TINJAUAN PUSTAKA
Sponge Sponge merupakan hewan multiseluler dari Phylum porifera. Hewan ini tidak bergerak, sebagian besar hidup di laut dan mampu menyaring air melalui suatu matrik untuk memperoleh partikel makanan dan substansi terlarut lainnya. Sponge ini tidak mempunyai jaringan yang sebenarnya (parazoa), tidak memiliki otot, urat syaraf, dan organ internal lainnya. Kemiripan koloni sponge dengan choanoflagellata membuat sponge berevolusi dari organisme uniseluler ke multiseluler. Lebih dari 5000 spesies sponge moderen yang diketahui yang hidup menempel pada permukaan dari zona intertidal hingga pada kedalaman laut 8500 m (29000 feet) atau lebih. Secara garis besar taksonomi sponge pada filum porifera terbagi menjadi 4 kelas yaitu Calcarea, Hexactinellida, Demospongiae dan Sclerospongiae dari sponge coralline (Kozloff 1990; Brusca and Brusca 1990). Keempat kelas ini dibedakan berdasarkan bentuk dari skeleton internal (spikula) dan masing- masing kelas mempunyai ciri-ciri tersendiri. Kelas Calcarea mempunyai spikula yang terdiri dari kalsium karbonat, bentuk spongenya relatif kecil dan sederhana, contoh kelas ini adalah Sycon dan Grantia. Kelas Sclerospongiae mempunyai spikula yang mengandung kalsium karbonat, calcite atau aragonite, mempunyai tekstur yang kuat dan umumnya hidup pada palung yang dalam. Kelas Hexactinellida atau dikenal dengan glass sponge mempunyai spikula yang terdiri dari silika dengan bentuk silindris yang simetrik dengan 6 sudut, hidup pada kedalaman lebih dari 50 m (Brusca and Brusca 1990). Kelas Demospongiae merupakan kelas yang terbesar, meliputi 95% dari semua spesies sponge, spikulanya terdiri dari silika, umumnya tidak mempunyai bentuk yang teratur atau asimetrikal, termasuk dalam kelas ini adalah bath sponges, fresh water sponges dan boring sponges. Umumnya sponge yang masuk dalam klas ini banyak memproduksi silika dan telah diisolasi proteinnya, termasuk dalam kelas ini adalah Tethya aurentia dan Suberitus dumuncula. Sponge dapat berreproduksi secara seksual maupun aseksual. Reproduksi secara seksual diawali dengan pengeluaran semen dari tubuh sponge menyebar di
dalam air dimana terdapat telur sponge. Selanjutnya akan terjadi fertilisasi internal yang akan menghasilkan larva sponge yang bersifat motil. Reproduksi aseksual terjadi melalui tunas (budding), dimana potongan kecil sponge jatuh ke sponge utama dan tumbuh berkembang menjadi satu sponge baru. Pada lingkungan yang kurang sesuai, sponge dapat membentuk struktur kecil yang disebut gemmule yang mirip dengan endospora bakteri. Gemmule terbentuk dari amoebocyte yang dikelilingi oleh suatu lapisan spikula dan dapat bertahan hidup pada kondisi buruk. Ketika kondisi lingkungan berangsur baik, maka gemmule mulai tumbuh berkembang menjadi sponge dewasa.
