5
TINJAUAN PUSTAKA
Rumah Potong Hewan (RPH) Rumah Potong Hewan adalah suatu bangunan atau kompleks bangunan dengan desain dan syarat tertentu yang digunakan sebagai tempat pemotongan hewan bagi konsumsi masyarakat umum. Pemotongan hewan merupakan kegiatan untuk menghasilkan daging hewan yang terdiri atas pemeriksaan ante-mortem, penyembelihan, penyelesaian penyembelihan dan pemeriksaan post-mortem (Peraturan Menteri Pertanian Nomor 13/Permentan/OT.140/1/2010). Berdasarkan SNI 01-6159-1999 disebutkan bahwa RPH adalah kompleks bangunan dengan desain khusus yang memenuhi persyaratan teknis dan higien tertentu serta digunakan sebagai tempat memotong hewan potong selain unggas bagi konsumsi masyarakat. Berdasarkan
Keputusan
13/Permentan/OT.140/1/2010
tentang
Menteri persyaratan
Pertanian rumah
potong
Nomor hewan
ruminansia dan unit penanganan daging (meat cutting plant) telah ditetapkan persyaratan teknis RPH. RPH merupakan unit pelayanan masyarakat dalam penyediaan daging yang aman, sehat, utuh dan halal serta berfungsi sebagai sarana untuk melaksanakan : 1. Pemotongan hewan secara benar (sesuai dengan persyaratan kesehatan masyarakat veteriner, kesejahteraan hewan dan syariah agama); 2. Tempat melaksanakan pemeriksaan hewan sebelum dipotong (ante-mortem inspection), pemeriksaan karkas dan jeroan (post-mortem inspection) untuk mencegah penularan penyakit zoonosa ke manusia; 3. Tempat pemantauan dan surveilans penyakit hewan dan zoonosis yang ditemukan pada pemeriksaan ante-mortem dan post-mortem guna pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit hewan menular dan zoonosis di daerah asal hewan; Selain itu, rumah potong hewan harus memenuhi beberapa syarat seperti : a. Berlokasi didaerah yang tidak menimbulkan gangguan atau pencemaran lingkungan serta mudah dicapai oleh kendaraan;
6
b. Komplek RPH harus dipagar yang berfungsi untuk memudahkan penjagaan keamanan; c. Memiliki ruangan yang digunakan sebagai tempat penyembelihan, dinding dan lantai kedap air, ventilasi yang cukup; d. Mempunyai perlengkapan yang memadai; e. Pekerja berpengalaman dalam bidang kesehatan masyarakat veteriner, dan f. Bangunan utama RPH, kandang dan tempat penyimpanan alat-alat untuk pemotongan babi harus terpisah dengan alat dan tempat pemotongan sapi, kerbau dan kambing. Berdasarkan luasan peredaran daging yang dihasilkan oleh usaha pemotongan hewan, RPH terdiri atas empat kelas yaitu: kelas A untuk penyediaan daging kebutuhan ekspor, kelas B menyediakan kebutuhan daging antar Provinsi Daerah Tingkat I, kelas C untuk penyediaan daging antar Kabupaten/ Kotamadya Daerah Tingkat II dalam satu provinsi dan kelas D untuk penyediaan kebutuhan daging di wilayah Kabupaten/ Kotamadya Daerah Tingkat II. Berdasarkan jenis kegiatan usaha pemotongan hewan, RPH terbagi menjadi 3 kategori yaitu: kategori I untuk usaha pemotongan hewan yang meliputi kegiatan melaksanakan pemotongan hewan milik sendiri di RPH milik sendiri, kategori II untuk usaha pemotongan hewan yang melaksanakan kegiatan menjual jasa pemotongan hewan atau melaksanakan pemotongan hewan milik orang lain, dan kategori III untuk usaha pemotongan hewan yang berupa kegiatan melaksanakan pemotongan hewan milik orang lain. Standard Sanitation Operating Procedure (SSOP) Standard sanitation operating procedure (SSOP) merupakan standar operasi suatu perusahaan yang mencakup kebijakan perusahaan, tahap kegiatan, nama petugas, cara pemantauan dan cara dokumentasi sebagai pertimbangan dalam melakukan inspeksi. SSOP memberikan manfaat dalam suatu unit usaha dalam menjamin sistem keamanan produk pangan antara lain memberikan jadwal prosedur sanitasi, memberikan landasan program monitoring berkesinambungan, mendorong perencanaan yang menjamin untuk proses koreksi, mengidentifikasi kecenderungan dan mencegah kontaminasi silang, menjamin setiap personil, mendemonstrasikan komitmen kepada pembeli dan inspektor serta meningkatkan
7
praktek sanitasi dan kondisi diunit usaha. Luning et al. (2003) menyatakan bahwa secara umum praktik higiene dan sanitasi dalam suatu industri atau perusahaan pangan meliputi higiene personal, bangunan, peralatan produksi, proses produksi, penyimpanan dan distribusi. Tujuan SSOP menurut Winarno dan Surono (2002) adalah agar setiap karyawan teknis maupun administrasi mampu: (1) mengerti bahwa program kebersihan dan sanitasi dapat meningkatkan kualitas dan keamanan produk yang ditandai dengan menurunnya tingkat kontaminasi, (2) mengetahui adanya peraturan good manufacturing practices (GMP) yang mengatur penggunaan zat tertentu yang dianggap aman dan efektif bagi program higiene dan sanitasi, (3) mengetahui tahapan proses higiene dan sanitasi, (4) mengetahui persyaratan minimum penggunaan sanitasi dan klorin pada air pendingin, khususnya pada industri pengolahan makanan, (5) mengetahui adanya faktor seperti pH, suhu dan konsentrasi disinfektan yang mempengaruhi hasil akhir suatu proses sanitasi dan (6) mengetahui masalah potensial yang mungkin timbul apabila sanitasi tidak dijalankan. Good Slaughtering Practices (GSP) Good slaughtering practices (GSP) merupakan seluruh praktik di RPH yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang dibutuhkan untuk menjamin keamanan dan kelayakan pangan pada seluruh tahapan dalam rantai pangan (CAC 2004). Beberapa persyaratan untuk memperoleh hasil pemotongan ternak yang baik yaitu: (1) ternak harus tidak diperlakukan secara kasar, (2) ternak tidak mengalami stres, (3) penyembelihan dan pengeluaran darah harus secepat dan sesempurna mungkin, (4) kerusakan karkas harus minimal, (5) cara pemotongan harus higienis, (6) ekonimis dan (7) aman bagi para pekerja abatoar (Swatland 1984). Harris & Jeff (2003) menyatakan bahwa pelaksanaan GSP berfungsi untuk meminimalkan kontaminasi mulai dari pra-pemotongan, penanganan ternak dikandang, memandikan ternak,stunning, penyembelihan, bunging, skinning, eviserasi, splitting, final trim, pencucian karkas sampai dihasilkan produk akhir. Selain itu, tahapan GSP juga ditinjau dari kebersihan fasilitas produksi, air yang digunakan selama proses, pelaksanaan program sanitasi, dan proses validasi.
