BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Mambal Kabupaten Badung Rumah Pemotongan Hewan (RPH) adalah kompleks bangunan dengan desain dan konstruksi khusus yang memenuhi persyaratan teknis dan higiene tertentu, yang digunakan sebagai tempat memotong hewan potong selain unggas bagi konsumsi masyarakat luas. Makna yang sebenarnya dari RPH adalah kompleks bangunan dengan desain tertentu yang dipergunakan sebagai tempat memotong hewan secara benar bagi konsumsi masyarakat luas serta harus memenuhi persyaratan-persyaratan teknis tertentu. Dengan demikian diharapkan bahwa daging yang diperoleh dapat memenuhi kriteria ASUH (aman, sehat, utuh, halal) dan berdaya saing tinggi (Septina, 2010). Berdasarkan data dari Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali, di Bali tercatat terdapat 10 RPH ruminansia yang tersebar di 8 kabupaten kota, yakni Pesanggaran di Denpasar, Mambal di Badung, Bona dan Temesi di Gianyar, Gubug di Tabanan, Kaliunda di Klungkung, Amlapura di Karangasem, Seririt dan Panji Anom di Buleleng, Loloan Timur di Jembrana. Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Mambal Kabupaten Badung yang dikepalai oleh Ir. Made Murya, SP berjarak 15 km dari pusat kota Denpasar, berada di Desa Mambal, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung, Provinsi Bali. Di RPH ini hanya melakukan pemotongan ternak sapi bali dengan pemotongan 5-6 ekor sapi bali pada setiap malamnya, tidak berada ditengah kota, letak lebih rendah dari pemukiman penduduk, tidak berada dekat industri logam atau kimia serta daerah rawan banjir, dan memiliki lahan yang cukup luas.
2.2 Manajemen Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Meningkatnya kebutuhan masyarakat terhadap pangan asal hewan khususnya daging perlu diimbangi dengan peningkatan sarana dan prasarana RPH yang memenuhi persyaratan dari aspek kehalalan, hygiene dan sanitasi. Dalam rangka meningkatkan peran dan fungsi Rumah Pemotongan Hewan (RPH) baik RPH Rumiansia (RPH-R) maupun Rumah Pemotongan Unggas (RPU) sebagai unit usaha dalam penyediaan daging yang ASUH (aman, sehat, utuh dan halal), maka diperlukan penataan manajemen pemotongan hewan secara terkoordinasi untuk mengoptimalisasi peran dan fungsi RPH dalam menyediakan daging yang ASUH (Dinas Peternakan Pemerintah Provinsi Bali, 2013).
Di samping berfungsi dalam menyediakan daging yang ASUH, RPH juga berperan dalam melakukan pengendalian pemotongan hewan betina produktif pada proses pemeriksaan ternak sebelum dipotong. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, Pasal 18 ayat 2 yang menerangkan bahwa ternak ruminansia betina produktif dilarang disembelih karena merupakan penghasil ternak yang baik, kecuali untuk keperluan penelitian, pemuliaan, atau pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan (Dinas Peternakan Pemerintah Provinsi Bali, 2013). Menurut Rianto (2010), dilihat dari mata rantai penyediaan daging di Indonesia, salah satu tahapan terpenting adalah penyembelihan hewan di RPH. Peraturan perundangan yang berkaitan persyaratan RPH di Indonesia telah diatur dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 555/Kpts/TN.240/9/1986 tentang Syarat-Syarat Rumah Pemotongan Hewan (RPH) dan Usaha Pemotongan. Persyaratan ini dibagi menjadi prasyarat untuk RPH yang digunakan untuk memotong hewan guna memenuhi kebutuhan lokal di Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II, memenuhi kebutuhan daging antar Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II dalam satu Propinsi Daerah Tingkat I, memenuhi kebutuhan daging antar Propinsi Daerah Tingkat I dan memenuhi kebutuhan ekspor. Selanjutnya dikemukakan dalam Undang-Undang Peternakan dan kesehatan Hewan Tahun 2009 Bab I Pasal 1 ayat 15 dan Bab VI Pasal 62 : 1. Pada Bab I Pasal 1 ayat 15 Perusahaan peternakan adalah orang perorangan atau korporasi, baik yang berbentuk badan hukum maupun yang bukan badan hukum, yang didirikan dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang mengelola usaha peternakan dengan kriteria dan skala tertentu. 