II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Heavy Oil Minyak bumi merupakan suatu senyawa organik yang berasal dari sisa sisa organisme tumbuhan dan hewan yang tertimbun selama berjuta-juta tahun. Umumnya minyak bumi berupa cairan dan gas yang tepat disebut sebagai minyak mentah dan gas alam. Pada tingkatan yang lebih rendah, minyak bumi berwujud endapan pada ter, pasir dan serpihan (Fitriana, 1999). Beberapa komponen yang menyusun minyak bumi diketahui bersifat racun terhadap mahluk hidup, tergantung dari struktur dan berat molekulnya. Komponen hidrokarbon jenuh yang mempunyai titik didih rendah diketahui dapat menyebabkan anastesi dan narkosis pada berbagai hewan tingkat rendah, dan bila terdapat pada konsentrasi tinggi dapat menyebabkan kematian (Fitriana, 1999). Minyak bumi dan produknya sangat kompleks karena terdiri dari campuran bermacam-macam senyawa yang terdiri dari ribuan senyawa tunggal sehingga menyebabkan sifat fisiknya berbeda-beda. Minyak bumi terdiri dari senyawa hidrokarbon (sekitar 50 - 98% dari total komposisinya) dan senyawa non hidrokarbon (yaitu sulfur, nitrogen, oksigen dan berbagai macam logam berat) dalam berbagai susunan kombinasi. Senyawa hidrokarbon minyak bumi merupakan campuran dari senyawa hidrokarbon cair, gas yang terlarut, dan hidrokarbon padat. Senyawa ini tersusun dari beberapa golongan yaitu senyawa alkana (parafinik), sikloalkana (naftenik), aromatik, dan olifinik sebesar 19% dan sisanya resins sebesar 2% (Meyer dan Colwell, 1990). 2.2. Bioremediasi Istilah bioremediasi digunakan untuk menggambarkan pemanfaatan mikroorganisme perombak polutan untuk membersihkan lingkungan tercemar. Kemampuan perombakan tersebut berkaitan dengan kehadiran plasmid microbial yang mengandung gen-gen penyandi berbagai enzim perombak polutan (Sudrajat, 1996). Menurut Citroreksoko (1996), proses bioremediasi didasari bahan organik di biosfer yang dilakukan oleh bakteri dan jamur heterotropik. Mikroorganisme
8
ini memiliki kemampuan memanfaatkan senyawa organik alami (misalnya hidrokarbon minyak bumi) sebagai sumber karbon dan energi. Proses dekomposisi yang terjadi menghasilkan karbon dioksida, metan,air, biomassa mikroba dan hasil sampingan yang lebih sederhana dibanding dengan senyawa awalnya. Bioremediasi dipilih sebagai teknologi remediasi unggulan karena teknologi ini mempunyai beberapa keuntungan dan dapat menyelesaikan permasalahan pencemaran lingkungan secara murah dan tuntas (Gunalan,1996). Wisnjnuprapto (1996) menjelaskan bahwa dua keuntungan utama teknologi bioremediasi adalah biaya investasi yang rendah dan kemampuannya untuk melaksanakan tugas di lapangan. Namun dalam memilih teknologi bioremediasi tetaplah harus dipertimbangkan faktor kerugiannya. Tabel 1 menampilkan keuntungan dan kerugian aplikasi bioremediasi. Tabel 1 Keuntungan dan kerugian bioremediasi Keuntungan
Kerugian
♦Dapat dilaksanakan di lokasi
♦Tidak semua bahan kimia dapat diolah
♦Penyisihan buangannya permanen
secara bioremediasi
♦Sistem biologi adalah sistem yang ♦Membutuhkan murah ekstensif
pemantauan
yang
♦Masyarakat dapat menerima dengan ♦Membutuhkan lokasi tertentu baik ♦ Pengotornya bersifat toksik ♦ Menghapus resiko jangka panjang ♦ Padat ilmiah ♦ Perusakan lokasi minimum
♦ Menghapus biaya transportasi dan kendalanya ♦Dapat digabung pengolahan lain
dengan
♦Berpotensi menghasilkan produk yang tidak dikenal
♦ Persepsi sebagai teknologi yang belum teruji teknik
