TINJAUAN PUSTAKA Merbau [Intsia bijuga (Colebr.) O. Kuntze] Nama Botanis dan Vernakular Intsia bijuga (Colebr.) O. Kuntze tergolong dalam famili Fabaceae, subfamily Caesalpinioideae (Thaman et al. 2004; UNEP 2005). Di Indonesia dalam perdagangan dikenal sebagai merbau, namun secara lokal di Papua lebih banyak dikenal dengan sebutan kayu besi karena kayunya yang keras. Nama merbau ataupun kayu besi meliputi pula kerabat dekatnya Intsia palembanica Miq. Jenis ini dikenal pula dengan sebutan kwila (PNG dan daerah Pasifik), ipil dan ipil laut (Philipina), ipil, ipil tandok, ipeh, malapari, merbau ayer, merbau changkat dan merbau laut (Malaysia), praduu thale dan lumpho-thale (Thailand) (PROSEA 1994; Dinas Kehutanan Irian Jaya 1976). Penyebaran Geografi dan Ekologi Jenis ini memiliki daerah penyebaran secara alami meliputi Pulau Madagaskar, India, Burma, Kamboja, Malaysia, Thailand, Vietnam, Philipina, Indonesia, PNG dan Pulau-pulau Pasifik. Daerah ekologi utama di Indonesia meliputi Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Maluku, NTT dan Papua (Departemen Kehutanan 2006). Di Papua, merbau dijumpai di seluruh daerah dataran rendah seperti di Holtekamp, Sekoli, Tanussa Borowai, Bahongko, dan Sentani (Jayapura), Ernia, Asmat (Merauke), Oransbari, Side, Prafi, Namber (Manokwari). Jenis ini merupakan jenis pohon dominan di hutan hujan tropis dataran rendah Papua yang umumnya tumbuh berasosiasi dengan jenis-jenis lain seperti Intsia palembanica, Pometia pinnata, Calophyllum inophyllum, dan Palaquium amboinensis (Untarto 1977). Merbau memiliki habitat dataran rendah hutan tropika basah yang kering dan berdrainase baik terutama di daerah bertanah kapur, juga dapat dijumpai pula tumbuh di daerah pantai, di daerah berbatasan di belakang hutan mangrove ataupun di daerah sepanjang sungai, dataran genangan banjir dan rawa. Jenis ini sering pula dijumpai pada daerah-daerah yang mengalami suksesi, hadir bersama jenis-jenis pionir seperti Macaranga spp dan Piper sp. yang tumbuh pada
10 ketinggian 0-450 m dengan curah hujan tahunan 1500-2300 mm. Pada beberapa tempat dijumpai jenis ini tumbuh hingga ketinggian 600 m dpl bercampur dengan tegakan Intsia palembanica (PROSEA 1994; Thaman et al. 2004; UNEP 2005). Ciri Botanis Merbau saat dewasa di daerah Pasifik umumnya memiliki tinggi bebas cabang 7-25 m dengan diameter 0,5 – 1 m (Thaman et al. 2004). Di hutan alam Papua, merbau merupakan pohon dominan, dapat mencapai ukuran raksasa, tinggi bebas cabang mencapai lebih dari 30 m dengan diameter batang dapat berukuran >200 cm (Untarto 1998). Sebaliknya di daerah semenanjung Malaysia tegakan merbau tidak pernah dijumpai dominan demikian pula ukurannya jauh lebih kecil (UNEP 2005). Secara umum merbau memiliki batang tidak tegak, tidak silindris sempurna dan memiliki akar papan dapat mencapai tinggi 2 m (Dinas Kehutanan Irian Jaya 1976) Batang merbau halus berwarna agak merah jambu hingga coklat kemerahan dan sedikit keabuan. Kulit kayu sering terkelupas berupa sisik dengan ukuran tidak terlalu besar. Bagian kulit batang yang mati tebalnya 0,51 mm, sedangkan bagian kulit batang yang mati ketebalannya dapat mencapai 5-10 mm. Kayu gubal dan kayu teras sangat mudah dibedakan karena sangat kontras. Kayu gubal berwarna putih sedangkan kayu teras berwarna coklat merah dan saat dipotong batang mengeluarkan cairan berwana coklat kehitaman (Dinas Kehutanan Irian Jaya 1976). Daun merbau berwarna hijau muda mengkilat, berbentuk daun majemuk berpasangan (pinata) dengan anak daun biasanya berjumlah 2-6 dengan ukuran panjang 8-15 cm, berbentuk elip lebar, asimetrik dan anak daun terminal mengantung. Bunga merbau
merupakan bunga biseksual dalam satu bunga
terdapat bagian bunga jantan maupun betina. Individu bunga berukuran agak besar dengan 4 sepal berwarna kehijauan, korola tereduksi menjadi satu petal yang besar, memiliki 3 stamen dengan 7 staminod. Petal berwarna putih atau merah jambu hingga ungu atau merah, dengan bagian tengahnya berwarna merah. Bunga-bunga tumbuh dari bagian aksilar atau terminal corymbose panicle. Jenis
11 ini berbunga sepanjang tahun walaupun memiliki musim berbunga puncak pada bulan tertentu yang berbeda pada setiap daerah. Buah merbau merupakan buah polong yang tebal dan kaku, panjang 10 cm dengan lebar mencapai 30 cm. Setiap polong buah berisi 2-8 biji berwarna coklat gelap, pipih bulat dengan lebar 2-4 cm dan berkulit keras (Thaman et al. 2004).
Gambar 1 Ciri morfologi merbau [Intsia bijuga (Colebr.) O. Kuntze]. (a) daun majemuk merbau; (b) bunga biseksual merbau, (c) buah polong merbau dengan (d) biji yang berkulit keras. Penggunaan Merbau banyak digunakan untuk bahan konstruksi umum, papan flooring dan furniture dan secara tradisional merupakan salah satu jenis kayu yang paling sering digunakan untuk bahan ukiran, tombak, anak panah, peralatan rumah tangga dan bahan bangunan rumah tradisional (PROSEA 1994; Tokede et al. 2006). Status Konservasi Status merbau saat ini menurut the International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) dikategorikan sebagai jenis yang berisiko punah karena eksploitasi komersial; menurut The Convention of International
12 Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna (CITES) sebagai jenis yang rawan (vulnerable) (CITES Appendix III); dan menurut The World Conservation Monitoring Centre (WCMC) sebagai jenis yang terancam (threatened) (UNEP 2005). Banyak pihak saat ini mengusulkan merbau untuk dimasukkan ke dalam CITES Appendix II dengan status langka (Endagered). Ektomikoriza Mikoriza adalah istilah yang diberikan oleh Frank (1885) yang berasal dari kata fungi dan akar untuk mengambarkan adanya hubungan simbiotik antara fungi dan akar tanaman dalam memperoleh makanan. Pada perkembangannya mikoriza selanjutnya didefinisikan sebagai asosiasi antara hifa fungi dengan akar tanaman tingkat tinggi yang berhubungan dengan penyerapan unsur hara dan substansi lainnya dari dalam tanah (Smith & Read 2008). Terdapat tujuh tipe mikoriza yang sampai saat ini dikenal di alam, namun dari ke tujuh tipe tersebut, dua tipe mikoriza yaitu Asbucular Mycorrhiza (AM) dan ektomikoriza (EcM) yang paling dikenal (Smith & Read 2008). Asosiasi Asbucular Mycorrhiza (AM), sering disebut pula sebagai Vesicular-Asbucular Mycorrhiza (VAM) atau glomeromycotan mycorrhiza, merupakan bentuk asosiasi akar tanaman-fungi yang paling luas dan umum dijumpai (Brundrett 2004). Tipe mikoriza ini mengkolonisasi lebih dari 90% dari semua famili tanaman vaskular yang menyebar pada hampir semua gradien lingkungan (Kimmins 1987). Di lain pihak EcM merupakan bentuk asosiasi akar tanaman-fungi yang berperan penting pada banyak habitat walau bentuk hubungan ini hanya terbatas pada beberapa famili tanaman berkayu. Selanjutnya bentuk keragaman mikoriza oleh Brundrett (2004) lebih diperluas lagi didasarkan atas pemahaman seluruh spektrum variasi asosiasi yang dijumpai yaitu meliputi (1) adanya aktivitas endopitik (endopitisme); (2) Balanced mycorrhiza; (3) Exploitative mycorrhizal association. Ciri Umum Ektomikoriza EcM merupakan bentuk asosiasi antara fungi dengan tanaman yang dicirikan dengan berkembangnya jamur membentuk selubung (mantel) pada
13 permukaan akar sehingga akar-akar lateral tampak seperti membengkak yang sangat mudah terlihat dengan mata telanjang (Gambar 2). Hifa fungi memasuki jaringan akar hingga pada beberapa jenis dapat mencapai ruang antar sel kortek, yang selanjutnya membentuk semacam struktur jaringan yang disebut sebagai Hartig net. Akar bermikoriza berciri pendek dan dapat berbentuk dichotomous (bercabang dua) atau dalam bentuk percabangan yang lebih komplek (highly branched). Jaringan hifa yang dihasilkan fungi EcM dalam tanah juga dapat membentuk sporokarp (fruit body) untuk reproduksi (Smith & Read 2008).
Gambar 2 Ciri anatomi ektomikoriza. M = mantel (sheath), HN=Hartig net dan C=sel kortek (Brundrett et al. 1994). Tanaman inang dari fungi EcM tidak sebanyak fungi endomikoriza. Di daerah tropis asosiasi EcM banyak dijumpai baik pada tanaman Angiospermae maupun Gymnospermae. Pada tanaman Angiospermae banyak dijumpai pada famili Dipterocarpaceae walaupun dijumpai pula pada lain tanaman seperti tanaman legum terutama dari subfamily Caesalpinioideae, yaitu golongan tanaman legum yang jarang membentuk bintil akar. Tanaman Angiospermae yang menunjukkan adanya simbiosis EcM antara lain seperti jenis-jenis Eucalyptus, Betula, Populus, Fagus, dan Shorea, sedangkan tanaman Gymnospermae seperti Pinus dan Gnetum, dan lain-lain. Beberapa tanaman inang seperti umumnya pada
14 tanaman Pinus dalam berasosiasi dengan fungi EcM ada yang menunjukkan asosiasi yang obligat (Smith & Read 2008). Fungi Ektomikoriza Fungi yang membentuk EcM merupakan fungi tingkat tinggi terutama dari golongan Basidiomycetes, walaupun terdapat pula beberapa dari golongan Ascomycetes. Golongan fungi ini mampu membentuk struktur badan buah (sporokarp) sebagai alat reproduksi. Fungi ektomikoriza untuk kemudahan biasanya dikategorikan menjadi (1) yang membentuk sporokarp atau tumbuh di atas tanah (epigeous) dan (2) yang membentuk sporokarp atau tumbuh di bawah tanah (hypogeous). Sebagian besar fungi ektomikoriza bercirikan epigeous (Brundrett et al. 1994; Giovani 1995). Jenis fungi Basidiomycetes yang membentuk ektomikoriza contohnya, antara lain adalah: jenis-jenis dari Russula, Lactarius, Suillus, Scleroderma, Chroogamphus, Paxillus, Laccaria, Cortinarius, Amanita, Rhizopogon, Pisolithus dan Boletus (Brundrett et al. 1994; Giovani 1995). Jenis fungi ektomikoriza dalam phylum Basidiomycetes terutama termasuk dalam Agaricales, Boletales dan Gasteromycetes sedangkan yang tergolong dalam phylum Ascomycetes termasuk dalam Tuberales. Jenis fungi ektomikoriza yang memiliki potensial tanaman inang (host potensial) lebar contohnya Amanita muscaria, Boletus edulis, Laccaria leccata, Lactarius deliciosus, Pisolithus tinctorius, Thelephora terrestris, Hebeloma crustuliniforme, dan Cenococcum geophilum (Caris 1999; Smith & Read 2008), sedangkan yang berasosiasi secara sempit adalah seperti Rhizopogon cokerii dan Cortinarius pistorius yang hanya dijumpai pada tanaman Pinus spp. (Caris 1999). Di Indonesia beberapa jenis fungi ektomikoriza seperti Scleroderma sinnamariense Mont. dijumpai berasosiasi dengan tanaman mlinjo (Gnetum gnemon), S. dictyosporum ditemukan pada tanaman Pinus merkusii, dan S. columnare Berk. & Br. berasosiasi pada tanaman dipterorocarp (Wulandari 2002; Turjaman 2006), Pisolithus sp. pada tanaman
15 Acacia mangium (Mansur 2008, komunikasi pribadi). Lebih lanjut, Pisolithus dan Scleroderma merupakan jenis yang paling umum digunakan untuk menginokulasi tanaman kehutanan (Turjaman et al. 2006; Watling 2006) (Gambar 3)
Gambar 3
Beberapa jenis fungi ektomikoriza yang mudah dijumpai pada beberapa tanaman di Indonesia. Scleroderma columnare (A), Scleroderma sinamariensis (B), Scleroderma dictyosporum (C) dan Pisolithus sp.(D).