8
Soeparno (2005) menyatakan bahwa terdapat dua teknik pemotongan ternak yaitu a) teknik pemotongan ternak secara langsung dan b) secara tidak langsung. Pemotongan ternak secara langsung dilakukan setelah ternak dinyatakan sehat dan dapat disembelih pada bagian leher dengan memutuskan arteri karotis, vena jugularis dan esofagus. Pemotongan ternak secara tidak langsung adalah dengan perlakuan pemingsanan terlebih dahulu yang bertujuan untuk memudahkan penyembelihan ternak, agar ternak tidak stres, agar kualitas kulit dan karkas lebih baik. Nomor Kontrol Veteriner (NKV) Setiap unit usaha produk pangan hewan wajib memiliki nomor kontrol veteriner (NKV). NKV merupakan sertifikat kelayakan usaha yang merupakan registrasi usaha pemotongan, pengolahan dan pemasaran produk peternakan yang diterbitkan oleh instansi yang bertanggung jawab menangani suatu unit usaha atau bidang kesehatan masyarakat veteriner. Usaha produk pangan asal hewan dapat dilakukan oleh perorangan warga negara Indonesia atau Badan Hukum Indonesia dalam bentuk perusahaan daerah, perseroan terbatas atau koperasi. Unit usaha produk
pangan
asal
hewan
antara
lain
meliputi:
usaha
rumah
potongahewan/unggas (RPH/RPU), usaha industri pengolahan produk pangan asal hewan, dan usaha importir/eksportir/penampung/distributor produk pangan asal hewan. Menurut Direktorat Kesmavet (2001) untuk mendapatkan NKV pada unit usaha produk pangan asal hewan, harus memenuhi dua persyaratan utama yaitu persyaratan administrasi dan persyaratan teknis. Persyaratan teknis meliputi persyaratan lokasi, sarana, bangunan dan tata letak, peralatan, suplai air, higiene karyawan dan perusahaan, kendaraan produk pangan asal hewan, ruangan penyimpanan produk asal hewan, proses pengemasan, pengendalian hama, mampu telusur (traceability), penarikan produk kembali dan pengawasan kesehatan masyarakat. Tata cara pemberian NKV pada prinsipnya dapat diklasifikasikan dalam dua kelas yaitu: kelas A untuk unit usaha produk pangan asal hewan klasifikasi ekspor, dan kelas B untuk unit usaha produk pangan asal hewan klasifikasi non-ekspor (lokal).
9
Daging Daging adalah salah satu komoditi pertanian khususnya sektor peternakan yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan akan zat gizi seperti protein, lemak,mineral dan komponen lainnya. Secara umum konsumsi protein dalam menu masyarakat masih di bawah kebutuhan minimum, terutama protein yang berasal dari hewani. Menurut “Food and Drug Administration” dalam Muchtadi et al. (2010) daging merupakan bagian tubuh yang berasal dari ternak sapi, babi, domba atau unggas yang dalam keadaan sehat dan cukup umur untuk dipotong, tetapi hanya terbatas pada bagian muskulus yang berserat yaitu yang berasal dari muskulus skeletal atau lidah, diafragma, jantung dan esofagus, tidak termasuk moncong, bibir, telinga dengan atau syaraf dan pembuluh darah. Soeparno (2005) dan Aberle et al. (2001) mendefinisikan daging sebagai jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan
serta
tidak
menimbulkan
gangguan
kesehatan
bagi
yang
mengkonsumsinya. Berdasarkan SNI 3932:2008 disebutkan daging adalah bagian otot skeletal dari karkas sapi yang aman, layak dan lazim dikonsumsi oleh manusia, dapat berupa daging segar, daging segar dingin atau daging beku. Daging sapi mempunyai peran yang cukup besar dalam konteks ketahanan pangan nasional. Seperti halnya dengan komoditas susu ataupun daging unggas, daging sapi menjadi salah satu komoditas sumber protein yang sangat dibutuhkan tubuh manusia untuk kesehatan dan pertumbuhan. Daging sapi merupakan komoditas daging yang disukai konsumen Indonesia selain daging ayam, daging kambing/domba, dan daging dari ternak lainnya. Alasan–alasan konsumen menyukai daging sapi ini antara lain karena, pertimbangan gizi, status sosial, pertimbangan kuliner dan pengaruh budaya barat (Jonsen 2004), disamping itu tingkat kecernaan protein daging sapi mencapai 95-100% dibandingkan kecernaan protein tanaman yang hanya 65-75% (Aberle et al. 2001). Tabrany (2004) menjelaskan bahwa komposisi kimia daging terdiri atas air (56%-72%), protein (15%-22%), lemak (5%-34%) dan substansi bukan protein terlarut (3.5%) yang meliputi karbohidrat, garam organik, substansi nitrogen terlarut, mineral dan vitamin. Hasbullah (2005) menyatakan bahwa terdapat
10
perbedaan komposisi zat gizi antara daging sapi, kerbau dan ayam seperti diuraikan pada Tabel 1. Tabel 1 Komposisi zat gizi daging sapi, kerbau dan ayam per 100 g bahan Zat gizi Air (gram) Protein (gram) Energi (K) Lemak (gram) Kalsium (mg) Besi (mg) Vitamin A (SI)
Sapi 66.0 18.8 207.0 14.0 11.0 2.8 30.0
Daging Kerbau 84.0 18.7 84.0 0.5 7.0 2.0 0.0
Ayam 18.2 302.0 25.0 14.0 1.5 810.0
Sumber : Hasbullah (2005).
