Prosiding Skripsi Semester Ganjil 2009/2010
SK - 44
PENINGKATAN KUALITAS KAYU Intsia bijuga DENGAN ADSORPSI SENYAWA KOMPLEKS Fe-SCN Lilik Umaniyah*, Dr. rer. nat. Irmina Kris Murwani1, Dr. Didik Prasetyoko, M. Sc2 Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember
ABSTRAK Intsia bijuga merupakan pohon penghasil kayu keras dengan sifat kuat dan awet. Intsia bijuga memiliki nilai jual yang tinggi dalam hal flooring, misalnya parket. Akan tetapi, Intsia bijuga memiliki zat ekstraktif yang dapat terlarut dalam air, misalnya tannin, sehingga penampilan kayu menjadi kurang menarik. Penelitian ini dilakukan untuk mencegah pelunturan zat warna kayu sehingga kualitas kayu meningkat. Pada penelitian ini digunakan kompleks Fe-SCN untuk menghambat terjadinya perubahan warna kayu jika terkena air. Kompleks Fe-SCN diukur dengan spektrofotomeri UV-Vis dalam kondisi asam yang menyerap sinar pada panjang gelombang maksimum 470 nm, dengan kondisi optimum berada pada pH 4, dan kompleks Fe-SCN yang dihasilkan dengan metode variasi kontinu adalah 1:6 [Fe(SCN)6]3−. Kayu Intsia bijuga direndam dengan larutan kompleks Fe-SCN (1:6) selama 10 jam. Kayu mengalami penurunan absorbansi sebesar 24,7%, berat kayu bertambah sebanyak 3,0383 g, warna kayu bertambah gelap, dan berat jenis menjadi 0,97 g/cm3 sehingga kualitas kayu setelah dilakukan adsorpsi dengan kompleks Fe-SCN meningkat dari kelas II (kuat) menjadi kelas I (sangat kuat). Kata kunci : Besi, Tiosianat, Intsia bijuga, Adsorpsi, Spektrofotometer.
ABSTRACT Intsia bijuga is a hard wood with strong and long lasting properties. The most important use of Intsia bijuga commercially is in flooring, such as parquet. However, Intsia bijuga contains significant quantities of watersoluble extractives, including soluble tannins, this degrades the wood performance. The objectives of this research was to prevent soluble extractives running from the wood into the water so that quality of Intsia bijuga would be improved. In this study, Fe-SCN complex compound was used to treated the wood.the Fe-SCN complex was measured using UV-Vis spectrometry in acid condition at maximum wavelength of 470 nm. At optimum condition of pH4, the mol ratio of resulted Fe-SCN complex determined by continous variation methods was 1:6 [Fe(SCN)6]3−. Intsia bijuga was treated with Fe-SCN (1:6) complex compound adsorption method as long as 10 h. The results showed that the absorbance was decreased at 24,7%, the mass of Intsia bijuga was increased at 3,0383 g, the wood surface was slightly darkened, and the density of wood was 0,97 g/cm3 so the quality of Intsia bijuga increased from 2nd class (strong) to 1st class (stronger). Keywords : Iron, Thiocyanate, Intsia bijuga, Adsorption, Spectrophotometric.
Pendahuluan Kayu merupakan salah satu jenis komoditi hasil hutan yang banyak dimanfaatkan oleh manusia untuk berbagai keperluan, mulai dari bahan yang sederhana (korek api) sampai kepada bahan yang mempunyai nilai jual tinggi (furniture, bahan interior kapal dan rumah serta bahan bangunan). *Corresponding author. Phone:+6285746146151 e-mail:
[email protected] 1 2
Alamat sekarang: Jurusan Kimia, FMIPA ITS Surabaya Alamat sekarang: Jurusan Kimia, FMIPA ITS Surabaya
Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
Intsia bijuga adalah sejenis pohon penghasil kayu keras berkualitas tinggi anggota suku Fabaceae (Leguminosae). Kayu ini memiliki sifat yang kuat dan awet sehingga telah banyak penggunaanya seperti pada pembuatan tiang dan bantalan di bangunan rumah maupun jembatan, lantai parket (parquet flooring), papan-papan dan panel, serta mebel. Kayu ini memiliki potensi yang sangat bagus ke depan maka kayu jenis Intsia bijuga dapat ditingkatkan kualitasnya. Fenomena inilah yang mendorong upaya untung meningkatkan kualitas kayu. Faktor-faktor yang mempengaruhi kekuatan kayu diantaranya faktor biologis (mikroorganisme yang menyerang kayu), kadar air,