Manfaat Mikoriza Kehadiran fungi EcM memberikan keuntungan bagi tanaman melalui beberapa cara diantaranya: (1) membantu penyerapan unsur hara tanaman melalui peningkatan luas permukaan penyerapan (Molina & Trappe 1984; Pedersen & Sylvia 1996); (2) fungi mikoriza menghasilkan hormon tanaman yang mendorong pembentukan akar lateral dan percabangannya (Molina & Trappe 1984; Niemi et al. 2002); (3) merubah P dalam bentuk tidak tersedia yang terikat dengan senyawa komplek Al maupun Fe menjadi bentuk tersedia melalui kemampuannya menghasilkan agen kelat seperti oksalat. Kelat Al tidak hanya melepaskan P hingga menjadi bentuk tersedia, namun juga sekaligus mengurangi pengaruh toksisitas Al pada tanaman. P dalam bentuk tidak tersedia juga dapat dirubah oleh
16 enzim fosfatase yang dihasilkan mikoriza menjadi bentuk tersedia dengan mendorong laju pelapukan (Pedersen & Sylvia 1996; Smith & Read 2008); (4) Kolonisasi fungi ektomikoriza memberikan perlindungan bagi tanaman terhadap fungi parasit dan nematoda, kemungkinan melalui perlindungan fisik oleh selubung miselium, maupun secara kimia dengan dihasilkan senyawa antibiotik ataupun inhibitor oleh fungi (Jalani & Jalal 1991; Brundrett et al. 1996). Karena peran mikoriza bagi tanaman inangnya, maka pemanfaatan fungi EcM untuk produksi bibit tanaman baik dari hasil regenerasi secara generatif maupun vegetatif telah umum diaplikasikan pada tanaman kehutanan. Karakterisasi dan Identifikasi Fungi Ektomikoriza Fungi EcM pada umumnya merupakan fungi Basidiomycetes yang dicirikan dengan adanya struktur badan buah (sporokarp) sebagai alat reproduksi dan dalam pekerjaan determinasi dan identifikasi fungi ektomikoriza yang selama ini digunakan hampir sebagian besar dilakukan berdasarkan sifat morfologi dan anatomi sporokarp (Setiadi et al. 1992; Brundrett et al. 1994). Gambar struktur morfologi Basidiomycetes disajikan pada Gambar 4. Basidiomycetes adalah fungi yang memproduksi sporanya di luar basidium dan basidia dihasilkan di dalam badan buah (basidiocarp) dengan ukuran dan kekomplekan struktur yang bervariasi. Tiga ciri utama dari basidiomycetes adalah adanya basidium, miselium yang tipikal dikaryotik dan adanya sambungan apit (clamp connection). Sambungan apit adalah struktur khusus pada hifa berukuran kecil berbentuk semi sirkular yang menghubungkan dua sel hyphae yang terbentuk saat pembelahan inti sel. Struktur ini dipercaya berfungsi untuk menjamin agar setiap sel memiliki sepasang inti yang kompatibel (Alexopoulos 1960; Wong 2005). Sporokarp digunakan sebagai bahan utama karakter diagnostik dalam mengidentifikasi fungi Basidiomycetes, kemudian diikuti dengan struktur yang dihasilkan saat dalam kultur (Ainsworth 1993). Penggunaan sporokarp dalam identifikasi walau jauh lebih mudah dilakukan, namun sering menghadapi kendala akibat tidak dijumpainya sporocarp di lapangan. Disamping itu, walaupun
17 kehadiran sporocarp di sekitar akar tanaman dapat dijadikan indikasi adanya ektomikoriza, namun dugaan inipun belum terlalu menyakinkan untuk memastikan bahwa fungi tersebut yang mengkolonisasi perakaran tanaman. Oleh karena itu telaah morfologi dan studi histologi ujung akar bermikoriza perlu turut disertakan sebagai alat untuk identifikasi taxa fungi ektomikoriza (Wurzburger et al. 2001).
Gambar 4 Struktur morfologi fungi Basidiomycetes. 1-3 epigeous fungi, A= cap (pileus), B=hymenium/gill/lammeliae, C=stipe/stalk/stem, D=partial veil/annulus/cortina, E=base, F=universal veil remains, G=fleshl. 4. hypogeous fungi, H=peridium, I=gleba (internal fertile tissue), J=locules, K=columella (steril tissue); dan pada semua tipe fungi, L=attached hyphae, M=bruising exudates (Brundrett et al. 1994). Pembuatan deskripsi karakteristik sporocarp fungi ektomikoriza diperlukan untuk dijadikan dasar bagi pekerjaan determinasi jenis fungi. Dengan melakukan karakterisasi morfotipe secara langsung dari akar berektomikoriza, determinasi dapat dilakukan dengan lebih efektif karena tidak bergantung pada struktur seksual (sporocarp) tetapi dengan menggunakan struktur vegetatif ektomikoriza. Dengan cara ini, determinasi juga dapat dilakukan relatif cepat. Keterbatasannya, morfotipe dari taksa fungi tertentu dapat berubah saat berasosiasi dengan tanaman yang berbeda atau hidup pada lingkungan yang berbeda (Wurzburger et al. 2001).
18 Karakterisasi morfotipe ujung akar bermikoriza secara detail meliputi parameter karakter berupa warna, bentuk akar bermikoriza, ada tidaknya rizomorp atau strands dan hifa yang berasosisasi, sklerotia (jika ada), pola dinding mantel (bagian dalam dan luar), kehadiran laticiferous hyphae dalam mantel, penampakan permukaan mantel (sistidia, hifa yang ke luar, ketebalan dinding hifa dan lapisan karang, kristal), adanya septa dan sambungan apit (clamp connection) pada hifa, bentuk dan distribusinya, tipe sambungan hifa, konfigurasi, reaksi terhadap pereaksi terseleksi, Hartig net (ketebalan, organisasi dan struktur hifa), dan habitatnya (Setiadi et al. 1992; Brundrett et al. 1996)). Isolasi Fungi Ektomikoriza Keberhasilan isolasi dan pembiakan fungi EcM akan menyediakan fasilitas bagi penyediaan inokulum dalam bentuk agregat miselia yang sangat berguna bagi penelitian-penelitian eksperimental untuk pemahaman biologi, fisiologi dan ekologi fungi ektomikoriza (Setiadi et al. 1992). Fungi ektomikoriza yang sebagian besar berupa fungi Basidiomycetes dapat diisolasi dengan menggunakan jaringan basidiocarp (mycelial aggregation), spora tunggal (spore print), hifa (rhizomorph), permukaan EcM (mycorrhizal root) dan sklerotia bagi fungi yang menghasilkan sklerotia seperti Cenococcum geophilum (Setiadi et al. 1992; Ainsworth 1993; Brundrett et al. 1994; Carris 2005). Walaupun keseluruhan bagian dari basidiocarp dapat digunakan karena terdiri dari agregat miselia, namun kultur terbaik dapat diperoleh dengan menggunakan bagian tudung (cap), daerah teratas dari batang (stalk) tempat gill menyambung, karena dari struktur inilah dapat diperoleh jaringan yang bebas kontaminasi (Carris 2005). Secara umum dapat dikatakan bahwa kultur akan lebih mudah dilakukan dengan sporokarp daripada struktur yang lebih kecil seperti stromata ataupun mikoriza (Ainsworth 1993). Dalam pekerjaan isolasi sterilisasi dan pemilihan kultur media sangat penting bagi keberhasilan untuk memperoleh biakan isolasi. Sterilisasi permukaan sporokarp sering menggunakan alkohol 90%, larutan NaOCl 5% atau lebih
19 disukai menggunakan larutan H2O2 5-10%. Pada saat dijumpai adanya kontaminasi bakteri, isolasi sering dilakukan dengan menggunakan media mengandung bakterisida seperti novobiocin (Sigma) 0,1 g/l atau benomyl (Benlate, DuPont) 2 mg/l (Ainsworth 1993). Media isolasi fungi ektomikoriza, seperti pada media kultur untuk mikroorganisme lain setidaknya harus memenuhi persyaratan bagi pertumbuhan optimum fungi ektomikoriza yang bersangkutan. Media kultur setidaknya mendekati kondisi persyaratan hidup alaminya sehingga seluruh kegiatan metabolisme organisme yang bersangkutan dapat berjalan baik. Secara umum Setiadi et al. (1992) memberikan persyaratan bagi media yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme yaitu: (1) mempunyai semua nutrisi yang mudah digunakan oleh mikroorganisme; (2) mempunyai tekanan osmosa, tegangan permukaan dan derajat kemasaman (pH) yang sesuai; (3) tidak mengandung zatzat yang menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang dikehendaki; (4) steril dan terlindung dari kontaminasi. Terdapat beberapa macam media yang sering digunakan untuk isolasi Basidiomycetes seperti media Malt Extract Agar (2% MEA), Raper & Thom MEA (RTMEA), Fries Agar dan Potato Dextrose Agar (PDA), walaupun untuk fungi ektomikoriza lebih sering menggunakan media Modified Melin-Norkrans Agar (MMN) dengan beberapa variasinya (Setiadi et al. 1992; Ainsworth 1993; Brundrett et al. 1994; Carris 2005). Cripps (2001) menggunakan media Hagem yang dimodifikasi oleh Van Corner (1987) dalam melakukan isolasi dan kultur fungi ektomikoriza. Komposisi media terdiri atas 4 g malt extract, 1 g yeast extract, 5 g d-glucose, 0,5 g NH4Cl, 0,5 g KH2PO4, 0,5 g MgSO4.7H2O, 0,5 ml FeCl3 (1% aqueous), 100 ml biotin (0,5 mg biotin/ml aqueous) dan 100 ml thiamine-HCl (1 mg thiamine/ml aqueous) dijadikan 1000 ml air distilasi. Sebagai pemadat digunakan 11 g/L agar. Dari 54 jenis fungi yang diisolasi hanya 20 jenis yang berhasil ditumbuhkan dalam media in vitro.
