BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Sponge 2.1.1 Habitat Habitat sponge terdapat pada daerah jernih dan menempel pada permukaan substrat. Sponge Xestospongia sp merupakan salah satu jenis sponge yang banyak terdapat di perairan Indonesia (Krisyunida, 2011). Habitat sponge yang melekat pada pasir atau bebatuan menyebabkan hewan ini sulit untuk bergerak, untuk mempertahankan diri dari serangan predator dan infeksi bakteri patogen, sponge mengembangkan sistem “biodefense” yaitu dengan menghasilkan zat racun dari tubuhnya, zat ini umumnya yang dimanfaatkan sebagai bahan farmasi (Murniasih, 2003). Porifera yang sudah teridentifikasi ada 10.000 spesies, sebagian besar hidup dilaut dan hanya 159 spesies hidup di air tawar, semuanya termasuk famili Spongilidae. Umumnya sponge terdapat di perairan jernih dangkal dan menempel di substrat, beberapa menetap didasar perairan berpasir atau berlumpur (Suwignyo, dkk., 2005). 2.1.2 Morfologi dan anatomi Morfologi luar sponge laut sangat dipengaruhi oleh faktor fisik, kimiawi dan biologis lingkungannya. Spesimen yang berada dilingkungan yang terbuka dan berombak besar cenderung pendek pertumbuhannya atau juga merambat. Sebaliknya spesimen dari jenis yang sama pada lingkungan yang terlindung atau pada perairan yang lebih dalam dan beruas terang, pertumbuhannya cenderung tegak dan tinggi. Perairan yang lebih dalam sponge cenderung memiliki tubuh yang lebih simetris dan lebih besar sebagai akibat lingkungan dari lingkungan
5
yang lebih stabil apabila dibandingkan dengan jenis yang sama yang hidup pada perairan yang dangkal (Suparno, 2005). Sponge adalah biota multiseluler primitif yang bersifat filter feeder menghisap air dan bahan-bahan lain di sekelilingnya melalui pori-pori kemudian dialirkan ke seluruh bagian tubuhnya melalui kanal dan dikeluarkan melalui pori-pori yang terbuka (ostula/osculum) (Vacelet, 2008). Hewan ini dapat hidup dengan baik pada arus air yang kuat, karena aliran air “filter feeder” menyediakan kumpulan makanannya dan oksigen. Makanan sponge terdiri dari detritus organik seperti bakteri, zooplankton dan phytoplankton yang kecil-kecil yang mana secara efektif ditangkap oleh sel-sel berbulu cambuknya. Sponge dapat menyaring partikel yang sangat kecil (diameter < 50μm) yang tidak tersaring oleh hewan-hewan laut lainnya (Amir dan Budiyanto, 1996). Sponge memiliki warna yang berbeda walaupun dalam satu jenis, beberapa sponge juga memiliki warna dalam tubuh yang berbeda dengan pigmentasi luar tubuhnya. Sponge yang hidup di lingkungan yang gelap akan berbeda warnanya dengan sponge sejenis yang hidup pada lingkungan yang cerah. Warna sponge tersebut sebagian dipengaruhi oleh fotosintesa mikrosimbionnya (misalnya berwarna ungu dan merah jambu). Mikrosimbion sponge umumnya adalah cyanophita (cyanobacteria dan eukariot alga seperti dinoflagella atau zooxanthella) (Amir dan Budiyanto, 1996). Ukuran tubuh porifera sangat bervariasi dari sebesar kacang polong sampai 90 cm, bentuk tubuh sponge juga bermacam-macam, beberapa simetri radikal, tetapi kebanyakan berbentuk tidak beraturan dengan pola bervariasi.
