KARAKTERISASI MORFOLOGI EKTOMIKORIZA PADA Merbau [Intsia bijuga (Colebr.) O. Kuntze]. Abstrak Merbau [Intsia bijuga (Colebr.) O. Kuntze] merupakan salah satu pohon penghasil kayu berharga di Asia Tenggara yang diketahui berasosiasi dengan fungi ektomikoriza (EcM). Identifikasi mikoriza sangat penting dilakukan sebagai suatu landasan untuk penelitian lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk menelaah fungi EcM yang berasosiasi dengan merbau, mempergunakan karakter morfologi sporokarp dan morfotipe EcM. Karakter morfologi sporokarp dan morfotipe EcM yang diperoleh dari tegakan merbau dari hutan tanaman, hutan alam maupun persemaian dibandingkan dengan hasil karakterisasi yang diperoleh dari baiting method. Hanya satu jenis fungi ektomikoriza yang berasosiasi dan membentuk mikoriza dengan merbau, yang belum pernah dideskripsikan sebelumnya. Jenis fungi ini membentuk percabangan monopodial pinate. Jenis fungi ini diidentifikasi termasuk dalam genus Scleroderma. Fungi ini diidentifikasi termasuk dalam genus Scleroderma. Sporokarp fungi ini sering dijumpai tumbuh pada anakan dibandingkan pada tegakan dewasa merbau. Kata kunci: Merbau [Intsia bijuga (Colebr.) O. Kuntze], Scleroderma, morfologi karakterisasi, ektomikoriza, spora, morfotipe Abstract Merbau [Intsia bijuga (Colebr.) O. Kuntze] is one of valuable timber tree species in South-East Asia which has been known having ectomycorrhizae (EcM) though being ignored. Identification of the ectomycorrizae is prime important for being basis of further studies. The aim of the study was to investigate the EcM fungi associated with merbau by using both sporocarp morphology and EcM morphotypes. Morphological characters of sporocarps of the fungi and EcM morphotypes obtained from seedlings and trees from natural and plantation stands of merbau, as well as from nurseries were compared to the description of those resulted from baiting method. Only one species of ectomycorrhizal fungus was found associated with merbau which has not been described yet. The fungus formed mycorrhizae with monopodial pinnate branching. The fungus was identified belonging to the genus of Scleroderma. The fungus sporocarps were more common to occur beneath merbau seedlings than trees. Keywords: Merbau [Intsia bijuga (Colebr.) O. Kuntze], Scleroderma, morphology
characterization, ectomycorrhyza, spore, morphotype
86 Pendahuluan Latar Belakang Merbau [Intsia bijuga (Colebr.) O. Kuntze] merupakan tanaman legum yang tergolong dalam famili Fabaceae, subfamily Caesalpinioideae. Jenis pohon ini merupakan jenis yang dominan di hutan alam dataran rendah tropika di Provinsi Papua dan Papua Barat. Jenis ini merupakan salah satu jenis penghasil kayu berharga di Asia Tenggara dan merupakan target utama dalam produksi kayu komersial (PROSEA 1994; Thaman et al. 2004,). Merbau diketahui membentuk asosiasi dengan fungi ektomikoriza (EcM). Walau asosiasi demikian telah lama diketahui sejak lama (Wattling et al. 2002; Smith and Read 2008), tetapi telaah secara komprehensif terhadap EcM pada merbau sangat sedikit mendapat perhatian. Di lain pihak, identifikasi fungi EcM sangat penting dilakukan untuk dijadikan landasan bagi penelitian lebih lanjut. Fungi EcM dapat diidentifikasi berdasarkan morfologi sporocarp (Brundett et al. 1996), morfotipe dari EcM (Agerer 2006), dan dengan metode biologi molekular (Smith and Read 2008). Metode biologi molekular, walau dianggap sebagai metode identifikasi yang memberikan hasil akurat, namun metode identifikasi klasik berdasarkan pada karakter morfologi dan morfotipe masih tetap dianggap metode yang lebih praktis untuk digunakan di lapangan. Baru-baru ini Tedersoo et al. (2007) menemukan 15 species fungi EcM yang berasosiasi dengan merbau di tegakan alam merbau di pulau Seycheles dengan menggunakan metode sekuensi DNA dari unjung akar bermikoriza, tetapi tanpa menyertakan deskripsi morfologi. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menelaah fungi EcM yang berasosiasi dengan merbau dengan menggunakan karakter morfologi dari sporokarp dan EcM morfotipe. Hasil yang diperoleh dapat melengkapi pengetahuan tentang morfologi dari fungi dan EcM pada merbau sebagai landasan untuk penelitian selanjutnya.
