Prosiding Tugas Akhir Semester Ganjil 2009/2010
OPTIMASI EKSTRAKSI ZAT WARNA PADA KAYU Intsia bijuga DENGAN METODE PELARUTAN Ufy Rahmana Indah*, Dr. rer. nat. Irmina Kris Murwani1, Dr. Didik Presetyoko, M. Sc2 Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember
ABSTRAK Intsia bijuga ialah kayu berkualitas tinggi (kelas II) pada sifatnya yang keras dan awet. Kegunaan penting dari kayu ini secara komersil adalah sebagai lantai. Bagaimanapun Intsia bijuga memiliki kandungan zat warna ekstraktif yang tinggi, salah satunya adalah tanin, sehingga perlu dikurangi. Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan pengaruh dari kondisi ekstraksi zat warna dan pembentukan senyawa kompleks besi-zat warna. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstraksi menghasilkan zat warna coklat pada pelarut metanol dengan absorbansi yang tinggi pada 444 nm. Penelitian ini juga mengamati efisiensi ekstraksi pada tiga kondisi: campuran metanol-air, pengadukan, dan temperatur. Campuran metanol-air menunjukkan hasil optimum pada metanol-air (80/20, v/v) dan dengan pengadukan dan temperatur 95 °C menghasil ekstraksi zat warna yang tinggi. Zat warna hasil ekstraksi diharapkan dapat digunakan dalam pewarnaan yang ditunjukkan dengan kemampuannya membentuk kompleks Fezat warna kayu. Senyawa kompleks yang terbentuk menghasilkan warna yang lebih gelap dan menunjukkan absorbansi maksimum pada 560 nm. Kata Kunci:
Intsia bijuga, zat warna kayu, ekstraksi, kompleks Fe-zat warna kayu
ABSTRAK Intsia bijuga is high quality wood (2nd class) in hard and lasting properties. The most important use of this wood commercially is in flooring, such as parquet. However, Intsia bijuga contains significant quantities of colour extractives, including soluble tannins, so it must be reduce. The aim of this study was to determine the effects of condition of colour extraction and syntesis to iron−colour extractives complex compound. Results showed that extraction yielded brown-coloured extracts in methanol solvent with high absorbance at 444 nm. This study also examined the extraction efficiencies of three conditions: methanol-water mixtures, stirring, and temperature. Methanol-water mixture was optimum in methanol-water (80/20, v/v). Whereas stirring and temperature at 95 °C yielded high coloured extracts. The brown-coloured extracts with a desirable colour was to be support pigmentation so this study tried to high quality pigmentation with Fe-coloured extract complex. This complex compound showed dark-colour and high absorbance at 560 nm. Kata Kunci:
Intsia bijuga, coloured wood extracts, extraction, Fe- coloured wood extracts complex
PENDAHULUAN Kayu merupakan bahan alami yang luas penggunaannya. Pemanfaatan kayu dalam suatu tujuan tertentu tergantung dari sifat-sifat kayu yang bersangkutan dan persyaratan teknis yang diperlukan sehingga penelitian mengenai kayu terus * Corresponding author Phone : 085 646 3993 12 e-mail:
[email protected] 1 Alamat sekarang : Jur Kimia, Fak. MIPA,Institut Teknologi 10 Nopember, Surabaya.
Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
ditingkatkan. Kualitas kayu terutama ditentukan oleh kekuatan dan keawetannya. Salah satu kayu yang memiliki kualitas yang baik adalah kayu Intsia bijuga tetapi ada satu hal yang perlu diperbaiki dari kayu tersebut yaitu zat warna alaminya yang dapat luntur sehingga perlu adanya peningkatan kualitas kayu dengan menurunkan tingkat kelunturan zat warna dari kayu tersebut.
Prosiding Tugas Akhir Semester Ganjil 2009/2010
Tsoumis (1991) menyatakan bahwa warna kayu disebabkan oleh bahan yang dapat diekstrak, seperti tanin dsb, sehingga dengan pelarutan tanin maka kelunturan pada kayu akan berkurang tetapi jika keseluruhan warna kayu hilang maka keindahan kayu akan berkurang. Hal yang sama terjadi pula ketika kayu direndam dalam kolam atau sungai. Pencegahan terhadap hal tersebut maka zat warna kayu yang berlebih diambil dengan metode pelarutan. Penelitian yang dilakukan Sungur dan Uzar (2008) menunjukkan bahwa Fe(III) dapat membentuk senyawa kompleks dengan asam tanat. Hasil penelitian tersebut juga menyatakan bahwa Fe(III) memiliki afinitas yang tinggi dalam pembentukan komplek dengan asam tanat dan ada beberapa logam lain yang memiliki afinitas yang cukup baik seperti Zn(II), Cu(II), dan Al(III). Dalam penelitian ini diharapkan Fe(III) mampu membentuk senyawa kompleks dengan zat warna kayu sehingga dapat mengatasi permasalahan pemucatan kayu karena zat warna kayu yang luntur. Intsia bijuga merupakan pohon penghasil kayu keras berkualitas tinggi dengan sifat yang kuat dan awet. Kayu ini memiliki kandungan zat warna yang ekstraktif yang dapat luntur sehingga akan mengganggu dalam penggunaannya sebagai lantai, mebel dan lainnya. Penelitian ini menentukan pelarut dan kondisi optimum untuk mengurangi zat warna ekstraktif dari kayu tersebut sehingga pelarutan zat warna kayu lebih efisien. Selain itu dalam penelitian ini juga dipelajari agar zat warna yang diperoleh dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku plitur dan pewarna tekstil.