Sumber: Wisnjnuprapto (1996) Bioremediasi dapat berlangsung secara alamiah dalam beberapa kasus pencemaran lingkungan, hal ini disebabkan karena mikroorganisme pada lingkungan yang tercemar tersebut telah beradaptasi untuk mendegradasi polutan. Adaptasi ini ditandai dengan peningkatan laju biodegradasi polutan oleh
9
mikroorganisme, tetapi laju bioremediasi alamiah ini tidak cukup untuk melindungi lingkungan dari tingkat pencemaran yang lebih serius, oleh karena itu diperlukan proses bioremediasi yang melibatkan peran serta manusia dan kemajuan teknologi terutama bidang bioteknologi (Bollag dan Bollag, 1992). Berdasarkan konsep pengembangan perancangan bioremediasi dapat dilakukan secara in situ, ex situ ataupun kombinasinya. Bioremediasi in situ disebut juga dengan intrinsic bioremediation atau natural attenuatio, pada prinsipnya adalah suatu proses bioremediasi yang hanya mengandalkan kemampuan mikroorganisme indigenous yang telah ada di lingkungan tercemar limbah untuk mendegradasinya. Bioremediasi ex situ disebut juga dengan aboveground treatment merupakan proses bioremediasi yang dilakukan dengan cara memindahkan kontaminan ke suatu tempat untuk memberikan beberapa perlakuan. Pemilihan konsep perancangan bioremediasi ditentukan oleh lokasi kontaminan, kondisi hidrogeologi setempat dan kendala-kendala lokasi. Terdapat dua metode untuk meningkatkan kecepatan biodegradasi dalam bioremediasi
yaitu
dengan
menambahkan
nutrien
untuk
menstimulasi
mikroorganisme indigenous (biostimulasi) dan penambahan mikroorganisme eksogenous
(bioaugmentasi)
(Walter,
1997).
Walaupun
mikroorganisme
indigenous tersebar luas di alam, bioaugmentasi tetap dipertimbangkan sebagai strategi potensial dalam proses bioremediasi. Alasan rasional penambahan mikroorganisme eksogenous ialah populasi mikroorganisme indigenous tidak mampu mendegradasi substrat potensial yang terdapat dalam campuran komplek seperti
hidrokarbon.
Bioaugmentasi
dilakukan
dengan
panambahan
mikroorganisme yang telah diketahui dapat mendegradasi kontaminan. Bacher dan Herson (1994) dalam Citroreksoko (1996) serta Boopathy (2000) menggolongkan perlakuan teknologi bioremediasi menjadi: a. Bioaugmentasi Merupakan perlakuan penambahan bakteri terhadap medium yang terkontaminasi, sering digunakan dalam bioreaktor dan sistem ex situ
10
b. Biofilter Merupakan perlakuan penggunaan kolom berjalur mikrobial untuk perlakuan terhadap emisi udara c. Biostimulasi Merupakan perlakuan stimulasi populasi mikroba asli dalam tanah dan/atau air tanah; dilakukan secara in situ atau ex situ d. Bioreaktor Merupakan perlakuan biodegradasi dalam bejana (container) atau reaktor; digunakan untuk perlakuan terhadap cairan atau bubur (slurry) e. Bioventing Merupakan perlakuan tanah terkontaminasi oleh oksigen terhisap melalui tanah untuk menstimulasi pertumbuhan dan aktivitas mikroba f. Pengomposan Merupakan perlakuan termofilik, aerobik, dimana bahan terkontaminasi dicampur dengan pereaksi yang jumlahnya besar. g. Landfarming Merupakan sistem perlakuan fase padat untuk tanah terkontaminasi, dilakukan secara in situ atau dalam suatu ruang terkonstruksi dalam tanah. 2.3. Biodegradasi Minyak Bumi Heavy Oil Atlas (1981) menyatakan bahwa degradasi hidrokarbon oleh populasi mikroorganisme merupakan mekanisme utama dalam penanganan minyak mentah. Biodegradasi minyak mentah pada proses alami sangat komplek. Kecepatan menguraikan minyak mentah bergantung kepada komposisi minyak mentah tersebut dan faktor lingkungan. Komponen minyak bumi jenis heavy oil yang sebagian besar tersusun atas hidrokarbon
digunakan
pertumbuhannya.