87 Bahan dan Metode Lokasi Penelitian. Lokasi penelitian terletak di Kabupaten Manokwari, Provinsi Papua Barat, secara geografi terletak pada koordinat 133o58’60”- 134o04’03”BT, dan 0o46’05”0o50’38”LS. Daerah ini meliputi hutan pantai dan hutan dataran rendah yang berada pada daerah pantai hingga daerah berbukit dengan ketinggian 0-110 m dpl. Tegakan merbau di daerah ini dijumpai dalam kelompok dan tumbuh berasosiasi dengan jenis vegetasi lainnya seperti Pometia pinnata J.R. Forster & J.G. Forster, Calophyllum inophyllum L. and Palaquium amboinense Burck. Tanah di hutan pantai berupa tanah berpasir sedangkan di hutan dataran rendah berupa tanah yang berasal dari pelapukan bahan batuan berkapur. Di daerah ini terdapat beberapa tegakan tanaman dalam skala kecil dan beberapa persemaian merbau tidak permanen. Tanaman merbau berumur 50 tahun dengan jarak tanam 4 x 5 m. Lokasi penelitian lain berada pada persemaian tanaman kehutanan di Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat yang secara geografis terletak pada koordinat 106o43’30”BT and 06o33’15”LS, dengan jenis tanah aluvial. Survei Lapangan dan Baiting Method. Survei lapangan dilakukan dengan melakukan kunjungan lapangan sebanyak tiga kali dalam rentang waktu antara bulan Desember 2006 hingga Maret 2007 untuk mengumpulkan sporokarp, ujung akar bermikoriza, cabutan alam (wildling) maupun tanah dari bawah tegakan merbau. Setiap sporokarp yang ditemukan
difoto,
dideskripsi
ukuran
dan
warnanya
dan
selanjutnya
o
dikeringovenkan pada suhu 50 C selama 24 jam dan disimpan dalam suhu kamar. Contoh tanah diambil dengan cara menggali tanah disekitar pohon hingga kedalaman 20 cm mengikuti sistem perakaran merbau. Contoh akar diambil bersama tanah untuk meminimalkan kerusakan pada ujung akar bermikoriza, dimasukkan ke dalam plastik, selanjutnya dibawa ke laboratorium dan disimpan dalam refrigerator pada suhu 4oC hingga saat dipergunakan. Baiting method dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh sporokarp fungi EcM yang berasosiasi dengan anakan merbau dan EcM yang terbentuk oleh
88 karena asosiasi tersebut. Anakan dan cabutan alam yang digunakan dalam baiting method mempunyai tinggi 20-50 cm (berumur sekitar 4-8 bulan) yang diperoleh saat survei lapangan, selanjutnya ditanam dalam polibag berukuran 15 x 20 cm, berisi tanah asal dari bawah tegakan merbau. Tanaman dipelihara di rumah kaca. Sprorokarp dan EcM yang dihasilkan, dideskripsi dan dibandingkan dengan hasil deskripsi sporokarp dan EcM yang ditemukan di hutan alam, tanaman maupun persemaian. Karakterisasi Morfologi dan Anatomi Ektomikoriza. Spesimen segar hasil koleksi survei lapangan dibawa ke laboratorium. Karakter utama dideskripsikan berdasarkan morfologi sporocarp dan basidiospore dengan
menggunakan
mata
telanjang
maupun
mikroskop
yang
sering
membutuhkan pembesaran hingga 100x. Warna, ukuran dan bentuk dari seluruh karakter mikroskopik diperoleh dengan merendam dalam 3% KOH, 70% Et.OH dan pereaksi Melzer’s. Basidiospora juga diamati dengan menggunakan scanning electronic microscope (SEM). Seluruh karakter makroskopik dan mikroskopik digunakan dalam determinasi dan identifikasi dengan cara membandingkannya dengan beberapa referensi (Giovanni 1985; Rifai 1987; Largent & Baroni 1988; Sim et al. 1995; Brundrett et al. 1996; Keizer 1998; Kuo 2004; Chen 2006; Sanon et al. 2009). Ujung akar bermikoriza difiksasi dalam FAA (5% Formalin, 5% asam asetat, and 90% alkohol) selama 24 jam, selanjutnya dipotong melintang untuk diamati mikorizanya di bawah mikroskop untuk telaah morfotipe mengikuti metode Agerer (2006). Hasil dan Pembahasan Hasil Penelitian Identifikasi berdasarkan karakter morfologi sporocarp dan basidiospora dari specimen yang dikoleksi dari bawah tegakan alam, tanaman maupun persemaian merbau dan dengan pemeriksaan secara teliti sistem perakaran tanaman merbau dan miselia dari fungi yang ditemukan, disamping pula konsistensi kejadian suatu jenis fungi ditemukan di lapangan, maka dapat disimpulkan bahwa hanya satu
89 jenis fungi yaitu Sleroderma sp. yang membentuk ektomikoriza dengan merbau. Sprorocarp jenis fungi ini sangat umum ditemukan pada sistem perakaran anakan merbau daripada tanaman merbau dewasa. Melalui baiting method, anakan cabutan liar yang ditanam dalam waktu 812 bulan berhasil memproduksi sporocarp di media pembibitan di dalam rumah kaca. Karakter sporocarp dan morfotipe ECM dari hasil baiting method identik dengan fungi dan EcM yang ditemukan di lapangan. Scleroderma
sp.