berat jenis kayu. Faktor-faktor tersebut pada dasarnya dimanipulasi sehingga upaya pencegahan gangguan kekuatan kayu dapat dipertahankan, misalnya upaya pengawetan dengan zat kimia, pengeringan dan manipulasi percepatan tumbuh. Susunan kimia kayu dapat digunakan untuk identifikasi kekuatan sesuatu jenis kayu terhadap serangga atau jamur perusak. Usaha mencegah kerusakan kayu dari serangan organism perusak kayu adalah dengan menggunakan kayu yang awet dan mampu bertahan terhadap serangan organisme perusak kayu dalam jangka waktu yang sangat lama karena kandungan ekstraktifnya (Haygreen dan Bowyer 1982) atau dengan pengawetan sebelum kayu digunakan. Warna alami kayu dapat berubah dengan cepat karena beberapa sebab, baik oleh zat ekstraktif yang terkandung didalamnya maupun oleh pengaruh dari luar kayu tersebut. Perubahan warna ini bisa mengakibatkan cacat warna (diskolorasi) pada kayu. Kollman et al (1952) dalam Martawijaya (1988) mengemukakan lima faktor penyebab terjadinya pewarnaan tersebut, yaitu: pengaruh suhu dan kelembaban, adanya proses oksidasi, pengendapan zat warna pada permukaan kayu, pengaruh organisme dan kontak dengan logam. Kayu Intsia bijuga merupakan pohon penghasil kayu keras berkualitas tinggi dengan sifat yang kuat dan awet sehingga memiliki potensi nilai jual yang tinggi. Dari keunggulan tersebut, ada satu kelemahan kayu Intsia bijuga yaitu warna dari kayu dapat larut dalam air sehingga terjadi perubahan warna yang disebabkan oleh kandungan ekstraktifnya (tannin dan lignin). Fenomena perubahan warna dapat mengurangi kualitas kayu tersebut. Pada penelitian ini akan diterapkan cara mengurangi kelunturan zat warna kayu dengan penggantian zat warna menggunakan senyawa kimia yang memiliki warna menyerupai zat warna kayu. Dalam hal ini di pilih kompleks Fe-SCN yang memiliki warna merah yang dapat digunakan untuk menggantikan warna alami kayu, sekaligus dapat meningkatkan kualitas kayu (keawetan dan kekuatan). Metodologi Penelitian Peralatan dan Bahan Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu peralatan sederhana dan instrumen. Peralatan sederhana yang dipakai adalah gelas piala, pipet tetes, gelas ukur, pipet ukur, labu ukur, botol vial, spatula, propipet, botol semprot, pengaduk magnet, kaca arloji ,kuvet, botol timbang, oven dan neraca analitis. Sedangkan peralatan instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Spektrofotometer UV-Vis dan Spektrofotometer FTIR. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kayu Intsia bijuga, aquades, bahan kimia yang berkualitas p.a masing-masing: Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
FeCl3.6H2O, KSCN, HNO3, CH3COOH.
CH3COONa, dan
Pembuatan Larutan Stok Fe(III) 100 ppm Larutan Fe(III) 100 ppm diperoleh dengan cara melarutkan 0,0483 g FeCl3.6H2O dengan aquades hingga volume 100 mL. Pembuatan Larutan Stok KSCN 1000 ppm Larutan KSCN 1000 ppm dibuat dengan melarutkan 0,1673 g KSCN dengan aquades hingga volume 100 mL. Pembuatan Larutan Buffer Asetat pH 4 Larutan buffer asetat pH 4 dibuat dengan cara melarutkan 1,2546 g CH3COONa.3H2O dan 5 mL CH3COOH 99,8% (Ka=1,75.10-5) dengan aqudes hingga volume larutan mencapai 100 mL. Penentuan λmax dan Penetuan pH Optimum Kompleks Fe-SCN Larutan standar Fe(III) 100 ppm sebanyak 0,5 mL dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL, ditambah 1,5 mL larutan KSCN 1000 ppm, 1 mL larutan HNO3 pekat, 1,5 mL larutan buffer asetat pH 4, kemudian diencerkan dengan aquades hingga tanda batas. Campuran tersebut dikocok dan didiamkan selama 5 menit, lalu diukur absorbansinya pada panjang gelombang 410-500 nm dengan interval 10 nm menggunakan Spektrofotometer UV-Vis. Penentuan pH optimum dilakukan dengan cara, larutan standar Fe(III) 100 ppm sebanyak 0,5 mL dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL, ditambah 1,5 mL larutan KSCN 1000 ppm, 1 mL larutan HNO3 pekat, 1,5 mL larutan buffer asetat pH (3,0; 3,5; 4,0; 4,5; 5,0), kemudian diencerkan dengan aquades hingga volumenya 10 mL. Campuran tersebut dikocok dan didiamkan selama 5 Larutan FeCl3 (mL) Larutan KSCN (mL) 1,0 9,0 1,5 8,5 2,0 8,0 3,0 7,0 5,0 5,0 7,0 3,0 9,0 1,0 menit, lalu diukur absorbansinya pada panjang gelombang 410-500 nm dengan interval 10 nm menggunakan Spektrofotometer UV-Vis. Penentuan Rumus Senyawa Kompleks Fe-SCN Larutan standar Fe(III) 0,01 M dimasukkan ke dalam labu ukur 50 mL, ditambah 1,5 mL larutan KSCN 0,01 M, 5 mL larutan HNO3 pekat, 7,5 mL larutan buffer asetat pH 4, kemudian diencerkan dengan aquades hingga tanda batas. Campuran tersebut dikocok dan didiamkan selama 5 menit, lalu diukur absorbansinya pada panjang gelombang maksimum. Komposisi larutan besi dan KSCN yang digunakan adalah sebagai berikut:
3+
Adsorpsi Logam Fe dalam Bentuk Kompleks Fe-SCN pada Kayu Intsia bijuga Kayu Intsia bijuga yang telah diekstrak zat warnanya menggunakan metanol:air 80 % ditimbang beratnya terlebih dahulu dengan neraca analitis hingga beratnya konstan. Kayu Intsia bijuga yang telah diekstrak zat warnanya direndam dalam larutan 0,01 M Fe:SCN (1:6) sampai kayu terendam seluruhnya. Absorbansi larutan diukur tiap 2 jam selama 10 jam. Pengukuran absorbansi dengan cara mengambil larutan sampel sebanyak 5 mL dan diukur pada panjang gelombang maksimum yang diperoleh dari prosedur 3.2.4. Kayu Intsia bijuga yang telah direndam, selanjutnya dikeringkan dalam oven pada suhu 100 °C. Kayu yang sudah kering ditimbang menggunakan neraca analitis hingga beratnya konstan, kemudian dihitung perubahan berat dan berat jenis kayu Intsia bijuga. Hasil dan Pembahasan Penentuan Panjang Gelombang Maksimum dan pH Optimum Analisis dengan spektrofotometri UV-Vis diawali dengan penentuan panjang gelombang maksimum (λmax). Hal ini sangat penting dilakukan dalam analisis secara spektrofotometri UV-Vis karena pada panjang gelombang maksimum dihasilkan absorbansi tertinggi yang menunjukkan kepekaan suatu pengukuran sehingga dapat digunakan untuk analisis suatu larutan dengan konsentrasi rendah. Penggunaan larutan HNO3 bertujuan agar kompleks yang terbentuk stabil. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Noroozifar, dkk (2004) yang menyatakan bahwa kompleks Fe-SCN stabil dalam larutan asam nitrat. Penentuan panjang gelombang maksimum pada penelitian ini dilakukan pada kisaran panjang gelombang 410-500 nm. Hal ini dikarenakan warna komplementer yang dihasilkan oleh senyawa kompleks berwarna merah yang menyerap sinar pada daerah tampak (visibel). Penetuan panjang gelombang maksimum dilakukan untuk memperoleh sensitivitas maksimum. Karena pada λmax itulah dapat diketahui adanya perubahan absorbansi yang tinggi pada tiap konsentrasi (Skoog, 1991). Hasil penentuan panjang gelombang maksimum tertera pada gambar berikut:
Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
0.24 0.22 0.20
Absorbansi (a.u)
Karakterisasi Kompleks Fe-SCN dengan Spektrofotometer FTIR Kompleks Fe-SCN yang telah terbentuk dengan perbandingan 1:6 dikeringkan dalam oven pada suhu 100 °C dan ditimbang hingga beratnya konstan, kemudian dianalisis menggunakan Spektrofotometer FTIR.
0.18 0.16 0.14 0.12 0.10 0.08 400
420
440
460
480
500
Panjang Gelombang (nm)
Gambar 1. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Pada penentuan panjang gelombang maksimum terjadi pergeseran ke panjang gelombang yang lebih panjang (bathokromik). Hal ini disebabkan oleh adanya perpanjangan konjugasi atau ikatan jenuh berselang-seling dengan ikatan tunggal yang berpengaruh pada penyerapan sinar. Senyawa kompleks Fe-SCN terbentuk optimum pada panjang gelombang 470 nm, dimana pada panjang gelombang tersebut diperoleh absorbansi yang maksimum pula. Hasil pengukuran tersebut juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Demirhan, (2003) yang menyatakan bahwa warna merah kompleks Fe dengan beberapa ligan berkisar antara 470-520 nm. Panjang gelombang itulah yang kemudian digunakan sebagai dasar pengukuran selanjutnya, karena pada panjang gelombang 470 nm memberikan kepekaan analisis yang maksimum sehingga dihasilkan kesalahan yang kecil. Meski telah ditambah larutan asam nitrat, penambahan buffer asetat bertujuan untuk menyangga pH larutan kompleks Fe-SCN. Menurut Hach, dkk (1970), penggunaan larutan buffer selain bertujuan untuk mempertahankan pH larutan, larutan buffer juga berfungsi untuk mengetahui pH optimum larutan kompleks. Pernyataan tersebut didukung pula oleh Kiran dan Revanasiddappa, (2005) yang menyatakan bahwa perubahan pH akan mempengaruhi stabilitas warna kompleks. Oleh karena itu diperlukan penentuan pH optimum. Akahane, dkk, (2006), dalam penelitiannya menyatakan bahwa larutan buffer diperlukan untuk menentukan konsentrasi besi menggunakan indikator metalokromik. pH yang digunakan dalam penelitiannya antara 2 sampai 6. Bahan yang dapat digunakan untuk membuat larutan buffer pada pH tersebut diantaranya glisin, asam asetat, dan asam tartarat. Buffer asetat dapat menghasilkan warna dengan Fe(II) dan Fe(III) (Azad dan Alan, 1986). Dengan digunakannya larutan buffer asetat maka terjadi penajaman warna pada larutan kompleks FeSCN. Penajaman warna akan meningkatkan sensitivitas pengukuran. Sedangkan variasi pH yang