oleh
Pertumbuhan
mikroba
sebagai
mikroorganisme
sumber terlihat
karbon dengan
bagi adanya
penambahan populasi mikroorganisme. Kemampuan degradasi hidrokarbon
11
minyak bumi
oleh mikroorganisme tergantung dari kemampuan adaptasi
mikroorganisme tersebut terhadap lingkungannya. Rosenberg dan Ron (1996) mengemukakan bahwa degradasi hidrokarbon minyak bumi terjadi bila mikroorganisme menempel di permukaan butiran-butiran minyak karena enzim oksigenase yang dibutuhkan untuk memecah rantai karbon yang sifatnya terikat pada membran sel. Minyak bumi jenis heavy oil mengandung perbandingan karbon dan hidrogen yang rendah, tinggi residu karbon dan tinggi kandungan heavy metal, sulphur and nitrogen. Hidrokarbon jenuh memiliki komponen terbesar (79%) sedangkan hidrokarbon aromatik sebesar 19% dan sisanya resin sebesar 2%. Minyak bumi
juga mengandung sejumlah VOCs seperti benzene, toluene,
etilbenzena, xilena, dan C3-benzena. Udiharto (1996) menyatakan bahwa minyak bumi terdiri atas komponen minyak dan bahan aditif. Komponen minyak dari bahan ini sebagian besar merupakan hidrokarbon yaitu normal alkana atau n-parafin, isoalkana atau isoparafin, sikloalkana atau naftalena, olefin dan campuran aromat dan olefin. Beberapa senyawa polutan hasil pembakaran minyak bumi adalah hidrokarbon, oksida nitrogen, partikulat, benzene, dan karbon monoksida. Hidrokarbon minyak bumi sebagian besar berupa n-alkana sederhana tidak bercabang, dengan kandungan senyawa poliaromatik kurang dari empat persen. N-alkana dengan jumlah atom karbon 6-12 bisa melarutkan fosfolipida yang menyusun
membran
sel
mikroorganisme,
walaupun
demikian
beberapa
mikroorganisme tertentu diketahui dapat memetabolisme senyawa-senyawa toksik tersebut (Johnson, 2000) Proses penguraian hidrokarbon oleh mikroorganisme dimulai dengan terjadinya perlekatan mikroorganisme pada globula minyak, yang dilanjutkan dengan proses pelarutan hidrokarbon oleh surfaktan yang diproduksi oleh mikroorganisme tersebut. Hidrokarbon yang telah teremulsi ini selanjutnya diserap ke dalam sel dan diurai melalui proses katabolisme. Untuk n-alkana, proses katabolisme ini diawali dengan proses hidroksilasi n-alkana yang menghasilkan alkan-l-o1, yang selanjutnya dioksidasi oleh enzim dehydrogenase
12
dan menghasilkan asam lemak. Jika sistem oksidasi mikroorganisme pengurai hidrokarbon dapat berjalan secara optimal, maka asam lemak yang terbentuk ini akan diurai sempurna menjadi energi, H 2 O dan CO 2 melalui proses β-oksidasi (Godfrey, 1986). Faktor-faktor yang mendukung proses bioremediasi minyak adalah faktor fisik-kimia dan faktor biologi. Faktor fisik-kimia adalah komposisi kimia minyak, kondisi fisik minyak, konsentrasi minyak, suhu, oksigen, nutrisi, salinitas, tekanan, air aktivitas, dan pH, sedangkan faktor biologi adalah kemampuan mikroorganisme itu sendiri. Menurut Cookson (1995), faktor-faktor yang diperlukan untuk bioremediasi adalah : a. Tipe dan jumlah hidrokarbon pencemar Tingkat degradasi hidrokarbon oleh mikroorganisme berbeda-beda tergantung dengan jenis hidrokarbon. Tingkat biodegradasi hidrokarbon ini semakin menurun dari urutan senyawa hidrokarbon ini yaitu: n-alkana > alkana bercabang > hidrokarbon aromatik yang mempunyai MR kecil > alkana siklik (Leahy dan Colwell, 1990). Kondisi fisik hidrokarbon juga mempengaruhi biodegradasi. Biodegradasi mikrobial dapat diubah berdasarkan tingkat penyebaran bahan pencemar dan keheterogenitasan komposisi (Leahy dan Colwell, 1990), dan dapat dalam bentuk ikatan hidrokarbon-air yang muncul dalam bentuk padatan (Atlas, 1981). b. Temperatur Temperatur mempengaruhi kondisi fisik hidrokarbon yang mencemari tanah dan mikroorganisme yang mengkonsumsinya. Pada temperatur yang rendah, viskositas dari minyak meningkat sehingga penguapan rantai pendek alkana terkurangi dan kelarutan air menurun sehingga menunda terjadinya biodegradasi. Temperatur yang semakin tinggi dapat meningkatkan tingkat metabolisme hidrokarbon menjadi maksimum yaitu antara 30 – 40 oC. Di atas temperatur ini, aktivitas enzim akan menurun dan toksisitas hidrokarbon pada membran sel akan semakin tinggi (Leahy dan Colwell, 1990).
