LAPORAN AKHIR PENELITIAN RISBINKES
SEROPREVALENSI LEPTOSPIROSIS PADA SAPI POTONG dan PETUGAS RUMAH POTONG HEWAN (RPH) DI RPH KOTA SALATIGA
Penyusun: drh. Dimas Bagus Wicaksono Putro Arief Mulyono,S.Si,M.Sc Esti Rahardianingtyas S.Si Nur Hidayati Amd. AK
Balai Besar Penenlitian Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI 2016
SUSUNAN TIM PENELITI
No.
1
Nama
drh. Dimas Bagus W.P
Keahlian /
Kedudukan
Kesarjanaan
dalam Tim
Dokter
Ketua
Hewan/S1
Pelaksana
Uraian Tugas Bertanggung jawab atas pelaksanaan penelitian
2
Arief Mulyono, S.Si
S2 Imunologi
,M.Sc
dan Biomol
Membantu Peneliti
pelaksanaan penelitian
3
Esti Rahardianingtyas S.Si
Membantu Biologi/S1
Peneliti
pelaksanaan penelitian
4
Nurhidayati , Amd.AK
D3 Analis
Pembantu Peneliti
Membantu pelaksanaan teknis laboratorium
i
SURAT KEPUTUSAN PENELITIAN
ii
iii
iv
v
vi
vii
viii
ix
x
KATA PENGANTAR Penulis mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan berkahnya sehingga terlaksananya Riset Pembinaan Kesehatan Badan Litbangkes dengan judul Seroprevalensi Leptospirosis pada Sapi Potong dan Petugas Rumah Potong Hewan (RPH) di RPH Kota Salatiga. Penelitian ini bertujuan untuk menghitung prevalensi leptospirosis pada petugas dan sapi yang dipotong di RPH Salatiga yang saat ini masih belum terlaporkan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pada khalayak umum dan bermanfaat khususnya bagi Dinas Kesehatan serta Dinas Pertanian untuk lebih mawas diri terhadap zoonosis leptospirosis di wilayah Salatiga Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu antara lain teman-teman laboratorium bakteriologi dan imunologi B2P2VRP, Dinas Kesehatan Kota Salatiga, Dinas Pertanian Kota Salatiga, UPT dan staf Rumah Potong Hewan Kota Salatiga, sehingga
pelaksanaan penelitian berjalan lancar dan
tersusunnya Laporan Risbinkes Tahun 2016.
Salatiga, Desember 2016 Ketua pelaksana penelitian,
drh. Dimas Bagus W.P NIP. 198410312009121002
xi
RINGKASAN EKSEKUTIF
SEROPREVALENSI LEPTOSPIROSIS PADA SAPI POTONG dan PETUGAS RUMAH POTONG HEWAN (RPH) DI RPH KOTA SALATIGA
drh. Dimas Bagus W.P, Arief Mulyono S,Si, M.Sc, Esti Rahardianingtyas S.Si, Nurhidayati , Amd.AK Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit Pendahuluan Leptospirosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh organisme patogen dengan genus Leptospira. Penularan penyakit dapat terjadi secara langsung atau tidak langsung dari hewan ke manusia dan jarang terjadi penularan dari manusia ke manusia. Distribusi penyakit ini tersebar luas di seluruh dunia, baik di daerah tropik maupun subtropik dan pada umumnya sering terjadi di daerah persawahan atau peternakan. Sumber penularan penyakit pada manusia antara lain disebabkan oleh tikus, hewan ternak dan hewan kesayangan. Urin hewan terinfeksi Leptospira yang mencemari lingkungan merupakan awal dari penularan leptospirosis. Kejadian Leptospirosis di Indonesia cukup tinggi dan menjadi masalah kesehatan. Leptospirosis termasuk dalam re-emerging disease yang mampu muncul secara sporadis dan bisa memicu terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB). Menurut International Leptospirosis Society (ILS), Indonesia berada pada urutan ketiga dunia dalam angka mortalitas. Dinas Kesehatan Kota Semarang melaporkan Kasus Leptospirosis tertinggi terjadi pada tahun 2009 dengan jumalah kasus 235 dan 9 orang meninggal. Sedangkan Case Fatality Rate (CFR) tertinggi akibat leptospirosis terjadi pada tahun 2011 sebesar 36 %. Leptospirosis juga dilaporkan oleh Dinas Kesehatan Boyolali sejak tahun 2012 hingga 2014 sebanyak 25 kasus dengan CFR tertinggi terjadi pada tahun 2014 sebesar 43,75%. Kota Salatiga secara geografis berbatasan dengan Kota Semarang yang merupakan daerah endemis leptospirosis dan Kabupaten Boyolali yang mengalami peningkatan kasus leptospirosis beberapa tahun terakhir ini. Pengiriman sapi dari kedua kabupaten tersebut untuk disembelih di Rumah Potong Hewan Kota Salatiga juga cukup banyak. Penularan Leptospirosis pada manusia bisa disebabkan oleh sapi sebagai reservoirnya, sehingga perlu xii
dilakukan skrining leptospirosis di Salatiga untuk kewasapadaan dini penularan leptospirosis oleh sapi. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan besaran kejadian leptospirosis pada Sapi Potong dan Petugas RPH di Kota Salatiga. Seroprevalensi leptospirosis dan jenis serovar yang menginfeksi pada sapi potong dan petugas RPH dapat teridentifikasi. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi awal kewaspadaan dini penularan leptospirosis pada petugas RPH oleh sapi yang dipotong di RPH Kota Salatiga. Penelitian kali ini menggunakan uji Microscopik Agglutination Test (MAT) untuk mendeteksi Leptospira interogans penyebab Leptospirosis pada sapi dan petugas Rumah Potong Hewan (RPH). Penelitian dilakukan di RPH Kota Salatiga pada bulan MaretOktober 2016. Sampel serum yang diperoleh dari RPH dilakukan pengujian Microscopik Agglutination Test (MAT) di Laboratorium Bakteriologi dan Imunologi, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit Salatiga. Antigen yang digunakan untuk pengujian MAT adalah antigen hidup yaitu biakan-biakan L. interrogans serovar Bangkinang, Grippotyphosa, Icterohaemorrhagiae, Canicola, Salinem, Hardjo, Hebdomadis, Pomona, Djasiman, Robinsoni, Bataviae, Mini, Sarmin, Manhao, Tarrasovi , berumur 5–7 hari, yang ditumbuhkan di dalam medium Ellinghausen McCullough Johnson Harris (EMJH) cair pada suhu 300C. Hasil uji MAT dapat diketahui prevalensi dan serovar Leptospira yang menyerang pada manusia dan sapi di RPH kota Salatiga dan nantinya dapat mendukung sistem kewaspadaan dini dalam upaya pencegahan dan pengendalian leptospirosis.
Hasil Utama dan relevansi Hasil penelitian menunjukkan bahwa total sapi yang dipotong di RPH Kota Salatiga adalah 221 sampel serum yang berasal dari daerah Semarang, Boyolali, Magelang dan Salatiga. Hasil pengujian MAT diketahui 9,5 % sapi bereaksi positif dengan antigen leptospira. Serovar yang muncul sebanyak 7 serovar yaitu Hebdomadis, Djasiman, Harjdo, Mini, Salinem, Autumnalis, Battaviae. Titer antibodi paling tinggi yaitu 1: 2560 dengan serovar Hebdomadis. Sapi paling banyak muncul reaksi imun pada pengenceran 1:160. Sedangkan pada manusia hanya terdeteksi Serovar Salinem dengan titer 1:20 sebanyak 1 orang petugas RPH dari 30 orang yang diperiksa.
