BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Klasifikasi dan Biologi Ikan Ikan merupakan hewan vertebrata yang tergolong ke dalam Filum Chordata, Kelas Pisces, yang terdiri dari 4 (empat) sub kelas, yaitu : Elasmobranchii, Chondrostei, Dipnoi dan Teleostei, masing – masing dengan beberapa Ordo, Famili dan Genus (Saanin,1986). Ikan termasuk hewan yang bersifat poikiloterm, serta selalu membutuhkan air untuk hidupnya, karena ikan merupakan hewan air yang mengalami kehidupan sejak lahir atau menetas dari telurnya sampai akhir hidupnya di air (Achjar, 1986). Selanjutnya dijelaskan bahwa air merupakan habitat ikan yang erat kaitannya dengan pembentukan struktur tubuh ikan, proses pernapasan, cara pergerakan, cara memperoleh makanan, reproduksi dan segala hal yang diperlukan bagi ikan. Tubuh ikan terdiri atas caput, truncus, dan caudal. Batas yang nyata antara caput dan truncus disebut tepi caudal operculum dan sebagai batas antara truncus dan ekor disebut anus. Kulit terdiri atas Dermis dan Epidermis. Dermis terdiri dari jaringan pengikat yang dilapisi dari sebelah luar oleh Nepitelium. Diantara sel – sel epitelium terdapat kelenjar uniselluler yang mengeluarkan lendir yang manyebabkan kulit ikan menjadi licin (Radiopoetra, 1978).
Universitas Sumatera Utara
Ikan termasuk vertebrata aquatis dan bernafas dengan insang (beberapa jenis bernafas melalui alat tambahan berupa modifikasi gelembung renang/gelembung udara). Mempunyai otak yang terbagi menjadi region - region. Otak dibungkus dalam tulang kranium (tulang kepala) yang berupa kartilago (tulang rawan) atau tulang sejati. Memiliki sepasang mata. Kecuali ikan - ikan siklostomata, mulut ikan disokong oleh rahang. Telinga hanya terdiri dari telinga dalam, berupa saluran saluran sirkular, sebagai organ keseimbangan (equilibrium). Sirkulasi mengangkut aliran seluruh darah dan jantung melalui insang lalu keseluruh bagian lain. Tipe ginjal adalah pronefros dan mesonefros (Brotowidjojo, 1993).
2.2. Pengelompokan Ikan Menurut Mujiman (1994), ikan dikelompokkan berdasarkan jenis makanan dan cara makan, sebagai berikut: 2.2.1. Berdasarkan Jenis Makanannya : a. Ikan Herbivora, yaitu ikan yang makanan pokoknya terutama berasal dari tumbuh – tumbuhan (nabati ) seperti : ikan tawes (Punctius javanikus), ikan nilem (Osteochhillus hasseltii), ikan sepat siam (Tricogastes pectoralis). b. Ikan Karnivora, yaitu ikan yang makanan pokoknya terutama terdiri dari hewan – hewan lainnya. Contohnya ikan gabus (Ophicephalus striatus), ikan kakap (Lates calcarifer), ikan lele (Clarias batracus).