13
c. Nutrien Hidrokarbon merupakan sumber karbon dan energi yang bagus untuk mikroorganisme. Hidrokarbon ini merupakan makanan yang tidak sempurna karena hidrokarbon tidak berisi konsentrasi nutrien lain yang cukup besar (seperti nitrogen dan fosfor) untuk pertumbuhan mikroorganisme (Prince et al., 2002). Masuknya sumber karbon yang sangat besar akan menyebabkan berkurang secara cepatnya nutrien anorganik (Margesin et al., 1999) yang akan membatasi tingkat biodegradasi, sehingga biostimulasi dapat digunakan untuk memaksimalkan proses bioremediasi (Trinidade et al., 2002). d. pH Biodegradasi minyak bumi dipengaruhi oleh nilai pH yang terjadi pada lingkungan tersebut. Mayoritas mikroorganisme tanah akan tumbuh dengan subur pada pH antara 6 sampai 8. Ekstrimnya nilai pH pada beberapa tanah dapat memperlambat kemampuan mikroorganisme dalam mendegradasi hidrokarbon (Leahy dan Colwell, 1990). e. Oksigen Mikroorganisme pendegradasi minyak bumi umumnya tergolong dalam mikroorganisme aerob, sehingga adanya oksigen sangat penting dalam proses degradasi. Ketersediaan oksigen pada tanah tergantung pada tingkat konsumsi oksigen oleh mikroorganisme, jenis tanah dan keberadaan substrat yang dapat digunakan untuk mengurangi oksigen. Keberadaan oksigen merupakan faktor pembatas laju degradasi hidrokarbon. Kebutuhan akan oksigen digunakan untuk mengkatabolisme senyawa hidrokarbon dengan cara mengoksidasi substrat dengan katalis enzim oksigenase. Hidrokarbon juga dapat didegradasi secara anaerobik tetapi laju degradasi hidrokarbon tersebut lebih lambat jika di bandingkan dengan hidrokarbon yang didegradasi secara aerobik (Leahy dan Colwell, 1990). Mikroorganisme dapat memperoleh oksigen dalam bentuk oksigen bebas yang terdapat di udara dan tanah, serta oksigen yang terlarut dalam air. Dalam studi laboratorium, penambahan oksigen dapat dilakukan dengan pengadukan dan aerasi. Pengadukan menyebabkan pecahnya lapisan minyak pada permukaan air
14
sehingga berlangsung suplai oksigen dari udara. Dengan demikian kebutuhan mikroorganisme akan oksigen terpenuhi. Di samping itu, aerasi dan pengadukan menyebabkan terjadinya kontak yang lebih intensif antara mikroorganisme dengan senyawa hidrokarbon pencemar sehingga degradasi oleh mikroorganisme dapat berlangsung lebih cepat. f. Kadar Air Kadar air merupakan salah satu faktor penting dalam bioremediasi. Kandungan air tanah dapat mempengaruhi keberadaan kontaminan, transfer gas dan tingkat toksisitas dari kontaminan. Kelembaban sangat penting untuk hidup, tumbuh dan aktivitas metabolik mikroorganisme. Tanpa air, mikroorganisme tidak dapat hidup dalam limbah minyak. Mikroorganisme akan hidup aktif di daerah antara minyak dengan air. Selama bioremediasi, jika kandungan air terlalu tinggi akan berakibat sulitnya oksigen untuk masuk ke dalam tanah (Fletcher, 1991). Bersihnya
proses
penguraian
hidrokarbon
oleh
mikroorganisme