xiii
Kesimpulan dan Saran Hasil penelitian
diketahui terjadi infeksi leptospira pada beberapa sapi yang
dipotong di RPH Kota Salatiga dengan prevalensi 11,43%. Sedangkan pada petugas belum dikatakan positif dikarenakan titer MAT terlalu rendah. Meskipun tidak terkonfirmasi positif, secara serologis petugas tersebut pernah terpapar leptospirosis sebelumnya. Ditemukannya serologi positif leptospira pada sapi dan bereaksi lemah pada manusia dengan serovar yang sama yaitu Salinem mengindikasikan terjadi transmisi/penularan leptospirosis dari sapi ke petugas RPH. Berdasarkan hasil penelitian maka perlu kewaspadaan dini adanya kemungkinan penularan dari sapi ke petugas RPH yang selama ini belum pernah atau jarang terlaporkan. Ditemukannya reaksi imun terhadap leptospira pada sapi dan petugas RPH maka perlu dilakukan surveilens leptospirosis pada sapi yang saat ini belum dilakukan. Pemeriksaan kesehatan rutin bagi petugas RPH perlu dilakukan, khususnya untuk penyakit leptospirosis. Peningkatan penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) lengkap juga perlu diterapkan di RPH. Adanya pengawasan lintas sektor diharapkan mengurangi
resiko penularan
leptospirosis dari sapi ke petugas RPH.
xiv
ABSTRAK
Leptospirosis merupakan zoonosis yang disebabkan oleh bakteri leptospira sp dengan sapi merupakan salah satu reservoirnya. Profesi tertentu seperti petugas rumah potong hewan, dokter hewan yang menangani pasien ternak, perawat hewan, petani yang mengerjakan sawah, memiliki kecenderungan besar tertular leptospirosis. Tujuan penelitian ini adalah menentukan besaran kejadian leptospirosis pada Petugas RPH dan Sapi yang dipotong di Kota Salatiga. Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatifdeskriptif dengan desain penelitian cross-sectional. Deteksi serologi leptospirosis dilakukan dengan uji Microscopic Aglutination Test (MAT). Hasil pengujian diketahui seroprevalensi leptospirosis pada sapi yang dipotong di RPH Kota Salataiga sebesar 9,5 %. Sedangkan pada petugas RPH hanya terdeteksi dengan titer 1:20 yang menandakan pernah terpapar leptospirosis. Ditemukan 7 serovar Leptospira yang menginfeksi pada sapi yaitu Hebdomadis, Djasiman, Harjdo, Mini, Salinem, Autumnalis, Bataviae. Hasil deteksi leptospirosis pada sapi dan petugas di Rumah Potong Hewan Kota Salatiga belum pernah terlaporkan. Dengan hasil penelitian ini dapat dijadikan perhatian untuk kewaspadaan penularan leptospirosis dari sapi yang dipotong terhadap petugas RPH di Kota Salatiga. Kata kunci: Leptospirosis, MAT, Rumah Potong Hewan, serovar
ABSTRACT
Leptospirosis is a zoonosis caused by Leptospira sp and cows is one of the reservoir. Slaughterhouses, veterinarians who contact with patients livestock, animal caretaker, farmers who work the rice fields, has a tendency of contracting leptospirosis. The aim of this study was to determine the amount of leptospirosis cases in slaughterhouses workers and cattle slaughtered in Salatiga. The research is a quantitativedescriptive with cross-sectional study design. Detection of leptospirosis serological test has done with Microscopic Aglutination Test (MAT). The results showed that seroprevalence of leptospirosis in cattle slaughtered was 9,5%. While the worker was only detected RPH with 1:20 titre indicating has been exposed to leptospirosis. Seven serovar was found detected in cattle there were Hebdomadis, Djasiman, Harjdo, Mini, Salinem, Autumnalis, Battaviae. Detection leptospirosis in cattle and slaughter houses worker in Salatiga City hasn’t been reported.The results can be used to a concern for preventive transmission of leptospirosis from cattle to slaughter house workers.
Key words: Leptospirosis, MAT, Slaughter House, serovar xv
DAFTAR ISI
Susunan Tim Peneliti....................................................................................................... i Surat Keputusan Penelitian............................................................................................. ii Kata Pengantar .............................................................................................................. xi Ringkasan Eksekutif ..................................................................................................... xii Abstrak ......................................................................................................................... xv Daftar Isi ...................................................................................................................... xvi Daftar Tabel ............................................................................................................... xviii Daftar Gambar ............................................................................................................. xix Daftar Lampiran ........................................................................................................... xx I. Pendahuluan ................................................................................................................ 1 1.1. Latar Belakang ................................................................................................. 1 1.2. Perumusan Masalah Penelitian ......................................................................... 4 Ii. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ................................................................................ 5 Iii. Hipotesis ................................................................................................................... 6 Iv. Metode ...................................................................................................................... 7 5.1
Kerangka Teori .............................................................................................. 7
5.2
Kerangka Konsep ........................................................................................... 8
5.3
Design Dan Jenis Penelitian........................................................................... 8
5.4
Tempat Dan Waktu Penelitian ....................................................................... 8
5.5
Populasi Dan Sampel ..................................................................................... 8
5.6
Besar Sampel, Cara Pemilihan Atau Penarikan Sampel ................................ 9
5.7
Kriteria Inklusi Dan Eksklusi....................................................................... 10
5.8
Variabel ........................................................................................................ 10
5.9
Definisi Operasional .................................................................................... 11
5.10 Instrumen Dan Cara Pengumpulan Data...................................................... 11 5.11 Bahan Dan Prosedur Kerja........................................................................... 12 xvi
5.12 Manajemen Dan Analisis Data .................................................................... 14 V.
Hasil .................................................................................................................... 15
Vi.
Pembahasan ......................................................................................................... 19
Vii. Kesimpulan Dan Saran ....................................................................................... 23 Viii. Ucapan Terima Kasih.......................................................................................... 24 Ix.
Daftar Kepustakaan ............................................................................................. 25
X.
Lampiran ............................................................................................................. 27
Xi.
Lembar Pengesahan ............................................................................................ 32
xvii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Prevalensi kejadian leptospirosis pada petugas RPH dan sapi ............................15 yang dipotong di RPH Kota Salatiga dengan uji Tabel 2. Jumlah dan asal sapi yang dipotong di RPH Kota Salatiga ................................. 16 Tabel 3. Jumlah dan frekuensi (%) sampel serum sapi dengan titer positif masingmasing serovar pada beberapa pengenceran ........................................................ 16 Tabel 4. Distribusi serovar Leptospira pada sapi terinfeksi leptospirosis yang dipotong di RPH Kota Salatiga ............................................................................................ 17 Tabel 5. Titer antibodi leptospira pada sapi yang dipotong di RPH Salatiga ...................... 17 Tabel 6. Frekuensi sapi yang terinfeksi 1atau lebih serovar................................................ 18 Tabel 7. Titer antibodi leptospirosis pada petugas RPH......................................................18
xviii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Foto Hasil pemeriksaan MAT leptospirosis pada sapi ...................................... 15
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Persetujuan etik penelitian .............................................................................. 27 Lampiran 2. Ijin penelitian .................................................................................................. 27 Lampiran 3. Naskah Persetujuan dan Informed Consent ................................................... .29 Lampiran 4. Dokumentasi penelitian ................................................................................. 31 Lampiran 5. Poster Hasil Penelitian.................................................................................... 32
xx
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Leptospirosis merupakan masalah kesehatan yang terjadi di seluruh dunia. Penyakit ini sering terjadi di daerah tropis dan subtropis di beberapa negara berkembang. Penyakit menular ini disebabkan oleh organisme patogen dengan genus Leptospira. Penularan penyakit dapat terjadi secara langsung atau tidak langsung dari hewan ke manusia dan jarang terjadi penularan dari manusia ke manusia. 1Telah dilakukan penelitian leptospirosis di Jerman pada tahun 1997-2000 dengan 11 kasus dari 102 kasus leptospirosis dikarenakan memelihara hewan.
2
Pegunungan Papua
telah melaporkan mengenai kedekatan antara manusia dan hewan piaraannya memegang peranan sangat besar dalam penularan leptospirosis kepada manusia. Sapi-sapi potong yang terinfeksi
Leptospira interogans dapat menularkan
leptospirosis yang cukup parah bagi peternak.3 Leptospirosis di Indonesia ditemukan di Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau, Sumtera Barat, Sumatera Utara, Bali, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat.4 Kasus Leptospirosis di Jawa Tengah sejak tahun 2004 sampai dengan 2011 tersebar di 10 wilayah yaitu Kota Semarang, Kabupaten Demak, Pati, Klaten, Purworejo, Semarang, Wonogiri, Cilacap, Jepara dan Banyumas.