20 Kjøller dan Bruns (2003) menggunakan eksplan berupa ujung akar bermikoriza dalam mengisolasi Rhizopogon sp. Ujung akar bermikoriza yang telah disterilisasi permukaannya dengan 30% hidrogen peroksida selama 30 menit selanjutnya diinkubasi dalam media pra kondisi berupa media MMN yang mengandung 12 mg chloramphenol, streptomisin, ampicillin dan 1 mg benomyl. Disamping itu pada media MMN ini kandungan glukosa, malt extract, nitrogen dan fosfor relatif rendah yaitu dengan komposisi 1 g glukosa, 2,5 g Malt ekstract, 50 mg CaCl22H2O, 25 mg NaCl, 150 mg MgSO4.7H2O, 25 mg (NH4)2HPO4, 50 mg KH2PO4, 12 mg Ferro-citrate, 1 mg thiamin-HCl, dan 20 g agar. Media prakondisi dimaksudkan untuk mendapatkan kultur yang bersih yang selanjutnya dapat diinkubasikan ke media MMN dengan konsentrasi penuh dengan komposisi 2,5 g glukosa, 10 g Malt ekstract, 50 mg CaCl2.2H2O, 25 mg NaCl, 150 mg MgSO4.7H2O, 250 mg (NH4)2HPO4, 500 mg KH2PO4, 12 mg Ferro-citrate, 1 mg thiamin-HCl, dan 20 g agar untuk pembuatan 1 L media. Niemi et al. (2002) dalam penelitiannya melakukan perbanyakan fungi ektomikoriza Pisolithus tinctorius dan Paxillus involutus dengan menggunakan micelia asal biakan murni hasil koleksi in vitro yang ditumbuhkan pada media Melin-Norkrans (MMN) sesuai petunjuk Marx (1969) yang dimodifikasi oleh Tanskin dan Holopainen (1991) dengan komposisi 3,7 mM KH2PO4, 4,7 mM NH4Cl, 0,45 mM CaCl2, 0,43 mM NaCl, 0,61 mM MgSO4.7H2O, 0,2 μM thiamine-HCl, 30,8 μM FeCl3.6H2O dan 55,5 mM glukosa dengan pH 5,8 dan dipadatkan menggunakan 1,5% agar. Asosiasi dan Spesifisitas Ektomikoriza Simbiosis antara fungi ektomikoriza dengan akar tanaman telah terbentuk bila menampakkan tiga ciri utama, yaitu bila telah terbentuk (1) hartig net, (2) mantel dan (3) terbentuknya hifa eksternal dan internal pada akar tanaman (Smith dan Read 2008). Simbiosis ektomikoriza memperlihatkan beberapa variasi yang unik. Interaksi beberapa tanaman dengan fungi ektomikoriza menunjukkan asosiasi yang obligat. Seperti pada tanaman pinus yang tidak dapat tumbuh dengan baik tanpa kehadiran fungi ektomikoriza, demikian pula sebaliknya
21 terdapat fungi EcM yang tidak dapat tumbuh di alam tanpa adanya hubungan dengan tanaman inangnya (Bruns et al. 2002), Beberapa fungi EcM memiliki rentang tanaman inang yang sangat terbatas disebut sebagai memiliki spesifisitas tinggi, sedangkan lainnya memiliki rentang tanaman inang yang lebar, disebut sebagai memiliki spesifisitas rendah. Tanaman dengan spesifitas yang tinggi dengan seluruh kebutuhan C diperoleh dari fungi EcM jarang dijumpai. Kejadian seperti ini disebut sebagai epiparasit atau mycorrhizal cheater dan lebih umum dijumpai pada tanaman non-fotosintetik (Bruns et al. 2002; Smith & Read 2008). Regenerasi Tanaman Berkayu Regenerasi ataupun perbanyakan tanaman berkayu dapat ditempuh dengan cara (1) seksual dengan menggunakan biji baik dengan metode perbanyakan melalui biji secara konvensional maupun secara kultur in vitro, (2) aseksual dengan menggunakan biji apomistik dan vegetatif (aseksual) diantaranya seperti perbanyakan dengan cara stek (cutting) dan sambung (grafting), maupun perbanyakan secara in vitro seperti stek mikro dan embriogenesis somatik. Perbanyakan Tanaman Melalui Biji Perbanyakan melalui biji merupakan cara perbanyakan utama bagi tanaman di alam dalam melakukan reproduksi dan beregenerasi. Cara ini merupakan cara yang paling banyak digunakan dalam perbanyakan tanaman budidaya (Harmant et al. 2002) terutama apabila dalam perbanyakan tersebut diinginkan untuk mendapatkan keturunan yang memiliki keragaman yaitu gabungan sifat dari tetuanya yang muncul akibat adanya persilangan. Pengetahuan tentang biologi biji sangat penting untuk dapat menangani benih secara tepat, mulai saat penyimpanan, perlakuan awal benih (pre-sowing treatment), hingga perkecambahan (germination). Ciri morfologi biji dan kulit biji berkaitan erat dengan sifat-sifat dari biji tersebut seperti kemampuan untuk dikeringkan dan disimpan dalam jangka waktu tertentu, sifat dormansi benih dan kemungkinan penanganannya dalam pemecahan dormansi.
22 Dari sifat kemampuan penyimpanannya benih dapat dikategorikan menjadi (1) benih ortodoks yaitu benih yang toleran terhadap pengeringan (desikasi) hingga kadar air benih 5-7% tanpa kehilangan viabilitasnya. Benih seperti ini dapat disimpan dalam jangka waktu lama. (2) benih rekalsitran yaitu biji yang akan rusak bila dilakukan pengeringan, sehingga tidak penyimpanan benih tidak dapat dilakukan dalam jangka waktu lama (Schmidt 2000; Theilade & Petri 2003). Pada jenis orthodox dormansi sering terjadi sebaliknya pada jenis rekalsitran tidak memiliki
masa
dormansi
atau
lemah
dan
seringkali
kemasakan
dan
perkecambahan terjadi dalam selang waktu yang singkat (Schmidt 2000). Aktivasi proses metabolisme dari embrio yang menyebabkan munculnya anakan tanaman baru disebut sebagai perkecambahan (germination). Tiga kondisi harus dipenuhi dalam perkecambahan, yakni (1) benih harus viabel yaitu embrio harus dalam kondisi hidup dan mampu berkecambah; (2) benih harus memperoleh kondisi lingkungan yang mendukung untuk terjadinya perkecambahan, seperti ketersediaan air, rejim temperatur yang sesuai, suplai oksigen, dan terkadang cahaya yang sesuai; dan (3) Kondisi dormansi primer benih bila ada harus dapat diatasi (Harmant et al. 2002). Benih tetap dalam kondisi tidak aktif dengan laju metabolisme dalam benih yang rendah sampai saat benih tersebut menerima kondisi lingkungan yang mendukung untuk memicu terjadinya pertumbuhan embrio. Tanggap benih terhadap kondisi lingkungan berbeda satu sama lainnya. Beberapa jenis tanaman mempunyai benih yang mampu berkecambah hanya beberapa hari setelah terjadinya fertilisasi dan jauh sebelum waktu panen, sedangkan jenis lainnya memerlukan masa perkembangan tambahan sebelum perkecambahan terjadi (Harmant et al. 2002; Copeland & McDonald 1995). Perkecambahan dibagi dalam beberapa tahapan yang dapat saling tumpang tindis kejadiannya, yaitu: (1) Tahap aktivasi, dimulai dari peristiwa imbibisi air, sintesis enzim, diakhiri dengan perpanjangan sel dan munculnya radikel; (2) Lemak, protein dan karbohidrat dalam organ penyimpanan (endosperma, kotiledon, perisperm atau gametophyte pada tanaman daun jarum) dipecah
23 menjadi lebih sederhana dan kemudian ditranslokasikan ke titik tumbuh dari embryo axis; dan (3) Pertumbuhan kecambah. Embrio terdiri atas axis untuk keluarnya satu atau lebih daun benih atau kotiledon, sedangkan titik tumbuh akar disebut sebagai radikel yang berada pada bagian bawah dari embryo axis dan titik tumbuh tunas pucuk disebut sebagai plumula yang berada pada bagian ujung atas dari embrio (Harmant et al. 2002). Pada tanaman yang memiliki dormansi fisik dicirikan dengan kulit biji yang keras, perkecambahan dapat dipercepat dengan perlakuan awal benih secara skarifikasi. Skarifikasi adalah suatu proses yang ditujukan untuk memecahkan, melukai, merubah sifat mekanis atau melunakkan kulit benih yang keras agar permiabel terhadap air dan gas. Skarifikasi dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain (1) skarifikasi mekanis seperti melukai kulit biji dengan mengamplas atau mengikir biji, atau memecahkan kulit (2) skarifikasi basah dengan menggunakan air panas atau hangat; (3) skarifikasi menggunakan larutan masam seperti asam sulfat, (4) skarifikasi temperatur tinggi, seperti pada kejadian perkecambahan yang dipacu akibat adanya kebakaran dan skarifikasi dengan bantuan mikroorganisme pelapuk. Sejumlah bahan kimia alternatif seperti alkohol, hidrogen peroksida juga pernah dicobakan untuk mematahkan dormansi fisik (Harmant et al. 2002; Schmidt 2000). Skarifikasi mekanis dengan cara pengikiran atau pengamplasan benih walau mudah dilakukan namun sangat tidak efisien bila benih yang akan dikecambahkan dalam jumlah banyak disamping benih yang dilukai menjadi peka terhadap patogen selama dalam proses perkecambahan. Skarifikasi dengan asam sulfat walau efisien namun sering merusak benih disamping pula penggunaan asam sulfat sering membahayakan bagi pemakai. Demikian pula penggunaan skarifikasi panas ataupun skarifikasi basah panas sering memberikan akibat terhadap benih yang mirip dengan perlakuan asam sulfat (Harmant et al. 2002; Schmidt 2000; Boscagli & Sette 2001). Untuk mendapatkan perkecambahan yang baik, pemilihan benih sangat disarankan. Benih yang relatif berat lebih dipilih karena umumnya memberikan
24 kecepatan perkecambahan dan perkembangan semai lebih baik dibandingkan benih dengan ukuran yang lebih kecil. Namun demikian perlu diperhatikan bahwa perbandingan antar provenan tidak selalu dapat dipercaya, karena variasi genetik dapat menyamarkan adanya perbedaan vigor (Schmidt 2000). Perlakuan sterilisasi permukaan benih juga sering disarankan untuk mengatasi penyakit yang umumnya berasal dari jamur yang menempel pada permukaan benih. Damping-off adalah istilah yang telah lama digunakan untuk menggambarkan penyakit fungi yang mengakibatkan matinya tanaman muda saat diperkecambahan. Fungi penyebab damping-off umumnya adalah Phytium ultimum dan Rhizoctonia solani walaupun terdapat pula fungi lain seperti Botrytis cinerea dan Phytophthora spp. Peroksida (H2O2) 30% selama 20 menit, Sodium hipoklorit (10% NaClO) dan 75% etanol sering digunakan untuk menghilangkan jamur di permukaan benih yang dapat menyebabkan penyakit londoh (dampingoff),
walaupun
dijumpai
pula
sodium hipoklorit
mampu
menstimulasi
perkecambahan benih padi, yang kemungkinan akibat hilangnya inhibitor larut air yang terdapat pada sekamnya (Harmant et al. 2002; Schmidt 2000). Merbau sebagai tanaman dari Leguminosae menghasilkan benih yang termasuk dalam golongan benih orthodoks dengan masa dormansi yang cukup lama dengan dormansinya tergolong dalam dormansi fisik. Benih yang telah mencapai tingkat kematangan memiliki kadar air benih kurang dari 10% dan mampu disimpan lebih dari 3 tahun tanpa adanya perlakuan penanganan penyimpanan terhadap benih secara spesifik (PROSEA 1994). Seperti umumnya tanaman legum, merbau memiliki benih yang dibungkus oleh kulit biji yang keras, yang menyebabkan impermeabel terhadap air (dormansi fisik) dan tanpa perlakuan awal benih merbau memerlukan waktu lebih dari 2 tahun untuk berkecambah. Di alam kulit benih seperti ini dapat menjadi lunak akibat aktivitas mikroorganisme tanah saat kelembaban memungkinkan. Untuk mematahkan dormansi seperti yang dimiliki benih merbau dapat dilakukan skarifikasi terlebih dahulu. Teknik skarifikasi yang umum dilakukan adalah dengan cara mengikir atau mengamplas sedikit bagian strophile benih. Dengan teknik ini Intsia palembanica mampu berkecambah 100% (PROSEA
25 1994), sedangkan dengan menggunakan perlakuan awal perendaman dalam asam sulfat pekat selama 30 menit mampu memperoleh perkecambahan benih merbau sebesar 100% dengan rata-rata waktu berkecambah 7,4 hari (Murdjoko 2003). Metode skarifikasi dengan cara mengikir merupakan metode yang kurang praktis bila dilakukan untuk skala besar, sebaliknya dengan menggunakan asam pekat seringkali berbahaya dalam pananganannya. Pencarian cara yang lebih efisien tampaknya masih perlu dilakukan. Perbanyakan Tanaman Melalui Stek (Cuttings) Suatu potongan organ tanaman apabila ditempatkan pada kondisi lingkungan yang sesuai untuk regenerasi akan tumbuh akar dan mampu berkembang menjadi tanaman yang utuh. Cara perbanyakan demikian disebut sebagai stek (cutting). Stek merupakan salah satu metode perbanyakan tanaman secara vegetatif yang paling banyak dipergunakan. Stek dapat dibuat dari bagian vegetatif tanaman mana saja seperti, batang, modifikasi batang (rhizome, tuber, corm dan bulb), daun atau akar. Berdasarkan bagian tanaman yang diambil, stek dapat diklasifikasikan menjadi (1) Stek batang (harwood, semihardwood, softwood dan herbaceous), (2) stek daun, (3) stek tunas (mata tunggal atau buku tunggal) dan (4) stek akar. Pada perbanyakan tanaman melalui stek batang, bagian-bagian pucuk yang memiliki tunas lateral atau terminal bila ditempatkan pada kondisi yang sesuai diharapkan akar adventif akan terbentuk dan berkembang
sehingga
akan
menghasilkan
tanaman
yang
independen.
