BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Taksonomi Laba-laba Laba-laba tergolong dafam filum Artropoda, subfilum Chelicerata, kelas Arachnida dan ordo Araneae. Laba-laba mudah dibedakan dari serangga dengan ciriciri sebagai berikut : tubuh hanya terbagi dalam dua bagian yaitu abdomen dan sefalotoraks, tidak memiliki antena, tungkai empat pasang, sepasang palpus yang terdiri dari enarn mas yang pada jantan dimodifikasi untuk memindahkan sperma, tidak bersayap, memiliki mata oseli yang sangat sederhana berjumlah empat atau dua pasang.
Sefalotoraks dihubungkan
oleh pedisel dengan abdomen. Pada sefalotoraks terdapat mata oseli, alat mulut dan tungkai. Pada abdomen terdapat sistem pernafasan, reproduksi dan pencernaan serta alat pemintal sutera. Bagian atas sefalotoraks disebut karapas dan bagian bawahnya disebut sternum yang bagian depannya disebut labium.
Bagian-bagian utama tubuh yang dapat digunakan untuk
mengidentifikasi spesies antara lain mata oseli, alat mulut, tungkai pada sefalotoraks serta ukuran dan bentuk abdomen dan gambaran yang terdapat padanya (Barrion & Litsinger 1990, 1994, 1995, Kaston 1978) . Fauna laba-laba pada ekosistern padi telah banyak diteliti terutama di beberapa negeri Asia yang banyak menanam padi. Barrion & Litsinger (1995) telah mengidentifikasi spesies laba-laba pada pertanaman padi
dan
melaporkan sebanyak 342 spesies dalam 131 genus dan 26 famili yang tersebar di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Famili-famili penting yang terdapat
pada
pertanaman padi di
antaranya
adalah
Tetragnathidae,
Thomisidae, Lycosidae, Araenidae, Lyniphiidae, Oxyopidae dan Salticidae.
12
Beberapa spesies yang sangat terkenal dan sering diternukan pada tanarnan padi yaitu P. pseudoannulata, Oxyopes lineatipes C . L Koch, Oxyopes javanus Thorell, Phidippus sp., Atypena adelinae Barr. 8 Lits., Araneus inustus C.L. Koch, Argiope catenulata (DoleschalI), dan Tetragnatha maxiflosa Thorell.
P. pseudoannulata
(syn. Lycosa pseudoannulata Boes. et Str.) (Farn.
Lycosidae) adalah salah satu sbssies laba-laba yang umurn pada pertanaman padi, dikenal dengan nama umurn laba-laba serigala. Laba-laba ini tersebar luas di beberapa negeri yang menanam padi seperti Filipina, Jepang. Korea, India, Bangladesh, Nepal, Laos, Kambodia, Thailand, Vietnam, Malaysia, Singapura dan Indonesia (Barrion & Litsinger
1995). Laba-laba serigala
tersebut juga dilaporkan terdapat dalarn populasi cukup tinggi pada tanarnan palawija terutarna kedelai (Shepard et al. 1997). van den Berg, Hassan & Marzuki
(1998) rnelaporkan bahwa pada tanaman kedelai laba-laba P.
pseudoannulata adalah predator urnum yang sering diternukan selarna fase pertumbuhan vegetatif. P. pseudoannulafa dikenal oleh petani dengan ciri-ciri gambaran seperti
garpu pada punggung sefalotoraks dan garnbaran berupa garis danlatau b e a k berwarna putih pada abdomen. Betina dewasa panjang tubuhnya 9,95 mm;
sefalotoraks panjang 4,75 rnrn, lebar 4.00 rnrn dan tebal 3,00 rnrn;
abdomen panjang 5,20 mrn, lebar 5,00 rnrn dan tebal 3,50 rnrn. Sefalotoraks berwarna kelabu coklat sampai kelabu gelap kecuali daerah mata, di bagian tengah terdapat gambaran berbentuk garpu dan pita submarginal. Jantan panjang tubuhnya 6,80 mm; sefalotoraks panjang 3.80 mm, lebar 3.00 mm dan tebal 1.80 mrn; abdomen panjang 3,20 rnm, lebar 1,80 mm, tebal 1,70 mrn. Seperti pada betina, di bagian tengah dan tepi sefalotoraks terdapat pita yang jelas (Barrion & Litsinger 1994, 1995).
13
Biologi Laba-laba Semua laba-laba bereproduksi secara seksual dan betina bertelur (ovipar). Banyak spesies laba-laba meletakkan telur dalam kantung telur seperti Pardosa spp. atau kokon telur yang terbuat dari sutera, seperti pada
A. catenulata. Bentuk kokon tergantung dari spesiesnya yaitu bulat telur, bulat memanjang, bentuk kumparan atau bentuk lonceng. Biasanya kokon tersebar di tajuk tanaman dengan penyamaran menyerupai bagian tanaman tertentu atau partikel tanah yang menyatu dengan sekitarnya sehingga hampir tidak terlihat (Tetragnatha spp.). Tipe penyamaran kokon dapat juga digunakan untuk mengidentifikasi spesies tertentu. Spesies yang mernbuat kantung telur dan tidak mempunyai penyamaran pada kantung telurnya biasanya dijaga oleh induknya. Laba-Iaba betina diam di atas kantung telur seperti pada 0. javanus atau diam di samping kantung telur seperti pada A. inustus. Beberapa spesies tertentu kantung telurnya selalu dibawa oleh induknya seperti pada P. pseudoannulata. Jenis laba-laba lain menempatkan telur di bagian bawah abdomen induk atau di bagian bawah sefalotoraks seperti pada Dolomedes spp. (Barrion & Litsinger 1995). Untuk membedakan antara laba-Iaba pradewasa dan dewasa dapat digunakan ukuran tubuh dan perkembangan alat genital jantan dan betina. Pada umumnya laba-laba memperlihatkan perbedaan yang rnencolok antara jantan dan betina. Perbedaan antara jantan dan betina dapat dilihat dari bentuk dan ukuran palpus. yakni yang jantan rnemiliki palpus yang membesar pada bagian tarsus sedangkan laba-laba betina bentuk dan ukuran palpusnya hampir sama dengan tungkai. Perbedaan lain antara jantan dan betina adalah ukuran tubuhnya, yang jantan biasanya berukuran relatif lebih kecil dan
14
abdomennya lebih ramping dibandingkan dengan betina (Barrion & Litsinger 1994, 1995, Kaston 1978, Robinson 1983). Laba-laba adalah golongan artropoda yang mengalami metamorfosis secara bertahap. Telur yang diletakkan oleh induk betina menetas menjadi laba-laba muda (juvenil) selanjutnya berkembang secara bertahap sampai menjadi dewasa. Fase juvenil'terdiri dari beberapa instar. Banyaknya instar antara 5 - 10 tergantung dari spesies laba-laba.
Laba-laba yang bertubuh
kecil juvenil hanya menjalani lima instar, sedangkan yang bertubuh besar sampai 10 instar (Foelix 1982). Betina P. pseudoannulata dapat meletakkan telur sebanyak 200400 butir dalam waktu 3 4 bulan lama hidupnya, dan dari jumlah telur tersebut sekitar 60-80 akan menetas dan menghasilkan anak laba-laba yang tetap berada di punggung induknya selama 1
- 2 hari.
Betina tersebut meletakkan
telur dalam kantung yang berlapis sutera. Kantung itu terletak di bagian bawah abdomen induknya dan dibawa oleh induknya sampai menetas. Setelah telur menetas menghasilkan laba-laba muda yang berkembang secara bertahap menjadi dewasa melalui delapan instar juvenil.
P. pseudoannulata adalah Iaba-laba pemburu mangsa yang aktif berpindah dari suatu tempat ke tempat Lainnya dan dapat bermukim serta bertahan pada lahan yang baru dalam waktu yang sangat singkat. Laba-laba ini dapat rnenekan populasi hama sebelum populasinya meningkat ke aras yang merusak (Shepard et at. 1987). Laba-laba tersebut memangsa berbagai jenis serangga hama dan bukan hama. Jenis-jenis serangga hama penting yang banyak dilaporkan menjadi mangsa dari laba-laba itu adatah wereng coklat, wereng hijau dan penggerek batang padi, dan di samping itu juga rnemangsa serangga bukan hama termasuk serangga pemakan bahan
15
organik dan serangga berguna seperti predator dan parasitoid (Ooi & Shepard 1994, Rubia, Almazan & Heong 1990). Betina Tetragnatha spp. meletakkan telur secara berkelornpok, 100-200 butir, yang ditutupi dengan rambut-rambut halus di bagian atas batang tanaman. Kelompok telur ditutupi dengan benang sutera. Laba-laba ini membuat jaring berbentuk bulat di antara daun-daun yang dekat dengan air. Pada sore hari mereka membangun jaring dan malam hari sampai pagi menunggu mangsa yang tertangkap jaring. Mangsa yang tertangkap dengan cepat diikat dengan benang sutera untuk kemudian dimangsanya.
Pada
siang hari mereka beristirahat pada bagian bawah daun. Seekor induk betina
A. inustus dapat meletakkan telur sebanyak 600
- 800
butir. Kelompok telur
diletakkan dalam lipatan daun dan ditutupi dengan sutera. Mereka memangsa serangga bertubuh kecil seperti wereng hijau, wereng coklat dan lalat (Shepard et a/. 1987). Laba-laba diketahui sebagai karnifora, pemakan artropoda lainnya. Serangga adalah bagian terbesar dari diet laba-laba. Jenis-jenis serangga yang dimangsa adalah dari ordo Diptera, Collembola, Coleoptera, Orthoptera, Lepidoptera, Homoptera, Herniptera, Thysanoptera, Hymenoptera, kelompok laba-laba sendiri, dan artropoda lainnya (Foelix 1982). Roach (1987) melaporkan bahwa jenis-jenis mangsa yang ditangkap oleh P. audax (Salticidae) adalah spesies dari ordo Hornoptera (seperti Bemisia tabaci (Genn.), Spissistilus festinus (Say.), Empoasca fabae (Harris),
Nabis amercoferus (Carayon) dan Solubea pugnax (Fab.)),
Thysanoptera (Thrips spp.),
Neuroptera (Hernerobiidae).
Orthoptera
(Acrididae spp., Oecanthus spp., Stagmonanthis carolina Johannsen), Coleoptera (Diabrotica undecimpunctata howard Barber), Lepidoptera
16
(Plathypena scabra (Fab. )) dan Herniptera (Pseudatomocelis seriatus (Reuter) dan Geocoris punctipes Say.). Yeargan (1994) rnenyebutkan lebih dari 40 spesies ngengat yang dirnangsa oleh Mastophora spp. (Salticidae). NyfFeler & Benz (1988) rnelaporkan jenis-jenis rnangsa yang ditangkap oleh laba-laba serigala Pardosa spp. pada tanarnan gandurn dekat Zurich adalah kutudaun (Metopolophiurn dimodium (Walker), Sitobion avenae (Fab.) dan Rophalosiphum padi (Linn.), lalat antara lain dari famili Dolichopodidae (Dolichopus longicornis), Opornyzidae (Opomyza florum), Drosophilidae, dan Scatophagidae,
Anthomyzidae,
Muscidae,
jenis-jenis
Collernbola,
Staphylinidae, larva Carabidae, Hymenoptera kecil, larva Lepidoptera, labalaba lain dan tungau. Ekologi Laba-laba
Laba-laba ditemukan hampir di sernua perrnukaan bumi dari kutub sarnpai ke daerah padang pasir yang kering. Mereka terutarna berlimpah di ternpat yang banyak vegetasi. Laba-laba dapat berpindah dari suatu ternpat ke ternpat lain dengan bergerak aktif seperti berjalan, melornpat atau secara tidak aktif yakni terbawa rnelalui angin atau agens lainnya. Cara yang paling umurn diternukan adalah dengan cara ballooning yaitu pernencaran dengan cara melayang di udara . Pada serangga pemencaran rnelalui angin adalah cara yang umurn karena serangga umurnnya rnempunyai sayap yang dapat membantu terangkat dan terbawa melalui udara. Laba-laba tidak memiliki sayap namun ternyata mampu mernencar dalarn jarak yang jauh rnelalui udara (Bishop 1990, Plagens 1986). Pada awalnya diperkirakan hanya laba-laba pradewasa yang terbawa angin karena
ukuran tubuhnya yang kecil,
17
tetapi kernudian terbukti laba-laba dewasa yang berukuran kecil seperti Lyniphiidae juga terbawa angin (Foelix 1982). Secara ekotogis persebaran vertikal laba-laba dapat dikelompokkan zona tanah terdiri dari serasah daun, batuan dan dalam empat zona : (I) rumputan rendah hingga 15 cm,(2) zona lapangan dengan tinggi vegetasi 15
- 180 cm. (3) zona semak sampai pohon dengan ketinggian 180 - 450 cm,dan (4) zona pohon dengan ketinggian lebih dari 450 cm. Setiap zona memiliki ciri
iklim mikro yang spesifik, berbeda relung untuk berlindung dan berbeda spektrum mangsa, sehingga terlihat adanya stratifikasi spesies. Misalnya laba-laba serigala P. pullata cocok untuk hidup pada zona sangat rendah (0-
5 cm) sedangkan P. nigriceps dominan pada zona 20
- 30 cm (Foelix
1982).
Keragaman spesies dan populasi berkurang dari daerah tropis ke utara dan terendah di kutub utara (Koponen 1996). Sebagaimana halnya dengan serangga, laba-laba juga hidup pada ekosistem alami maupun dalam ekosistem pertanian. Laba-laba akan bermukim dan bertahan hidup pada ekosistem pertanian setiap musim tanam melalui imigrasi secara bertahap dari habitat sekitarnya dengan berjalan atau rnelompat, dapat juga dengan melalui udara (melayang) yang biasanya terjadi pada instar-instar juvenil (Agnew & Smith
1989). Habitat yang tidak diolah
dan berdekatan dengan pertanaman ternyata merupakan sumber potensial kolonisasi artropoda. Populasi laba-laba ternyata lebih banyak pada vegetasi liar di pingiran sekitar pertanarnan dibandingkan dengan pada pertanaman dan yang diperlakukan dengan pestisida (Altieri & Schmidt
1986). Bishop
(1990) menyebutkan bahwa laba-laba terrnasuk predator yang paling pertama berimigrasi, bermukim dan bertahan pada ekosistem pertanian.
18
Kelimpahan dan
keragaman
spesies
laba-laba tergantung
pada
lingkungannya. Pada urnurnnya kelimpahan dan keragaman spesies labalaba lebih tinggi di pertanaman padi di daerah rendah yang beririgasi dari pada di tempat yang lebih tinggi tanpa irigasi, demikian juga ternyata pada tempat yang dekat dengan vegetasi liar
lebih banyak spesies laba-laba
dibandingkan dengan yang di tengah hamparan (Barrion 1980). Alderweireldt (1989) menyatakan bahwa pada pertanaman jagung dan gandum, beberapa
spesies laba-laba lebih menyukai pinggiran pertanaman, sedangkan spesies lainnya lebih menyukai bagian tengah pertanaman. lmmonen & ltamies (1994) melaporkan hasil suwai spesies laba-laba serigala pada empat tipe habitat yaitu tepi pantai, tanah berlumpur dan dua tipe hutan konifer. Dari 10 perangkap yang d~tempatkanpada setiap habitat dapat ditangkap sekitar 1600 spesimen yang terdiri dari 15 spesies. Semua spesimen yang diperoleh dikelompokkan dalam tiga kelompok : (1) spesies yang stenotopik yaitu Pardosa amentata (CIerck) dan Pirata pifaticus (Clerck); (2) spesies pada habitat dengan kisaran lebar yaitu spesies hutan Alopecosa aculeata (Clerck) dan Pardosa Iugubris (Walk.), dan spesies pada lahan berlumpur seperti Pardosa hyperborea (Thorell), Pirata uliginosus (Thorell) dan Pardosa sphagnicola (Dahl); (3) spesies yang terdapat pada sernua habitat
seperti Alopecosa pineforum (Thorell) dan Alopecosa taeniata
(C.L.Koch).
Dalam
usahatani
padi
sawah
terdapat
berbagai kegiatan yang
diterapkan oleh petani guna meningkatkan produksi.
Kegiatan-kegiatan
tersebut melibatkan ekosistem pertanaman yang diduga rnernpengaruhi komponen-komponen yang hidup dalam ekosistern tersebut.
Laba-laba
19
merupakan salah satu komponen komunitas yang diduga dapat terpengaruh oleh aktivitas bercocok tanam baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh itu dapat bersifat negatif atau positif terhadap komunitas laba-laba. Kegiatan yang dapat berpengaruh negatif antara lain penggunaan pestisida, pengolahan tanah, pengairan dan penyiangan gulma (Mangan & Byers 1989). Penggunaan pestisida untuk mengendalikan populasi serangga hama dan gulma tentunya berdampak bukan hanya terhadap serangga hama dan gulma tetapi juga komunitas artropoda lain seperti serangga parasitoid, predator, pemakan bahan organik dan artropoda predator lain seperti labalaba (Settle et
a/. 1996).
Pestisida dapat berpengaruh langsung dan tidak
langsung terhadap musuh alami. Pengaruh langsung perlakuan pestisida yaitu berkurangnya efisiensi melalui pengaruh letal dan subletal.
Pengaruh
tidak langsung yaitu rnenyebabkan perubahan terhadap ukuran populasi dan penyebaran serangga sebagai
mangsa,
yang
mungkin mempengaruhi
perilaku pencarian dan reproduksi musuh alarni (Waage 1992).
Selain itu
pengurangan penggunaan insektisida dapat mencegah pengaruh samping terhadap serangga netral dan artropoda bermanfaat seperti parasitoid dan predator (Cheng 1995). Petak-petak sawah yang tidak diperlakukan dengan insektisida secara nyata lebih tinggi populasi laba-labanya dari pada petakan yang d~perlakukaninsektisida (Nugaliyadde 1995).
pseudoannulata
Laba-laba serigala P.
sangat peka terhadap perlakuan insektisida baik dari
kelompok karbamat maupun organofosfat (Chiu 1977). Pengaruh positif dari kegiatan usahatani tanaman padi antara lain adalah penggunaan bahan organik,
yang ternyata
dapat
memperkaya
serangga pernakan bahan organik yang nantinya menjadi mangsa alternatif
20
bagi predator umum seperti laba-laba.
Settle et ai. (1996) menyebutkan
bahwa penggunaan bahan organik pada pertanaman padi dapat memperkaya jenis dan meningkatkan populasi serangga pemakan bahan organik dan pemakan plankton. Serangga tersebut merupakan mangsa dari laba-laba pada awal musim tanam. Tingginya populasi laba-laba pada waktu itu memungkinkan laba-laba menekan perkembangan hama pada pertumbuhan tanaman selanjutnya. Peranan Laba-laba sebagai Predator Serangga Hama Di Pertanaman Padi
Ekosistem padi dihuni oieh berbagai jenis artropoda. Pada umumnya didominansi oleh serangga dan laba-laba. Berbagai pendapat para pakar laba-laba antara lain menyatakan bahwa laba-laba adalah komponen penting yang mengatur populasi hama dalam ekosistem pertanian. Laba-laba adalah predator umum yang tersebar luas di dunia dan terdapat banyak pada ekosistem pertanian dan ekosistem alami. Laba-laba terdapat melimpah di alam dan dapat beradaptasi pada berbagai habitat (Barrion & Litsinger
1995). Laba-laba urnumnya tidak berbahaya bagi
manusia, hanya beberapa jenis saja yang dapat dianggap merugikan karena gigitannya mengandung racun. Laba-laba termasuk binatang karnivor obligat yang sering memangsa berbagai spesies serangga dan laba-laba lain yang lebih lemah. Karena itu laba-laba juga dapat bertindak sebagai predator serangga harna yang cukup efektif (Shepard, Barrion & Litsinger
1987).
Riechert & Lockley (1984) menyebut bahwa populasi larva Spodopfera littoralis tidak berkembang sampai merusak pada pohon ape1 karena ada hunian laba-laba, sedangkan pada pohon yang tanpa laba-laba hama
tersebut berkembang secara nyata. Hasil suatu percobaan rnenunjukkan bahwa laba-laba dapat menurunkan kerapatan larva S. littoralis sampai 98 %. Di daerah iklim sedang dan tropis, laba-laba telah dikenal oleh banyak peneliti sebagai predator serangga hama tanaman padi. Berbagai penelitian yang telah dilaksanakan di beberapa negeri Asia menunjukkan bahwa labalaba adalah predator penting terhadap wereng padi,
dan laba-laba adalah
safah satu artropoda predator yang sangat melimpah di pertanaman padi dan memangsa
berbagai
serangga
hama
padi
selarna
musim
tanam.