2. Pada Bab VI Pasal 62 1) Pemerintah daerah kabupaten/kota wajib memiliki rumah pemotongan hewan yang memenuhi persyaratan teknis. 2) Rumah pemotongan hewan yang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diusahakan oleh setiap orang setelah memiliki izin usaha dari bupati/walikota. 3) Usaha rumah pemotongan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilakukan dibawah pengawasan dokter hewan berwenang di bidang pengawasan kesehatan masyarakat veteriner (Hannayuri, 2011). RPH yang secara resmi di bawah pengawasan Departemen Pertanian, pada dasarnya mempunyai
persyaratan,
sesuai
dengan
Surat
Keputusan
Menteri
Pertanian
No.555/Kpts/TN.240/9/1986, tentang syarat-syarat rumah pemotongan hewan. Pasal 2 dari SK Mentan tersebut menyatakan bahwa RPH merupakan unit/sarana pelayanan masyarakat dalam penyediaan daging sehat. Dari SK Mentan tersebut mengungkapkan mengenai syarat-syarat RPH yang dijelaskan lebih pada 2 pasal 3 ayat (a) menyatakan bahwa RPH berlokasi di daerah yang tidak menimbulkan gangguan atau pencemaran lingkungan misalnya di bagian pinggir kota yang tidak padat penduduknya (Suharno, 2010). Persyaratan RPH secara umum adalah tempat atau bangunan khusus untuk pemotongan hewan yang dilengkapi dengan atap, lantai dan dinding, memiliki tempat atau kandang untuk menampung hewan untuk diistirahatkan dan dilakukan pemeriksaan ante-mortem sebelum pemotongan dan syarat lainnya adalah memiliki persediaan air bersih yang cukup, cahaya yang cukup, meja atau alat penggantung daging agar daging tidak bersentuhan dengan lantai (Septina, 2010). Untuk menampung limbah hasil pemotongan diperlukan saluran pembuangan yang cukup baik, sehingga lantai tidak digenangi air buangan atau air bekas cucian. Acuan RPH dan tatacara pemotongan yang baik dan halal di Indonesia sampai saat ini adalah Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-6159-1999 tentang Rumah Pemotongan Hewan berisi beberapa persyaratan yang berkaitan dengan RPH termasuk persyaratan lokasi, sarana, bangunan dan tata letak sehingga keberadaan RPH tidak menimbulkan ganguan berupa polusi udara dan limbah buangan yang dihasilkan tidak mengganggu masyarakat.
2.3 Kesejahteraan Hewan (Animal Welfare) Berdasarkan Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2009, animal welfare adalah segala urusan yang berhubungan dengan keadaan fisik dan mental hewan menurut ukuran perilaku alami hewan yang perlu diterapkan dan ditegakkan untuk melindungi hewan dari perlakuan setiap orang yang tidak layak terhadap hewan yang dimanfaatkan manusia. Animal welfare (kesejahteraan hewan) merupakan suatu usaha kepedulian yang dilakukan oleh manusia untuk memberikan kenyamanan kehidupan terhadap seluruh jenis hewan.
Semua manusia
bertanggungjawab terhadap masing-masing hewan yang dipelihara atau hidup bebas di alam. Umumnya yang menjadi perhatian seperti di peternakan, selama transportasi, atau pada saat akan disembelih (Carolline, 2005). Dalam teori yang dikemukakan beberapa para ahli berpendapat bahwa kesejahteraan hewan merupakan ajaran mengenai kepedulian dan perlakuan manusia terhadap masingmasing hewan serta bagaimana masyarakat dapat meningkatkan kualitas hidup hewan tersebut.