METODOLOGI Alat dan Bahan Alat Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu peralatan sederhana dan instrumen. Peralatan sederhana yang dipakai adalah gelas piala, pipet, pipet ukur, gelas ukur, labu ukur, termometer, neraca analitik, hot plate dengan pengaduk magnetis, dan oven. Sedangkan peralatan instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Spektrofotometer UV-Vis dan Spektrofotometer FTIR. Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kayu Intsia bijuga, aquades, metanol taknis dan bahan kimia yang berkualitas p.a masing-masing: metanol, etanol, propanol, besi(III)klorida, asam asetat, natriumasetat, dan asam klorida. Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
Prosedur Kerja Penentuan Pelarut Tunggal untuk Ekstraksi Zat Warna Kayu Pada tahap ini dilakukan optimasi pelarut yang sesuai untuk ekstraksi zat warna kayu. Adapun pelarut yang digunakan adalah air, metanol, etanol, dan propanol. Langkah-langkah pada tahap ini sebagai berikut, kayu dipotong dengan dimensi yang sama kemudian dibersihkan dan ditimbang. Masingmasing kayu tersebut direndam didalam pelarut. Setelah perendaman, kayu dipisahkan dengan pelarutnya dan diamati warnanya secara visual maupun dengan spektrofotometer UV-Vis. Pengukuran menggunakan spektrofotometer UV-Vis dilakukan dengan mengamati panjang gelombang maksimum pada panjang gelombang (400-700)nm. Absorbansi yang paling tinggi menunjukkan pelarut yang paling sesuai. Penentuan Komposisi Optimum untuk Ekstraksi Zat Warna Kayu dengan Pelarut Metanol-Air Bedasarkan pada hasil yang diperoleh maka dilakukan variasi campuran pelarut yang memiliki absorbansi tertinggi. Pada tahap ini pelarut yang dipilih berdasarkan langkah 3.2.1 yaitu pelarut air dan metanol. Untuk optimasi komposisi dilakukan dengan perbandingan metanol:air(v/v) 50:50; 60:40; 70:30; 80:20; 90:10; dan 100:0. Dengan cara yang sama pada tahap 3.2.1 kayu direndam dalam masing-masing pelarut dengan perbandingan tersebut. Setelah perendaman, kayu dipisahkan dengan pelarutnya kemudian dianalasis dengan spektrofotometer UV-Vis dengan blanko masing-masing pelarut. Pengukuran absorbansi dilakukan pada panjang gelombang yang telah didapat pada tahap penentuan pelarut. Penentuan Pengaruh Pengadukan untuk Ekstraksi Zat Warna Kayu Kayu diperlakukan sesuai dengan prosedur sebelumnya kemudian direndam pada pelarut metanol. Ekstraksi yang dilakukan yaitu ekstraksi dengan metanol p.a tanpa pengadukan, metanol taknis tanpa pengadukan, metanol p.a dengan pengadukan dan metanol teknis dengan pengadukan. Dengan keempat perlakuan yang berbeda tersebut maka dapat ditentukan kondisi optimum dalam ekstraksi yang berhubungan dengan pengadukan dan kemurnian pelarut. Selain itu ekstraksi ini dilakukan dengan variasi waktu yaitu 1, 2, 3, dan 4 jam sehingga dapat diketahui pengaruh waktu terhadap
Prosiding Tugas Akhir Semester Ganjil 2009/2010