Perkembangan akar adventif dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti asal bahan stek (posisi pada tanaman asal), ZPT yang berperan terhadap pengakaran, faktor lingkungan dan fisik (Harmant et al. 2002). Faktor medium sangat menentukan bagi keberhasilan penyetekan. Medium berfungsi sebagai penyangga berdirinya stek saat periode pengakaran, menyediakan air bagi stek, memungkinkan terjadinya pertukaran udara pada bagian dasar stek dan menciptakan lingkungan gelap yang ideal bagi pengakaran. Walaupun demikian tidak ada campuran jenis medium yang paling ideal dan umum digunakan, yang terpenting medium penyetekan harus memiliki porositas yang baik sehingga aerasi dan draenasi berjalan dengan baik, memiliki kapasitas
26 menahan air yang cukup baik, dan bebas dari penyakit penyebab busuk bagian bawah stek (Harmant et al. 1990). Pada percobaan yang dilakukan di Filipina stek merbau yang ditanam pada media dengan tekstur tanah sandy clay-loam setelah 6 minggu memperoleh tingkat mortalitas sebesar 62% (PROSEA 1994). Percobaan stek merbau dengan menggunakan hormon pengakaran yang tersedia di pasar, menunjukkan bahwa penggunaan ZPT Hormonik 1000 ppm dengan media tumbuh pasir dapat menghasilkan persen stek jadi sebesar 76.7% (Pudjiono & Mahfudz 2007). Zat pengatur tumbuh yang berperan bagi pengakaran adalah zat pengatur tumbuh dari golongan auksin. Namun demikian auksin tidak bersifat universal dalam menstimulasi pengakaran stek, karena terdapat jenis-jenis tumbuhan tertentu yang memang sulit untuk berakar (difficult-to-root species) yang tidak responsif terhadap pemberian auksin. IBA (indolebutyric acid) dan NAA (naphthaleneacetic acid) adalah auksin yang paling sering digunakan dalam menstimulasi pengakaran stek karena sebagian besar tanaman sangat responsif terhadap pemberian kedua jenis auksin tersebut (Artheca 1996). Penggunaan IBA ataupun kombinasi IBA/NAA sangat luas digunakan untuk melakukan pengakaran pada stek tanaman kehutanan seperti yang dilakukan oleh Landon dan Banko (2002) pada tanaman Vinca minor, Bryan et al. (2002) pada tanaman Acacia wrightii dengan menggunakan IBA/NAA dan Conden et al. (2004) pada tanaman Lindera umbelata dengan menggunakan IBA. Pemberian kombinasi IBA/NAA seringkali memberikan hasil yang lebih baik. Metode aplikasi yang paling sering digunakan adalah metode celup cepat (quick-dip Method) dengan waktu pencelupan umumnya 3 – 5 detik. Konsentrasi larutan auksin yang digunakan bervariasi dari 500 – 10 000 ppm atau lebih (0,05 – 1,0 persen) tergantung jenis tanaman dan asal/posisi bagian tanaman yang digunakan untuk bahan stek (hardwood, semihardwood atau softwood) (Harmant et al. 2002). Perbanyakan Tanaman Secara In Vitro Kultur jaringan merupakan istilah umum meliputi pertumbuhan kultur secara aseptik dalam suatu wadah yang tembus cahaya, yang sering juga disebut
27 sebagai kultur in vitro (Gunawan 1992). Teknik kultur jaringan didasarkan pada teori totipotensi sel yang disampaikan oleh Schwan dan Schleiden pada tahun 1938, yang diartikan sebagai kemampuan otonom dari setiap sel hidup yang diisolasi dari tanaman induknya, tumbuh dan berkembang membentuk tanaman baru bila ditumbuhkan pada media yang sesuai. Berdasarkan teori ini maka sel-sel meristematik dapat dipacu untuk memperbanyak diri, memanjangkan diri dan berdiferensiasi yang dimulai dari perkembangan meristem sampai menjadi organ baru seperti tunas, daun dan akar untuk selanjutnya membentuk tanaman yang sempurna (Pierik 1999). Dengan adanya perkembangan teknik kultur jaringan (in vitro) akhir-akhir ini, kendala dalam perbanyakan tanaman untuk beberapa jenis tanaman telah dapat diatasi. Kultur in vitro merupakan salah satu teknologi yang dapat digunakan untuk membantu pengadaan bibit secara luas pada berbagai tanaman berkayu untuk mendapatkan bibit dalam jumlah yang besar, bebas hama dan penyakit dalam rentang waktu yang relatif cepat. Melalui teknik ini multiplikasi tinggi dapat diperoleh dari bahan tanaman yang kecil (Wattimena et al. 1992). Dalam produksi tanaman melalui kultur in vitro terdapat dua pola diferensiasi yang berbeda yaitu pola diferensiasi organogenesis dan embriogenesis somatik. Organogenesis adalah proses pembentukan organ tanaman secara in vitro, ataupun in vivo menggunakan jaringan meristematik ataupun non meristematik. Jaringan tanaman secara in vitro akan menghasilkan banyak tipe primordia. Primordia berasal dari proses dediferensiasi sel diikuti dengan serangkaian
kejadian
pembentukan
sel-sel
meristemoid
yang
secara
morfogenetika sangat plastis dan mampu berkembang menjadi sejumlah primordia (misalnya akar atau tunas). Berdasarkan proses perkembangan hingga menyebabkan terjadinya organogenesis dapat dipilah menjadi dua kategori yakni (1) organogenesis tidak langsung yaitu proses perkembangan dengan melalui pembentukan kalus terlebih dahulu dan (2) organogenesis secara langsung yaitu tanpa melalui pembentukan kalus terlebih dahulu (dimulai dari eksplan primer, kemudian terbentuk meristemoid, dan berakhir pada pembentukan primordium organ) (Schwarz et al. 2005).
28 Embriogenesis somatik adalah suatu proses pembentukan embrio somatik melalui diferensiasi sel-sel somatik. Secara morfologi sel embrio somatik menyerupai embrio zigotik (Gambar 5). Struktur embrio somatik mengandung meristem pucuk maupun akar (bipolar) (Phillips et al. 1995; von Arnold et al. 2002). Menurut Hipotesis Sharp’s et al. terdapat dua pola embriogenesis. Pertama embriogenesis
berlangsung
dari
sel
yang
telah
terdeterminasi
untuk
berlangsungnya embriogenesis yang disebut sebagai pre-embryonic-determined Cells (PEDCs) dan proses ini disebut pula sebagai embriogenesis somatik secara langsung (direct embriogenesis). Embryogenesis dari PEDCs hanya mensyaratkan kondisi lingkungan in vitro untuk keperluan terjadinya pembelahan sel sesuai dengan polanya. Sebaliknya sel-sel yang untuk terdeterminasi embriogenik perlu adanya induksi (induced embryonic-determined cells=IEDCs) memerlukan kondisi lingkungan in vitro tidak saja untuk kembali memasuki siklus mitosis tetapi juga untuk redeterminasi dari sel-sel yang awalnya dalam kondisi quiescent untuk terpicu menjadi embrionik. Proses yang terakhir disebut pula sebagai embriogenesis somatik secara tidak langsung (indirect embriogenesis) (Wann 1988). Sumber sel embriogenik, tipe embriogenesis dan perkembangan embrio menjadi tanaman disajikan pada Gambar 6.
Gambar 5 Perbedaan antara zygotic embryogenesis dan somatic embriogenesis (Gray 2005). Perbedaan embriogenesis somatik dengan organogenesis terletak pada asal sel. Pada organogenesis kejadian berasal dari multiselular sebaliknya pada
29 embriogenesis somatik berasal dari kejadian sel tunggal. Walaupun demikian organogenesis dan embriogenesis dapat terjadi secara bersamaan pada kultur yang sama (Wann 1998). Lebih lanjut Phillips et al. (1995) menyatakan bahwa induksi embriogenesis somatik memerlukan sinyal hormonal tunggal untuk menginduksi terbentuknya struktur bipolar yang memampukannya untuk membentuk tanaman secara lengkap. Sebaliknya pada organogenesis akan memerlukan dua sinyal hormonal yang berbeda untuk menginduksi organ pucuk dan kemudian organ akar dengan menggunakan dua media yang berbeda. Oleh karena itu tidak mengherankan penginduksian embriogenesis lebih efisien dalam praktek perbanyakan tanaman dibandingkan penggunaan alur organogenesis.
Gambar 6
Sumber sel embriogenik, tipe embriogenesis dan perkembangan embrio menjadi tanaman (Gray 2005).
