6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Artemia 1. Klasifikasi Artemia Artemia merupakan zooplankton yang diklasifikasikan ke dalam filum Artropoda dan kelas Crustacea. Secara lengkap sistematika dapat dijelaskan sebagai berikut. Filum
: Arthopoda
Kelas
: Crustacea
Subkelas : Branchiophoda Ordo
: Anostraca
Famili
: Artemiidae
Genus
: Artemia
Species
: Artemia salina Linn (Fa’ahakhododo Harefa, 1996).
Gambar 1. Artemia (perbesaran 2 kali)
Nama Artemia diberikan untuk pertama kali oleh Schlosser yang menemukannya di suatu danau asin pada tahun 1755. Kemudian oleh Linnaeus (1758) melengkapkan nama renik ini menjadi Artemia salina karena daya toleransinya terhadap salinitas yang amat tinggi. Selain Artemia salina, ada beberapa species yang diberikan nama bagi strain zigogenetik, yaitu bila di dalam populasi bercampur atas spesies jantan dan betina. Ada pula populasi artemia yang hanya terdiri atas individu-individu betina saja, strain artemia yang demikian
5
7
dikenal dengan istilah pertenogenetik karena berkembangbiak tanpa melalui perkawinan. Sampai saat ini sudah dikenal lebih dari 50 strain artemia. Pada prinsipnya perbedaan antara satu strain dengan strain yang lainnya terletak pada daya tetasnya, ukuran nauplius, ketahanan terhadap lingkungan, serta kebutuhan temperatur dan salinitas optimal ( Fa’ahakhododo Harefa, 1996). 2. Morfologi Artemia a. Artemia dewasa a
b
Gambar 2. Artemia (a. jantan, b. Betina) dengan perbesaran 10 kali
Bentuk artemia dewasa menyerupai udang kecil.Ukurannya hanya 10-20 mm, bagian kepala berukuran lebih besar dan kemudian mengecil hingga ke bagian ekor. Panjang ekor kurang lebih sepertiga dari total panjang tubuh.Dibagian kepala terdapat sepasang mata dan sepasang antenula. Pada bagian tubuh terdapat sebelas pasang kaki atau torakopoda. Antara ekor dan pasangan kaki paling belakang terdapat sepasang alat kelamin, masing-masing penis pada jantan dan ovarium pada betina.
8
b. Kista
a
b
Gambar 3. Kista Artemia (a. Perbesaran 1 kali, b. Perbasaran 50 kali) Pada perairan bersalinitas tinggi telur-telur artemia tidak menetas menjadi embrio, tetapi pada lapisan luarnya terbentuk cangkang atau karion. Telur yang terbungkus karion inilah yang disebut dengan kista (cyst). Jadi, kista dapat diartikan pula sebagai telur yang mengalami fase cryptobiosis (fase tidur atau istirahat) (Fa’ahakhododo Harefa, 1996). Kista artemia berbentuk bulat dan berwarna cokelat. Diameternya bervariasi antara 224,7-267,0 mikrometer dan beratnya rata-rata 1,885 mikrogram. Dalam keadaan kering, kista artemia dapat disimpan bertahun-tahun tanpa kehilangan daya vigoritasnya atau kema mpuan untuk membentuk embrio. Secara anatomi, susunan kista artemia terdiri atas dua lapisan, yaitu karion dan selaput embrio. 1). Karion Karion merupakan lapisan pelindung inti telur pada kista. Karena terdapat di bagian paling luar, lapisan ini berfungsi sebagai pelindung atas keseluruhan bagian telur sehingga sering disebut sebagai lapisan epidermis. Lapisan berikutnya disebut dengan lapisan kortikal. Di sebelah dalam lapisan
9
kortikal terdapat cadangan makanan yang digunakan nauplius sebelum mampu mencari makanan sendiri. Lapisan ini diberi nama lapisan alveola. Lapisan paling dalam dari karion ini disebut lapisan kurtikula. Lapisan ini menghubungkan langsung antara inti telur atau embrio dengan lapisan cadangan makanan. 2). Selaput embrio Selaput embrio merupakan komponen penyusun bagian telur yang paling utama karena di dalam lapisan ini terdapat inti telur yang akan menjadi individu. Lapisan ini terdiri atas lapisan paling luar yang disebut membran kurtikula terluar dan lapisan fiber yang bersifat transparan. Membran kurtikula terluar berfungsi untuk melindungi embrio. Dibawah lapisan fiber terdapat membran kutikula bagian dalam yang berbatasan dengan membaran plasma. Fungsi lapisan yang paling dalam merupakan inti plasma yang menjadi bagian pokok dalam sel pembentuk embrio atau individu baru. ( Fa’ahakhododo Harefa, 1996). 3. Siklus Hidup Individu artemia dewasa mencapai panjang antara 1-2 cm dan berat 10 mg, artemia menjadi dewasa setelah umur 14 hari dan dapat menghasilkan kista sebanyak 50-300 butir setiap 4-5 hari sekali. Kista artemia beratnya 3,6 mikogram. Saat menetas berat artemia hanya 15 mikogram dan panjangnya 0,4 mm. Umur maksimal artemia sekitar 6 bulan (Abbas Siregar Djarijah, 1995).