Bertambahnya populasi wereng hijau pada pertanaman padi temyata diikuti oleh bertambahnya jumlah laba-laba (Barrion 1980, IRRl 1978). Di Jepang laba-laba dianggap sebagai faktor utama dalam pengaturan populasi wereng hijau dan wereng wkelat. Hasil-hasil penelitian yang lampau menyimpultcan bahwa laba-laba berperan penting dalam mengatur populasi wereng hijau dan wereng cokelat pada tingkat yang rendah. Apabila kerapatan populasi labalaba dapat dipertahankan pada tjngkat yang relatif tinggi, maka kerapatan populasi hama tidak akan sampai melampaui tingkat kerusakan ekonomi dan penggunaan insektisida juga akan menurun. Pemahaman dinamika populasi laba-laba adalah penting dan diharapkan berdasarkan ha1 itu banyak labalaba yang dapat diaugmentasi sebagai agens pengendalian hayati (Barrion 1980, lRRl 1978, 1979, 1980).
Tingginya tingkat predas~oleh laba-laba serigala secara nyata dapat menurunkan populasi generasi ketiga dari nimfa wereng cokelat dan dapat menekan kerusakan yang disebabkan oleh wereng wkelat. Diperkirakan 95% mortalitas nimfa wereng cokelat sebagian besar disebabkan oleh
22
predator
termasuk
laba-laba
(IRRI
1978).
Laba-laba
serigala
P.
pseudoannulafa dapat rnemangsa beberapa spesies hama penting pada pertanaman padi seperti wereng wkelat, wereng hijau, wereng punggung putih, hama putih, hama putih palsu dan lalat padi (Barrion 1980, Heinrichs 1994, IRRl 1979, Ooi & Shepard 1994, Shepard et al. 1987).
P. pseudoannulata dilaporkan sebagai predator penting terhadap nimfa dan dewasa wereng cokelat Nilaparvata Iugens Stal. dan dinyatakan terdapat korelasi antara kepadatan P. pseudoannulata dan puncak kelimpahan populasi wereng cokelat (Arifin & Sumarto 1987; Ooi & Shepard
1994).
Dilaporkan bahwa dalam kondisj laborator~umseekor laba-laba serigala dewasa dapat memangsa wereng cokelat
dewasa 23 -24 ekor per hari
(Vungsilabutr 1995). Ooi & Shepard (1994) melaporkan bahwa laba-laba tersebut dapat memangsa wereng cokelat antara 7
- 45 ekor
per hari. Lebih
lanjut Hung & Lan (1995) menyatakan bahwa di Mekong Delta, Vietnam labalaba serigala itu dikenal sebagai salah satu predator penting wereng wkelat, wereng punggung putih dan wereng hijau. Laporan hasil survai Kamal et a/. (1990)
pada
tanaman
padi
di
Bangladesh,
menyebut
bahwa
P.
pseudoannulata, 0.javanus dan Plexippus sp. adalah tiga spesies yang sangat dominan. Dalam kondisi laboratorium mereka menemukan bahwa P. pseudoannulata memangsa wereng hijau dan wereng cokelat sebanyak 2.7 ekor nimfa dan 3.0 ekor dewasa per hari; 0. javanus memangsa 2,4 ekor nirnfa dan 2,4 ekor dewasa per hari dan T. javana memangsa 2,O ekor nimfa dan 1.9 ekor dewasa per hari.
Apabila ketiga spesies itu dibandingkan
ternyata P. pseudoannulata adalah predator yang paling efisien.
Caratara Pengamatan dan Predasi Laba-laba Terutama P. pseudoannulata Laba-laba adalah kelompok artropoda yang anggotanya terdiri dari beragam ukuran, bentuk dan cara hidup.
Serangga dapat aktif berpindah
dari satu tempat ke tempat lain dalam jarak dekat sampai jauh dengan menggunakan sayapnya, namun meskipun laba-laba tidak memiliki sayap temyata dapat juga berpindah jarak jauh melalui udara. Hal ini terbukti dari hasil tangkapan di udara dengan pesawat terbang yang mengandung labalaba, dan ditemukannya laba-laba di pulau kecil yang sangat jauh dari pulau lain terbawa oleh angin yang biasa dikenal dengan istilah melayang (Bishop 1990, Bishop & Riechert 1990). Banyak cara yang dapat digunakan untuk memonitor keberadaan tabalaba di ekosistem alami atau ekosistem pertanian antara lain dengan penangkapan
langsung dengan tangan,
penggunaan jaring
serangga,
perangkap malaise, perangkap jebakan, perangkap perekat, alat pengisap, lampu perangkap dan lain-lain (Barion 1980, Barrion & Litsinger 1995, Bishop & Riechert 1990).
Menurut Whitcomb (1980) laba-laba pada ekosistem pertanian dapat diarnati dar~dua aspek : kualitatif dan kuantitatif. Pengamatan kualitatif harus yang pertama dilakukan untuk mengetahui spesies yang ada kemudian dilanjutkan dengan pengamatan kuantitatif.
Beragarnnya perilaku dari
berbagai spesies merupakan petunjuk bahwa satu cara tidak cukup untuk mengamati semua spesies. Beberapa tipe perangkap dapat digunakan untuk rnengamati laba-laba di lapangan tergantung pada sasaran yang ingin dicapai, yaitu perangkap jebakan,
perangkap
berperekat,
penangkapan
dengan
tangan
atau
pengamatan secara langsung dan alat pengisap antara lain D-vac. Perangkap jebakan djgunakan untuk mengamati laba-laba yang aktif berjalan atau melompat di atas permukaan tanah (Southwood
1973, Price & Shepard
1980), perangkap berperekat untuk mengamati laba-laba yang terbawa angin (Bishop 1990), penangkapan dengan tangan bagi individu laba-laba tertentu baik yang aktif maupun tidak aktif tergantung keperluan misalnya untuk mengetahui tingkat predasi baik di laboratorium maupun di lapangan,
dan
penggunaan alat pengisap rnerupakan salah satu cara pengamatan yang rnemiliki efisiensi yang sangat tinggi, biaya rendah dan kurang mernerlukan keterampilan. Cara yang terakhir ini dapat mengamati berbagai spesies labalaba yang terdapat di atas tajuk tanaman dan yang diam dalam tajuk tanaman dan dapat mengoteksi laba-laba juvenil dan dewasa (Barrion 1980). Pengisap D-vac dan pengisap lainnya dapat rnengarnati laba-laba baik secara kualitatif maupun kuantitatif (Whitwmb 1980). Banyak cara yang telah dilakukan untuk mengetahui kemampuan suatu predator dalam memilih mangsa dan jumlah mangsa yang dikonsumsi oleh seekor predator. Cara-cara penilaian itu di antaranya dengan pengujian pemangsaan dalam kurungan, pengambilan wntoh predator di lapang kemudian diadakan pengarnatan di laboratorium mengenai jenis mangsa yang dikonsumsi dengan metode radio isotop, elektroforesis, biokimia, dan serologi serta pengarnatan langsung terhadap predator yang sedang memangsa di fapangan
kemudian dibawa
ke
laboratorium untuk
diidentifikasi jenis
mangsanya. Setiap cara biasanya memiliki keunggulan dan kelemahannya (Kidd & Jervis 1996, Luck 1992, Mclver & Ternpelis 1993, Powell, Walton & Jervis 1996).
25
Pengujian predasi yang dilakukan langsung di lapangan mempunyai beberapa keunggulan antara lain tidak mempengaruhi perilaku predator dan dilaksanakan
pada
keadaan
sebenarnya
tanpa
modifikasi
terhadap
lingkungan fisik atau bictik. Cara ini tenfunya mempunyai konsekuensi antara lain memerlukan keterampilan yang tinggi, biaya operasional yang lebih tinggi dan waktu pengamatan di lapang lebih lama (Luck 1992). Untuk menentukan banyaknya mangsa yang dimangsa oleh laba-laba serigala (Fam. Lywsidae), Edgar mengemukakan satu rnetode yang sederhana. Metode tersebut berdasarkan pada pengamatan secara langsung di lapangan terhadap labalaba Pardosa spp. kemudian dikombinasikan dengan data laboratorium (Nyffeler et a/. 1987a, 1987b. Nyffeler & Benz 1988).
Hasil pengamatan
dapat ditransfer ke dalam formula seperti berikut & =
Tr . w T h
yang b = rata-rata mangsa yang ditangkap setiap hari, Tr= lama waktu (jam per hari) laba-laba melakukan kegiatan penangkapan dan memakan mangsa, w = rataan proporsi laba-laba dengan mangsa yang teramati selama pengamatan, dan Th = rata-rata waktu yang diperlukan untuk menangani seekor mangsa yaitu sejak predator mengejar mangsa hingga menghabiskan seekor mangsa.
Cara ini dapat dilakukan dengan mudah di lapang yakni
mengamati aktivitas makan laba-laba serigala pada tanaman yang terdiri dari : mengamati periode (jamfhari) yang diperlukan untuk menangkap dan makan rnangsa (Tf); mengamati dan menghitung proporsi laba-laba yang sedang memangsa pada setiap waktu pengamatan (w); melakukan pengamatan dalam laboratoriurn tentang rataan waktu (jam) yang diperlukan oleh laba-laba
26
untuk menangani mangsa (Th), mengoleksi laba-laba yang ditemukan menangani mangsa pada bagian keiiseranya, kemudian mengidentifikasi spesies mangsa yang sedang dimakan. Cara tain untuk penilaian kuantitatif predasi dengan cara menghitung langsung jumlah rata-rata mangsa yang ditangkap seekor predator per hari adalah menurut formula yang dikemukakan oleh Kiritani et a/. (1972) yaitu :
n = F. CR4Pr yang
n adalah rataan jumlah mangsa yang dimangsa oleh seekor
predator per rumpun per hari;
F adalah rata-rata jumlah laba-laba yang
teramati sedang makan per rumpun padi pada saat pengamatan, Pr adalah peluang penemuan laba-laba yang makan (rataan nilai Pr untuk Pardosa =
0,835).dan C adalah jumlah total laba-laba yang aktif makan selama interval waktu standar. Keuntungan utama dari metode ini adalah dapat menduga predasi tanpa mengetahui populasi predator (Kiritani et a/. 1972, Heong 1984, Kidd & Jewis 1996). Cara ini dapat dilakukan langsung dalam kondisi lapang
dengan
mengamati
secara
langsung
aktivitas
laba-laba
pseudoannulafa dalam memangsa spesies serangga hama tertentu. et
P.
Kiritani
a/.(1972) menyebutkan bahwa berdasarkan rumus tersebut di atas mereka
menentukan jumlah nimfa dan dewasa wereng hijau Nephoteffix cinticeps Uhler yang dimangsa oleh seekor laba-laba P. pseudoannulafa per hari. Penelitian tentang predator umumnya memperhatikan hanya pada jumlah mangsa yang dibunuh, tetapi
tidak besamya yang dicerna, sebab
laba-laba sering membunuh lebih banyak dari yang mereka butuhkan. Berdasarkan hasil percobaannya ternyata jumlah mangsa yang dibunuh oleh iaba-laba
berbeda besar antara laba-laba yang belum kenyang dan yang
kenyang.
Derajat kelaparan juga ditentukan oleh besamya makanan yang
27
tertinggal dalam usus; untuk memperoleh nilai tersebut maka kemampuan menampung mangsa oleh usus dan rata-rata makanan yang dikeluarkan kernbali perlu diketahui (Nakamura 7968, 1972). Peranan laba-laba sebagai predator perlu dievaluasi untuk dapat membuktikan sejauh mana perannya dalam memangsa serangga terutama terhadap hama penting. Banyak penelitian yang tefah dilakukan masih terbatas dilakukan dalam kondisi laboratorium. Pada umumnya perwbaanperwbaan yang dilakukan untuk pengujian pemangsaan atau tingkat predasi dilakukan dalam kondisi laboratorium yang tentunya lingkungannya sudah mengalami perubahan dan yang alami. Percobaan dalam kondisi laboratorium akan mempengaruhi perilaku predator seperti laba-laba serigala yang dikenal sebagai pemburu mangsa karena dalam kondisi demikian ruang geraknya terbatas. Percobaan dalam kondisi lapangan diharapkan dapat memberikan informasi yang lebih akurat (Kidd & Jervis 1996). Sarnpai saat ini informasi yang diperoleh dari lapangan mengenai interaksi antara predator dan rnangsa masih terbatas dengan beberapa alasan : (1) secara teknis sukar melakukan pendugaan kerapatan populasi predator dan mangsa, (2) penilaian kuantitatif pengaruh predasi pada populasi mangsa memerlukan beberapa teknik ketrampiian khusus, dan (3) sifat polifag dari predator terhadap serangga mangsanya baik stadium pradewasa maupun dewasa menyebabkan penilaian tingkat predasi menjad~ sulit (Kiritani & Kakiya 1975).
Daftar Pustaka Agnew, Ch. W. & J. W. Smith JR. 1989. Ecology of spiders (Araneae) in a peanut agroecosystem. Environ. Entomol. 18(1) : 3042. Alderweireldt, M. 1989. An ecological analysis of the spider fauna (Araneae) occuring in maize fields, Italian ryegrass fields and their edge zones, by means of different multivariate techniques. Agric, Ecosyst. & Environ. 27 : 293 - 306. Altieri, M. A. & L. L. Schmidt. 1986. The dynamics of colonizing arthropod communities at the interface of abandoned, organic and commercial apple orchards and adjacent woodland habitats. Agric. Ecosyst. Environ. 16 : 29 - 43. 1987. Kemampuan predator (Paederus sp.. Arifin, K. & T. Sumarto. Ophionea sp. dan Lycosa sp.) dalam memangsa wereng coklat (Nilaparvata Iugens Stal.) pada tanaman padi di rumah kaca. Makalah disampaikan pada Kongres Entornologi Ill. Jakarta. 30 September - 2 Oktober 1987. Barrion, A. T. 1980. The spider fauna of Philippine dryland and wetland rice agroecosystems. Faculty of the Graduate School, University of the Philippines at Los Banos. Thesis. 276 p. Barrion, A. T. & J. A. Litsinger. 1990. Taxonomy of rice insect pests and their arthropod parasites and predators. Department of Entomology, International Rice Research Institute. Manila. 580 p. Barrion, A. T. & J. A. Litsinger. 1994. Taxonomy of rice insect pests and their arthropod parasites and predators. In E. A. Heinrichs (ed). Biology and management of rice insects. Publishing for One World Wiley Eastern Limited New Age lnternational Limited. pp 13 - 362. Barrion, A. T. 8, J. A. Litsinger. 1995. Riceland spider of South and Southeast Asia. lnternational Rice Research Institute. Manila. CAB International. 716 p. Bishop, L. 1990. Meteorological aspects of spider ballooning. Environ. Entomol. 19(5) : 1381 - 7387. Bishop, L. & S. E. Riechert. 1990. Spider colonization of agroecosystern : Mode and source. Environ. Entomol. 19(6): 1738 - 1745.
Cheng, J. 1995. Arthropod community structures in rice ecosystem of China. Paper presented at the Workshop on Sustainable IPM in Tropical Rice, Bogor, Indonesia. 5 - 7 December 1995. 15 p. Chiu, S. S. C. 1977. Biological control of brown planthopper, Nilapanrata lugens. Brown Planthopper Symposium, IRRI, Los Banos 18 - 22 April 1977. 48 p. Foelix, R. F. 1982. Biology of spiders. Harvard University Press. Cambridge, Massachusetts, and London, England. 306 p. Heinrichs. E. A. 1994. Rice. In E. A. Heinrichs (ed). Biology and management of rice insects. Publishing for One World Wiley Eastern Limited New Age International Limited. pp 1 12.
-
Heong, K. L. 1984. Quantitative evaluations in biological control. Lumpur, Malaysia. 19 p.
Kuala
Hung, N. Q. & L. P.Lan. 1995. Progress study on the arthropod community of rice ecosystems in the Mekong Delta, Vietnam. Paper presented at the Workshop on Sustainable IPM in Tropical Rice, Bogor, Indonesia. 5 - 7 December 1995. 19 p. Immonen, K & J. Itamies. 1994. Wolf spiders (Araneae, Lycosidae) in four habitats in Kuhno, Central Finland. Memoranda Soc. Fauna Flora Fennica 70: 87 - 94. lnternational Rice Research Institute. 1978. Annual Report for f977. Los Banos, Philippines. 548 p. International Rice Research Institute. 1979. Annual Report for 7978. Los Banos, Philippines. 478 p. International Rice Research Institute. 1980. Annual Report for 1979. Los Banos, Philippines. 538 p. Jackson, R. R. & S. D. Pollard. 1996. Predatory of jumping spiders. Rev. Entomol. 41 : 195-308.
Annu.
Kamal, N. Q., A. Odud & A. Begum. 1990. The spider fauna in and around the Bangladesh Rice Research Institute farm and their role as predator of rice insect pest. Philipp. EntomoI. 8(2) 771-777.
Kaston, B. J. 1978. How to know the spiders. The Pictured Key Nature Series. Wm. C. Brown Company Publishers Dubuque, Iowa. 272 p. Kidd, N. A. C & M. A. J ~ N ~ s .1996. Population Dynamics. In M. Jervis & N. Kidd. (eds). Insect natural enemies. Practical approaches to their study and evaluation. Chapman & Hall London. 293-374. Kiritani, K & N. Kakiya. 1975. An analysis of the predator-prey system in the paddy field. Res. Popul. Ecol. 17, 29 - 38. Kiritani, K., S. Kawahara, T. Sasaba & F. Nakasuji. 1972. Quantitative evaluation of predation by spiders on the green rice leafhopper, Nephotettix cinficeps Uhler, by a sightcount method. Res. Popul. Ecol. 13: 187 - 200. Koponen, S. 1996. Diversity and similarity of northern spider faunas. Acta Zool. Fennica. 201 : 3 - 5. Luck, R. F. 1992. Techniques for studying the impact of natural enemies. In P.A.C. Ooi, G. S. Lim & P. S.Tengk (eds). Biological Control : Issues in the tropics. Proceeding of the biological control session third, International Conference on Plant Protection in the Tropics Held in Genting Highlands, Malaysia. pp 69-83. Mangan, R. L. & R. A. Byers. 1989. Effects of minimum tillage practices on spider activity in old field swards. Environ. Entomol. 18(6) : 945-952. Mclver, J. D. & C. H. Tempelis. 1993. The arthropod predators of ant-mimetic and aposematic prey : A serological analysis. Ecol. Entomol. 18 : 218 -
222. Nakamura, K. 1968. The ingestion in wolf spiders. I. Capacity of gut of Lycosa pseudoannulafa. Res. Popul. Ecol. 10: 45 - 53. Nakamura, K. 1972. The ingestion in wolf spiders. II. The expression of degree of hunger and amount of ingestion in relation to spiders hunger. Res. Popul. Ecol. 14: 82 - 96. Nugaliyadde, L. 1995. Population growth of rice brown planthopper in Sri Lanka. Paper presented at the Workshop on Sustainable IPM in Tropical Rice, Bogor, Indonesia. 5 - 7 December 1995. 14 p.
Nyffeler, M. & G. Benz. 1988. Feeding ecology and predatory importance of wolf spiders (Pardosa spp.) (Araneae, Lycosidae) in winter wheat fields. J. Appl. Entomol. 106: 123-134. Nyffeler, M., D. A. Dean & W. L. Sterling. 1987a. Evaluation of the importance of the striped lynx spider, Oxyopes salticus (Araneae, Oxyopidae) as a predator in Texas cotton. Environ. Entomol. 16(5): 1114-1123. Nyffeler, M..D. A. Dean & W. L. Sterling. 1987b. Predation by lynx spider, Peucetia viridans (Araneae: Oxyopidae), inhabiting cotton and woolly croton plants in East Texas. Environ. Entomol. 16(2): 355-359. Nyffeler, M.,W.L. Sterling & D. A. Dean. 1994. How spiders make a living. Environ. Entomol. 23(6) 1357-1367. Ooi, P. A. C. & 6. M. Shepard. 1994. Predators and parasitoids of rice insect pests. In E. A. Heinrichs (ed.) Biology and management of rice insects. Publishing for One World, Wiley Eastern Limited, New Age International Limited. pp 585 - 612. Plagens, M. J. 1986. Aerial dispersal of spiders (Araneae) in a Florida corn field ecosystem. Environ. Enomol. 12 : 572 - 575. Powell, W., M. P. Walton & M. A. Jervis. 1996. Populations and communities. In M. Jervis & N. Kidd (eds). Insect natural enemies. Practical approaches to their study and evaluation. Chapman & Hall, London. 223-292 Riechert. S. E. & T. Lockley. 1984. Spiders as biological control agents. Annu. Rev. Entomol. 29: 299-320. Roach. S. H. 1987. Observation on feeding and prey selection by Phidippus audax (Hentz) (Araneae : Salticidae). Environ. Entomol. 16 (5): 1098 2102. Robinson. M. H. 1982. Courtship and mating behavior in spiders. Annu. Rev. Entomol. 27 : 1-20. Rubia. E. G., L. P. Almazan & K. L. Heong. 1990. Predation of yellow stem borer (YSB) moths by wolf spider. IRRN. 15 (5).