Struktur Sponge
Penampakan Mikroskopis Dinding Porifera Spikula Sel Archaeocyte Sel Sclerocyte
Jaringan Mesohyl Sel Pinacocyte Sel Choanocyte Sel Porocyte Pori-pori Saluran air
Aliran air
Flagela
Tabung Bagian luar
Bagian dalam
Gambar 1. Struktur tubuh sponge (http://www.ucmp.berkeley.edu/porifera/pororg.html)
4
Sponge tidak mempunyai struktur tubuh yang jelas, karena tidak mempunyai batas jaringan yang nyata (Brusca and Brusca 1990, Hawking & Smith 1997). Sponge juga mempunyai warna dan ukuran yang beragam. Warna sponge ada yang putih, abu-abu, kuning, orange, merah atau hijau. Sponge yang berwarna hijau umumnya disebabkan oleh adanya alga yang bersimbiotik (zoochlorellae) di dalam sponge. Sponge berukuran mulai dari sebesar kepala jarum pentul sampai berukuran diameter 0,9 m dan tebal 30,5 cm. Bagian tubuh sponge terdiri dari sistem saluran (canal), sistem kerangka dan sel somatik (Gambar 1). Sistem saluran ini bertindak seperti halnya sistem sirkulasi pada hewan tingkat tinggi. Sistem ini merupakan jalan untuk pemasukan makanan ke dalam tubuh dan untuk saluran pembuangan. Ada tiga macam sistem, yaitu askon, sikon dan ragon. Sel-sel sponge mempunyai fungsi-fungsi khusus dan pembagian kerja yang jelas. Sel-sel ini dipisahkan menjadi tiga kelompok, yaitu sel yang menyusun lapisan kulit, sel yang membentuk organ skeleton, dan sel yang terletak di dalam jaringan mesohyl (sel amoeboid), yang berdiferensiasi dan mempunyai fungsi tertentu (Brusca and Brusca 1990, Hawking & Smith 1997). Sel yang menyusun kulit terdiri dari sel pinacocytes, porocytes, dan coanocyte. Sel pinacocyte merupakan sel penyusun lapisan permukaan sponge (seperti sel epitel pada hewan) yang membentuk pinacoderm. Sel ini berbentuk datar dan saling bertindihan, yang diselingi juga sel pinacocyte berbentuk T. Porocytes merupakan sel yang berbentuk silinder seperti tabung yang menjadi tempat masuknya air yang membawa makanan. Makanan disimpan dalam vakuola makanan dan dikirim ke sel disampingnya (sel amoeboid) tempat mencerna makanan (Brusca dan Brusca 1990) Sel
yang
membentuk
organ
skeleton
terdiri
dari
sel sclerocytes,
collencytes, lophocytes dan spongocytes. Sel sclerocytes bertanggung jawab memproduksi spikula silika atau spikula karbonat (Brusca dan Brusca 1990). Sel yang terdiri dari mitokondria, mikrofilamen sitoplasma dan vakuola kecil ini dapat menyimpan kalsium karbonat atau silika dan menyusunnya menjadi spikule atau silica spicule. Satu sel sclerocytes dapat menghasilkan 1 silika atau beberapa sel bekerja sama untuk menghasilkan 1 spikula (Gb. 2).
5
Nukleus pusat
Sel penebal
Nukleus peripheral
Spikula
Sel pendiri
Gambar 2. Pembentukan spikula oleh sel sclerocytes (Kozloff 1990)
Sel
collencytes
dan
lophocytes
bentuknya
hampir
sama
dengan
pinacocytes, berfungsi untuk menghasilkan kolagen, sedangkan sel spongocytes memproduksi serat seperti kolagen yang disebut spongin. Spongin adalah senyawa kimia yang menyerupai struktur sutera, yang dihasilkan oleh sel berbentuk toples yang disebut spongoblast. Sel yang terletak di jaringan mesohyl adalah myocytes, archaeocytes dan rhabdiferous. Sel myocytes merupakan sel kontraktil.
Sel archaeocytes berukuran besar, sangat motil dan mempunyai
peranan penting dalam mencerna dan mentransport makanan. Sel ini mempunyai sejumlah enzim pencernaan (seperti acid phospatase, amilase, protease, lipase) dan menerima bahan phagocyt dari choanocytes. Sel rhabdiferous merupakan sel dalam mesohyl yang berukuran paling besar mengandung mucopolisakarida (Brusca and Brusca 1990). Semua sponge, kecuali yang termasuk ordo kecil Myxospongia, dilengkapi dengan kerangka. Kerangka ini ada yang terdiri dari kapur karbonat dan silika dalam bentuk spikula atau dari spongin dalam bentuk serat yang menyatu. Sponge tidak dapat berdiri tegak jika tidak ada spikula atau spongin menopang tubuh sponge dan mencegah rontok yang memungkinkan adanya saluran dan ruangruang bercambuk. Spikula silikon tersusun dari opal, suatu bentuk silika terhidrasi seperti kuarsa dalam struktur kimianya.
6
Berdasarkan ukurannya spikula dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu megascleres (Gb3a) dan mikroscleres (Gb. 3b). Pada sponge kelas Hexactinellida umumnya kedua tipe ini ada, dengan bentuk hexactinal. Pada sponge kelas Demospongiae tipe megacleres ada dan terkadang bersamaan dengan tipe microscleres (Brusca and Brusca 1990).