10
Berdasarkan jenis kelaminnya, artemia dapat dibedakan antara individu yang berkelamin jantan dan betina. Dalam siklus hidupnya, proses reproduksi atau perkembangbiakan dilakukan secara generatif. Dalam proses generatif dihasilkan telur atau kista yang berbentuk butiran-butiran halus. Apabila berada di tempat yang kering atau di air yang bersalinitas tinggi maka kista tetap dalam keadaan dorman atau tidur. Keadaan tersebut dikenal dengan istilah fase cryptobiosis. Apabila kista tersebut direndam di dalam air laut dengan tingkat salinitas 30-35 ppt maka akan terjadi hidrasi. Beberapa jam kemudian, embrio berkembang menjadi nauplius dan mampu berenang bebas di dalam air (Fa’ahakhododo Harefa, 1996). Individu yang baru ditetaskan ini dikenal dengan instar I. Instar I ini akan berganti kulit menjadi instar II, demikian seterusnya sampai 15 kali. Setiap tahap pergantian kulit dinamai nomor instar pada tahap tersebut hingga pergantian kulit yang terakhir disebut instar XV. Selanjutnya artemia berkembang menjadi individu dewasa dengan ukuran 10-20 mm. Perkembangan artemia dari proses penetasan sampai menjadi individu dewasa membutuhkan waktu sekitar 7-10 hari. Pada saat telah menjadi dewasa, artemia siap untuk melakukan proses perkawinan. Proses perkawinan pada artemia ditandai dengan menempelnya individu jantan pada tubuh individu betina (riding position). Keadaan seperti ini berlangsung hingga telur masak ( Fa’ahakhododo Harefa, 1996). Artemia dapat hidup di perairan yang bersalinitas tinggi antara 60-300 ppt dan mempunyai toleransi tinggi terhadap oksigen dalam air. Air dengan pH yang
11
cukup tinggi ini sangat cocok untuk pertumbuhan artemia yaitu pH air hingga mencapai kisaran 7,5 - 8,5 (www.dkp.go.id). Dalam kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan, misalnya karena salinitas air sangat tinggi atau kadar oksigen sangat rendah, telur segera dibungkus oleh kulit luar yang disebut korion. Korion yang diproduksi oleh kelenjar kulit ini cukup keras, tidak mudah pecah, ringan, dan berwarna coklat tua. Dengan terbentuknya korion ini maka telur hanya mampu berkembang hingga fase gastrula dan kemudian berlanjut kepada fase dormansi atau diapauze ( Fa’ahakhododo Harefa, 1996). Pada saat terbentuk korion, proses metabolisme menjadi terhenti. Telur kemudian disebut dengan kista. Kista ini dilepas induknya ke dalam air dan mengapung dibawa oleh angin atau arus air karena bobotnya sangat ringan. Proses pelepasan kista dari induknya ini disebut dengan ovipar. Kista artemia berbentuk bulat dan cukup keras sehingga tidak mudah pecah. Dalam kondisi lingkungan yang baik dan salinitas rendah, telur langsung menetas menjadi larva yang disebut nauplius. (jamak: nauplii). Larva ini akan membebaskan diri dari induknya dengan berenang bebas di dalam air. Proses penetasan telur langsung menjadi larva ini disebut dengan ovovivipar. Larva-larva ini berganti kulit sebanyak lima belas kali. Setiap tahap pergantian kulit dinamai nomor instar pada tahap tersebut hingga pergantian kulit yang terakhir disebut instar XV ( Fa’ahakhododo Harefa, 1996).