Settle, W. H.. H. Ariawan, E. T. Astuti, W. Cahyana. A. L. Hakirn. D. Hindayana, A. S. Lestari, Sartanto & Pajarningsih. 1996. Managing tropical rice pests through conservation of generalist natural enemies and alternative prey. Ecology. 77(7): 1975-1988. Shepard, 6. M.,A. T. Barion & J. A. Litsinger. 1987. Friends of the rice farmer. Helpful insects, spiders, and pathogens. IRRl Los Banos, Laguna Philippine. ?36p. Shepard, M., E. F. Shepard, G. R. Carner, M. D. Hammig, A. Rauf, S. G. Turnipseed & Samsudin. 1997. Prospects for 1PM in secondary food crops. Paper dipresentasikan pada Konggres V dan Simposium Entomologi, Perhimpunan Entomologi Indonesia Bandung, 24 - 26 Juni 1997. 1-30. Southwood, T. R. E. 1978. Ecological methods with particular reference to the study of insect populations. The English Language Book Society and Chapman and Hall. 524 p. van den Berg, H., K. Hasan & M. Marzuki. 1998. Evaluation of pesticide effects on arthropod predator populations in soya bean in farmers' fields. Biocontr. Sci. Technol. 8 : 125 - 137. Vungsilabutr, P. 1995. Population growth pattern of the rice brown planthopper in Thailand (in relation to the population of its parasitoids and predator). Paper presented at the Workshop on Sustainable IPM in Tropical Rice, Bogor, Indonesia, 5 - 7 December 1995. 30 p. Waage, J. 1992. Quantifying the impact of pesticides on natural enemies. In P. A. C. Ooi, G. S. Lim & P. S. Tengk (eds). Biological control : Issues in the tropics. Proceeding of the Biological Control Session Third, International Conference on Plant Protection in the Tropics Held in Genting Highlands, Malaysia. pp 85-99. Withcornb, W. H. 1980. Sampling spiders in soybeanfields. fn M. Kogan & D. C. Herzog. (eds). Sampling methods in soybean entomology. Springer - Verlag, New York. pp. 544 - 558. Yeargan, K. V. 1994. Biology of bolas spiders. Annu. Rev. Entornol. 39 : 8189.
BAB Ill KOMUNITAS LABA-LABA Dl EKOSlSTEM PERTANAMAN PAD1 Abstrak Penelitian bertujuan untuk memahami struktur kornunitas laba-laba pada empat tipe ekosistem pertanaman padi. Percobaan dilakukan di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat dan berlangsung selama musim gadu dan m u s h rendengan (Agustus 1997 - April 1998). Pengamatan laba-laba dilakukan dengan perangkap jebakan
dan pengisap D-vac. Hasil penelitian rnenunjukkan bahwa di pertanaman padi terkoleksi 46 spesies laba-laba yang tergolong ke dalam -I7 famili, dan 16 spesies di antaranya sudah ada sejak persemaian. Jenis laba-laba yang paling dominan baik di persemaian maupun pertanaman adalah laba-laba serigala, Pardosa
pseudoannulafa (Boes. & Str.). Keragaman spesies laba-laba pada berbagai ekosistem pad! berkaitan dengan pola tanam, vegetasi sekitar persawahan, dan penggunaan pestisida.
Pendahuluan Serangga dan laba-laba adalah kelompok artropoda yang mendominasi ekosistem pertanaman padi. Laba-[aba merupakan kelornpok predator yang terbesar (60 %) dari guild predator (Cheng 1995). Umumnya bersifat predator terhadap serangga dan dapat menekan populasi berbagai spesies serangga hama, namun perannya tidak diteliti dengan baik (Horn 1988). Untuk pemanfaatan yang optimal terhadap laba-laba sebagai agens yang potensial menekan populasi serangga hama, maka perlu pemahaman yang lebih detil tentang keragaman spesies dan kelimpahannya pada berbagai ekosistem (Altieri & Schmidt 1986, Turnbull 1973).
Hasil penelitian tentang laba-laba pada ekosistem pertanaman padi di beberapa negeri telah dilaporkan antara lain dari Filipina (Barrion 1980), Korea (Okuma, Lee & Hokyo 1978). Jepang (Kobayashi & Shibata 1973) dan Cina (Cheng 1995). Barrion & Litsinger (1995) telah mengidentifikasi 342 spesies yang tergolong dalam 132 genus pada 26 famili yang tersebar di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Beberapa contoh laba-laba yang diperoleh dari lndonesia terbatas dari beberapa daerah persawahan di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Yogyakarta (Barrion & Litsinger 1995). Keragaman spesies tergantung
pada
dan
kelirnpahannya datam suatu
lingkungannya.
lndonesia
dikenal
ekosistem
sangat
kaya
keanekaragaman flora dan faunanya karena terletak di daerah khatulistiwa yang terdiri dari kepulauan. Kondisi ini juga turut mempengaruhi komunitas laba-laba sebagai bagian dari fauna. Menurut laporan di Filipina terdapat perbedaan keragaman spesies laba-laba antara lahan sawah rendah beririgasi, lahan sawah yang agak tinggi beririgasi dan sawah tadah hujan (Barrion & Litsinger 1995). Pada pertanaman padi terdapat beberapa spesies laba-laba sangat potensiat sebagai agens pengendalian hayati karena rnernangsa berbagai spesies serangga hama penting pada pertanaman padi (Shepard et
a/.
1987), tetapi informasi tentang spesies-spesies laba-laba terutama yang potensial di sentra pertanaman padi lndonesia sangat terbatas. Daerah persawahan Kabupaten Cianjur merupakan salah satu lumbung padi yang penting di Jawa Barat, dengan keragaman lingkungan sekitar persawahan serta cara pengelolaan yang berbeda. Keragaman jenis dan struktur vegetasi di sekitar persawahan dan cara pengelolaan persawahan
terlihat pada berbagai tipe ekosistem padi yang dijadikan tempat percobaan dan diduga turut berpengaruh pada keadaan ekosistem pertanaman padi. Oleh karena itu perlu penelitian yang dapat memberikan informasi lebih banyak
tentang
keberadaan laba-laba peranan
mengoptimalkan
laba-laba
dalam dalam
ekosistem
padi
untuk
ekosistem
itu
serta
penyempurnaan teknik pengendalian harna terpadu (PHT) pada tanaman padi. Penelitian bertujuan memahami (1) komunitas laba-laba di persemaian dan pertanaman, (2)
dominasi spesies laba-laba, dan (3) keragaman
spesies laba-laba pada empat tipe ekosistem pertanaman padi.
Bahan dan Metode
Percobaan dilakukan pada empat
lokasi persawahan Kabupaten
Cianjur, Jawa Barat. ldentifikasi laba-laba dilakukan di Laboratorium Ekologi Serangga, Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, lnstitut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus 1997 hingga Agustus 1998. Empat lokasi persawahan yang digunakan masing-masing mewakili persawahan dengan pola tanam padi
-
padi
-
padi beririgasi teknis dengan
pengelolaan sawah secara teknis (tipe A) di Desa Hegarmanah Kecamatan Bojong Picung, pola tanam padi
-
padi
-
padi beririgasi lokal dengan cara
pengelolaan tradisional (tipe 3)di Desa Mandalawangi Kecamatan Cipatat, pola tanam padi
-
padi
-
kedelai beririgasi teknis dengan cara pengelolaan
teknis (tipe C) di Desa Mekarwangj Kecamatan Ciranjang, dan pola tanam padi
-
padi
-
bera beririgasi teknis dengan pengelolaan teknis (tipe D) di
Desa Kertamukti Kecamatan Ciranjang. Luas persawahan pada masingmasing lokasi adalah 0.4 ha. Varietas padi yang digunakan adalah IR-64. Cara-cara bercocok tanam disesuaikan dengan yang dilakukan oleh petani setempat. Komunitas laba-laba di persemaian Pengamatan laba-laba dilakukan dengan pengisap D-vac.
pada
persemaian padi musim gadu di ernpat tipe ekosistem padi seperti yang disebutkan di atas (April - Mei 1998). Petak pengarnatan berukuran 6 x 1 m yang terdiri dari dua bedengan. Subpetak contoh ditetapkan 12 unit per petak pengamatan yang tiap unitnya berukuran 30 x 30 cm. Unit tersebut ditentukan secara sistematis, mewakili bagian tengah dan bagian tepi petak persemaian. Sebelum pengisapan laba-laba, pada unit contoh ditempatkan kurungan pembatas berukuran 30 x 30 x 40 cm, kemudian laba-laba diisap dengan pengisap D-vac. Selang waktu pengarnatan adalah 3 hari dimulai pada 5 hari setelah sebar (hss) sampai bibit akan dipindahkan. Kornunitas laba-laba di pertanaman Pengamatan komunitas laba-laba dilakukan di pertanaman padi musim gadu dan musim rendengan. Pengamatan dilakukan dengan perangkap jebakan dan pengisap D-vac. Perangkap jebakan mengamati spesies labalaba yang aktif di pematang, sedangkan D-vac mengamati spesies yang berada di bagian tajuk padi. Perangkap jebakan berupa gelas akua (isi 240 ml) berisi larutan formaiin 4 % sebanyak 25 ml. Untuk menghindari hujan, perangkap itu diberi penutup. Perangkap jebakan diternpatkan di secara
sistematis
di
pematang
dengan
jarak
+
8
m.
sawah
Perangkap
dipertahankan terpasang selama 3 x 24 jam. Selang waktu pengamatan 2 minggu, dimulai sejak 2 mst hingga menjelang panen. Jumlah perangkap pada masing-masing lokasi persawahan adalah 45 buah. Pengamatan dengan pengisap D-vac. di pertanaman padi musim gadu dilakukan pada 144 rumpun padi yang terdiri dari 12 unit contoh terdiri dari 12 rumpun per unit contoh. Dalam musim tanam ini dilakukan enam kali pengamatan (pada umur 2, 4, 6, 8, 10 dan 12 mst). Pengamatan dengan cara yang sama dilanjutkan pada pertanaman padi musim rendengan di empat tipe ekosistem. Penetapan unit contoh dilakukan secara sistematis yaitu yang
mewakili
bagian tepi
dan
bagian tengah
petak
sawah.
Pengamatan dilakukan dengan selang waktu satu minggu terhitung sejak tanaman berumur Imst hingga menjelang panen (12 mst). Laba-laba yang
diperoleh
dikoleksi
dalam
alkohol
70
%
dan
diidentifikasi di laboratorium. ldentifikasi berdasarkan ciri morfologi bagian tubuh laba-laba antara lain susunan dan letak mata, rambut-rambut pada tarsus, duri pada femur dan tarsus, bentuk dan ukuran palpus, bentuk dan ukuran abdomen. ldentifikasi diupayakan sampai spesies atau setidaknya sampai genus menurut kunci yang tersedia (Barrion & Litsinger 1994, 1995). Dominansi famili dan spesies ditetapkan berdasarkan proporsinya dari hasil yang diperoleh dengan pengisap D-vac. pada musim rendengan. Keanekaragaman spesies Keragaman dan indeks kemerataan spesies di empat tipe ekosistem padi ditetapkan berdasarkan data yang diperoleh dari pengambilan contoh dengan pengisap D-vac. musim rendengan bersamaan dengan pengamatan
komunitas laba-Iaba di persemaian dan pertanaman. Penentuan penetapan tingkatan keragaman spesies laba-laba di empat tipe ekosistem didasarkan pada formula indeks keragaman (H) menurut Shannon & Weaner. Untuk menentukan tingkat kemerataan spesies laba-laba pada tiap tipe ekosistem, maka juga ditentukan indeks kemerataan (E) (Begon, Harper & Townsend 1986. Magurran 1987) sebagai berikut : (1) lndeks keragaman spesies (H)
s H = - C pi /n pi i=l
Pi = proporsi tiap spesies s = spesies (2) lndeks kemerataan spesies (E)
E=H/InS S = jumlah spesies
Hasil dan Pembahasan Persemaian Hasil pengamatan dengan pengisap D-vac. di persemaian terkoleksi 16 spesies yang !ergolong ke dalam 8 famili. Persemaian merupakan suatu ekosistem yang sederhana dan terbentuk dalam waktu yang relatif singkat. Walaupun demikian telah ditemukan sejumlah spesies laba-laba (Tabel 3.?). Beberapa spesies yang sering ditemukan dan populasinya relatif lebih tinggi yaitu Pardosa pseudoannulafa (Boes.& Str.), Afypena. adelinae (Barr.& Lit.), dan
Dishiriognatha hawigtenera
kemampuan yang
baik
Barr.&
laba-laba
Lit.
tersebut
Hal
ini
dalam
disebabkan oleh pemencaran yaitu
39
pemencaran secara aktif dengan berjalan di perrnukaan tanah, serta pemencaran secara pasif dengan terbawa melalui udara (Bishop 1990, Bishop &
Riechert
1990, Plagens 1986).
Laba-laba serigala,
P.
pseudoannulata dapat secara aktif bergerak di atas permukaan tanah dan terbawa melalui udara. A. adelinae dan D. hawigtenera biasanya tergolong dalam laba-laba pembuat jaring yang menginvasi persemaian melalui udara dan memerlukan ruang untuk membuat jaring.
Pematang Pengamatan dengan perangkap jebakan rnenunjukkan bahwa pada pematang terdapat 16 spesies Iaba-laba yang tergolong dalam 7 famili (Tabel 3.1). Secara umum laba-laba yang terperangkap pada perangkap jebakan adalah kelompok laba-laba pernburu yang aktif di atas permukaan tanah seperti P. pseudoannulata dan Pardosa birrnanica Simon. Hasil ini sejalan dengan pernyataan dari ahli lainnya yakni pengamatan dengan perangkap jebakan
terbatas
pada
artropoda yang
aktif
bergerak di
permukaan tanah (Southwood 1978, Whitcomb 1980). Laba-laba . serigala termasuk kelompok laba-laba yang aktif bergerak di permukaan tanah dan pemburu mangsa yang sangat aktif (NyfFeler et al. q994). Di samping itu juga diternukan kelompok laba-laba pembuat jaring seperti A. adelinae dan Erigone bifurca Locket. Kedua spesies itu dapat membuat jaring di rumput liar yang ada di pematang dan celah tanah.
Tabel 3.1
Rataan kelimpahan relatif (%) dari berbagai spesies labalaba pada persemaian dan pertanaman padi di Cianjur (Desember 1997 - Mei 1998)
Famili dan Spesies Lycosidaae Pardosa pseudoannulata (Boes & Str.) Pardosa birmanica Simon Pardosa sp. P h t a blabackensis Barr & Lit. Arctosa sp. Hippassa holmerae Thorell Araneidae Araneus inustus C. L. Koch Araneus sp. Argiope cafenulata (Doleschall) Hyposinga pygmae (Sundevall) Neocosoma sp. Lanhia sp. Tetragnathidae Tetragnatha virescens 0kuma Tetragnathajavana (Thorell) Tetragnatha nitens Aundouin Tetragntaha mandibulata Walkener Tetragnatha maxillosa Thorell Tetragnatha vetmiforms Emerton Dyshiriognatha hawigtenera Bar.& Lit. Lyniphiidae Atypena adelinae Barr. 8 Lit. Bathyphanfes sp. Enigone bifurca Locket Coelosoma sp. Oxyopidae Oxyopesjavanus Thorell Oxyopes lineatipes C.L. Koch Theriidae Theridion kambalum Barr. & Lit. Theridion lumabani Barr. & Lit. Theridion otsospotum Barr. 8 Lit. Theridionpunongpalayum Barr. & Lit Salticidae Bianor sp. Plexippus sp. Phidippus sp. Telamonia sp. Myrmarachne caliraya Barr. Lit. Phintella sp. Clubionidae Clubionajaponicola Boes & Str. Cheiracanthium sp.
Kelimpahan relatif ( O h ) Persemaian Pematang Pertanaman
Lanjutan Tabel 3.1 Kelimpahan relatif (%) Persemaian Pematang Pertanaman
Famili dan Spesies Gnaphosidae Micrania sp Eupamssidae Heferopoda sp. Metidae Leucage celebensiana (Wal kener) Thomisidae Runcinia albosin'ata Boes. & Str. Pisauridae malassius botreli Barr & Lit. Pholcidae Pbolcus sp. Barychelidae ldioctis sp. Theridiosomathidae Wendilgarda sp. Uloboridae Myagramrnopes sp. Total
0.1 0.2 0.5 0.1 < 0.t
< 0,l < 0,l <0,l
< 0,l 100
100
100
Pertanaman Pengamatan rnendapatkan 45
dengan
pengisap
D-vac.
di
pertanaman
spesies laba-laba yang tergolong dalam
berhasil
16 farnili.
Beberapa spesies yang sering ditemukan dan popuiasinya relatif tinggi adalah P. pseudoannulata, A. adelinae, D. hawigtenera, dan A. inustus. Apabila dibandingkan dengan hasil yang diperoleh dari persernaian dan pernatang, rnaka di pertanaman relatif lebih beragarn spesiesnya karena relung yang
tersedia
bagi sejurnlah besar
laba-laba
lebih luas.
Di
pertanaman laba-laba P. pseudoannulafa dapat rnenghuni bagian pangkal rumpun hingga bagian tajuk dengan mernangsa beragam jenis artropoda yang ternah, sedangkan Iaba-laba pembuat jaring seperti, A. adelinae, D. hawigtenera, dan A. inusfus biasanya membuat jaring di dalam rumpun dan
di ruang antar rumpun padi. Berkembangnya anakan rnemungkinkan bagi laba-laba tersebut membuat jaringnya. Jumlah spesies laba-laba yang terkoleksi lebih banyak dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan di negeri lain. Diduga akan lebih banyak lagi spesies yang ditemukan apabila area pengamatan diperluas dan rentang waktu diperpanjang. Barrion (1980) telah melaporkan 51 spesies laba-laba yang tersebar pada pertanarnan padi lahan kering, sawah tadah hujan dan sawah beririgasi di Filipina. Kobayashi
& Shibata (1973)
melaporkan 23 spesies yang tergolong dalam 8 famili di Jepang. Okuma, Lee & Hokyo (1978) melaporkan 21 spesies pada pertanaman padi yang tersebar
di Korea.
Dengan demikian terlihat bahwa di daerah tropis keragarnan
spesies laba-laba lebih tinggi dari sub tropis. Menurut Koponen (1996) keragaman spesies dan populasi berkurang dari daerah tropis ke utara dan terendah di kutub utara. Dorninasi spesies
Enam belas famili laba-laba, yang ditemukan dl persernaian dan pertanaman padi, dapat dikelompokkan ke dalarn dua guild yaitu (1) labalaba pemburu dari famili Lycosidae, Clubionidae, Oxyopidae, Salticidae, Gnaphosidae, Eupassidae, Pisauridae, Thomisidae dan Barychelidae, dan
(2)
laba-laba
pernbuat
jaring
dari
famili
Araneidae,
Theriidae,
Tetragnathidae, Theridiosomathidae, Lyniphiidae, Pholcidae dan Metidae. Sementara Barrion & Litsinger (1995) rnemgelornpokkannya dalam tiga guild yaitu laba-laba pemburu, laba-laba pembuat jaring bulat dan laba-laba kerdil pembuat jaring.
Kelompok laba-laba pemburu mendominasi
komunitas laba-laba di
ekosistem padi terutama famili Lycosidae, sedangkan kelompok laba-laba pembuat jaring didominasi oleh famili Lyniphiidae. Selain itu, famili Tetragnathidae dan Araneidae sering ditemukan pada pertanaman padi dengan kelimpahan relatif lebih dari 5 % (Gambar 3.1).
H Tetragnathidae
Persemaian
Pematang
Pertanaman
Gambar 3.1 Proporsi famili yang dominan di persemaian, pematang dan pertanaman (Desember 1997 -April 1998) Dari 46 spesies yang terkoleksi di persemaian, pematang dan pertanaman, ternyata hanya empat spesies yang relatif dominan yaitu P. pseudoannulata, A. inustus, D. hawigtenera, dan A. adelinae. Laba-laba serigala, P. pseudoannulata dominan di persemaian, pematang dan h dan pertanaman dengan kelimpahan relatif masing-masing 68,5 %, 52,O O 48,1%. Menurut Turnbull (1973) proporsi populasi spesies laba-laba di atas
40 % dalam suatu komunitas laba-laba termasuk sangat dominan. Beberapa
faktor yang mendukung tingginya dominansi spesies laba-laba itu dapat
rnenginvasi secara aktif dengan bergerak di perrnukaan tanah dan melayang secara aktif mernburu rnangsa tanpa
dari habitat sekitar pertanaman,
membangun jaring dan ukuran tubuh yang relatif besar untuk melumpuhkan beragarn ukuran rnangsa. Selanjutnya spesies lainnya kelimpahan relatifnya lebih rendah yaitu A. inustus 7.6 15,2
Oh.