Kualitas Fisik Daging Faktor setelah pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging antara lain metode pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan, pH karkas dan daging. Parameter spesifik untuk menilai kualitas fisik daging meliputi warna, nilai pH, daya mengikat air, susut masak, keempukan dan tekstur daging (Soeparno 2005). Warna Daging. Faktor yang menentukan warna daging antara lain adalah bangsa ternak, spesies, umur, jenis kelamin, pakan, aktivitas ternak, tingkat stress, pH daging, tipe otot dan ketersediaan oksigen. Karakteristik warna daging merupakan salah satu parameter kualitas daging. Warna daging juga dipengaruhi oleh pigmen yaitu mioglobin. Jenis molekul dan status kimia mioglobin, serta kondisi kimia dan fisik yang terdapat dalam daging berperan besar dalam menentukan warna daging (Lawrie 2003; Jeong et al. 2009). Mioglobin sebagai salah satu dari protein sarkoplasmik terbentuk dari suatu rantai polipeptida tunggal terikat disekeliling groupheme yang membawa oksigen. Group heme tersusun dari suatu atom Fe dan suatu cincin porfirin. Perbedaan warna daging antar spesies disebabkan konsentrasi mioglobin, yang akan meningkat seiring dengan meningkatnya umur ternak (Soeparno 2005). Warna daging yang disukai konsumen adalah merah cerah yang menunjukkan mutu daging. Perubahan warna daging dipengaruhi oleh banyak faktor. Daging yang terekspos dengan udara (O2), mioglobin dan oksigen dalam daging akan bereaksi membentuk ferrous-oxymioglobin (OxyMb) sehingga
11
daging akan berwarna merah cerah. Apabila waktu kontak antara mioglobin dengan oksigen berlangsung lama, maka akan terjadi oksidasi membentuk ferricmetmyoglobin (MetMb), sehingga daging berwarna coklat dan tidak menarik (Aberle et al. 2001; Jeong et al. 2009). Daya Mengikat Air (DMA). DMA oleh protein daging atau dikenal dengan water holding capacity (WHC) merupakan kemampuan daging untuk mengikat air atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar, misalnyapengaruh pemotongan daging, pemanasan, penggilingan dan tekanan. Absorbsi air atau kapasitas gel adalah kemampuan daging menyerap air secara spontan dari lingkungan yang mengandung cairan (Soeparno 2005). Jumlah air yang terikat dalam daging tergantung pada tingkat dan kecepatan penurunan pH serta jumlah denaturasi protein. Secara umum DMA dipengaruhi oleh faktorfaktor yang mengakibatkan diferensiasi dalam otot seperti spesies, umur dan fungsi otot (Forrest et al.1975). Lawrie (2003) menyatakan bahwa DMA daging sangat dipengaruhi oleh pH, semakin tinggi pH akhir maka penurunan DMA juga sedikit. DMA sangat penting dalam proses pengolahan daging sebagai protein yang mampu menahan lebih banyak air menjadi lebih mudah larut. Daya mengikat air dari daging pada pH titik isoelektrik protein daging berkisar antara 5.0-5.1. Protein daging ini tidak bermuatan (jumlah muatan positif sama dengan jumlah muatan negatif) dan solubilitasnya minimal, sedangkan pada pH yang lebih tinggi dari pH isoelektrik protein daging, maka sejumlah muatan positif dibebaskan dan terdapat surplus muatan negatif yang mengakibatkan penolakan dari miofilamen dan memberikan lebih banyak ruang untuk molekul air. Meningkat atau menurunnya pH daging dari titik isoelektrik akan mengakibatkan meningkatnya kapasitas DMA dengan cara menciptakan ketidakseimbangan muatan. pH Daging. Nilai pH digunakan untuk menunjukkan tingkat keasaman dan kebasaan suatu substansi. Jaringan otot hewan pada saat hidup mempunyai nilai pH sekitar 5.1-7.2 dan menurun setelah pemotongan karena mengalami glikolisis dan menghasilkan asam laktat yang akan mempengaruhi pH. pH ultimat daging tercapai setelah glikolisis otot menjadi habis atau setelah enzim-enzim glikolitik menjadi tidak aktif pada pH rendah atau glikogen tidak lagi sensitif
12
terhadap serangan-serangan enzim glikolitik. pH ultimat normal daging postmortem adalah sekitar 5.5 yang sesuai dengan titik isoelektrik sebagian besar protein daging termasuk protein miofibril (Lawrie 2003). Temperatur lingkungan (penyimpanan) mempunyai hubungan yang erat dengan penurunan pH karkas post-mortem.Temperatur tinggi pada dasarnya meningkatkan laju penurunan pH, sedangkan temperatur rendah menghambat laju penurunan pH (Soeparno 2005). Nilai pH sangat penting untuk diperhatikan karena pH dapat menunjukkan penyimpangan kualitas daging yang berkaitan dengan warna, keempukan, cita rasa, daya mengikat air dan masa simpan (Lukman et al. 2007). Aberle et al. (2001) menyatakan bahwa secara umum laju penurunan pH daging dibagi menjadi 3 yaitu: 1. Nilai pH menurun secara bertahap dari 7.0 sampai berkisar 5.6–5.7 dalam waktu 6-8 jam setelah pemotongan dan mencapai pH akhir sekitar 5.3-5.7. Pola penurunan seperti ini disebut pola penurunan pH secara normal. 2. Nilai pH menurun sedikit sekali pada jam-jam pertama setelah pemotongan dan tetap sampai mencapai pH akhir sekitar 6.5-6.8. Sifat daging yang dihasilkan berwarna gelap, keras dan kering atau dikenal dengan daging dark firm dry (DFD). 3. Nilai pH menurun relatif cepat sampai berkisar 5.4-5.5 pada jam pertama setelah pemotongan dan mencapai pH akhir sekitar 5.3-5.6. Sifat daging yang dihasilkan berwarna pucat, lembek dan berair atau dikenal dengan daging pale soft excudative (PSE). Nilai pH daging akan berubah setelah ternak dipotong. Perubahan pH tergantung pada jumlah glikogen sebelum ternak dipotong. Apabila jumlah glikogen dalam tubuh ternak normal, maka menurut Aberle et al. (2001) akan mendapatkan daging yang berkualitas baik dan begitu sebaliknya. Henckle et al. (2000) menambahkan bahwa penurunan nilai pH setelah hewan mati ditentukan oleh kondisi fisiologis otot yang berhubungan dengan produksi asam laktat atau kapasitas produksi energi otot dalam bentuk ATP.