menyebabkan proses bioremediasi daerah yang tercemar minyak bumi menjadi sangat menarik sebagai pelengkap dari metoda fisik dan kimia. Penerapan bioremediasi ini pertama kali dilakukan oleh Environmental Protection Agency (EPA) Amerika untuk mengatasi pencemaran minyak bumi di daerah Alaska, Amerika akibat karamnya kapal Exxon Valdez pada bulan Maret 1989. Pada saat itu, proses remediasi tidak menggunakan mikroorganisme pengurai hidrokarbon, tetapi menggunakan nutrien (sumber nitrogen dan fosfor) untuk merangsang mikroorganisme pengurai hidrokarbon yang ada secara alami untuk melakukan proses penguraian lebih cepat walaupun metoda ini menunjukkan hasil yang baik dan mikroorganisme pengurai hidrokarbon secara alami mungkin ada di daerah yang tercemar, namun proses remediasi sebaiknya tidak hanya bergantung pada mikroorganisme yang tersedia secara alami. Penambahan mikroorganisme pengurai hidrokarbon dan penambahan nutrien atau bahan kimia lain yang dapat mengoptimalkan kondisi kimia lingkungan akan mempercepat proses remediasi (Shaheen, 1992).
15
Senyawa hidrokarbon minyak bumi berdasarkan kerentanannya agar dapat didegradasi secara biologis dapat diklasifikasikan seperti dalam Tabel 5. Tabel 2. Klasifikasi senyawa hidrokarbon Kerentanan
Hidrokarbon
Sangat rentan
n dan iso-alkana
Kerentanan tinggi
1-,2-,5- dan 6- cincin sikloalkana, 1cincin aromatik, dan senyawa aromatik bersulfur
Agak rentan Sangat resisten Resisten tinggi
3- dan 4- cincin sikloalkana, 2- dan 3cincin aromatik Tetra aromatik, stearin, triterpen dan senyawa aromatik yang mengandung napten Penta aromatik, aspal dan resin
Sumber: Blackburn dan Hafker (1993) 2.4. Slurry Bioreaktor Bioreaktor merupakan perlakuan biodegradasi dalam bejana (container) atau reaktor; digunakan untuk perlakuan terhadap cairan atau bubur (slurry) (Bacher dan Herson, 1994 dalam Citroreksoko, 1996). Teknik bioremediasi dengan menggunakan bioreaktor merupakan pengembangan bioremediasi secara ex situ. Slurry bioreaktor tidak hanya digunakan untuk mendegradasi limbah berbentuk fase cairan dan slurry namun juga limbah padat/tanah. Menurut Banerji (1996) fase slurry dapat diperoleh dari limbah padat/tanah yang dicampurkan air sehingga slurry memiliki tingkat kepadatan 10-40%. Slurry ini kemudian disimpan dalam bioreaktor. Dalam bioreaktor slurry akan diberikan nutrisi dalam kondisi lingkungan yang terkontrol agar mikroorganisme dapat melakukan proses degradasi dengan baik. Selain penambahan nutrisi, ke dalam reaktor diberikan suplai gas atau oksigen untuk menjaga agar kondisi aerobik pada bioreaktor tetap terjaga. Selain itu juga dilakukan pengadukan secara mekanik atau pneumatik. Keuntungan proses bioremediasi dengan menggunakan slurry bioreaktor adalah mempercepat proses transfer massa antara fase padat dan cair; kontrol lingkungan seperti nutrisi, pH, dan suhu dapat berlangsung dengan baik; mudah dalam
16
memelihara tingkat penerimaan elektron dalam reaktor; dan berpotensial dalam mencegah kontaminasi oleh mikroorganisme pengganggu (Banerji, 1996). Bioslurry merupakan proses yang potensial untuk perlakuan tanah yang sulit didegradasi, khususnya kontaminan dengan kandungan heavy oil, PAHs, pestisida dan khloropenol yang tinggi. Pencampuran yang seksama dalam fase slurry akan berpotensi
untuk
pencampuran
yang
berhasil.