Oh,
D. hawigtenera 5,6
Oh
dan A. adelinae
Spesies-spesies itu memencar dan menemukan habitat secara pasif
melalui udara dan terbatas dalam memperoleh mangsa yakni hanya yang tertangkap jaring yang dibangunnya. Pada 41 spesies lainnya kelimpahan relatifnya rendah (c5 %). Keanekaragaman spesies Di persemaian padi tipe B
mengandung paling banyak spesies (12
spesies), diikuti oleh tipe C dan D (enam spesies), dan tipe A (lima spesies). Di pertanaman, ekosistem padi tipe B mengandung paling banyak spesies yaitu 37 spesies, diikuti tipe
D dengan 31 spesies, tipe C dengan 32 spesies
dan tipe A dengan 28 spesies.
lndeks keragarnan spesies berbeda pada
tiap tipe ekosistem baik pada persemaian rnaupun pertanaman dan relatif lebih tinggi pada ekosistern padi tipe 3. Selanjutnya analisis jndeks kernerataan spesies rnenunjukkan bahwa nilai indeksnya relatif rendah dan hampir sama di empat tipe ekosistem. lndeks keragaman dan kemerataan spesies laba-laba disajikan pada Tabel 3.2. Kerapatan populasl setiap spesies pada tiap tipe ekosistem di persernaian dapat dilihat pada Tabel Lampiran 3.1 dan di pertanaman dapat dilihat pada Tabel Lampiran 3.2. Beberapa faktor yang mendukung lebih tingginya keragaman spesies pada persernaian di Mandalawangi (tipe B) antara lain keadaan sekitar persemaian yang sangat beragarn tipe vegetasinya. Selain itu, lahan yang belurn diolah di
sekitar
persernaian
mengandung banyak
ditumbuhi
singgang. Kedua habitat ini dapat menjadi sumber kolonisasi laba-laba. Pada ketiga tipe persemaian, pengolahan sawah dilakukan bersamaan dengan pembuatan pesemaian sehingga pada hamparan sawah yang luas jarang ditemukan vegetasi. Hal ini membatasi kemungkinan laba-laba bermukim di lahan tersebut dan migrasi ke pesemaian. Dalam hubungan itu Alderweireldt (1989) menyatakan bahwa keragaman spesies laba-laba berkurang dengan bertambahnya jarak dari vegetasi di tepi lahan. Agnew & Smith (1989) menyatakan bahwa rekolonisasi oleh laba-laba pada setiap musim tanam terjadi dengan imigrasi dari habitat sekitar dengan cara melayang dan atau secara aktif berpindah secara bertahap. Lahan yang berdekatan dengan ekosistem alami biasanya keragaman spesies laba-laba lebih tinggi di bandingkan dengan yang jauh. Tabel 3.2 Keragaman spesies laba-laba pada persemaian dan pertanaman di empat tipe ekosistem padi (April - Agustus 1998)
Persernaian Tipe A
B
C D Pertanaman Tipe A B C D
lndeks keragaman spesies
Indeks kernerataan spesies
0.885 1.243 0,839 0,707 1,788 2,181 1.920 1,628
0,550 0,518 0,468 0,394 0.555 0,604 0,554 0,474
Di samping itu terdapat beberapa cara pengelolaan yang turut berpengaruh terhadap keragaman spesies laba-laba.
Keragaman spesies
laba-laba juga ditentukan oleh adanya gangguan, seperti penggunaan pestisida. Rendahnya keragaman spesies di persemaian tipe A dan D
disebabkan oleh adanya aplikasi insektisida. Pada persemaian tipe A diapl~kasi atau penaburan insektisida Curater dan persemaian tipe D diaplikasi dengan penyemprotan insektisida Bassa untuk mengendalikan serangga hama. lndeks keragaman spesies laba-laba di pertanaman tertinggi pada ekosistem sawah tipe B, diikuti tipe D, A dan C.
Beberapa faktor yang
menyebabkan perbedaan keragaman spesies pada tipe ekosistem adalah keragaman jenis dan struktur vegetasi di sekitar pertanaman serta cara pengelolaan persawahan. Beragamnya vegetasi di sekitar persawahan turut berperan mempengaruhi keberadaan laba-laba pada persawahan. Pada persawahan tipe B terdapat vegetasi di sekitamya yang terdiri dari banyak jenis pohon dan berdekatan dengan [ahan kering yang ditanami dengan beragam jenis tanaman. Di persawahan tipe D terdapat vegetasi perdu di bagian bawah areal persawahan yakni sepanjang saluran air; persawahan tipe C berdekatan dengan perumahan penduduk dan sedikit pohon;
dan
persawahan tipe A dengan hamparan sawah yang sangat luas dan struktur vegetasi yang kurang beragam. Hasil ini juga mirip dengan hasit penelitian Barrion & Litsinger (1995) yaitu bahwa keragaman spesies biasanya lebih tinggi pada persawahan rendah yang basah dan beririgasi baik diband~ngkan dengan lahan sawah yang terdapat di tempat yang agak tinggi. Cara pengelolaan sawah yang berbeda antara petani diduga turut mempengaruhi keberadaan laba-laba.
Petani di
persawahan tipe
B
menanam padi tidak bersarnaan, memungkinkan beberapa tingkatan urnur tanaman datam satu hamparan, sedangkan pada tiga tipe yang lainnya pada umumnya melakukan penanaman yang hampir bersamaan dalam kisaran waktu dua minggu. Faktor lain yang turut berperan pada ekosistem adalah penggunaan pestisida.
Lahan sawah di Mandalawangi (tipe 6) tidak
47
diaplikasi dengan insektisida untuk mengendalikan hama, sedangkan lahan sawah di Kertamukti (tipe D) dan Mekarwangi (tipe C) jarang diaplikasi dengan insektisida dan di Hegarmanah (tipe A) sangat sering diaplikasi dengan insektisida untuk mengendalikan hama.
Nugaliyadde (1995)
melaporkan bahwa populasi laba-laba pada sawah yang tidak diaplikasi dengan insektisida lebih banyak dari pada yang diaplikasi insektisida. Kiritani et a/. (1972) menyatakan bahwa laba-laba berperan penting sebagai agens yang memangsa hama pada tanaman padi yang kurang atau tidak diaplikasi dengan insektisida. Berbeda dengan indeks keragaman spesies yang lebih tinggi di ekosistem tertentu, maka indeks kemerataan spesies relatif rendah (0,395 0,604) dan merata di empat tipe ekosistem padi, ha1 ini diduga disebabkan oleh dominansi dari spesies tertentu dan perbedaan jumlah spesies yang tidak besar. Banyak spesies yang proporsinya sangat rendah atau hanya terdiri dari satu atau dua individu.
Kesimpulan Ekosistem persawahan di Kabupaten Cianjur dihuni oleh 46 spesies laba-taba yang tergolong ke dalam 17 famili.
Sebanyak 16 spesies
ditemukan sejak di persemaian. Jenis yang paling dominan adalah taba-taba serigala, Pardosa pseudoannulata (Boes. 8 Str.) Keragaman spesies labalaba pada berbagai ekosistem padi berkaitan dengan pola tanam, vegetasi sekitar dan penggunaan pestisida.
Daftar Pustaka
Agnew, C. W. & J. W. Smith Jr. 1989. Ecology of spiders (Araneae) in a peanut agroecosystem. Environ. Entomol. 18(1) : 30 42.
-
Atdeweireldt, M. 1989. An ecological analysis of the spider fauna (Araneae) occuring in maize fields, Italian ryegrass fields and their edge zones, by means of different multivariate techniques. Agric. Ecosyst. and Environ. 27 : 293 -306. Altieri, M. A. & L. L. Schmidt. 1986. The dynamics of colonizing arthropod communities at the interface of abandoned, organic and commercial apple orchards and adjacent woodland habitats. Agric. Ecosyst. Environ. 16 : 29 - 43. Barrion. A. T. 1980. The spider fauna of Philippine dryland and wetland rice agroecosystem. Faculty of the Graduate School, University of the Philippine at Los Banos. Thesis. 276 p. Barrion, A. T. & J. A. Litsinger. 1994. Taxonomy of rice insect pests and their arthropods parasites and predators. In E. A. Heinrichs (ed). Biology and management of rice insects. Publishing for One World Wiley Eastern Limited New Age International Limited. pp 13 - 362. Barrion, A. T. & J. A. Litsinger. 1995. Riceland spider of South and Southeast Asia. International Rice Research Institut, Manila. CAB International. 716 p. Begon, M.. J. L. Harper & C. R. Townsend. 1986. Ecology. Individual, population and communities. Blackwell Scientific Publications. 876 p. Bishop, L. 1990. Meteorological aspects of spider ballooning. Entomol. 19(5) : 1383 - 1387.
Environ.
Bishop, L. & S. E. Riechert. 1990. Spider colonization of agroecosystem : Mode and source. Environ. Entomol. 19(16) : 1738 - 1745. Cheng, J. 1995. Arthropod community structures in rice ecosystem of China. Paper presented at the Workshop on Sustainable 1PM in Tropical Rice. Bogor, Indonesia, 5 7 December 1995. 15 p.
-
Horn, D. J. 1988. Ecological approach to pest management. The Guilford Press, New York. 285 p.
Kobayashi, S. & H. Shibata. 1973. Seasonal changes in population density of spiders in paddy fields with reference to the ecological control of rice insects pests. Appl. Entomol. Zool. 17(4) : 193 - 202. Koponen, S. 1996. Diversity and similarity of northern spider faunas. Acta Zool. Fenica 201 : 3-5 Kiritani, K-, S. Kawahara, T. Sasaba & F. Nakasuji. 1972. Quantitative evaluation of predation by spiders on the green rice leafhopper, Nephoteffix cinticeps Uhler, by a sightcount method. Res. Popul. Ecol. 13 : 187 -200. Magurran, A. E. 1987. Ecological diversity and its measurement. Princeton University Press, Princeton. New Jersey. 179. Nugaliyadde, L. 1995. Population growth of brown planthopper in Sri Lanka. Paper presented at the Workshop on Sustainable IPM in Tropical Rice, Bogor. Indonesia, 5 - 7 December 1995. 14 p. Nyffeler, M., W. L. Sterling & D. A. Dean. 1994. How spiders make a living. Environ. Entornol. 23(6) : 1357 - 1367. Okurna, C., M. H. Lee & N. Hokyo. 1978. Fauna of spiders in a paddy fields in Suweon, Korea. Esakia 11 : 81 - 88. Plagens, M. J. 1986. Aerial dispersal of spiders (Araneae) in a Florida corn field ecosystem. Environ. Entornol. 15 : 1225 - 1233. Shepard, B. M., A. T. Barrion & J. A. Litsinger. 1987. Friends of the rice farmers. Helpfull insects, spiders and pathogens. IRRl Los Banos, Laguna Philippine. 36 p. Southwood, T. R. E. 1978. Ecological methods with particular reference to the study of insects populations. The English Language Book Society and Chapman and Hall. 524 p. Turnbull, A. L. 1973. Ecology of the true spiders (Araneomorphae). Annu. Rev. Entomot. 18 : 305 - 348. Whitcomb, W. H. 1980. Sampling spiders in soybean fields. In M. Kogan & D. C. Herzog (eds). Sampling methods in soybean entomology. Springer - Verlag. New York pp. 544 - 558.
Tabel Lampiran 3.1 Jumlah tiap spesies laba-laba per 30 cm2(5 kali pengamatan) di persemaian pada empat tipe ekosistem padi (April - Mei 1998) Jumlah (ekor) SDesies Laba-laba
A
B
Fam. Lycosidae P. pseudoannulata P. bmanica P. bkbackensis AIC~OSBsp.
Fam. Ataneidae A. inustus Arsiope SP. Fam. Tetragnathidae T.javana D. hawigtenera Fam. Lyniphiidae A. adelinae Bathyphantes sp. E. btfirn=a Fam. Salticidae Biaw sp. Plexippus sp. Fam. Theriidae T, karnbalum Fam. Clubionidae C. japonicola Fam. Oxyopidae oxppes sp. Total
Keterangan : A, B, C dan D = tipe ekosistem padi
C
D
Tabel Lampiran 3.2 Jumlah tiap spesies laba-laba per 144 rumpun (12 kali pengamatan) di pertanaman pada empat tipe ekosistem padi (Desember 1997- Apnl1998) Jumlah (ekor) Peranaka~Jebakan Pengisap 0-vac. Smsies Laba-laba Fam. Lycosidae P. pseudoannulata P. blm,mica Parxfosa sp. P. Mbackeensis Arcfosa sp. H. h o m e Fam. Araneidae A. inustus A. catenulata Araneus sp. Neocosoma sp. H. pygpnae Lan'nia sp. Fam. Tetragnathidae T. virescens T.javana T. nitens T. mandibulata T. maxillosa T. vmifonnis D. hawigtenera Fam. Lyniphiidae A. adelinae Bathyphantes sp. E. bifurca Coeksoma sp. Fam. Theriidae T. kambalum T. lumabani T. ostopdum T. pmngpaIayum Fam. Oxyopidae Ox~oPesWPFam. SaRicidae
5fafwSP-
PIexppus sp. Phidippus sp. Phintella sp. Telemania sp. M. caliraya Fam. Clubioflidae C. japonicda CheCracanthium SP.
A
B
C
D
A
R
141 118 11
90 61 24 1
130 9 4
89 28 5
1083 78 21 5 74
854 12 32 43 103
1319 2 14 0 48
923 3 59 1 31 1
228 7
71 49 1 2 10 41
176 13
120 20
14 83
30 60 32 10 5 21 75
9 57 42 20 20 19 200
4 82 36 34 26 20 124
327 11 9
217 24 12
361 9 5 4
408 11 25 2
1
3 4 4 1
.I 2
4
1
4
4
18
15
5
29 1 1
87 7 3
43
41
1
3
C
1 1
6 51 84 18 1
1
3
1
2
3
4
9
7
26
10 1
11
29 3
22 11
1
1
3
Keterangan : A, 6,C dan D = tipe ekosistem padi
D
1 2 2
2 1 2 70
41
1
1
19 2
19 6
Lanjutan Tabel Lampiran 3.2 Jumlah (ekor) Perangkap Jebakan Pengisap Pvac.
Spesies Laba-laba
-
A
B
C
D
Fam. Gnaphosidae Micrania sp. Fam. Thomisidae R. albosiriata Fam. Euparessidae sP. Fam. MeMae L eelebesiena Fam. Theridiosomathidae Wendilgandasp. Fam. Pisaurldae Thelassius botreli Fam. Pholcidae Pholcus sp. Fam. Barychelidae ldiodis sp.
Keterangan : A, B, C dan D = tipe ekosistem padi
A
B
C
D 4 1 6 6
1 1 1 1
1
'
BAB IV
KOLONlSASl LABA-LABA PADA PERTANAMAN PAD1 Abstrak Penelitian bertujuan untuk memahami kolonisasi lab-laba di pertanaman padi. Percobaan dilakukan di Desa Mekatwangi Kecamatan Ciranjang Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Pengamatan laba-laba dilakukan dengan perangkap jebakan, perangkap perekat dan pengisap D-vac. Hasil penelitian menunjukkan bahwa labalaba yang berkolonisasi pada pertanaman padi terdiri dari kelompok laba-laba pemburu dan laba-laba pembuat jaring. Kelompok laba-laba pemburu yang didominasi oleh famili Lycosidae terutama laba-laba serigala, Padosa pseudoannulafa (Boes. & Str.) yang menginvasi pertanaman padi dengan bergerak secara aktif melalui permukaan tanah. Kelompok laba-laba pembuat jaring didominasi oleh laba-laba kerdil Afypena adelinae Ban: & Lit, menginvasi pertanaman padi melalui udara atau melayang. Pematang merupakan sumber imrasi laba-laba pemburu. Pada awal musim tanam, laba-laba yang berkolonisasi relatif rendah ragam spesies dan kerapatan populasinya, kemudian meningkat dengan bertambahnya umur tanaman. Pemagaran dapat secara nyata menghambat masuknya laba-laba yang bergerak di permukaan tanah tetapi tidak berpengaruh terhadap laba-laba yang terbawa udara.
Pendahuluan Laba-laba merupakan kelompok artropoda yang perlu mendapat perhatian lebih banyak karena berperan sebagai predator serangga hama yang dapat menekan perkembangan populasi serangga hama sampai pada tingkatan yang tidak merugikan (Riechert & Lockley
1984). Ekosistem
pertanaman semusim mengalami perubahan drastis di setiap akhir musim tanam sehingga populasi artropoda sangat menurun. Pada pertanaman baru musim tanam berikutnya qkan terjadi imigrasi artropoda yang berasal dari
daerah sekitamya (Attieri & Schmidt 1986, Rauf 1989). lnvasi laba-laba ke ekosistem pertanian pada umumnya berasal dari habitat sekitamya (Aldeweireldt 1989, Bishop & Riechert 1990). Agnew & Smith (1989) menyatakan bahwa kolonisasi laba-laba di lahan pertanian biasanya berasal dari imigrasi dari habitat sekitar yakni dengan melalui udara atau melayang dan bergerak aktif secara bartahap dari ekosistem di sekitamya. Laba-laba sebagai kolonis yang tangguh mampu bertahan hidup di setiap ekosistem alami maupun pertanian yang sering mengalami perubahan secara reguler. Namun pengelolaan ekosistem pertanian yang terjadi secara reguler akan merusak kompeksitas vegetasi dan menekan kornunitas labalaba. Di samping itu banyak ekosistem pertanian yang mempakan habitat bagi laba-laba yang keberadaannya tergantung musim tanam (Bishop & Riechert 1990). Pemencaran oleh laba-laba baik secara aktif maupun pasif merupakan proses yang dilalui oleh laba-laba untuk menginvasi dan kemudian rnenetap pada habitat atau inangnya. Pemencaran secara aktif dengan melayang merupakan suatu yang unik pada laba-laba dan mampu memencar jarak jauh melalui udara tanpa adanya bantuan sayap (Bishop 1990).. Laba-laba berbeda dari umumnya kolonis lain yakni tidak memiliki sayap namun pradewasanya dapat terbawa angin karena mereka mengeluarkan sutera dari spineret (Plagens 1986). Tujuan penelitian adalah mengetahui (1) cara invasi laba-laba pada pertanaman padi, (2) sumber kolonisasi laba-laba pemburu dan laba-laba pembuat jaring, dan (3) proses kolonisasi laba-laba pada pertanaman padi.
Bahan dan Metode Percobaan dilakukan di Desa Mekarwangi Kecamatan Ciranjang, Cianjur, Jawa Barat pada lahan sawah dengan pola tanam padi kedelai musim rendengan dan gadu.
- padi -
Luas lahan yang digunakan lebih
kurang 0,5 ha luasnya terdiri dari 12 petak sawah dengan ukuran petak yang beragam. Salah satu petak sawah yang berukuran luas 216 m2 digunakan untuk penelitian kolonisasi laba-laba pada pertanaman padi dengan perlakuan pemagaran. Petak tersebut terletak di tengah hamparan. Pengamatan dilakukan pada tanaman padi musim rendengan dan gadu terhitung sejak Desember 1997 hingga Agustus 1998.
lnvasi laba-laba ke pertanaman padi '
Pengamatan laba-laba dilakukan dengan perangkap jebakan dan
perangkap berperekat pada musim gadu (Mei
- Agustus 1998).
Perangkap
jebakan digunakan untuk mengamati laba-laba yang aktif di permukaan tanah terutama di pematang. Perangkap jebakan sebanyak 45 buah ditempatkan secara sistematis dengan jarak lebih kurang 8 m pada pematang sawah. Perangkap dibiarkan terpasang selama 3 x 24 jam. Selang waktu pengamatan 2 minggu yang'dimulai 2 mst sampai menjelang panen. Perangkap berperekat digunakan untuk mengamati laba-laba yang terbawa melatui udara. Sebanyak empat perangkap perekat yang digunakan ditempatkan secara sistematis (dua perangkap di bagian tengah lahan dan yang lainnya di tepi) di lahan sawah seluas kurang lebih 0,5 ha. Perangkap perekat itu mempunyai tiang setinggi 275 cm dari perrnukaan tanah, yang pada ketinggian 100 cm, 150 cm dan 200 cm mempunyai empat bidang
perangkap, masing-masing menghadap ke arah mata angin. Tiap bidang perangkap yang berukuran 30 x 20 cm,ditutupi dengan kertas perekat lalat pada seluruh luasannya (Gambar 4.1). Perangkap dipertahankan terpasang selama 24 jam. Selang waktu pengamatan adalah 1 minggu. Pengamatan dilakukan pada tanaman padi berumur 1 mst sampai 13 mst. Laba-laba yang terperangkap pada tiap pengamatan segera diidentifikasi untuk menghindari hancumya bagian 'tubuh laba-iaba. Sumber kolonisasi Penelitian dilakukan untuk membandingkan spesies lab-laba yang terdapat di pematang dan tajuk. Pengamatan laba-laba yang terdapat di pematang menggunakan perangkap jebakan dilakukan pada musim rendengan dan gadu (Desember 1997
-
Agustus 1998).
Sebanyak 45
perangkap yang digunakan setiap pengamatan. Selang waktu pengamatan dua minggu yang dimulai 2 mst sampai menjelang panen. Pengamatan labalaba yang ada di rumpun padi dilakukan dengan pengisap D-vac. Banyaknya unit contoh pada tiap pengamatan adalah delapan unit. Satu unit terdiri dari 12 rumpun. Penetapan unit contoh dilakukan secara sistematis yakni yang mewakili bagian tepi dan yang mewakili bagian tengah sawah. Pengamatan dilakukan dengan selang waktu satu minggu yang dimulai 2 mst sampai menjelang panen. Untuk menetapkan kesamaan komunitas laba-laba antara pematang dan tajuk dilakukan analisis indeks kesamaan. Perkembangan populasi laba-laba Pengamatan laba-laba dilakukan dengan alat pengisap D-vac. di pertanaman padi dengan dua perlakuan yaitu (1) pertanaman padi dengan pemagaran plastik mika, dan (2) pertanaman padi tanpa pemagaran.