Embrio somatik yang dihasilkan melalui kalus telah banyak dilakukan. Kalus adalah sekumpulan sel yang belum terdeferensiasi yang terjadi pada sel-sel jaringan yang sedang aktif membelah diri. Kultur kalus yang bertujuan untuk memperoleh kalus embriogenik atau yang lebih tepat disebut sebagai proembrionic masses (PEM) dari eksplan tertentu yang diisolasi dan ditumbuhkan pada lingkungan tertentu secara in vitro dapat diinduksi dengan menggunakan
30 auksin seperti 2,4-D atau auksin sintetik lainnya seperti Picloram dan terkadang juga mengikutkan sitokinin. Dengan induksi ini diharapkan pembentukan kalus embriogenik dapat terjadi secara terus menerus sedangkan untuk menginduksi perkembangan embriogenesis sering dilakukan dengan mengurangi jumlah auksin atau bahkan sama sekali tidak diberikan auksin atau menggunakan absisic acid (ABA) (Wattimena et al. 1992; Gunawan 1992; Von Arnold et al. 2002). Embriogenesis somatik memiliki potensial untuk dipraktekkan dalam perbanyakan secara vegetatif untuk skala besar yang pada beberapa kasus bahkan dapat digunakan bioreaktor untuk produksi massal. Demikian pula melalui cara ini, kemungkinan penyimpanan plasma nutfah dengan menggunakan metode cryopreservation sangat mungkin dilakukan (Von Arnold et al. 2002). Perbedaan utama pada perbanyakan in vitro pada tanaman berkayu dibandingkan dengan tanaman herba terletak pada tingkat kesulitan pada tanaman berkayu yang relatif lebih tinggi. Beberapa faktor yang menyebabkan kesulitan tersebut di antaranya terkait dengan siklus hidup vegetatif tanaman berkayu yang komplek seperti adanya dormansi pucuk musiman, dan karakteristik pertumbuhan yang terus berubah saat tanaman berkembangan hingga mencapai kedewasaan. Faktor penghambat dari proses regenerasi pada tanaman berkayu antara lain (1) daya meristematik tanaman yang rendah; (2) tingkat oksidasi fenol yang tinggi; (3) adanya jaringan sklerenkima; (4) kandungan zat inhibitor yang tinggi; (5) kurangnya ko-faktor perakaran; (7) gugurnya tunas dan daun yang terjadi lebih dini dan (7) mempunyai kandungan lignin yang relatif tinggi (Mariska et al. 1997). Status juvenilitas eksplan yang digunakan sangat menentukan dalam menentukan keberhasilan kultur in vitro tanaman berkayu, karena dalam kondisi juvenil eksplan masih memiliki kemampuan regenerasi yang lebih baik berhubungan dengan daya meristematik yang tinggi, dan tingkat kandungan fenol, lignin dan zat inhibitor yang masih rendah. Beberapa cara untuk memperoleh eksplan yang juvenil dapat dilakukan dengan mengambil eksplan dari sumber seperti bagian basal yang juvenil dari anakan (seedling) atau memanipulasi pucuk
31 tanaman tua yang dijuvenilkan yaitu dengan cara pucuk dari tanaman tua sebagai tanaman atas (scion) disambung (grafting) pada anakan (seedling) sebagai tanaman bawah (rootstock). Tunas yang terinduksi dari tanaman sambung tersebut dapat digunakan sebagai sumber eksplan (Hartman et al. 2002). Beberapa hasil penelitian metode perbanyak in vitro pada tanaman legum berkayu yang telah dilakukan adalah sebagai berikut: Dalbergia latifolia Rox b. (Gunawan 1992). Induksi tunas eksplan pucuk tanaman dilakukan dengan menggunakan media dasar MS cair yang diperkaya dengan kinetin 0,5 mg/L, BA 1.0 mg/L, Biotin 0,1 mg/L, Casein hydrolysate 500 mg/L, Calcium Panthotenate 0.1 mg/L, Sukrosa 30 g/L dengan pH media 5,8. Induksi dilakukan selama 20 hari, kemudian dipindahkan pada media perbanyakan pucuk selama 25 hari dengan menggunakan media yang sama tanpa casein hydrolysate dengan kandungan kinetin 0,1 mg/L dan BA 0,2 mg/L. Pengakaran dilakukan secara berturutan pada tiga media yaitu selama 72 jam pada media dasar White yang mengandung auksin IBA 2 mg/L, IAA 2 mg/L, IPA 2 mg/L, dan NAA 2 mg/L (media 1), kemudian selama 10-15 hari pada media ½ MS cair dengan ditambah arang aktif 0,25%, Sukrosa 30 g/L dengan pH media 5,8 (media 2) dan selama 20-25 hari pada media dengan komposisi sama dengan media 2, namun tanpa arang aktif (media 3). Albizia lebbeck (Mamun et al. 2004). Eksplan biji, kotiledon dan segmen internodal (ruas) dicuci di bawah air mengalir selama 2 jam, selanjutnya direndam dalam air steril mengandung 2 tetes tween 80 dan disterilisasi dengan merendam eksplan dalam 0,1% HgCl2 selama 8-11 menit. Eksplan ditanam dalam media MS yang diperkaya sukrosa 3%, dengan berbagai kombinasi auksin (NAA, IAA dan 2,4-D), maupun sitokinin (BAP dan kinetin). Media diatur pada pH 5,6, dan dipadatkan dengan 0,6% agar. Eksplan yang telah ditanam disimpan pada lingkungan dengan suhu 27±2oC, pencahayaan 2000-3000 lux dengan fotoperiode 16 jam cahaya dan 8 jam gelap. Setelah 28 hari, induksi kalus tertinggi (100%) dijumpai pada eksplan in vitro internodal dengan media yang diperkaya dengan BA 2,0 mg/L, NAA 0,2 mg/L. Pada media dengan BA tunggal atau kombinasi dengan NAA dan KIN, induksi kalus terbaik dijumpai pada eksplan kotiledon pada perlakuan BA 2,0 mg/L (75% eksplan
32 berkalus) dan kombinasi NAA 1,0 mg/L dan KIN 0,1 mg/L (50% eksplan berkalus). Hardwickia binata Roxb. (Chand & Singh 2001). Polong H binata yang masih hijau (60-75 hari setelah anthesis) dicuci dibawah air mengalir selama 30 menit. Polong direndam dalam larutan tween 20 (10 tetes/100 ml, v/v) selama 15 menit dan dicuci kembali dibawah air mengalir, diikuti perendaman dalam larutan antiseptik Savlon (0,6 ml/100 ml, v/v) selama 15 menit dan dicuci kembali di bawah air mengalir selama 5 menit. Sterilisasi dilakukan dengan larutan 0,1% selama 30 menit, kemudian dibilas dengan air steril, dilanjutkan sterilisasi dalam 70% etanol selama 2 menit dan dicuci kembali dengan air steril. Biji dari dalam polong dikeluarkan dan embrio zigotik dipisahkan untuk dipergunakan sebagai eksplan. Eksplan ditanam dalam media MS semi-solid yang diperkaya dengan 0,4513,57 μM 2,4-D atau 0,53-16,11 μM NAA. pH media diatur pada 5,75 sebelum ditambah 0,8% (w/v) agar. Induksi somatik embrio dilakukan dengan menyimpan kultur pada tempat gelap selama 7 minggu. Pada minggu ke 4 kultur dipindahkan pada media baru dengan komposisi yang sama. Eksplan yang berkembang menjadi somatik embrio, selanjutnya dipindahkan ke media proliferasi berupa media MS dengan 0,26 μM NAA, 2,22 μM BAP; MS dengan 0,53 μM NAA atau ½ MS dengan 0,53 μM NAA. Media untuk maturasi dan germinasi terdiri atas komposisi media MS dengan 0,26 μM NAA dan 2,22 μM BAP atau MS dengan 0,37 – 3,8 μM ABA. Frekuensi embriogenesis secara langsung tertinggi dicapai pada media MS dengan 2,26 μM 2,4-D, dengan tahap perkembangan yang bervariasi yaitu meliputi tahap globular, heart-shape, torpedo dan cotyledonary. Pematangan embrio dilakukan dengan memindahkan ke media MS dengan 0,26 μM NAA dan 2,22 μM BAP atau MS yang mengandung 1,89 μM ABA. Acacia mearnsii De Wild (Correia & Graça 1995). Eksplan berupa segmen nodal (buku) berasal dari percabangan apikal anakan A. mearnsii berumur 9 bulan dengan panjang 50 mm. Anakan A mearnsii tersebut dipelihara di rumah kaca dengan diaplikasikan penyemprotan larutan Benomyl 0., g/L untuk mengurangi kontaminasi. Segmen nodal tanpa daun dicelup dalam larutan Benomyl 0,5 mg/L
33 diikuti dengan perendaman dalam larutan detergen komersial 3% selama 15 menit. Sterilisasi dilanjutkan dengan menggojlok eksplan dalam campuran larutan NaOCl 1% (v/v) dengan tween 20 0.01% (v/v) selama 15 menit, diteruskan dengan pembilansan menggunakan air steril sebanyak tiga kali. Induksi multiplikasi tunas samping dilakukan dengan menggunakan media ½ MS yang mengandung adenin 80 mg/L, thiamine 1,0 mg/L, piridoxin 0,5 mg/L, nicotinic acid 0,5 mg/L, glycine 2,0 mg/L, myo-inositol 100 mg/L, sukrosa 30.000 mg/L dan Difto Bacto agar 60.000 mg/L dan kombinasi BA 3,0 mg/L dan IBA 0,05 mg/L selama 30 hari kultur dengan hasil 3,51 tunas/eksplan. Telaah terhadap beberapa penelitian yang telah dilakukan pada tanaman berkayu jenis legum dan juga terhadap tanaman merbau menunjukkan bahwa media kultur rendah kandungan nutrisinya dikombinasi dengan pemanfaatan auksin dan sitokinin maupun bahan organik lainnya untuk mencegah defoliasi daun maupun pencoklatan untuk inisiasi dan pertumbuhan tunas merbau secara in vitro. Pemanfaatan Ektomikoriza Dalam Perbanyakan Tanaman Penggunaan fungi ektomikoriza dalam praktek pembibitan pada tanaman kehutanan telah lama diterapkan untuk memperoleh bibit yang baik, tahan hidup di lapangan dan memberikan pertumbuhan yang jauh lebih baik dibandingkan tanaman yang tidak bermikoriza. Kelebihan bibit bermikoriza ini diduga terkait dengan
kemampuan
fungi
ektomikoriza
terutama
berhubungan
dengan
kemampuannya dalam menyediakan unsur P. Fungi ektomikoriza mampu merubah P dalam bentuk tidak tersedia yang terikat dengan senyawa kompleks menjadi bentuk yang lebih sederhana sehingga tersedia bagi tanaman. Pertumbuhan tanaman bermikoriza yang lebih baik juga disebabkan kebutuhan hormon tumbuh bagi tanaman seperti Indole Acetic Acid (IAA) dan sebagainya dapat terpenuhi melalui asosiasi yang terbentuk antara tanaman dan fungi ektomikoriza (Pedersen & Sylvia 1996).