12
4. Kandungan Nutrisi Kandungan nutrisi artemia terdiri dari protein, karbohidrat, lemak, air, dan abu. Protein merupakan kandungan terbesar, yaitu antara 40-60%. Adapun kandungan nutrisi artemia : Tabel 1 : Kandungan nutrisi artemia Jenis Nutrisi Protein
Komposisi (%) 40 – 60
Karbohidrat
15 – 20
Lemak
15 – 20
Air
1 – 10
Abu 3-4 ( Fa’ahakhododo Harefa, 1996). Selain itu artemia sangat baik untuk pakan ikan hias karena banyak mengandung pigmen warna yang diperlukan untuk variasi dan kecerahan warna pada ikan hias agar lebih menarik dan kandungan energi 5,02 kkal/g (www.dkp.go.id). Komposisi kandungan nutrisi artemia ini cukup bervariasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan komposisi kandungan nutrisi tersebut diantaranya strain, kualitas dan ketersediaan makanan, serta kondisi media tempat artemia hidup. Sementara itu, terdapat perbedaan kandungan lemak dari artemia yang berasal dari danau yang bergaram kaya akan asam linoleat ( Fa’ahakhododo Harefa, 1996). 5. Pascapanen kista artemia Pemanenan kista artemia dilakukan dengan cara yang berbeda, baik secara teknik, waktu, maupun penanganannya. Biasanya kista artemia akan berkumpul pada
13
salah satu sudut tambak karena didorong oleh angin karena kista mengapung pada permukaan air. Pengambilan kista artemia dari tambak menggunakan seser halus yang terbuat dari nilon yang ukuran lubangnya 150 mikron atau dengan gayuh. Kista yang dipanen langsung dicuci dan direndam dalam ember selama beberapa jam kemudian. Pada saat perendaman biasanya ukuran kista artemia akan mengecil (Fa’ahakhododo Harefa, 1996). .Selanjutnya kista artemia tersebut dikeringkan, baik dengan sinar matahari, oven ataupun alat lainnya, dengan suhu udara antara 35 – 40 0C, selama 24 jam. Harus dijaga agar suhunya jangan sampai lebih dari 400C, sebab bila demikian telurnya akan mati. Telur yang sudah kering kemudian ditempatkan pada kantong pelastik yang diisi gas nitrogen atau di dalam kaleng hampa udara (Ahmad mujiman, 1984). Adapun cara lain pemasaran kista artemia ke konsumen dimana sebelumnya kista artemia dikeringkan dengan cara dimasukkan ke dalam alat pengering pada temperatur 600 C selama 24 jam, kemudian didinginkan (kurang dari 00C) selama 30 menit dan kemudian ditimbang lalu dikemas dalam kaleng hampa udara (www.dkp.go.id). Apabila tidak segera digunakan, kista yang baru dicuci dan ditiriskan, tirisan kista artemia tersebut dapat disimpan sementara pada ruang pendingin (refrigerator). Untuk tujuan pemasaran kista dapat dikemas pada botol, pelastik, atau gelas yang tertutup. Selanjutnya kemasan tersebut disimpan di ruangan pada temperatur kamar. Dengan cara pengemasan ini, kista dapat bertahan hingga satu tahun ( Fa’ahakhododo Harefa, 1996).