5
Kasus leptospirosis di Kota Semarang mengalami peningkatan dari
tahun 2007 hingga 2009 dan angka kematiannya meningkat cukup tinggi dari tahun 2010 hingga 2011. Kasus tertinggi terjadi pada tahun 2009 sebesar 235 kasus dan CFR tertinggi akibat leptospirosis terjadi pada tahun 2011
yaitu 36 %.6
Leptospirosis juga sudah dilaporkan oleh Dinas Kesehatan Boyolali sebesar 25 kasus sejak tahun 2012 hingga 2014 dengan CFR tertinggi sebesar 43,75% pada tahun 2014.
7
Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor melaporkan selama kurun waktu
2003-2007 seroprevalensi Leptospirosis pada sapi perah dan sapi potong sebesar 18,38 %.
8
Seroprevalensi leptospirosis pada manusia sejak 2002-2004 dilaporkan
sebesar 12,33%. 9
1
Leptospirosis disebabkan oleh bakteri dari genus Leptospira. Genus Leptospira dibagi menjadi dua jenis yaitu Leptospira interrogans yang terdiri dari semua strain patogen dan Leptospira. biflexa yang terdiri strain saprofit. Terdapat lebih dari 200 serovar yang telah ditemukan pada Leptospira interrogans dan lebih dari 60 serovar Leptospira biflexa.
10
Bakteri Leptospira termasuk dalam bakteri
Gram negatif, berukuran 0,1 m, berbentuk batang berlekuk- lekuk dan mempunyai gerakan khas. Suhu optimum untuk pertumbuhan antara 28-30 oC. Ketahanan hidup diluar tubuh dipengaruhi oleh kondisi tanah dan air di sekitarnya. Bakteri Leptospira mampu bertahan di lingkungan pada suhu sekitar 25 oC dan pH netral. Pada tanah basah organisme mampu bertahan hingga 180 hari dan tahan beberapa bulan di permukaan air. 10,11 Leptospirosis merupakan salah satu penyakit zoonotik yang dapat menyerang ternak dan hewan piaraan lainnya. Manusia dapat terinfeksi Leptospira melalui kontak langsung dengan urin, darah atau jaringan dari hewan karier leptospirosis . Kuman Leptospira dapat masuk ke dalam tubuh melalui kulit yang terluka atau melalui mukosa mulut, hidung atau mata ketika berenang di dalarn air yang terkontaminasi Leptospira. Penularan juga dapat terjadi apabila kontak Iangsung dengan tanah basah atau tanaman yang terkontaminasi urin hewan penderita leptospirosis.
9,10
Profesi tertentu seperti petugas rumah potong hewan,
dokter hewan yang menangani pasien ternak, perawat hewan, petani yang mengerjakan sawah, memiliki kecenderungan besar tertular leptospirosis. 10,11 Pada manusia umumnya leptospirosis bersifat ringan yang ditandai nyeri kepala mendadak, malaise, merasa kedinginan, nyeri otot, pada mata ditemukan episcleral injection, leher terasa kaku. Pada kasus yang lebih berat biasa ditemukan gejala demam, malaise, muntah, tidak bisa bangun dari tempat tidur, nyeri otot, nyeri kepala, dan bila penyakit parah ditemukan nefritis, perdarahan petekhi dan purpurea.5 Pada hewan dalam bentuk sub akut tidak begitu memperlihatkan gejala klinis, sedangkan pada kejadian akut ditandai dengan gejala sepsis, radang ginjal, anemia hemolitika, radang hati, dan keguguran. 4 Hampir semua mamalia termasuk manusia, hewan ternak, anjing dan kucing sensitif terhadap leptospirosis. Pada babi sering ditemukan serovar pomona dan tarrasovi. Anjing sering membawa serovar icterohemorrhagica, bataviae, dan 2
canicola. Leptospirosis pada sapi disebabkan oleh
serovar canicola, L.
grippotyphosa, L. hardjo, L. icterohemorrhagica, L. Pomona.11,12 Diagnosis leptospirosis secara serologis terdiri dari berbagai jenis, di antaranya adalah uji Microscopik Agglutination Test (MAT), uji fiksasi komplemen (CFT), Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA). Dari beberapa uji tersebut MAT merupakan uji yang paling banyak dipakai dan digunakan sebagai uji standar untuk menilai uji serologis.
13
Pengujian ini dilakukan dengan mereaksikan serum
dengan suspensi antigen hidup leptospira. Hasil reaksi dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop lapang gelap. Hasil akhir pengujian adalah pengenceran serum tertinggi di mana terjadi 50% aglutinasi. 14
3
1.2. Perumusan Masalah Penelitian Sampai saat ini kasus leptospirosis di Kota Salatiga belum terlaporkan. Kota Salatiga berbatasan dengan Kota Semarang dan Kabupaten Boyolali yang mengalami peningkatan kasus leptospirosis beberapa tahun terakhir ini. Pengiriman sapi dari kedua kabupaten tersebut untuk disembelih di Rumah Potong Hewan Kota Salatiga
juga cukup banyak. Kejadian leptospirosis baik pada sapi potong dan
petugas di RPH Kota Salatiga belum terlaporkan. Penularan Leptospirosis pada manusia bisa disebabkan oleh sapi sebagai reservoirnya sehingga perlu dilakukan skrining leptospirosis di Salatiga untuk kewasapadaan dini penularan leptospirosis oleh sapi.
4
II. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 2.1 Tujuan Tujuan umum adalah menentukan besaran kejadian leptospirosis pada Sapi dan Petugas RPH di Kota Salatiga. Tujuan khusus adalah : 1. Menentukan besaran Seroprevalensi leptospirosis pada sapi potong di RPH Kota Salatiga. 2. Menentukan besaran Seroprevalensi leptospirosis pada Petugas RPH di Kota Salatiga. 3. Mengidentifikasi serovar leptospira yang menginfeksi pada sapi potong di RPH Kota Salatiga. Mengidentifikasi serovar leptospira yang menginfeksi pada Petugas RPH di
4.
Kota Salatiga. 2.2
Manfaat 1. Penelitian ini akan memberikan informasi kepada Dinas Kesehatan dan Dinas Pertanian dan Perikanan Kota Salatiga mengenai kejadian leptospirosis pada manusia dan sapi yang selama ini belum terlaporkan. 2.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi kejadian leptospirosis pada manusia dan sapi sebagai masukan dalam perencanaan sistem kewaspadaan dini terhadap kejadian leptospirosis di Kota Salatiga khususnya di RPH Kota Salatiga
5
III. HIPOTESIS Terjadi infeksi leptospira interogans pada sapi dan menularkan ke petugas RPH Kota Salatiga.
6
IV. METODE 5.1
Kerangka Teori Tikus Liar
Air Tanah Lumpur
MANUSIA
Urin,darah, jaringan hewan carier
Air Tanah Lumpur
Hewan Ternak & Piaraan Urin,darah, jaringan hewan carier
( Sapi, Kambing,Anjing dll)
Leptospira interogans merupakan bakteri penyebab leptospirosis pada hewan dan manusia. Manusia dapat terinfeksi Leptospira melalui kontak langsung dengan urin, darah atau jaringan dari hewan karier leptospirosis . Kuman Leptospira dapat masuk ke dalam tubuh melalui kulit yang terluka atau melalui mukosa mulut dan kontak langsung dengan air, tanah basah, dan lumpur yang terkontaminasi urin hewan penderita leptospirosis. 10,11 (10,11)
7
5.2
Kerangka Konsep Positif MAT
Serum Sapi Titer Antibodi dan
Lingkungan Berisiko
Serovar Leptospira Serum Manusia
Negatif MAT
Leptospira interogans mampu bertahan hidup di lingkungan berisiko seperti air, tanah, lumpur yang terkontaminasi leptospira. Sapi merupakan reservoir leptospira dan bisa menularkan kepada manusia melalui urin atau darah yang mengandung leptospira. Leptospira interogans yang terdeteksi dalam tubuh sapi dan manusia melalui uji MAT merupakan peringatan terhadap adanya penularan leptospirosis dari sapi kepada manusia.