digunakan pada penelitian ini adalah 3,0; 3,5; 4,0; 4,5 dan 5,0. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kondisi optimum larutan kompleks Fe-SCN terbentuk ketika ditambahkan 1,5 mL larutan buffer pH 4. Karena pada pH tersebut diperoleh absorbansi yang maksimum. Sedangkan pada pH di bawah atau di atas pH optimum terjadi penurunan absorbansi, kemungkinan pada pH tersebut senyawa kompleks tetap terbentuk tetapi tidak sebanyak pada pH optimum. pH optimum ini selanjutnya digunakan sebagai dasar pengukuran selanjutnya. Karena pada pH 4 merupakan pH yang optimum maka kepekaan analisis tertinggi dan kesalahan terkecil terdapat pada pH ini. Hasil penentuan pH optimum tertera pada gambar berikut:
variasi campuran kompleks Fe(III)SCN. Bila konsentrasi tiosianat melebihi konsentrasi besi(III), maka kemungkinan akan diperoleh kompleks anion yang memiliki bilangan koordinasi yang berbeda dari anion tiosianat (Gojmerac, 2003). Ion Fe Kompleks Fe3+
FeSCN2+ Fe(SCN)2+ Fe(SCN)4− Fe(SCN)52− Fe(SCN)63−
0.22
(Ozotsumi et al, 1993 dan Othmer, 1978)
0.18
0.16
0.14
0.12 3.0
3.5
4.0
4.5
5.0
pH
Gambar 2. Penentuan pH Optimum Penentuan Rumus Senyawa Kompleks dengan Metode Variasi Kontinu Penentuan rumus senyawa kompleks dapat dilakukan melalui 3 metode, yaitu metode variasi kontinu, metode rasio mol dan metode rasio slope (Sawyer, 1984). Dalam metode variasi kontinu, larutan kation dan ligan dicampur sesuai dengan komposisi yang diinginkan dengan volume total yang sama. Kemudian absorbansi dari tiap komposisi larutan diukur pada panjang gelombang maksimum. Konstanta pembentukan kompleks dapat diketahui dari perpotongan garis yang berpusat pada absorbansi maksimum. Sedangkan metode rasio mol biasanya dilakukan dengan cara memvariasikan konsentrasi salah satu larutan sementara konsentrasi larutan yang lain tetap. Plot rasio mol menyatakan pembentukan dua atau lebih kompleks yang memiliki absorbtivitas molar yang berbeda. Metode rasio slope digunakan untuk mementukan rumus satu kompleks. Dengan asumsi bahwa reaksi pembentukan kompleks dapat di bentuk oleh (1) berlebihnya reaktan yang lain, (2) mengikuti hukum Beer (Skoog, 1991). Bilangan koordinasi yang terbentuk pada kompleks Fe(III)SCN adalah 1 sampai 6. Bilangan koordinasi tersebut dapat dibuktikan oleh adanya Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
Penentuan rumus senyawa kompleks pada penelitian ini dilakukan dengan metode yang serupa dengan penentuan panjang gelombang maksimum, yaitu dilakukan pada cuplikan yang mengandung 0,01 M besi. Larutan blanko yang digunakan terdiri dari semua pereaksi, kecuali zat yang akan ditentukan yaitu 1,5 mL larutan KSCN 0,01 M, 5 mL larutan HNO3 pekat, 7,5 mL larutan buffer asetat pH 4, kemudian diencerkan dengan aquades hingga tanda batas. Campuran tersebut dikocok dan didiamkan selama 5 menit, lalu diukur absorbansinya pada panjang gelombang 470 nm. Komposisi larutan besi dan KSCN yang digunakan pada penelitian ini adalah (1,0:9,0; 1,5:8,5; 2,0:8,0; 3,0:7,0; 5,0:5,0; 7,0:3,0; 9,0:1,0 mL).
0.5
0.4
Absorbansi (a.u)
0.20
Absorbansi (a.u)
Fe(SCN)3
0.3
0.2
0.0
0.2
0.4
0.6 3+
0.8
1.0
-
Rasio Mol Fe /SCN
Gambar 3. Penentuan Rumus SenyawaKompleks Fe -SCN dengan Metode Variasi Kontinu Hasil penentuan rumus variasi kontinu dapat dilihat pada gambar 3 yang merupakan aluran absorbansi sebagai fungsi fraksi mol pengompleks (tiosianat) yang direaksikan dengan logam Fe3+. Dari gambar tersebut dapat diambil garis singgung
75 70
60 55 50 45
(a) KSCN
40 35 30 25 20 4000
3500
3000
2500
2000
1500
1000
500
-1
bilangan gelombang (cm )