Perlakuan
seksama
dan
dengan
agitasi.
bioslurry
Agitasi
menghomogenkan slurry tapi juga meningkatkan
tidak
membutuhkan hanya
untuk
pemecahan partikel padat,
(desorption) penyerapan limbah dari partikel padat, kontak antara limbah organik dan mikroorganisme, oksigenasi slurry dengan aerasi, dan penguapan bahan kontaminan (LaGrega et al., 2001). Beberapa hasil penelitian bioremediasi dengan teknik bioslurry dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah ini. Tabel 3 Beberapa hasil penelitian bioremediasi dengan teknik bioslurry Jenis Limbah
Lama proses Bakteri biodegradasi digunakan
yang Hasil
Skala penelitian
Referensi
Bahan peledak
53 hari
-
99%
400 galon
Craig et al., 1995
TPH
45 hari
Pengayaan kultur 70% mikroba
120 ml Yerushal volume mi et al., kerja 45 ml 2003
PAH
14 hari
-
Skala pilot
US EPA, 2003
PAH
4 hari
a Triton N-101 30% surfactant solution
-
Brown et al., 1999
Minyak Diesel
4 hari
Pseudomonas 85% pseudomallei dan Enterobacter agglomerans
Skala lab
Eris, 2006
Minyak Diesel
20 hari
Pseudomonas 91% pseudomallei dan Enterobacter agglomerans
Skala 16 Eris, 2006 liter volume kerja 8 liter
96%
17
….lanjutan Tabel 3 PAH (Phenanthr ene)
7 hari
Sphingomonas sp. 99,4 % 250 ml Chen et al., 2008 volume kerja 100 ml
Weathered 15 hari oily sludge waste
Genera Bacillus, 30% Pseudomonas dan Serratia
500 ml
Machin Ramirez et al., 2008
2.5. Mikroorganisme Pendegradasi Hidrokarbon Dalam kegiatan biodegradasi diperlukan adanya aktivitas biologi. Mikroba merupakan organisme yang potensial digunakan untuk mendegradasi heavy oil. Telah lama diketahui bahwa beberapa mikroorganisme mampu mendegradasi minyak bumi. Selama kegiatan degradasi tersebut, mikroorganisme akan memanfaatkan karbon dari minyak bumi sebagai sumber energinya. Mikroorganisme pendegradasi hidrokarbon dapat ditemukan di berbagai tempat yaitu lingkungan yang mengandung cukup limbah hidrokarbon. Jenis mikroorganisme yang mendominasi pada lingkungan tersebut terdiri atas beberapa genera,
yaitu
Alcaligenes,
Arthrobacter,
Acenitobacter,
Nocardia,
Achromobacter, Bacillus, Flavobacterium, Pseudomonas dan lain-lain (Cookson, 1995). Genera Aspergillus dan Penicillium berhasil diisolasi dari laut dan tanah dan ternyata dapat berperan dalam mendegradasi hidrokarbon. Atlas dan Bartha (1973) mengemukakan bahwa ada 22 genera bakteri yang dapat menguraikan hidrokarbon minyak mentah, yang mana bakteri tersebut dapat diisolasi dari lingkungan minyak bumi. Bakteri tersebut yaitu dari genera Pseudomonas,
Arthrobacter,
Corynobacterium,
Mycobacterium
dan
Mavobacterium (Wong et al., 1997). Mikroorganisme tersebut menggunakan hidrokarbon sebagai satu-satunya sumber energi dan sumber karbon. Eksplorasi mikroorganisme pendegradasi hidrokarbon dapat diperoleh dari beberapa sumber potensial, seperti: ekosistem tanah, tanah gambut, sludge/lumpur aktif, septic tank, pupuk/kotoran hewan, dan sebagainya. Jenis bakteri lokal (indigenous bacteria) dianalisis dari sampel limbah cair di salah satu perusahaan minyak bumi telah dapat diisolasi dan diidentifikasi terhadap mikroorganisme
