TINJAUAN PUSTAKA Daging Kerbau Kerbau adalah hewan tergolong memamah biak subkeluarga bovinae dan mempunyaikebiasaan berendam di sungai dan lumpur. Ternak kerbau merupakan salah satu sarana produksi yang memiliki peran yang sangat penting dan strategis dalam upaya meningkatkan jumlah dan mutu produk ternak, sumber tenaga kerja, sebagai
sumber
pangan
dan
berperan
dalam
kebudayaan
sehingga
perkembangannya diperlukan selain kualitas juga kuantitas bibit ternak tersebut (Beakely dan Bade, 1998). Defenisi daging secara umum adalah bagian dari tubuh hewan yang disembelih yang aman dan layak dikonsumsi manusia. Termasuk dalam defenisi tersebut adalah daging atau otot skeletal dan organ-organ yang dapat dikonsumsi (Lukman, 2008). Otot skeletal mengandung sekitar 75% air, protein 19%, substansi-substansi non protein 3,5% serta lemak 2,5% (Soeparno, 2005). Kualitas daging adalah karakteristik daging yang dinilai oleh konsumen. Beberapa karakteristik kualitas daging yang penting dalam pengujian yakni warna, keempukan, tekstur, flavor (cita rasa), aroma (bau) (Soeparno, 2011). Zatzat yang terdapat di dalam daging yaitu protein 19-22%, lemak 2,5%, karbohidrat 1,2%, air 75% dan 1,5% substansi non protein (Lawrie, 2003). Kualitas daging dipengaruhi oleh faktor
sebelum dan sesudah pemotongan. Faktor sebelum
pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging meliputi genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur dan pakan. Faktor setelah pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging antara lain meliputi metode pelayuan, metode
Universitas Sumatera Utara
pemasakan,
pH
daging,
bahan
tambahan
seperti
enzim
pengempuk
(Abustam, 2009). Kualitas Daging Kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan setelah pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging antara lain genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan termasuk bahan aditif (hormon, antibiotik dan mineral). Faktor setelah pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging antara lain meliputi metode pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan, pH karkas dan daging, bahan tambahan termasuk enzim pengempuk daging, hormon dan antibiotika, lemak intramuskular,
metode
penyimpanan,
marinasi
dan
lokasi
otot
daging
(Abustam, 2008). Asap Cair Asap cair merupakan larutan hasil uap asap kayu atau tempurung kelapa yang dibakar dengan udara terbatas pada suhu tinggi. Komposisi asap cair mengandung berbagai senyawa yang terbentuk karena terjadinya pirolisis tiga komponen kayu yaitu selulosa 40-60%, hemiselulosa 20-30% dan lignin 20-30%. Pirolisis adalah proses pemanasan suatu zat tanpa adanya oksigen sehingga terjadi penguraian komponen-komponen penyusun kayu keras atau dapat dikatakan sebagai penguraian yang tidak teratur dari bahan-bahan organik yang disebabkan oleh adanya pemanasan tanpa berhubungan dengan udara luar. Proses pirolisis ini menghasilkan tiga fraksi yaitu fraksi padat (arang tempurung), fraksi berat (tar) dan fraksi ringan (gas) (Lawrie, 2003).
Universitas Sumatera Utara
Bahan tambahan pangan yang alami yang bersifat sebagai pengawet sekaligus sebagai bahan pengikat dan aman untuk dikonsumsi manusia adalah asap cair, dengan penambahan asap cair pada daging dapat meningkatkan kemampuan daging dalam mengikat air dan susut masak daging yang rendah. Penggunaan asap cair pada bahan pangan merupakan suatu cara mengawetkan daging. Senyawa asap yang dihasilkan dari asap cair ini adalah untuk menghambat pertumbuhan bakteri, memperlambat proses oksidasi lemak dan memberikan flavor pada daging (Lawrie, 2003). Komponen senyawa penyusun asap cair terdiri atas tiga senyawa penyusun terbesar antara lain asam yang dapat mempengaruhi cita rasa, pH dan umur simpan produk yang direndam asap cair. Karbonil yang bereaksi dengan protein dan membentuk pewarnaan cokelat dan fenol yang merupakan pembentuk utama aroma dan menunjukkan aktifitas antioksidan (Astuti, 2000). Penggunaan asap cair pada produk makanan mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan dengan pengasapan secara tradisional, diantaranya menghemat biaya yang dibutuhkan untuk kayu dan peralatan pembuatan asap , dapat mengatur flavor produk yang diinginkan, dapat mengurangi komponen yang berbahaya, dapat digunakan secara luas pada makanan dimana tidak dapat diatasi dengan metode tradisional (Pszczola, 1995). Hasil penelitian Budijanto et al., (2008) mengenai identifikasi dan uji keamanan asap cair tempurung kelapa dapat digunakan sebagai bahan pengawet alternatif yang aman untuk dikonsumsi serta memberikan karakteristik sensori berupa aroma, warna, serta rasa yang khas pada produk olahan pangan.