13
Cemaran Mikrobiologi Daging Daging merupakan salah satu bahan pangan yang digolongkan sebagai perisable food atau bersifat mudah rusak. Daging juga merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme karena banyak mengandung air, kaya akan zat-zat gizi serta memiliki pH yang sangat menguntungkan untuk pertumbuhan mikroorganisme (Lawrie 2005). Nilai pH rendah berhubungan dengan reduksi air pada daging (Vada-Kovacs 1996). Selain itu, suhu penyimpanan, ketersediaan air dan oksigen berpengaruh terhadap pertumbuhan bakteri. Suhu optimum untuk pertumbuhan mikroorganisme adalah 15-40 °C, tetapi beberapa organisme dapat tumbuh dengan baik pada suhu refrigerator bahkan tumbuh dengan baik pada suhu dibawah nol (Aberle et al. 2001). Kontaminasi awal pada daging berasal dari mikroorganisme yang memasuki peredaran darah pada saat penyembelihan. Daging segar umumnya terkontaminasi dengan sejumlah besar bakteri termasuk bakteri patogen yang dapat mengkontaminasi makanan seperti Bacillus cereus,Clostridium perfringens, Clostridium jejuni, Eschericia coli, Listeria monocytogenes, Salmonella sp dan Staphylococcus aureus (Mosupye & Holy 2005). Ternak yang dipotong secara higienis mengandung sekitar 103-104 koloni/cm2 yang terdapat pada permukaan daging. Jumlah awal dapat mencapai 106 koloni/cm2 setelah pemotongan (Bem & Hechelmann1995), dan menurut Buckle et al. (1986) jumlah bakteri pencemar pada daging adalah berkisar 102-104 koloni/cm2. Lebih lanjut Buckle et al. (2009) dan Mead (2007) menyatakan bahwa jumlah bakteri dalam daging akan terus meningkat tergantung penanganan dan pencemaran selanjutnya. Perkembangan bakteri pada daging umumnya dapat diketahui dengan adanya pembentukan lendir. Bakteri akan tampak berlendir, berbau busuk dan rusak jika jumlahnya mencapai 107-108 koloni/cm2. Dinyatakan juga bahwa timbulnya bau disebabkan produksi hidrogen sulfida yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Bakteri patogen yang ditemukan dalam daging adalah Salmonella, Staphylococcus aureus, Yersinia enterocolitico, Clostridium perfringens dan C. botulinum. Mikroba yang terdapat pada bagian dalam seperti koliform fekal dan streptokokus fekal yang sering ditemukan dalam daging menunjukkan bahwa isi usus merupakan sumber kontaminasi. Isolasi bakteri dipermukaan karkas
14
mendapatkan Lactobacillus,
jenis
bakteri
Micrococcus,
Pseudomonas, Brochotrix
Moraxella,
thermosphacta
Acinetobacter, dan
beberapa
Enterobactericeae seperti Klebsiella, Yersinea, Serratia dan Proteus. Mikroba berbahaya yang meracuni makanan khususnya daging yang dikaitkan dengan kontaminasi
saluran
pencernaan
adalah
Salmonella,
S.
aureus
dan
enteropathogenic Eschericia coli (ICSMF 1980). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Mikroba pada Daging Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba pada daging adalah aktivitas air (aw), potensial oksidasi, pH dan temperatur. Parameter ini berperan pada saat otot berubah menjadi daging (Jay 2000). Menurut Garbutt (1997) dan Lawrie (2003) umumnya faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba di dalam daging dibagi menjadi dua kelompok yaitu 1) faktor dalam (intrinsik) dan 2) faktor luar (ekstrinsik). Faktor intrinsik terdiri atas nilai nutrisi daging, kadar air, pH, potensi oksidasi-reduksi dan ada tidaknya substansi penghalang atau penghambat. Nutrisi daging. Disamping air dan oksigen, sebagian besar mikroba membutuhkan nutrien nitrogen, energi, mineral dan vitamin B untuk pertumbuhannya. Air dibutuhkan oleh semua makhluk hidup termasuk mikroba. Kadar air yang tersedia di dalam daging sangat menentukan tingkat pertumbuhan mikroba. Kebutuhan mikroba akan air dinyatakan sebagai aktivitas air atau disebut sebagai water activity (aw). Sejumlah mikroba tidak dapat tumbuh dengan baik pada aw lebih kecil dari 0.91, tetapi aw minimum untuk pertumbuhan sangat bervariasi misalnya aw minimum untuk Salmonella adalah 0.94 sedangkan aw minimum untuk Staphylococcus mendekati 0.86. Pada kondisi normal, daging mempunyai aw 0.99 dan pH 5.3–5.7. Sebagian besar mikroba tumbuh optimal pada pH kira-kira 7.0 (Garbutt 1997; Devies & Board 1998; Mead 2007). Potensi oksidasi-reduksi. Sejumlah mikroba membutuhkan kondisi oksidasi dan sejumlah kondisi reduksi. Mikroba aerobik adalah mikroba yang dapat tumbuh pada potensial oksidasi reduksi yang tinggi. Mikroba anaerobik dapat tumbuh pada kondisi tanpa oksigen, karena O2 dapat bersifat toksik pada mikroba ini. Mikroba anaerobik tumbuh pada potensial oksidasi reduksi yang
15
rendah. Mikroba anaerobik fakultatif dapat tumbuh pada kondisi tanpa oksigen atau ada oksigen. Substansi penghalang atau penghambat. Substansi penghambat dan jaringan proteolitik pada daging yang dapat
menghambat aktivitas mikroba
disebut bakteriostatik, sedangkan substansi yang merusak atau dapat membunuh mikroba disebut bakteriosidal. Lemak dan kulit pada karkas daging melindungi dari kontaminasi mikroba (Soeparno 2005). Faktor ekstrinsik terdiri atas temperatur, kelembaban relatif, ada tidaknya oksigen dan bentuk atau kondisi daging. Temperatur sangat menentukan laju pertumbuhan dan jumlah mikroba pada daging. Berdasarkan temperatur maksimal dan optimum untuk pertumbuhan, mikroba dibagi menjadi tiga kelompok yaitu mesofilik, psikrofilik dan thermofilik. Mikroba mesofilik tumbuh paling baik pada temperatur 25-40 °C. Mikroba psikrofilik dapat tumbuh pada temperatur 0 °C tetapi pertumbuhan optimalnya adalah pada temperatur 20-30 °C. Mikroba termofilik memiliki pertumbuhan optimum pada temperatur 45-60 °C. Kelembaban
relatif.