merupakan
anggota
dari
Basidiomycota,
famili
Sclerodermataceae. Jenis fungi ini memiliki basidioma: epigenous, globose, yang pada saat dewasa dapat mencapai diameter 0,66 ± 0,17 cm, dengan permukaan halus, berwarna putih krem hingga putih kecoklatan. Peridium: kaku, sederhana, tebal 0,2 – 1,0 mm, berwarna putih kekuningan. Potongan basidioma segar menghasilkan eksudat warna kuning dalam Et.OH. Gleba: kekuningan coklat terang saat muda dan coklat gelap saat matang, tanpa columella tetapi memiliki external basal pad. Sambungan apit (Clamp connection): ada. Badiospora: coklat pucat dalam pereaksi Melzer’s and KOH, globose dengan ornamentasi reticulate, diameter 8-10 μm (Gambar 16). EcM memiliki mantel tebal (12- 25 μm), permukaan kasar dan berwarna putih krem, monopodial pinnate atau dengan percabangan sederhana pada bagian EcM muda, tetapi menjadi irregular pinnate pada bagian dasar dari EcM tua, terkadang akar bermikoriza saling menjalin dengan rapatnya. Ujung akar bermikoriza dilapisi ayaman miselium yang rapat. Struktur mantel terdiri atas satu lapis jaringan pseudoparenchymatous. Hartig net berkembang dengan baik pada lapisan epidermal (Gambar 17). Pembahasan Berdasarkan karakter morfologi dari sporokarp dan basidiokarp dijumpai satu jenis fungi EcM yang berasosiasi dengan merbau tergolong dalam genus Scleroderma. Dari hasil perbandingan karakter morfologi jenis-jenis Scleroderma yang dideskripsikan oleh Sims et al. (1995), Rifai (1987), Kuo (2004), Chen (2006) dan Sanon et al. (2009) tidak terdapat kemiripan karakter dengan jenis
90 Scleroderma yang ada, walaupun dari ciri basidiospora mendekati ciri dari Scleroderma dictyosporum. Lebih lanjut, berdasarkan perbandingan karakter sporokarp, basidiokarp dan EcM yang dihasilkan melalui baiting method dan contoh yang diperoleh dari lapangan menguatkan kesimpulan bahwa hanya satu jenis Scleroderma yang membentuk asosiasi ektomikoriza dengan anakan merbau.