Pemagaran plastik bertujuan untuk rnenghalangi rnasuknya laba-laba yang bergerak aktii di permukaan tanah. Pemagaran tanaman dilakukan pada empat kelompok rumpun p d i , tiap kelompok rumpun terdiri dari 112 rurnpun.
Garnbar 4.1 Bentuk perangkap perekat (pandangan satu sisi)
Cara pernagaran adalah sebagai berikut : Iahan sawah seluas 5 x 3 m2 yang dapat d i i i 112 rurnpun padi, setelah diolah (2 hari sebelum tanarn) d i i g a r dengan plastik mika mengelilingi kelompok rumpun tersebut; tinggi pagar 60 em,bagian sisi luar pagar dilumwi perekat serengga. Jurnlah pe&k yang dipagari adalah ernpat (Gambar 4.2).
Pmkat digunakan untuk
menghindari laba-laba yang dapat rnemanjert. Pemagaran ditakukan 2 hari
sebelum tanam dengan asumsi bahwa laba-laba belurn berada pada lahan yang dipagar. Bagian sawah di luar petak pembaan dibiarkan seperti apa adanya yang memungkinkan laba-laba masuk melalui udara atau yang bergerak aldike bagian ini.
Gambar 4.2 Perlakuan pemagaran pada kelompok rumpun padi Banyaknya unit contoh pads tiap pengamatan laba-laba dengan D-vac. adalah dua unit tiap petak percobaan atau terdiri dari delapan unit contoh pada petak yang dipagati dan delapan unit pada kontrol. Unit contoh ditentukan secara sistematis yang mewakili bagian tengah dan yang mewakili bagian tepi petak Satu unit contoh terdiri dari 12 rumpun. Rumpun contoh sebelum diisap dikurung dengan kurungan pembatas yang terbuat dari plat besi, untuk rnenghindari larinya labalaba ke luar rumpun contoh pada saat pengisapan atau terisapnya laba-laba dari luar rumpun oontoh.
Pengamatan dilakukan dengan selang waktu satu minggu yang dimulai 2 mst sampai menjelang panen. Laba-laba yang diperoleh dari perangkap jebakan dan D-vac dikoleksi dalam alkohol 70 % untuk selanjutnya diidentifikasi berdasarkan kunci identifikasi (Barrion & Litsinger 1994, 1995, Kaston 1978).
Hasil dan Pembahasan lnvasi laba-laba ke pertanaman padi Hasil penelitian menunjukkan bahwa laba-laba menginvasi pertanaman padi secara aktif dengan bergerak di permukaan tanah dan secara pasif terbawa angin melalui udara (melayang). Jenis laba-laba yang aktif di permukaan tanah dan yang terbawa melalui angin dapat dilihat pada Tabel 4.1. Laba-laba yang aktif bergerak di permukaan tanah umumnya tergolong laba-laba pemburu seperti yang ditunjukkan oleh perangkap jebakan. Termasuk
ke
dalam
golongan
ini
adalah
Lycosidae
(Pardosa
pseudoannulata (Boes. & Str.), Pardosa. birmanica Simon, Pardosa sp., dan Arctosa sp., Lyniphiidae (Erigone bifurca Locket dan Coelosoma sp. ), Salticidae (Bianor sp.) dan Clubionidae (Clubiona japonicola Boes.& Str.). Di samping itu, terdapat jenis laba-laba pembuat jaring yang biasanya terbawa melalui udara seperti Dyshiriognatha hawigtenera Barr. & Lit. dan Atypena adelinae Barr. & Lit. Jumlah individu tiap spesies yang tertangkap pada perangkap jebakan dapat dilihat pada Tabel Lampiran 4.1.
Tabe14.1 Jenis laba-laba yang tertangkap pada perangkap jebakan dan perangkap berperekat (Mei Agustus 1998)
-
Kelimpahan relatif (%) Jenis Laba-laba
Aktif di permukaan tanah
Terbawa melalui udara
Laba-laba Pembuat Jaring Fam. Araneidae Araneus inustus C.L. Koch Argiope cstenulata (Doleschall) Fam. Tetragnathidae Tetmgnatha spp. Dyshiriognatha hawigtenem Bar.& Lit. Fam. Lyniphiidae Atypena adelinae Barr. & Lit. Erigone bifurca Locket Coelosoma sp. Fam. Theriidae Theridion spp. Fam. Metidae Leucage celebensiana Walckener Laba-laba Pemburu Fam. Lycosidae Pardosa pseudoannulata Boes. & Str. Pardosa binnanica Simon Pardosa sp. Arctosa sp. Fam. Oxyopidae Oxyopes lineatipes C.L. Koch Fam. Salticidae Bianor sp. Fam. Clubionidae Clubionajaponicola Boes.& Str. Fam. Thomisidae Runcinia albostriata Boes.& Str.
Jenis laba-laba yang tertangkap pada perangkap berperekat adalah Araneidae (A. inustus dan A. catenulata.), Tetragnathidae (Tetragnatha spp. dan D. hawigtenera), Lyniphiidae (A. adelinae), Lycosidae (Pardosa sp.), Salticidae (Bianor sp.), Clubionidae (C. japonicola), Thomisidae (Runcinia albostriata), Metidae, dan Theriidae. Jumlah individu yang tertangkap pada
setiap pengamatan dapat dilihat pada Tabel Lampiran 4.2. Walaupun familifamili
yang
tertangkap
pada
perangkap
berperekat
tidak
dapat
menggambarkan keseluruhan famili yang datang melalui udara pada tanaman padi, namun sejumlah famili dan spesies yang ditemukan dapat menggambarkan jenis laba-laba yang berpeluang menginvasi melalui udara. Pada tanaman lainnya famili-famili tersebut juga dilaporkan terbawa melalui udara seperti pada tanaman kacang tanah (Agnew & Smith 1989) dan jagung (Plagens 1986). Stadia yang paling banyak tertangkap pada perangkap berperekat umumnya instar awal. Hal ini menunjukkan bahwa laba-laba yang terbawa angin kebanyakan adalah yang berukuran kecil. Walaupun demikian, sebanyak 21 ekor laba-laba dewasa dari famili Lyniphiidae dan satu ekor individu dewasa famili Theriidae ditemukan tertangkap pada perangkap berperekat. Pada kedua famili tersebut dilaporkan bahwa lebih kurang 2 % stadia dewasanya dapat berpencar terbawa udara (Bishop 1990, Foelix 1982, Plagens 1986).
Sumber kolonisasi Hasil penelitian menunjukkan bahwa spesies laba-laba yang terdapat di pematang sawah ditemukan juga pada bagian pertanaman. Jenis laba-laba yang ada di pematang dan pertanaman dapat dilihat pada Tabel 4.2. Umumnya yang ditemukan di pematang adalah kelompok laba-laba pemburu sedangkan yang ada pada tajuk rumpun padi adalah pembuat jaring. Pada tajuk rumpun padi dijumpai 26 spesies laba-laba dan pada pematang ditemukan tujuh spesies.
lndeks kesamaan komunitas laba-laba antara
pematang dan tajuk lebih tinggi untuk laba-laba pemburu (0,68) dari pada laba-laba pembuat jaring (0,23). Hal ini menunjukkan bahwa pematang sawah dapat menjadi salah satu sumber invasi laba-Iaba pemburu. Labalaba pembuat jaring memerlukan ruang untuk membuat jaringnya, sernentara pematang sering dibersihkan dan sering terganggu oleh aktivitas manusia. Perkembangan populasi laba-laba pemburu dan pembuatjaring
Hasil pengamatan menunjukkan perkembangan populasi Iaba-laba pemburu lebih tinggi pada musim rendengan dari pada musim gadu (Gambar 4.3). Hasil ini diduga disebabkan oleh kondisi air sawah. Pada musim rendengan, kelembaban tanah tetap tinggi sejak awal pertumbuhan tanaman sampai menjelang panen, sedangkan pada musim gadu sawah wring dikeringkan sejak tanaman baru berumur 3 mst. Pengeringan dilakukan untuk menghindari serangan hama tikus. Selanjutnya kerapatan populasi yang relatif tinggi dan meningkat terus hingga menjelang panen pada tanaman yang terbuka (tidak dipagari) diasumsikan bahwa laba-laba P.
pseudoannulafa pada pertanaman padi tersebut dapat menginvasi pertanaman secara aktif melalui permukaan tanah, sedangkan pertanaman padi yang dipagari populasinya tertekan. Agnew & Smith (1989) menyatakan bahwa laba-laba serigala relatif sedikit yang dapat memencar melalui udara, dan melayang bukanlah cara pemencaran utama bagi laba-laba serigala (Lycosidae).
Tabel 4.2 Laba-laba yang terdapat di pematang dan pertanaman yang terkoleksi pada perangkap jebakan dan D-vac. (Mei - Agustus 1998) Jenis Laba-laba Laba-laba Pembuat Jaring Fam. Araneidae A. inustus Neocosoma sp. Hyposinga pygmae (SundevaU) A. catenulata Fam. Tetragnathidae Tetragnatha spp. D. hawigtenera Fam. Lyniphiidae A. adelinae Bathyphantes sp. E.. bifurca Coelosoma sp, Fam. Theriidae Theridion spp. Fam. Metidae L. celebensiana Laba-laba P e m b u ~ Fam. Lycosidae P. pseudoannulata P. bimanica Padosa sp. P. blabackensis Arctosa sp. Fam. Oxyopidae 0. lineatipes Fam. Salticidae Bianor sp. Mynnarachne caliraya Bar.& Lit. Phidippus sp. Phintella sp. Fam. Clubionidae C. japonicola Cheiracanthium sp. Fam. Thomisidae R. albostriata
Pertanaman
+ + + + + + + ++ + +
+
Pematang
Musim rendengan
Y
Umur tanaman (mst) Musirn gadu
Umur tanaman (rnst) Gambar 4.3 Perkembangan populasi laba-laba pemburu di pertanaman yang dipagari dan yang terbuka (Desember 1997 Agustus ? 998) Populasi laba-laba serigala P. pseudoannulata di pertanaman yang dipagari relatif lebih rendah dibandingkan dengan yang ada pada pertanaman yang tidak dipagari (terbuka). Dengan demikian pertakuan pemagaran dapat secara nyata menghambat masuknya laba-laba ini ke pertanaman padi khususnya melalui permukaan tanah, sedangkan pada pertanaman yang tidak dipagari memungkinkan laba-laba tersebut menginvasi baik melalui udara maupun dengan bergerak aktif di permukaan tanah. Fenornena ini merupakan indikasi bahwa laba-laba serigala lebih banyak rnernasuki pertanaman padi melalui permukaan tanah.
Laba-laba serigala termasuk kolonis perintis yang hadir paling awal pada pertanaman padi, selanjutnya populasinya berangsur berkembang seiring dengan bertambahnya umur tanaman. Hal yang mirip dilaporkan oleh Agnew & Smith (1989) bahwa populasi laba-laba pada tanaman kacang tanah meningkat dengan bertambahnya umur tanaman terutama spesies
Oxyopes salticus Hentz dan PanJosa pauxilla Montgomery. Selanjutnya terlihat bahwa selama pertumbuhan tanaman juga terjadi perkembangbiakan, ha1 ini terbukti dari contoh laba-laba yang terkoleksi pada waktu pengamatan sering mengandung induk yang sedang membawa telur. Kerapatan populasi laba-laba pembuat jaring terutama yang berukuran kecil seperti A. adelinae relatif mirip antara musim rendengan dan musim gadu.
Populasinya meningkat seiring dengan
bertambahnya umur
pertanaman padi. Pada awal pertumbuhan sampai 4 mst poulasinya relatif sangat rendah, kemudian setelah 4 mst meningkat sampai pertanaman padi menjelang panen (Gambar 4.4). Jenis laba-laba pembuat jaring yang relatif dominan dibandingkan dengan spesies lainnya adalah Tetragnatha spp. dan A. inustus. Populasi spesies ini relatif tinggi pada umur tanaman 4
-
7 mst, ketika stadia
pertumbuhan vegetatif. Kedua spesies dikenal sebagai laba-laba pembuat jaring bulat yang aktif membangun jaringnya di antara daun tanaman padi, dengan demikian bertambahnya jumlah ruang antara daun memungkinkan laba-laba tersebut membangun jaring (Nyffeler et al. 1994). 0.hawigtenera dan A. adelinae dikenal sebagai laba-laba penenun jaring berukuran kecil (laba-laba kerdil) yang juga hadir sejak awal pertanaman tetapi kerapatan populasinya mulai tampak berkembang pada umur tanaman 6 mst. Hal ini
disebabkan karena laba-laba itu yang membangun jaring di dalam atau antara rumpun padi, pada tanaman muda sulit melakukannya. Musim rendengan
1
3
2
4
5
6
8
7
9 . 1 0 1 1 1 2
Urnw tanaman (mst) Musim gadu
20 E
e
15
cu v
10
ifS
5
-
0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
1
0
1
1
1
2
Umur tanaman (mst) Gambar 4.4 Perkembangan populasi laba-laba pembuat jaring di pertanaman padi yang dipagari dan yang terhka (Desember 1997 - A ~ U S ~1U 998) S Kerapatan populasi laba-laba pembuat jaring relatif mirip pada pertanaman padi musim rendengan dan musim gadu karena laba-laba ini membuat jaring pada bagian antara rumpun atau di tajuk. Perkembangan populasi laba-Iaba pembuat jaring yang meningkat sejak tanaman berumur 5 mst dimungkinkan karena pertumbuhan anakan yang lebih banyak dapat memberikan kesempatan bagi laba-laba ini untuk membangun jaring. Selanjutnya terlihat kerapatan populasi laba-laba pembuat jaring pada pertanaman yang dipagari dan yang terbuka tidak berbeda nyata, dengan
demikian
dapat
dinyatakan
bahwa
perlakuan
pemagaran
tidak
mempengaruhi kolonisasi laba-laba ke pertanaman terbawa melalui udara. Rataan kerapatan populasi masing-masing kelompok laba-laba pada dua musim tanam berbeda seperti yang terlihat pada Tabel 4.3. Kerapatan populasi pada pertanaman yang terbuka pada umumnya relatif lebih tinggi dibandingkan dengan yang dipagari, ha1 ini karena pada pertanaman yang terbuka laba-laba yang datang ke pertanaman dapat melalui udara dan secara aktif bergerak melalui perrnukaan tanah. Hal yang serupa juga telah dibuktikan oleh Bishop & Riechert (1990). Berdasarkan pada dominansi spesies dalam komunitas laba-laba perlakuan pemagaran mempengaruhi dominansi, terutama spessies laba-laba P. pseudoannulata dan A. adelinae. Pertanaman padi yang tidak dipagari komunitas laba-laba didominansi oleh laba-laba pemburu yang aktif di perrnukaan tanah seperti P. pseudoannulata sedangkan pertanaman yang dipagari didominansi oleh laba-laba pembuat jaring yang terbawa melalui udara seperti A. adelinae. Kerapatan populasi laba-laba pemburu terutama laba-laba serigala P.
pseudoannulata relatif lebih tinggi pada musim rendengan dibandingkan dengan musim gadu, sedangkan kerapatan laba-laba pembuat jaring terutama laba-laba kerdil A. adelinae relatif mirip antara musim rendengan dan gadu. Demikian juga jumlah spesies pada tanam musim rendengan temyata relatif lebih banyak
yakni terkoleksi 33 spesies dibandingkan
dengan yang terkoleksi pada musim gadu yang hanya menemukan 26 spesies (Tabel 4.3 dan Tabel Lampiran 4.3). Terdapat beberapa spesies yang ditemukan pada musim rendengan tetapi tidak ditemukan pada musim
gadu. Beberapa spesies kerapatan populasinya juga relatif rendah yaitu satu atau dua ekor saja. Tabel 4.3 Rataan kerapatan populasi laba-laba di pertanaman padi yang dipagari dan yang terbuka pada dua musim padi (Desember 1997 Agustus 1998)
-
Perlakuan
Dipagari
Keramtan ~ o ~ u l a s(ekor) i Pembum Pembuatjaring Rendengan Gadu Rendengan Gadu
*
4,52 f 4,13 b 2,97 0,74 b
7,18 f 5,85 a
5,73 f 2,76 a
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam kolom yang sama berarti tidak berbeda nyata pada taraf nyata 5% menurut Uji Jarak Berganda Duncan
Faktor yang mempengaruhi perbedaan populasi laba-laba terutama laba-laba serigala P. pseudoannulafa pada dua musim tanam adalah faktor fisik khususnya kelembaban atau air irigasi pada pertanaman sawah. Kondisi sawah pada musim rendengan adalah relatif lembab atau macak-macak sepanjang pertumbuhan tanaman, sedangkan pada musim gadu lahan sawah dalam keadaan relatif kering. Sawah mulai dikeringkan dengan sengaja sejak tanaman berumur 3 mst sampai tanaman dipanen. Kebutuhan air untuk pertumbuhan didapat hanya dari wrah hujan. Pengeringan sawah secara menyeluruh pada areal persawahan dilakukan oleh petani karena adanya kekuatiran akan adanya serangan hama tikus (inforrnasi yang disampaikan oleh PPL). Pengeringan sawah menurut pengamatan petani setempat dapat mencegah dan mengurangi besamya serangan hama tikus. Pengeringan sawah sangat mempengaruhi perkembangan populasi laba-laba. Hal ini didukung oleh hasil pengamatan aktivitas laba-laba yang
menunjukkan bahwa apabila sawah dalam keadaan kering maka laba-laba sering ditemukan di tempat-tempat yang agak lembab atau di sekitar genangan air. Di samping itu pada saat dilakukan penelitian di musim gadu, papulasi katak predator Rana sp. relatif tinggi (1-2 ekor per m2 ), yang temyata menjadi predator utama laba-laba P. pseudoannulata. Dalam beberapa kesempatan terlihat katak yang sedang memangsa lab-lab. Beberapa katak yang sempat dibedah, di dalam ususnya ditemukan bagian tubuh laba-laba. Katak dikenal sebagai predator utama berbagai spesies laba-laba (Barrion 1980), dan menurut salah satu penelitian lebih kurang 5 % diet katak adalah laba-laba (Foelix 1982).
Kesimpulan
Laba-laba yang berkolonisasi pada pertanaman padi terdiri dari kelompok laba-laba pemburu dan kelompok laba-laba pembuat jaring. Kelompok laba-laba pemburu yang didominasi oleh P. pseudoannulafa menginvasi pertanaman padi dengan secara aktif bergerak di perrnukaan tanah. Kelompok laba-laba pembuat jaring yang didominasi oleh A. adelinae menginvasi pertanaman padi secara pasif yaitu melalui gerakan udara atau melayang. Pematang merupakan sumber invasi laba-laba pemburu. Pada awal musim t a m , laba-laba yang berkolonisasi relatif rendah ragam spesies laba-laba dan kerapatan populasinya. Pemagaran dapat secara nyata menghambat masuknya laba-laba yang bergerak di permukaan tanah tetapi tidak berpengaruh terhadap laba-laba yang terbawa udara.
Daftar Pustaka Agnew, Ch. W. & J. W. Smith Jr. 1989. Ecology of spiders (Araneae) in a peanut agroecosystem. Environ. Entomol. 18 (1) : 30 42.
-
Alderweireldt, M. 1989. An ecological analysis of the spider fauna (Araneae) occuring in maize fields, Italian ryegrass fields and their edge zones, by means different multivariate techniques. Agric. Ecosyst. Environ. 27 : 293 - 306. Altieri, M. A. & L. L. Schmidt. 1986. The dynamics of colonizing arthropod communities at the interface of abandoned, organic and commercial apple orchards and adjacent woodland habitats. Agric. Ecosyst. Environ. 16 : 29 -43. Barrion, A. T. 1980. The spider fauna of Philippine dryland and wetland rice agroecosystem. Faculty of the Graduate School, University of the Philippine at Los Banos. Thesis. 276 p. Barrion, A.T. & J. A. Litsinger. 1995. Rioeland spider of South and Southeast Asia. International Rice Research Institute, Manila. CAB International. 716 p. Bishop, L. 1990. Meteorological aspects of spider ballooning. Environ. Entomol. 19 (5) : 1381 - 1387. Bishop, L. & S. E. Riechert. 1990. Spider colonization of agroecosystem : Mode and source. Environ. Entomol. 19 (6) : 1738 1745.
-
Foelix, R. F. 1982. Biology of spiders. Harvard University Press. Cambridge, Massachusetts and London, England. 306 p. Kaston, 6. J. 1978. How fo know the s m m . The pictured Key Nature Series, WM. C. Brown Company Publishers Dubuque, Iowa. 272 p. Nyffeler, M., W. L. Sterling & D. A. Dean. 1994. How spiders make a living. Environ. Entomol. 23 (6) 1357 - 1367.