hasil ekstraksi. Tiap-tiap perlakuan diamati dengan mengukur absorbansinya dengan spektrofotometer UV-Vis. Penentuan Pengaruh Temperatur untuk Ekstraksi Zat Warna Kayu Pelarut yang digunakan pada tahap ini adalah air. Variasi temperatur yang digunakan adalah 40, 50, 60, 70, 80, 90, dan 95 ºC. Seperti prosedur sebelumnya, kayu setelah ekstraksi dipisahkan dengan pelarutnya kemudian larutan ekstraksi diukur absorbansinya dengan spektrofotometer UV-Vis. Pembentukan Senyawa Kompleks Fe-Zat Warna Kayu Hasil ekstraksi dengan metanol dikeringkan sehingga didapatkan padatan hasil ekstraksi. Padatan ini dilarutkan kembali dengan metanol yang telah ditambahkan bufer asetat pH 4. Dibuat pula larutan FeCl3 dengan konsentrasi 1,16 x 10-3 M dalam pelarut HCl 0,1 M. Larutan FeCl3 diambil 1 mL dan dimasukkan ke labu ukur 10 mL kemudian ditambahkan larutan zat warna kayu 1 mL lalu diencerkan dengan metanol hingga batas. Untuk menghasilkan variasi mol maka dibuat beberapa larutan kompleks dengan penambahan jumlah zat warna kayu yang berbeda 1; 1,5; 2; 2,5; 3; 4; 5; 6; 7; dan 8 mL. Selain itu dilakukan pula variasi rasio Fe:zat warna kayu yang variabel tetapnya adalah mol zat warna kayu. Variasi jumlah larutan Fe yang ditambahkan yaitu 0,1; 0,3; 0,5; 0,8; dan 1 mL. Tiap-tiap larutan kompleks diukur absorbansinya dengan spektrofotometer UV-Vis pada daerah panjang gelombang 450-700 nm
pada 444 nm. Marete (2009) juga menggunakan spektrofotometer UV-Vis untuk menganalisis pewarnaan dari ekstrak Tanacetum parthenium yaitu pada panjang gelombang 430 nm. Hasil analisis baik dengan spektrofotometer UV-Vis (Gambar 4.1) maupun secara visual (Gambar 4.3) memperlihatkan hasil yang bersesuaian. Hal ini ditandai dengan semakin tinggi absorbansi maka semakin tajam warna larutannya yang berarti bahwa semakin banyak zat warna yang terekstrak kedalam pelarut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa antara air, metanol, etanol, dan propanol yang mampu melarutkan zat warna yang paling banyak adalah metanol. Hasil analisis ini ditunjukkan dengan absorbansi tertinggi dari larutan hasil ekstraksi zat warna kayu. Kemampuan pelarutan dari masingmasing pelarut secara berurutan adalah metanol> air> etanol> propanol. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Al-Farsi dan Lee (2008) yang melakukan ekstraksi senyawa fenolat dari biji kurma dengan variasi pelarut yaitu: air, metanol, etanol, dan aseton. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa pelarut yang mampu mengekstrak paling banyak adalah metanol dan hasil paling rendah adalah ekstraksi dengan aseton. Adanya perpindahan zat warna dari kayu ke pelarut maka terjadi pengurangan massa. Hasil perhitungan pengurangan massa (Gambar 4.2) memperlihatkan bahwa pengurangan massa terbesar terjadi pada ekstraksi dengan pelarut metanol yang berarti bahwa pada pelarut tersebut terjadi pelarutan zat warna yang paling banyak dibanding dengan pelarut yang lain. 0.30
HASIL DAN PEMBAHASAN Penentuan Pelarut Tunggal untuk Ekstraksi Zat Warna Kayu Penentuan pelarut ini dilakukan untuk mengetahui pelarut yang paling sesuai untuk ekstraksi zat warna kayu. Pengukuran dengan spektrofotometer UV-Vis menunjukkan bahwa zat warna kayu memiliki panjang gelombang maksimum Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
0.25 absorbansi (a.u)
Identifikasi Senyawa dengan Spektrofotometer Inframerah Larutan hasil ekstraksi pada pelarut yang paling sesuai yang didapatkan pada tahap 3.2.1 dan larutan senyawa kompleks dikeringkan. Padatan yang diperoleh diambil sedikit dan digerus bersama dengan KBr kemudian dimasukkan ke sample holder. Padatan tersebut diukur spektranya dengan spektrofotometer FTIR.