Universitas Sumatera Utara
Asap cair efektif dalam menghambat perkembangan bakteri dan aman digunakan sebagai pengawet makanan. Destilasi asap atau tempurung kelapa memiliki kandungan yang berfungsi sebagai penghambat perkembangan bakteri dan cukup aman sebagai pengawet alami antara lain asam, fenolat dan karbonil. Pirolisis tempurung kelapa menghasilkan asap cair dengan kandungan senyawa fenol sebesar 4,13%, karbonil 11,3% dan asam 10,2% (Surya dan Azis, 2008). Proses perendaman berfungsi untuk meresapkan bumbu masuk ke dalam daging. Hal ini akan mempengaruhi warna, bau serta daya simpan bahan terseebut. Besarnya konsentrasi yang digunakan juga akan mempengaruhi waktu lama perendaman. Penggunaan konsentrasi asap cair yng kecil akan memerlukan lama perendaman yang lebih lama. Menurut Sunarsih et al., (2012), di dalam asap cair terdapat asam yang dapat mempengaruhi cita rasa, pH dan umur simpan produk asapan. Asap cair dapat diaplikasikan pada produk pangan dengan berbagai metode, yaitu pencampuran, pencelupan atau perendaman, penyuntikan, pencampuran asap cair pada air perebusan dan penyemprotan. Pencelupan atau perendaman asap cair dapat menghassilkan mutu organoleptik yang tinggi terutama pada hasil produk olahan daging (Martinez et al., 2007). pH Daging pH (power of hydrogen) adalah nilai keasaman suatu senyawa atau nilai hydrogen dari senyawa tersebut. Menurut Lawrie (2003) bahwa pH akhir daging yang dicapai merupakan petunjuk untuk mengetahui mutu daging yang baik. Daging yang mempunyai pH antara 5,5-5,7 (pH normal) memperlihatkan warna merah cerah. Nilai pH digunakan untuk menunjukkan tingkat keasaman dan
Universitas Sumatera Utara
kebasaan dari substansi. Jaringan otot hewan pada saan hidup mempunyai nilai pH sekitar 5,1-7,2 dan menurun setelah pemotongan karena mengalami glikolisis dan dihasilkan asam laktat yang akan mempengaruhi pH.Nilai pH dapat menunjukkan penyimpangan kualitas daging karena berkaitan dengan warna, keempukan, cita rasa dan masa simpan (Lukman et al., 2007). Nilai pH juga berpengaruh terhadap keempukan daging. Daging dengan pH tinggi mempunyai keempukan yang lebih tinggi daripada daging dengan pH rendah. pH daging berhubungan dengan daya serap air dan keempukan juga berhubungan dengan warna dan sifat mekanik daging (daya putus dan kekuatan tarik) (Bouton et al., 1971). Menurut Lukman (2010) nilai pH akhir daging akan menentukan karakteristik kualitas daging lainnya seperti daya serap air, pertumbuhan mikroorganisme dan keempukan daging. Standar pH daging hewan sehat dan cukup istirahat yang baru disembelih adalah 7-7,2 dan akan terus menurun selama 24 jam sampai beberapa hari. Jika terjadi pembusukan maka pH daging akan kembali ke 7. Jarak penurunan pH tersebut tidak sama untuk semua urat daging dari seekor hewan dan antara hewan juga berbeda (Soeparno, 2005). pH daging berhubungan dengan daya ikat air, jus daging keempukan dan juga berhubungan dengan warna dan sifat mekanik daging (daya putus dan kekuatan tarik). Menurut Lukman (2010) nilai pH akhir daging akan menentukan nilai karakteristik kualitas daging lainnya seperti struktur otot, pertumbuhan mikroorganisme, enzim dan keempukan daging.