Pada
umumnya
makin
tinggi
temperatur
penyimpanan, kelembaban relatif seharusnya makin rendah. Pada temperatur -1 °C sampai 3 °C, kelembaban relatif sebaiknya antara 88-92%. Kelembaban relatif yang terlalu tinggi, cairan akan berkondensasi pada permukaan daging, sehingga permukaan daging menjadi basah dan sangat baik untuk pertumbuhan mikroba. Jika kelembaban relatif terlalu rendah, cairan permukaan daging akan banyak yang menguap sehingga pertumbuhan mikroba terhambat oleh dehidrasi dan permukaan daging menjadi gelap yang menyebabkan nilai ekonomis daging akan menurun. Oksigen atmosfer sangat dibutuhkan dalam pertumbuhan mikroba. Pertumbuhan mikroba pada permukaan daging adalah mikroba aerobik dan anaerobik fakultatif, sedangkan bagian dalam daging dapat mengandung mikroba anaerobik dan anaerobik fakultatif. Keadaan fisik daging akan mampengaruhi aktivitas mikroba, misalnya besar kecilnya karkas, potongan karkas atau daging, bentuk daging cacahan, daging giling dan perlakuan selama pemrosesan (Lawrie 2003).
16
Batas Maksimum Cemaran Mikroba pada Daging Syarat mutu mikrobiologis daging sapi mengacu pada Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor 3932:2008 tentang mutu karkas dan daging sapi pada Tabel 2. Tabel 2 Syarat mutu mikrobiologis daging sapi (SNI 3932:2008) No. 1. 2. 3. 4. 5.
Jenis uji Total Plate Count Coliform Staphylococcus aureus Salmonella sp Eschericia coli
Satuan cfu/g cfu/g cfu/g per 25 g cfu/g
Persyaratan maksimum 1 x 106 maksimum 1 x 102 maksimum 1 x 102 Negatif maksimum 1 x 101
Sumber : BSN (2008)
Pengujian jenis mikroba pada permukaan daging sapi dan domba setelah proses pemotongan meliputi mikroba mesofilik aerobik, psikrotrofik dan E. coli TPC, koliform (Tabel 3). Tabel 3 Jumlah mikroba pada daging setelah proses pemotongan Daging Jenis uji Permukaan daging Mesofilik aerobik sapi dan domba Psikrotrofik Enterobacteriaceae, E. coli Total Plate Count Koliform Psikrotrofik
Jumlah mikroba 103-105 per cm2 0.1-10% dari mesofilik < 10 per cm2 103-105 per cm2 101-102 per cm2 < 102 per cm2
Sumber : ICMSF (1980); Grau (1986)
Cemaran Kimia pada Daging Cemaran Logam Berat Logam berat berasal dari kerak bumi yang berupa bahan-bahan murni, organik maupun anorganik. Logam merupakan bahan pertama yang dikenal oleh manusia dan digunakan sebagai alat-alat yang mempunyai peran penting bagi peradapan manusia. Sejumlah logam juga terdapat dalam tubuh makhluk hidup baik pada tanaman, hewan bahkan pada tubuh manusia yang bersifat merugikan karena mangakibatkan toksik atau racun. Logam yang menyebabkan racun bagi makhluk hidup umumnya digolongkan pada logam berat. Menurut Saeni (1989), logam berat adalah unsur yang mempunyai bobot jenis lebih dari 5 g/mc 3 yang biasanya terletak di bagian kanan bawah sistem periodik diantaranya adalah ferum
17
(Fe), timbal (Pb), krom (Cr), kadmium (Cd), seng (Zn), air raksa (Hg), mangan (Mn) dan arsen (As). Pencemaran logam berat berasal dari proses pertambangan yang kemudian dicairkan dan dimurnikan menjadi logam-logam murni. Hasil dari pertambangan logam tersebut digunakan dalam proses produksi pabrik atau industri seperti pabrik cat, aki atau baterai, pabrik percetakan bahkan sampai pabrik peralatan listrik. Dampak dari proses industrialisasi tersebut menghasilkan limbah yang dapat menyebabkan pencemaran logam berat pada air, udara, tanah bahkan makhluk hidup disekitar pabrik. Cemaran di air akan berdampak pada hewanhewan air, sedangkan pada manusia ataupun hewan ternak pencemaran logam berat dapat berasal dari air, tanaman, udara dan tanah yang terakumulasi logam berat (Darmono 2008). Konsentrasi logam berat dalam pakan yang dikonsumsi oleh ternak sangat bervariasi, sehingga National Research Council (NRC) menentukan jumlah maksimum (maximum tolerance level/ MTL) kandungan logam yang diperbolehkan untuk dikonsumsi ternak, sehingga produk asal ternak tersebut aman untuk dikonsumsi oleh manusia (Tabel 4). Tabel 4 Batas toleransi logam berat dalam pakan pada beberapa jenis ternak menurut NRC (mg/kg) Logam Al As -inorg. -org. Cd Cr -klorida -oksida Cu Fe Pb Ni Se Zn
Sapi 1000
Domba 1000
Babi 200
Ayam 200
Kuda 200
Kelinci 200
50 100 0.5
50 100 0.5
50 100 0.5
50 100 0.5
50 100 0.5
50 100 0.5
1000 3000 100 1000 30 50 2 500
1000 3000 25 500 30 50 2 300
1000 3000 250 3000 30 100 2 1000
1000 3000 300 1000 30 300 2 1000
1000 3000 800 500 30 50 2 500
1000 3000 200 500 30 50 2 500
Sumber : National Academy of Science (NAS) (1980)
Darmono (2008) menyatakan lebih lanjut bahwa ternak ruminansia baik sapi, kerbau, kambing, domba atau ternak ruminansia liar lainnya hampir 100% pakan yang diberikan adalah jenis rumput hijauan. Sumber kontaminasi hijauan pakan oleh logam berat merupakan sumber utama terjadinya toksisitas logam pada
18
ternak tersebut. Adanya toksisitas logam pada ternak akan berpengaruh terhadap produksi yang meliputi penurunan berat badan, hambatan pertumbuhan, peka terhadap penyakit infeksi bahkan kematian. Selain itu, adanya residu logam berat pada produk asal ternak akan menurunkan kualitasnya. Batas maksimum cemaran logam berat dalam pangan khususnya pada daging dan produk olahannya berdasarkan SNI 7387: 2009 dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Batas maksimum cemaran logam berat dalam pangan(daging dan olahannya) (SNI 7378: 2009) Jenis logam berat Kategori pangan Batas maksimum As Daging dan hasil olahan 0.5 mg/kg Cd Daging dan hasil olahan 0.3 mg/kg Hg Daging dan hasil olahan 0.03 mg/kg Sn Daging dan hasil olahan 200.0 mg/kg Pb Daging dan hasil olahan 1.0 mg/kg Sumber : BSN (2009)