Gambar 4. Spektra IR (a) KSCN, (b) Fe-SCN Adsorpsi Logam (Fe3+) dalam Bentuk Kompleks Fe-SCN pada Kayu Intsia bijuga Adsorpsi ini dilakukan untuk menutup pori kayu Intsia bijuga yang telah diekstrak zat warnanya. Penutupan pori dilakukan dengan cara menambahkan senyawa kompleks ke dalam kayu. Senyawa kompleks yang digunakan pada penelitian ini adalah kompleks Fe-SCN. Kompleks ini memiliki warna hampir sama dengan warna asli kayu yaitu merah. Penelitian ini dilakukan dengan cara, kayu Intsia bijuga yang telah diekstrak zat warnanya ditimbang hingga dicapai berat konstan. Setelah berat konstan, kayu direndam ke dalam larutan kompleks Fe-SCN dengan komposisi larutan (1:6) selama 10 jam. 0.28 0.26 0.24
Absorbansi (a.u)
Karakterisasi Kompleks Fe-SCN dengan Spektrofotometer FTIR Setelah diketahui rumus kompleks dari FeSCN, maka larutan yang memiliki komposisi sesuai rumus tersebut dikeringkan menggunakan oven pada suhu 100 °C hingga beratnya konstan. Padatan yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan spektrofotometer FTIR. Terbentuknya kompleks FeSCN dapat diketahui dari analisis spektrum IR dengan mengidentifikasi puncak serapan spektrum IR dari Fe-SCN atau Fe-NCS. Bailey et al, 1971 menyatakan bahwa puncak diatas 2100 cm−1 menunjukkan adanya Sbonding, sedangkan daerah dibawah 2100 cm−1 menunjukkan N-bonding. Berdasarkan data spektrum IR pada gambar 4 terdapat S-bonding pada 2110 cm−1. Vibrasi rentangan –C=N juga muncul pada 2080 cm−1 menunjukkan adanya Nbonding. Puncak yang muncul pada 2800 cm-1 menunjukkan spektra HCN (Maki, 1964). Menurut Klyuev, (1965) puncak 2800 cm-1 tersebut merupakan gabungan υ1 + υ3 dari SCN. Puncak 2600 cm-1 menunjukkan rentangan -S-H (Guimaraes, et al, 2007). Serapan O-H muncul pada 3590 cm-1 yang berasal dari air, diperkuat juga oleh puncak pada 1640 cm-1 dan 660 cm-1 (Guimaraes, et al, 2007). terserapnya air dalam sampel juga dibuktikan oleh adanya puncak pada 469 cm-1 dan 483 cm-1 (Sakiyama et al, 1963). Puncak doublet pada 1141 cm−1 dan 1095 cm−1 merupakan sepasang serapan C=S. Puncak pada daerah 949 cm−1 dan 906 cm−1 merupakan serapan vibrasi C-S. Didukung serapan vibrasi yang –C-S yang terdapat pada 559 cm−1. Pita yang muncul pada daerah 790-860 cm−1 menunjukkan adanya rentangan C-S untuk Fe-SCN. Adanya ikatan Fe-SCN diperkuat oleh adanya puncak yang muncul pada daerah 450 cm−1 (Clark, 1965). Hasil analisis spektrofotometer FTIR dapat dilihat pada gambar berikut:
(b) Fe-SCN
65
Transmitan (%)
yang melewati lereng di sebelah kiri puncak dan di sebelah kanan puncak. Kemudian ditarik garis singgung dan titik potong kedua garis singgung ke sumbu X, sehingga didapatkan harga fraksi mol tertentu pengompleks. Pada gambar tersebut garis melewati titik potong garis singgung kurva terletak pada ordinat 0,825, sehingga kemungkinan diperoleh kompleks dengan geometri oktahedral. Jadi kemungkinan rumus senyawa kompleks yang terbentuk adalah [Fe(SCN)6]3−.
0.22 0.20 0.18 0.16 0.14 0.12 0
2
4
6
8
10
Panjang Gelombang (nm)
Gambar 5. Absorbansi Kayu yang Direndam Menggunakan Larutan Kompleks Fe:SCN (1:6) Besarnya kompleks Fe-SCN yang teradsorb pada kayu diukur dengan spektrofotometer UV-Vis. Pengukuran absorbansi larutan sisa perendaman terdapat pada gambar 5. Gambar tersebut menunjukkan bahwa kompleks FeSCN terserap pada kayu ditunjukkan oleh penurunan absorbansi sebesar 24,7%. Hasil pengukuran absorbansi larutan menunjukkan bahwa
Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
dari jam ke 2 sampai jam ke 8 terdapat penurunan tajam absorbansi larutan sisa perendaman, pada tahap ini terdapat penyerapan dengan komposisi besar dari kompleks Fe-SCN. Setelah jam ke 8 penurunan yang terjadi tidak tajam, hal ini menunjukkan bahwa pori-pori yang kosong dalam kayu sebagian besar sudah terisi oleh senyawa kompleks Fe-SCN sehingga penyerapan terjadi lebih lambat. Kayu mengandung sejumlah zat warna yang dapat larut dalam air sehingga Haussard dkk, (2003) melakukan pencegahan dengan cara manambahkan tembaga atau kromium dan atau mikroorganisme ke dalam kayu. Adanya ion logam transisi pada kayu merupakan faktor penting untuk peningkatan warna kayu. Harvey, (1983) melaporkan bahwa Fe3+ merupakan ion logam transisi yang sangat efisien untuk mempercepat pembentukan warna. Sehingga logam yang digunakan pada penelitian ini adalah Fe3+. Logam yang terserap kemungkinan akan berikatan dengan protein, karbohidrat dan senyawa fenolik pada kayu, logam tersebut akan berikatan dengan gugus amino, karboksil, hidroksil, sulfat, dan fosfat. Gaballah dan Kilbertus, (1998) menegaskan