0.20 0.15 0.10 0.05 air
metanol
etanol
propanol
pelarut
Gambar 4.1 Absorbansi dari Larutan Hasil Ekstraksi dengan Variasi Pelarut
Prosiding Tugas Akhir Semester Ganjil 2009/2010
0.6 0.4 0.2 0.0 air
metanol
etanol
propanol
pelarut
Gambar 4.2 Pengurangan massa (%) dari Kayu setelah Diekstrak dengan Variasi Pelarut Pengurangan massa (%) menunjukkan bahwa ekstraksi dengan air mengalami pengurangan yang massa lebih kecil daripada ekstraksi dengan etanol dan propanol. Sedangkan hasil pengukuran absorbansi dan gambar visual menunjukkan bahwa air mampu mengekstrak lebih banyak daripada etanol dan propanol. Hal ini disebabkan oleh air yang masih tertinggal di padatan kayu. Sedangkan pada ekstraksi yang menggunakan etanol dan propanol, pelarutnya segera menguap setelah ekstraksi sehingga penguran massa menunjukkan hasil yang lebih besar. Dalam ekstraksi, polaritas dari pelarut memainkan peran yang penting. Polaritas molekul dari pelarut ditentukan oleh memen dipolnya. Memen dipole dari air, metanol, dan etanol secara berurutan adalah 1,87; 1,70; dan 1,69 Debye (Markom, dkk, 2007). Momen dipole merupakan ukuran pemisahan muatan dalam molekul (Oxtoby, 2001), sehingga semakin besar momen dipolenya makin besar pula pemisahan mutannya sehingga dikatakan lebih polar. Pada penelitian ini metanol merupakan pelarut yang paling baik untuk ekstraksi zat warna kayu. Hal ini menunjukkan bahwa kemungkinan besar polaritas metanol adalah yang paling mendekati polaritas zat warna kayu. Hal ini sesuai dengan hukum kelarutan like dissolve like, artinya kelarutan akan terjadi bila memiliki sifat kepolaran yang sama. Penentuan Komposisi Optimum untuk Ekstraksi Zat Warna Kayu dengan Pelarut Metanol-Air Metanol merupakan pelarut yang dapat melarutkan metabolit-metabolit sekunder di dalam tumbuhan (Pradipta, 2004). Senyawa metabolit dengan sifat yang bermacam-macam memungkinkan tidak seluruhnya larut dalam metanol, yang ditandai Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
0.9
1.00
0.8
0.95
0.7 0.90 0.6 0.85 0.5
pengurangan massa (%)
0.8
absorbansi (a.u)
pengurangan massa (%)
1.0
dengan melarutnya zat warna kayu ketika digunakan pada lantai, mebel, dll. Oleh sebab itu dibuat variasi komposisi antara metanol dan air. Selain itu kombinasi pelarut metanol – air diantaranya merupakan sistem pelarut yang direkomendasikan pada isolasi flavonoid (Harborne, 1987). Hasil analisis baik pengukuran absorbansi dengan spektrofotometer UV-Vis maupun perhitungan pengurangan massa kayu pada Gambar 4.4 menunjukkan bahwa ekstraksi zat warna kayu dengan variasi komposisi pelarut memberikan hasil optimum pada rasio metanol-air 80%. Hasil analisis ini sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Garcia dkk (2007) untuk ekstraksi polifenolat menggunakan pelarut metanol yang dikombinasikan dengan air yaitu 0; 30; 60; 70; 80; 90; dan 99 %. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa semakin besar konsentrasi metanol semakin besar polifenolat yang terekstrak. Begitu pula dengan penelitian Fuentealba dkk (2008) yang melakukan ekstraksi senyawa fenolat dari Betula papyrifera Marsh. menggunakan pelarut campuran metanol/air (80/20, v/v). Gambar 4.4 memperlihatkan pula bahwa hasil pengukuran absorbansi dan pengurangan massa kayu pada ekstraksi dengan komposisi pelarut metanol-air kurang dari 80% memberikan hasil yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh air yang masih tertinggal di padatan kayu. Sedangkan pada konsentrasi metanol yang lebih tinggi, metanol dapat dengan mudah menguap setelah ekstraksi sehingga penguran massa menunjukkan hasil yang lebih besar.
0.80
0.4 0.3
0.75 50
60
70
80
90
100
Rasio Metanol-air (%)
Gambar 4.3 Kurva Absorbansi dari Larutan Hasil Ekstraksi dengan Variasi Rasio Metanol-air (%) dan Pengurangan Massa (%) dari Kayu setelah Diekstrak dengan Variasi Metanolair (%)
Prosiding Tugas Akhir Semester Ganjil 2009/2010
1.2
absorbansi (a.u)
1.0 0.8 0.6
Analisis juga dilakukan pada perubahan massa kayu. Massa kayu setelah ekstraksi menunjukkan hasil yang lebih rendah daripada awalnya. Pada Gambar 4.7 terlihat bahwa pengurangan massa terbesar pada ekstraksi menggunakan metanol p.a dengan pengadukan. Dan jika dibandingkan antara pengukuran absorbansi dengan perhitungan pengurangan massa kayu maka metanol teknis terjadi pengurangan massa yang lebih besar untuk tingkat absorbansi yang lebih rendah jika dibandingkan dengan metanol p.a. Hal ini menunjukkan kemungkinan adanya zat lain yang terekstrak dengan metanol teknis. Selain pengaruh pengadukan dan kemurnian pelarut, dalam penelitian ini juga mengamati pengaruh waktu perendaman terhadap hasil ekstraksi zat warna kayu. Hasil pengamatan memperlihatkan bahwa semakin lama perendaman menunjukkan semakin banyak zat yang terekstrak. Ekstraksi dengan pelarut metanol teknis menunjukkan waktu optimum saat perendaman selama 3 jam. Seperti terlihat pada Gambar 4.6, setelah 3 jam kurva cenderung melandai. Sedangkan untuk metanol p.a masih menunjukkan peningkatan.