Tidak semua logam berat akan menyebabkan toksisitas pada ternak. Toksisitas logam berat disebabkan oleh kemampuannya menutup sisi aktif dari sistem enzim utama dalam sel dan juga beberapa ligan yang terdapat dalam membrane sel hewan maupun manusia. Saeni (1989) menyatakan, bahwa dari sekian banyak jenis logam berat seperti : Fe, Pb, Cr, Cd, Zn, Cu, Hg, Mn, dan As, hanya terdapat empat logam berat yang bersifat merugikan dan bersifat toksik baik pada ternak maupun manusia diantaranya : As, Cd, Pb dan Hg. Darmono (2008) dan Widowati et al. (2008) menyatakan, bahwa logam yang sering menimbulkan keracunan pada ternak ruminansia adalah tembaga (Cu), timbal (Pb) dan merkuri (Hg). Menurut Anggorodi (1979), logam berat yang tergolong nonesensial dan bersifat racun bagi ternak adalah kelompok logam Pb, Cd, Hg dan As. Efek Logam Timbal (Pb) pada Ternak dan Manusia. Timbal atau Plumbum dikenal juga dengan istilah timah hitam yang termasuk pada jenis logam tertua (Winarno 1993). Anonymous (2006) menyatakan timbal merupakan unsur kimia yang dalam tabel periodik mempunyai lambang Pb (Plumbum) dengan nomor atom 82. Pb memiliki ciri-ciri diantaranya : tampilan bluish white, masa atom 207.2 g/mol, densitas pada suhu kamar 11.34 g/cm3, densitas cair pada titik lebur 10.66 g/cm3, titik lebur 327.46 °C, titik didih 1.749 °C, kalor peleburan
19
4.77 kJ/mol, kalor penguapan 179.5 kJ/mol dan kapasitas kalor pada suhu 25 °C sebesar 26.65 J/mol.K. Kusnoputranto (2006) menyatakan, bahwa Pb merupakan logam yang bersifat neurotoksin yang dapat masuk dan terakumulasi dalam tubuh ternak maupun manusia sehingga bahayanya dalam tubuh semakin meningkat. Menurut Underwood dan Suttle (1999), Pb biasanya dianggap sebagai racun yang bersifat akumulatif dan akumulasinya tergantung dari level dalam tubuh. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh pada ternak jika jumlah logam berat berada diatas ambang batas yang telah ditetapkan. Misalnya ambang batas normal penggunaan Pb pada pakan unggas sebesar 1-10 ppm, sedangkan batas ambang tinggi sebesar 20-200 ppm dan batas ambang toksik lebih dari 200 ppm.Jalur emisi timbal pada produk pangan dapat dilihat pada Gambar 1 (U.S. EPA dalam Nriagu & Simmons 1987).
Emisi kendaraan/Pabrik
Udara
Tanah
Tanaman
Emisi kendaraan/Pabrik
Hewan Solder
Debu
Pangan
Air Minum
Gambar 1 Jalur cemaran logam timbal (Pb) (Sumber: Nriagu & Simmons 1987) Gambar 1 menunjukkan dengan jelas bahwa pengaruh emisi, baik emisi pabrik maupun kendaraan mempunyai dampak yang signifikan terhadap cemaran timbal. Emisi dari kendaraan atau pabrik akan terakumulasi diudara dalam bentuk debu, selanjutnya debu akan jatuh ketanah dan kontaminasi timbal tersebut akan diserap oleh tanaman. Tanaman yang mengandung cemaran logam tersebut dimakan oleh ternak, yang merupakan sumber pangan bagi manusia. Pakan ternak berupa rumput yang terkontaminasi Pb dari udara sering menyebabkan keracunan kronis, tetapi padang rumput yang terkontaminasi
20
cemaran dari limbah peleburan logam atau limbah baterai dapat menyebabkan toksisitas akut. Diagnosa keracunan Pb secara kronis dapat dilakukan dengan analisa kandungan Pb dalam darah, kadar enzim delta amino-levulinik dehidratase (delta-ALA) dan kadar eritrosit porfirin bebas (FEP) dalam darah (Darmono 2008). Keracunan Pb pada sapi telah banyak dilaporkan terutama pada sapi yang digembalakan pada daerah yang tercemar. Oskarsson et al. (1992) dalam Darmono (2008) melaporkan kasus keracunan Pb pada sapi perah di Swiss. Keracunan terjadi setelah sapi merumput pada padang penggembalaan bekas pembuangan baterai. Hasil analisis membuktikan adanya kandungan Pb dalam ginjal, hati, daging darah dan air susunya. Winarno (1993) menyebutkan bahwa jenis makanan yang tergolong rendah derajat kontaminasi timbal adalah susu sapi, buah-buahan dan sayuran serta biji-bijian (15-20 µg/kg), sedangkan daging termasuk kadar medium (50 µg/kg). Makanan yang dilaporkan tinggi kadar timbalnya adalah makanan kaleng (50–100 µg/kg), jeroan terutama hati, ginjal ternak (150 µg/kg), ikan (170 µg/kg) dan kelompok tertinggi adalah kerangkerangan (molusca) dan udang-udangan (crustacea) yaitu rata-rata lebih tinggi dari 250 µg/kg. Pada manusia, Pb dapat terakumulasi dalam rambut sesuai dengan pernyataan Saeni (1997) yang menyatakan bahwa jumlah logam dalam rambut berkorelasi dengan jumlah logam yang diabsorpsi oleh tubuh. Hal ini karena rambut mempunyai kandungan protein struktural yang tersusun dari asam-asam amino sistein yang mengandung gugus sulfihidril (-SH) dan sistein dengan ikatan disulfida (-S-S-). Gugus tersebut mampu mengikat logam berat yang masuk dalam tubuh dan terikat di dalam rambut. Lebih lanjut Saeni (1997) menambahkan bahwa akumulasi Pb tidak hanya dirambut akan tetapi lebih awal akan terakumulasi dalam darah. Berdasarkan hasil penelitian Aminah (2006) yang meneliti kandungan Pb dalam darah karyawan Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit Menular (BBTKL & PPM) di Surabaya. Karyawan yang bertugas melakukan sampling dilapangan mempunyai kadar Pb lebih tinggi dibandingkan yang tidak melakukan sampling di lapangan.