6
Pada dasarnya dinding tubuh porifera terdiri atas tiga lapisan, (Suwignyo, dkk., 2005) yaitu: a) Pinococyte atau Pinacoderm, seperti epidermis berfungsi untuk melindungi tubuh bagian dalam. Bagian sel pinacocyte dapat berkontraksi atau berkerut, sehingga seluruh tubuh hewan dapat sedikit membesar atau mengecil. b) Mesohyl atau Mesoglea, terdiri dari zat semacam agar, mengandung bahan tulang dan sel amebocyte yang mempunyai banyak fungsi, antara lain untuk pengangkut dan cadangan makanan, membuang partikel sisa metabolisme, membuat spikula, serat sponge dan membuat sel reproduktif. c) Choanocyte, yang melapisi rongga atrium atau spongocoel. Bentuk choanocyte agak lonjong, ujung yang satu melekat pada mesohyl dan ujung yang lain berada di spongocoel serta dilengkapi sebuah flagelum yang dikelilingi kelopak dari fibril. Getaran flagel pada lapisan choanocyte menghasilkan arus air di dalam spongocoel ke arah osculum, sedangkan fibril berfungsi sebagai alat penangkap makanan. Gambar organ sponge dapat dilihat pada Gambar 2.1
Gambar 2.1. Bagian organ sponge Sumber : (Vacelet, 2008)
7
Berdasarkan sistem aliran air (bukan secara taksonomi), bentuk tubuh porifera dibagi menjadi tiga tipe, (Suwignyo, dkk., 2005) yaitu: 1. Asconoid Asconoid merupakan bentuk yang paling primitif, menyerupai vas bunga atau jambangan kecil. Pori-pori atau lubang merupakan saluran pada sel porocyte yang berbentuk tabung, memanjang dari permukaan tubuh sampai spongocoel 2. Syconoid Sponge memperlihatkan lipatan-lipatan dinding tubuh secara horizontal, sehingga potongan melintangnya seperti jari-jari 3. Leuconoid Tingkat pelipatan dinding spongocoel paling tinggi terdapat pada leuconoid. Gambar tipe morfologi sponge dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2. Tipe morfologi sponge Sumber : (Haris, dkk., 2012) Keterangan: a. Tipe Asconoid, b. Tipe Syconoid, c. Tipe Leuconoid
8
Spikula ibarat ‘rangka’ bagi tubuh sponge. Tulang yang berukuran kecil dan tajam, dapat dilihat dengan mata telanjang dan mikroskop. Tubuh sponge yang lunak dapat berdiri karena ditunjang oleh sejumlah besar spikula serta serat organik yang berfungsi sebagai kerangka. Spikula kapur dari CaCO3 dan spikula silikat H2SiO7. Bentuk spikula bermacam–macam, sehingga dipakai sebagai indikator untuk identifikasi. Gambar tipe spikula dapat dilihat pada gambar 2.3
Gambar 2.3. Tipe spikula Sumber : Vacelet, 2008
Megasklera adalah komponen dari kerangka primer yang berperan untuk membentuk sponge dan perkembangan sub struktur internal. Mikrosklera tidak berfungsi seperti peranan megasklera, tetapi membentuk kelompok antara kumpulan megasklera atau tersebar pada permukaan atau membran internal. Ukuran, bentuk dan susunan dari masing-masing spikula yang dikandung oleh hewan sponge sangat berguna untuk menentukan klasifikasinya (Amir dan
9
Budiyanto, 1996). Gambar megasklera dapat dilihat pada gambar 2.4 dan gambar mikrosklera dapat dilihat pada Gambar 2.5
Gambar 2.4. Megasklera Sumber : Haris, dkk., 2012.
Gambar 2.5 Mikrosklera (Haris, et al., 2012). Sumber : Haris, dkk., 2012
Tipe megasklera dapat dibagi menjadi monoaxons, triaxons, tetraxons dan polyaxons. Monaxon berbentuk seperti jarum, lurus atau melengkung.Triaxons
10
mempuyai tiga percabangan. Tetraxon berbentuk empat percabangan. Polyaxon berbentuk banyak percabangan memijar dari satu pusat. Gambar megasklera monoaxon dapat dilihat pada Gambar 2.6 dan Gambar 2.7.
Gambar 2.6 Megasklera monoaxon Sumber : (Walker, 1932)
Keterangan: a. fusiform oxea, b. Hastate oxea, c. Strongyloxea, d. Strongyle, e. Tylote, f. Centrotylote oxea, g. Hastate style, h. Fusiform style, i. Styloid, j. Tylostyle, k. Subtylostyle. .
Gambar 2.7 Megasklera Tetraxon (triaene) Sumber : Walker, 1932
Keterangan: a. bentuk Calthrope dengan ujungnya yang pendek, b. Plagiotriaene, c. Anatriaene, d. Protriaene, e. Mesoprotriaene, f. Prodiaene, g. Promonaene, h. Orthotriaene, i. Dichotriaene.