pengurangan massa (%)
Penentuan Pengaruh Pengadukan untuk Ekstraksi Zat Warna Kayu Pengamatan dilakukan dengan mengunakan pelarut metanol yang merupakan pelarut yang paling baik untuk melarutkan zat warna kayu. Dari pengamatan ini dapat diketahui perbadingan antara perlakuan dengan pengadukan dan tanpa pengadukan serta dapat diketahui pula perbandingan antara pelarut metanol p.a dan metanol teknis. Pengadukan membantu dalam proses distribusi zat warna secara homogen dari kayu kedalam pelarut. Zat warna kayu yang terdistribusi secara merata kedalam pelarut menyebabkan tranfer massa lebih mudah terjadi sehingga dengan pengadukan dapat mempercepat ekstraksi zat warna kayu. Hal ini ditunjukkan dengan hasil analisis dengan spektrofometer UV-Vis (Gambar 4.6) yang memperlihatkan bahwa diantara pengamatan yang dilakukan, ekstraksi zat warna kayu dengan pengadukan memberikan absorbansi yang lebih tinggi dan hasil optimum didapatkan pada ekstraksi menggunakan metanol p.a dengan pengadukan. Dan bila dibandingkan antara metanol p.a dan teknis yang mampu melarutkan lebih banyak adalah metanol p.a. Hal ini terjadi karena pada metanol teknis masih terdapat pengotor sehingga dapat menghalangi dalam proses ekstraksi. Metanol p.a juga menunjukkan absorbansi yang terus meningkat sedangkan untuk metanol teknis tanpa pengadukan dan dengan pengadukan menunjukkan adanya kecenderungan melandai.
2.8 2.6 2.4 2.2 2.0 1.8 1.6 1.4 1.2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
3.5
waktu (jam)
0.4 0.2 1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
3.5
waktu (jam)
Gambar 4.4 Kurva Absorbansi dari Larutan Hasil Ekstraksi dengan Metanol Teknis Tanpa Pengadukan (-♦ ♦ -); Metanol p.a Tanpa Pengadukan (-••-); Metanol Teknis dengan Pengadukan (-◊ ◊-);dan Metanol p.a dengan pengadukan (-ο ο-)
Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
Gambar 4.5 Kurva Pengurangan Massa (%) dari Kayu setelah Ekstraksi yang membandingkan antara: Metanol Teknis Tanpa Pengadukan (-♦ ♦-); Metanol p.a Tanpa Pengadukan (-••-); Metanol Teknis dengan Pengadukan (-◊ ◊-); dan Metanol p.a dengan pengadukan (-ο ο-) Pengaruh Temperatur Warna Kayu
untuk
Ekstraksi
Zat
Prosiding Tugas Akhir Semester Ganjil 2009/2010
Penentuan pengaruh temperatur ini dilakukan pengamatan baik secara spektrofotometri maupun perubahan massa setelah ekstraksi seperti terlihat pada Gambar 4.5. Hasil pengukuran absorbansi dan pengurangan massa tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi temperatur yang digunakan maka semakin tinggi pula hasil ekstraksi yang didapatkan. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Silva dkk (2007) yang menyatakan bahwa ekstraksi polifenol meningkat bersamaan dengan meningkatnya temperatur. Begitupula dengan ekstraksi fenolat yang dilakukan Rangsriwong dkk (2009) yang hasilnya menunjukkan bahwa jumlah fenolat yang terekstrak meningkat dengan meningkatnya temperatur. Ia menyatakan bahwa hal tersebut karena peningkatan temperatur mengakibatkan penurunan polaritas dari air serta menyebabkan peningkatan transfer massa. Analisis secara visual pada Gambar 4.9 menunjukkan penampakan warna dari masingmasing larutan hasil ekstraksi. Dari gambar tersebut terlihat bahwa semakin tinggi temperatur yang digunakan dalam ekstraksi maka warna dari larutan semakin pekat yang menunjukkan bahwa semakin banyak zat warna kayu yang terekstrak ke dalam larutan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Marete (2009) mengenai pengaruh temperatur terhadap ekstraksi dari Tanacetum parthenium yang menunjukkan bahwa ekstraksi pada temperatur 20-70 °C menghasilkan warna coklat gelap dengan konsentrasi total fenol yang rendah dan total tanin (tanin terkondensasi dan tanin terhidrolisis) yang tinggi. 2.0