Setiap jenis hewan harus dibiarkan hidup bebas di alam atau hidup di lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan, perilaku, dan karakteristik habitat alamnya. Sehubungan dengan kesejahteraan hewan, manusia yang berperan penting dan bertanggungjawab untuk mewujudkannya (Fraser et al., 1997). Suandy (2014) mengatakan bahwa, ada beberapa perangkat atau parameter yang dapat dipertimbangkan sebagai indikasi untuk menentukan batasan penderitaan bagi hewan, di antaranya; terkait perilaku hewan, bagaimana hewan dipelihara sesuai dengan kebutuhan spesifik dari spesiesnya; perubahan patologi, yang meliputi technopaty (perubahan yang diderita karena situasi lingkungan tempat hidup), luka atau kerusakan jaringan, tingkat kesakitan (morbidity), dan tingkat kematian (mortality); perubahan fisiologi, yang meliputi perubahan biokimia, endokrinologi (perubahan hormon), imunologi (perubahan daya tahan tubuh), dan kemampuan untuk berkembang biak; yang terakhir terkait dengan produktivitasnya, kemampuan produksi, masa produksi optimum, dan masa kering kandangnya. Beberapa parameter di atas dapat dipertimbangkan untuk menetapkan standar dalam mengukur tingkat kesejahteraan hewan dalam pelaksanaan teknis. Kesejateraan hewan menjadi penting karena mempengaruhi pertumbuhan, reproduksi dan daya tahan hidup hewan. Selain itu juga dapat mengurangi tingkat insidensi terhadap suatu penyakit dan meningkatkan kesehatan hewan yang ditemukan pada project study, bahwa peningkatan praktek kesejahteraan hewan secara positif berdampak kepada patologi hewan dan ketahanan penyakit (European Communities, 2007). Menurut Wahyu (2010), sasaran animal welfare adalah semua hewan yang berinteraksi dengan manusia dimana intervensi manusia sangat mempengaruhi kelangsungan hidup hewan, bukan yang hidup di alam. Dalam hal ini adalah hewan liar dalam kurungan (Lembaga konservasi, entertainment, laboratorium), hewan ternak dan hewan potong (ternak besar/kecil), hewan kerja dan hewan kesayangan. Swacita (2013) mengatakan bahwa, kesejahteraan hewan harus memperhatikan kenyamanan, kesenangan maupun kesehatan dari hewan. Hal yang harus diperhatikan pada proses penyembelihan sesuai dengan penerapan animal welfare, yaitu: 1. Penggiringan Penggiringan hewan dari kandang penampungan rumah pemotongan hewan menuju ruang potong yang berarti memperhatikan cara menggiring sapi dengan baik yang bertujuan agar sapi tidak bringas sehingga tidak mengakibatkan cedera pada tukang
potong hewan, tidak ada barang atau orang yang berdiri di depan sapi yang dapat menyebabkan sapi takut bergerak, dan berdiri disamping sejajar dengan paha sapi. 2. Perebahan Merebahkan sapi dengan perlahan dan tidak dibanting agar menghasilkan kualititas daging yang baik tidak memar, serta mengikat kaki sapi dengan benar. 3. Penyembelihan Proses penyembelihan dengan segera setelah hewan rebah dan terikat, penyembelihan sapi sudah harus siap dengan tempat penampungan darah dan alat penyembelihan seperti pisau harus bersih, menggunakan pisau tajam, pisau yang cukup panjang, dan pisau dipegang dengan baik. 4. Penilaian kematian otak Penilaian kematian otak ditentukan dengan menyentuh lembut sudut mata menggunakan jari untuk melihat refleks kornea. Prosedur pemisahan kepala dan kaki dilakukan minimal 2 menit setelah hewan di sembelih. Penerapan kesejahteraan hewan pada hewan ternak yang akan dipotong akan meningkatkan kualitas daging yang dihasilkan dan tidak menurunkan kandungan gizi serta tidak membahayakan kesehatan masyarakat yang mengkonsumsi daging. 2.4 Lima Kebebasan Hewan (The Five Freedoms) Eccleston (2009) mengatakan bahwa, lima kebebasan hewan adalah metode sederhana untuk mengevaluasi dan menganalisa kesejahteraan hewan dan termasuk langkah yang tepat untuk meningkatkan kualitas hidup hewan. Walaupun lima kebebasan hewan dapat diterapkan untuk meningkatkan kualitas hidup bagi semua hewan, pada khususnya langkah ini berguna untuk menjamin hewan atau satwa yang dipelihara tidak akan mengalami penganiayaan. Lima asas kebebasan dalam animal welfare, yaitu: 1. Freedom from hunger and thirst - Kebebasan dari kelaparan dan kehausan. Memberikan makanan dan minuman yang cukup untuk menjamin hewan sehat. 2. Freedom from discomfort - Kebebasan dari ketidaksenangan. Memberikan kondisi lingkungan yang sesuai bagi binatang dan yang menyenangkan. 3. Freedom from pain, injury and disease - Kebebasan dari kesakitan, luka-luka dan penyakit, mencegah kemungkinan jatuh sakit atau menderita luka-luka sebanyak mungkin, dan jika hewan masih jatuh sakit atau menderita luka-luka menjamin bahwa hewan itu dapat diperiksa oleh dokter hewan dan diobati.