14
B. Protein Protein merupakan salah satu kelompok makronutrien yang berperan penting dalam pembentukan biomolekul sebagai sumber energi. Strukturnya yang mengandung N, di samping C, H, O, S dan kadang kadang P, Fe dan Cu (sebagai senyawa kompleks dengan protein). Protein dalam bahan makanan sangat penting dalam proses kehidupan organisme seperti hewan dan manusia. Pada organisme yang sedang tumbuh, protein sangat penting dalam pembentukan sel-sel baru. Oleh sebab itu apabila organisme kekurangan protein dalam bahan makanan maka organisme tersebut
akan
mengalami
hambatan
pertumbuhan
ataupun
dalam
proses
biokimiawinya. Pentingnya protein dalam jaringan hewan dapat ditunjukkan oleh kadarnya yang tinggi yaitu antara 80 – 90% dari seluruh bahan organik yang ada dalam jaringan hewan (Slamet Sudarmadji dkk, 1996). 1. Srtuktur Protein memiliki berat molekul yang besar, maka protein mudah sekali mengalami perubahan bentuk fisis ataupun aktivitas biologisnya. Banyak faktor dan agensia yang menyebabkan perubahan sifat alamiah protein misalnya panas, asam basa, solven organik, garam, logam berat, radiasi sinar radioaktif. Perubahan sifat fisis yang mudah diamati adalah terjadinya penjendalan atau pemadatan (Slamet Sudarmadji dkk, 1996). Molekul protein merupakan rantai panjang yang tersusun oleh mata rantai asam-asam amino. Asam amino adalah senyawa yang memiliki satu atau lebih
15
gugus karboksil (-COOH) dan satu atau lebih gugus amina (-NH2) yang salah satunya terletak pada atom C tepat di sebelah gugus karboksil. H
O
N
C
C
H
R
H R
C
COOH
NH3
Asam amino
H
O
N
C
C
H
R
Ikatan Peptida
Protein (Anna Poedjiadi, 1994).
Di alam umumnya terdapat 20 jenis amino (untuk protein tertentu dapat 25 jenis), ratusan bahkan ribuan unit asam-asam amino yang berbeda-beda ini menyusun molekul protein, oleh sebab itu secara sistematis, jenis protein di alam ini dapat dikatakan tak terhingga jenisnya (Slamet Sudarmadji dkk, 1996). Protein mempunyai molekul besar dengan bobot molekul bervariasi antara 5000 sampai jutaan. Dengan cara hirdrolisis oleh asam atau oleh enzim, protein akan menghasilkan asam-asam amino. Ada 20 jenis asam amino yang terdapat dalam molekul protein. Asam-asam amino ini terikat satu dengan lain oleh ikatan peptida. Protein mudah dipengaruhi oleh suhu tinggi, pH dan pelarut organik (Anna Poedjiadi, 1994). 2. Sifat Protein a
Membentuk koloid Protein membentuk difusi koloid dalam air, protein koloid dapat melewati kertas saring tetapi tidak dapat melewati selaput membran.
16
b
Pengendapan Pengendapan protein disebabkan oleh : 1) Alkohol : menggumpalkan semua protein kecuali prolamin karena itu etanol 70% digunakan sebagai disinfektan, karena dapat menggumpalkan protein bakteri. 2) Salting Out : kebanyakan protein tidak dapat larut dalam larutan garam yang pekat dan mengendap atau didesak keluar dari larutan dalam keadaan tidak berubah. Digunakan untuk memisahkan protein dari campuran senyawa lain. 3) Garam logam berat : garam logam berat seperti raksa (II) klorida atau perak nitrat menggumpalkan protein. Senyawa ini sangat beracun. 4) Panas : panas dapat menggumpalkan hampir semua protein. 5) Pereaksi alkaloid : pereaksi alkaloid sepertii asam tanat dan asam pikrat membentuk senyawa yang sukar larut dalam protein. 6) Asam mineral pekat : protein akan menggumpal jika ditambahkan asam hidroklorida pekat, asam sulfat pekat dan asam nitrat. 7) Radiasi : sinar ultraviolet dan sinar X juga dapat menggumpalkan protein.
3. Klasifikasi Protein Klasifikasi protein dapat dibedakan berdasarkan berbagai cara : a. Berdasarkan komponen-komponen yang menyusun protein: 1) Protein sederhana (simple protein) Hasil hidrolisa total protein jenis ini merupakan campuran yang hanya terdiri atas asam-asam amino.
