II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Perikanan Perikanan merupakan semua kegiatan yang berkaitan dengan ikan, termasuk memproduksi ikan, baik melalui penangkapan (perikanan tangkap) maupun budidaya (perikanan budidaya), atau mengolahnya untuk memenuhi kebutuhan manusia akan pangan sebagai sumber protein dan non pangan (pariwisata dan ikan hias). Ruang lingkup kegiatan usaha perikanan tidak hanya memproduksi ikan saja (on farm), tetapi juga mencakup kegiatan off farm, seperti pengadaan sarana dan prasarana produksi, pengolahan, pemasaran, pemodalan, riset dan pengembangan, perundangundangan, serta faktor usaha pendukung lainnya. Jenis usaha perikanan dibagi menjadi tiga antara lain usaha melalui penangkapan, usaha melalui budidaya, dan usaha pengolahan ikan (Wiadnya, 2012). Berdasarkan ketentuan dalam Pasal (1) ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 2004, perikanan dikatakan sebagai semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungan, mulai dari pra-produksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. Aktifitas perikanan sangat beragam dan berbeda antara satu lokasi dengan lokasi lainnya. Sebagai aktifitas primer, perikanan dibedakan ke dalam aktifitas penangkapan (capture fisheries) dan budidaya (culture fisheries atau aquaculture) (Wiadnya, 2012).
7
8
2.2 Perikanan Budidaya Perikanan budidaya adalah kegiatan untuk memproduksi biota (organisme) akuatik di lingkungan terkontrol dalam rangka mendapat keuntungan (profit). Organisme akuatik yang diproduksi mencakup kelompok ikan, udang, hewan bercangkang (moluska), ekinodermata, dan alga. Perikanan budidaya juga dapat didefinisikan sebagai campur tangan (upaya-upaya) manusia untuk meningkatkan produktivitas perairan melalui kegiatan budidaya. Kegiatan budidaya yang dimaksud adalah kegiatan pemeliharaan untuk memperbanyak (produksi), menumbuhkan (perbesaran), dan meningkatkan mutu biota akuatik sehingga diperoleh keuntungan (Effendi, 2004 dalam Kesuma, 2006).
2.3 Perikanan Tangkap Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 menyebutkan definisi penangkapan ikan ialah kegiatan memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau dengan cara apapun, melainkan kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan mengawetkan. Perikanan tangkap merupakan kegiatan ekonomi dalam penangkapan atau pengumpulan binatang dan tanaman air, baik di laut maupun perairan umum secara bebas. Klasifikasi perikanan tangkap di Indonesia dapat digolongkan menjadi empat kategori sebagai berikut.
9
1. Berdasarkan spesies target : perikanan cakalang, perikanan udang, cumi-cumi, dan perikanan kekerangan. 2. Berdasarkan tingkat teknologi : tradisional dan modern. 3. Berdasarkan skala usaha : komersial (industri dan artisanal) dan subsistem. 4. Berdasarkan habitatnya : perikanan demersal, perikanan karang, dan perikanan pelagis (Sihombing, 2015). 2.3.1 Perikanan demersal Ikan demersal adalah jenis ikan yang habitatnya berada di bagian dasar perairan, dapat dikatakan juga bahwa ikan demersal adalah ikan yang tertangkap dengan alat tangkap ikan dasar seperti trawl dasar (bottom trawl), jaring insang dasar (bottom gillnet), rawai dasar (bottom long line), dan bubu (Wijayanti, 2013). Ciri utama sumberdaya ikan demersal antara lain memiliki aktifitas rendah, gerak ruang yang tidak terlalu jauh dan membentuk gerombolan tidak terlalu besar, sehingga penyebarannya relatif merata dibandingkan dengan ikan pelagis. Ikan demersal sangat dipengaruhi oleh faktor oseanografi seperti suhu, salinitas, arus, dan bentuk dasar perairan. Jenis ikan ini pada umumnya menyenangi dasar perairan bersubstrat lumpur atau lumpur berpasir (Dwiponggo et al., 1989 dalam Wijayanti, 2013). Perikanan demersal Indonesia menghasilkan berbagai jenis ikan (multi species) yang dieksploitasi dengan menggunakan berbagai alat tangkap (multi gear). Hasil tangkapan ikan demersal pada umumnya terdiri atas berbagai jenis yang jumlah masing-masing jenis tersebut tidak terlalu besar. Ikan tersebut antara lain kakap merah atau bambangan (Lutjanus spp), peperek (Leiognatus spp), manyung
10
(Arius spp), kurisi (Nemipterus spp), kuniran (Upeneus spp), tiga waja (Epinephelus spp), dan bawal (Pampus spp). 2.3.2 Perikanan karang Ikan karang merupakan ikan yang terdapat hidup dari masa juvenil hingga dewasa di terumbu karang (Sale,1991 dalam Ahmad, 2013). Keberadaan ikan karang di terumbu memiliki keterkaitan yang erat dengan kondisi fisik terumbu karang tersebut. Perbedaan pada kondisi tutupan karang akan mempengaruhi kelimpahan ikan karang, terutama yang memiliki keterkaitan kuat dengan karang hidup (Chabanet et al., 1997 dalam Ahmad, 2013). Pengelompokan ikan karang berdasarkan periode aktif mencari makan adalah ikan noktural (aktif ketika malam hari), ikan diurnal (aktif ketika siang hari), dan ikan crepuscular (aktif di antara). Menurut Dartnall dan Jones, (1986 dalam Ahmad, 2013), ikan karang dapat juga dikelompokkan dalam 3 kelompok berdasarkan tujuan pengelolaan, yaitu kelompok ikan target (ekonomis atau konsumsi), ikan indikator, dan ikan mayor (berperan dalam rantai makanan). 2.3.3 Perikanan pelagis Ikan pelagis adalah kelompok ikan yang berada pada lapisan permukaan hingga kolom air dan mempunyai ciri khas utama, yaitu dalam beraktivitas selalu membentuk gerombolan (schooling) dan melakukan migrasi untuk
berbagai
kebutuhan hidupnya. Perbedaan ikan pelagis dengan ikan demersal adalah ikan-ikan yang berada pada lapisan yang lebih dalam hingga dasar perairan, dimana umumnya hidup secara soliter dalam lingkungan spesiesnya. Pada umumnya ikan pelagis
11
berenang mendekati permukaan perairan hingga kedalaman 200 m. Ikan pelagis umumnya berenang berkelompok dalam jumlah yang sangat besar. Ikan pelagis berdasarkan ukurannya dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu ikan pelagis besar seperti kelompok Tuna (Thunidae), kelompok Marlin (Makaira sp), dan Tenggiri (Scomberomorus spp). Jenis ikan pelagis kecil seperti Cakalang (Katsuwonus pelamis), kelompok Tongkol (Euthynnus spp), Ikan Bandeng (Chanos chanos), Ikan Teri (Thryssa setirostris), Ikan Kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta), Ikan Bawal hitam (Parastromateus niger), Ikan Ekor kuning (Caesio cuning), Ikan Japuh (Dussumieria acuta), Ikan Kwee (Caranx melampygus), Ikan Layang (Decapterus russelli), Ikan Lemuru (Sardinella lemuru), dan Ikan Selanget (Anodontostoma
chacunda).
Penggolongan
ini
lebih
dimaksudkan
untuk
memudahkan dalam pemanfaatan dan pengelolaan, karena karakter aktivitas yang berbeda kedua kelompok jenis ikan tersebut (Nelwan, 2004).