absorbansi (a.u)
1.6
1.8
(b)
1.4 (a)
1.2
1.6
1.0
1.4
0.8
1.2
0.6
pengurangan massa (%)
2.0
1.8
1.0
0.4 0.8
0.2 40
50
60
70
80
90
100
o
temperatur C
Gambar 4.6 Kurva Absorbansi dari (a) Larutan Hasil Ekstraksi dan (b) Pengurangan Massa dari Kayu setelah Ekstraksi dengan Variasi Temperatur Temperatur merupakan besaran termodinamika yang menunjukkan besarnya energi rata-rata molekul sehingga semakin tinggi temperatur maka semakin banyak tanin yang dapat terekstrak Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
karena kontak antara pelarut dan bahan yang diekstrak semakin besar. Selain itu pada ekstraksi fenolat dari biji kurma yang dilakukan oleh Shi dkk (2003) dalam (Al-Farzi dan Lee, 2008), pemanasan dapat menurunkan interaksi jaringan tanaman dan memperlemah interaksi fenol-protein dan fenol polisakarida sehingga lebih banyak senyawa fenolat yang terdistribusi kedalam pelarut. Senyawa Kompleks Fe-Zat Warna Kayu Zat warna yang diekstrak dari kayu menyebabkan warna kayu menjadi memucat sehingga untuk mengatasi hal ini diperlukan suatu zat yang dapat dimasukkan ke kayu. Dalam hal ini FeCl3 dapat membentuk persenyawaan dengan zat warna kayu sehingga persenyawaan ini nantinya dapat digunakan sebagai pengganti zat warna kayu dengan warna yang stabil, selain itu dapat digunakan sebagai bahan baku plitur dan perwarna tekstil. Teknik pewarnaan dengan pembentukan senyawa kompleks dapat menghasilkan pewarnaan yang stabil, hal ini disebabkan oleh terbentuknya ikatan antara serat−logam−zat warna (Fessenden dan Fessenden, 1986). Salah satu metode yang dapat digunakan dalam penentuan pengaruh konsentrasi dalam pembuatan senyawa kompleks adalah metode rasio mol. Metode ini dilakukan dengan membuat variasi mol dari ligan terhadap logam dengan jumlah mol tertentu (Sawyer, dkk, 1984). Hasil penerapan metode rasio mol dengan spektrofotometri UV-Vis seperti pada Gambar 4.9 menunjukkan panjang gelombang maksimum pada 560 nm untuk senyawa baru dan 444 nm untuk zat warna kayu. Perubahan panjang gelombang ini merupakan salah satu indikasi terbentukknya senyawa kompleks Fe-zat warna kayu. Dalam laporan Marete (2009) dinyatakan bahwa ekstraksi zat warna dari Tanacetum parthenium memiliki tanin sebagai komposisi terbesarnya yang menghasilkan warna coklat sehingga kemungkinan besar senyawa kompleks yang terbentuk pada tahap ini adalah Fe-tanin. Hasil penelitian pada tahap ini sesuai dengan beberapa penelitian lain, yakni hasil penelitian yang dilakukan Khokhar dan Apenten (2003) menunujukkan bahwa ikatan antara asam tanat dan besi memiliki efisiensi 100% dengan absorbansi maksimum dari kompleks Fe-tanin pada 560 nm (South, 1998 dan Iffat, 2005).
Prosiding Tugas Akhir Semester Ganjil 2009/2010
0.12 (a)
(b)
0.10 0.08 absorbansi (a.u)
absorbansi (a.u)
0.4
0.2
0.06 0.04 0.02
0.0
0.00 400
450
500
550
600
650
700
panjang gelombang (nm)
Gambar 4.7 Kurva Panjang Gelombang dari (a) Zat Warna Kayu dan (b) Senyawa Kompleks Fe-Zat Warna Kayu Selain perubahan panjang gelombang maksimum, terbentuknya senyawa kompleks Fe-zat warna kayu ditandai dengan adanya perubahan warna yang dapat dilihat pada Gambar 4.10. Pada konsentrasi tanin yang sama, dengan penambahan Fe terjadi perubahan warna menjadi lebih tajam. Tanin (terhidrolisis tanin) mengandung beberapa odihidroksi dan cincin aromatik trihidroksi (polihidroksi polifenol) yang mampu membentuk kelat dengan ion logam. Kompleks ion logam dengan tanin membentuk kelat dengan enam ligan oktahedral (Liang, dkk, 2008).