5.3
Design dan Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif-deskriptif dengan desain penelitian cross-sectional.
5.4
Tempat dan Waktu Penelitian Pengambilan sampel serum dilakukan di Rumah Potong Hewan Kota Salatiga. Pengujian MAT dilakukan di Laboratorium Bakteriologi dan Imunologi Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit (B2P2VRP) Salatiga. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret – Oktober 2016.
5.5
Populasi dan Sampel a.
Populasi Populasi penelitian ini adalah : 1) Petugas RPH Kota Salatiga 2) Sapi yang dipotong di RPH Salatiga
b.
Sampel Sampel penelitian ini adalah: 1) Serum Petugas RPH Kota Salatiga 2) Serum Sapi yang dipotong di RPH Salatiga 8
5.6
Besar Sampel, Cara Pemilihan atau Penarikan Sampel Perhitungan jumlah sampel sapi dihitung menggunakan rumus Thrusfield
15
Keterangan: n
= jumlah sampel
Pexp = Seroprevalensi perkiraan pada sapi d
= Selang kepercayaan
diketahui : Pexp = 18,4% 8 d
= 0,05
= 217, 64 dibulatkan menjadi 218 sampel Perhitungan jumlah sampel manusia dihitung menggunakan rumus Lameshow 17
(Zα)2 p q
(1,96)2 x 0,12 x 0.88
3,8416 x 0,12 x 0,88
0,4055
n 1 = ------------- = ------------------------- = ------------------------- = --------- = 162 L2
(0,05)2
0,0025
0,0025
Keterangan: α (alpha) = tingkat kesalahan. = 5% Statistik Zα = 1,96 p = besar proporsi infeksi leptospirosis yang diteliti = 12 % 9 q = 1 – p = 88 % L = presisi (ketepatan) mutlak = 5 % Estimasi populasi (N) di RPH = 30 n Besar sampel = n 2 = ---------1 + n/N
162
162
= --------------------- = --------------- = 25,3 1+ 162/30
6,4
Besar sampel akhir dengan antisipasi petugas yang batal diperiksa (n3). 9
n 3 = n2 +10% x n2 = 25,3 +10% x 25,3 = 27,83 dibulatkan menjadi 28
5.7
Kriteria Inklusi dan Eksklusi a. Kriteria inklusi: -
Semua Petugas di RPH Kota Salatiga yang bersedia diambil sampel darahnya
-
Sapi yang dipotong di RPH Kota Salatiga
b. Kriteria eksklusi: -
5.8
Sapi Bunting
Variabel 1. Variabel bebas Variabel bebas penelitian ini adalah : a. Serum petugas RPH b. Serum sapi
2. Variabel terikat Variabel terikat penelitian ini adalah : a. Titer anti bodi b. Serovar Leptospira
10
5.9
Definisi Operasional Variabel Seropreva lensi
Serum
Titer Anti Bodi
Serovar
Definisi Operasional Proporsi titer antibodi pada serum yang diperiksa Cairan bening yang dipisahkan dari sel darah menggunakan Sentrifus Pengenceran tertinggi serum dan masih terinfeksi leptospira Penggolongan jenis leptospira berdasarkan reaksi serologis
Alat Ukur -
Hasil Ukur Persentase
Skala Ukur -
Sentirfus
Serum
Nominal
Tes MAT
Negatif tidak ada titer Positif titer 1: 80 (sapi) 1:320(Manusia) Jenis Leptospira
Nominal
Tes MAT
Nominal
5.10 Instrumen dan Cara Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan mengambil serum petugas RPH dan sapi di Rumah Potong Hewan Kota Salatiga. Data diperoleh dari hasil uji MAT terhadap serum sehingga di dapat serovar Leptospira
11
5.11 Bahan dan Prosedur Kerja a. Bahan dan alat 1) Syringe
16) Autoclave
2) Vacutainer
17) Screw cap + rak
3) Kapas alkohol
18) Inkubator
4) Sarung tangan
19) Aqubides
5) Masker
20) Base Media EMJH
6) Gel Pack
21) Enrichment media leptospira
7) Cool Box
22) Isolat Leptospira sp.
8) Termometer 9) Rak Vacutainer 10) Permanent marker 11) Sentrifus 12) Mikropipet 13) Tip 14) Cryo tube 1,8 ml 15) Alkohol 70%
23) Bunshen burner 24) Mikroplate 96 whell 25) Mikroskop Medan Gelap 26) Inkubator 27) Parafilm 28) Alumunium foil 29) Frezer
b. Prosedur kerja 1) Pengambilan darah 1.1 Pengambilan darah sapi Dilakukan pembendungan di sekitar Vena Jugularis dan daerah tersebut diusap dengan kapas yang dibasahi alkohol 70% untuk desinfeksi. Alat suntik berukuran 21 gauge ditusukkan dengan sudut 30° ke arah atas pembuluh darah dengan lubang jarum menghadap ke atas. Setelah jarum masuk dilakukan aspirasi untuk mengambil darah sapi yang dibutuhkan sebanyak 10 ml. 1.2.Pengambilan darah manusia Dilakukan desinfkesi kulit diatas lokasi pengambilan darah menggunakan kapas alkohol 70% dan dibiarkan sampai kering. Darah diambil dari Vena Mediana Cubiti pada lipat siku dengan menusukkan jarum dengan posisi sudut 45 derajat dengan jarum ukuran 23 gauge menghadap ke atas. Selanjutnya dilakukan aspirasi darah sebanyak 5 ml. 12
2) Pembuatan Serum Darah sapi dan manusia dalam alat suntik yang sudah diperoleh dimasukkan dalam tabung vacutainer, disentrifuge selama 15 menit dengan kecepatan 3000 rpm. Serum yang diperoleh dimasukkan dalam vial 1,8 ml dan disimpan dalam suhu -20° C sebelum dilakukan pemeriksaan. 3) Pembuatan Media Ellinghausen Mc Cullough Johnson Harris (EMJH) Pembuatan Media EMJH dilaksanakan di Laboratorium Bakteriologi dan Imunologi B2P2VRP Salatiga. Bahan/reagen EMJH base ditimbang sebanyak 2,3 gram dan ditambah 950 mL akuabides. Selanjutnya disterilisasi pada suhu 121°C selama 15 menit. Setelah didinginkan, ditambahkan 100 ml Leptospira enrichment EMJH dan di campur hingga menyatu. Campuran base media dan enrichment media kemudian dituang dalam tabung reaksi tutup ulir steril dan disaring terlebih dahulu menggunakan membran filter dengan ukuran pori 0,22 µm. 4) Preparasi Antigen Antigen yang digunakan untuk pengujian MAT adalah antigen hidup yaitu biakan-biakan
L.
interrogans
serovar
Bangkinang,
Grippotyphosa
Icterohaemorrhagiae, Canicola, Salinem, Hardjo, Hebdomadis, Pomona, Djasiman, Robinsoni, Bataviae, Mini, Sarmin, Manhao, Tarrasovi , berumur 5–7 hari dengan konsentrasi antigen 2x108 leptospira per milliliter, yang ditumbuhkan di dalam medium EMJH cair pada suhu 300C. 5) Pengujian MAT Pengujian MAT diawali dengan PBS sebanyak 50 µL dimasukkan ke dalam 96 mikroplat. Pada kolom no 2 ditambahkan 45 µL PBS dan 5 µL serum sehingga volume total menjadi 100 µL (diperoleh pengenceran serum 1: 20). Selanjutnya dari kolom no 2 diambil 50 µL dan dipindahkan ke kolom 3 sehingga diperoleh pengenceran 1:40, kemudian dilanjutkan sampai kolom 12 sehingga diperoleh pengenceran serum 1:80, 1:160, 1:320, 1:640, 1:1280, 1:2560, 1:5120 dst. Setelah pengenceran dilakukan penambahan 50 µL antigen ke dalam 96 mikroplat. Selanjutnya mikroplat diinkubasi 30 0C selama 2 jam. Pembacaan hasil uji dilakukan di bawah mikroskop medan gelap. Selanjutnya diambil 1 tetes dan diletakkan pada kaca slide dari masing-masing pengenceran, kemudian 13
diamati di bawah mikroskop medan gelap dengan perbesaran 20X. Titik akhir pembacaan adalah pengenceran tertinggi apabila terjadi aglutinasi 50% dan jumlah leptospira bebas 50% (dibandingkan dengan kontrol).