Universitas Sumatera Utara
Keempukan Daging Menurut Lawrie (2003) keempukan daging dipengaruhi oleh protein jaringan ikat, semakin tua ternak jumlah jaringan ikat akan lebih banyak, sehingga daging akan lebih keras. Keempukan daging tergantung dari temperatur dan lama waktu pemasakan, Keempukan daging adalah kualitas daging setelah dimasak yang didasarkan pada kemudahan waktu mengunyah tanpa menghilangkan sifat-sifat jaringan yang layak. Salah satu faktor penilaian mutu daging adalah sifat keempukannya yang dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor yang mempengaruhi keempukan daging ada hubungannya dengan komposisi daging itu sendiri, yaitu berupa tenunan pengikat, serabut daging, sel-sel lemak yang ada diantara serabut daging (Reny, 2009). Keempukan merupakan faktor yang mempengaruhi mutu produk terutama hubungannya dengan selera konsumen dan mempengaruhi penerimaan secara umum. Keempukan dapat diketahui dengan daya putusnya, semakin rendah nilai daya putusnya maka semakin empuk daging tersebut (Maruddin, 2004). Keempukan daging tergantung dari temperatur dan waktu pemasakan. Lama waktu pemasakan mempengaruhi kolagen dan temperatur pemasakan lebih mempengaruhi kealotan miofibrilar (Soeparno, 2005). Fiems et al., (2000) menambahkan bahwa nilai keempukan daging sangat berpengaruh oleh faktor penanganan ternak sebelum pemotongan, pakan ternak, pH dan perlemakan. Keempukan dan tekstur daging merupakan penentu paling penting pada kualitas daging. Keempukan daging ditentukan oleh tiga komponen daging, yaitu struktur miofibrilar atau status kontraksinya, kandungan jaringan ikat dan tingkat
Universitas Sumatera Utara
ikatan silangnya serta daya ikat air oleh protein daging serta jus daging (Soeparno, 2011). Uji Organoleptik Uji organoleptik merupakan salah satu cara yang digunakan menentukan kualitas daging. Penilaian warna, rasa, tekstur dan aroma memegang peranan penting dalam uji kesukaan (Rahayu, 1998). Sifat organoleptik menggunakan indera manusia sebagai instrument penilaian. Beberapa sifat yang menentukan dari suatu produk dapat dinilai secara organoleptik misalnya aroma, rasa dan tekstur (Utami, 2008). Menurut Sitorus (2001) rasa digunakan sebagai salah satu parameter uji kesukaan karena rasa merupakan salah satu faktor yang menentukan pilihan konsumen. Bau daging masak sangat ditentukan oleh prekursor yang larut di dalam air dan lemak dan pembebasan substansi volatil (keratin, reatinin dan purin) yang terdapat di dalam daging (Soeparno, 1992). Senyawa fenol yang terdapat di dalam asap cair yang selain dalam menyumbang cita rasa, asap juga mempunyai aksi sebagai anti oksidan dan bakterisidal pada makanan yang diasap (Tamaela, 2003). Flavor atau cita rasa adalah sensasi yang kompleks melibatkan bau, rasa, tekstur, suhu dan pH (Sitorus, 2001). Rasa juga merupakan sebagai salah satu parameter uji kesukaan karena rasa merupakan salah satu faktor yang menentukan pilihan konsumen. Terjadinya kecenderungan naik turunnya penilaian panelis terhadap nilai organoleptik asap sangat berperan dalam menentukan kualitas produk pengasapan. Ruiter (1979) menjelaskan bahwa karbonil berfungsi sebagai pembentuk warna pada ikan asap.
Universitas Sumatera Utara