Gambar 4.8 Penampakan Warna dari (a) Zat Warna Kayu dan (b) Kompleks Fe-Zat Warna Kayu
Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Fe (mL)
Gambar 4.9 Kurva Absorbansi dari Senyawa Kompleks Fe-Zat Warna Kayu dengan Variasi Mol Fe Pengukuran absorbansi untuk senyawa kompleks Fe-zat warna kayu dengan variasi mol Fe terhadap zat warna kayu (Gambar 4.11) memperlihatkan bahwa hasil optimum ditunjukkan pada titik 0,147 mL FeCl3 dan dengan asumsi bahwa tanin yang didapatkan adalah tanin murni maka secara perhitungan didapatkan perbandingan FeCl3:tanin (1:6,8). Hal ini menunjukkan bahwa senyawa kompleks yang terbentuk kemungkinan memiliki geometri oktahedral. Identifikasi Senyawa dengan Spektrofotometer Inframerah Hasil analisis dengan spektrofotometer FTIR untuk zat warna kayu dan kompleks zat warna kayu terlihat pada Gambar 4.14. Spektra inframerah pada gambar tersebut menunjukkan bahwa terdapat beberapa puncak yang menunjukkan bahwa senyawa yang terdapat dalam padatan hasil ekstraksi memiliki serapan pada 3354 cm−1 yang menunjukkan adanya ulur dari OH dan 1036 cm−1 menunjukkan tekukan OH dalam bidang. Adanya serapan pada 2932 cm−1 menunjukkan adanya C−H ulur dan 1450 cm−1 yang menunjukkan C−H tekuk aromatik dan didukung oleh serapan pada 1618 cm−1 dan 1512 cm−1 yang menunjukkan ikatan C=C konjugasi dan cincin C−C ulur. Selain itu juga terdapat serapan pada 1709 cm−1 yang menunjukkan adanya C=O ulur.
Prosiding Tugas Akhir Semester Ganjil 2009/2010
6. Teman- teman angkatan 2005 dan seperjuangan tugas akhir serta sahabat-sahabat tercinta atas bantuan, semangat dan kerjasamanya. 7. Pihak- pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
transmitan (%)
100 90 80 (a)
70
DAFTAR PUSTAKA
60 50 40 4000
(b)
3500
3000
2500
2000
1500
1000
500
bilangan gelom bang (cm -1 )
Gambar 4.10 Spektra Inframerah dari (a) Padatan Zat Warna Kayu Hasil Ekstraksi dan (b) Kompleks FeZat Warna Kayu Spektra inframerah untuk senyawa kompleks Fe-zat warna kayu menunjukkan munculnya puncak-puncak baru antara bilangan gelombang 750 dan 400 cm-1 yaitu pada 630 cm-1 yang menunjukkan vibrasi Fe−O (Gotic dan Music, 2007) Hasil analisis ini merupakan salah satu indikasi kemungkinan besar terbentuknya senyawa kompeks Fe-zat warna kayu selain perubahan panjang gelombang maksimum dan perubahan warna.
KESIMPULAN Berdasarkan pada hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa pelarut yang menunjukkan absorbansi terbesar untuk ekstraksi zat warna kayu adalah pelarut metanol p.a dengan pengadukan. Zat warna yang diperoleh dengan ekstraksi dari kayu Intsia bijuga dapat membentuk senyawa kompleks Fe-zat warna dan menghasilkan perubahan warna menjadi lebih tajam.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Dr. rer. nat. Irmina Kris Murwani dan Dr. Didik Prasetyoko, M. Sc selaku dosen pembimbing yang telah memberikan waktu, arahan, pemahaman dan segala diskusi serta semua ilmu yang bermanfaat selama penyusunan tugas akhir, 2. Dra. Yulfi Zetra M.S. selaku koordinator tugas akhir dan sekaligus dosen wali, 3. Dra. Ratna Ediati, MS., Ph.D. selaku dosen pembahas, 4. Dra. Ita Ulfin,M.Si selaku dosen pembahas, 5. Orang tua tercinta dan seluruh keluarga atas segala doa dan dukungannya baik berupa material maupun spiritual, Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
Al-Farsi, M.A., dan Lee, C.Y, (2008) ” Optimization of phenolics and dietary fibre extraction from date seeds”, Food Chemistry, 108, 977–985 Alizar, (2004), “Teknologi Bahan dan Konstruksi”, Pusat Pengembangan Bahan Ajar, Bandung Basolo, F. dan Johnson, R.C., (1964), “Coordination Chemistry”, W. A. Benjamin, Inc, New York Bauch, J., 1984, ”Discoloration in the Wood of Living and Cut Trees”, IAWA Bulletin, 5, 92-98 Cotton, F.A. dan Wilkinson, G., 1976, “Basic Inorganic Chemistry”, John Willey and Sons Inc, New York Day, F.A., dan Underwood, A.L., (1993), “Analisa Kimia Kuantitatif”, edisi keempat, Erlangga, Jakarta Fengel, D., Wegener, G., (1995), “Kayu: Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-reaksi”, Gajah Mada University Press, Yogyakarta Fessenden, R.J., dan Fessenden, J.S., (1986), “Kimia