Gambar 3. Tipe spikula. A. Megascleres dan B. Mikroscleres (Kozloff 1990)
Nanosphere ini tersusun secara berlapis (Streated shell) dengan tebal sekitar 20 µm dan di tengah terdapat pusat silinder. Pada pusat silinder inilah protein silicatein berada dengan ukuran diameter sekitar 0,5 µm (Gb.4) (Aizenberg 2004). Pada pusat silinder ini tersimpan kandungan silika yang paling tinggi dibandingkan dengan bagian di luarnya. Ukuran silika spikula yang dijumpai pada T. aurantia mempunyai diameter sekitar 30 µm (Shimizu 1998).
Pusat
Gambar 4. SEM dari spikula, SS= Streated shell, CC=Cylinder Core (Aizenberg 2004)
7
250
100
Gambar 5. Bentuk nanosphere dari lapisan spikula silika dengan AFM (A) dan spikula silika setelah dilarutkan dengan HF dengan SEM (B) (Weaver et al. 2003)
Masing- masing lapisan spikula silika terdiri dari polimer silikon dioksida (SiO 2 ) yang membentuk silika nanosphere setebal 0,8-1,0 µm. Gambar 5a. merupakan hasil pengamatan kumpulan annular silika pada sisi spikula silika secara longotudinal menggunakan Atomic Forces Micrograph (AFM). Tanda panah menunjukkan bahwa ketebalan satu lapisan merupakan monopartikel (A). Sedangkan gambar 5b. memperlihatkan hasil SEM nanopartikel silika penyusun spikula silika setelah dilarutkan dengan HF.
Protein Silicatein Protein silicatein merupakan protein yang menjadi katalis reaksi pembentukan biosilika dari sponge T. aurantia (Shimizu et al. 1998). Protein ini diproduksi di dalam sel sclerocytes yang kemudian disekresikan ke membran vakuola tempat terdepositnya asam silikat. Di dalam vakuola, protein terus memanjang dan dilapisi dengan silika yang terkondensasi dan terpolimerisasi olehnya. Setelah membentuk spikula dengan panjang yang cukup, protein dan spikula ini disekresikan ke luar sel. Sekresi protein ini dibuktikan dari foto mikroskop electron pada Gambar 6 (Aizenberg 2004). Pada Gambar 6f terlihat proses pemanjangan sel seiring dengan tumbuhnya protein dan silika spikula. Pada Gambar 6g, spikula 1 (s1) telah dikeluarkan dan sel siap membuat protein dan spikula berikutnya (s2). Dalam sel ini banyak ditemukan mitokondria yang mengindikasikan bahwa pembentukan protein ini memerlukan banyak energi.
8
Gambar 6. SEM dari proses sekresi silika spikula dengan protein filamen s1= spikula, s2= spikula2, n= lisosome (Aizenberg 2004) Pada gambar 7a. terlihat gambar dua dimensi susunan filamen protein yang berbentuk hexagonal, sedangkan gambar 7c. memperlihatkan susunan filament protein pada spikula sponge G. cydonium dari kelas Demospongiae dan gambar 7c. menunjukkan susunan filamen protein pada spikula sponge Suberitas joubini dari kelas Hexactinellida dengan me nggunakan X-ray fiber diffraction dengan SAXS bemline dari radiasi ELETRA synchrotron.
Gambar 7. Gambar 2D susunan filamen protein (a), susunan filamen protein dari sponge Demospongiae (b) dan susunan filamen protein dalam spikula silika Hexactinellida (Croce 2004) Hasil analisa SDS-PAGE, protein silicatein dari sponge T. aurentia mempunyai tiga pita protein dengan berat molekul 29, 28 dan 27 kDa yang kemudian disebut sebagai 3 subunit α,β dan γ karena susunan asam amino ketiga
9
protein hampir sama (Shimizu et al. 1998). Peneliti lain menyebutnya sebagai 3 protein isomer, karena satu subunit saja mampu melakukan reaksi katalisis sendiri terlepas dari sub unit lainnya. Ketiganya tersusun secara berulang membentuk protein filamen, diduga melalui ikatan nonionik dan nonkovalen, karena ikatan antar subunit mudah putus oleh penambahan SDS atau urea.