Universitas Sumatera Utara
c. Ikan Omnivora, yaitu ikan yang makanan pokoknya terdiri dari tumbuhan dan hewan. Seperti ikan mas (Cyprinus carpio), ikan mujair (Tillapia mossambica), dan ikan gurami (Osphronemus goramy). d. Ikan pemakan plankton, yaitu ikan yang sepanjang hidupnya makanan pokoknya terdiri dari plankton baik fitoplankton maupun zooplankton. Ikan pemakan plankton hanya menyukai bahan – bahan yang halus dan berbutir, sehingga tulang tapis insangnya mengalami modifikasi wujud alat penyaring gas berupa lembaran - lembaran halus yang panjang, seperti ikan ternang (Cypsilurus sp), ikan lemuru (Clupea iciogaster). e. Ikan pemakan detritus, yaitu ikan yang makanan pokoknya terdiri dari hancuran sisa – sisa makanan organik yang sudah membusuk di dalam air yang berasal dari hewan atau tumbuhan, misalnya ganggang, bakteri. Seperti ikan belanak (Mugil sp). 2.2.2. Berdasarkan Cara Makannya a. Ikan predator. Ikan ini disebut juga ikan buas dimana dia menerkam mangsanya hidup - hidup. Ikan ini dilengkapi dengan gigi rahang yang kuat. Seperti ikan tuna (Thunus albaceros). b. Ikan gracier, yaitu ikan yang mengambil makanannya dengan jalan menggerogotinya. Seperti
ikan mujahir (Tillapia mossambica), ikan nilem
(Osteochhillus hasseltii)
Universitas Sumatera Utara
c. Ikan stainer, ikan yang mengambil makanannya dengan jalan menggeser dengan mulut yang terbuka, biasanya makanannya berupa plankton. Seperti ikan lemuru (Clupea iciogaster). d. Ikan sucker, yaitu ikan yang mengambil makanannya dengan jalan mengisap lumpur atau pasir di dasar perairan. Seperti ikan mas (Cyprinus carpio). e. Ikan parasit, yaitu ikan yang mengambil makanannya dari tubuh hewan besar lainnya. Seperti ikan belut laut (Simenchelys parasiticus).
2.3. Ekologi Ikan Ikan sebagai hewan air memiliki beberapa mekanisme fisiologi yang tidak dimiliki oleh hewan darat. Perbedaan habitat menyebabkan perkembangan organ organ ikan disesuaikan dengan kondisi lingkungan. Misalnya sebagai hewan yang hidup di air, baik itu perairan tawar maupun di perairan laut menyebabkan ikan harus dapat mengetahui kekuatan maupun arah arus, karena ikan dilengkapi dengan organ yang dikenal sebagai linea lateralis. Organ ini tidak ditemukan pada hewan darat. Contoh lain, perbedaan konsentrasi antara medium tempat hidup dan konsentrasi cairan tubuh memaksa ikan melakukan osmoregulasi untuk mempertahankan konsentrasi cairan tubuhnya akibat difusi dan osmose. Bila hal itu tidak dilakukan maka ikan laut dapat menjadi ikan kering yang asin, sedangkan ikan air tawar dapat mengalami kematian akibat kelebihan air (Fujaya, 2002). Menurut Rifai et al., (1983), penyebaran ikan diperairan sangat dipengaruhi oleh faktor - faktor lingkungan yang dapat digolongkan menjadi empat macam, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
faktor biotik, abiotik, faktor teknologi dan kegiatan manusia. Faktor biotik yaitu faktor alam yang hidup atau jasad hidup, baik tumbuh - tumbuhan maupun hewan. Dan faktor abiotik mencakup faktor fisik dan kimia, yaitu cahaya, suhu, arus, garam garam organik, angin, pH, oksigen terlarut, salinitas dan BOD. Perubahan salinitas akan mempengaruhi penyebaran ikan secara horizontal, misalnya didaerah estuaria, diperairan yang banyak dipengaruhi oleh air tawar dari sungai - sungai yang bermuara di pantai yang fluktuasi salinitasnya relatif besar. Sedangkan teknologi dan kegiatan manusia berupa hasil teknologi dan kegiatan - kegiatan lain baik yang sifatnya memperburuk lingkungan, seperti pabrik - pabrik yang membuang limbahnya ke perairan maupun yang memperbaiki lingkungan seperti pelestarian pesisir.