5.12 Manajemen dan Analisis Data a. Manajemen data Data primer yang diperoleh akan ditabulasi, dikode dan dikelompokkan berdasarkan asal individu untuk selanjutnya dianalisis. b. Analisis data Data dianalisis menggunakan analisis deskriptif
14
V.
HASIL
5.1. Prevalensi leptospirosis pada sapi dan petugas Rumah Potong Hewan Dari 221 sampel serum sapi yang diperiksa sebesar 9,50 % menunjukkan reaksi positif leptospirosis (Tabel 1). Serum sapi yang positif akan berikatan dengan antigen leptospira pada pengujian MAT sehingga terbentuk bentukan seperti kapas putih yang dilihat dibawah mikroskop medan gelap. (Gambar 1). Tabel 1. Prevalensi kejadian leptospirosis pada petugas RPH dan sapi yang dipotong di RPH Kota Salatiga dengan uji MAT Sampel Sapi Petugas RPH
A
C
Jumlah 221 30
Positif MAT 21 0
Prevalensi 9,5 0
B
D
*A,B,C: Positif MAT D: Kontrol Negatif Gambar 1. Hasil pemeriksaan MAT leptospirosis pada sapi
15
5.2. Jumlah, asal, jenis serovar dan titer leptospirosis sapi. Total sapi yang diambil sampel serum untuk pemeriksaan leptospirosis di Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Salatiga berjumlah 140 ekor. Sapi tersebut berasal dari 4 daerah yaitu Kota Salatiga, Kabupaten Semarang, Kabupaten Magelang dan Kabupaten Boyolali. Jumlah sapi terbanyak berasal dari Kabupaten Semarang (78,70%) dan terendah berasal dari Kota Salatiga (3,17%) (Tabel 2). Tabel 2. Jumlah dan asal sapi yang dipotong di RPH Kota Salatiga Asal Sapi
Jumlah
Persentase
Semarang
174
78,70
Boyolali
30
13,60
Salatiga
7
3,17
Magelang
10
4,53
Total
221
100
Pengujian MAT serum sapi menggunakan panel antigen 15 serovar didapatkan 7 serovar leptospira. Titer leptospirosis sapi tertinggi muncul pada Serovar Hebdomadis dengan pengenceran 1: 2560 dan disusul Salinem pada titer 1: 1280. Serovar Hebdomadis paling banyak terdeteksi
(27,03%) diikuti Mini
(21,62%) , Harjo dan Djasiman masing-masing (16,22%) urutan ke dua dan tiga teratas. Titer 1:160 paling banyak muncul pada pengujian MAT (Tabel 3).
Tabel 3. Jumlah dan frekuensi (%) sampel serum dengan titer positif masing-masing serovar pada beberapa pengenceran Pengenceran Total Serovar 1:80 1:160 1:320 1:640 1:1280 1:2560 n % n % n % n % n % n % n % Mini 3 8,11 4 10,8 0 1 2,7 0 0 8 21,62 Djasiman 0 6 16,2 0 0 0 0 6 16,22 Hebdomadis 3 8,11 3 8,11 3 8,11 0 0 1 2,7 10 27,03 Salinem 1 2,7 2 5,41 1 2,7 0 1 2,7 0 5 13,51 Sejroe /Harjo 1 2,7 3 8,11 1 2,7 1 2,7 0 0 6 16,22 Autumnalis 1 2,7 0 0 0 0 0 1 2,7 Bataviae 0 0 1 2,7 0 0 0 1 2,7 9 24,3 18 48,6 6 16,2 2 5,41 1 2,7 1 2,7 37 100
16
Berdasarkan wilayahnya, serovar yang muncul di Kabupaten Semarang hampir sama dengan yang ada di Kabupaten Boyolali. Serovar Hebdomadis paling tinggi ditemukan di Kabupaten Semarang (18,9%) dan Salatiga (2,7%), Mini (5,41%) di Kabupaten Boyolali, Hebdomadis dan Mini masing-masing (2,7%) di Kabupaten Magelang (Tabel 4). Dari 15 panel antigen yang diuji didapatkan 10 serovar yang bereaksi dengan variasi titer 1: 20 hingga 1:2560 dengan serovar Djasiman paling banyak bereaksi (23,7%). Titer 1: 20 paling banyak muncul (46,3 %) pada 10 serovar. Sedangkan serovar Icterohaemorrhagiae yang sangat berbahaya pada manusia hanya muncul pada titer 1:20 dan 1:40 (Tabel 5). Tabel 4. Distribusi serovar Leptospira pada sapi terinfeksi leptospirosis yang dipotong di RPH Kota Salatiga Semarang Boyolali Magelang Salatiga Total Jenis Serovar n % n % n % n % N % Mini 5 13,5 2 5,41 1 2,7 0 8 21,6 Djasiman 6 16,2 0 0 0 6 16,2 Hebdomadis 7 18,9 1 2,7 1 2,7 1 2,7 10 27 Salinem 4 10,8 1 2,7 0 0 5 13,5 Sejroe /Harjo 5 13,5 1 2,7 0 0 6 16,2 Autumnalis/Bangkinang 0 1 2,7 0 0 1 2,7 Bataviae 1 2,7 0 0 0 1 2,7 Total 28 75,7 6 16,2 2 5,41 1 2,7 37 100 Tabel 5. Titer Antibodi leptospira pada sapi yang dipotong di RPH Salatiga Serovar 1:20 1:40 1:80 1:160 1:320 1:640 n % n % n % n % n % n % Min 1 0,76 0 3 2,27 4 3,03 0 1 0,76 Dja 17 12,9 4 3,03 0 6 4,55 0 0 Heb 4 3,03 7 5,3 3 2,27 3 2,27 3 2,27 0 Sal 3 2,27 4 3,03 1 0,76 2 1,52 1 0,76 0 Sej 2 1,52 3 2,27 1 0,76 3 2,27 1 0,76 1 0,76 Aut 7 5,3 6 4,5 1 0,76 0 0 0 Bat 4 3,03 1 0,76 0 0 1 0,76 0 Ict 20 15,2 1 0,76 0 0 0 0 Can 4 3,03 0 0 0 0 0 Gri 3 2,27 0 0 0 0 0 Man 2 1,52 0 0 0 0 0 Tar 1 0,76 1 0,76 0 0 0 0 -
1:1280 n % 0 0 0 1 0,76 0 0 0 0 0 0 0 0 -
1:2560 n % 0 0 1 0,76 0 0 0 0 0 0 0 0 0 -
Total
1
1
68
51,5
27
20,5
9
6,82
18
13,6
6
4,55
2
1,52
0,76
N 9 27 21 12 11 14 6 21 4 3 2 2
Total % 6,82 20,5 15,9 9,1 8,33 10,6 4,55 15,9 3,03 2,27 1,52 1,52
0,76 132
100
*Min: Mini, Dja: Djasiman, Heb: Hebdomadis, Sal: Salinem, Sej : Sejroe, Aut: Autumnalis, Bat: Bataviae, Tar: Tarasovi Ict: Icterohaemorrhagiae, Can: Canicola, Gri: Grippotyphosa, Man:Manhao 17
Dari 16 sapi yang positif leptospirosis sebanyak 8 ekor (38,09%) terinfeksi lebih dari satu serovar. Paling banyak 1 ekor sapi bereaksi dengan empat serovar leptospira dalam 1 pemeriksaan (Tabel 6). Tabel 6 . Frekuensi Sapi yang terinfeksi 1atau lebih serovar Jumlah sapi yang Jumlah Serovar serumnya Positif Frekuensi (%) 1 serovar 13 5,88 2 seroar 2 0,9 3 serovar 4 1,81 4 serovar 2 0,9 Total 21 9,5 5.3. Leptospirosis pada petugas RPH Hasil pemeriksaan terhadap 30 serum petugas Rumah Potong Hewan Salatiga terdeteksi Serovar Salinem dengan titer 1:20 pada 1 orang petugas. Meskipun titer tersebut ditemukan pada petugas RPH namun menurut WHO (2003) hasil pemeriksaan MAT dikatakan positif jika titer yang muncul minimal 1:100.