Hasil analisis
densitomer silicatein α merupakan bagian terbesar sekitar 70% dengan perbandingan silikatein α,β dan γ =12:6:1 (Shimizu et al. 1998). Sekuens dari silikatein α ini mempunyai homologi yang tinggi dengan famili cathepsin- L dari grup cystein protease. Persamaan ini pertama terletak pada residu asam amino pada sisi aktif yaitu His dan Asn, dan yang kedua terdapat mekanisme pemotongan proprotein menjadi protein matang, masing- masing mengandung 6 sistein yang membentuk jembatan disulfida (Shimizu et a.l 1998). Berdasarkan kesamaan struktur ini diduga model tiga dimensi dari protein ini seperti pada Gambar 8.
Gambar 8. Model 3 dimensi silicatein disulfida (Shimizu et a.l. 1998)
Krasko et al. (2000) berhasil mengisolasi silicatein dari sponge Suberites domuncula dan menemukan bahwa ekspresi gen penyandi silikatein dikontrol secara positif oleh kehadiran substrat asam silikat. Protein ini mempunyai 79% homologi dengan silicatein dari T. aurantia dan tersusun dari 331 asam amino dengan berat molekul proprotein 36306 dan 23125 untuk protein matang.
10
Kecepatan sponge dalam membentuk spikula dari silika sangat tinggi, sekitar 5 µm per jam. Mekanisme pembentukan biosilika oleh protein ini belum banyak dimengerti. Diduga banyaknya asam amino hidroksil (serine, tirosin, dan treonin) pada silicatein berpengaruh besar pada proses biosilifikasi. Hal ini didasarkan pada penelitian Perry dan Lu (1992) yang meneliti pembentukan silikon cathecolat pada tanaman, yang melibatkan protein yang banyak mengandung gugus hydroxil. Begitu pula protein yang diduga pembentuk silika pada diatom mengandung sejumlah besar asam amino hidroksil (Kroger, 1994; Kroger, 1997). Pembentukan biosilika pada sponge bersifat spesifik untuk setiap spesies diduga melibatkan protein sebagai katalis yang berbeda pula. Demikian pula lingkungan yang berbeda diduga berpengaruh terhadap karakteristik proses katalisis dari protein tersebut.
Polimerisasi Silika Sponge dan diatom serta beberapa organisme mensintesis gigaton silika pertahun dari asam silikat. struktur
dengan
ketepatan
Struktur biosilika yang dibuat mempunyai beragam pengontrolan
nanoarchitektur
yang
melebihi
kemampuan manusia. Dalam sponge, biosilika ini terkumpul pada bagian yang bernama spikula. Spikula merupakan organ skeleton dari sel sponge yang menopang struktur jaringan dan tubuh sponge. Pada sponge, spikula ini tersusun atas calsium carbonat (calcareous spicule) atau silica (silica spicule) dan sebagian kecil kolagen. Walaupun pada beberapa sponge, skeleton hanya terdiri dari kolagen saja.
Gambar 9. Jaringan tiga dimensi dari silikon dioksida dalam silika spikula (http://www.batnet.com/enigmatics/semiconductor_processing/CVD_Fundamenta ls/films/SiO2_properties.html)
11
Ikatan atom silikon dan oksigen yang membentuk struktur "ring" (Gambar 6) dalam membentuk struktur tiga dimensi silicon dioksida membuat molekul ini sangat fleksibel (Aizenberg 2004), tidak rigid seperti struktur kristalin (ikatan SiSi). Struktur seperti ini dikenal dengan amorphous, dan struktur ini membuat beberapa ion anorganik penting, seperti Na+ dapat melewati lapisan silika. Pembentukan biosilika dalam sponge dan diatom sangat dipengaruhi oleh keberadaan asam silikat, garam natrium dan adanya protein transporter.
Krasko
(2000) mencoba melihat ekspresi gen silicatein dengan meningkatkan konsentrasi asam silikat dari 1 µM menjadi sekitar 60 µM, menghasilkan ekspresi gen yang sangat meningkat. Tidak adanya penambahan asam silikat dalam media, menyebabkan ekspresi gen yang sangat kecil.