34 Pengaruh IAA pada tanaman sangat bervariasi. Secara khusus IAA meregulasi proses pertumbuhan pada berbagai organ. Hormon dibentuk pada bagian ujung tajuk tanaman yaitu tunas apex dan daun-daun muda, kemudian ditransportasi ke berbagai bagian tanaman yang memerlukannya. Pada setiap tempat (organ) tersebut akan menunjukkan proses pertumbuhan dan diferensiasi yang spesifik. Beberapa fungsi yang dapat dirinci diantaranya adalah meregulasi pertumbuhan sel tanaman, berperan dalam diferensiasi, xylem dan phloem, menstimulasi aktivitas kambium, menstimulasi pembentukan akar adventif, berperan dalam apikal dominansi, berperan dalam phototropisme, gravitropisme dan thigmotropisme, mempunyai efek penghambatan tunas aksilar dan penghambatan pembentukan lapisan absisi (Artheca 1995; Mohr & Schopfer 1995; Taiz & Zeiger 2002). Peranan IAA yang penting di dalam perbanyakan tanaman yaitu terkait dengan fungsi menginduksi diferensiasi sel-sel xylem dan phloem yang dimulai dari titik tertentu di belakang meristem pertumbuhan atau organ dan dilanjutkan secara basipetally paralel dengan transport IAA. Perlakuan IAA pada stek memicu pembentukan akar adventif dan ini sering digunakan dalam perbanyakan tanaman secara vegetatif (Mohr & Schopfer 1995). Dalam kultur jaringan, auksin eksogen sering merupakan persyaratan bagi pembentukan akar. Kultur pucuk secara in vitro pada banyak tanaman sering untuk memicu terjadinya perakaran dilakukan dengan cara memindahkan eksplan ke media regenerasi tanpa hormon tumbuh. Sitokinin di dalam media regenerasi akan menghambat terjadinya perakaran dan dengan cara memindahkan ke media regenerasi tanpa hormon tumbuh akan memberikan kesempatan pada pucuk untuk mensintesis auksin dan kemudian menstimulasi terjadinya perakaran. Sering dilakukan pula untuk penyembuhan akibat pengaruh sitokinin yang tinggi dilakukan dengan memberikan auksin endogen. Konsentrasi yang umum digunakan untuk menginduksi perakaran IAA berkisar 0,6-60 μM, IBA 2,5-15 μM dan NAA 0,35-6 μM (Gaba 2005). Kemampuan fungi ektomikoriza dalam memproduksi hormon tumbuh memungkinkan pemanfaatan ektomikoriza untuk mendorong terjadinya perakaran
35 dalam operasional pembibitan tanaman. Menurut Slankis (1973) Nielsen adalah orang pertama yang menunjukkan bahwa auksin yang kemudian diberi nama “rhizopin” dihasilkan oleh biakan murni fungi pada tahun 1930, yang selanjutnya oleh Thimann pada tahun 1935 diidentifikasi sebagai IAA. Nielsen pada 1932 menunjukkan kemampuan ekstrak sporokarp fungi ektomikoriza Boletus edulis untuk menginduksi pembelokan arah pertumbuhan (curvature) koleoptil dari Avena. Sejak itu metode tersebut bersama dengan metode khromatografi kertas digunakan untuk membuktikan dihasilkannya auksin pada larutan kultur oleh sejumlah besar fungi basidiomycetes pembentuk mikoriza. Pada tahun 1959, Mozer menguji 23 jenis fungi pembentuk mikoriza yang diisolasi dari tanaman Pinus, Larix, Pice, Betula dan Fagus spp., dengan menambahkan tryptophan sebanyak 2,041 g/l sebagai sumber nitrogen dan prekursor memperoleh hasil sebagaimana pada Tabel 1. Pada percobaan lain Gay et al. (1992) memperlihatkan fungi ektomikoriza Hebeloma hiemale dan Pisolithus tinctorius pada biakan murni mengakumulai IAA dalam jumlah yang tinggi (8,5 μml per kultur) sedangkan fungi Paxilus involves mengakumulasi hanya 0,9 μml per kultur dalam filtrat kulturnya. Induksi fungi ektomikoriza terhadap perakaran sangat mirip dengan yang diakibatkan oleh pemberian auksin eksogen, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Slankis (1973) bahwa morphology ektomikoriza pinus yang dichotomous dapat diinduksi oleh adanya auksin eksogen yang sangat mirip dengan yang terjadi secara alami. Pentingnya peran fungi ektomikoriza dalam pertumbuhan akar menyebabkan
banyak
usaha
dilakukan
untuk
menggunakannya
dalam
menstimulasi pembentukan formasi perakaran pada stek pinus yang sulit untuk berakar. Beberapa percobaan telah menunjukkan adanya pengaruh positif fungi ektomikoriza dalam pembentukan akar adventif baik secara in vivo maupun in vitro. Dalam percobaan yang dilakukan oleh Niemi et al. (2002) dengan menggunakan stek hipokotil anakan Scots pine yang dikultur secara in vitro menunjukkan bahwa inokulasi fungi ektomikoriza Pisolithus tinctorius dan Paxillus involutus meningkatkan persentase dari 40-48 % stek berakar menjadi
36 71-85% stek berakar pada stek yang diinokulasi dengan Pisolithus tinctorius dan 95-100% stek berakar dengan
Paxillus involutus (Niemi et al. 2002).
Penggunaan mikoriza pada usaha kultur in vitro juga ditunjukkan oleh Starrett et al. (1995) pada anakan tanaman Highbush blueberry yang diinokulasi dengan ericoid mikoriza memperlihatkan keberhasilan terjadinya kolonisasi pada perakaran tanaman diikuti dengan perbaikan keragaan planlet. Demikian pula Quatrini et al. (2003) menggunakan fungi AM Glomus mossae mampu meningkatkan pertumbuhan dan persen hidup plantlet lemon (Citrus limon (L) Burn) hasil mikropropagasi saat aklimatisasi. Tabel 1 Fungi basidiomycetes pembentuk ektomikoriza dan tipe hormon tumbuh yang dihasilkan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Fungi Suilus placidus S. plorans (7 strain) S. tridentinus S. greville (3 strain) Boletinus cavipers Xerocomus subtomentosus Lacterius porninsis Phlegmatium elegantior Phl. calochroum Phl. aureopuverulentum Phl. sulphureum Phl. caesiocanescens Phl. varium Phl. orichalecum
Tipe Hormon Yang Dihasilkan IAA IPA IBA + + + + + + + + + + + -
+ + + + +
+ + + -
Sumber: Slankis (1973) Ket: + (ada), - (tidak ada), Indole-3-Acetic Acid (IAA), Indole-3-Pyruvic Acid (IPA) dan Indole-3Butyric Acid (IBA).
Anakan dan planlet umumnya baru mampu untuk membentuk mikoriza setelah beberapa akar terbentuk yaitu biasanya setelah 1-3 bulan. Kondisi lingkungan bagi pertumbuhan anakan yang baik sangat menentukan bagi keberhasilan penularan demikian pula kemasaman dan kondisi tanah harus sesuai bagi jenis tersebut. Meskipun pupuk dapat menghambat perkembangan mikoriza
37 namun pemberian pupuk minimal untuk mendorong pembentukan awal perakaran mungkin diperlukan. Pada beberapa kondisi, inokulasi juga dapat dilakukan pada saat penaburan dengan syarat fungi harus mampu tetap hidup dalam tanah dalam jangka waktu tertentu dengan tanaman inang sampai akar-akar anakan terbentuk dan tertulari. Untuk menjamin terbentuknya mikoriza maka diusahakan pula inokulum diletakkan sedekat mungkin atau menyentuh akar tanaman demikian pula untuk terjadinya infeksi kelembaban sangat diperlukan (Schmidt 2000). Perkembangan Penelitian Jenis Merbau Perkembangan penelitian jenis merbau [Intsia bijuga (Colebr) O. Kuntze] dan kerabat dekatnya (Intsia palembanica Miq.) sangat lambat kemajuannya dan tidak ditetapkan secara strategis sasarannya untuk menjawab tantangan ke depan. Perkembangan penelitian sejak tahun 1938 hingga saat ini tergambar dalam Tabel 2. Kekhawatiran akan keberadaan jenis ini semakin meningkat sejalan dengan beralihnya perhatian kegiatan eksploitasi hutan ke hutan alam Papua. Deforestasi dan fragmentasi hutan akibat kegiatan eksploitasi hutan akan mempengaruhi keragaman jenis ini, yang pada akhirnya dapat menyebabkan regenerasi tegakan merbau secara alami tidak berjalan dengan baik dan berujung pada penurunan kualitas tegakan bahkan kelangkaan akan jenis merbau. Dorongan bagi regenerasi dan pengembangan hutan tanaman menggunakan jenis merbau perlu dilakukan untuk mengatasi keterancaman jenis ini, baik dalam bentuk kebijakan maupun dalam penyediaan data-data penelitian yang berhubungan dengan teknologi pembudidayaan jenis ini. Penelitian tentang merbau di bidang ekologi dan silvikultur yang telah dilakukan masih bersifat umum, belum tepat sasaran menyentuh kebutuhan untuk menunjang usaha regenerasi dan pengembangan hutan tanaman jenis merbau. Oleh karena itu penelitian di bidang silvikultur yang diarahkan untuk penyediaan teknologi pembudidayaan khususnya permasalahan dalam penyediaan bibit yang efisien dan bermutu bagi pembangunan hutan industri sudah sangat mendesak untuk segera dilakukan.
38 Tabel 2 Rangkuman Hasil-hasil Penelitian Jenis Merbau [Intsia bijuga (Colebr.) O. Kuntze] yang mendukung dalam pengembangan penelitian di bidang silvikultur No
Peneliti
Bidang
Temuan Penting
1.
Dress (1938)
Taksonomi dan Silvikultur
Laporan hasil survey. Deskripsi botanis untuk membedakan antar Intsia spp dan Pahudia spp. I. palembanica dianggap penting nilai ekonominya, sedangkan I. bijuga masih sulit dikembangkan. Perkecambahan I. palembanica sangat lambat perlu adanya perlakuan awal, pada waktu muda memerlukan naungan, tumbuh cepat namun kemudian melambat dengan cepat. Untuk tujuan praktis regenerasi alam tidak dapat diandalkan karena kurangnya pohon induk penghasil benih dan penyebaran benih yang hanya di sekitar pohon induk akibat biji yang berat
2.
Van Alphen de Veer EJ dan Verduyn Lunel FA (1950) dikutip dari PROSEA (1994) dan Thaman et al. (2004)
Silvikultur/ Teknologi benih
Kandungan air pada biji merbau matang 10% dan mampu tetap hidup hingga 3 tahun, perlakuan skarifikasi yang paling efektif bila dilakukan pada bagian stropiole (berlawanan arah dengan hilum). Biji ditanam dengan bagian hilum ke arah bawah. Hampir 100% biji yang diskarifikasi berkecambah setelah 11 hari
3.
Tamba (1992)
Silvikultur/T eknologi benih
Kulit biji merbau dikikir dan direndam selama 18 jam dalam air memberikan persen kecambah 99,5%
4.
Rizal et al. (1997)
Silvikultur/ Pembibitan
5.
Nugroho (1997)
Ekofisiologi/ Merbau termasuk tanaman lambat tumbuh siklus unsur hara pada umur 32 tahun berdiamater 32,5 cm. Kecepatan dekomposisi serasah tinggi. Kebutuhan unsur P tinggi dan siklus P tanah-tanaman cepat. Merbau mengambil Ca dalam jumlah tinggi dan diakumulasikan pada tanah permukaan menyebabkan peningkatan pH tanah permukaan.
Stum merbau yang disimpan dalam pelepah pisang selama 1 minggu mempunyai persen tumbuh 98,33%
39 Lanjutan Tabel 2. 6.
PT. Hatfindo Prima (1998)
Reklamasi lahan/Mikoriza
Adanya ektomikoriza pada akar tanaman merbau (Intsia bijuga) di areal konsesi PT. Freeport Indonesia, Timika, Provinsi Papua.
7.
Untarto (1998)
Ekologi
Di hutan alam Papua Intsia bijuga merupakan jenis dominan yang berasosiasi dengan jenis Intsia palembanica, Pometia pinnata, Callophylum inophyllum dan Palaquium amboinensis. Jenis ini dapat mencapai diameter hingga 200 cm.
8.
Wattling et al. (2002)
Mikologi/
Dijumpai adanya fungi dari golongan Basidiomycetes di antara tegakan Intsia palembanica di hutan Malaysia dan diduga memiliki asosiasi ektomikoriza
Murdjoko (2003)
Silvikultur/ Biji I. bijuga dengan perlakuan awal Teknologi benih perendaman dalam asam sulfat pekat selama 45 menit memiliki persen perkecambahan 100%.
9.
ektomikoriza
10. Hamzah (2003)
Silvikultur/ Kultur pucuk merbau hingga minggu ke-8 Kultur Jaringan setelah tanam memiliki persen hidup pada media WPM 80%, MS 0% dan Anderson 100%. Persen kontaminasi 20-30% dan pencoklatan 50-80%. Gugur daun 30-20%.