2.4 Proses Pengolahan Ikan Pelagis Beku Proses pengolahan ikan pelagis beku merupakan salah satu cara untuk mengawetkan makanan karena dengan menurunkan suhu, semua reaksi kimia, dan aktivitas enzim dapat dicegah serta pertumbuhan mikroorganisme terhambat, namun cara ini tidak dapat mensterilkan makanan. Meskipun pembekuan efektif menghambat kerusakan oleh mikrobial, kemunduran mutu seperti perubahan flavor, tekstur, dan warna tetap terjadi saat penyimpanan beku. Proses pembekuan menyebabkan perubahan jaringan daging, yaitu dengan formasi dan pembentukan
12
kristal es, dehidrasi, dan peningkatan padatan (pembekuan menghilangkan kadar air ikan pelagis). Pembekuan dan thawing menyebabkan kerusakan sel jaringan, lepasnya enzim dari mitokondria ke sarkoplasma. Daging thawing memiliki daya potong lebih rendah dari daging yang tidak mengalami pembekuan. Kekerasan daging ikan pelagis meningkat berhubungan dengan kerusakan protein myosin sama dengan penyatuan protein myofibril. Penyatuan dan kerusakan jaringan protein ada hubungannya dengan formasi ikatan disulfida (Strike et al., 2007 dalam Saulina, 2009). Proses pengolahan ikan pelagis beku pada suhu -18°C merupakan standar suhu yang ditetapkan dalam perusahaan. Penyimpanan beku berarti meletakkan produk yang sudah beku di dalam ruangan dengan suhu yang dipertahankan sama dan telah ditentukan sebelumnya (yaitu -25°C). Adapun tahap-tahap penurunan suhu selama proses pembekuan sebagai berikut. 1. Suhu produk diturunkan sampai titik beku, yaitu pemindahan sensible heat di atas proses pembekuan. 2. Kandungan air dalam produk berubah dari bentuk cair kebentuk padat, sedangkan suhunya tetap. 3. Suhu produk diturunkan sampai titik beku, yang ideal adalah sampai penyimpanan menjadi beku. Metode pengolahan ikan pelagis beku yang digunakan pada umumnya adalah sebagai berikut (Saulina, 2009).
13
(1) Air Blast Freezing (ABF) Metode pembekuan ini dilakukan dengan cara menempatkan produk pada rak-rak pembeku di dalam ruang pembekuan, kemudian udara bersuhu rendah dihembuskan ke sekitar produk yang disimpan pada rak-rak pembekuan tersebut. Prinsip dari teknik ini adalah pembekuan dilakukan dengan menghembuskan udara dingin melewati pipa-pipa pendingin ke permukaan produk dengan kecepatan yang tinggi. Keuntungan dari ABF adalah cara ini dapat membekukan segala macam produk dan pengoperasiannya mudah. Kerugiaannya adalah memerlukan jumlah udara dalam jumlah yang besar, waktu pembekuan relatif lama, ruang lebih besar, tenaga besar, dan adanya beban panas tambahan. (2) Brine Freezer (BF) Prinsip teknik pembekuan ini adalah pembekuan dengan media air garam merupakan suatu bak berisi air garam pekat yang didinginkan dengan pipa evaporator, sehingga air garam suhunya jauh di bawah titik beku air murni dan akibatnya produk yang berada didalamnya akan membeku. Kelebihan metode Brine freezer yaitu bisa membekukan segala jenis, bentuk, dan ukuran produk. Kekurangan metode ini yaitu adanya risiko tercemarnya produk oleh air garam dan caranya kurang praktis karena air dalam bak harus diganti dan ditambah secara teratur. Produk yang dibekukan dengan metode ini diantaranya ikan utuh dan sejenisnya. Tahapan proses pengolahan ikan pelagis beku menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor 01-4110.3 tahun 2006 yaitu sebagai berikut.
14
a. Penerimaan bahan baku Bahan baku yang diterima di unit pengolahan diuji secara organoleptik, untuk mengetahui mutunya. Bahan baku kemudian ditangani secara hati-hati, cepat, cermat, dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal 5 oC. Tujuan dari proses ini adalah untuk mendapatkan bahan baku yang bebas bakteri, patogen, dan memenuhi persyaratan mutu. b. Sortasi Pada tahap ini ikan dipisahkan berdasarkan mutu, jenis, dan ukuran. Sortasi mutu dilakukan secara organoleptik, sortasi jenis dilakukan untuk memisahkan jenis yang tidak dikehendaki dan sortasi ukuran dilakukan dengan cara penimbangan. Sortasi dilakukan secara hati-hati, cepat, cermat, dan saniter dengan mempertahankan suhu pusat produk maksimal 5oC. Tujuan dari proses ini adalah untuk mendapatkan mutu, jenis, dan ukuran yang sesuai, serta bebas dari kontaminasi bakteri patogen. c. Penyiangan atau tanpa penyiangan Apabila ikan yang diterima masih dalam keadaan utuh, ikan disiangi dengan cara membuang kepala dan isi perut. Penyiangan dilakukan secara cepat, cermat, dan saniter sehingga tidak menyebabkan pencemaran pada tahap berikutnya dengan suhu pusat produk maksimal 5°C. Tujuannya yaitu mendapatkan ikan yang bersih, tanpa kepala dan isi perut, serta mereduksi kontaminasi bakteri patogen.
15
d. Pencucian Ikan dicuci dengan hati-hati menggunakan air bersih dingin yang mengalir secara cepat, cermat, dan saniter dengan mempertahankan suhu pusat produk maksimal 5°C. Tujuan dari proses ini adalah menghilangkan sisa kotoran dan darah yang menempel di tubuh ikan. e. Penimbangan Agar ikan berukuran besar ditimbang satu per satu, sedangkan untuk ikan berukuran kecil ditimbang sesuai berat yang ditentukan, menggunakan timbangan yang telah dikalibrasi. Penimbangan dilakukan secara hati-hati, cepat, cermat, saniter, dan mempertahankan suhu pusat produk maksimal 5°C. Tujuan dari proses ini adalah mendapatkan berat ikan yang sesuai dengan ukuran yang telah ditentukan dan bebas dari kontaminasi bakteri patogen. f. Penyusunan Agar ikan berukuran besar disusun secara individu, sedangkan untuk ikan berukuran kecil disusun secara berlapis sesuai yang ditentukan. Penyusunan dilakukan dengan hati-hati, cepat, cermat, dan saniter dengan mempertahankan suhu pusat produk maksimal 5°C. Tujuan dari proses ini adalah mendapatkan bentuk susunan ikan yang sesuai dan bebas dari kontaminasi bakteri patogen. g. Pembekuan Ikan dibekukan dalam alat pembeku (freezer) hingga suhu pusat ikan mencapai maksimal -18°C dalam waktu maksimal 10 s.d. 12 jam. Tujuan dari proses ini
16
adalah membekukan produk hingga mencapai suhu pusat maksimal -18°C secara cepat dan tidak mengakibatkan pengeringan terhadap produk. h. Penggelasan atau tanpa penggelasan Ikan yang telah dibekukan disemprot dengan air dingin. Proses penggelasan dilakukan secara cepat, cermat, dan saniter dengan mempertahankan suhu pusat ikan maksimal –18°C. Tujuan dari proses ini adalah melapisi ikan dengan air es agar tidak mudah terjadi pengeringan pada saat penyimpanan. i. Pengepakan Ikan beku yang telah mengalami proses penggelasan segera dikemas dalam plastik dan dimasukkan dalam master karton secara cepat, cermat, dan saniter dengan mempertahankan suhu pusat ikan maksimal –18°C. Tujuannya yaitu melindungi produk dari kontaminasi dan kerusakan fisik selama penyimpanan dan transportasi. 2.4.1 Pengemasan ikan pelagis beku Pengemasan adalah suatu cara untuk melindungi dan mengawetkan produk pangan maupun non pangan, pengemasan juga merupakan penunjang untuk transportasi, distribusi, dan merupakan bagian penting dari usaha untuk mengatasi persaingan dalam pemasaran (Hambali dan Nasution, 1990 dalam Saulina, 2009). Kemasan dapat dibedakan menjadi tiga yaitu sebagai berikut (Soekarto, 1990 dalam Saulina, 2009). 1. Kemasan primer yaitu kemasan yang langsung membungkus bahan pangan. 2. Kemasan sekunder yaitu kemasan yang berfungsi melindungi kemasan primer.