11
Hewan avertebrata laut lainnya seperti pada karang, sponge juga tidak memiliki ciri seksual sekunder yang dapat digunakan untuk menentukan jenis seksualitasnya oleh karena itu, satu-satunya cara yang dapat dilakukan untuk pengamatan tersebut adalah pengamatan histologik pada jaringannya. Seksualitas pada sponge dapat dikelompokkan atas dua yaitu: 1) Hermaprodit, yaitu jenis sponge yang menghasilkan baik gamet jantan atau betina selama hidupnya, tetapi menghasilkan telur dan sperma dalam waktu yang berbeda. 2) Gonokhorik, yaitu jenis sponge yang memproduksi hanya gamet jantan atau betina saja selama hidupnya (Haris, dkk., 2012). 2.1.3 Klasifikasi Filum Porifera yang dibagi dalam 3 kelas (Amir dan Budiyanto, 1996): 1. Kelas Hexactinellida Hexactinellida merupakan sponge gelas dengan spikula yang terdiri dari silikat dan tidak mengandung spongin. Spikulanya berbentuk bidang "triaxon", dimana masing-masing bidang terdapat dua jari-jari. Sponge dari kelas ini belum banyak dikenal, karena sulit mendapatkan dan hanya terdapat di laut dalam (< 500 meter). 2. Kelas Calcarea Spikula sponge ini tersusun dari kalsium karbonat dan tidak mengandung spongin. Sebagian besar sponge dari kelas ini bentuknya kecil-kecil dan berwarna putih keabu-abuan dan ada beberapa jenis berwana kuning, pink, atau hijau. Elemen kerangka dari kelas Calcarea berbentuk spikula "triaxon" dan tidak ada perbedaan antara Megasklera dan Mikrosklera. Beberapa jenis sponge ini yang
12
umum adalah Sycon gelatinosum (berbentuk silinder berwarna coklat muda), Clathrina sp. dan Leucetta sp. 3. Kelas Demospongiae Hampir 75% jenis sponge yang dijumpai di laut adalah dari kelas Demospongiae. Sponge dari kelas ini tidak memiliki spikula "triaxon" (spikula kelas Hexactinellidae). Beberapa jenis sponge kelas ini ada yang tidak mengandung spikula tetapi hanya mengandung serat-serat kolagen atau spongin saja. 2.1.4 Klasifikasi sponge Klasifikasi hewan sponge menurut ITS (2014) dan Walker (1932) adalah sebagai berikut: Kingdom
: Animalia
Filum
: Porifera
Kelas
: Demospongiae
Ordo
: Haploscleridae
Sub ordo
: Petrosina
Famili
: Petrosidae
Genus
: Xestospongia
Spesies
: Xestospongia sp de Laubenfels
2.2 Kandungan Kimia 2.2.1 Alkaloid Alkaloida merupakan golongan zat sekunder yang terbesar. Alkaloida mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen,
13
biasanya sebagai bagian dari sistem siklik. Alkaloida mempunyai aktivitas fisiologi yang menonjol, sehingga banyak diantaranya digunakan dalam bidang pengobatan (Harborne, 1987). 2.2.2 Glikosida Glikosida adalah suatu golongan senyawa bila dihidrolisis akan terurai menjadi gula (glikon) dan senyawa lain (aglikon atau genin). Umumnya glikosida mudah terhidrolisis oleh asam mineral atau enzim. Hidrolisis oleh asam memerlukan panas, sedangkan hidrolisis oleh enzim tidak memerlukan panas (Sirait, 2007). Berdasarkan ikatan antara glikon dan aglikon, glikosida dapat dibedakan menjadi: a. Tipe O-glikosida, ikatan antara bagian glikon dengan aglikon melalui jembatan O. Mayoritas glikosida termasuk ke dalam kelompok ini. b. Tipe C-glikosida, ikatan antara bagian glikon dengan aglikon melalui jembatan C, yakni gula melekat pada aglikon melalui ikatan karbon-karbon. c. Tipe S-glikosida, ikatan antara bagian glikon dengan aglikon melalui jembatan S. Contoh: sinigrin yang termasuk ke dalam glikosida glukosinolat dari tumbuhan dari tumbuhan Brassicaceae. d. Tipe N-glikosida, ikatan antara bagian dari glikon dengan aglikon melalui jembatan N. Contoh: nikleosidin, kronotosidin. 2.2.3 Saponin Saponin tersebar luas diantara tanaman tingkat tinggi. Saponin merupakan senyawa berasa pahit, menusuk, menyebabkan bersin dan mengakibatkan iritasi terhadap selaput lendir. Saponin mula-mula diberi nama demikian karena sifatnya