4. Freedom to behave normally - Kebebasan untuk mengekspresikan perilaku alaminya sebagai seekor binatang, memberikan lingkungan yang luas, yang memungkinkan binatang melakukan gerakan alami dan bergaul dengan binatang lain yang berjenis sama. 5. Freedom from fear and distress - Kebebasan dari ketakutan dan penderitaan, menjamin kondisi dan perlakuan hewan yang baik supaya menghindari hewan dari ancaman kebosanan, stres, ketakutan dan kesusahan. Menurut Parista (2013), Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet), RPH dan kesejahteraan hewan (animal welfare) sudah diatur di dalam UU 6/1967 tentang Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan, UU 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, dan Peraturan Mentan 13/2010 tentang Persyaratan RPH Hewan Ruminansia dan Unit Penanganan Daging (Meat Cutting Plant). Pada pasal 66 UU 18/ 2009, misalnya, disebutkan bahwa pemotongan hewan yang dagingnya diedarkan harus dilakukan di RPH dan cara pemotongannya memenuhi kaidah kesmavet dan animal welfare. Dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2009 Pasal 66-67 Tentang Kesejahteraan Hewan, dikemukakan bahwa: -
Pasal 66, ayat 1-4 (1) Untuk kepentingan kesejahteraan hewan dilakukan tindakan yang berkaitan dengan penangkapan dan penanganan; penempatan dan pengandangan; pemeliharaan dan perawatan; pengangkutan; pemotongan dan pembunuhan; serta perlakuan dan pengayoman yang wajar terhadap hewan. (2) Ketentuan mengenai kesejahteraan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara manusiawi yang meliputi: a. penangkapan dan penanganan satwa dari habitatnya harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang konservasi; b. penempatan dan pengandangan dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga memungkinkan hewan dapat mengekspresikan perilaku alaminya; c. pemeliharaan, pengamanan, perawatan, dan pengayoman hewan dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga hewan bebas dari rasa lapar dan haus, rasa sakit, penganiayaan dan penyalahgunaan, serta rasa takut dan tertekan; d. pengangkutan hewan dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga hewan bebas dari rasa takut dan tertekan serta bebas dari penganiayaan;
e. penggunaan dan pemanfaatan hewan dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga hewan bebas dari penganiayaan dan penyalahgunaan; f. pemotongan dan pembunuhan hewan dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga hewan bebas dari rasa sakit, rasa takut dan tertekan, penganiayaan, dan penyalahgunaan; dan g. perlakuan terhadap hewan harus dihindari dari tindakan penganiayaan dan penyalahgunaan. (3) Ketentuan yang berkaitan dengan penyelenggaraan kesejahteraan hewan diberlakukan bagi semua jenis hewan bertulang belakang dan sebagian dari hewan yang tidak bertulang belakang yang dapat merasa sakit. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kesejahteraan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri. -
Pasal 67 Penyelenggaraan kesejahteraan hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah bersama masyarakat. Dengan adanya rancangan Undang-Undang dan Kebijakan Pembangunan Peternakan
akan berfungsi sebagai dasar hukum khususnya dalam bidang pemotongan hewan bisa menjamin kesejahteraan bagi hewan ternak dan produk daging yang dihasilkan dari proses pemotongan terbukti ASUH (aman, sehat, utuh dan halal). 2.5 Kesejahteraan Hewan di RPH Menurut Wahyudi (2010), untuk mendapatkan daging ASUH yang bersumber dari rumah pemotongan hewan maka sudah seharusnya rumah pemotongan hewan memiliki prosedur operasional standar yang dijadikan pedoman atau patokan dalam menyelenggarakan fungsi rumah pemotongan hewan sebagai tempat pemotongan, pengulitan, pelayuan dan akhirnya penyediaan daging untuk konsumen. Salah satu kegiatan di RPH yang perlu diantisipasi berkaitan dengan penerapan kesrawan adalah kegiatan mulai dari hewan masuk ke RPH sampai dengan penyembelihan hewan. Pemotongan hewan di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) harus dilakukan dengan memperhatikan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh pemerintah, yang dalam hal ini Departemen Pertanian. Penetapan aturan maupun teknis pelaksanaan pemotongan di RPH