2.4. Ekologi Wilayah Pesisir Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut; kearah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering ataupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat – sifat seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin, sedangkan kearah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses – proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Soegiarto, 1978) dalam Wibisosno (2005). Pada kawasan pesisir terdapat zona pantai yang merupakan daerah terkecil dari semua daerah yang terdapat di samudra dunia, berupa pinggiran sempit. Wilayah
Universitas Sumatera Utara
ini disebut zona interdidal (Nybaken, 1992). Ekosistem pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai kekayaan habitat yang beragam di darat maupun di laut serta saling berinteraksi antara habitat tersebut. Selain punya potensi yang besar, wilayah pesisir juga merupakan ekosistem yang paling mudah terkena dampak kegiatan manusia. Umumnya kegiatan pembangunan secara langsung maupun tidak langsung berdampak merugikan terhadap ekosistem pesisir (Dahuri, 2003).
2.5. Pencemaran Wilayah Pesisir Perairan pesisir selama ini menjadi tempat pembuangan limbah (keranjang sampah) dari berbagai macam kegiatan manusia, baik yang berasal dari wilayah pesisir maupun diluarnya (lahan atas dan laut lepas). Pencemaran laut perairan pesisir didefenisikan sebagai “dampak negatif” (pengaruh yang membahayakan) terhadap kehidupan biota, sumber daya dan kenyamanan (amenities) ekosistem laut serta kesehatan manusia (Nontji, 1987). Pencemaran limbah rumah tangga dapat mampengaruhi keamanan dalam mengkonsumsi kerang – kerangan. Masalah ini terjadi, akibat terkontaminasinya limbah rumah tangga yang bersifat patogen dan berbahaya (contohnya tipoid, logam beracun dan pestisida) dengan biota perairan seperti ikan dan kerang (Anderson, 1994 dalam Dahuri, 2003). Limbah rumah tangga banyak mengandung organisme diantaranya bakteri, virus, fungi dan protozoa yang dapat bertahan hidup sampai lingkungan laut. Meskipun limbah rumah tangga mendapatkan perlakuan untuk mengurangi
Universitas Sumatera Utara
kandungan mikroorganisme hingga mencapai sejumlah 10.000/ml atau lebih, tetap saja mikroorganisme yang bersifat patogen ini menimbulkan masalah kesehatan manusia. Kegiatan tambak seperti aplikasi pupuk dan obat pemberantasan hama dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan perairan pesisir sekitarnya. Aplikasi bahan tersebut yang tidak tepat baik dosis maupun sifat persistensinya serta rembesan – rembesan (leaching) dapat mencemari lingkungan perairan pesisir sekitarnya (Dahuri, 2003). Eisherth (1990), mengelompokkan empat kategori limbah yang dapat mencemari wilayah pesisir, yaitu : (1) pencemaran limbah industri (industrial pollution) seperti industri pulp, kertas, pengelolaan makanan dan industri farmasi kimia, (2) pencemaran sampah/limbah domestik (sewage pollution) yang umumnya mengandung bahan organik, (3) pencemaran karena sedimentasi (sedimentation pollution) akibat adanya erosi didaerah hulu sungai, dan (4) pencemaran oleh aktifitas pertanian (agriculture pollution) yakni dengan adanya penggunaan pestisida. Dampak negatif pencemaran tidak hanya membahayakan kehidupan biota dan lingkungan laut, tetapi juga dapat membahayakan kesehatan manusia atau bahkan menyebabkan kematian, mengurangi atau merusak nilai estetika lingkungan pesisir dan lautan juga merugikan sosial ekonomi. Bentuk dampak pencemaran berupa sedimentasi, Eutrofikasi, Amonia, kekurangan oksigen, masalah kesehatan umum, pengaruh terhadap perikanan, kontaminasi trace element dalam rantai makanan, keberadaan spesies asing, kerusakan fisik habitat (Dahuri, 2003).
