur karena adanya agen pengemuksi (Kramlich 1978). Syarat mutu sosis daging menurut SNI 01-3820-1995 tersaji pada Tabel 3. Tabel 3 Syarat mutu sosis daging Mutu (% b/b) Kadar air Maks 67,0 Kadar abu Maks 3,0 Kadar protein Min 13,0 Kadar lemak Maks 25,0 Kadar karbohidrat Maks 8,0 Sumber : Standar Nasional Indonesia 01-3820-1995
Bahan Pengikat Sosis Bahan pengikat adalah bahan yang digunakan dalam makanan untuk mengikat air yang terdapat dalam adonan. Fungsi bahan pengikat adalah untuk memperbaiki stabilitas emulsi, menurunkan penyusutan akibat pemasakan, memberi warna yang terang, meningkatkan elastisitas produk, memberi tekstur padat, dan menarik air dari adonan (Tanikawa 1985). Jenis bahan pengikat yang umum ditambahkan adalah tepung tapioka, beras, maizena, sagu, dan terigu (Tanikawa 1985). Produk-produk pati yang berasal dari serealia mampu mengikat air, namun berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai karbonnya serta ada tidaknya cabang pada rantai molekulnya (Winarno 2008). Isolat protein kedelai adalah produk dari protein kedelai bebas lemak atau berlemak rendah (bisa dibuat dari kedelai utuh) yang diolah sedemikian rupa sehingga kandungan proteinnya tinggi. Menurut definisinya, kandungan protein pada isolat protein kedelai minimum 95% dalam berat kering. Produk ini hampir bebas dari karbohidrat, serat dan lemak sehingga sifat fungsionalnya jauh lebih baik dibandingkan dengan konsentrat kedelai dan tepung kedelai. Isolat protein kedelai sangat dibutuhkan dalam industri pangan karena banyak digunakan untuk formulasi berbagai jenis makanan. Yang diinginkan dari isolat protein kedelai adalah fungsi proteinnya juga sebagai pengikat dan pengemulsi produk pangan. Sifat ini menentukan pemakaian atau fungsi produk tersebut dalam berbagai produk makanan (Soeparno 1992).
10
Bahan Pembantu Sosis Bahan pembantu adalah bahan yang sengaja ditambahkan untuk meningkatkan konsistensi, nilai gizi, cita rasa, mengendalikan keasaman dan kebasaan, serta memantapkan bentuk dan rupa (Wilson 1981). Bahan pembantu yang biasa digunakan adalah bawang putih, merica, dan garam. Bawang putih berfungsi sebagai penambah aroma dan meningkatkan cita rasa produk yang dihasilkan. Bawang putih ditambahkan dalam produk untuk memperoleh aroma yang khas guna meningkatkan selera makan. Bau khas bawang putih berasal dari minyak volatil yang mengandung komponen sulfur. Karakteristik bawang putih muncul jika terjadi perusakan jaringan atau pemotongan (Palungkun dan Budiarti 1992). Merica sering ditambahkan dalam bahan makanan untuk meningkatkan citarasa sekaligus memperpanjang daya awetnya. Kemampuan meningkatkan keawetan ini berhubungan dengan sifatnya yang dapat mencegah oksidasi selama penyimpanan (Hirasa & Takemasa 1998). Merica disukai karena memiliki dua sifat penting yaitu rasa pedas dan aroma khas. Rasa pedas disebabkan oleh adanya zat piperin dan piperanin serta chacivia (Rismunandar 1993). Penggunaan garam bertujuan untuk menyempurnakan proses pelayuan daging, sehingga timbul aroma khas daging yang digunakan. Garam juga mempengaruhi
aktivitas
air
(a w),
juga
mengendalikan
pertumbuhan
mikroorganisme dengan metode yang bebas dari pengaruh racunnya (Buckle et al. 1987). Air atau es merupakan salah satu bahan yang umumnya ditambahkan dalam adonan sosis. Jumlah air yang ditambahkan dalam adonan sosis adalah 20-30% dari berat daging dan umumnya air yang ditambahkan dalam bentuk es (Forrest et al. 1975). Penambahan air dalam bentuk es atau air es bertujuan untuk; (1) melarutkan garam dan mendistribusikan secara merata ke seluruh bagian massa daging, (2) memudahkan ekstraksi protein serabut otot, (3) membantu pembentukan emulsi, dan (4) mempertahankan suhu daging agar tetap rendah selama penggilangan dan pembuatan adonan (Kramlich 1978). Selongsong atau casing adalah sarung pembungkus yang digunakan untuk membungkus dan membentuk sosis. Casing sendiri dapat dibagi menjadi 3 yaitu: casing hewan, casing kolagen, casing selulosa dan tabung plastik (Price dan Bernand 1987). Selongsong diperlukan sebagai wadah pembentuk sosis dan menentukan bentuk serta ukuran sosis yang dihasilkan (Soeparno 1992).