17
3. Kemasan tersier yaitu kemasan setelah kemasan primer dan sekunder bila diperlukan sebagai pelindung selama pengangkutan. Dalam keadaan beku produk dapat mengalami perubahan, untuk mencegah pengeringan, oksidasi, dan diskolorisasi maka produk harus dilindungi antara lain dengan cara sebagai berikut. (1) Penggelasan (glassing) dengan cara melapisi produk beku dengan es yang menyelubungi produk. (2) Mengepak produk dengan bahan-bahan kedap air (water proof), kedap oksigen (oksigen proof), dan tidak menghimpun lemak atau mengepak vakum (vacuum packaging). Pengemasan bahan pangan harus memperlihatkan lima fungsi utama, yaitu sebagai berikut (Buckle et al.,1985 dalam Saulina, 2009). a. Mempertahankan produk agar tetap bersih dan memberikan perlindungan dari kotoran dan pencemaran lainnya. b. Memberikan perlindungan pada bahan pangan dari kerusakan fisik, air, oksigen, dan sinar matahari. c. Berfungsi secara benar, efisien, dan ekonomis dalam proses pengolahan. d. Mudah untuk dibentuk menurut rancangan, memberikan kemudahan kepada konsumen, misalnya dalam membuka kembali wadah tersebut. Selanjutnya, memudahkan dalam pengelolaan di gudang dan selama distribusi terutama untuk mempertimbangkan ukuran, bentuk, dan berat dari unit pengepakan.
18
2.5 Kerusakan sebagai Salah Satu Penyebab Penurunan Mutu Ikan Ikan merupakan sumber pangan yang mudah rusak karena sangat cocok untuk pertumbuhan mikroba baik patogen maupun non patogen. Kerusakan ikan terjadi segera setelah ikan keluar dari air. Kerusakan dapat disebabkan oleh faktor internal (isi perut) dan eksternal (lingkungan) maupun cara penanganan di atas kapal, di tempat pendaratan atau di tempat pengolahan (Djaafar, 2007 dalam Milo, 2013). Kerusakan ditandai dengan adanya lendir di permukaan ikan, insang memudar (tidak merah), mata tidak bening, berbau busuk, dan sisik mudah terkelupas (Djaafar, 2007 dalam Milo, 2013). Segera setelah ikan mati, akan mengalami perubahan-perubahan yang mengarah pada pembusukan yang disebabkan oleh aktivitas bakteri, perubahan kimiawi yang ditimbulkan oleh enzim-enzim, serta proses oksidasi lemak ikan oleh udara (Ilyas, 1983 dalam Milo, 2013). Kesegaran ikan dapat dicapai bila dilakukan penanganan yang baik terhadap ikan tersebut. Ikan dapat dikatakan masih segar apabila perubahan-perubahan biokimiawi, maupun fisika, dan semua yang terjadi belum menyebabkan kerusakan berat pada ikan. Beberapa ciri yang menandakan telah terjadinya kerusakan pada ikan dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut (Winarno, 1993 dalam Milo, 2013). Tabel 2.1 Perbedaan Fisik Ikan Segar dan Ikan Busuk Ikan Segar Daging kenyal Tidak empuk Badan kaku Sisik rapi dan rapat Bau : segar, pada bagian luar insang
Ikan Busuk Daging keras Empuk Badan tidak kaku Sisik mudah lepas Bau : busuk atau asam terutama pada bagian insang
19
Lanjutan Tabel 2.1 Ikan Segar Sedikit berlendir pada kulit Insang berwarna merah Ikan tenggelam bila dimasukkan dalam air
Ikan Busuk Kulit berlendir Insang tidak lagi berwarna merah Ikan terapung jika sudah sangat busuk
Sumber : Winarno, (1993 dalam Milo, 2013) 2.5.1 Penurunan mutu secara fisik Penurunan mutu secara fisik adalah kerusakan pada bagian luar tubuh ikan yang terjadi akibat penanganan dan perlakuan yang tidak cepat dan tepat dapat mempengaruhi mutu. Penanganan awal ikan saat ditangkap diberikan perlakuan suhu dingin dengan ditambahkan es, sehingga memperpanjang masa simpan dan akan sangat berpengaruh terhadap kualitas mutu yang dihasilkan. Perubahan fisik ikan yang terjadi pada proses kematian ikan karena diangkat dari air dapat dijelaskan sebagai berikut (Kushardiyanto, 2010 dalam Putra, 2013). 1. Lendir yang berada dipermukaan ikan akan keluar secara berlebih pada saat ketika ikan mati dan ikan akan menggelepar mengenai benda disekelilingnya. Ikan yang terkena benturan benda yang keras, kemungkinan besar tubuh ikan akan menjadi memar dan luka-luka. 2. Ikan mati akan mengalami kekakuan tubuh (rigormortis) yang diawali dari ujung ekor menjalar ke arah bagian kepalanya. Lama kekakuan tergantung dari tingkat kelelahan ikan pada saat kematiannya. Kerusakan ikan akan mulai terlihat yaitu berupa perubahan-perubahan seperti berkurangnya kekenyalan perut dan daging ikan, berubahnya warna insang, berubahnya kecembungan dan warna mata ikan, sisik lebih mudah lepas dan kehilangan kecemerlangan warna ikan, serta berubahnya bau dari segar menjadi asam.
20
3. Perubahan tersebut akan meningkat intensitasnya sesuai dengan bertambahnya tingkat penurunan mutu ikan, sehingga ikan menjadi tidak layak untuk dikonsumsi atau busuk. Kesegaran ikan dapat dinilai dengan mudah menggunakan metode inderawi atau organoleptik dengan mengamati bagian tubuh ikan yang sensitif terhadap perubahan mutu dagingnya. Perubahan mutu tersebut seperti warna, rasa, kekenyalan dan kekompakan daging, kondisi mata, kondisi insang, dinding perut, dan bau. 2.5.2 Penurunan mutu secara kimia Hadiwiyoto, (1993 dalam Putra, 2013) menyatakan penurunan mutu secara kimia adalah penurunan mutu yang berhubungan dengan komposisi kimia dan susunan tubuhnya. Penurunan mutu secara kimia terdiri atas penurunan mutu secara autolisis dan oksidasi. 1. Penurunan mutu secara autolisis Autolisis adalah proses perombakan sendiri yaitu proses perombakan jaringan oleh enzim yang berasal dari produk perikanan. Menurut Ilyas, (1983 dalam Putra, 2013) enzim yang berperan dalam autolisis yaitu enzim proteolisis (pengurai protein) dan enzim liposis (pengurai lemak). Penurunan mutu ditandai dengan rasa, warna, tekstur, dan kenampakan yang berubah. Penurunan mutu secara autolisis berlangsung sebagai aksi kegiatan enzim yang merupakan proses penguraian pertama setelah ikan mati. Penurunan secara autolisis bisa terlihat ikan yang memiliki tekstur daging yang tidak elastis, sehingga apabila daging ikan ditekan dengan jari akan membutuhkan waktu relatif lama untuk kembali keadaan semula. Kecepatan autolisis
21
tergantung pada suhu dan tidak dapat dihentikan pada suhu 00C, tetapi berlangsung lebih lambat. Kegiatan enzim dapat direduksi dan dikontrol dengan cara pendinginan, penggaraman, pengeringan, dan pengasaman, atau dapat dihentikan dengan cara pemasakan ikan tersebut (Ilyas, 1983 dalam Putra, 2013). 2. Penurunan mutu secara oksidasi Oksidasi adalah reaksi antara suatu zat dengan oksigen atau bisa diartikan juga suatu pelepasan elektron oleh sebuah molekul, atom, atau ion. Ikan termasuk salah satu produk perikanan yang mengandung asam lemak tidak jenuh. Selama penyimpanan ikan, asam lemak tidak jenuh akan mengalami proses oksidasi reduksi asam lemak yang menyebabkan bau tengik (rancid) pada tubuh ikan (Junizal, 1976 dalam Putra, 2013). 2.5.3 Penurunan mutu secara bakteriologis Penurunan mutu secara bakteriologis yaitu suatu proses penurunan mutu yang terjadi karena adanya kegiatan bakteri yang berasal dari selaput lendir dari permukaan tubuh, insang, dan saluran pencernaan (Junianto, 2003 dalam Putra, 2013). Bakteri yang terdapat pada bagian kulit (lendir), insang, dan pada makanan di dalam perutnya ini tidak berpengaruh buruk terhadap ikan. Tetapi setelah ikan mati, ditunjang oleh kenaikan suhu, bakteri mulai berkembang biak dengan sangat pesat dan menyerang tubuh ikan. Hal ini disebabkan oleh karena ikan tidak lagi mempunyai daya tahan terhadap bakteri. Bakteri menjadikan daging ikan sebagai makanan dan tempat hidupnya. Sasaran utamanya adalah protein ataupun hasil-hasil penguraiannya dalam proses autolisis, dan substansi-substansi non nitrogen. Penguraian yang dilakukan