Plagens, M. J. 1986. Aerial dispersal of spiders (Araneae) in a Florida corn fields ecosystem. Environ. Entomol. 15 : 1225 - 1233. Rauf, A. 1989. Aspek ekologi pengelolaan hama. Makalah kursus singkat IPM. Manado, 5 - 21 Januari 1989. 62 h. Riechert, S. E. & T. Lockley. 1983. Spiders as biological control agents. Annu. Rev. Entomol. 29 : 299 - 320.
Tabel Lampiran 4.1 Jumlah tiap spesies laba-laba yang tertangkap pada 45 perangkapjebakan (6 kali pengamatan) musim rendengan dan gadu di Mekawangi (Desember 1997 - Agustus 1998) Kerapataan poputasi (&or ) musim Famili dan Spesies Laba-laba Laba-laba Pemburu Lycosidae P. pseudo~nnulata P. birmanice Pardosa sp. Ardosa sp. Bianor sp. Salticidae Laba-laba Pembuat Jaring Araneidae A. inustus Tetragnathidae T. nitens Lyniphiidae
D. hawjgtenera A. adelinae
E. bifurca Coelosoma sp.
Rendengan
Gadu
Tabel Lampiran 4.2 Laba-laba yang terbawa udara yang tertangkap pada empat perangkap berperekat di Mekarwangi (Mei Agustus 1998)
-
Jumlah (ekor) pada minggu ke Jenis Laba-laba
1
Laba-laba P e m b u ~ Lycosidae P. pseucioannulata Salticidae BiSP. 1 Oxyopidae oxyopes SP. Clubionidae C. japonhIa Thomisidae R. ahstriafa Pembuat Jaring Araneidae A. inustus 10 w p e SP. 1 Tetragnathidae Tetragnathaspp. D. hawigtenera Lyniphiidae A. adelinae Theriidae Theridion sp. Metidae Lainnya
2
3
4
1
1
1
I
5
1
6
7
1
8
9
I
3 1
1011
3
1
1213
1
3
1
1
2
3
I
I
1 I
1
I
10 1
13
10
18
14 2
22 1
8
8
10
24
25 3
I1 2
2
15 4
5 3
12 5
12 9
16 15
10 10
13 15
9 24
10 53
8 46
7 59
2
6
2
3
9
47
32
37
43
87
211
84
1 1 1
2
2
I 27 I
Tabel Lampiran 4.3 Jumlah tiap spesies Iaba-laba yang tertangkap pada 96 rumpun (12 kali pengamatan) dengan D-vac. musim rendengan dan musim gadu di di Mekawangi (Desember 1997 - Agustus 1998) Jumlah (ekor) Rendengan Famili dan Spesies Laba-laba
Terbuka
Dipagad
Terbuka
Gadu Dipagari
Laba-laba Pemburu P. psei~doannulata P. bimanica Pardosa sp. Moss sp. P. blebackensis Salticidae Bianor sp. M. celraya PhMppus sp. Phinteila sp. Oxyopidae 0.Reatipes Thomisidae R. albostriata Clubionidae C. japonicda Chehcanthium sp. LPba-laba Pembuat Jaring
1152 2 18 31
366
489 1
184
5 10
9 49
40 1 2
29 3 2 1 5 1 12 2
16 3 1
7 7 1 10
A. inustus Araneus sp. H. pygmae Neocosoma sp. A. catenulata Tetragnathidae T. virescens T. javana T. nitens T.rnandibulata T. rnaxibsa T. venniformis D. hawigtenera Lyniphiidae A. adeknee Bathyphantes sp. E. bifurca c.o&soma sp. Theriidae T.kambalom 1.lumabani T. punon~palayurn L. celebensiana Metidae
112 1 1 1 13 10 41 27 17 11 I1 156 235 Q 25 4 1 3 1 7
Lyaxidae
Araneidae
12 1 16 1
2
1
2
4
2
154
25
25
9 23 48 31 13 5 18 90 215 Q 39
1 4 2 1 4 8
3 7 3 13
169 426 10 16 10 6 3 5 15
154 441 15 17 3 1 4 4 8
1 1
I
.
BAB V PERKEMBANGANPOPULASI LABA-LABA SERIGALA Padosa pseudoannulata (Boes. 8 Str.) PADA PERTANAMAN PAD1 Abstrak Penelitian bertujuan untuk memahami perkembangan populasi Pardosa 2
pseudoannulata (Boes. & Str.) di persemaian dan pertanaman padi. Pembaan dilakukan di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat sejak Desember 1997 hingga Mei Pengamatan laba-laba dilakukan dengan pengisap Dvac. Hasil penelitian
1998.
menunjukkan bahwa laba-laba serigala P. pseudoannulata ditemukan sejak di persemaian hingga di pertanaman menjelang panen. Perkembangan populasinya selarna fase pertumbuhan tanaman berhubungan dengan ketersediaan relung yang lebih banyak yang berupa anakan padi, dan ketenediaan mangsa yang lebih bedimpah. Struktur populasi laba-laba di persernaian dan pertanaman fase vegetatif didominasi oleh pradewasa instar 1-4, sedangkan di pertanaman fase generatif didominasi oleh dewasa. Kondisi air sawah dan penggunaan insektisida berpengaruh terhadap kelimpahan populasi P. pseudsoannulata.
Pendahuluan Laba-laba serigala Pardosa pseudoannulata (Boes.& Str.) dikenal sebagai predator umum terhadap sejumlah besar serangga hama. ~aba-laba ini memangsa berbagai spesies serangga hama penting terutama kelompok hama wereng di pertanaman padi (Kiritani et a/. 1972), namun belum mendapat perhatian memadai dalam hubungan dengan peranannya. Kemampuannya yang baik dalam menginvasi suatu ekosistem pertanian dengan segera, yakni secara aktif dengan berjalan di permukaan tanah dan secara
pasif terbawa
melalui
udara
(melayang), telah
mendukung
keberhasilannya untuk mampu rnenempati ekosistern yang baru (Bishop 1990, Nyffeler, Dean & Sterling 1994, Plagens 1986 ). Persemaian merupakan suatu ekosistem yang berada dalarn waktu yang sangat singkat yang diinvasi dan dihunii oleh berbagai makroartropoda dan mikroartropoda yang saling berinteraksi satu sama lain. Laba-laba serigala adalah bagian dari ekosistem persemaian padi yang turut berperan pada ekosistem tersebut, karena pada persernaian juga ditemukan adanya beberapa jenis serangga hama yang menjadi mangsanya. Demikian juga di pertanaman, dilaporkan bahwa laba-laba serigala berperan memangsa beragarn spesies serangga hama (Barrion &
Litsinger 1994,
1995).
Penelitian tentang laba-laba di pertanaman padi telah banyak dilakukan di beberapa negeri produsen beras seperti Filipina, Jepang dan Cina yang meliputi
spesies
laba-laba
dan
jenis
rnangsanya
serta
pengujian
pemangsaan dalam kondisi laboratorium. Di Indonesia penelitian tentang perkembangan populasi laba-laba P. pseudoannulata masih langka. Seperti halnya dengan makhluk hidup lainnya kehidupan laba-laba dipengaruhi oleh faktor ftsik seperti suhu, kelembaban, angin dan intensitas cahaya; dan faktor biotik seperti tipe vegetasi, persediaan makanan,.pesaing dan musuh alami (Foelix
1978, Turnbull
penyebaran dan kelimpahan suatu organisme
1973).
Untuk memahami
diperlukan pengetahuan
tentang berbagai aspek seperti sejarah hidup spesies, sumberdaya yang diperlukan, keperidian rata-rata, kernatian dan migrasi, interaksi intraspesies dan interspesies serta pengaruh faktor lingkungan (Begon, Harper & Townsend
1986).
Oleh karena itu dirasa perlu untuk mempelajari
perkembangan populasi P. pseudoannulafa di persemaian dan pertanaman
dalam hubungannya lingkungan fisik dan biotik, terrnasuk di dalamnya beberapa tindakan agronomis seperti penggenangan, pengeringan sawah dan perlakuan insektisida, serta kelimpahan populasi serangga hama wereng sebagai mangsanya. Penelitian bertujuan untuk memahami pola perkembangan populasi laba-laba P. pseudoannulata di persemaian dan di pertanaman padi.
Bahan dan Metode
Percobaan dilakukan di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat pada empat tipe ekosistem padi yang berbeda, seperti telah disebutkan pada Bab lil. Pengamatan perkembangan populasi laba-laba dilakukan pada pesemaian dan pertanaman padi. Penelitian dilaksanakan pada pertanaman padi musim rendengan (Desember 1997 hingga April 1998) dan persernaian musim gadu (April dan Mei 1998). Pengambilan contoh laba-laba dilakukan dengan pengisap D-vac. Perkernbangan populasi laba-laba serigala di persemaian
Pengamatan dilakukan di persemaian yang tidak diperlakukan dengan insektisida dan persemaian yang diperlakukan dengan insektisida.
Petak
pengarnatan berukuran 6 x 1 m yang terdiri dari dua bedengan. Pengarnbilan contoh laba-laba dilakukan dengan D-vac. Subpetak contoh ditetapkan 12 unit petak yang tiap unitnya berukuran 30 x 30 cm. Unit tersebut ditentukan secara
sistematis,
mewakili
bagian
tengah
persernaian. Sebelum pengisapan dilakukan,
dan
bagian
tepi
petak
pada unit petak contoh
ditempatkan kurungan pembatas berukuran 30 x 30 x 40 crn, kemudian labalaba diisap dengan pengisap D-vac. Selang waktu pengarnatan adalah 3 hari
dimulai pada 5 hari setelah sebar (hss) sampa~bibit siap dipindahkan. Pengarnatan selama masa persemaian 5 kali. Lama waktu persemaian padi di Cianjur dan sekitarnya berkisar 18 - 20 hari. Laba-laba yang diperoleh dikoleksi dalam alkohol 70 %, seiajutnya diidentifikasi
dan
dihitung
di
laboratorium.
Jumlah
individu
P.
pseudoannulata dicatat menurut waktu pengamatan pada masing-masing persemaian.
Perkernbangan populasi laba-laba serigala di pertanarnan Petak-petak yang ditetapkan sebagai tempat pengarnatan berjumlah enarn. Keenam petak tersebut kernudian dibagi menjadi dua kelompok yaitu: (a) petak 1, 3 dan 5 untuk pengarnatan pada minggu pertama, ke 3, ke 5, dan seterusnya sarnpai dengan minggu ke 1I; dan (b) petak 2, 4 dan 6 untuk pengamatan minggu ke 2, ke 4, ke 6, dan seterusnya sampai dengan minggu ke 12.
Hal ini dilakukan untuk menghindari lebih seringnya mengganggu
pertanaman padi yang diduga akan mempengaruhi kehidupan artropoda terutama laba-laba yang terdapat pada tanaman padi. Penarikan contoh laba-laba dilakukan dengan pengisap D-vac. pada rumpun contoh yang telah ditentukan secara sistematis, yaitu kelompok rumpun yang mewakili bagian tengah dan yang mewakili bagian tepi petak sawah. Banyaknya rurnpun contoh yang diamati pada setiap pengamatan adalah 144 rumpun padi yang terdiri dari 12 unit contoh dan 12 rumpun per unit contoh. Untuk menghindari larinya laba-laba keluar rumpun contoh atau terisapnya laba-laba di luar rumpun, maka sebelum pengisapan rumpun padi di unit contoh dikurung dengan kurungan pembatas. Semua laba-laba yang terdapat pada rumpun dijsap dengan D-vac. Selang waktu pengarnatan
adajah satu minggu terhitung sejak tanaman berumur 1 mst sampai rnenjelang panen. Laba-laba dan hama wereng yang diperoleh dikoleksi dalam alkohol 70% untuk selanjutnya diidentifikasi di laboratorium. Jumlah individu dicatat berdasarkan waktu pengamatan pada masing-masing tipe ekosistem sawah yang diamati.
Hasil dan Pembahasan Penemaian
Laba-laba serigala P.pseudoannulata ditemukan dj persemaian sejak 5 hari setelah sebar (hss) dengan kerapatan berkisar antara 0,5
-3
ekor per
30 cm2. Perkembangan populasi laba-laba di persemaian dapat dilihat pada Gambar 5.1. Kehadirannya di persemaian sejak bibit masih masih muda menunjukkan bahwa laba-laba P. pseudoannulata merupakan predator perintis yang mempunyai kemampuan menginvasi ekosistern dengan segera. Hal ini karena laba-laba serigala mampu bergerak secara aktif dengan berjalan di permukaan tanah dan di perrnukaan air serta mampu terbawa oleh angin. Kehadirannya sejak awal di persemaian juga karena sumber koloni P. pseudoannulata berada di sekitar persemaian. Selama pengolahan tanah, laba-laba bertahan hidup di pematang sawah dan tanggul saluran air. Di sarnping itu laba-laba ini dapat rnemangsa beragam jenis artropoda kecil yang
lemah termasuk pemakan bahan organik.
Settle et a/. (1996)
rnenyatakan bahwa serangga pernakan bahan organik dapat menjadi rnangsa bagi predator umurn pada awal pertumbuhan.
5
8
-I1
14
17
Urnur tanaman (hss) Gambar 5 . 1 Perkernbangan populasi P. pseudoannulata di persemaian (I) tipe 8 dan C tanpa perlakuan insektisida dan (11) tipe A dan D dengan perlakuan insektisida (April - Mei 1998) Selarna penelitian berlangsung terjadi berbagai tindakan agronomis pada persemaian seperti pemagaran, penggenangan dan penggunaan insektisida. Ket~ganya berpengaruh buruk terhadap perkembangan P.
pseudoannulafa. Populasi laba-laba di persernaian tipe B mengalami
penurunan sejak 8
-
14 hss yang disebabkan oleh penggenangan air. Akibat
terendamnya sebagian besar bibit, banyak laba-laba yang berpindah ke luar persemaian.
Pernagaran plastik di sekeliling persernaian tampaknya
mengurangi laju kolonisasi, yang ditunjukkan oleh lebih rendahnya populasi laba-laba di persemaian tipe C. Pemagaran persemaian ini dilakukan oleh petani untuk menghindari gangguan hama tikus dan ayam. Penurunan populasi laba-laba di persemaian tipe A sejak 8
-
14 hss disebabkan oleh
perlakuan insektisida Curater 3 G pada umur 6 hss. Perlakuan itu dilakukan oleh petani untuk mencegah serangan hama wereng cokelat. Demikian juga di persemaian tipe D, tejadi penurunan populasi pada 17 hss sebagai akibat dari penyemprotan insektisida Bassa pada umur 16 hss. Chiu (1977) melaporkan bahwa laba-laba serigala sangat rentan terhadap insektisida. Nugaliyadde (1995) menyatakan bahwa pada pertanaman padi yang diperlakukan dengan insektisida populasi laba-laba relatif lebih rendah dibandingkan
dengan
pertanaman
yang
tidak
diperlakukan
dengan
insektisida. Pertanaman Perkernbangan populasi laba-laba P. pseudoannulata di pertanaman disajikan pada Gambar 5.2. Secara umum kelimpahan populasi pada pertsnarnan tipe B lebih rendah dari pade tipe lainnya. Diduga ha1 ini terjadi akibat lebih beragarnnya jenis laba-laba yang hidup di ekosistem ini (Bab Ill), sehingga menirnbulkan kompetisi terhadap P. pseudoannulata. Di samping itu rendahnya populasi laba-laba pada ekosistem tipe A,
B dan D
dibandingkan dengan tipe C diduga disebabkan oleh kondisi sawah yang relatif lebih kering.
Tipe A
Tipe B
Tipe
35 1
C
Tipe D
\
is
Y
5
W
0
Umur tanaman (mst) Gambar 5.2 Perkembangan populasi laba-laba P. pseudoannulafa dan hama wereng pada empat tipe ekosistem padi (Mei Agustus 1998)
-
Sehubungan dengan perkembangan populasi yang seiring dengan pertumbuhan tanaman, Agnew & Smith (1989) menyebutkan bahwa ukuran dan struktur vegetasi berpengaruh terhadap dinamika populasi laba-laba. Kerapatan laba-laba rendah pada awal pertumbuhan tanaman ketika tanaman masih kecil, kemudian meningkat karena tersedianya relung yang berupa anakan padi yang lebih banyak. Selain relung, ketersediaan mangsa juga rnenentukan kelimpahan populasi laba-laba. Menurut lmmonen & ltamies (1994) tidak seperti halnya hama, kelimpahan populasi laba-laba tidak
langsung berhubungan dengan tanaman,
sumberdaya yang berupa artropoda mangsa. adanya
hubungan
antara
pertambahan
tetapi dengan relung
Gambar 5.2 menunjukkan
populasi
laba-laba
dengan
perkembangan populasi hama wereng. Di pertanaman padi, kondisi air sawah juga menentukan kelimpahan populasi laba-laba yang hidup pada rumpun padi. Penurunan populasi pada
7 mst dan 9 mst terjadi karena pangkal rumpun terendam air setinggi + 20 cm akibat hujan lebat sehari sebelumnya. Sebaliknya, penurunan populasi labalaba pada pertanaman tipe B dan D
menjelang panen lebih disebabkan
karena lahan sawah sudah dikeringkan beberapa minggu sebelumnya, sedangkan pada tipe A dan C kondisi tanah masih macak-macak.
'
Struktur populasi Struktur populasi laba-laba P. pseudoannulata di persemaian sejak awal didominasi oleh pradewasa, yaitu lebih kurang 59 1-4 dan 12 % pradewasa instar 5-8, dan 29
Oh
Oh
pradewasa instar
laba-laba dewasa (Gambar
5.3). Struktur populasi yang demikian rnenunjukkan bahwa invasi lebih banyak dilakukan oleh pradewasa.
lnstar 1 - 4
lnstar 5 - 8
Dewasa
Fase perkembangan Gambar 5.3 Struktur populasi P. pseudoannulata di persernaian padi (April - Mei 1998) Struktur populasi yang demikian dimungkinkan pula oleh kemampuan laba-laba ini untuk bertahan hidup dan berkembang biak pada pematang dan sawah di sekitar persemaian selama belum ditanami dengan tanaman padi. Waktu yang sangat terbatas untuk melakukan pengamatan yakni hanya sarnpai 18 hss
belum rnemberikan perbedaan struktur yang nyata antara
awal dan akhir pengamatan, sehingga struktur populasi yang diperoleh pada 5 hss, 8 hss, I 1 hss, 14 hss dan 17 hss hampir sama.
Struktur populasi P. pseudoannulata pada fase pertumbuhan vegetatif tanaman didominasi oleh stadium pradewasa instar 1 4 (36 %), kemudian setelah memasuki fase generatif secara bertahap terjadi peningkatan populasi pradewasa instar 5-8 (33 O h ) dan stadium dewasa hampir mencapal 50 % (Gambar 5.4).
Vegetatif
Generati Fase tanarnan padi
Garnbar 5.4 Struktur populasi P.pseudoannulata pada pertanarnan padi fase vegetatif dan fase generatif (Mei - Agustus $998) Dominasi instar awal di persernaian dan pada awal pertanarnan padi mernberikan indikasi bahwa yang rnenginvasi tidak hanya dewasa tetapi juga pradewasa. Selain itu, dorninasi instar awal juga dapat tejadi karena tabalaba dewasa yang menginvasi persernaian dan pertanarnan sudah siap bertetur. Hal ini didukung oleh kenyataan bahwa selarna pengarnatah sering ditemukan induk Iaba-laba yang telah rnengandung telur. Kesimpulan
Laba-laba serigala P. pseudoannulata diternukan sejak di persemaian hingga di pertanaman menjelang panen. Perkembangan,populasinya selarna fase pertumbuhan tanaman berhubungan dengan ketersediaan relung yang lebih banyak yang berupa anakan padi, dan ketersediaan mangsa yang lebih berlirnpah. Kondisi air sawah dan penggunaan insektisida berpengaruh buruk terhadap kelimpahan populasi P. pseudoannulata.
Peningkatan
populasi laba-laba berlangsung seiring dengan bertambahnya populasi hama wereng dan fase pertumbuhan tanaman padi. Struktur populasi labalaba di persemaian dan pertanaman fase vegetatif didominasi oleh instar 1-, sedangkan di pertanaman pada fase generatif didominasi oleh dewasa.
Daftar Pustaka Agnew, Ch. W. & J. W. Smith Jr. 1989. Ecology of spiders (Araneae) in a peanut agroecosystem. Environ. Entomol. 18(1) : 30 - 40. Barrion, A.T. & J. A. Litsinger. 1994. Taxonomy of rice insect pests and their arthropod parasites and predators. In E. A. Heinrichs (ed). Biology and management of rice insects. Publishing for One World Wiley Eastern Limited New Age International Limited. pp 13 - 362. Barrion, A. T. & J. A. Litsinger. 1995. Riceland spider of South and Southeast Asia. international Rice Research Institute. Manila. CAB International. 716 p. Begon, M., J. L. Harper & C. R. Townsend. 1986. Ecology : Individuals, population and communities. Blachwell Scientific Publications. 876 p. Bishop, L. 1990. Meteorological aspects of spider ballooning. Entomol. 19(5) : 1387 - 1387.
Environ.