17
2) Protein kompleks (complex protein, conjugated protein) Hasil hidrolisa total protein jenis ini, selain terdiri atas berbagai jenis asam amino, juga terdapat komponen lain, misalnya unsur logam, gugusan phosphat dan sebagainya. (contoh: hemoglobin, lipoprotein, glikoprotein dan sebagainya) 3) Protein derivat (protein derivative) Ini merupakan ikatan antara (intermediate product), sebagai hasil hidrolisa parsial dari protein native.Misalnya albumosa, peptone dan sebagainya. b. Berdasarkan sumbernya, protein diklasifikasikan menjadi: 1) Protein hewani Yaitu protein dalam bahan makanan yang berasal dari binatang, seperti protein dari daging, protein susu dan sebagainya. 2) Protein nabati Yaitu protein yang berasal dari bahan makanan tumbuhan seperti protein dari jagung (zein), dari terigu dan sebagainya. c. Berdasarkan struktur susunan molekulnya dapat dibedakan: 1) Protein fibriler / skleroprotein Protein yang berbentuk serabut, tidak larut dalam pelarut encer. Fungsi utamanya untuk membentuk struktur bahan dan jaringan. 2) Protein globuler Protein yang berbentuk bola. Protein ini banyak terdapat dalam bahan pangan seperti susu, telur dan larut dalam larutan garam dan asam encer
18
juga lebih mudah berubah dibawah pengaruh suhu, konsentrasi garam dan lain-lain (F.G. Winarno, 1989). d. Klasifikasi protein dapat pula dilakukan berdasarkan fungsi fisiologisnya, berhubungan dengan daya dukungnya bagi pertumbuhan badan dan bagi pemeliharaan jaringan. 1) Protein sempurna Bila protein ini sanggup mendukung pertumbuhan badan dan pemeliharaan jaringan. 2) Protein setengah sempurna Bila sanggup mendukung pemeliharaan jaringan, tetapi tidak dapat mendukung pertumbuhan badan. 3) Protein tidak sempurna Bila sama sekali tidak sanggup menyokong pertumbuhan badan, maupun pemeliharaan jaringan. 3. Fungsi Protein a. Sebagai bahan bakar atau energi karena mengandung karbon, maka dapat digunakan oleh tubuh sebagai bahan bakar. Protein akan dibakar manakala keperluan tubuh akan energi tidak diterpenuhi oleh lemak dan karbohidrat. b. Sebagai zat pengatur yaitu mengatur berbagai proses tubuh baik secara langsung maupun tidak langsung. Sebagai bahan pembentuk zat-zat yang mengatur berbagai proses tubuh.
19
c. Sebagai zat pembangun yaitu untuk membantu membangun sel-sel yang rusak maupun yang tidak rusak. Kebutuhan protein meningkat sesuai dengan pertambahan umur (F.G. Winarno,2004). 4. Analisis Protein Analisa protein dilakukan dengan beberapa cara: a. Analisa kualitatif 1) Test Biuret Larutan proteín ditambah beberapa tetes CuSO4 encer dan beberapa ml NaOH. Tes. dinyatakan positif bila larutan berwarna merah atau ungu dan negatif bila larutan berwarna biru. 2) Test Molish Larutan protein ditambah beberapa tetes alpha naftol, dikocok perlahan selama 5 detik, miringkan tabung dan ditambahkan H2SO4 pekat melalui dinding tabung, tegakkan kembali tabung. Hasil positif bila terlihat adanya cincin ungu di perbatasan kedua cairan. 3) Test Xanthoprotein Larutan protein ditambahkan HNO3 pekat kemudian dipanaskan selama 1 menit, setelah dingin masukkan perlahan-lahan larutan NaOH. Hasil positif bila terjadi warna jingga sampai kuning tua pada perbatasan ke dua cairan.