11. Machmud (2003)
Silvikultur/ Kultur pucuk menggunakan media Kultur Jaringan Anderson dengan ZPT 0,1 ppm NAA+0,1 ppm Kinetin dan 0,1 ppm NAA+0,5 ppm Kinetin baru mampu menginduksi kalus (90% dari eksplan).
12. Telapak dan EIA (2005)
Konservasi/ Illegal logging
Mengungkapkan jalur, modus operandi, pemain illegal logging kayu merbau dari hutan alam Papua.yang diselundupkan ke Cina dan India.
13. Pujiono dan Mahfudz (2007)
Silvikultur
Merbau dapat diperbanyak melalui stek dengan ZPT komersial hormonik 1000 ppm stek berakar yang dihasilkan sebesar 76,70%.
14. Tendersoo et al. (2007)
Ektomikoriza
15 jenis fungi ektomikoriza berasosiasi dengan merbau dua diantaranya merupakan jenis Scleroderma spp.
40 Kerangka Pemecahan Masalah Pembangunan hutan tanaman mensyaratkan dukungan pengetahuan teknis silvikultur dalam menyediakan bibit yang bermutu secara genetik maupun penampakan keragaan fisik, dalam jumlah massal dengan kontinyuitas yang terjamin. Ketersediaan bibit bermutu dalam jumlah besar secara terus menerus, akan menjamin kontinyuitas kegiatan regenerasi hutan tanaman. Bibit unggul secara genetis dapat diperoleh melalui perbanyakan tanaman menggunakan benih berasal dari pohon induk unggul. Namun, untuk mendapatkan benih dalam jumlah yang cukup, seringkali terkendala dengan produksi benih yang terbatas dan tidak tersedia setiap saat karena produksi benih sangat tergantung pada musim berbuah. Oleh karena itu, untuk menjamin kontinyuitas penyediaan bibit diperlukan alternatif metode perbanyakan tanaman lain agar tidak bergantung pada perbanyakan melalui biji. Perbanyakan tanaman secara vegetatif dengan menggunakan stek secara in vivo maupun in vitro merupakan cara yang umum dilakukan pada tanaman kehutanan. Perbanyakan dengan stek berasal dari pohon induk unggul, mempunyai kelebihan dibandingkan menggunakan biji, karena sifat keunggulan induknya tetap dapat dipertahankan. Di lain pihak, mutu keragaan bibit tanaman dapat ditingkatkan selama berada di persemaian yaitu dengan memanfaatkan peran asosiasi mikoriza. Tanaman yang bermikoriza diketahui lebih tahan hidup di lapangan dibandingkan tanaman tak bermikoriza. Dengan demikian, dengan mempergunakan bibit yang secara genetis dan fisik baik, hal ini berarti pula menjamin keberhasilan regenerasi dan penanaman suatu tanaman. Penelitian silvikultur jenis merbau telah dimulai oleh Dress (1938). Walaupun telah lama dilakukan, namun sampai saat ini penguasaan pengetahuan silvikultur jenis ini masih belum memadai untuk dapat mendukung keinginan dalam mengembangkan hutan tanaman jenis merbau. Beberapa penelitian yang telah dilakukan belum menyentuh kebutuhan dasar untuk dapat memproduksi bibit bermutu dalam jumlah massal dan selalu tersedia setiap saat. Oleh karena itu, sangat diperlukan suatu penelitian yang mampu merangkum seluruh pengetahuan tentang teknik regenerasi merbau yang diarahkan untuk mendapatkan suatu paket
41 teknologi regenerasi dalam menghasilkan bibit merbau secara efisien, melalui teknik regenerasi reproduktif maupun teknik regenerasi vegetatif,. untuk menghasilkan bibit yang bermutu baik. Skenario pemecahan masalah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan menggabungkan pengembangan pengetahuan teknik regenerasi merbau secara efisien dengan pengetahuan pemanfaatan mikoriza untuk memperbaiki mutu bibit merbau. Pengembangan pengetahuan teknik regenerasi pada merbau meliputi teknik regenerasi secara reproduktif maupun secara vegetatif (menggunakan organ vegetatif). Pemikiran pemecahan masalah tersebut disajikan pada Gambar 7. Gap pengetahuan teknik regenerasi merbau secara generatif bagi pengembangan silvikultur jenis ini terletak pada pemahaman biologi dan perkecambahan biji merbau secara menyeluruh. Pemahaman karakter biji yang berhubungan dengan pemecahan dormansi biji merbau sangat diperlukan untuk dapat dijadikan landasan mendapatkan teknik perkecambahan yang efisien. Melalui telaah ini juga diharapkan akan mampu menghasilkan anakan atau bibit merbau dengan vigor yang tinggi dan keragaan yang relatif seragam. Pengetahuan teknik regenerasi merbau melalui stek, walaupun telah dilakukan oleh beberapa peneliti namun masih perlu pula dilakukan telaah yang lebih komprehensif, sehingga dapat diperoleh alternatif lain yang lebih baik. Demikian pula kemungkinan penggunaan teknik regenerasi secara in vitro pada merbau perlu dilakukan agar dapat melengkapi teknik regenerasi lainnya dalam mendukung penyediaan bibit secara massal. Di lain pihak, walaupun telah diketahui bahwa pohon merbau berasosiasi dengan fungi ektomikoriza, namun pengetahuan berkaitan dengan fungi tersebut maupun pemanfaatannya sampai saat ini belum berkembang. Padahal peran mikoriza terhadap pertumbuhan tanaman sangat signifikan dan telah banyak diterapkan dalam proses pembibitan untuk meningkatkan mutu bibit. Oleh karena
42 Permudaaan Hutan Dengan Jenis Merbau Pengembangan Pengetahuan Silvikultur Jenis Merbau (Metode Regenerasi) Tegakan Alam Merbau & Tanaman Merbau Persemaian Merbau
Survei Lapangan
Kendala Silvik Jenis Merbau (M Regeneras
3. Karakterisasi Morfologi EcM pada Merbau 4. Pembiakan Fungi EcM
Ketersedian Benih dan Bibit
Mikoriza
Biji
Baiting Metode
Metode Perkecambahan yang efisien 1. Biologi dan Perkecambahan Merbau
Anakan Merbau
5. Spesifisitas Merbau Sebagai tanaman inang fungi EcM
Bibit Bermikoriza
6. Stek Merbau Menggunakan ZPT & Mikoriza
7. Perbaikan Mutu Bibit Sapihan dengan Mikoriza
Bahan Stek/Eksplan
2. Stek Mikro Pucuk Merbau Secara In vitro
Gambar 7 Kerangka Pemecahan Masalah Penelitian. Garis terputus adalah kondisi saat ini, garis tak terputus adala pemecahan masalah dan angka 1-7 adalah topik penelitian.
43 itu, pengembangan pengetahuan tentang mikoriza pada merbau harus dilakukan, yang diawali dengan pengenalan EcM pada merbau, kemudian dilanjutkan dengan usaha untuk mendapatkan isolat fungi EcM secara in vitro. Isolat yang diperoleh dievaluasi efektivitasnya untuk meningkatkan mutu bibit merbau. Hasil yang diharapkan dari usaha tersebut adalah (1) dikenalinya fungi EcM yang berasosiasi dengan merbau; (2) dikenalinya karakter EcM yang terbentuk, dan (3) diperoleh biakan fungi EcM yang efektif untuk memacu pertumbuhan tanaman merbau. Hasil ini merupakan landasan bagi penelitian lanjutan lainnya, dan dapat digunakan untuk meningkatkan mutu bibit dari hasil regenerasi secara generatif maupun vegetatif. Melalui skenario tersebut, maka penelitian ini meliputi 7 topik sub penelitian yang saling terkait, yaitu (1) Biologi dan perkecambahan biji merbau; (2) Inisiasi stek mikro pucuk merbau secara in vitro; (3) Karakterisasi morfologi ektomikoriza pada Merbau; (4) Pembiakan fungi ektomikoriza sp. secara in vitro; (5) Spesifisitas tanaman merbau sebagai tanaman inang fungi EcM; (6) Perbanyakan merbau melalui stek dengan menggunakan ZPT dan fungi EcM; (7) Perbaikan mutu bibit sapih hasil stek merbau dengan menggunakan fungi EcM. Keseluruhan topik subpenelitian ini akan mengerucut pada tujuan akhir yaitu untuk mendapatkan bibit merbau yang bermutu (Gambar 7). Hipotesis Dari telaah pustaka maupun kerangka pemecahan masalah maka dapat diajukan beberapa hipotesis dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Ukuran benih dan perlakuan awal terhadap benih berpengaruh terhadap perkecambahan benih merbau 2. Pemberian sitokinin BAP, Auksin NAA, IBA pada beberapa tingkat konsentrasi berpengaruh dalam menginduksi terjadinya tunas secara in vitro pada tanaman merbau 3. Terdapat lebih dari satu jenis fungi EcM yang berasosiasi dengan merbau
44 4. Terdapat beberapa jenis fungi ektomikoriza yang mampu mengkolonisasi akar merbau dan efektif untuk meningkatkan pertumbuhan anakan merbau. 5. Pemberian ZPT IBA/NAA dan inokulasi fungi ektomikoriza berpengaruh terhadap keberhasilan stek berakar tanaman merbau 6. Inokulasi fungi ektomikoriza dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman merbau hasil regenerasi dengan biji maupun dengan stek. Daftar Pustaka Ainsworth AM. 1993. Isolation techniques for basidiomycetes. Technical Information Sheet No.11. UNESCO/WFCC-Education Commintee. [terhubung berkala]. http://www,wfcc.info/tis/info11.html [23 Apr 2005] Alexopoulos CJ. 1960. Introductory Mycology. New York: John Willey & Sons, Inc. Artheca 1995. Plant growth substances: Principles and applications. New York: Chapman and Hall. Boscagli A, Sette B. 2001. Seed germination enhancement in Saturaja Montana L.Ssp. Seed Sci Tech. 29:347-355. Brundrett M, Melville L, Peterson L (Eds). 1994. Practical Methods in Mycorrhiza Research. Guelph, Ontario: Mycologue Publications. Brundrett M, Bougher N, Dell B, Grove T, Malajezuk N, 1996. Working with Mycorrhizas in Forestry and Agriculture. Wembley, WA: Australian Center for International Agriculture Research (ACIAR). Brundrett M. 2004. Diversity and classification of mycorrhizal association. Bul.Rev. 79:473-495. Bryan DL, Lineberger RD, Watson WT, Hall CR, Arnold MA. 2002. Propagation of spineless wright acacias. SNA Research Conference 47:306-308. Carris
L. 2005. Isolating from basidiomycetes. [terhubung berkala]. http:www//classes.plantpath.wsu.edu/plp.521.html.[21 Feb 2005].
Chand S; Singh AK. 2001. Direct somatic embryogenesis from zygotic embryos of a timber-yielding leguminous tree, Hardwickia binnata. Curent Science 80(7):882-887. Copeland LO’ McDonald MB. 1994. Seed Science and Technology. 3rd Ed. New York: Chapman and Hall. Correia D, Graça MEC. 1995. In vitro propagation of black wattle (Acacia mearnsii De Wild.). IPEF 48/49:117-125.