22
oleh bakteri ini (disebut bacterial decomposition) menghasilkan pecahan-pecahan protein yang sederhana dan berbau busuk, seperti CO2, H2S, amoniak, indol, skatol, dan sebagainya (Murniyati dan Sunarman, 2000 dalam Putra, 2013). 2.5.4 Histamin Histidin merupakan salah satu asam amino bebas yang terdapat pada daging ikan merah segar, seperti tuna, cakalang, dan sardin. Secara umum, kandungan histidin pada protein daging antara 3% dan 5%, tetapi ikan jenis horse mackerel, Japanese pilchard, mackerel, dan Pacific saury mengandung antara 4% dan 6% histidin. Ikan cakalang, yellowtail, madidihang, bluefin tuna mengandung histidin antara 8% dan 9% (Alasalvar et al., 2011 dalam Putra, 2013). Kandungan histidin bebas pada jaringan ikan tuna lebih tinggi dibandingkan dengan spesies ikan lainnya, sehingga meningkatkan potensi peningkatan kadar histamin, khususnya jika penyimpanan dan penanganan salah (Wahyuni, 2011 dalam Putra, 2013). Hadiwiyoto, (1993 dalam Putra, 2013) menyatakan bahwa degradasi histidin menjadi histamin dikatalis oleh enzim histidine dekarboksilase. Senyawa histamin mungkin tidak berbau busuk, tetapi keberadaannya dalam daging ikan menjadi berbahaya, karena senyawa histamin bersifat racun. 2.5.5 Faktor-faktor kerusakan yang mempengaruhi kemunduran mutu ikan Proses kemunduran mutu ikan akan terus berlangsung jika tidak dihambat. Cepat lambatnya proses tersebut sangat dipengaruhi oleh banyak hal, baik faktor internal yang lebih banyak berkaitan dengan sifat ikan itu sendiri maupun eksternal yang berkaitan dengan lingkungan dan perlakuan manusia. Menurut Junianto, (2003
23
dalam Djafar, 2014) faktor internal yang mempengaruhi kemunduran mutu ikan yaitu sebagai berikut. 1. Jenis ikan. Jenis ikan pelagis cenderung lebih cepat mengalami kemunduran mutu dibanding ikan demersal, selain itu ikan air tawar cenderung lebih cepat mencapai kemunduran mutu dibanding ikan air laut. 2. Umur dan ukuran ikan. Ikan dewasa dengan ukuran yang besar lebih lama mengalami kemunduran mutu dari pada ikan kecil. 3. Kandungan lemak. Ikan yang mengandung lemak tinggi cenderung lebih cepat mengalami kemunduran mutu dibanding ikan-ikan berlemak rendah. 4. Kondisi fisikal ikan. Kondisi fisik yang lemah sebelum ditangkap karena kurang bergizi makanannya, baru menelurkan, dan sebagainya akan berpengaruh terhadap waktu memasuki tahap rigor (kaku). 5. Karakteristik kulit dan bentuk tubuh. Ikan yang memiliki kulit yang tebal akan cenderung lebih lama laju kemunduran mutunya dibanding ikan yang memiliki kulit yang tipis, begitu juga dengan ikan yang bentuk tubuhnya bulat lebih lama kemunduran mutunya dibanding ikan yang bentuknya pipih. Faktor-faktor eksternal yang paling berpengaruh terhadap kemunduran mutu ikan adalah sebagai berikut. 1. Penggunaan alat tangkap. Jenis dan teknik penangkapan akan berpengaruh pada derajat keletihan ikan. Ikan yang berjuang keras lama menghadapi kematiannya dalam jaring sebelum ditarik ke kapal akan kehabisan banyak cadangan tenaga sehingga lebih cepat memasuki masa rigor. Alat tangkap yang baik adalah yang
24
dapat menekan tingkat stres pada ikan dan mengurangi gerakan ikan (merontaronta) sebelum mati. 2. Penanganan pascapanen yang dilakukan oleh para nelayan. Memperoleh ikan yang bermutu dan daya awet panjang, pokok utama dalam menangani ikan adalah bekerja cepat, cermat, bersih, dan pada suhu rendah. 3. Musim. Daya simpan ikan pada musim panas yang hangat sering lebih pendek. Daya awet ikan berfluktuasi secara musiman menurut suhu. 4. Wilayah penangkapan. Perbedaan dalam wilayah penangkapan dapat juga berpengaruh terhadap daya awet. 5. Suhu air saat ikan ditangkap. Air yang bersuhu tinggi dan ikan agak lama tinggal dalam air sebelum diangkat dapat mempercepat proses penurunan mutunya.
2.6 Pengertian Mutu Mutu merupakan suatu produk atau jasa yang memenuhi syarat atau keinginan pelanggan, dimana pelanggan dapat menggunakan atau menikmati produk atau jasa tersebut dengan sangat puas dan mereka menjadi pelanggan tetap (Feigenbaum, 1991 dalam Saragih, 2013). Dalam perusahaan pabrik, istilah mutu diartikan sebagai faktor-faktor yang terdapat dalam suatu barang atau hasil tersebut sesuai dengan tujuan untuk apa barang atau hasil itu dimaksudkan atau dibutuhkan (Assuari, 1999 dalam Hutapea, 2010). Mutu suatu produk adalah keadaan fisik, fungsi, dan sifat suatu produk bersangkutan yang dapat memenuhi selera dan memuaskan kebutuhan konsumen
25
sesuai dengan nilai uang yang telah dikeluarkan (Prawirosentono, 2001 dalam Hutapea, 2010). Dari pihak konsumen, mutu suatu barang ditentukan oleh harapan konsumen atas biaya-biaya yang harus ditanggung oleh konsumen apabila dia membeli barang tersebut di satu pihak dengan harga barang tersebut di lain pihak. Dalam hal ini konsumen membandingkan antara harga barang dibeli, kebutuhan diinginkan, serta biaya-biaya pemakaian barang tersebut. Keseimbangan antara tiga hal tersebut menentukan pilihan konsumen atas mutu barang yang dipilihnya untuk dibeli atau dimilikinya (Gitosudarmo, 1998 dalam Hutapea, 2010). Oleh karena itu, produk yang dihasilkan oleh perusahaan hendaknya memperhatikan persyaratan mutu, baik persyaratan nasional maupun luar negeri. Mengetahui persyaratan mutu dan keamanan pangan pada hasil perikanan beku dapat dilihat pada Tabel 2.2 berikut. Tabel 2.2 Persyaratan Mutu dan Keamanan Pangan Ikan Beku Parameter 1. Sensori 2. Kimiaa - Histaminc - TVB 3. Fisika - Suhu pusat 4. Cemaran mikroba - ALT - Escherichia coli - Salmonella - Vibrio choleraa - Vibrio parahaemolythusa - Listeria monocytogenesa,f 5. Cemaran logama - Arsen (As) - Kadmium (Cd)
Satuan -
Persyaratan Min. 7 (Skor 1-9)
mg/kg mgN%
Maks. 100 Maks. 20
0
C
Maks. -18
koloni/g APM/g per 25 g per 25 g APM/g per 25 g
Maks. 5,0 x 105 <3 Negatif Negatif <3 Negatif
mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
Maks. 1,0 Maks. 0,1 Maks. 0,5b Maks. 0,05d
26
Lanjutan Tabel 2.2 Parameter - Merkuri (Hg) - Timah (Sn) - Timbal (Pb)
Satuan mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
6. Cemaran fisika 7. Racun hayatia - Ciguatoksin
Persyaratan Maks. 0,5 Maks. 1,0b Maks. 40,0 Maks. 0,3 Maks. 0,4b Maks. 0,2d 0 Negatif
Sumber : Badan Standarisasi Nasional, 2014 Catatan : a bila diperlukan b untuk ikan predator c untuk ikan scombroid, clupeidae, scombresocidae, pomatomidae, coryphaenedae d untuk ikan yang dibudidayakan e untuk ikan karang f untuk ikan salmonidae
Performansi mutu dapat ditentukan dan diukur berdasarkan karakteristik mutu yang terdiri atas beberapa sifat atau dimensi sebagai berikut (Gaspersz, 1998 dalam Mentari, 2011). 1. Fisik : panjang, berat, dan diameter. 2. Sensory (berkaitan dengan panca indera) : rasa, penampilan, warna, bentuk, model, dan lain-lainnya. 3. Orientasi waktu : keandalan, kemampuan pelayanan, kemudahan pemeliharaan, dan ketepatan waktu penyerahan produk. 4. Orientasi biaya : berkaitan dengan dimensi biaya yang menggambarkan harga atau ongkos dari suatu produk yang harus dibayarkan oleh konsumen.