1
18
VI. PEMBAHASAN
Leptospirosis merupakan penyakit umum hewan, yang dapat memiliki dampak besar pada ekonomi industri peternakan dan merupakan zoonosis penting.16 Petugas RPH memiliki potensi terinfeksi leptospirosis yang ditularkan lewat sapi yang dipotong. Beberapa profesi tertentu seperti dokter hewan, petani, petugas rumah potong hewan memiliki kecenderungan besar terinfeksi leptospirosis.11 Data mengenai kasus atau penelitian leptospirosis di RPH terutama bagi petugasnya masih belum banyak terlaporkan di Indonesia. Selain itu sistem surveilans leptospirosis pada hewan ternak dan manusia juga belum banyak terlaporkan. Hasil penelitian ini diketahui prevalensi leptospirosis pada sapi yang dipotong di RPH Kota Salatiga sebesar 9,5 %. Penelitian serupa di India dilaporkan prevalensi leptospirosis sebesar 34 %.
17
dan di Nigeria sebesar 3,5 %.18 Prevalensi leptospriosis di
daerah Kulon Progo dilaporkan 13,03 % di tingkat ternak.
19
Balai Besar Penelitian
Veteriner Bogor melakukan pengujian sampel serum sapi selama tahun 2003 hingga 2007 menunjukkan rata rata 18,38 % bereaksi positif dengan pengujian MAT.
8
Perbedaan
kasus leptospirosis di beberapa wilayah bisa disebakan oleh perbedaan curah hujan, banjir, kepadatan populasi tikus, infeksi leptospira pada hewan dan tingkat endemisitas wilayah. Kombinasi hujan dan populasi roden terinfeksi besar dapat menimbulkan ledakan penyakit ini di negara tropis. 20 Deteksi leptospirosis dengan uji MAT menggunakan 15 panel antigen, diketahui serum sapi bereaksi positif terhadap 7 serovar yaitu Hebdomadis 27%, Djasiman 16,2%, Harjdo 16,2%, Mini 21,6%, Salinem 13,5% , Autumnalis 2,7%, Battaviae 2,7% yang termasuk dalam leptospira interogans. Hasil ini cukup beragam dibandingkan dengan hasil penelitian di Nigeria yang hanya menemukan 1 serovar Harjo 18. Tujuh serovar yang ditemukan di RPH Kota Salatiga merupakan serovar yang umum ditemukan pada ternak sapi. Hasil penelitian di India menyebutkan serum sapi bereaksi positif terhadap serovar Australis, Icterohaemorragiae, Bataviae, Sejroe, Tarrasovi, Grippotyphosa, Djasiman, Javanica,Pomona, Hebdomadis, dan Canicola.
21,22
Sedangkan hasil studi di Amerika
Latin tahun 2002 hingga 2014 ditemukan serovar Harjo, Wolfii, Tarrasovi, Grippotyphosa, Pomona , dan Canicola. 23 19
Titer anti bodi yang muncul pada serum sapi bervariasi dari titer 1: 20 hingga 1:2560. Variasi cut of titre diketahui titer 1: 160 (13,6%) paling banyak muncul pada pemeriksaan MAT. Studi yang sama yang dilakukan di Iran menunjukkan titer leptospirosis pada sapi didominasi titer 1:100 yang mengindikasikan wilayah tersebut endemis dan kejadian infeksi leptospirosis pada ternak bersifat subklinis.
24
Selain itu
yang perlu diperhatikan pada hasil studi ini, serovar Icterohaemorragiae juga muncul pada titer 1:20 sebesar 15,2 % dan 1:40 sebesar 0,76%. Meskipun belum dikatakan positif, sapi-sapi tersebut pernah terpapar serovar tersebut. Dengan munculnya serovar ini perlu diwaspadai dikarenakan jenisnya paling patogen pada manusia yang bisa menyebabkan perdarahan dan kematian cukup tinggi pada manusia. Bentuk leptospirosis berat akibat Leptospira icterohaemorrhagiae ditandai oleh gangguan fungsi ginjal, hati, pernafasan, genital, kelenjar adrenal, perdarahan, kolaps vaskular, penurunan kesadaran yang berat dan adanya mortalitas yang tinggi. 14,25 Sampel serum sapi berasal dari 4 wilayah, yaitu Kabupaten Semarang, Boyolali, Magelang, dan Kota Salatiga. Dari hasil pemeriksaan MAT diketahui sapi yang berasal dari Kabupaten Semarang paling tinggi terinfeksi leptospirosis diikuti dari Boyolali, Magelang dan Salatiga. Kasus leptospirosis memang belum terlaporkan di Salatiga baik pada manusia dan hewan. Sedangkan di wilayah Semarang, Boyolali, dan Magelang sudah dilaporkan kasus leptospirosis pada manusia. Semarang merupakan daerah endemis leptospirosis. Kasus leptospirosis di Semarang mengalami peningkatan dari tahun 20072009. Pada tahun 2011 terjadi 70 kasus dengan Case Fatality Rate (CFR) sebesar 36 %. 6 Sedangkan di Boyolali sejak tahun 2012 hingga 2013 terjadi 8 kasus dan tahun 2014 terjadi 17 kasus dengan CFR 43,75%.
7
Sedangkan di Magelang pada tahun 2012
dilaporkan terjadi 1 kasus leptospirosis pada manusia.
26
Adanya kasus leptospirosis di
wilayah-wilayah tersebut dimungkinkan kondisi lingkungannya sudah banyak terdapat leptospira dan didukung adanya tikus sebagai reservoirnya. Kandang yang becek dan lembab meningkatkan resiko terjadinya penularan leptospirosis dari lingkungan. Tikus yang menjadi reservoir memungkinkan menularkan leptospira pada manusia dan sapi. Hasil wawancara dengan pemilik sapi yang dipotong di RPH, kandang-kandang sapi mereka sering didatangi oleh tikus yang mencari makanan. Dengan adanya tikus di kandang sapi tersebut bisa menularkan leptospirosi melalui urin yang dikeluarkan. Urin tikus dapat mencemari tempat pakan dan alas kandang sapi. Menurut Pudjiatmoko et al 20
(2014) lingkungan yang basah menyebabkan terjadinya infeksi leptospira yang tinggi baik pada tikus dan sapi. Adanya genangan air atau akibat hujan lebat tampaknya memperlama kehidupan dan
meningkatkan penyebaran leptospira sehingga kejadian
leptospirosis akan berlangsung terus menerus sepanjang musim penghujan, terutama jika terdapat banyak tikus. 13 Dari 21 sapi positif leptospirosis terdapat 8 ekor sapi yang serumnya bereaksi lebih dari 1 serovar. Pada studi ini ditemukan paling banyak 1 serum bereaksi dengan 4 serovar. Hasil serupa juga ditemukan di Iran dimana 1 sapi terinfeksi leptospirosis bereaksi dengan 2 serovar
27
, 4 serovar
24,28
. Menurt T Shafighi, et al (2010) sapi yang
bereaksi dengan lebih 1 serovar terjadi karena adanya mix serovar atau reaksi silang antar serovar
24
. Adanya 1 serum yang bereaksi dengan beberapa serovar menunjukkan
kemungkinan sapi tersebut pernah terinfeksi serovar Leptospira tersebut. 8 Satu orang petugas RPH menunjukkan reaksi imun terhadap serovar Salinem dengan titer 1:20 pada pemeriksaan pertama. Setelah dilakukan pengecekan pada minggu ke 2 titer yang muncul tetap 1: 20 sehingga dinyatakan negatif. Menurut Vijayachari (2007) dan Faine (1998) kasus infeksi leptospirosis baru terjadi jika ada kenaikan titer 4 kali pada pemeriksaan serum pada minggu ke 2. Tidak adanya kenaikan titer dan titer yang muncul di bawah 1: 100 menandakan infeksi leptospira sebelumnya ataupun memasuki masa kesembuhan. 14,29 Titer yang rendah bisa bertahan selama bertahun-tahun setelah infeksi penyakit akut.