Gambar 16. Scleroderma sp (a) sporokarp berbentuk globose hingga tak beraturan; (b) potongan memanjang dari sporocarp memperlihatkan peridium berwarna putih kekuningan mengandung massa spora berwarna coklat terang kekuningan; (c) sporokarp dewasa; dengan massa spora berwarna coklat (d) basidiospora di lihat dengan mikroskop dan (e) basidiospora menampakkan ornamentasi retikulat di bawah Scanning electron microscope; (f) sambungan apit
91
Gambar 17. Ektomikoriza pada merbau [Intsia bijuga (Colebr.) O. Kuntze]. (a) sistem akar bermikoriza merbau dengan percabangan monopodial pinnate; (b) ujung akar bermikoriza merbau di bawah Scanning electron microscope (SEM) dengan ayaman miselia yang rapat, (c) potongan melintang dari asosiasi ektomikoriza Scleroderma sp pada merbau, menunjukkan mantel yang tebal; (d) morfotipe dari mantel, menunjukkan tipe jaringan mantel yang pseudoparenchymatous. M=matel, HN=hartig net, E=sel epidermis, C=sel kortek, En=Sel Endodermis Penggunaan karakter morfologi basidiokarp dari fungi EcM untuk identifikasi sering terkendala oleh variabilitas dari beberapa karakter tersebut (Wurzburger et al. 2001; Nouhra et al. 2005). Seperti warna basidiokarp dari Scleroderma sp. dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan seperti intensitas cahaya, paparan terhadap cahaya dan komposisi serasah (Way et al. 1995). Saat musim hujan warna basidiokarp cenderung lebih terang, mendekati warna putih dibandingkan putih krem yang umum dijumpai. Demikian pula ukuran basidiokarp dipengaruhi oleh tempat tumbuh. Identifikasi berdasarkan anatomi dan morfologi EcM dianggap sebagai komplemen dari metode identifikasi
92 berdasarkan anatomi dan morfologi sporokarp, walaupun dapat pula memberikan hasil yang kontradiksi (Wurzburger et al. 2001; Nouhra et al. 2005). EcM yang dibentuk oleh fungi yang berbeda pada tanaman inang yang sama , atau oleh jenis fungi yang sama pada tanaman inang yang berbeda dapat memberikan penampakan struktural yang berbeda pula (Dames et al. 1999), seperti dijumpai pada EcM dari genera Tuber (Giomaro et al. 2000). Bagaimanapun kedua pendekatan deskripsi pada fungi maupun EcM yang terbentuk dalam penelitian ini dapat digunakan sebagai alat identifikasi awal di lapangan sebelum dilakukan analisis molecular. Oleh karena itu, telaah lebih lanjut terhadap status taksonomi jenis fungi ini dengan menggunakan sekuensi DNA masih diperlukan untuk memastikan apakah fungi ini merupakan jenis baru. Ketepatan identifikasi dalam pemberian nama fungi dan juga EcM sangat penting untuk dijadikan dasar bagi penelitian lebih lanjut. (Brundrett et al. 1996; Dames et al. 1999). Tedersoo et al. (2007) menggunakan sekuensi DNA dari ujung akar bermikoriza merbau memperoleh 15 jenis fungi, dan diantaranya terdapat 2 jenis Scleroderma, yang berasosiasi membentuk EcM dengan merbau. Jika semua jenis fungi yang diidentifikasi Tendersoo et al. (2007) berasosiasi dengan merbau benar membentuk ektomikoriza, dan juga dengan kenyataan bahwa merbau tumbuh baik di hutan primer maupun sekunder dengan jenis tanah yang beragam (PROSEA, 1994), ini mengindikasikan bahwa penemuan jenis fungi EcM yang berbeda masih memungkinkan. Diduga Scleroderma sp. lebih berperan sebagai early stage mycorrhizae daripada late stage mycorrhizae, karena tubuh buah jenis fungi ini lebih sering dijumpai tumbuh di bawah anakan merbau dibandingkan pada tegakan tua. Dengan demikian, ini berarti pula bahwa jenis fungi EcM lain kemungkinan dapat menggantikannya saat tanaman merbau tumbuh dewasa. Dinamika komunitas fungi EcM merupakan kejadian yang umum di alam, seperti adanya perbedaan komunitas fungi EcM pada tingkat umur yang berbeda dari tanaman Quecus rubra L (Gebhardt et al. 2007), dan adanya penurunan kelimpahan taksonomi fungi EcM saat ketersediaan N dalam tanah meningkat (Lilleskov et al. 2002).