14
yang menyerupai sabun (bahasa Latin sapo berarti sabun). Saponin adalah senyawa aktif permukaan yang kuat dan menimbulkan busa jika dikocok dalam air dan pada konsentrasi yang rendah sering menyebabkan hemolisis sel darah merah. Saponin sangat beracun dalam larutan yang sangat encer, untuk ikan dan tumbuhan yang mengandung saponin telah digunakan oleh penduduk sebagai racun ikan selama beratus-ratus tahun. Beberapa saponin bekerja sebagai antimikroba (Robinson, 1995). 2.2.4 Steroid/triterpenoid Steroid adalah triterpena yang kerangka dasarnya sistem cincin siklopentana perhidropenantren (Harbone, 1987). Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprena dan secara biosintesis masuk jalur asam mevalonat yang diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik, yaitu skualena. Uji yang banyak digunakan ialah reaksi Liebermann-Burchard yang dengan kebanyakan triterpen dan sterol memberikan warna hijau-biru (Harborne, 1987). Steroid pada umumnya berupa alkohol dengan gugus hidroksil pada C3 sehingga steroid sering juga disebut sterol (Robinson, 1995). Gambar struktur dasar dapat dilihat pada Gambar 2.8.
Gambar 2.8 Struktur Dasar Steroid Sumber : Robinson, 1995
15
2.3 Ekstraksi Ekstraksi adalah penyarian komponen aktif dari suatu jaringan tumbuhan atau hewan dengan menggunakan pelarut yang cocok (Handa, 2008). Beberapa metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut (Depkes, 2000) yaitu: A. Cara dingin 1. Maserasi Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur kamar. Maserasi kinetik berarti dilakukan pengadukan yang kontinu (terus menerus). Remaserasi berarti dilakukan penyaringan berulang dan seterusnya 2. Perkolasi Perkolasi adalah proses penyarian simplisia dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses perkolasi terdiri dari tahap pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1–5 kali bahan Cara panas 3. Refluks Refluks adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. 4. Digesti Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40–50oC.
16
5. Sokletasi Sokletasi adalah proses penyarian dengan menggunakan alat soklet dengan pelarut yang selalu baru sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. 6. Infus Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas mendidih, temperatur terukur 96–98oC) selama waktu tertentu (15–20 menit). 7. Dekok Dekoktasi adalah infus pada waktu yang lebih lama ≥ 30 ( menit) dan temperatur sampai titik didih air
2.4 Kromatografi Kromatografi adalah suatu metode pemisahan berdasarkan perbedaan perpindahan dari komponen-komponen senyawa di antara dua fase yaitu fase diam (dapat berupa zat cair atau zat padat) dan fase gerak (dapat berupa gas atau zat cair). Kromatografi serapan dikenal jika fase diam berupa zat, jika zat cair dikenal sebagai kromatografi partisi (Sastrohamidjojo, 1985). 1. Fase gerak zat cair–fase diam padat: - Kromatografi lapis tipis - Kromatografi penukar ion 2. Fase gerak gas–fase diam padat: - Kromatografi gas padat 3. Fase gerak zat cair–fase diam zat cair:
17
- Kromatografi cair kinerja tinggi 4. Fase gerak gas–fase diam zat cair: - Kromatografi gas cair - Kromatografi kolom kapiler Pemisahan dan pemurnian kandungan tumbuhan dilakukan dengan menggunakan salah satu atau gabungan dari beberapa teknik tersebut dan dapat digunakan pada skala mikro maupun makro (Harborne, 1987). 