25
Yang menarik dari hasil studi ini adalah ditemukannya
serovar Salinem pada sapi dan petugas RPH. Adanya kesamaan jenis serovar ini mengindikasikan sudah mulai terjadi transmisi penularan leptospirosis dari sapi yang dipotong kepada petugas RPH. Urin hewan tertular, air atau tanah tercemar urin hewan tertular, jaringan dan cairan tubuh hewan tertular merupakan sumber penularan ke manusia. Infeksi pada manusia dapat terjadi melalui kontak langsung atau tidak langsung dengan sumber penularan tersebut. Lingkungan yang basah seperti tanah becek merupakan tempat dimana Leptospira memiliki kemampuan hidup lebih lama sehingga memunggkinkan terjadi penularan pada manusia lebih besar. Kulit yang lecet atau selasela kuku merupakan tempat yang ideal untuk masuknya bakteri leptospira. 11,13 Keterbatasan studi ini tidak bisa dilakukan pemeriksaan serum sapi pada minggu yang ke dua dikarenakan sapi yang diambil darahnya langsung dipotong. Serum sapi yang memiliki titer 1: 20 sebanyak 93 sampel belum bisa dikatakan negatif dikarenakan tidak 21
diketahui apakah adanya kenaikan titer pada minggu ke dua. Bila titier konsvalen bersifat negatif maka harus dilakukan uji ulangan 2 minggu kemudian untuk memastikan hasil uji. 25 Namun dengan adanya hasil studi ini telah memberikan informasi adanya kejadian leptospirosis pada sapi yang dipotong di RPH dan perlu diwaspadai untuk transmisi penularannya. Ditemukannya reaksi imun terhadap leptospira pada sapi dan petugas RPH maka perlu dilakukan surveilens leptospirosis pada sapi yang saat ini belum ada. Pemeriksaan kesehatan rutin bagi petugas RPH juga perlu dilakukan, khususnya untuk penyakit leptospirosis. Peningkatan penggunaan APD lengkap juga perlu diterapkan di RPH. Sosialisasi kepada peternak untuk aktif melakukan pemberantasan tikus disekitar kandang sapi perlu dilakukan untuk mengurangi penularan oleh tikus. Dengan adanya pengawasan lintas sektor ini diharapkan mengurangi resiko penularan leptospirosis dari sapi ke petugas
22
VII. KESIMPULAN DAN SARAN a. Kesimpulan Seroprevalensi leptospirosis pada sapi yang dipotong di RPH Kota Salatiga sebesar 9,5 %. Sedangkan pada petugas RPH hanya ditemukan pada 1 orang dengan titer 1:20 serovar salinem yang menandakan pernah terpapar leptospirosis. Jenis serovar leptospira yang menginfeksi pada sapi potong adalah Mini,Djasiman, Hebdomadis, Salinem, Sejroe ,Autumnalis, Bataviae. Sedangkan serovar Icterohaemorrhagiae yang muncul pada titer 1: 20 dan 1:40 perlu diwaspadai mengingat sangat berbahaya pada manusia
b. Saran - Perlu dilakukan
sosialisasi
terhadap petugas
RPH untuk
menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) lengkap untuk mencegah penularan leptospirosis mengingat ditemukannya sapi yang positif terinfeksi leptospirosis dan adanya petugas yang pernah terpapar leptospirosis. - Surveilens leptopsirosis pada hewan ternak perlu dilakukan untuk monitoring kesehatan hewan. - Pemeriksaan kesehatan berkala terhadap seluruh petugas Rumah Potong Hewan terhadap beberapa penyakit zoonosis, khususnya leptopsirosis dengan serovar Icterohaemorrhagiae yang berbahaya bagi manusia sudah mulai muncul pada sapi yang dipotong di RPH Kota Salatiga
23
UCAPAN TERIMA KASIH Dengan tersusunnya laporan Risbinkes ini kami ucapkan terima kasih pada Kepala Badan Litbang Kesehatan yang telah memberikan dana pelaksanaan penelitian ini, Kepala Balai Besar Litbang Vektor dan Reservoir Penyakit, Ketua PPI B2P2VRP, Ibu Dra.Noer Endah Pracoyo, M.Kes dan Dr.dr. Felly P sebagai pembimbing penelitian, peneliti di B2P2VRP (Arief Mulyono, S.Si, M.Sc, Esti Rahardianingtyas,S.Si, Arums Sih Joharina S.Si), teknisi laboratorium bakteriologi dan imunologi B2P2VRP
(Aprilia
Safitri, Nur Hidayati, Restu Khoirul), Kepala Dinas Pertanian Kota Salatiga dan Kepala UPT RPH Kota Salatiga yang telah mengijinkan pengambilan sampel, staf RPH Kota Salatiga (drh. Nimas Ayu dan Triatmoko Amd, Pt) yang telah membantu pengambilan darah sapi,dan semua pihak yang telah membantu pelaksanaan penelitian.
24
VIII. DAFTAR KEPUSTAKAAN
1. 2. 3. 4. 5.
6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
13.
14. 15. 16. 17.
18.
19.
Who. Human leptospirosis: guidance for diagnosis, surveillance and control. WHO Libr. 2003;45(5):1–109. Jansen A, Schöneberg I, Frank C, Alpers K, Schneider T, Stark K. Leptospirosis in Germany, 1962–2003. Emerg Infect Dis. 2005;11(7):1048–1054. Soejoedono RR. Status zoonosis di indonesia. Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis. 2005. p. 1–31. Poloengan M, Komala I. Mewaspadai Leptospirosis di Indonesia. In: Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis. 2005. p. 154–60. Wahyuni, Handayani, S.A, Susilastuti F, Setiowati H, Mardiyanto, D S. Kajian Leptospirosis di Kota Semarang. Makalah Seminar Klinik Leptospirosis Dinas Kesehatan; 2012. Hal 1-11 Dinkes Kota Semarang. Profil Kesehatan Kota Semarang 2011. Semarang; 2011.Hal 1-87 Dinkes Kabupaten Boyolali. Laporan Leptospirosis di Kabupaten Boyolali. Boyolali; 2014.Hal 1-25 Susanti KDS. Seroprevalensi Dinamik Leptospirosis Pada Daerah Pengembangan Sapi Perah. Science (80- ). 2008;372–7. Kusmiyati, Noor SM, Supar. Leptospirosis pada hewan dan manusia di Indonesia. Wartazoa. 2005;15(4):213–20. Levett PN. Leptospirosis. Clinicaly Microbiology. 2001;14(2):296–326. Soeharsono. Zoonosis Penyakit Menular dari Hewan ke Manusia. Yogyakarta: Kanisius; 2002. 180 p. OIE. Leptospirosis. An OIE Collaborating Center Iowa State University College of Veterinary Medicine [Internet]. 2005. Available from: http://www.cfsph.iastate.edu/Factsheets/pdfs/leptospirosis.pdf Pudjiatmoko, Syibli, M., Nurtanto, S., Lubis L. MANUAL PENYAKIT. Jakarta: Subdit Pengamatan Penyakit Hewan Direktorat Kesehatan Hewan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian; 2014. Vijayachari P. Leptospirosis [Internet]. World Health Organization. India; 2007. 181 p. Available from: http://apps.searo.who.int/PDS_DOCS/B2147.pdf Thrusfield M. Veterinary Epidemiology. 2007. 3rd Ed. Yogyakarta: Blackwell Publishing; 2007. Ellis WA. Animal Leptospirosis. Curr Top Microbiol Imunol. 2015;387:99–137. Sameer S, Vijayachari P. Seroprevalence and Carrier Status for Leptospirosis in Cattle and Goats in Andaman Island, India. J Vet Sci Technol [Internet]. 2014;5(5). Available from: http://www.omicsonline.org/open-access/seroprevalence-andcarrier-status-for-leptospirosis-in-cattle-and-goats-in-andaman-island-india-21577579.1000205.php?aid=33977 Ngbede EO, Raji MA, Kwanashie CN, Okolocha EC, Gugong VT, Hambolu SE. Serological prevalence of leptospirosis in cattle slaughtered in the Zango abattoir in Zaria, Kaduna State, Nigeria. Vet Ital [Internet]. 2012;48(2):179–84. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22718334 Mulyani GT, Sumiarto B, Artama WT, Hartati S, Juwari, Sugiwinarsih, et al. Kajian Leptospirosis pada Sapi Potong di Daerah Aliran Sungai Progo Daerah 25
20. 21.