Universitas Sumatera Utara
2.6. Faktor Fisik Kimia Perairan Faktor fisik dan kimia yang mempengaruhi kehidupan ikan pada suatu perairan diantaranya adalah : a. Suhu Suhu merupakan faktor lingkungan yang utama pada perairan karena merupakan faktor pembatas terhadap pertumbuhan dan penyebaran hewan, termasuk dari jenis ikan (Michael, 1994). Selanjutnya Rifai et al., (1983) dan Asdak (1995) menjelaskan bahwa secara umum kenaikan suhu perairan akan mengakibatkan kenaikan aktifitas fisiologis organisma ikan. Disamping itu perubahan suhu perairan sekitarnya merupakan faktor pemberi tanda secara alamiah yang menentukan mulainya proses pemijahan, ruaya dan pertumbuhan bibit ikan. Menurut Van hoffs, kenaikan temperatur sekitar 10
o
C akan meningkatkan
aktifitas fisiologis organisme sebesar 2 – 3 kali lipat. Akibat meningkat laju respirasi akan mengakibatkan konsentrasi oksigen meningkat dengan menaiknya temperatur, akan mengakibatkan kelarutan oksigen menjadi berkurang (Barus, 2004). Organisme aquatik seringkali mempunyai toleransi yang sempit terhadap perubahan temperatur. Kenaikan suhu yang relatif tinggi ditandai dengan munculnya ikan - ikan dan hewan lainnya ke permukaan untuk mencari oksigen (Odum, 1994). Menurut Sastrawijaya (1991), suhu juga mempunyai pengaruh yang besar terhadap kelarutan oksigen dalam air, apabila suhu naik maka kelarutan oksigen didalam air menurun. Bersamaan dengan itu peningkatan suhu akan mengakibatkan
Universitas Sumatera Utara
peningkatan aktifitas metabolisme organisme aquatik, sehingga kebutuhan akan oksigen bagi organisme ikan juga akan meningkat.
b. Cahaya Cahaya merupakan unsur penting dalam kehidupan ikan. Cahaya dibutuhkan ikan untuk mengejar mangsa, menghindarkan diri dari predator, membantu dalam penglihatan, proses metabolisme dan pematangan gonad. Secara tidak langsung peranan matahari dalam kehidupan ikan adalah melalui rantai makanan Rifai et al., (1983). Michael (1994), menyatakan bahwa intensitas matahari mempengaruhi produktifitas primer. Hasil perubahan energi matahari menjadi energi kimia dapat diperoleh melalui proses fotosintesis oleh tumbuhan hijau. Proses fotosintesis sangat tergantung
pada intensitas matahari, konsentrasi CO 2 , oksigen terlarut dan
temperatur perairan.
c. Kekeruhan Kejernihan badan air sangat dipengaruhi oleh partikel – partikel terlarut dan lumpur. Semakin banyak partikel atau bahan organik terlarut maka kekeruhan akan meningkat. Kekeruhan atau konsentrasi bahan tersuspensi dalam perairan akan menurunkan efisiensi makan dari organisme pemakan suspensi (Levinton, 1982).
Universitas Sumatera Utara
Menurut
Romimohtarto
(1985),
kekeruhan
(salitasi)
tidak
hanya
membahayakan ikan tetapi juga menyebabkan air tidak produktif karena menghalangi masuknya sinar matahari untuk fotosintesis.
d. pH (Derajat Keasaman) Derajat keasaman merupakan ukuran konsentrasi ion hidrogen yang menunjukkan suasana asam atau basah perairan. Air dikatakan basah apabila pH > 7 dan dikatakan asam apabil pH < 7. Secara alamiah pH perairan dipengaruhi oleh konsentrasi karbondioksida dan senyawa yang bersifat asam. Pada siang hari fitoplankton dan tanaman air mengkonsumsi CO 2 dalam proses fotosintesis yang menghasilkan O 2 dalam air, suasana ini menyebabkan pH air meningkat. Malam hari fitoplankton dan tanaman air mengkonsumsi O 2 dalam proses respirasi yang menghasilkan CO 2 , suasana ini menyebabkan pH air menurun (Arie, 1998). Sastrawidjaya (1991) menyatakan bahwa pH air turut mempengaruhi kehidupan dari ikan, pH air yang ideal bagi kehidupan ikan berkisar antara 6,5 – 7,5. Air yang masih segar dari pegunungan biasanya mempunyai pH yang lebih tinggi. pH air kurang dari 6 atau lebih dari 8,5 perlu diwaspadai karena mungkin ada pencemaran, hal ini juga dapat menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi ikan.