Organik”, Erlangga, Jakarta Fuentealba, D., dkk, (2008), “Characterisation of Birch (Betula papyrifera Marsh.) wood discoloration during drying”, International Convention of Society of Wood Science and Technology, WS. 01, 1-7 Garcia, B.A., (2007), “Optimization and Validation of a Methodology Based on Solvent Extraction and Liquid Chromatography for the Simultaneous Determination of Several Polyphenolic Families in Fruit Juices”, Journal of Chromatography A, 1154, 87–96 Gotic, M., dan Music, S., (2007), “Mossbauer, FT-IR and FE SEM investigation of iron oxides precipitated from FeSO4 solutions”, Journal of Molecular Structure, 834–836, 445–453 Harborne, J.B., (1987), “Metode Fitokimia”, Penerbit ITB, Bandung, Hardjosudirdjo, W., (1991), “Kimia Organik untuk Universitas”, FMIPA UGM, Yogyakarta
Prosiding Tugas Akhir Semester Ganjil 2009/2010
Harvey, K.B. dan Porter, G.B., (1963), “ Physical Inorganic Chemistry”, Addison-Wesley Publishing Company Inc, London Iffat, A.T., dkk, (2005), “Study of Complex Formation of Fe(III) with Tannic Acid”, Jour.Chem.Soc.Pak, 27/2, 174-177 Koch, G., (2008), ”Discoloration of Wood in the Living Tree and During Processing”, Conference Cost, E53, 29-30 Khokhar, S. dan Apenten, R.K.O., (2003), “Iron Binding Characteristics of Phenolic Compounds: Some Tentative Structure– Activity Relations”, Food Chemistry, 81, 133–140
Pradipta, I.S., dkk, (2004), “Isolasi dan Identifikasi Senyawa Golongan Xanton dari Kulit Buah Manggis ( Garcinia mangostana L.)”, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta Rangsriwong, P., dkk, (2009), “Subcritical Water Extraction of Polyphenolic Compounds from Terminalia chebula Retz. Fruits”, Sawyer, D.T., dkk, (1984), “Chemistry Experiments for Instrumental Methods”, John Wiley & Sons Inc, New York Silva, E.M., dkk, (2007), “Optimization of Extraction of Phenolics from Inga edulis Leaves Using Response Surface Methodology”, Separation and Purification Technology, 55, 381–387
Liang, D., dkk, (2008), “Behavior of Tannins in Germanium Recovery by Tannin Process”, Hydrometallurgy, 93, 140-142
Skoog,
Marete, E.N., dkk, (2009), “Effects of extraction temperature on the phenolic and parthenolide contents, and colour of aqueous feverfew (Tanacetum parthenium) extracts”, Food Chemistry, 117, 226–231
South, P. K., dan Miller, D.D., (1998), “Iron Binding by Tannic Acid: Effects of Select Ligan”, J Food Chem., 63, 167-172
Markom, (2007), “Extraction of Hydrolysable Tannins from Phyllanthus niruri Linn.: Effects of Solvents and Extraction Methods”, J. Separation and Purification Technology, 52, 487-496 Martawidjaya, A., (1988), “Cacat Warna pada Kayu Jati Akibat Pengeringan Buatan”, Duta Rimba (XIV), 101-102 Mohan, J., (2002), “Organic Spektroscopy, Principles and Application”, Narosa Publishing House, New Delhi Nenden, S.Z., dkk, (2007), “Penentuan Indeks Kepedasan, Indeks Pengembangan, dan Kadar Tanin dalam Simplisia”, Laboratorium Farmakognosi Analitik ITB, Bandung Othmer, K., (1978), “Encyclopedia of Chemical Technology”, Edisi ketiga, . 13, John Willey and Sons, Inc. New York Oxtoby, David W., (2001), “Prinsip-prinsip Kimia Modern”, Erlangga, Jakarta Pavia, D.L., dan Krits, J.R., (1995), “Organic Laboratory Techniques”, Saunders College Publishing, New York,
Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
D.A., dkk, (1996), “Fundamentals of Analitical Chemistry”, Saunders College Publishing, New York
Suka, I.G., (2006), “Fungsionalisasi Film Polietilen dengan Polimer Peka Suhu dengan Metoda Fotografting”, Jurnal Kimia Indonesia, 1 (2), 7-12 Sungur, S., dan Uzar, A., (2008), ” Investigation of complexes tannic acid and myricetin with Fe(III)”, Spectrochimica Acta, 69, 225-229 Thomas, M., (1996), “Ultraviolet and Visible Spectroscopy”, John Willey and Sons, Inc., Ukraina Tsoumis, G., (1991), “Science and Technology of Wood: Structure, Properties, Utilization”, Van Nostrand Reinhold, New York Tong, P.S., dkk, (2009), “Review of Trade in Merbau from Major Range States”, Traffic Southeast Asia, Selangor Vogel, (1985), “Analisis Anorganik Kualitatif Makro Dan Semimikro”, PT Kalman Media Pustaka, Jakarta