22.
23.
24.
25. 26. 27.
28.
29.
Istimewa Yogyakarta. Kedokt Hewan [Internet]. 2016;10(1):68–71. Available from: http://jurnal.unsyiah.ac.id/JKH/article/viewFile/3374/3163 Widiasih DA, Budiharta S. Epidemiologi Zoonosis di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press; 2012. p. 103–34. Vinayagamurthy Balamurugan, Sushma Rahim Assadi Thirumalesh SV, Anusha Alamuri, Mohandoss Nagalingam, Rajangam Sridevi GNG, Divakar Hemadri, Mukund Raghavendra Gajendragad HR. Investigation on the Distribution of Leptospira Serovars and its Prevalence in Bovine in Konkan Region, Maharashtra, India. Adv Anim Vet Sci. 2016;4(2):19–26. Natarajaseenivasan K, Vedhagiri K, Sivabalan V, Prabagaran SG, Sukumar S, Artiushin SC, et al. Seroprevalence of leptospira borgpetersenii serovar javanica infection among dairy cattle, rats and humans in the cauvery river valley of southern India. Southeast Asian J Trop Med Public Health. 2011;42(3):679–86. Petrakovsky J, Bianchi A, Fisun H, Nájera-Aguilar P, Pereira MM. Animal leptospirosis in Latin America and the caribbean countries: Reported outbreaks and literature review (2002-2014). Int J Environ Res Public Health. 2014;11(10):10770–89. Shafighi T, Abdollahpour G, Zahraei Salehi T, Tadjbakhsh H. Serological and bacteriological study of leptospirosis in slaughtered cattle in north of Iran (Rasht). African J Microbiol Res [Internet]. 2010;4(20):2118–21. Available from: http://www.scopus.com/inward/record.url?eid=2-s2.078649857820&partnerID=40&md5=3c26636d40bd131b7c1282e95e367394 Muliawan SY. Bakteri Spiral Patogen. Jakarta: Erlangga; 2008. p. 63–79. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Buku Saku Kesehatan 2012. Semarang; 2012. Khalili M, Sakhaee E, Aflatoonian MR, Abdollahpour G, Tabrizi SS, Damaneh EM, et al. Seroprevalence of bovine leptospiral antibodies by microscopic agglutination test in Southeast of Iran. Asian Pac J Trop Biomed [Internet]. 2014;4(5):354–7. Available from: http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2221169115303257 Sakhaee E, Abdollahpour G, Bolourchi M, Tabrizi SS. Comparison between microscopic agglutination test (MAT) and enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) for detection of leptospiral antibodies in cattle. Comp Clin Path. 2010;19(1):5–9. Faine, S. Leptospirosis. Topley Wilson’s Microbiol Microb Infect. 1998;3:849–69.
26
IX. LAMPIRAN Lampiran 1. Persetujuan etik penelitian
27
Lampiran 2. Perijinan Penelitian
28
Lampiran 3. Naskah Penjelasan dan Informed Consent
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan R.I Jalan Percetakan Negara 29 Jakarta 10560 RISET PEMBINAAN KESEHATAN 2016 NASKAH PENJELASAN* Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan R.I mulai bulan Januari s/d Desember 2016 akan melakukan Riset Pembinaan Kesehatan mengenai Seroprevalensi Leptospirosis Pada Sapi Potong Dan Petugas Rumah Potong Hewan (RPH) Di RPH Kota Salatiga. Leptospirosis (penyakit kencing tikus) merupakan penyakit ditularkan dari hewan ke manusia dan sebaliknya, yang umumnya ditularkan oleh tikus, sapi, kambing, babi, domba, anjing, kucing, dll. Manusia bisa tertular melalui kencing, darah, jaringan organ hewan yang terinfeksi leptospirosis. Petugas RPH, petani, dokter hewan memiliki resiko besar tertular leptospirosis. Penelitian ini fokus melakukan skrining kejadian leptospirosis di RPH Kota Salatiga dengan pemeriksaan darah melalui uji laboratorium . Adapun yang menjadi sasaran penelitian ini adalah Petugas RPH dan Sapi potong di RPH Kota Salatiga. Seluruh petugas RPH yang terpilih akan dilakukan pengambilan darah dari vena/pembuluh darah. Pengambilan darah dilakukan menggunakan spuit steril yang dikerjakan oleh Analis Kesehatan yang sudah terlatih dan berpengalaman. Pada saat pengambilan darah akan ada sedikit rasa sakit seperti digigit semut, namun tidak memiliki risiko yang berbahaya. Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan pengambialan darah setiap individu diperkirakan sekitar 5 menit. Partisipasi Bapak/Ibu/Sdr/Sdri bersifat sukarela tanpa paksaan dan bila tidak berkenan dapat menolak, atau sewaktu-waktu dapat mengundurkan diri tanpa sanksi apapun. Sebagai tanda terima kasih akan diberikan imbalan Rp.50,000 per orang sebagai penggantian waktu yang tersita. Data identitas Bapak/Ibu/Sdr/Sdri akan dijaga kerahasiaannya terkait dengan hasil pemeriksaan laboratorium dan akan disimpan di Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI Jakarta. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk pengembangan kebijakan program kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Apabila Bapak/Ibu/Sdr/Sdri memerlukan penjelasan lebih lanjut mengenai riset ini, dapat menghubungi : drh. Dimas Bagus Wicaksono Putro Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan reservoir Penyakit Jalan Hasanudin No 123 Saaltiga Telpon (0298) 327096 Fax (0298) 322064 Telp/sms (081393874050), Email:
[email protected]
29
PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN (PSP)* (INFORMED CONSENT untuk pengambilan darah)
Dengan ini menyatakan bahwa saya yang bertandatangan di bawah ini : Nama
: ...............................................................................
Pekerjaan
: ...............................................................................
Alamat
: ...............................................................................
Umur
: ...............................................................................
Telah mendapat penjelasan secara rinci mengenai jalannya penelitian mengenai ” Seroprevalensi leptospirosis pada sapi potong dan petugas Rumah Potong Hewan (RPH) di RPH Kota Salatiga ”. Setelah saya memahami penjelasan tersebut, dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan dari siapa pun, saya menyetujui untuk ikut dalam penelitian ini dan diambil sampel darahnya sesuai prosedur yang telah ditetapkan. Bila saya inginkan, maka saya dapat mengundurkan diri sewaktu-waktu tanpa sanksi apapun.
Salatiga, ..................................................
Mengetahui, Saksi
Yang menyetujui
(..................................)
(...................................)
Ketua Pelaksana
(..................................)
30
Lampiran 4. Dokumentasi penelitian
31
Lampiran 5. Poster Hasil Penelitian
32
33