Begitupun halnya dengan ekspresi
gen kolagen, gen yang sering dihubungkan dengan silicatein, meningkat dengan penambahan asam silikat tersebut. Konsentrasi asam silikat di lautan sekitar mikromolar per ml, sedangkan yang terdeposit dalam vakuola sponge terdapat 1000 kali lebih besar. Oleh karena itu, keberadaan protein transporter sangat diperlukan untuk proses ini. Hal ini mendorong Schroder et al pada tahun 2004 untuk mempelajari protein transporter yang mengangkut asam silikat ke dalam sponge
Suberites
cotransporters.
domuncula,
protein
ini
mirip
dengan
Na+
/HCO3 –
Karena silika transporter ini sangat tergantung pada keberadaan
natrium, dengan perbandingan optimal Si(OH)4 : Na+ = 1:1 (Coradin dan Lopez 2003).
Silikon dan Senyawanya Silikon merupakan unsur yang melimpah di alam kedua setelah oksigen, dan merupakan unsur utama pembentuk bumi. Atom silikon mempunyai empat elektron pada orbit terluar. Konfigurasi elektron ini menyebabkan unsur ini tidak berdiri sendiri, tetapi berada dalam bentuk senyawa dengan mengikat empat gugus oksigen. Sebagian besar berada dalam bentuk senyawa silicon oksida Si(OR)4 dan asam silikat Si(OH)4 seperti pasir, kuarsa dan batu kristal. Silikon juga ditemukan dalam bentuk mineral seperti asbestos, clay dan mika (Winter 1993). Silikon juga terdapat di lautan dalam jumlah yang melimpah, dalam bentuk asam silikat dan sekitar 5% dalam bentuk ion silikates Si(OH)3 O-. Beberapa organisme laut seperti
12
diatom, sponge, molluska, alga, radiolaria dan silikoflagellata memerlukan silikon untuk kehidupannya, mereka mengambil dalam bentuk asam silikat ataupun silikates. Diatom mengekstrak asam silikat dari air untuk digunakan sebagai pembentuk dinding sel, sedangkan sponge menggunakannya untuk membentuk organ internalnya, yaitu spikula (Farley 2003). Asam silikat dapat berkondensasi melepas atom H dan membentuk dimmer dengan membentuk ikatan Si- O-Si dengan asam silikat lainnya. Kondensasi lebih lanjut menyebabkan terbentuknya trimer, kuarter, sehingga terbentuk struktur tiga dimensi (Gambar 1.) yang dikena l dengan silika (Coradin and Lopez 2003). Silika terdapat di alam dalam bentuk amorphous dan beberapa dalam bentuk kristalin (Sturrock 1998). Iler (1979) telah mempelajari pembentukan silika secara invitro. Pembentukan polimer silika yang dilakukan pada pH netral dan suhu kamar hanya dapat membentuk polimer sampai ukuran 5-10 nm. Penambahan asam silikat selanjutnya dapat menurunkan pH medium sehingga terjadi pelarutan silika dan kembali membentuk monomer. Pembentukan polimer silika sampai ukuran diatas 150 nm dapat terjadi pada suhu reaksi 350o C Iler (1979). Pembentukan amorpous silika memerlukan suhu 500o C, sedangkan
pembentukan silika kristalin
memerlukan suhu lebih tinggi lagi (Sturrock 1998). Polimer lain adalah silicones, yang tidak terdapat secara natural di alam tetapi disintetis secara kimia. Polimer ini mempunyai struktur linier, dengan SiO-Si sebagai tulang punggung polimer. Grup R yang terikat pada dua sisi silikon mencegah terbentuknya struktur tiga dimensi seperti yang terjadi pada silika. Terdapat beberapa bentuk silicones, yaitu fluida (oils), gel dan elastomer yang dibedakan oleh ada tidaknya cross-lingking antara tulang punggung Si-O-Si (Sturrock 1998). Silika bersifat inert dan dapat menahan oksigen, mikroba dan cahaya sehingga dapat diaplikasikan untuk kemasan aktif. Silika ini mempunyai daya serap
yang
tinggi
terhadap
bahan-bahan
pengotor
minuman
dan
mengendapkannya, sifat ini menjadikan silika dapat digunakan sebagai clarifier pada pembuatan minuman untuk menghasilkan minuman yang jernih. Silika juga mempunyai sifat dapat menyerap air sehingga dapat digunakan untuk antikoagulan pada makanan instan, bahan baku tepung, gula, dan lain- lain. Silika
13