Universitas Sumatera Utara
e. Oksigen Terlarut (DO = Dissolved Oxygen) Oksigen merupakan salah satu faktor penting dalam setiap perairan. Oksigen diperlukan organisme untuk melakukan respirasi aerob. Sumber utama oksigen terlarut berasal dari atmosfer dan proses fotosintesis. Oksigen dari udara diserap dengan difusi langsung di permukaan air oleh angin dan arus. Jumlah oksigen yang terkandung dalam air tergantung pada daerah permukaan yang terkena suhu dan konsentrasi garam (Michael,1994). Ikan merupakan mahkluk air yang membutuhkan oksigen tertinggi, kemudian invertebrata yang terkecil adalah bakteri. Biota di perairan tropis memerlukan oksigen terlarut minimal 5 ppm, sedangkan biota beriklim sedang memerlukan oksigen terlarut mendekati jenuh. Konsentrasi oksigen yang terlalu rendah akan menyebabkan ikan - ikan dan binatang lainnya yang membutuhkan oksigen akan mati. Barus (2004), menyatakan bahwa kelarutan maksimum oksigen pada perairan tercapai pada temperatur OoC yaitu sebesar 14,16 mg/l oksigen konsentrasi ini akan menurun sejalan dengan meningkatnya temperatur air.
f. BOD (Biological Oxygen Demand) BOD adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme di dalam lingkungan air untuk mendegradasi bahan buangan yang ada dalam air lingkungan. Pada umumnya air lingkungan atau air dalam mengandung mikroorganisme yang dapat memakan, memecah, menguraikan bahan buangan organik. Penguraian bahan organik melalui proses oksidasi oleh mikroorganisme di dalam air lingkungan adalah
Universitas Sumatera Utara
proses alamiah yang mudah terjadi apabila air lingkungan mengandung oksigen yang cukup (Michael, 1994). Brower et al., (1990) menyatakan nilai konsentrasi BOD 5 menunjukkan kualitas suatu perairan masih tergolong baik apabila konsumsi O 2 selama 5 hari berkisar sampai 5 mg/l.
g. COD (Chemical Oxygen Demand) Chemical Oxygen Demand (COD) Yaitu kebutuhan oksigen kimia untuk reaksi oksidasi terhadap bahan buangan di dalam air, atau jumlah oksigen yang diperlukan agar bahan buangan yang ada di dalam air dapat teroksidasi melalui reaksi kimia (Wardhana, 1995). Dengan mengukur nilai COD maka akan diperoleh nilai menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk proses oksidasi terhadap total senyawa organik, baik yang mudah diuraiakan secara biologis maupun yang sukar atau tidak bisa diuraikan secara biologis (Barus, 2004).