27
2.7 Pengendalian Mutu Ismiatun (2013) menyatakan bahwa pengendalian adalah apabila dalam pengawasan ternyata ditemukan adanya penyimpangan atau hambatan maka segera diambil tindakan koreksi. Perbedaan pengendalian dan pengawasan yaitu pengawasan tidak disertai tindak lanjut, tetapi cukup melaporkan, sedangkan pengendalian disertai tindak lanjut. Selanjutnya menurut Montgomery, (1996 dalam Saulina, 2009) pengendalian mutu adalah suatu aktivitas keteknikan dan manajemen, sehingga ciriciri kualitas (mutu) dapat diukur dan dibandingkan dengan spesifikasinya. Kemudian dapat diambil tindakan perbaikan yang sesuai apabila terdapat perbedaan atau penyimpangan antara penampilan yang sebenarnya dengan yang standar Tujuan utama pengendalian mutu adalah menjaga kepuasan pelanggan. Tujuan pengendalian mutu lainnya sebagai berikut (Ahyari, 2000 dalam Sutrisno, 2014). 1. Mengusahakan agar penggunaan biaya serendah mungkin. 2. Agar dapat memproduksi selesai tepat pada waktunya. 3. Meningkatkan kepuasan konsumen. Langkah-langkah pengendalian mutu adalah sebagai berikut (Bounds, 1994 dalam Sutrisno, 2014). (1) Menilai kinerja kualitas aktual. (2) Membandingkan kinerja dengan tujuan. (3) Bertindak berdasarkan perbedaan antara kinerja dan tujuan. Keuntungan dari pengendalian mutu sebagai berikut (Feingenbaum, 1989 dalam Mentari, 2011).
28
a. Meningkatkan mutu, desain produk, dan aliran produksi. b. Meningkatkan moral tenaga kerja dan kesadaran mengenai mutu. c. Meningkatkan pelayanan produk dan memperluas pangsa pasar. Dalam menjalankan aktivitas, pengendalian mutu merupakan salah satu teknik yang perlu dilakukan mulai dari sebelum proses produksi berjalan, pada saat proses produksi, hingga proses produksi berakhir dengan menghasilkan produk akhir. Pengendalian mutu dilakukan agar dapat menghasilkan produk berupa barang atau jasa yang sesuai dengan standar yang diinginkan dan direncanakan, serta memperbaiki mutu produk yang belum sesuai dengan standar yang telah ditetapkan dan sedapat mungkin mempertahankan mutu yang telah sesuai. Pengendalian mutu tidak dapat dilepaskan dari pengendalian produksi, karena pengendalian mutu merupakan bagian dari pengendalian produksi. Pengendalian produksi baik secara kualitas maupun kuantitas merupakan kegiatan yang sangat penting dalam suatu perusahaan. Hal ini disebabkan karena semua kegiatan produksi yang dilaksanakan akan dikendalikan, supaya barang dan jasa yang dihasilkan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan, dimana penyimpangan-penyimpangan yang terjadi diusahakan serendah-rendahnya (Assauri, 1998 dalam Fakhri, 2010). 2.7.1 Faktor-faktor pengendalian mutu Menurut Montgomery, (2001 dalam Fakhri, 2010) dan berdasarkan beberapa literatur lain menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pengendalian mutu yang dilakukan perusahaan sebagai berikut.
29
1. Kemampuan proses Batas-batas yang ingin dicapai haruslah disesuaikan dengan kemampuan proses yang ada. Tidak ada gunanya mengendalikan suatu proses dalam batas-batas yang melebihi kemampuan atau kesanggupan proses yang ada. 2. Spesifikasi yang berlaku Spesifikasi hasil produksi yang ingin dicapai harus dapat berlaku, bila ditinjau dari segi kemampuan proses dan keinginan atau kebutuhan konsumen yang ingin dicapai dari hasil produksi tersebut. Dalam hal ini haruslah dapat dipastikan dahulu apakah spesifikasi tersebut dapat berlaku dari kedua segi yang telah disebutkan di atas sebelum pengendalian mutu pada proses dapat dimulai. 3. Tingkat ketidaksesuaian yang dapat diterima Tujuan dilakukan pengendalian suatu proses adalah dapat mengurangi produk yang berada di bawah standar seminimal mungkin. Tingkat pengendalian yang diberlakukan tergantung pada banyaknya produk yang berada di bawah standar yang dapat diterima. 2.7.2 Tahapan pengendalian mutu Memperoleh hasil pengendalian mutu yang efektif, maka pengendalian terhadap mutu suatu produk dapat dilaksanakan dengan menggunakan teknik-teknik pengendalian mutu, karena tidak semua hasil produksi sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Menurut Prawirosentono, (2007 dalam Fakhri, 2010), terdapat beberapa standar mutu yang bisa ditentukan oleh perusahaan dalam upaya menjaga output barang hasil produksi sebagai berikut.