18
yang dominan. Dari 10 jenis mikroorganisme dominan tersebut adalah Enterobacter agglomerans, Bacillus sp., Clostridium sp., Arthrobacter sp., Shigella sp., Pseudomonas aeruginosa, Aeromonas hydrophyla, dan Citrobacter freundi. Selain itu dapat diidentifikasi pula beberapa bakteri Coliform (E. coli) dan Salmonela, namun tidak dilakukan identifikasi lanjut. Bakteri yang dapat mendegradasi
minyak
bumi
antara
lain
Aeromonas
hydrophyla,
Arthrobacter,Bacillus sp. dan Pseudomonas aeruginosa (Anonim, 2002). Eksplorasi mikroorganisme dari berbagai jenis kotoran atau pupuk kandang telah dilakukan dengan menggunakan prosedur isolasi, identifikasi dan pengujian kemampuan isolat bakteri dan kapang terhadap substrat minyak tanah, minyak bumi, minyak goreng, dan minyak diesel, serta sludge minyak bumi. Dari sekian isolat diperoleh 3 jenis isolat Pseudomonas pseudomallei, P. aeruginosa, dan Enterobacter agglomerans dan sejumlah kapang yang belum seluruhnya diidentifikasi (Anggraeni, 2003). Suatu penelitian di LEMIGAS menemukan suatu kultur campuran yang didominasi oleh Pseudomonas yang mampu mendegradasi minyak bumi dan fenol. Mikroorganisme tersebut diisolasi dari air buangan kilang minyak (Udiharto, 1992). Beberapa kelompok mikroorganisme pendegradasi senyawa hidrokarbon dapat dilihat pada Tabel 4 berikut ini: Tabel 4 Kelompok mikroorganisme pendegradasi senyawa hidrokarbon Senyawa Parafinik
Senyawa Naftenik
Senyawa Aromatik
Pseudomonas Acinetobacter
Pseudomonas
Pseudomonas Achromobacter
Bacillus
Mycobacterium Achromobacter
Arthrobacter
Nocardia
Flavobacterium
Mycobacterium
Acetobacter
Corynebacterium
Brevibacterium
Alcaligenes
Aeromonas
Nocardia
Sumber: Kardena dan Suhardi, 2001 Kemampuan degradasi hidrokarbon oleh mikroorganisme tergantung dari faktor-faktor lingkungan seperti temperatur, nutrisi, dan oksigen (Higgins dan Gilbert, 1978). Suatu studi laboratorium menunjukkan bahwa penambahan fosfat dan nitrat atau amonia akan mempercepat biodegradasi hidrokarbon. Mikroba
19
dalam pertumbuhannya selain membutuhkan karbon juga memerlukan unsurunsur hara lain seperti nitrogen, fosfor, kalium, magnesium, besi dan sulfur (Wardley, 1983). Pertumbuhan mikroorganisme secara umum dapat dibagi menjadi empat fase, yakni fase lag (pertumbuhan lambat), fase pertumbuhan logaritmik, fase stasioner dan fase kematian. Keberadaan mikroorganisme ditentukan oleh kemampuan metabolisme tiap-tiap individu serta ketahanan terhadap metabolic toksik. Gambar 2 menunjukkan degradasi senyawa hidrokarbon berhubungan dengan populasi bakteri, pada tahap awal mikroorganisme beradaptasi di lingkungan minyak heavy oil, kemudian pada saat pertumbuhan sel bakteri berada pada fase pertumbuhan logaritmik maka senyawa hidrokarbon yang ada akan semakin
berkurang
akibat
aktivitas
mikroorganisme
dan
pada
saat
mikroorganisme tersebut sudah tidak mampu mendegradasi senyawa hidrokarbon yang ada maka pertumbuhannya akan terus menurun dan akhirnya sel bakteri tersebut akan mati.
Gambar 2 Hubungan kurva pertumbuhan bakteri dengan total hidrokarbon (MECHEA, 1991).