20
4) Test Millon Larutan protein ditambahkan beberapa tetes reagen millon diaduk sampai adanya endapan putih kemudian dipanaskan hati-hati dan ditambahkan NaNO3 setelah dingin hasil positif ditandai dengan terjadinya warna merah pada larutan tersebut. 5) Test Ninhidrin Larutan protein ditambah beberapa tetes larutan ninhidrin kemudian dipanaskan beberapa saat dan didiamkan hingga dingin, hasil positif apabila terbentuk warna biru b. Analisa kuantitatif 1) Metode Dumas Prinsip cara ini adalah sampel bahan makanan dibakar dalam atmosfer CO2 dan dalam lingkungan yang mengandung kupri oksida. Semua atom karbon dan hidrogen akan diubah menjadi CO2 dan uap air. Semua gas dialirkan ke dalam larutan NaOH dan dilakukan pengeringan gas. Semua gas terabsorbsi kecuali gas nitrogen, dan gas ini kemudian dianalisis dan diukur secara volumetris dan dihitung dengan mengalikan faktor konversi (F.G. Winarno, 2004). 2) Spektrofotometri UV Protein memiliki kandungan asam-asam karboksilat, terutama tirosin, sehingga protein mempunyai absorbsi maksimum pada panjang gelombang 280 nm. Untuk beberapa protein tirosinnya sama, sehingga
21
pengukuran absorbsi pada 280 nm dapat menentukan kadar protein dalam suatu larutan (F.G. Winarno, 2004). 3) Titrasi formol Larutan protein dinetralkan dengan basa (NaOH), kemudian ditambahkan formalin akan membentuk dimethilol. Dengan terbentuknya dimethilol ini berarti gugus aminanya sudah terikat dan tidak akan mempengaruhi reaksi antara asam (gugus karboksil) dengan basa NaOH sehingga akhir titrasi dapat diakhiri dengan tepat. Indikator yang digunakan adalah PP, akhir titrasi terjadi perubahan warna menjadi merah muda yang tidak hilang dalam 30 detik (Slamet Sudarmadji dkk, 1996). 4) Turbidimetri atau kekeruhan Kekeruhan akan terbentuk dalam larutan yang megandung protein apabila ditambahkan bahan pengendapan protein misalnya Tri Chloro Acetic acid (TCA), Kalium Ferro Cianida K4Fe(CN)6 atau asam sulfosalisilat. Tingkat kekeruhan diukur dengan alat turbidimeter. Tabel atau kurva juga harus dibuat terlebih dahulu untuk menunjukkan hubungan antara kekeruhan dengan kadar protein (Slamet Sudarmadji dkk, 1996). 5) Metode kjeldahl Cara kjeldahl pada umumnya dapat dibedakan atas dua cara, yaitu cara makro dan semimikro. Pada cara makro, sampel sukar dihomogenisasi dan besar sampel 1-3 gram, sedangkan cara semimikro untuk sampel ukuran kecil yaitu 0,3-1 g dari bahan yang homogen. Cara kjeldahl digunakan untuk
22
menganalisa protein secara tidak langsung, karena yang dianalisa dengan cara ini adalah kadar nitrogennya. Cara analisis kjeldahl ada tiga tahap: Destruksi : Sampel dimasukkan dalam labu kjeldahl dengan bantuan corong kecil ditambah campuran selenium, 25 ml H2SO4 pekat kemudian dipanaskan dengan api kecil dulu sampai gas SO2 yang berwarna putih hilang dengan posisi labu kjeldhal miring 450. Pemanasan dilanjutkan sampai terjadi larutan yang jernih. Reaksi : H R
C
COOH
CO2 + H2O + SO2 + NH3
NH2 NH3 + H2SO4 NH4HSO4 Destilasi
: Hasil destruksi dipindahkan secara kuantitatif ke labu destilasi, ditambah 150 ml aquades dan 75 ml NaOH 50%. Hasil destilasi ditampung pada erlenmeyer yang telah berisi 20 – 50 ml H 3BO3 2% dan indikator campuran MR dan BCG, proses destilasi selesai ditandai dengan pengecekan pH atau sampai amoniak habis. Reaksi : NH4HSO4 + NaOH Na2SO4 + NH3 + H2O NH3 + H3BO3 (NH4)3BO4
23
Titrasi
: Destilat dititrasi dengan HCl 0,1 N sampai terjadi perubahan warna dari kuning menjadi orange (F.G. Winarno, 2004). Reaksi : (NH4)3BO4 + HCl NH4Cl + H3BO3
C. Kerangka Teori Skema 1. Kerangka Teori Penelitian Kista Artemia Kering Penetapan Kadar Air Penyimpanan pada suhu -200C selama 48 jam
Penyimpanan pada suhu 310C selama 48 jam
Penyimpanan pada suhu 600C selama 48 jam
Penetapan kadar protein Metode Kjeldahl Tahap destruksi Tahap destilasi Tahap titrasi