dengan struktur nano berperan sangat penting sebagai material utama dalam industri biosensor, biomedik dan bio-semikonduktor yang berharga sangat tinggi (Muller 2003). Aplikasi Silika Berpori Biosensor dapat menjadi alat yang fleksibel jika mempunyai sensitifitas yang tinggi yang dapat diperoleh dengan metode amplifikasi sinyal. Biosensor berbasis silika berpori merupakan bentuk baru dari silikon dengan karakter permukaan berpori tertentu. Bentuk degradasi lapisan silika berpori yang digunakan sebagai matrik dan tahap amplifikasi sinyal merupakan dasar prinsip sensor baru untuk aplikasi biosensor. Film- film silika berpori dari nanokristalin dapat digunakan sebagai host pendeteksi bahan-bahan kimia karena mempunyai permukaan yang dalam dan luas serta memiliki sifat unik optik listrik. Silik a berpori dapat berfungsi sebagai matrik dan transduser. Luminescens dari silika berpori tipe N dapat menggabungkan molekul- molekul pada lapisan berpori. Pendekatan ini juga digunakan untuk mendesain sensor gas yang dapat dibaca dengan mempelajari perubahan warna yang dapat dilihat dengan mata telanjang. Aplikasi lapisan berpori untuk sensor interferometrik dapat merekam kejadian-kejadian molekular yang dapat dimonitor dengan pola Fabry-Perot fringe sebagai pengikat analit yang dapat meningkatkan efektifitas ketebalan optik matrik berpori dari semikonduktor silikon melalui interferometrik maupun fluoresens. Penggunaan interferometrik adalah sebagai reflektan spektroskopi, pendeteksi biomolekul seperti streptavidin, immunoglobulin, deoxyribonucleic acid (DNA) dan bahkan bakteri dalam konsentrasi mikromolar. Penggunaan fluorescens untuk mengamplifikasikan sinyal melalui tube foto multiplier sebagai detektor. Amplifikasi sinyal yang sebenarnya terjadi pada sisi pengikatan, contohnya menggunakan enzim untuk mengkatalisis reaksi dari substrat yang tidak berwarna menjadi spesies yang berwarna dan dapat deteksi dengan analisa colorimetrik. Kontaminasi air minum dapat dideteksi dengan menggunakan degradasi yang cepat dari silikon berpori oleh kompleks logam transisi tertentu yang dikenal sebagai katalis biomimetik. Dengan prinsip ini, pengembangan biosensor untuk deteksi cepat kontaminan (toksin) didalam sumber air dapat dilakukan.
14
Ligan berlabel Reseptor
Degradasi
komplek
terimobilisa
Silikon berpori
Gambar 10. Mekanisme korosi silicon berpori oleh katalis metal komplek (http://www.azonano.com/Details.asp?ArticleID=1317) Degradasi silika berpori yang dikatalisis kompleks logam digunakan dapat menghasilkan amplifikasi sinyal untuk desain biosensor. Degradasi silika berpori dapat dimonitor dengan spektroskopi reflektan interferometrik. Mekanisme korosi silika berpori dengan katalis komplek logam seperi terlihat pada Gb.10 adalah Reseptor yang diimobilisasi di dalam matrik silika berpori tipe P akan mengenali ligan yang dilabel kompleks logam. Pengenalan ini akan menginduksi terjadinya degradasi silika berpori yang sinyalnya dapat diamplifikasi. Korosi pada silika berpori yang dikatalis enzim dapat juga diaplikasikan sebagai Biochip yaitu sebagai matrik sensor dan elemen trandusing yangdapat diaplikasikan untuk deteksi biomolekul. Prinsip kerja ini ditunjukkan pada gambar 11., antibodi terimobilisasi ditempelkan pada lapisan berpori. Berikutnya dilakukan penambahan antigen. Kompleks ikatan antibodi dan antigen yang terbentuk dapat disimpan di dalam matrik berpori. Selanjutnya dilakukan pengikatan antibodi kedua dari bahan yang akan dideteksi yang dilabel dengan enzim (hidrolase atau peroxidase). Enzim mengakatalisa pembentukan produk reaktif yang dapat mendegradasi silika berpori yang dapat dideteksi secara kuantitatif dan dimonitor perubahan efektifitas ketebalan optik atau secara kualitatif dapat diamati perubahan warna makroskopisnya.