bahwa kayu dapat berikatan dengan ion logam karena kayu memiliki gugus polihidroksi polifenolik yang dapat membentuk kelat dengan ion logam. Al-Asheh dan Duvnjak, (1997) menyatakan bahwa hilangnya ion logam dari larutan diakibatkan oleh adanya adsorpsi pada perrmukaan dan pori, serta terjadi reaksi senyawa kompleks oleh material tersebut. Selain untuk menutup pori, adsorpsi juga dilakukan untuk mengembalikan warna kayu. Pewarnaan pada kayu dapat dilakukan dengan beberapa metode salah satunya dengan reaksi kimia. Reaksi kimia dapat dilakukan dengan mereaksikan logam dengan tannin. Logam yang biasa digunakan untuk pewarnaan kayu adalah besi, mangan dan timbal (Bauch, 1984). Berdasarkan faktor biologi yang mempengaruhi kekuatan kayu, masuknya logam ke dalam kayu dapat juga mengurangi kerusakan kayu yang disebabkan oleh mikroorganisme sehingga kekuatan kayu meningkat (Omae, 2006). Masuknya logam kedalam kayu juga dapat meningkatkan keawetan kayu karena kayu terhindar dari serangan mikroorganisme yang dapat memperpendek umur kayu akibat pelapukan. Selain ditunjukkan oleh adanya penurunan absorbansi, terserapnya kompleks Fe-SCN dalam kayu juga dibuktikan oleh adanya perubahan warna yang semakin gelap pada kayu dibandingkan dengan yag sudah terekstraksi zat warnanya. Secara visual dapat dilihat pada gambar berikut:
Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
Gambar 6. a. Kayu sebelum ekstraksi b. Kayu setelah ekstraksi c. Kayu setelah absorpsi kompleks Fe-SCN Reaksi kimia yang terjadi antara kayu dengan besi menghasilkan warna biru-hitam. Hal ini dikarenakan besi bereaksi dengan zat ekstraktif tertentu dari kayu sehingga terjadi diskolorasi (pemucatan). Williams, 2002 melaporkan bahwa tannin akan bereaksi dengan besi dan senyawasenyawa besi menghasilkan warna biru-hitam pada kayu. Kayu yang telah direndam kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 100 °C. Untuk membuktikan bahwa kompleks Fe-SCN telah teradsorb pada kayu maka dilakukan penimbangan. Kayu yang telah ditimbang kemudian dihitung beratnya untuk mengetahui perubahan berat kayu sebelum perendaman dan sesudah perendaman. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa kayu mengalami penambahan berat sebesar 3,0383 g dan berat jenis kayu setelah ditreatment sebesar 0,97 g/cm3. Dengan meningkatnya berat kayu maka berat jenis kayu juga meningkat. Kayu yang telah kering kemudian direndam dalam air selama 10 menit. Hal ini dilakukan untuk membuktikan bahwa zat warna kayu tidak lagi luntur jika terkena air. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa zat warna kayu tidak luntur jika terkena air. Hasil secara visual dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 7. a. Kayu setelah Adsorpsi Kompleks Fe-SCN, b. Kayu Direndam dalam Air, c. Larutan Sisa Perendaman Berdasarkan beratnya jenisnya, maka kayu yang sudah menyerap kompleks Fe-SCN mengalami peningkatan kualitas karena semakin tinggi berat jenis kayu umumnya akan semakin tinggi kekuatannya. Kualitas kayu ditentukan oleh kekuatan dan keawetan. Sifat kayu yang erat kaitannya dengan kekuatan kayu adalah sifat mekanik kayu (Haygreen dan Bowyer, 1993).
Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diperoleh berdasarkan hasil penelitian adalah adsorpsi kayu Intsia bijuga dengan kompleks Fe-SCN terbukti dapat mencegah kelunturan zat warna kayu. Analisis besi menggunakan pengompleks tiosianat secara spektrofotometer UV-Vis membentuk kompleks yang menyerap sinar pada panjang gelombang maksimum 470 nm, optimum pada pH 4 dan rumus kompleks Fe-SCN yang terbentuk adalah [Fe(SCN)6]3-. Terserapnya logam (Fe3+) dalam bentuk kompleks Fe-SCN pada kayu dibuktikan oleh adanya penurunan absorbansi sebesar 24,7% pada larutan sisa perendaman, pertambahan berat kayu sebesar 3,0383 g, warna kayu bertambah gelap, dan berat jenis kayu menjadi 0,97 sehingga kualitas kayu juga meningkat dari kelas II (kuat) menjadi kelas I (sangat kuat). Ucapan Terimakasih 1. Ibu Dr. rer. nat. Irmina Kris Murwani dan bapak Dr. Didik Prasetyoko, M. Sc. selaku dosen pembimbing atas segala diskusi, bimbingan, arahan dan semua ilmu yang bermanfaat. 2. Ibu Dra. Ratna Ediati, MS., Ph.D dan ibu Dra. Sukesi, M.Si selaku dosen pembahas atas saran, kritik, arahan dan semua ilmu yang bermanfaat. 