h. Salinitas Salinitas sering kali disebut kadar garam atau kegaraman yang maksudnya adalah jumlah berat semua garam (dalam gram) yang terlarut dalam satu liter air, biasanya dinyatakan dengan satuan o/ oo (per mil, gram per liter). (Nontji, 1987). Selanjutnya dijelaskan bahwa salinitas menunjukkan jumlah ion – ion terlarut. Perubahan salinitas pada suatu badan air sangat berpengaruh pada proses difusi dan osmotik organisme air ( ikan ), sehingga berdasarkan kadar garam ini organisme air dapat dikelompokkan atas hewan yang dapat hidup dan
Universitas Sumatera Utara
berkembangbiak pada daerah dengan kadar garam tinggi, yaitu > 35o/ oo (thermohalin), pada daerah dengan kadar garam sedang, yaitu mesohalin. Perubahan salinitas dalam estuaria sangat dipengaruhi oleh musim, topografi, pasang surut, evaporasi dan jumlah air tawar yang masuk. Berdasrkan gradien salinitas yang dibentuk maka dikenal adanya estuaria negatif (Daulai dan Endang, 2000). Pasang surut merupakan salah satu faktor dominan yang berperan dalam mengubah pola salinitas. Tempat yang perbedaan pasang surutnya lebih besar, pasang naik mendorong air laut jauh ke hulu sehingga menggeser isohalin ke hulu. Begitu juga sebaliknya saat pasang turun salinitas berubah sesuai dengan keadaan pasang surut (Nybakken, 1992). Perubahan lingkungan yang sangat bervariasi mengakibatkan dampak bagi ikan terutama struktur dan bentuk yang secara perlahan - lahan melakukan modifikasi dalam perekembangannya untuk mengatasi perubahan lingkungan (Nybakken, 1992). Selanjutnya dinyatakan bahwa memiliki pola adaptasi lingkungan dan juga memiliki predator dalam jumlah relatif rendah dibandingkan dengan jenis hewan aquatik lainnya.
i. Arus Arus di daerah pesisir, terutama disebabkan oleh kegiatan pasang surut dan aliran sungai, pada bagian muara terjadi masukan air tawar secara terus menerus, sebagian air tawar ini bergerak ke bagian hilir memasuki daerah pesisir dan bercampur dengan air laut, yang akhirnya sebagian besar akan mengalir keluar estuari
Universitas Sumatera Utara
atau menguap mengimbangi air berikutnya yang masuk kebagian muara. Pengaruh utama dari adanya arus dan aksi ombak didaerah pesisir terhadap ikan, akan memaksa ikan melakukan ruaya baik secara vertikal maupun horizontal (Daulay, 2000).
j. Kandungan Nitrit dan Fospat Banyaknya unsur hara mengakibatkan tumbuh suburnya tumbuhan, terutama makrophyta dan fitoplankton. Fitoplankton dapat menghasilkan energi dan molekul yang kompleks jika tersedia bahan nutrisi. Nutrisi yang paling penting adalah nitrit dan fospat (Nybakken, 1992). Fospat merupakan unsur penting dalam air. Fospat terutama berasal dari sedimen yang selanjutnya akan terfiltrasi dalam air tanah dan akhirnya masuk kedalam sistem perairan terbuka. Selain itu juga dapat berasal dari atmosfer bersama air hujan masuk ke sistem perairan (Barus, 2004). Komponen nitrit (NO 2 ) jarang ditemukan pada badan air permukaan karena langsung dioksidasi menjadi nitrat (NO 3 ). Di wilayah perairan neritik yang relatif dekat dengan buangan industri umumnya nitrit bisa dijumpai, mengingat nitrit sering digunakan sebagai inhibitor terhadap korosi pada air proses dan pada sistem pendingin mesin. Bila kadar nitrit dan fospat terlalu tinggi bisa menyebabkan perairan bersangkutan mengalami keadaan eutrof sehingga terjadi blooming dari salah satu jenis fitoplankton yang mengeluarkan toksin. Kondisi seperti itu bisa merugikan hasil kegiatan perikanan pada daerah perairan tersebut (Wibisono, 2005).
Universitas Sumatera Utara
k. TDS (Total Dissolved Solid) Total Dissolved Solid merupakan jumlah kandungan zat padat terlarut dalam air juga mempengaruhi penetrasi cahaya matahari masuk ke dalam badan perairan. Jika nilai TDS tinggi maka penetrasi cahaya matahari akan berkurang, akibatnya proses fotosintesis juga akan berkurang yang akhirnya mengurangi tingkat produktifitas perairan (Sastrawijaya, 1991).
Universitas Sumatera Utara