93 Kenyataannya jenis fungi yang berasosiasi dengan merbau dapat saling tumpang tindih dengan jenis fungi dari tanaman inang lain (Tedersoo et al. 2007). Simpulan Ditemukan satu jenis fungi EcM yang berasosiasi dengan merbau [Intsia bijuga (Colebr.) O. Kutze] yaitu Scleroderma sp. Jenis fungi ini banyak dijumpai pada anakan merbau dibandingkan pada tegakan dewasa sehingga diduga lebih cenderung berperan sebagai early stage mycorrhiza. Ektomikoriza yang terbentuk memiliki percabangan monopodial pinnate, berwarna putih krem dengan mantel tebal (12- 25 μm), berstruktur pseudoparenchymatous yang terdiri dari satu lapisan jaringan. Daftar Pustaka Agerer R. 2006. Fungal relationships and structural identity of their ectomycorrhizae. Mycol Progress 5:67-107. Brundrett M., Bougher N, Dell B, Grove T, Malajczuk N. 1996. Working with Mycorrhizas in Forestry and Agriculture. Wembley, WA: Australian Centre for International Agriculture Research (ACIAR), Chen YL. 2006. Optimization of Scleroderma spore inoculum for Eucalyptus nurseries in south China [Thesis] Pert: Murdoch University. Dames JF, Straker CJ, Scholes MC. 1999. Ecological and anatomical characterization of some Pinus patula ectomycorrhizas from Mpumalanga, South Africa. Mycorrhiza 9:9-24. Gebhardt S, Neubert K, Wöllecke J, Münzenberger B, Hüttl RF. 2007. Ectomycorrhiza communities of red oak (Quercus rubra L.) of different age in the Lusatian lignite mining district, East Germany. Mycorrhiza 17:279-290. Giomaro G et al. 2000. Anatomycal and morphological characterization of mycorrhizas of five strains of Tuber borchii Vittad. Mycorrhiza 10:107114. Giovanni P. 1985. MacDonald Encyclopedia of Mushrooms and Toadstolls. London: Macdonald & Co (Publisher), Ltd. Keizer GJ. 1998. The Complete Encyclopedia of Mushrooms. Lisse: Rebo Publisher.
94 Kuo M. 2004. The genus Scleroderma. Retrived from the MushroomExpert.com Web site: http://www.mushroomexpert.com/scleroderma.html [April 21, 2006]. Largent DL, Baroni TJ. 1988. How to Identify Mushrooms to Genus I-VI. Mad Eureka, C.A: River Press, Inc. Lilleskov E, Fahey TJ, Horton TR, Lovett GM. 2002. Bellowground ecomycorrhizal fungal community change over nitrogen deposition gradient in Alaska. Ecology 83(1):104-115. Nouhra ER, Horion TR, Cazares E, Castellano M. 2005. Morphological and molecular characterization of selected Ramaria mycorrhizae. Mycorrhiza 15:55-59. [PROSEA] Plant Resources of South-East Asia. 1994. Plant Resources of SouthEast Asia 5. Di dalam: Leummans RHMJ dan Soerianegara, Editor. (1) Timber Trees: Major Commercial Timbers. Bogor: PROSEA. Rifai MA. 1987. Malesian Scleroderma (Gasteromycetes). Trans. Mycol. Soc. Japan 28:97. Sanon KB, Bâ AM, Delaruelle C, Duponnois R, Martin F. 2009. Morphological and molecular analysis in Scleroderma species associated with some caesalpinioid legumes, dipterocarpaceae and phyllanthaceae trees in southern Burkina Fasso. Mycorrhiza 19: 571-584. Sims KP, Watling R, Jeffries P. 1995. A revised key to the genus Scleroderma. Mycotaxon 56: 403-420. Smith SE, Read DJ. 2008. Mycorrhizal symbiosis. New York: Academic Press. Tedersoo L, Suvi T, Beaver K, Kõljag U. 2007. Ectomycorrhizal fungi of the Seychelles: diversity patterns and host shifts from the native Vateriopsis seychellarum (Dipterocarpaceae) and Intsia bijuga (Caesalpiniaceae) to the introduced Eucalyptus robusta (Myrtaceae) but not Pinus caribeae (Pinaceae). New Phytol 175:321-333. Thaman RR, Thomas LAJ, DeMeon R, Areki F, Elevich CR. 2004. Intsia bijuga (Vesi). Di dalam: Elevich CR (ed). Species Profile for Pacifics Islands Agroforestry. Retrived from http://www.traditional tree.org [25 Apr 2005]. Watling R, Lee SS, Turnbull E. 2002. The occurrence and distribution of putative ectomycorrhizal basidiomycetes in regenerating south-east asian rain forest. Di dalam: Watling R, Frankland AM, Isaac S dan Robinson CH, editor. Tropical Mycology, Volume I: Macromycetes. New York: CABI Publishing. Hlm..25-53. Way Y, Sinclair L, Hall IR, Cole ALJ. 1995. Boletus eduli Semen Lato: a new record for New Zealand. NZ J Crop Hort Sci.23:227-231 Wurzburger N, Bidartondo MI, Bledsoe CS. 2001. Characterization of Pinus ectomycorrhizas from mixes conifer and pygmy forest using morphotypying and molecular methods. Can J. Bot. 79:1211-1216