Chiu, S. S. C. 1977. Biological control of the brown planthopper, Nilaparvata lugens Stal. Paper presented at the Brown Planthopper Symposium. 18-12 April 1977. IRRI, Los Banos. 48 p. Foelix, R. F. 1982. Biology of spiders. Harvard University Press. Cambridge, Massachusetts and London, England. 306 p. Immonen, K. J. Itamies. 1994. Wolf spiders (~ranea'e,Lycosidae) in four habitats in Kuhno, Central Finland. Memoranda Soc. Fauna Flora Fennica 70 : 87 - 95.
Kiritani, K., S. Kawahara, T. Sasaba & F. Nakasuji. 1972. Quantitative evaluation of predation by spiders on the green rice leafhopper, Nephotettix cinticeps Uhler, by a sight-count method. Res. Popul. Ecol. 13 : 187 - 200. Nugaliyadde, L. 1995. Population growth of rice brown planthopper in Sri Lanka. Paper presented at the Workshop on Sustainable IPM in Tropical Rice, Bogor, Indonesia, 5 - 7 December 1995. 14 p. Nyffeler, M., W. L. Sterling & D. A. Dean. 1994. How spiders make a living. Environ. Entomol. 23(6) : 1357 - 1367. Plagens, M. J. 1986. Aerial dispersal of spiders (Araneae) in a Florida corn field ecosystem. Environ. Entomol. 12 : 1225 - ?233. Settle, W. H., H. Ariawan, E. T. Astuti, W. Cahyana, A. L. Hakim, D. Hindayana. A. S. Lestari, Sartanto & Pajarningsih. 1996. Managing tropical rice pests through conservation of generalist natural enemies and aliernative prey. Ecblogy 77(7) : 1975 - 1988. Turnbull. A. L. 1973. Ecology of the true spiders (Araneomorphae). Annu. Rev. Entomol. 18 : 5d5 - 348.
1
BAB V1 PEMANGSAAN LABA-LABA Pardosa pseudoannulata (Boes. & Str.) Dl PERTANAMAN PAD1 Abstrak Penelitian bertujuan untuk rnernaharni perilaku dan potensi pernangsaan oleh laba-laba serigala Pardosa pseudoannulata (Boes. & Str.). Percobaan dilakukan di Cianjur, Jawa Barat sejak Mei hingga Agustus 1998. Pengarnatan laba-laba dilakukan dengan rnernantau aktivitas pernangsaan laba-laba secara tangsung di lapangan. Hasil penelitian rnenunjukkan bahwa laba-laba serigaia aktif rnernangsa pada siang hari rnaupun rnalarn hari. Dalarn kondisi sawah yang rnacak-rnacak, laba-laba tinggal di pangkal rurnpun padi, sedangkan pada sawah yang tidak berair laba-laba rnencari tempat-tempat yang relatif lernbab yang dihuni atau dikunjungi oleh rnangsa. Jenis artropoda yang paling sering dirnangsa adalah golongan harna wereng. Dalarn kondisi lapangan, seekor laba-Iaba diduga rnampu rnemangsa satu ekor nimfa wereng setiap harinya.
Pendahuluan Laba-laba telah
dikenal
sebagai
predator
urnum berbagai jenis
serangga. Riechert & Lockley (1984) rnenyatakan bahwa laba-laba adalah agens pengendalian hayati alami bagi banyak jenis
serangga hama.
Spesies
adalah
laba-taba
penting
pada
pertanaman
padi
Pardosa
pseudoannulata (Boes. & Str.) yang rnernangsa beragam spesies hama seperti wereng
cokelat,
wereng
hijau, wereng
penggerek batang padi (Shepard et at. 1987).
punggung putih,
dan
Banyak jenis laba-laba
predator urnurn yang tertarik rnemangsa berbagai jenis serangga harna baik stadia
pradewasa
rnaupun
dewasa
yang
pemanfaatannya datam pengendalian hama.
perlu
dipertirnbangkan
Berbagai penelitian tentang tingkat predasi laba-laba, terutama P.
pseudoannulata telah dilakukan di luar negeri
di antaranya di Jepang
(Kiritani et a/. 1972), Bangladesh (Kama[ et a/.1992). dan Filipina (Barrion 1980, Barrion & Litsinger 1995), dan dalam negeri (Arifin 1985, Arifin & Sumarto 1987). Penelitian tersebut secara umum dilakukan dalam kondisi laboratorium. Kelemahan penelitian pemangsaan yang dilakukan dalam kondisi laboratorium adalah perubahan dari lingkungan alami ke lingkungan buatan dapat mempengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung perilaku predator (Kiritani ef a/. 1972). Faktor itu diduga dapat menyebabkan berbagai perbedaan yang mencolok antara hasil pengamatan laboratorium dengan hasil pengamatan lapangan.
Pengamatan lapangan dapat secara
nyata menggambarkan ha1 yang sebenamya terjadi dalam kondisi lapang. Tujuan penelitian adalah memaharni (1) jenis-jenis serangga terutama serangga hama yang dimangsa, (2) ruang jelajah harian laba-laba P.
pseudoannulata pada tanaman padi, (3) kegiatan pemangsaan harian dan musiman, dan (4) potensi pemangsaan terhadap hama wereng.
Bahan dan Metode
Perwbaan dilaksanakan di pertanaman padi di Desa Mekarwangi dan Kertamukti Kecamatan Ciranjang. Luas sawah yang digunakan pada setjap lokasi berukuran 0.5 ha. Percobaan dilakukan pada musim padi gadu (Mei hingga Agustus 1998). Tingkat predasi laba-laba dilakukan dengan mengamati aktivitas dan rnenghitung secara langsung laba-laba P. pseudoannulata yang sedang rnemangsa dalam kondisi lapangan. Komposisj mangsa dilakukan dengan
rnengidentifikasi spesies mangsa yang sedang dimangsa dan menghitung proporsinya. Ruang jelajah harian laba-iaba dilakukan dengan mengamati keberadaannya pada setiap waktu selama 24 jam pada pangkal rumpun atau pelepah, daun dan di luar rumpun. Aktivitas harian laba-laba dalam memangsa serangga dicatat dengan cara mengamati aktivitas laba-laba pada pada rumpun padi baik yang sedang memangsa maupun yang tidak memangsa. Laba-laba yang sedang makan mangsa dicirikan oleh adanya mangsa pada keliseranya.
Waktu pengamatan dibagi dalam delapan
-
rentang waktu yaitu pukul00 00 - 03 00, 03 01 06 00, 06 01 - 09 00, 09 01 12 00, 12 01
-
15 00, 15 01
-
? 8 00, 18 01
-
21 00, dan 21 00
-
24 00.
Pengamatan malam hari menggunakan lampu petromaks dan lampu senter. Waktu yang diperlukan untuk setiap pengamatan dicatat. Laba-laba yang terlihat sedang memangsa ditangkap dengan menggunakan aspirator dan dikoleksi dalam alkohol 70 Oh. Aspek-aspek yang diamati adalah ruang jelajah harian, kegiatan pemangsaan terhadap artropoda lain atau pada keliseranya terdapat mangsa, jenis-jenis mangsa dan komposisinya dalam kondisi lapang. Laba-taba yang terkoleksi dibawa ke laboratorium dan dipisahkan antara laba-laba dan mangsanya. Jenis-jenis mangsa yang diperoleh dikoleksi dalam alkohol 70
Oh.
Mangsa diidentifikasi hingga farnili, genus dan
spesies dengan menggunakan kunci identifikasi (Barrion & Litsinger 1994. 1995). Banyaknya individu untuk masing rnasing spesies Ifamili dicatat.
Penetapan jumlah mangsa yang dimangsa oleh seekor laba-laba per hari digunakan formula Edgar sebagai berikut :
yang b = rata-rata mangsa yang ditangkap setiap hari, Tf = lama waktu (jam per hari) laba-laba melakukan kegiatan penangkapan dan makan mangsa, w
= rata-rata proporsi laba-laba dengan mangsa yang teramati selama pengamatan, dan TI, = rata-rata waktu yang diperlukan untuk menangani mangsa (dalam ha1 ini digunakan nilai
Th
untuk
Pardosa sp. dewasa
terhadap nimfa wereng cokelat sebesar 0,72)(Holt et a/. 1988). Sebagai data penunjang untuk mendukung keterkaitan antara tingkat pemangsaan dan populasi serangga terutama hama wereng sebagai mangsa, dilakukan pengamatan komposisi populasi hama wereng punggung putih, wereng cokelat dan wereng hijau. Pengamatan populasi jenis-jenis wereng padi dilakukan dengan alat pengisap D-vac. Banyaknya unit contoh pada setiap pengamatan adalah delapan dan setiap unit contoh terdiri dari 12 rumpun. Rumpun contoh sebelum diisap dikurung dengan kurungan pembatas yang terbuat dari plat besi. Pengurungan dilakukan untuk menghindari larinya serangga dan labalaba ke luar rumpun contoh pada saat pengisapan. Serangga hama wereng yang diperoleh dikoleksi dalam alkohol 70 % untuk selanjutnya diidentifikasi dan dipisahkan yang termasuk wereng punggung putih, wereng cokelat dan wereng hijau (Barrion & Litsinger 1994, lRRl 1983).
Hasil dan Pembahasan Komposisi mangsa Sebanyak 104 kejadian pemangsaan sempat diamati di lapangan, dengan perincian mangsanya : 84.6 % serangga, 4,8 O?
O h
laba-laba, dan 10,6
yang tidak teridentifikasi (Tabel 6.f). Kelompok mangsa yang paling
banyak dimangsa adalah golongan wereng (51 Oh) dan lalat (26 Oh). Kelompok serangga hama relatif lebih tinggi 53
O h
dibandingkan dengan
yang bukan hama (predator dan netral) 36,6O h . Dari golongan hama wereng yang relatif paling sering ditemukan adalah wereng punggung putih. Beberapa penelitian sebelumnya juga melaporkan bahwa laba-laba P. pseudoannulata memangsa berbagai spesies artropoda baik hama maupun bukan hama (IRRI 1978, Kiritani et al. 1972, Ooi & Shepard 1994). Laba-laba ini tidak hanya memangsa hama wereng cokelat dan wereng hijau tetapi juga Cyrtorhinus lividipennis Reuter yang dikenal sebagai predator hama wereng cokelat (Vungsilabutr 1995). Hasil pengamatan rnenunjukkan bahwa jenis hama wereng yang paling banyak dirnangsa
adalah wereng
punggung putih (43.3 %).
Lebih
banyaknya wereng punggung putih yang dimangsa dari pada wereng lainnya tampaknya berhubungan dengan kerapatan populasinya. Selarna penelitian berlangsung, kerapatan populasi dan proporsi populasi wereng punggung putih jauh lebjh tinggi (87 Oh) dari pada wereng cokelat dan wereng hijau (Garnbar 6.1 ).
Tabel 6.1
Jenis artropoda yang d~mangsaoleh P. pseudoannulata di Mekarwangi dan Kertamukti (Mei - Agustus 1998) Jenis mangsa
Hornoptera Delphacidae Cicadellidae Lepidoptera Noctuidae Orthoptera Acrididae Odonata Coenagrionidae Diptera Dolichopodidae Tipulidae Herniptera Gelastocoridae Araneae Tetragnathidae
Jumtah rnangsa
0'9 mangsa
45 3 5
43,3
Ulat
1
1,o
Belalang
1
1,o
Capung
1
,o
22
21.1
5
4,8
5
4.8
1 1
1 .o 1,o 1,o 1,9 10,6
wereng punggung putih. wereng cokelat wereng hijau
lalat lalat Kepik
Dyshiriognatha hawigtenem Barr.& Lit Tetragnatha sp. Lyws~dae Arctosa sp. Lyniphiidae Atypena adelinae Tidak teridentifikasi karena hancur Total
1 2 11
104
2,s 4,s
100
Populasi hama wereng secara umum meningkat seiring dengan beriambahnya urnur tanaman sampai pada urnur 9 rnst. Wereng punggung putih ternyata dominan selama fase pertumbuhan tanaman dan pada umur tanaman 9 mst kerapatan populasinya mencapai 64,5 per 12 rumpun atau lebih kurang 5,37 per rurnpun. Hama wereng wkelat dan wereng hijau ditemukan hampir selama fase pertumbuhan tanaman tetapi populasinya relatif rendah yakni populasi tertinggi masing-masing 6,83 dan 3,5 ekor per 12 rumpun pada umur 9 mst (Gambar 6.2). Arifin (1985) melaporkan bahwa populasi P.
pseudoannulata
meningkat seiring dengan bertambahnya
populasi wereng punggung putih (S. furcifera). Dengan demikian, hama wereng seperti wereng punggung putih, wereng hijau dan wereng wkelat rnerupakan rnangsa utama bagi laba-laba serigala P. pseudoannulata (Arifin 1985, Arifin et
al. 1985, Kiritani et a/. 1972, Ooi & Shepard 1994, Nugaliyadde
1 995).
UU Wereng Cokelat
Garnbar 6.1 Proporsi populasi wereng punggung putih, wereng cokelat dan wereng hijau di pertanaman padi (Mei - Agustus 1998)
Ruang jetajah harian Umurnnya laba-laba serigala, P. pseudoannulata tinggal pada pangkal rumpun padi sepanjang hari terutama pada pertanaman padi yang berada dalarn kondisi rnacak-macak. Pada malarn hari, sebagian besar (93 %) tetap tinggal pada pelepah dan 8 % yang pada daun. Pada siang hari, sebagian dari populasi laba-laba (42 %) aktif berjalan di perrnukaan tanah dan rnencari genangan air untuk mencari rnangsa yang terdapat pada permukaan air (Tabel 6.2).
genangan air untuk mencari mangsa yang terdapat pada permukaan air (Tabel 6.2).
U Wereng cokelat
1
2
3
4
5
6
7
8
9
1
0
1
1
1
2
Umur tanaman (mst) Gambar 6.2 Perbandingan perkembangan populasi tiga spesies wereng di pertanaman padi (Mei - Agustus 1998)
P. pseudoannulata dapat hidup di antara celah-celah tanah, pada tajuk tanaman, di dalam rumpun dan dapat berjalan dengan cepat di atas permukaan air. Laba-laba serigala menangkap mangsa dengan memburu, menyergap dan membunuh artropoda lemah yang
aktif bergerak di
sekitarnya. P. pseudoannulata lebih menyukai tempat-tempat yang lembab terutama sawah yang berada dalam kondisi macak-macak. Pada lahan sawah yang lernbab, laba-laba lebih memilih bagian pangkal rumpun padi sebagai tempat hidup dan berlindung. Kehadiran laba-laba pada bagian tajuk tanaman adalah untuk mencari dan memburu mangsa yang aktif di tajuk. Demikian juga laba-laba yang diternukan di luar rumpun pertanaman padi diduga berupaya untuk mendapatkan mangsa yang berada di sekitar
genangan air.
Lahan sawah pada saat penelitian dalam keadaan kering,
yang dibuat demikian dengan sengaja oleh petani setempat. Pengeringan sawah tersebut yang dimulai 3 mst menyebabkan lahan sawah menjadi relatif kering dan hanya terdapat kelompok-kelompok rumpun tertentu yang tergenang air. Genangangenangan air di sekitar rumpun padi itu dihuni oleh serangga air tertentu yang aktif pada siang hari. Serangga itu juga dimangsa oleh jenis lalat famili Dolichopodidae. Tabel 6.2 Ruang jelajah harian P.pseudoannulata di pertanaman padi (Mei - Agustus 1998)
Waktu
Pada pelepah
Pada daun
Di luar rumpun
Laba-laba yang Teramati (ekor)
2 (1Yo) 4 (340)
235 (37%) 131 (46%) 123 (42%) 122 (46%) 3 (I ,5%) 3 ( I ,5%)
Kegiatan pemangsaan Pengamatan lapangan rnenunjukkan bahwa laba-laba serigala P.
pseudoannulata melakukan kegiatan pemangsaan baik pada siang hari maupun malam hari. Selama rentang waktu 24 jam selalu ditemukan labalaba yang sedang memangsa. Proporsi laba-laba yang ditemukan sedang memangsa adalah
2,2
- 3.7 %
(Tabel 6.3).
Laba-laba
serigala,
P. pseudoannulata termasuk predator umum yang memangsa beragam jenis artropoda terutama serangga,
baik yang berperan sebagai hama maupun
bukan. Beberapa penelitian sebelumnya juga melaporkan ha1 yang sama (IRRI 1978, 1980, Kiritani et al. 1972, Ooi & Shepard 1994). Walaupun proporsi laba-laba yang sedang memangsa relatif rendah, namun sifatnya yang aktif
memangsa pada siang dan
malam hari
menyebabkan laba-laba ini mampu memangsa beragam spesies serangga hama diurnal dan nokturnal. Tabel 6.3
Waktu
Pemangsaan oleh P. pseudoannulata selama 24 jam (Mei Agustus 1998) Lama waktu pengamatan (ism)
Laba-laba yang teramati (ekor)
Laba-laba dengan mangsa (ekor)
% ' Laba-taba
dengan rnangsa
Jumlah individu laba-laba yang ditangkap sedang memangsa relatif rendah pada awal pertumbuhan yakni 1,9 % dan selanjutnya rneningkat menjadi 2,7 - 3.6
Oh
(Tabel 6.4). Hal ~ n karena i pada awal pertumbuhan,
populasi mangsa biasanya masih rendah
Tingkat pemangsaan
Untuk menentukan tingkat pemangsaan dengan menggunakan rumus Edgar dipakai nilai-nilai sebagai berikut. Nilai Tf dan w didasarkan pada pengamatan lapangan, sedangkan Th berdasarkan dugaan dari Holt et (1986).
a/.
Lama waMu P. pseudoannulata melakukan kegiatan pemangsaan
(jam) dalam sehari (T, ) = 24 (Tabel 6.3).rataan proporsi laba-laba yang teramati sedang melakukan kegiatan pemangsaan selama pertumbuhan tanaman (w) = 0,029 (Tabel 6.4), dan rataan lama waktu (jam) laba-laba serigala menangani seekor mangsa (Th) = 0,72 untuk nirnfa wereng cokelat.
-
Tabel 6.4 Tanggal pengarnatan
9-15 Juni 16-22Juni
Pemangsaan oleh P. pseudoannulata selama pertumbuhan tanaman padi (Mei - Agustus 1998)
Urnur tanarnan
Lama waktu pengamatan (jam)
5
7
0,019
6
pmporsi laba-laba memangsa
7
7.5 8
0,036
23-29Juni 30/6-5Juli
8
7.5
0,035
9
8
6-12Juli 13-18Juli
10
0,029 0,028 ..0.027
4,5
Rataan
Hasil
0,029
perhitungan
menunjukkan
bahwa
seekor
laba-laba
P.
pseudoannulata mampu memangsa sekitar 0,99 atau sekitar satu ekor nimfa wereng
per harinya. Nilai tingkat pemangsaan ini jauh
lebih kecil
dibandingkan dengan hasil penelitian di laboratorium yang dilaporkan dapat mencapai 15
-
20 ekor wereng setiap harinya (Shepard et at. 1987,
Vungsilabutr
1995).
Perbedaan tingkat pemangsaan ini diduga karena
penelitian laboratorium biasanya dilaksanakan pada ruang terbatas, mangsa terdiri hanya dari satu spesies dan stadium tertentu, serta dengan laba-laba yang dipuasakan terlebih dahulu. Dengan mempertimbangkan lama stadium nimfa wereng yang lamanya sekitar 10 hari, maka jumlah wereng yang dapat dimangsa oleh seekor labaSelama penelitian
laba selama periode tersebut adalah sekitar 10 ekor. berlangsung kerapatan laba-laba 2 ekor per rumpun.
Pada keadaan
demikian, populasi laba-laba pada setiap rumpun diperkirakan mampu memangsa 20 ekor nimfa selama periode perkembangan nimfa wereng. Potensi laba-laba sebagai penekan perkembangan populasi hama wereng dapat
berkurang jika
keberadaannya terganggu
oleh
penggunaan
insekt~sida,atau nisbahnya terhadap populasi wereng mengecil akibat penggunaan varietas padi yang rentan.
Kesirnpulan Berbeda dengan anggapan sebelumnya, penelitian ini menunjukkan bahwa laba-taba P. pseudoannulata adalah predator yang bersifat time
generalist yang aktif mernangsa pada setiap saat. Sifat generalis ini merupakan ciri yang baik yang dimiliki P. pseudoannulata karena mampu memangsa pada siang hari dan malam hari. Di lapangan hama yang paling sering diternukan sedang dimangsa adalah kelompok wereng. Pengamatan lapangan pada kondisi sawah di Cianjur saat itu, diduga seekor taba-laba dewasa mampu rnemangsa satu ekor nirnfa wereng setiap harinya.