30
1. Standar mutu bahan baku yang akan digunakan. 2. Standar mutu proses produksi (mesin dan tenaga kerja yang melaksanakannya). 3. Standar mutu barang setengah jadi. 4. Standar mutu barang jadi. 5. Standar administrasi, pengepakan, dan pengiriman produk akhir tersebut sampai ke tangan konsumen. Dikarenakan kegiatan pengendalian mutu sangatlah luas, untuk itu semua pengaruh terhadap mutu harus dimasukkan dan diperhatikan. Secara umum menurut Prawirosentono, (2007 dalam Fakhri, 2010) menyatakan bahwa pengendalian atau pengawasan akan mutu di suatu perusahaan dilakukan secara bertahap yang meliputi hal-hal sebagai berikut. (1) Pemeriksaan dan pengawasan mutu bahan mentah (bahan baku atau bahan baku penolong), mutu bahan dalam proses, dan mutu produk jadi. Demikian pula standar jumlah dan komposisinya. (2) Pemeriksaan atas produk sebagai hasil proses pembuatan. Hal ini berlaku untuk barang setengah jadi maupun barang jadi. Pemeriksaan yang dilakukan tersebut memberi gambaran apakah proses produksi berjalan seperti yang telah ditetapkan atau tidak. (3) Pemeriksaan cara pengepakan dan pengiriman barang ke konsumen. Melakukan analisis fakta untuk mengetahui penyimpangan yang mungkin terjadi. (4) Mesin, tenaga kerja, dan fasilitas lainnya yang dipakai dalam proses produksi harus juga diawasi sesuai dengan standar kebutuhan. Apabila terjadi
31
penyimpangan, harus segera dilakukan koreksi agar produk yang dihasilkan memenuhi standar yang direncanakan. Tahapan pengendalian atau pengawasan mutu terdiri atas dua tingkatan sebagai berikut (Assauri, 1998 dalam Fakhri, 2010). a. Pengawasan selama pengolahan (proses) Yaitu dengan mengambil contoh atau sampel produk pada jarak waktu yang sama, dan dilanjutkan dengan pengecekan statistik untuk melihat apakah proses dimulai dengan baik atau tidak. Apabila mulainya salah, maka keterangan kesalahan ini dapat diteruskan kepada pelaksana semula untuk penyesuaian kembali. Pengawasan yang dilakukan hanya terhadap sebagian dari proses, mungkin tidak ada artinya bila tidak diikuti dengan pengawasan pada bagian lain. Pengawasan terhadap proses ini termasuk pengawasan atas bahan-bahan yang akan digunakan untuk proses. b. Pengawasan atas barang hasil yang telah diselesaikan Walaupun telah diadakan pengawasan mutu dalam tingkat-tingkat proses, tetapi hal ini tidak dapat menjamin bahwa tidak ada hasil yang rusak atau kurang baik ataupun tercampur dengan hasil yang baik. Dalam menjaga supaya hasil barang yang cukup baik atau paling sedikit rusaknya, tidak keluar atau lolos dari pabrik sampai ke konsumen atau pembeli, maka diperlukan adanya pengawasan atas produk akhir.
32
2.8 Statistical Quality Control (SQC) Statistik merupakan teknik pengambilan keputusan pada suatu analisis informasi yang terkandung dalam suatu sampel dari populasi. Metode statistik memegang peranan penting dalam jaminan mutu. Metode statistik memberikan caracara pokok dalam pengambilan sampel produk, pengujian serta evaluasi, dan informasi didalam data yang digunakan untuk mengendalikan dan meningkatkan proses pembuatan. Pengendalian mutu atau kualitas merupakan aktivitas teknik dan manajemen dimana mengukur karakteristik mutu atau kualitas dari produk atau jasa, kemudian membandingkan hasil pengukuran itu dengan spesifikasi produk yang diinginkan serta mengambil tindakan peningkatan yang tepat apabila ditemukan perbedaan kinerja aktual dan standar (Bakhtiar, Tahir, dan Hasni, 2013). Statistic quality control (SQC) atau pengendalian kualitas statistik merupakan teknik penyelesaian masalah yang digunakan untuk memonitor, mengendalikan, menganalisis, mengelola, memperbaiki produk, dan proses menggunakan metodemetode statistik. Pengendalian mutu atau kualitas statistik (statistic quality control atau SQC) sering disebut sebagai pengendalian proses statistik (statistical process control atau SPC). Pengendalian mutu atau kualitas statistik dan pengendalian proses statistik memang merupakan dua istilah yang saling dipertukarkan, yang apabila dilakukan bersama-sama maka pengguna akan melihat gambaran kinerja proses masa kini dan masa mendatang (Cawuley dan Harrold, 1999 dalam Nadiah, 2013).
33
Statistical quality control (SQC) mempunyai tiga penggunaan umum yaitu (1) untuk mengawasi pelaksanaan kerja sebagai operasi-operasi individual selama pekerjaan sedang dilakukan, (2) untuk memutuskan apakah menerima atau menolak sejumlah produk yang telah diproduksi (baik dibeli atau dibuat dalam perusahaan), dan (3) untuk melengkapi manajemen dengan audit kualitas produk-produk perusahaan (Handoko, 1984 dalam Nadiah, 2013). Pada suatu perusahaan, statistical quality control (SQC) sangat bermanfaat sebagai alat pengendali mutu. Pengendalian mutu juga meliputi pengawasan pemakaian bahan-bahan, berarti secara tidak langsung statistical quality control (SQC) bermanfaat pula mengawasi tingkat efisiensi. Dengan demikian, statistical quality control (SQC) dapat digunakan sebagai alat untuk mencegah kerusakan dengan cara menolak (reject) dan menerima (accept) berbagai produk yang dihasilkan, sekaligus upaya efisiensi dalam penggunaan biaya pada pengendalian mutu produk (Prawirosentono, 2004 dalam Nadiah, 2013).
2.9 Metode Statistical Quality Control (SQC) 2.9.1 Peta kendali (control chart) Reksohadiprojo, (1995 dalam Sutrisno, 2014) menyatakan bahwa peta kendali (control chart) merupakan alat analisis untuk mengetahui rata-rata kerusakan penyimpangan, batas atas, dan batas bawah pengendalian mutu suatu produk. Peta kendali (control chart) adalah suatu alat yang secara grafis digunakan untuk memonitor dan mengevaluasi apakah suatu aktivitas atau proses berada dalam pengendalian mutu secara statistika atau tidak, sehingga dapat memecahkan masalah
34
dan menghasilkan perbaikan mutu. Peta kendali menunjukkan adanya perubahan data dari waktu ke waktu, tetapi tidak menunjukkan penyebab penyimpangan meskipun penyimpangan itu akan terlihat pada peta kendali. Manfaat dari peta kendali adalah sebagai berikut. 1. Memberikan informasi apakah suatu proses produksi masih berada di dalam batas-batas kendali mutu atau tidak terkendali. 2. Memantau proses produksi secara terus-menerus agar tetap stabil. 3. Menentukan kemampuan proses (capability process). 4. Mengevaluasi performance pelaksanaan dan kebijaksanaan pelaksanaan dalam proses produksi. 5. Membantu menentukan kriteria batas penerimaan mutu produk sebelum produk akan dipasarkan. Peta kendali digunakan untuk membantu mendeteksi adanya penyimpangan dengan cara menetapkan batas-batas kendali. Peta kendali yang sering digunakan adalah peta kendali model Andrew Shewhart yang pada dasarnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut. (1) Upper control limit atau batas kendali atas (UCL) Merupakan garis batas atas untuk suatu penyimpangan yang masih diijinkan. Dapat dinotasikan sebagai batas penyimpangan paling tinggi dari nilai baku.
35
(2) Central line atau garis pusat atau tengah (CL) Merupakan garis yang melambangkan tidak adanya penyimpangan dari karakteristik sampel. Nilai baku yang akan menjadi pangkalan perhitungan terjadinya penyimpangan hasil pengamatan pada tiap sampel. (3) Lower control limit atau batas kendali bawah (LCL) Merupakan garis batas bawah untuk suatu penyimpangan dari karakteristik sampel. Dapat dinotasikan sebagai batas penyimpangan terendah yang masih berada dalam batas-batas pengendalian. Pengendalian mutu akan berjalan baik jika kerusakan produk masih dalam batas normal yaitu terletak antara batasan pengawasan atas (UCL) dan batasan pengawasan bawah (LCL). Apabila kerusakan produk di atas garis UCL, maka perusahaan akan mengalami kerugian yang dikarenakan jumlah kerusakan produk tinggi dan jika jumlah kerusakan produk di bawah garis LCL, maka perusahaan akan memperoleh keuntungan atau laba besar yang dikarenakan jumlah kerusakan produknya sedikit. Bentuk grafik peta kendali berdasarkan model Andrew Shewhart dapat ditunjukkan seperti Gambar 2.1 berikut. Persentase kerusakan (%) UCL CL LCL Periode (bulan)
Gambar 2.1 Grafik Peta Kendali Model Andrew Shewhart
36
Menurut Reksohadiprojo, (1995 dalam Sutrisno, 2014) metode control chart merupakan analisis untuk mengetahui rata-rata kerusakan penyimpangan, batas atas, dan batas bawah pengawasan mutu dengan menggunakan rumus sebagai berikut. a. Mencari rata-rata kerusakan ......................................................................