dimaksudkan sebagai upaya penyediaan pangan asal hewan khususnya daging ASUH (Yudi, 2010). Prosedur operasional standar yang ditetapkan oleh Dirjen Peternakan Departemen Pertanian, yaitu: 1. Penerimaan dan penampungan hewan a. Hewan ternak yang baru datang di RPH, diturunkan dari alat angkut dengan hati-hati dan tidak membuat hewan stres. b. Dilakukan pemeriksaan dokumen (surat kesehatan hewan, surat keterangan asal hewan, surat karantina, dsb). c. Hewan diistirahatkan terlebih dahulu di kandang penampungan minimal 12 jam sebelum dipotong. d. Hewan dipuasakan tetapi tetap diberi minum kurang lebih 12 jam sebelum dipotong. 2. Tahap pemeriksaan ante-mortem (pemeriksaan kesehatan hewan sebelum disembelih) a. Pemeriksaan ante-mortem dilakukan oleh dokter hewan atau petugas yang ditunjuk di bawah pengawasan dokter hewan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan (Surat Keputusan Bupati/Walikota/Kepala Dinas). b. Hewan ternak yang dinyatakan sakit atau diduga sakit dan tidak boleh dipotong atau ditunda pemotongannya, harus segera dipisahkan dan ditempatkan pada kandang isolasi untuk pemeriksaan lebih lanjut. c. Apabila
ditemukan
penyakit
menular
atau
zoonosis,
maka
dokter
hewan/petugas yang ditunjuk di bawah pengawasan dokter hewan harus segera mengambil tindakan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan. 3. Persiapan penyembelihan/pemotongan a. Ruang proses produksi dan peralatan harus dalam kondisi bersih sebelum dilakukan proses penyembelihan/pemotongan. b. Hewan ditimbang sebelum dipotong. c. Hewan dibersihkan terlebih dahulu dengan air (disemprot air) sebelum memasuki ruang pemotongan. d. Hewan ternak digiring dari kandang penampungan ke ruang pemotongan melalui gang way dengan cara yang wajar dan tidak membuat stres. 4. Penyembelihan a. Hewan dapat dipingsankan atau tidak dipingsankan.
b. Apabila dilakukan pemingsaan, maka tata cara pemingsanan harus mengikuti Fatwa MUI tentang tata cara pemingsanan hewan yang diperbolehkan. c. Apabila tidak dilakukan pemingsanan, maka tata cara menjatuhkan hewan harus dapat meminimalkan rasa sakit dan stres (misalnya, menggunakan re-straining box). d. Apabila hewan ternak telah rebah dan telah diikat (aman) segera dilakukan penyembelihan sesuai dengan syariat Islam, yaitu memotong bagian ventral leher dengan menggunakan pisau yang tajam sekali tekan tanpa diangkat sehingga memutus saluran pencernaan, pernafasan dan pembuluh darah sekaligus. e. Proses selanjutnya dilakukan setelah hewan ternak benar-benar mati dan pengeluaran darah sempurna. f. Setelah hewan ternak tidak bergerak lagi, leher dipotong dan kepala dipisahkan dari badan, kemudian kepala digantung untuk dilakukan pemeriksaan selanjutnya. g. Pada RPH yang fasilitasnya lengkap, kedua kaki belakang pada sendi tarsus dikait dan dikerek (hoisted), sehingga bagian leher ada di bawah, agar pengeluaran darah benar-benar sempurna dan siap untuk proses selanjutnya. h. Untuk RPH yang tidak memiliki fasilitas hoist, setelah hewan benar-benar tidak bergerak, hewan dipindahkan ke atas keranda/penyangga karkas (cradle) dan siap untuk proses selanjutnya. 5. Pengulitan a. Sebelum proses pengulitan, harus dilakukan pengikatan pada saluran pencernaan di leher dan anus, sehingga isi lambung dan feses tidak keluar dan mencemari karkas. b. Pengulitan dilakukan bertahap, diawali membuat irisan panjang pada kulit sepanjang garis dada dan bagian perut. c. Irisan dilanjutkan sepanjang permukaan dalam (medial) kaki. d. Kulit dipisahkan mulai dari bagian tengah ke punggung. e. Pengulitan harus hati-hati agar tidak terjadi kerusakan pada kulit dan terbuangnya daging.