15
Pengikatan antigen
Pengikatan antibody kedua yang berlabel enzim
Degradasi pori dan perubahan warna
Amplifik asi
Gambar 11. Mekanisme korosi silika berpori melalui deteksi molekuler dari antibody yang dilabel enzim (http://www.azonano.com/Details.asp?ArticleID=1317)
Prinsip-prinsip kerja silika berpori diatas dapat diaplikasikan untuk membuat kemasan smart yang dapat merespon perubahan kondisi lingkungan sehingga dapat menginformasikan kepada konsumen bahwa produk telah rusak atau terkontaminasi bakteri melalui perubahan biokimia. Kinetika Enzim Kinetika enzim adalah salah satu cabang enzimologi yang membahas faktor- faktor yang mempengaruhi kecepatan reaksi enzimatis. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan reaksi adalah konsentrasi enzim, substrat, produk, senyawa inhibitor dan aktivator, pH dan jenis pelarut yang terdapat pada lingkungan, kekuatan ion, dan suhu sepeti terlihat pada tabel 1. Pengetahuan ini
16
penting diperlukan untuk menentukan suatu media atau lingkungan buatan yang dapat memaksimumkan atau menghambat reaksi yang diketahui (Suhartono 1998). Tabel 1. Faktor- faktor yang mempengaruhi kecepatan reaksi Faktor yang berpengaruh Keterangan yang diperoleh Jenis Faktor Konsentrasi Konsentrasi enzim, Mekanisme reaksi, parameter substrat, produk kinetika (Km, V, Ki) inhibitor, aktivator. Faktor Luar Suhu Parameter Termodinamika dan perubahnnya (∆G, ∆H, ∆S, Ea) pH pH golongan fungsional (asam amino) yang penting dalam pengikitan substrat Konstanta dielektrik dan Jenis ikatan dan muatan protein keuatan ion enzim Faktor Struktur substrat, Sifat-sifat interaksi dengan enzim Produk dan efektor Golongan fungsional pada lokasi dalam aktif enzim Struktur enzim Sifat biologis enzim, asam amino yang berperan pada lokasi aktif Sumber : Suhartono (1989)
Dalam perhitungan kinetika reaksi enzim, jumlah senyawa yang terlibat perlu diketahui untuk memperoleh kesimpulan kuantitatif. Jumlah enzim yang diperlukan untuk mengkatalisis reaksi biokimia jauh lebih kecil dibanding dengan jumlah atau konsentrasi substrat yang dipergunakan atau produk yang dihasilkan. Konsentrasi produk biasanya dinyatakan dengan molar, milimolar atau mikromolar. Pada persamaan Michaelis-Menten, kecepatan reaksi diukur sebagai kecepatan pembentukan produk atau kecepatan pengurangan substrat per satuan waktu, yang belakangan ini dicirikan dengan tanda (–dS). Kecepatan reaksi dibatasi oleh pengurangan kompleks enzim substrat (ES). Sedangkan nilai Konstanta Michaelis-Menten (K m) dapat diartikan sebagai konsentrasi substrat yang dibutuhkan untuk mencapai ½ Vmax . Harga Km tetap untuk keadaan reaksi yang tertentu (pH dan suhu tertentu) merupakan salah satu ukuran yang mencirikan enzim tersebut. Harga Km suatu enzim tidak bergantung pada konsentrasi substrat maupun konsentrasi enzim yang bereaksi. Dengan demikian Km merupakan salah satu ciri tetap suatu enzim, sebaliknya kecepatan reaksi
17
maksimum bukan merupakan suatu ciri tetap suatu enzim. Vm ax dapat ditingkatkan dengan mengubah meningkatkan konsentrasi enzim atau mengubah
faktor
lingkungan. Untuk menghitung parameter Km dan Vmax dapat dilakukan dengan mengadakan transformasi linier dari persamaan Michaelis-Menten ke persamaan Lineweaver Burk. Pemetaan ini adalah jenis pemetaan yang biasanya digunakan secara luas dalam menghitung nilai- nilai Km dan Vmaks dari suatu reaksi enzimatis (Suhartono 1989).