(1)
Keterangan: P = persentase kerusakan produk (%/tahun) X = jumlah produk rusak (kg/tahun) n = jumlah produksi selama periode (kg/tahun) b. Menentukan standar deviasi atau penyimpangan -
√
.......................................................................
(2)
Keterangan: P = persentase kerusakan produk (%/tahun) Sp = standar deviasi atau penyimpangan (kg/tahun) n = rata-rata produksi selama periode (kg/tahun) c. Menentukan batas pengawasan (a) Batasan pengawasan atas (Upper Control Limit = UCL) ....................................................................
(3)
(b) Batas pengawasan bawah (Lower Control Limit = LCL) -
.....................................................................
Keterangan: UCL = batas pengawasan atas (upper control line) (%/tahun) LCL = batas pengawasan bawah (lower control line) (%/tahun) Sp = standar deviasi atau penyimpangan (kg/tahun)
(4)
37
2.9.2 Biaya mutu (quality cost) Gitosudarmo, (1993 dalam Sutrisno, 2014) menyatakan bahwa biaya mutu (quality control) merupakan metode yang digunakan untuk mengetahui jumlah produk rusak yang optimal yaitu jumlah produk rusak dengan biaya mutu yang efisien. Biaya-biaya yang diperhitungkan tersebut sebagai berikut. 1. Biaya pengawasan mutu (quality control cost) Biaya pengawasan mutu (QCC) merupakan biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan dalam melakukan pengawasan mutu produknya. Adapun biaya-biaya yang merupakan biaya pengawasan mutu (quality control cost) sebagai berikut. (1) Biaya kerusakan ikan karena kurangnya pengawasan pada waktu penyimpanan ikan di palkah pada saat di kapal atau di perusahaan dan kurang stabilnya mutu ikan, sehingga waktu ikan akan diproses mutunya mengalami penyusutan, biaya uji mutu ikan, dan biaya penyusutan peralatan untuk proses pengendalian mutu. (2) Biaya tenaga kerja yang terlibat dalam pengawasan mutu. Biaya ini merupakan biaya tambahan karena perusahaan sering mengadakan kerja lembur untuk pemeriksaan mutu. Besarnya biaya pengawasan mutu dipengaruhi oleh ketat tidaknya intensitas pengawasan mutu produk. Hal tersebut dapat diketahui dengan menggunakan rumus sebagai berikut. ....................................................................... Keterangan: QCC = total biaya pengawasan mutu (Rp/tahun) R = jumlah produksi selama periode (kg/tahun) o = biaya pengetesan (Rp/tahun) q = jumlah ikan rusak selama periode (kg/tahun)
(5)
38
2. Biaya jaminan mutu (quality assurance cost) Biaya jaminan mutu (QAC) dikeluarkan perusahaan diakibatkan karena kerusakan produk selama perjalanan dari perusahaan ke distributor atau ke konsumen bahkan masih di dalam perusahaan. Biaya jaminan mutu (quality assurance cost) ini meliputi sebagai berikut. (1) Biaya perbaikan atau reparasi produk yang rusak. (2) Biaya penggantian produk rusak dan cacat. (3) Biaya atas ditanggungnya risiko menyebabkan berkurangnya volume penjualan karena biaya produk yang rusak atau cacat telah dibeli oleh konsumen. Besarnya biaya jaminan mutu (QAC) dapat dicari menggunakan rumus sebagai berikut. ..............................................................
(6)
Keterangan: QAC = total biaya jaminan mutu (Rp/tahun) c = biaya jaminan mutu tiap kilogram (Rp/kg) q = jumlah produk rusak selama periode (kg/tahun) 3. Total biaya atas mutu (total quality cost) Total biaya atas mutu (TQC) merupakan biaya yang harus ditanggung oleh perusahaan, dimana besarnya merupakan penjumlahan dari biaya pengawasan mutu (QCC) dengan biaya jaminan mutu (QAC), secara matematis total biaya atas mutu (TQC) dirumuskan sebagai berikut. .............................................................. Keterangan: TQC = total biaya atas mutu (Rp/tahun) QCC = total biaya pengawasan mutu (Rp/tahun) QAC = total biaya jaminan mutu (Rp/tahun)
(7)
39
4. Dari kedua biaya tersebut yaitu biaya pengawasan mutu (QCC) dan biaya jaminan mutu (QAC), maka dapat dicari titik temu antara kedua biaya tersebut dan menemukan jumlah ikan rusak yang menanggung total biaya mutu yang rendah. Caranya adalah dengan menyamakan persamaan garis dari kedua biaya tersebut. Titik temu itu dapat ditentukan dengan rumus berikut. √
..................................................................
(8)
Keterangan: q* = jumlah produk rusak optimum (kg/tahun) R = jumlah produksi selama periode (kg/tahun) o = biaya pengetesan (Rp/tahun) c = biaya jaminan mutu tiap kilogram (Rp/kg) a. q* untuk mengetahui jumlah produk rusak yang menanggung biaya terendah. b. Intensitas pengawasan kualitas sudah berjalan baik jika ikan rusak yang benarbenar terjadi (q) lebih kecil dari ikan rusak yang dikehendaki (q*). Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikatakan semakin besar biaya pengawasan mutu (QCC) dikeluarkan, mencerminkan semakin ketat pengawasan mutu yang dilaksanakan. Jumlah produk yang rusak semakin kecil, sehingga biaya total atas mutu (TQC) akan semakin kecil juga dan demikian pula sebaliknya. Semakin kecil biaya pengawasan mutu (QCC) yang dikeluarkan, mencerminkan semakin tidak ketat pengawasan mutu yang dilaksanakan dan jumlah produk rusak semakin besar, sehingga biaya total atas mutu (TQC) akan semakin besar. Bentuk grafik total biaya mutu (quality cost) ini, seperti ditunjukkan pada Gambar 2.2 sebagai berikut.
40
Biaya (Rp)
TQC (Total biaya atas mutu)
C1 C2 QAC (Biaya jaminan mutu)
C*min
A
q1
q*
QCC (Biaya pengawasan mutu)
q2
Jumlah produk rusak (kg)
Gambar 2.2 Grafik Biaya Mutu (quality cost) Sumber : Gitosudarmo, (1998 dalam Hutapea, 2010) Keterangan: TQC = total biaya atas mutu (Rp/tahun) QCC = total biaya pengawasan mutu (Rp/tahun) QAC = total biaya jaminan mutu (Rp/tahun) q* = jumlah produk rusak optimum (kg/tahun) C* = total biaya mutu kerusakan optimum (Rp/tahun) Gambar 2.2 menjelaskan bahwa grafik total biaya mutu (TQC) memiliki titik rendah yaitu pada saat jumlah kerusakan produk optimal sebesar q*, maka total biaya mutunya terendah yaitu sebesar C*. Apabila intensitas pengawasan mutu dilakukan semakin ketat, maka jumlah produk yang rusak akan semakin kecil menjadi sebesar q1. Hal ini mengakibatkan semakin besar total biaya yang dikeluarkan yaitu sebesar C1 dan biaya jaminan mutu akan semakin kecil. Sebaliknya apabila pengawasan mutu dilakukan terlalu longgar, maka jumlah produk yang rusak semakin meningkat
41
sebesar q2, sehingga biaya jaminan mutu akan naik dan total biaya mutu juga akan meningkat menjadi sebesar C2. Titik terendah dari total biaya mutu akan mencapai pada saat perpotongan garis-garis biaya pengawasan mutu dengan biaya jaminan mutu. Pada perpotongan tersebut juga akan dilihat jumlah kerusakan produk optimum sebesar q*.