2.4.1 Kromatografi lapis tipis Kromatografi lapis tipis ialah metode pemisahan fisikokimia. Lapisan pemisah terdiri atas bahan berbutir-butir (fase diam), ditempatkan pada penyangga berupa plat gelas, logam atau lapisan yang cocok. Campuran yang akan dipisah berupa larutan yang di totolkan baik berupa bercak ataupun pita. Plat atau lapisan dimasukkan ke dalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak), pemisahan terjadi selama perambatan kapiler (pengembangan) (Stahl, 1985). Fase gerak akan bergerak sepanjang fase diam karena pengaruh kapiler pada pengembangan secara menaik (ascending) atau karena pengaruh gravitasi pada pengembangan secara menurun (descending) (Rohman, 2007). Pendeteksian bercak hasil pemisahan dapat dilakukan dengan beberapa cara. Pengamatan dengan sinar ultraviolet adalah cara sederhana yang dilakukan untuk senyawa tak berwarna. Beberapa senyawa organik bersinar atau berfluorosensi jika disinari dengan sinar ultraviolet gelombang pendek (254 nm) atau gelombang panjang (366 nm). Jika dengan cara itu senyawa tidak dapat dideteksi maka harus dicoba dengan penyemprotan pereaksi yang membuat
18
bercak tersebut tampak yaitu pertama tanpa pemanasan, kemudian bila perlu dengan pemanasan (Rohman, 2007). 2.4.2 Kromatografi preparatif Kromatografi lapis tipis (KLT) preparatif merupakan salah satu metode pemisahan dengan menggunakan peralatan sederhana. Ketebalan penjerap yang sering dipakai adalah 0,5-2 mm. Plat kromatografi biasanya berukuran 20 x 20 cm. Pembatasan ketebalan lapisan dan ukuran plat sudah tentu mengurangi jumlah bahan yang dapat dipisahkan dengan KLT preparatif. Penjerap yang paling umum digunakan adalah silika gel. Penotolan cuplikan dilakukan dengan melarutkan cuplikan dalam sedikit pelarut. Cuplikan ditotolkan berupa pita dengan jarak sesempit mungkin karena pemisahan tergantung pada lebar pita. Penotolan dapat dilakukan dengan pipet tetapi lebih baik dengan penotol otomatis. Pengembangan plat KLT preparatif dilakukan dalam bejana kaca yang dapat menampung beberapa plat. Bejana dijaga tetap jenuh dengan pelarut pengembang dengan bantuan kertas saring yang diletakkan berdiri disekeliling permukaan bagian dalam bejana (Hostettmann, et al., 1995).
2.5 Spektrofotometri 2.5.1 Spektrofotometri sinar ultraviolet (UV) Spektrum ultraviolet adalah suatu gambaran yang menyatakan hubungan antara panjang gelombang atau frekuensi sinar UV terhadap intensitas serapan (absorbansi). Sinar ultraviolet mempunyai panjang gelombang antara 200-400 nm. Serapan cahaya oleh molekul dalam daerah spektrum ultraviolet tergantung pada struktur elektronik dari molekul yang bersangkutan (Sastrohamidjojo, 1985).
19
Suatu atom atau molekul menyerap sinar UV maka energi tersebut akan menyebabkan tereksitasinya elektron pada kulit terluar ke tingkat energi yang lebih tinggi. Tipe eksitasi tergantung panjang gelombang cahaya yang diserap. Gugus kromofor disebut juga gugus yang dapat mengabsorpsi cahaya (Dachriyanus, 2004). 2.5.2 Spektrofotometri sinar inframerah (IR) Spektrofotometri inframerah pada umumnya digunakan untuk: 1. Menentukan gugus fungsi suatu senyawa organik 2. Mengetahui informasi struktur suatu senyawa organik dengan membandingkan daerah sidik jarinya. Pengukuran pada spektrum infrared dilakukan pada daerah cahaya infrared tengah (mid-infrared) yaitu pada panjang gelombang 2.5–50 𝜇𝜇m atau bilangan gelombang 4000–200 cm-1. Energi yang dihasilkan oleh radiasi ini akan menyebabkan vibrasi atau getaran pada molekul. Pita absorpsi sinar infrared sangat khas dan spesifik untuk setiap tipe ikatan kimia atau gugus fungsi (Dachriyanus, 2004). Jenis absorpsi energi yang lain, molekul-molekul dieksitasikan ke tingkat energi yang lebih tinggi ketika molekul-molekul ini menyerap radiasi infrared. Hanya frekuensi (energi) tertentu dari radiasi infrared yang dapat diserap oleh suatu molekul, agar molekul dapat menyerap radiasi infrared, maka molekul tersebut harus mempunyai gambaran spesifik, yakni momen dipol molekul harus berubah selama vibrasi (Gandjar dan Rohman, 2012).
20