Penghambatan Reaksi Enzim Aktivitas enzim dipengarui oleh beberapa faktor lingkungan seperti pH, suhu, pelarut kekuatan ion dan adanya inhibitor dan aktivator. Secara kimiawai, suatu inhibitor dapat dibedakan dari aktivator. Aktivator berikatan dengan enzim dan dapat meningkatkan kecepatan reaksi enzim, sedangkan inhibitor berikatan dengan enzim dan dapat menyebabkan penurunan kecepatan reaksi enzim (Suhartono 1989). Pengikatan inhibitor atau aktivator terhadap enzim dapat mengubah kemampuan enzim dalam mengikat substrat, dan karenanya dapat mengubah daya katalisator enzim. Hal ini dapat disebabkan karena enzim yang sudah berikatan dengan inhibiotor mengalami perubahan fisik dan kimiawi sedemikian ruipa sehingga aktivitas hayatinyapun menjadi berbeda (terhambat). Dengan menganalisa penghambatan kerja enzim oleh suatu inhibitor yang mempunyai struk tur kimia dan fisik yang telah diketahui, akan dapat diperoleh informasi mengenai spesifitas enzim, sifat-sifat fisik, kimia dan molekul sisi aktif enzim tersebut serta mekanisme kerja enzim (Suhartono 1989).
Isolasi Protein dan Analisis Berat Molekul Metode yang digunakan untuk isolasi protein tergantung dari sumber protein dan lokasi protein dalam sumber tersebut. Sumber protein dapat berasal dari hewan, tanaman atau bakteri. Sel hewan umumnya lebih mudah dipecah dibandingkan dengan sel tanaman, karena sel hewan tidak berdinding sel, sedangkan sel tanaman berdinding sel selulosa (Brummer dan Gunzer 1987). Lokasi protein mempengaruhi teknik pemisahan protein dari komponen lainnya,
18
ekstraksi dan isolasi protein ekstraseluler lebih mudah dibandingkan dengan protein intraseluler. Untuk isolasi protein ekstraseluler tidak perlu dilakukan pemecahan sel, umumnya hanya dilakukan pemisahan berdasarkan sifat fisik (Suhartono 1989). Masalah utama dalam isolasi protein adalah terjadinya denaturasi, kontaminasi protein oleh pirogen dan asam nukleat serta adanya proteolisis (Errson et al. 1998). Hal tersebut bisa diatasi dengan pemilihan larutan ekstraksi dan larutan penyangga yang tepat, waktu preparasi yang singkat dan suhu rendah. Faktor-faktor yang diperlukan dalam pemilihan larutan ekstraksi adalah pH, jenis larutan penyangga (anionik atau kationik), variasi pH dengan kekuatan ion atau suhu, reaktivitas, pengaruhnya terhadap aktivitas biologis protein yang diinginkan, kelarutan, pengaruh deterjen atau senyawa khaotropik, logam pengikat dan penghambatan proteolitik (Errson et al. 1998). Protein dikarakterisasi berdasarkan beberapa sifat biokimianya. Sifat biokimia yang umum digunakan untuk mengkarakterisasi protein adalah berat molekul dan reaksi katalisis terhadap substrat tertentu. Berat molekul protein dapat dianalisis dengan menggunakan teknik elektroforesis. Elektroforesis merupakan teknik pemisahan fraksi- fraksi zat berdasarkan migrasi partikel bermuatan atau ion- ion makromolekul di bawah pengaruh medan listrik karena adanya perbedaan ukuran, bentuk, muatan atau sifat kimia molekul (Pomeranz and Meloan 1980). Teknik ini dapat digunakan untuk menentukan berat molekul, mendeteksi kemurnian dan kerusakan protein, menetapkan titik isoelektrik protein serta memisahkan spesies-spesies molekular yang berbeda secara kuantitatif dan kualitatif (Boyer 1986). Pada elektroforesis penting penggunaan media yang dapat mengurangi atau mencegah terjadinya konveksi dan tidak bereaksi dengan sampel atau menghambat pergerakan partikel sebagai akibat terjadinya ikatan antara sampel dengan matriks. Menurut Dunn (1989) elektroforesis dengan media gel poliakrilamida (PAGE) merupakan yang paling banyak digunakan untuk memisahkan protein karena mempunyai kapasitas pemisahan yang tinggi. Gel poliakrilamida terbentuk melalui polimerisasi monomer akrilamida dan pembentukan ikatan silang kovalen antar rantai panjang akrilamida baik melalui reaksi kimia maupun fotokimia. Pembentukan gel melalui
19