2.10 Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai pengendalian atau pengawasan mutu sebelumnya yang sudah pernah dilakukan oleh beberapa penulis, dapat dikemukakan sebagai berikut. 1. Made Agus Prianggawan (2008) meneliti tentang pengawasan mutu produksi indico red wine pada PT Prasida Lanturmaju. Berdasarkan hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pelaksanaan pengawasan mutu yang dilaksanakan pada periode Januari s.d. Desember 2007 sudah sesuai dengan standar perusahaan. Dimana jumlah kerusakan yang terjadi yaitu sebesar 265 ltr dengan total biaya pengawasan mutu yang dikeluarkan perusahaan sebesar Rp 103.816.037,74 dan untuk kerusakan optimum sebesar 692,8 ltr dengan total biaya pengawasan mutu yang dikeluarkan perusahaan sebesar Rp 69.281.032,3. Dengan demikian, biaya yang dapat diefisienkan sebesar Rp 34.534.005,44. Metode analisis data yang digunakan adalah peta kontrol (control chart), diagram sebab akibat, biaya pengawasan, dan lembar check sheet. 2. Sri Yulianti Fitriani (2007) meneliti tentang pengawasan mutu produk kecap produksi PT Korma Jaya Utama, Jakarta Selatan. Hasil penelitiannya
42
menunjukkan bahwa biaya pengawasan mutu yang dikeluarkan selama tahun 2006 periode Januari s.d. Juli dibagi menjadi biaya pengawasan mutu (QCC) sebesar
Rp
38.974.994,76
dan
biaya
jaminan
mutu
(QAC)
sebesar
Rp 625.352.000, sehingga total biaya pengawasan mutu yang dikeluarkan selama proses produksi sebesar Rp 664.326.994,8. Metode analisis data yang digunakan adalah biaya intensitas pengawasan mutu. 3. Yuniar Astuti Hutapea (2010) meneliti tentang pengawasan mutu produk minyak kelapa di CV Cahaya Bali, Denpasar. Hasil penelitiannya menunjukkan rata-rata mutu yang terjadi di perusahaan masih ada yang belum sesuai dengan standar mutu yang ditetapkan perusahaan, namun proses pengendalian yang diterapkan masih dapat ditolerir karena persentase rusak atas total produksi berada pada batas kontrol. Pengawasan mutu yang dilakukan oleh perusahaan belum efisien karena biaya jaminan mutu riil yang dikeluarkan lebih besar jika dibandingkan dengan biaya pengawasan mutu optimum. Besarnya kerusakan optimum yang terjadi sebesar 774.960,38 kg atau 6,96% dari total produksi, dimana biaya pengawasan mutu yang dikeluarkan perusahaan pada saat kondisi kerusakan optimum terjadi adalah Rp
sebesar
Rp
774.960.300,00,
774.960.461,84, dan
total
biaya
biaya
jaminan
optimum
atas
mutu
sebesar
mutu
sebesar
Rp 1.549.920.861,84. Metode analisis data yang digunakan adalah peta kontrol dan biaya mutu. Penelitian ini memiliki persamaan maupun perbedaan dengan penelitian terdahulu. Dimana persamaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah
43
menggunakan metode penelitian atau alat analisis yang sama yaitu dengan menggunakan peta kendali (control chart) dan biaya mutu (quality cost). Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah terletak pada objek yang diteliti, lokasi penelitian, dan waktu penelitian. Lebih lengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.3 sebagai berikut. Tabel 2.3 Persamaan dan Perbedaan Penelitian Peneliti Made Agus Prianggawan (2008)
Judul Penelitian Persamaan Pengawasan a. Menggunakan Mutu Produksi metode analisis Indico Red data peta kontrol Wine pada PT (control chart) Prasida dan biaya Lanturmaju pengawasan
a.
b.
c.
d.
Sri Yulianti Fitriani (2007)
Pengawasan Mutu Produk Kecap Produksi PT Korma Jaya Utama, Jakarta Selatan
a. Menggunakan a. metode analisis data biaya intensitas pengawasan mutu b. c.
Yuniar Astuti Hutapea (2010)
Pengawasan Mutu Produk Minyak Kelapa di CV Cahaya Bali, Denpasar
a. Menggunakan metode analisis data peta kontrol dan biaya mutu
a.
b.
Perbedaan Lokasi penelitian berada di PT Prasida Lanturmaju Objek yang diteliti adalah indico red wine Waktu penelitian berlangsung selama bulan Januari s.d. Desember 2007 Tidak menggunakan metode analisis data diagram sebab akibat dan lembar check sheet Lokasi penelitian berada di PT Korma Jaya Utama, Jakarta Selatan Objek yang diteliti adalah kecap Waktu penelitian berlangsung selama bulan Januari s.d. Juli 2006 Lokasi penelitian berada di CV Cahaya Bali Objek yang diteliti adalah minyak kelapa
44
2.11 Kerangka Pemikiran Pengendalian mutu secara statistik yaitu sebuah proses yang digunakan untuk menjaga standar, mengukur, dan melakukan tindakan perbaikan terhadap produk atau jasa yang diproduksi (Heizer dan Render, 2006 dalam Fakhri, 2010). Pengendalian mutu secara statistik dapat digunakan untuk menerima atau menolak produk yang telah diproduksi dan dapat dipergunakan untuk mengawasi proses sekaligus mutu produk yang sedang dikerjakan. Kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan pengendalian mutu pada pengolahan ikan pelagis beku yang sudah mengikuti standar prosedur perusahaan atau tidak dan untuk menggambarkan bagaimana
sistem
pengendalian
mutu
untuk
meminimumkan
kerusakan
menggunakan pendekatan statistical quality control (SQC) pada pengolahan ikan pelagis beku apakah sudah berjalan dengan baik atau belum. Dengan demikian, dapat bermanfaat dalam menganalisis tingkat kerusakan produk yang dihasilkan oleh PT Perikanan Nusantara (Persero) Cabang Benoa Bali yang melebihi batas toleransi atau tidak menggunakan peta kendali (control chart) dan menganalisis biaya mutu (quality cost) yang dikeluarkan oleh perusahaan terdiri atas biaya pengawasan mutu (quality control cost), biaya jaminan mutu (quality assurance cost), dan total biaya atas mutu (total quality cost) selama tahun 2014 untuk kemudian ditelusuri
solusi
penyelesaian masalah tersebut
sehingga
menghasilkan usulan atau rekomendasi perbaikan mutu produksi dimasa mendatang.
45
Berdasarkan latar belakang dan tinjauan pustaka yang telah dikemukakan, maka dapat disusun kerangka pemikiran dalam penelitian ini seperti tersaji dalam Gambar 2.3 sebagai berikut.
PT Perikanan Nusantara (Persero) cabang Benoa Bali
Hasil produksi ikan pelagis Pelaksanaan pengendalian mutu pada pengolahan ikan pelagis beku
Proses selanjutnya
Statistical quality control (SQC)
Analisis deskriptif
Pelaksanaan pengendalian mutu pada pengolahan ikan pelagis beku di perusahaan
Produk rusak
Produk baik
Analisis peta kendali (control chart)
Analisis biaya mutu (quality cost)
Simpulan Rekomendasi
Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran Analisis Pengendalian Mutu pada Pengolahan Ikan Pelagis Beku di PT Perikanan Nusantara (Persero) Cabang Benoa Bali
46
2.12 Hipotesis Hipotesis merupakan pernyataan ilmiah yang dilandasi oleh kajian teoritik dan empirik yang merupakan jawaban sementara dari tujuan penelitian yang dapat diuji kebenarannya secara empirik (Antara, 2014). Dengan demikian, hipotesis yang dapat diambil penulis pada penelitian ini sebagai berikut. 1. Diduga pelaksanaan pengendalian mutu pada pengolahan ikan pelagis beku yang dilakukan oleh PT Perikanan Nusantara (Persero) Cabang Benoa Bali telah mengikuti standar prosedur penetapan perusahaan. 2. Diduga
sistem
pengendalian
mutu
untuk
meminimumkan
kerusakan
menggunakan pendekatan statistical quality control (SQC) pada pengolahan ikan pelagis beku sudah berjalan dengan baik.