11
Lemak dan Minyak dalam Sosis Penambahan lemak dalam sosis bertujuan untuk memperoleh produk sosis yang kompak, tekstur yang empuk, rasa dan adonan yang lebih baik. Jumlah penambahan lemak dalam sosis berkisar antara 5-25% (Tanikawa 1985). Jumlah lemak yang ditambahkan harus seimbang dengan jumlah air dan protein. Apabila jumlah yang ditambahkan terlalu sedikit akan menghasilkan sosis yang keras dan kering, sebaliknya apabila penambahan lemak atau minyak berlebih maka sosis yang dihasilkan akan keriput dan lunak, karena selama pemasakan terjadi kehilangan (cooking loss) yang tinggi sehingga sebagian lemak terpisah (Wilson 1981). Jumlah penambahan lemak dalam pembuatan sosis dibatasi untuk mempertahankan
tekstur selama
pengolahan dan
penanganannya. Lemak yang ditambahkan tidak boleh lebih dari 30% dari bobot daging (Wilson 1981). Lemak yang dapat dimakan (edible) dapat diperoleh dari tumbuhtumbuhan dan hewan. Lemak nabati yang dapat digunakan dalam pembuatan sosis seperti minyak jagung, minyak kelapa, minyak sawit merah, dan sebagainya. Perbedaan utama antara lemak nabati dan lemak hewani adalah pada kandungan sterolnya, dimana lemak nabati mengandung fitosterol dan lebih banyak mengandung asam lemak tak jenuh sehingga umumnya berbentuk cair, sedangkan lemak hewani mengandung kolesterol (Winarno 2008). Lemak dengan kandungan asam lemak jenuh lebih sukar membentuk emulsi daripada lemak yang mengandung asam lemak dengan satu atau dua ikatan rangkap dengan jumlah atom karbon yang sama. Lemak dengan rantai asam lemak jenuh yang lebih pendek akan lebih mudah membentuk emulsi daripada lemak dengan asam lemak jenuh yang memiliki rantai lebih banyak. Penggunaan minyak nabati dalam pembuatan sosis lebih mudah membentuk emulsi daripada penggunaan lemak hewani (Christian dan Saffle 1967). Keong Tutut Keong tutut menurut Suwignyo (1997) memiliki klasifikasi sebagai berikut: Filum
: Moluska
Kelas
: Gastropoda
Sub Kelas
: Prosobranchia
Ordo
: Mesogastropoda
Family
: Viviparidae
12
Genus
: Bellamnya
Spesies
: Bellamnya javanica van den Bush
Gambar 2 Keong tutut (ukuran dibandingkan tangan) Keong tutut tersebar dari Sumatra sampai Irian Jaya dan merupakan keong air tawar yang hidup di perairan dangkal yang berdasar lumpur dan ditumbuhi rerumputan air, dengan aliran air yang lamban seperti sawah, rawa-rawa. Pinggir danau dan sungai kecil. Keong tutut juga lebih menyukai perairan yang jernih dan bersih (LBN 1977). Keong ini mempunyai ciri-ciri antara lain cangkangnya berbentuk piramid dengan puncak yang tinggi dan dasar yang melingkar. Cangkangnya berwarna hijau kecoklatan dan hijau kehitaman. Terdapat epidermis dengan garis-garis melintang. Operkulum memiliki bentuk lebar yang sama dengan apertur (Sari 2002). Ukuran tutut dapat mencapai sebesar biji pala. Hewan ini masih jarang digunakan sebagai bahan pangan. Namun bagi penduduk Indonesia bagian barat, terutama yang tinggal atau berasal dari Jawa, tutut merupakan sumber protein yang sudah banyak dikonsumsi dengan diolah mejadi bothok, gulai, sate, dan sebagainya. Daging yang dapat dimakan beratnya sekitar 4-5 g dari berat total. Keong tutut hanya memakan tanaman air seperti jenis lumut, ganggang, dan bahan organik. Cara pengambilan tutut mudah dan sudah umum diperdagangkan. Keong ini berkembang biak dengan telur akan tetapi seluk beluk daur hidupnya belum banyak diketahui (LBN 1977).
13
Tabel 6 Kandungan gizi dari 100 g BDD daging keong tutut Kandungan Gizi Energi (Kalori)
Tutut 64
Protein (g)
11,8
Lemak (g)
5,3
Karbohidrat (g)
3,0
Kalsium (mg)
299,2
Fosfor (mg)
122,5
Besi (mg)
11,7
Air (g)
75,8
Sumber : Risjad (1996)
Risjad (1996) telah melakukan studi mengenai ketersediaan dan pemanfaatan keong tutut sebagai sumber protein hewani dan menyatakan bahwa keong tutut memiliki kelebihan zat gizi dengan kandungan lemak yang rendah. Selain itu tingginya kandungan kalsium dapat memenuhi kebutuhan mineral untuk pembentukan tulang dan gigi. Dalam penelitian lainnya oleh tim PKMP Miftakhurrohmah et al. (2009), telah dilakukan formulasi sosis rendah lemak dan kolesterol berbahan dasar daging keong mas. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah sosis keong mas terpilih dengan perbandingan daging keong mas dan daging ayam sebesar 40:60. Sosis ini memiliki kadar lemak yang rendah sebesar 8,56% (b/b). Fokus penelitian yang dilakukan kali ini adalah memodifikasi sosis keong mas Miftakhurrohmah et al. (2009) dengan mengganti bahan daging keong mas menjadi daging keong tutut. Selain itu juga dilakukan penambahan Red Palm Oil pada produk sosis sehingga yang dihasilkan adalah produk yang tidak hanya sebagai sumber protein tapi juga kaya akan provitamin A.