21
Absorbsi Pb pada manusia maupun ternak terutama melalui saluran cerna dan saluran nafas. Absorbsi melalui usus pada orang dewasa kira-kira 10%, sedangkan pada anak-anak sekitar 40%. Kalaassen (1980) menyebutkan bahwa tidak banyak yang diketahui tentang absorbsi Pb melalui saluran cerna. Ada dugaan bahwa Pb dan Ca berkompetisi dalam transport lewat mukosa usus, karena ada hubungan timbal balik antara kadar Ca makanan dan absorbsi Pb. Selain itu defisiensi Fe dapat meningkatkan absorbsi Pb melalui saluran pencernaan. Keracunan Pb dapat menyebabkan perubahan susunan syaraf pusat, gangguan pencernaan dan gangguan sintesis sel-sel darah merah. Pilliang (2002) menyebutkan bahwa tanda-tanda klinis utama keracunan mineral timah hitam adalah terjadinya microcytic hypochromic anemia, muntah-muntah, diare, gangguan abdomen, sekresi saliva meningkat, bobot badan menurun dan keguguran. Cemaran Pb bersifat akumulatif dalam tubuh baik pada manusia maupun pada ternak, serta dapat merusak saluran organ dalam tubuh. Linder (1992) menyebutkan bahwa keracunan Pb pada anak-anak dapat mengakibatkan kemunduran mental yang bersifat permanen. Selain itu dijelaskan bahwa Pb yang terkandung dalam makanan orang dewasa rata-rata akan terserap sebesar 5-10% oleh tubuh, sedangkan pada bayi dan anak-anak sekitar >40% dan dapat ditekan dengan adanya kalsium (Ca) dan fosfor (P) sehingga konsumsi Ca akan dapat menekan pengambilan Pb tubuh. Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization = WHO) (1996) telah menetapkan batas maksimal serapan Pb oleh manusia dewasa sebesar 400–450 µg/hari. Efek Logam Kadmium (Cd) pada Ternak dan Manusia. Logam Cd termasuk salah satu jenis logam yang paling jarang dijumpai karena konsentrasinya hanya berkisar antara 0.1-0.2 mg/g, sehingga logam Cd berada pada urutan ke 67 pada kerak bumi (Mason & Moore 1982). Logam Cd menjadi populer setelah terjadinya pencemaran air sungai Kummamoto di Jepang yang menyebabkan keracunan pada manusia (Darmono 1995). Logam Cd berwarna putih keperakan menyerupai alumunium dan biasa digunakan sebagai pelapis logam seperti seng. Cd biasanya digunakan sebagai bahan pewarna untuk industri cat, enamel dan plastik.
22
Darmono (1995) menyebutkan bahwa sifat dan kegunaan logam Cd antara lain: 1) mempunyai sifat tahan panas sehingga sangat baik digunakan sebagai bahan campuran pembuatan keramik, enamel dan plastik, 2) tahan terhadap korosi sehingga baik untuk melapisi pelat besi ataupun baja. Bentuk garam kadmium dari asam lemah sangat baik digunakan sebagai stabilisator pada pembuatan PVC ataupun plastik untuk mencegah oksidasi dan radiasi. Cemaran Cd masuk kedalam tubuh manusia atau ternak melalui dua jalan yaitu saluran pernafasan (udara) dan saluran pencernaan (makanan). Beberapa hasil penelitian melaporkan bahwa absorpsi Cd lewat saluran pencernaan sangat sedikit yaitu sekitar 3-8 % dari total Cd yang dimakan. Logam Cd dalam usus akan menempel pada dinding usus sehingga diduga sel epitel usus mengatur absorpsi Cd. Apabila sel epitel terkelupas maka Cd ikut keluar dari dalam tubuh. Konsentrasi Cd yang tinggi pada dinding usus dapat merusak usus dan mengganggu transportasi Cd. Beberapa komponen tertentu seperti protein, kalsium, besi dan seng dapat mempengaruhi absorpsi Cd dalam usus (Darmono 1995). Adsorpsi Cd melalui paru-paru jauh lebih besar daripada absorpsi melalui saluran pencernaan yang hanya 25-50%. Setelah Cd diabsorpsi dalam tubuh selanjutnya didistribusikan oleh darah ke berbagai jaringan, dan terakumulasi dalam hati dan ginjal. Kedua organ fital tersebut merupakan tempat deposit Cd dalam tubuh yang jumlahnya mencapai 50% dari total Cd. Sejumlah Cd yang tertimbun dalam jaringan tubuh biasanya akan sangat lambat untuk dilepas kembali. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa biological half life (waktu paruh) Cd dalam jaringan hati sekitar 5-10 tahun sedangkan dalam ginjal lebih lama yaitu berkisar 16-33 tahun. Keracunan Cd akut pada ternak yang termakan atau terminum bahan yang tercemar Cd dengan dosis 350 mg Cd akan mengakibatkan keracunan dengan gejala mual, diare, kejang perut dan hipersalivasi. Keracunan Cd pada manusia terjadi sangat erat kaitannya dengan kualitas lingkungan yang menurun. Gejala yang timbul terlihat setelah keracunan dalam waktu lama. Akumulasi Cd pada manusia setelah Cd terakumulasi dalam ginjal sampai jumlah 50 µg/g berat basah dan dapat dijumpai pada umur 50 tahun. Konsentrasi kritis Cd adalah 200 µg/g
23
pada saat terjadi kegagalan ginjal. Gejala yang terlihat adalah glikosuria diikuti dengan dieresis dan aminuria, proteinuria, asiduria dan hiperkalsiuria (Darmono 1995). Nriagu & Simmons (1987) menambahkan bahwa jalur kontaminasi Cd dari tanah dan udara secara langsung dapat terlihat dari adanya deposisi kandungan Cd pada bahan pangan (buah, tanaman dan produk ternak) seperti terlihat pada Gambar 2. Polusi Kadmium