45 Cripps CL. 2001. Mycorrhizal fungi of aspen forest: Natural occurrence and potential application. USDA Forest Service Proceedings RMRS-P-18:265298. Departemen Kehutanan. 2006. Data Base Jenis-Jenis Prioritas untuk Konservasi Genetik dan Pemuliaan. Jogjakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Dinas Kehutanan Irian Jaya. 1976. Mengenal Beberapa Jenis Kayu Irian Jaya. Jayapura: Dinas Kehutanan Irian Jaya. Dress EM. 1938. Kort overzicht der geslachten Intsia en Pahudia. Korte medeeling van het Boschbouwproefstation No.67. Gaba VP. 2005. Plant growth regulator in plant tissue culture and development. Di dalam: Trigiano RN, Gray DJ, editor. Plant Development and Biotechnology. Washington, DC: CRC Press. Hlm.87-99. Gay G, Bernillon J, Deboud JC. 1992. Comparative analysis of IAA production in ectomycorrhyzal, ericoid and saprophytic fungi in pure culture. Di dalam: Read DJ, Lewis DH, Fitter AH, Alexander IJ, editor. Mycorrhrizas in Ecosystem. Cambridge:CAB International. Hlm. 356-366. Giovanni P. 1985. MacDonald Encyclopedia of Mushrooms and Toadstolls. London: Macdonald & Co (Publisher) Ltd. Gray DJ. 2005. Propagation from non-meristematic tissue: Nonzygotic inoculation. Di dalam: Trigiano RN, Gray DJ, editor. Plant Development and Biotechnology. Washington, DC: CRC Press. Hlm. 187-200. Gunawan LW. 1992. Teknik Kultur Jaringan. Bogor: Pusat Antar Universitas Bioteknologi Institut Pertanian Bogor. Hartman HT, Kester DE, Davies FT, Geneve R. 2002. Plant Propagation: Principle and Practices. 7th Ed. New Yersey: Prentice-Hall International, Inc. Hamzah T. 2003. Respon pertumbuhan kultur pucuk merbau (Intsia bijuga OK) pada berbagai media dasar secara in vitro [skripsi]. Manokwari: Fakultas Kehutanan Universitas Negeri Papua. Heinonen-Tanski H, Holopainen T. 1991. Maintenance of ectomycorrhizal fungi. Di dalam: Norris JR, Read DJ, Varna AK, Editor. Methods in Microbiology. London: Academic Press. Hlm. 413 - 422. Jalani BL, Jalal I. 1991. Mycorrhiza in plant disease control. Di dalam: Arora DK, Rai B, Mukerji KG, editor. Handbooks of Applied Mycology. New York: Marcel Dekker, Inc. Hlm 131-154. Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. 2009. Harga patokan ekspor kayu naik [Terhubung berkala]. http://www.dephut.go.id. [6 November 2009]
46 Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. 2010. Statistik Kehutanan Indonesia Tahun 2008 [terhubung berkala]. http//www.dephut.go.id/files/ Statistik_Kehutanan_2008_BPK.pdf [9 Mei 2010]. Kjøller R, Bruns TD. 2002. Rhizopogon spore bank community within and among California pine forest. Mycologia 95(4):603-613. Kozlowski TT, Pallardy SG. 1996. Physiology of Woody Plants. San Diego, California: Academic Press. Landon A, Banko TJ. 2002. Factors affecting rooting of Vinea minor single-node cuttings. SNA Research Conferences 47:328-330. Machmud R. 2003. Kultur in vitro pucuk Intsia bijuga O.K. dengan penambahan zat pengatur tumbuh Naphthelena Acetic Acid (NAA) dan Kinetin [Skripsi]. Manokwari: Fakultas Kehutanan Universitas Negeri Papua. Mamun ANK et al. 2004. Micropropagation of woody legume (Albizzia lebbeck) through tissue culture. Pakistan J Biol Sci 7(7): 1099-1133. Mariska I, Hobir, Sukmajaya D. 1977. Penelitian kultur jaringan tanaman industry. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian XVI (2):37-42. Marx DH. 1969. The influence of ectotropic fungi on the resistance of pine roots to patogenic infection. I. Antagonisme of mycorrhizal fungi to root pathogenic fungi and soil bacteria. Phytopathology 59:153-163. Mohr H, Schopfer P. 1995. Plant Physiology. New York: Springer-Verlag Molina R, Trappe JM. 1984. Mycorrhiza management in bareroot nurseries. Di dalam: Duryea ML, Landis TD, editor.Forest Nursery Manual: Production of Bareroot Seedlings. Lancaster: Martinus Nijhoff/Dr. W. Junk Publisher. Hlm. 211-223. Murdjoko A. 2003. Pemecahan dormansi biji merbau (Intsia bijuga OK) pada berbagai waktu perendaman dalam asam sulfat (H2SO4) [Skripsi]. Manokwari: Fakultas Kehutanan Universitas Negeri Papua. Niemi K, Vuorinen T, Ernstsen A, Hâggman H. 2002. Ectomycorrhizal fungi and exogenauxin influence root and mycorrhiza formation of scot pine hipocotyl cuttings in vitro. Tree Physiol 22:1231-1239. Nugroho 1997. Litterfal and soil characteristics under plantation of five tree species in Irian Jaya. Science in New Guinea 23(1):17-26. Nurhasybi, Sudrajat DJ. 2009. Teknik penaburan benih merbau (Intsia bijuga) secara langsung di hutan penelitian Parung Panjang, Bogor. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 6(4): 209-217. Pedersen CT, Sylvia DM. 1996. Mycorrhiza ecological implication of plant interaction. Di dalam: Mukerji KG, editor. Concepts in Mycorrhizal Research. Nederland: Kluwer Academic Publisher. Hlm. 92-222.
47 Pierik RLM. 1999. In Vitro Cultur of Higher Plants. Dordrect: Martinus Nijhoff Publisher. Phillips GC, Hubstenberger JF, Hansen EE. 1995. Plant regeneration from callus and cell suspension cultures by somatic embryo. Di dalam: Gamborg OL, Phillips GC, editor. Plant Cell, Tissue and Organ Culture: Fundamental Methods. Berlin: Springer-Verlag. Hlm. 81-90 [PROSEA] Plant Resources of South-East Asia. 1994. Plant Resources of SouthEast Asia 5. Di dalam: Leummans RHMJ, Soerianegara, Editor. (1) Timber Trees: Major Commercial Timbers. Bogor: PROSEA PT. Hatfindo Prima. 1998. Soil and mycorrhiza research for reclamation planning in the PT. Freeport Indonesia area. Jakarta: PT. Freeport Indonesia. Pudjiono S, Mahfudz. 2007. Perbanyakan tanaman merbau dan upaya pengembangannya. Paper dipresentasikan pada Pertemuan Merbau tanggal 31 Juli 2007 di Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta. Quatrine P et al. 2003. Effect of native arbuscular mycorrhizal fungi and Glomus mosseae on acclimatization and development of micropropagated Citrus limon (L.) Burm. J Hort Sci and Biotechnol 78(1):39-45. Rizal A, Suripatty BA, Maai RR, Untarto TM. 1997. Pengaruh wadah dan waktu penyimpanan terhadap persen tumbuh stump merbau (Intsia bijuga OK) FORDA 2(2):12-19. Saeed S, Shaukat SS. 2000. Effect of seed size on germination, emergence, growth and seedling survival of Seena occidentalis Link. Pakistan J Biol Sci 3(21):292-295. Schmidt L. 2002. Pedoman Penanganan Benih Tanaman Hutan Tropis dan Subtropics 2000. Jakarta: Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, Departemen Kehutanan. Schwarz OJ, Sharma AR, Beaty RM. 2005. Propagation from non-meristematic tissue: organogenesis. Di dalam: Trigiano RN, Gray DJ, editor. Plant Dev Biotechnol. New York: CRC Press. Hlm. 159-171. Setiadi Y, Mansur I, Budi SW, Achmad. 1992. Mikrobiologi Tanah Hutan: Petunjuk Laboratorium. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor. Slankis V. 1973. Hormonal relationship in mycorrhizal development. Di dalam: Mark OC, Kozlowski TT, editor. Ectomycorrhizae: Their Ecology and Physiology. New York : Academic Press. Hlm. 231-298. Smith SE, Read DJ. 2008. Mycorrhizal Symbiosis. 3rd edition. New York: Academic Press.
48 Starrett MC, Blazich FA, Grand LP, Shafer SR. 1995. Response of seedlings of Highnush Blueberry to in vitro ericoid mycorrhizal inoculation. SNA Research Conference 40:266-267 Taiz L dan Zeiger E. 2002. Plant Physiology. Sunderland, MA: Sinauer Associates, Inc. Tamba T. 1992. Pengaruh lama perendaman biji kayu besi (Intsia bijuga OK.) terhadap perkecambahan pada biji yang telah dikikir. [Skripsi]. Manokwari: Universitas Cenderawasih. Tedersoo L, Suvi T, Beaver K, Kõljag U. 2007. Ectomycorrhizal fungi of the Seychelles: diversity patterns and host shifts from the native Vateriopsis seychellarum (Dipterocarpaceae) and Intsia bijuga (Caesalpiniaceae) to the introduced Eucalyptus robusta (Myrtaceae) but not Pinus caribeae (Pinaceae). New Phytol 175:321-333. Telapak, [EIA] International Investigation Agency. 2005. The Last Frontier: Illegal Logging in Papua and China’s Massive Timber Thief. Emerson Press. Thaman RR, Thomas LAJ, DeMeon R, Areki F, Elevich CR. 2004. Intsia bijuga (Vesi). Di dalam: Elevich CR, editor. Species Profile for Pacifics Islands Agroforestry.[Terhubung berkala]. http://www.traditional tree.org [25 Apr 2005]. Theilade I, Petri L. 2003. Conservation of Tropical Tree ex situ Through Storage and Use. Guidelines and Technical Notes No. 65. Humleback: Danida Forest Seed Center. Tokede MJ, Mambai BV, Pangkali LB, Mardiyadi Z. 2006. Persediaan Tegakan Alam dan Analisis Perdagangan Merbau. Jayapura: WWF Region Sahul Papua bekerjasama dengan Universitas Papua. Turjaman et al. 2006. Increase in early growth and nutrient uptake of Shorea seminis seedlings inoculated with two ectomycorrhizal fungi. J Trop For Sci 18 (4):243-249. [UNEP] United Nation Environment Programmes. 2005. Intsia bijuga. [Terhubung berkala]. http://www.Unep-WCMC.org/tress/trade/int-bij.htm. [22 Feb. 2005]. Untarto TM. 1998. Merbau Jenis Andalan yang Unggul (AYU) Irian Jaya. Informasi Teknis Balai Penelitian Kehutanan Manokwari No.5. Upadhaya K, Pandey HN, Law PS. 2007. The effect of seed mas on germination, seedling survival and growth in Prunus jenkinsii Hook.f.&Thoms. Turk J. Bot.31:31-36. Von Arnold S, Sabala I, Bozhkov P, Dyachok J, Filonova L. 2002. Developmental pathways of somatic embryogenesis. Plant Cell, Tissue and Organ Cult 69:233-249.
49 Wann SR. 1988. Somatic embryogenesis in woody species. Hort. Rev. 10:153181. Watimena GA et al. 1992 Bioteknologi Tanaman. Bogor: PAU-Bioteknologi IPB. Watling R, Lee SS, Turnbull E. 2002. The occurrence and distribution of putative ectomycorrhizal basidiomycetes in regenerating south-east asian rain forest. Di dalam: Watling R, Frankland AM, Isaac S, Robinson CH, editor. Tropical Mycology, Volume I: Macromycetes. New York: CABI Publishing. Hlm 25-53. Wong G. 2005. Introduction to fungi. [Terhubung berkala]. http:/www. botany.hawaii.edu/faculty/wong/Bot201/Myxomycota/intro.html.[20 April 2005]. Wulandari AS. 2002. Beberapa gatra biologi ektomikoriza Scleroderma pada melinjo. [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Wurzburger N, Bidartondo MI, Bledsoe CS. 2001. Characterization of Pinus ectomycorrhizas from mixes conifer and pygmy forest using morphotypying and molecular methods. Can J. Bot. 79:1211-1216.