3. Laboratorium Kimia Anorganik ITS yang telah menyediakan bahan, alat dan analisa yang diperlukan. 4. Orang tua dan seluruh keluarga atas segala do’a dan dukungannya. 5. Sahabat-sahabat dari angkatan 2005 Kimia ITS, kakak-kakak S2 bidang Kimia Anorganik ITS dan angkatan yang lain serta berbagai pihak yang telah membantu dalam proses penelitian ini. Daftar Pustaka Achmadi, S,S, 1990, “Kimia Kayu”, Pusat Antar Universitas, Institute Pertanian Bogor Akahane ,W., Ijiri, H., Hanada T., 2009, “Method of Determining Iron Concentration”, United States Patent Aplication Publication, US 2009/0068750 A1 Alberty, R.A., (1990), “Kimia Fisika”, Jilid Kesatu, Erlangga, Jakarta
of Iron(II) and Total Iron”, Analytica Chimica Acta, vol. 167, 225-231 Bailey, R.A., Michelsen, T.W., Mills, W.N., 1971, “Observations on The IR Intensity Criterion for The Bonding Mode in Thiocyanate Complexes”, Journal of Inorganic and Nuclear Chemistry, vol. 33, no. 9, 3206–3210 Basolo, F. dan Johnson, R.,C., 1964, “Coordination Chemistry”, W. A. Benjamin, Inc, New York Bauch J., 1984, ”Discoloration in the Wood of Living and Cut Trees”, IAWA Bulletin vol. 5, 92-98 Clark, R.J.H., 1965, “Metal-Halogen Stretching Frequencies in Inorganic Complexes”, Spectrochimica Acta, vol. 2, no. 5, 955– 963 Cotton, F.A, dan Wilkinson G, 1989, “Kimia Anorganik Dasar”, UI-Press, Jakarta Day, F.A., Underwood A.L., 1993, “Analisa Kimia Kuantitatif”, Terjemahan Oleh Pudjaatmaka, A.H., Edisi Keempat. Erlangga, Jakarta Demirhan, N., Tuncel, E. F., 2003, “Spectrophotometric Determination of Iron(II) with 5-Nitro-6-amino-1,10phenanthroline”, Turkey J. Chem., vol. 27 , 315 - 321 Eckenfelder, (1981), “Industrial Water Pollution Control”, Second edition, McGraw-Hill International, Singapore Fengel, D., Wegener, G., 1995, “Kayu: Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-Reaksi”, Gajah Mada University Press, Yogyakarta Fessenden, R.J., dan Fessenden, J.S., 1986, “Kimia Organik”, Erlangga, Jakarta Gojmerac Ivšić, A., Tamhina Biserka, 2003, “Extraction and Formation of Iron(III) Thiocyanate Complexes: Application for Spectrophotometric Determination of Iron”, Croatica Chemica Acta, vol. 76, 323 - 328
Al-Shaleh, S., Duvnjank, Z., 1997, “Sorption of Cadmium and Other Heavy Metals by Pine Bark”, Journal of Hazardous Materials 56, 35-51
Guimaraes, A., Ciminelli, V., Vasconcelos, W.L., 2007, ” Surface Modification of Synthetic Clay Aimed at Biomolecule Adsorption: Synthesis and Characterization”, Materials Research, vol. 10, no. 1, 37-41
Azad, F.T., and Alan, T., 1986, “Application of A Reducing Column for Metal Speciation By Flow Injection Analysis Spectrophotometric Determination of Iron(III) and Simultaneous Determination
Gaballah, I., and Kilbertus, 1998, “Recovery of Heavy Metal Ions Through Decontamination of Synthetic Solution and Industrial Effluents Using Barks”, J. Geochemical Exploration vol. 62, 241-286
Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
Harborne, J,B,, 1987, “Metode Fitokimia”, Penerbit ITB, Bandung, 47 Harvey, K.B. dan Porter, G.B., 1963, “Physical Inorganic Chemistry”, Addison-Wesley Publishing Company Inc, London Haussard, M., Gaballah, I., Kanari, N., De Donato, Ph., Barres, O., and Villieras F., 2003, “Separation of Hydrocarbon and Lipid From Water Using Treated Bark”, Water Rest vol. 37, 451-465 Haygreen, J. G., and Bowyer, J. L., 1982, ”Forest Products and Wood Science”, The Lowa University Press, 259 Hillis, W.E., 1987, “Heartwood and Tree At Exudates”, Berlin: spinger-Verlag Iswanto, M. A., 2003, “Besi Nutrisi yang Berguna Sekaligus Berbahaya”, Tugas Akhir Kimia ITS, Surabaya Klyuev, Yu. A., 1965, “The Vibrational Spectrum of Crystalline KSCN”, Zhurnal Prikladnoi Spektroskopii, vol. 2, no. 4, 336-340 Koch, G., 2008, ”Discoloration of Wood in the Living Tree and During Processing”, Conference Cost E53, 29-30 Kumar, A., 2000, “Direct Spectrophotometric Determination of Ferbam [Iron(III)Dimethyldithiocarbamat] in Commercial Sample and Wheat Grains Using 4,7-Diphenyl-1,10-phenantroline”, Journal of Agriculture and Food Chemistry, vol. 48, no. 12, 5808-5811 Maki, G.A., 1964, ”Infrared Spectra of HCN from 2000 to 3600 cm-1”, Journal