Tanah Air
Udara
Tanaman
Hewan
Produk Pangan
Gambar 2 Jalur cemaran kadmium (Cd) (Sumber: Nriagu & Simmons 1987)
Efek Logam Merkuri (Hg) pada Ternak dan Manusia. Merkuri (Hg) disebut juga air raksa. Merkuri adalah logam yang secara alami ada dan merupakan satu-satunya logam yang pada suhu kamar berwujud cair. Logam Hg murni berwarna keperakan, tidak berbau, mengkilap dan akan menguap bila dipanaskan pada suhu 357 °C. Senyawa merkuri dalam bentuk Hg(II) dapat terikat pada residu sistein protein/enzim dalam tubuh manusia atau binatang sehingga protein/enzim kehilangan aktivitasnya. Selain Hg(II), senyawa merkuri paling berbahaya pada manusia adalah senyawa organomerkuri, khususnya metilmerkuri dan fenilmerkuri. Senyawa ini bersifat sangat reaktif dan mempunyai mobilitas tinggi. Hal ini disebabkan gastrointestine manusia yang dapat menyerap sekitar 95% senyawa metilmerkuri sehingga menyebabkan gangguan syaraf binatang dan manusia melalui peredaran darah (Palar 1994; Rugh et al. 2000; Bizily et al. 2000). Pencemaran logam Hg pada tanah, air dan udara sangat membahayakan lingkungan, binatang bahkan kesehatan manusia. Mekanisme keracunan Hg di
24
dalam tubuh belum diketahui dengan jelas. Namun, untuk daya racun Hg dapat diinformasikan sebagai berikut: kerusakan tubuh yang disebabkan oleh merkuri pada umumnya bersifat permanen, masing-masing komponen Hg mempunyai perbedaan
karakteristik
seperti
daya
racun,
distribusi,
akumulasi
atau
pengumpulan dan waktu retensinya (penyimpanan) di dalam tubuh. Apabila semua komponen merkuri berada dalam jumlah yang cukup, maka akan mengakibatkan racun dalam tubuh. Dampak Hg dalam tubuh dapat menyebabkan terhambatnya kerja enzim, sehingga mengakibatkan kerusakan sel. Kondisi akut keracunan Hg dapat mengakibatkan kerusakan pada organ perut, usus, gagal kardiovaskuler (jantung dan pembuluh), dan gagal ginjal akut bahkan mengakibatkan kematian (Widaningrum et al. 2007). Cemaran Residu Pestisida pada Daging Menurut Food Agriculture Organization (FAO) 1986 dan peraturan pemerintah RI No. 7 tahun 1973, pestisida adalah campuran bahan kimia yang digunakan untuk mencegah, membasmi dan mengendalikan hewan/tumbuhan pengganggu seperti binatang pengerat, termasuk serangga penyebar penyakit, dengan tujuan kesejahteraan manusia. Pestisida juga didefinisikan sebagai zat atau senyawa kimia, zat pengatur tubuh atau perangsang tumbuh, bahan lain, serta mikroorganisme atau virus yang digunakan untuk perlindungan tanaman (PP RI No.6tahun 1995). United States Environmental Protection Agency (USEPA) mendefinisikan pestisida sebagai zat atau campuran zat yang digunakan untuk mencegah, memusnahkan, menolak, atau memusuhi hama dalam bentuk hewan, tanaman dan mikroorganisme pengganggu (Djojosumarto 2008). Residu merupakan semua senyawa kimia dalam makanan serta komoditas pertanian atau pakan ternak yang bersumber dari penggunaan produk perlindungan tanaman. Residu pestisida adalah zat yang terkandung dalam hasil pertanian, bahan pangan, atau pakan ternak sebagai akibat langsung maupun tidak langsung dari penggunaan pestisida (Djojosumarto 2008). Batas cemaran residu pestisida golongan organofosfat berdasarkan SNI 7317:2008 dapat dilihat pada Tabel 6.
25
Tabel 6 Batas maksimum cemaran pestisida pada daging (SNI 7317: 2008) No.
Jenis Pestisida Organofosfat 1. Diazinon 2. Metidation 3. Klorpirifos 4. Malathion 5. Profenofos 6. Fenitrotion 7. Triazofos 8. Metil Klorpirifos Sumber: BSN (2008)
Batas Maksimum (mg/kg) 2.00 0.02 1.00 0.05 0.05 0.01 0.05
No. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Jenis Pestisida Organofosfat Demetoat Dichlorvos Etrimfos Methacifos Metil Azinfos Metil Paration Phosphamidon Metil Pirimiphos
Batas Maksimum (mg/kg) 0.05 0.05 0.01 0.01 0.05 0.01
Arifin et al. (2003) melaporkan bahwa pemeliharaan ternak di tempat pembuangan akhir (TPA) menghasilkan produk pangan yang tidak aman karena mengandung bahan beracun yang masuk kedalam rantai makanan melalui ternak yang mengkonsumsinya. Lebih lanjut dari hasil penelitian dilaporkan bahwa daging sapi yang dipelihara di TPA Jatibarang Kota Semarang mengandung residu organoklorin dan organofosfat berada diatas ambang batas yang ditetapkan baik “Maximum Residue Limite (MRL)’ maupun “Acceptable Daily Intake (ADI)” yang ditetapkan WHO, sehingga apabila dikonsumsi oleh manusia akan mengganggu kesehatan. Selain itu, Indraningsih dan Sani (2006) menyatakan dari 31 sampel serum dan otak sapi perah FH di Lembang, 22 sampel terbukti mengandung residu pestisida organoklorin dan organofosfat meskipun masih lebih rendah dari batas maksimum residu.