of Molecular Spectroscopy, 12, 45-68 Martawijaya, A., 1988, “Cacat Warna pada Kayu Jati Akibat Pengeringan Buatan”, Duta Rimba vol. XIV, 101-102 Mendez-Hernandez, J., Mateos-Alonso, A., and Mateos-Martin, E., J., 1984, “Extraction of The [(C4H9)4N]3[Fe(SCN)6] Ion-Pair with Chloroform: Spectrophotometric Determination of Iron”, Microchemical Journal 30, 154-161 Mohan, J., 2002, “Organic Spectroscopy, Principles and Application”, Narosa Publishing House, New Delhi Noroozifar, M., Khorasani-Motlagh, M., Farahmand, 2004, “Automatic Spectrophotometric Procedure for Determination of L-Ascorbic Acid Based on Reduction of Iron(III)-Thiocyanate Complex”, Acta Chim. Slov, 51, 717-727
Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
Omae, A., 2006, “A Chemical Stain for Identifying Arsenic-Treated Wood”, State University System of Florida, Gainesville, FL 32609 Othmer, K., 1978, “Encyclopedia of Chemical Technology”, 3rd Edition, John Willey and Sons, Inc., New York, vol. 13 Ozutsumi, K., Kurihara, M., and Kawashima, T., 1993, “Structure of Iron(III) Ion and Its Complexation with Thiocyanate Ion in N,N-dimethylformamide,” Talanta, vol. 40, no. 5, 599-607 Pizzi, A., 1998, ”Wood/Bark Extracts as Adhesives and Preservatives”, Forest Product Biotechnology Prihartini, 1998, “Penyerapan Zat Warna Fe, Cr dalam Air Buangan dengan Karbon Aktif”, Surabaya, 10-15 Proton, P., 1983, “Surface Physics”, second edition, oxford university press, oxford, 59-61 Reza, Ernest., (2002),”Studi Literatur Perancangan Awal Alat Adsorpsi Regenerasi Karbon Aktif”, Seminar, Jurusan Gas dan Petrokimia, FTUI, Depok Riva’i, H., 1995, “Asas Pemeriksaan Kimia”, UIPress. Jakarta Sakiyama, M., Suga, H., and Seki, S., 1963, “The Phase Transition of Crystalline Potassium Thiocyanate, KSCN. I. Thermal and Infrared Studies”, vol. 36, no. 8 Sawyer, D.T., Heineman, W.R., Beebe, J.M., 1984, “ Chemistry Experiments for Instrumental Methods”, John Wiley & Sons Inc, New York Sjoustrom, E., 1981, “Kimia Kayu dan Dasar-dasar Penggunaan”, Edisi 2: Universitas Gajah Mada, Yogyakarta Skoog, D. A., 1991, “Fundamental of Analytical Chemistry”, 7th edition, Saunders College Publishing, New York Tamhina B., 2003, “Extraction and Formation of Iron(III) Thiocyanate Complexes: Application for Spectrophotometric Determination of Iron”, Croatica Chemica Acta, 323-328 Thomas, M., 1996, “Ultraviolet and Visible Spectroscopy”, John Willey and Sons, Inc, Ukraina Tong, P.S., dkk, 2009, “Review of Trade in Merbau from Major Range States”, Traffic Southeast Asia, Selangor Tsoumis, G,, 1991, “Science and Technology of Wood: Structure, Properties, Utilization”, Van Nostrand Reinhold, New York
Vogel, S., 1985, ”Buku Teks Analisa Anorganik Kualitatif Makro dan Semimikro (Terjemahan oleh Setiono L., Pudjaatmaka A.H)”, Edisi Kelima, PT. Kalman Media Pustaka, Jakarta Williams, S., Knaebe, M., 2002, “Iron Stain on Wood”, Forest Products Laboratory, USDA Forest Service BIOGRAFI PENULIS Penulis dilahirkan di Gresik, 17 Nopember 1987, merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Penulis telah menempuh jenjang pendidikan formal di TK Muslimat 41 – Mojopuro Wetan – Bungah – Gresik pada tahun 1991, MI Hidayatul Mubtadiin – Mojopuro Wetan – Bungah – Gresik pada tahun 1993 kemudian dilanjutkan pada pendidikan menengah pertama pada tahun 1999 di SMP Nusantara – Mojopuro Wetan – Bungah – Gresik. Pada tahun 2002 mulai menempuh pendidikan di SMU Assa’adah – Bungah – Gresik. Penulis menempuh pendidikan formal di, dan. Setelah lulus dari SMU pada tahun 2005, penulis mengikiuti Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) tahun 2005 dan diterima di jurusan Kimia FMIPA dengan Nomor Registrasi Pendaftaran 1405 100 057. Selama perkuliahan, penulis pernah aktif di organisasi mahasiswa yaitu di departemen kewirausahaan (KWU) Himpunan Mahasiswa Kimia (HIMKA) ITS dan WET ITS serta panitia Olimpiade Kimia Tingkat Nasional. Selain itu penulis pernah melakukan penulisan karya tulis dalam PKMP dengan judul ”Pemanfaatan Ekstrak Mangostin dari Kulit Akar Manggis sebagai Antimikrobial Penyebab Jerawat”. Pada akhir perkuliahan, penulis mengambil bidang Anorganik sebagai bidang minat untuk menyelesaikan jenjang S-1.
Prosiding KIMIA FMIPA - ITS