Daftar Pustaka Agnew, Ch. W. & J. W. Smith JR. 1989. Ecology of spiders (Araneae) in a peanut agroecosystem. Environ. Entomol. 18(1) : 3042. Arifin. K. 1985. Perkembangan populasi wereng punggung putih (Sogatella furciifera Horvarth) dan laba-laba selama pertumbuhan padi. Penelitian Pertanian. 5 ( I ) : 5 - 7. Arifin, K. & T. Sumarto. 1987. Kemampuan predator (Paederus sp.. Ophionea sp. dan Lycosa sp.) dalam memangsa wereng coklat (Nilaparvata Iugens Stal.) pada tanaman padi di rumah kaca. Makalah disampaikan pada Kongres Entomologi Ill, Jakarta 30 September - 2 Oktober 1987. 1985. Arifin, M., S. Wirjosuhardjo, S. Mangoendifiardjo & K. Untung. Kemampuan Lycosa pseudoannulata Boes et Str. memangsa wereng wklat pada berbagai tingkat ketahanan padi. Penelitian Pertanian. 5 (1) : 40 -42. Barrion, A. T. 1980. The spider fauna of Philippine dryland and wetland rice agroecosystems. Faculty of the Graduate School, University of the Philippines at Los Banos. Thesis. 276 p. Barrion, A. T. & J. A. Litsinger 1994. Taxonomy of rice insect pests and their arthropod parasites and predators. In E. A. Heinrichs (ed). Biology and management of rice insects. Publishing for One World Wiley Eastern Limited New Age lnternational Limited. 13 - 362 Barrion, A. T. 8 J. A. Litsinger 1995. Riceland spider of South and Southeast Asia. lnternational Rice Research Institute. Manila. CAB International. 716 p. Holt, J., A. G. Cook, T. J. Perfectt & G. A. Norton. 1986. Simulation analysis of brown planthopper (Nilaparvata lugens) population dynamics on rice in the Philippine. J. Appl. Ecol. 24(1) : 87-102. lnternational Rice Research Institute. 1978. Annual :Report for 7977. Los Banos, Philippines. 548 p. lnternational Rice Research Institute. 1980. Annual Report for 7979. Los Banos, Philippines. 538 p.
International Rice Research Institute. 1983. Field problems of tropical rice. Los Banos Philippines. 172 p. Kamal, N. Q., A. Odud & A. Begum. 1990. The spider fauna in and around the Bangladesh Rice Research Institute farm and their role as predator of rice insect pest. Philipp. Entomol. 8(2) 771-777. Kiritani, K., S. Kawahara, T. Sasaba, & F. Nakasuji 1972. Quantitative evaluation of predation by spiders on the green rice leafhopper, Nephotettix cinticeps Uhler, by a sight-count method. Res. Popul. Ecol. 7 3 : 187 - 200. Nugaliyadde, L. 1995. Population growth of rice brown planthopper in Sri Lanka. Paper presented at Workshop on Sustainable IPM in Tropical Rice, Bogor, Indonesia, 5 - 7 December 1995. 14 p. Ooi, P. A. C. & B. M. Shepard. 1994. Predators and parasitoids of rice insect pests. In E. A. Heinrichs (ed). Biology and management of rice insects. Publishing for One World, Wiley Eastern Limited, New Age International Limited. 585 - 612. Riechert, S. E. & T. Lockley 1984. Spiders as biological control agents. Annu. Rev. Entomol. 29: 299-320. Shepard, B. M., A. T. Barion & J. A. Litsinger 1987. Friends of the rice farmer. Helpful insects, spiders, and pathogens. IRRl Los Banos, Laguna Philippine. 136p. Vungsilabutr, P. 1995. Population growth pattern of the rice brown planthopper in Thailand (in relation to the population of its parasitoids and predators). Paper presented at the Workshop on Sustainable IPM in Tropical Rice. Bogor, Indonesia, 5 - 7 December 1995.
BAB VII
PEMBAHASAN UMUM
Komunitas laba-laba pada ekosistem padi sangat penting untuk dipahami dalam usaha mengoptimalkan peranan laba-laba sebagai musuh alami yang potensial mengendalikan populasi serangga hama. Hasil penelitian (Bab 111) yang dilakukan di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat telah menernukan 46 spesies laba-laba yang tergolong dalam 17 famili. Laba-laba pada pertanarnan padi dapat dikelompokkan dalam dua golongan yaitu (1) laba-laba yang secara aktif memburu rnangsa, dan (2) laba-laba yang membangun jaring dan hanya memangsa mangsa yang terperangkap pada jaring.
Dari 46 spesies yang terkoleksi hanya satu spesies yang relatif
dorninan pada semua tipe ekosistem padi selama pertumbuhan tanaman, yaitu laba-laba serigala Pardosa pseudoannulafa (Boes. 2% Str.). Populasinya meningkat
seiring
dengan
bertambahnya
umur
tanaman
(Bab
V).
Kemampuan berpencar yang baik dengan cara aktif berjalan di permukaan tanah dan terbawa melalui udara memungkinkannya untuk menginvasi setiap ekosistem (Bab IV).
Di samping itu laba-laba serigala aktif
memangsa beragam jenis artropoda terutama serangga (Bab Vt). Ekosistem pertanaman padi di Indonesia mempunyai keragaman spesies laba-laba yang cukup besar. Pada persawahan padi-padi-padi dengan pengelolaan sawah tradisional ternyata memiliki jumlah spesies laba-laba dan keragaman spesies yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan persawahan lainnya (Bab Ill). Hal ini dimungkinkan oleh keragarnan lingkungan sekitar persawahan seperti tipe dan struktur vegetasi yang sangat beragam, pengelolaan sawah yang masih tradisional serta tidak
diperlakukan dengan insektisida. Pada hamparan sawah yang lebih luas, dengan persawahan yang beragam keadaan lingkungan sekitarnya dan cara pengelolaan yang berbeda diduga akan lebih banyak spesies laba-laba yang diperoleh. Hal yang mendukung keragaman spesies yang lebih besar khususnya di
negeri
ini,
adalah
daerah
dengan
iklim tropis
yang
memungkinkan terbentuknya keragaman flora dan fauna yang berperan dalam perkembangan komunitas laba-laba. Kekayaan spesies laba-laba yang cukup besar di pertanaman padi merupakan indikasi bahwa akan sangat banyak spesies serangga baik hama maupun bukan hama pada pertanaman padi yang dimangsa oleh laba-laba. Laba-laba yang menginvasi pertanaman padi terdiri dari kelompok laba-laba pembuat jaring dan kelompok laba-laba pemburu (Bab IV). Kelompok laba-laba pembuat jaring kerapatan populasinya relatif lebih rendah dibandingkan dengan laba-laba pemburu. Faktor yang diduga menyebabkan perbedaan kerapatan populasi pada dua kelompok laba-laba tersebut adalah kemampuan bersaing rnenernpati relung yang tersedia dan perilaku laba-laba dalam menginvasi pertanaman. Kelompok laba-laba pembuat jaring biasanya memerlukan ruang khusus untuk membangun jaring sehingga
pada
persemaian
dan
tanaman
muda jarang
ditemukan;
memperoleh makanan atau mangsa dari jaring yang dibangunnya; dan menginvasi pertanaman dengan cara pasif yaitu terbawa melalui udara. Terdapat tiga famili yang dominan terbawa udara yaitu Lyniphiidae (47 %). Tetragnathidae (31,I%) dan Araneidae (1 5,s O h ) (Tabel 4.1).
Kelompok
laba-laba pernbuat jaring terutama yang berukuran kecil seperti famili Lyniphiidae umumnya menginvasi pertanaman dengan mefalui angin (Bishop
1990, Bishop & Riechert 1990). Kelompok laba-laba pemburu mendominasi di persemaian, pematang dan tajuk selama fase pertumbuhan tanaman padi (Tabel 4.1). Beberapa faktor yang mendukung dominasi kelompok laba-laba pemburu, yaitu laba-laba tidak memerlukan ruang untuk membangun jaring, secara aktif memburu mangsa, jenis mangsa yang sangat beragam, dan aktif menginvasi suatu pertanaman baru.
Plagens (1986) menyatakan bahwa
laba-laba pemburu umumnya menginvasi pertanaman dengan secara aktif berjalan di atas permukaan tanah. Kelompok
laba-laba
pemburu didominasi
terutama P. pseudoannulata
oleh
farnili
Lycosidae
baik pada persemaian maupun pertanaman
padi selama fase pertumbuhan tanaman (Bab V). Berbagai keunggulan spesies laba-laba ini dibandingkan dengan spesies lainnya dalam famili Lycosidae
adalah
bahwa
laba-laba
ini
dapat
bertahan hidup
dan
berkembang baik pada pematang sawah maupun di tengah sawah, sedangkan spesies lainnya biasanya hanya ditemukan di tepi sawah dan atau di sawah saat menjelang panen dengan kondisi air sawah retatif kering. Laba-laba ini sangat aktif bergerak dengan berjalan di permukaan tanah dan berjalan di atas permukaan air.
Laba-laba serigala memangsa beragam
jenis artropoda yang berukuran relatif kecil dan lemah yang baik yang tergolong hama maupun bukan (Tabel 6.1 ). Keunggulan dalam menginvasi pertanaman dan perilaku yang demikian mernungkinkan laba-laba serigala mendominasi semua ekosistem yang diteliti. Laba-laba ini sudah hadir sejak awal tanam atau tergolong sebagai predator perintis (Rauf 1989). Populasi laba-laba P. pseudoannulafa berkembang seiring dengan pertumbuhan tanaman padi (Bab V). Penurunan populasi yang terjadi pada
dua petak persemaian ternyata disebabkan oleh aplikasi insektisida baik secara semprotan (Bassa) rnaupun yang ditabur (Curater) (Gambar 5.1). Berkembangnya struktur tanaman yang sejalan dengan pertumbuhannya menyediakan relung yang lebih beragam bagi artropoda yang hidup dan berlindung termasuk
laba-laba
dan
serangga
mangsa.
Peningkatan
kerapatan populasi laba-laba ini didukung oleh tersedianya makanan yang cukup bagi laba-laba antara lain hama wereng. Hal ini terbukti dari peningkatan populasi hama wereng yang juga seiring dengan perturnbuhan tanaman (Gambar 5.3). Faktor lain yang penting yang turut mempengaruhi perkembangan populasi
laba-laba
P. pseudoannulata
di
pertanaman
padi
adalah
pengelolaan air selama pertumbuhan tanaman. Hal ini telah diarnati penulis selama penelitian yakni pada lahan sawah yang dipertahankan dalam keadaan macak-macak seperti pada ekosistem padi tipe C (Gambar 5.3). Pada ekosistern itu terjadi peningkatan populasi laba-Iaba serigala hingga tanaman padi menjelang panen. Beberapa bukti menunjukkan bahwa populasi laba-laba terhambat apabila sawah sering dikeringkan seperti di pertanaman padi tipe B (Gambar 5.3) dan tipe
C musim gadu (Gambar 4.3).
Dalam hubungan itu terlihat adanya pengelornpokan laba-laba pada rumpun padi yang berdekatan dengan air seperti sekitar saluran air dan genangan air, sedangkan pada bagian sawah yang sangat kering jarang ditemukan laba-laba. Bukti lainnya adalah laba-laba yang mernbangun jaring sangat jarang
ditemukan
pada sawah yang
kering; biasanya laba-laba itu
membangun jaringnya di petak sawah yang airnya tergenang.
Hasil penelitian pemangsaan laba-laba P. pseudoannulata (Bab VI) rnenunjukkan bahwa laba-laba ini memangsa beragam jenis artropoda terutama serangga baik yang tergolong hama maupun bukan hama. pseudoannulafa ternyata memangsa beberapa spesies
P.
hama penting
kelompok wereng seperti wereng batang punggung putih, wereng batang cokelat, wereng daun hijau (Bab Vl). Dalam penelitian ini hama wereng punggung putih relatif lebih sering ditemukan dimangsa oleh laba-laba ini karena harna tersebut mendominasi serangga hama selama pertumbuhan tanaman. Di samping itu, laba-laba serigala memangsa serangga dan labalaba lain yang berperan sebagai predator terhadap serangga hama. Apabila spesies hama wereng batang cokelat yang dominan maka yang
paling
banyak adalah hama wereng wkelat. Beberapa penelitian tentang jenis serangga hama yang dimangsa oleh
laba-laba serigala yang telah
dilaporkan rnenyatakan bahwa laba-laba ini memangsa terutama wereng hama seperti wereng-batang wkelat, wereng-daun hijau dan wereng-batang punggung putlh (IRRI 9 978, Ooi & Shepard 1994, Shepard et at. 1987). Laba-laba secara aktif melakukan pemangsaan baik pada siang hari maupun malam hari (Tabel 6.2). dengan demikian dapat memangsa beragam jenis serangga terutama serangga hama yang aktif siang (diurnal) dan yang aktif malam hari (nokturnal). Di lapangan terlihat bahwa laba-laba akan bereaksi dan menyergap setiap mahluk bergerak yang berukuran relatif kecil di dekatnya, tetapi apabila setelah didekati mahluk itu ternyata tidak bergerak maka akan ditinggalkan. Dalam kondisi lapangan, diduga seekor laba-laba dewasa dapat memangsa satu ekor nimfa wereng per hari (Bab VI). Dibandingkan dengan
hasil penelitian laboratorium yakni seekor laba-laba dapat rnemangsa 15 - 20 ekor per hari maka nirai tersebut sangat rendah. Biasanya di laboratorium kondisi lingkungan berubah terutama ruang yang terbatas, suhu yang relatif stabil, mangsa hanya satu spesies, populasi mangsa terkontrol, laba-laba dilaparkan sebelum perlakuan dan sebagainya.
Diharapkan dengan hasil
penelitian ini dapat memberikan informasi yang lebih mendekati
dengan
yang terjadi dalam kondisi lapangan, terutama dalam hubungan dengan perkembangan populasi serangga hama wereng. Berdasarkan pada hasil penelitian yang diperoleh, rnaka dapat dinyatakan bahwa laba-laba serigala P. pseudoannulata adaalh predator serangga hama yang potensial karena dapat ditemukan pada semua areal persawahan, memiliki kemampuan memencar yang baik dengan berjalan dan melompat baik di permukaan tanah maupun permukaan air serta melalui udara (melayang) dari sekitar areal persawahan. Laba-laba ini dapat rnernangsa beragam spesies hama penting pada tanaman padi, kemampuan rnemangsa serangga hama yang relatif tinggi, dan dapat dikonservasi dengan
mudah.
Dengan demikian
laba-laba
ini
dapat
dioptirnalkan
peranannya untuk dimanfaatkan guna penyempurnaan pengendalian hama secara terpadu. Sampai saat ini pemanfaatan laba-laba sebagai agens pengendalian hayati terhadap serangga hama pada tanaman padi belum diterapkan pada pengendalian hama pertanaman padi terutama dalarn program pengendalian hama secara terpadu. Sekalipun dalam sosialisasi PHT melalui Sekolah Lapang PHT (SLPHT) telah dimasukkan salah
satu
mata pelatihan
pemantauan tentang populasi laba-laba (PNPHT 199411995). namun dalam
penerapannya petani masih sering mengabaikan perlindungan bahkan konservasi terhadap laba-laba. Beberapa cara pengelolaan pertanaman padi yang dapat diusulkan untuk konsewasi musuh alami umum termasuk labalaba adalah penurunan penggunaan pestisida dan menambah heterogenitas habitat bagi predator itu (Settle et at. 1996). Beberapa ha1 yang perlu dilakukan untuk mengoptirnalkan peran labafaba adalah menurunkan penggunaan pestisida dan mempertahankan habitat yang didiami oleh Iaba-laba serigala seperti membiarkan saturan air di sekitar persawahan ditumbuhi tumbuhan liar, dan demikian juga pematang sawah. Pada dasarnya cara tersebut dapat membantu meningkatkan keragaman vegetasi sekitar sekitar lahan sawah yang kesesuaian
habitat
bagi
laba-laba.
Upaya
itu
dapat
mernpertinggi mendukung
pengendalian hama dengan menciptakan lingkungan yang bermanfaat bagi berkembangnya musuh alami yang dapat mengendalikan populasi serangga hama sesuai dengan konsep PHT.
Daftar Pustaka Bishop, L. 1990. Meteorological aspects of spider ballooning. Environ. Entornol. 19 (5) 1381 - 1387. Bishop, L. & S. E. Riechert. 1990. Spider colonization of agroecosystem : Mode and source. Environ. Entomol. 19 (6) : 1738 - 1745. International Rice Research Institute. 1978. Annual Report for 1977. Los Banos. Philippines. 548 p.
Ooi, P. A. C. & B. M. Shepard. 1994. Predators and parasitoid of rice insect pests. In E. A. Heinrichs (ed). Biology and management of rice insects. Publishing for One World, Wiley Eastern Limited, New Age International Limited. pp 585 - 612. Plagens, M. J. 1986. Aerial dispersal of spiders (Araneae) in a Florida corn field ecosystem. Environ. Entomol. 15 1225 - 1233. Proyek Nasional Pengdalian Hama Terpadu. 199411995. Buku petunjuk lapangan untuk PHT padi. Proyek PHT Pusat Departemen Pertanian. 148 hal. Rauf, A. 1989. Aspek ekologi pengelolaan hama. Makalah disampaikan pada Kursus Singkat IPM. Manado, 10-21 Januari 1989.62 h. Settle, W. H., H. Ariawan, E. T. Astuti, W. Cahyana, A. L. Hakim, D. Hidayana, A. S. Lestari, Sartanto & Pajamingsih. 1996. Managing tropical rice pests through conservation of generalist natural enemies and alternative prey. Ecology 77 (7) : 1975 - 1988. Shepard, B. M., A. T. Barrion & J. A. Litsinger. 1987. Helpful insects, spiders, and pathogens. IRRI. Los Banos, Laguna Philippines. 136 p.
BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN Ekosistem persawahan di Kabupaten Cianjur dihuni oleh 46 spesies laba-laba yang tergolong ke dalam 17 famili Sebagian dari spesies itu ditemukan sejak di persemaian dan di pematang. Jenis laba-laba yang paling dominan adalah Panlosa pseudoannulata (Boes. & Str.) Keragaman spesies laba-laba pada berbagai ekosistem padi berkaitan dengan pola tanam, vegetasi sekitar dan penggunaan pestisida. Laba-laba yang berkolonisasi pada pertanaman padi terdiri dari kelompok laba-laba pemburu dan kelompok laba-laba pembuat jaring. Kelornpok laba-laba pemburu yang didominasi oleh P. pseudoannulata menginvasi pertanaman padi dengan secara aktif bergerak di permukaan tanah. Kelompok laba-laba pembuat jaring yang didominasi oleh A. adelinae menginvasi pertanaman padi secara pasif yaitu melalui gerakan udara atau rnelayang. Pernatang rnerupakan surnber kolonisasi laba-laba. Pada awal musim tanam, laba-laba yang berkolonisasi relatif rendah ragam spesies laba-laba dan kerapatan populasinya. Pernagaran dapat secara nyata menghambat masuknya laba-laba yang bergerak di permukaan tanah tetapi tidak berpengaruh terhadap laba-laba yang terbawa udara. Laba-Iaba serigala
P. pseudoannulata ditemukan sejak di persemaian
hingga di pertanaman menjelang panen. Perkembangan populasinya selama fase perturnbuhan tanarnan berhubungan dengan ketersediaan relung yang lebih banyak yang berupa anakan padi, dan ketersediaan mangsa yang lebih berlirnpah. Kondisi air sawah dan penggunaan insektisida berpengaruh buruk terhadap kelirnpahan populasi P. pseudoannulata. meningkat seiring
dengan bertambahnya populasi hama wereng dan fase pertumbuhan tanaman padi. Struktur populasi laba-laba di persemaian dan fase vegetatif didominasi oleh instar 1 4 , sedangkan di pertanaman pada fase generatif didominasi oleh dewasa. Laba-laba serigala P. pseudoannulata merupakan jenis
predator
pernburu yang paling dominan di pertanaman padi. Berbeda dengan anggapan
sebelumnya,
penelitian
ini
menunjukkan
bahwa
P.
pseudoannulata adalah predator yang bersifat time generalist yang aktif mernangsa pada setiap saat. Sifat generalis ini merupakan ciri yang baik yang dimiliki P. pseudoannulata karena mampu mernangsa pada siang hari dan malam hari. Di lapangan hama yang paling sering ditemukan sedang dimangsa adalah kelompok wereng. Berdasarkan data lapangan dalam kondisi sawah di Cianjur saat itu, diduga seekor laba-laba dewasa mampu mernangsa satu ekor nimfa wereng setiap harinya. Untuk memperoleh pengetahuan yang lebih menyeluruh mengenai spesies laba-laba yang hidup di ekosistem padi dan spesies yang potensial untuk pengendalian serangga harna padi di Indonesia, disarankan untuk rnelakukan penelitian di daerah lainnya terutama di beberapa pusat pertanaman padi dengan kondisi persawahan yang berbeda. Laba-laba serigala P. pseudoannulata yang merupakan laba-laba pernburu mangsa yang paling dominan baik pada pesemaian maupun pertanaman dan kerapatan populasinya relatif tinggi selama pertumbuhan padi, disarankan untuk dikonservasi karena potensinya yang sangat baik untuk mengendalikan serangga harna terutama kelompok hama wereng. Dalam usaha rnengkonservasi dan meningkatkan populasi laba-laba yang sudah ada di persawahan baik yang berasal dari rnigrasi maupun yang
telah ada sejak awal musim tanarn, habitat
disarankan untuk rnempertahankan
laba-laba yang terdapat di sekitar petak sawah, seperti pernatang
dan saluran air yang
ditumbuhi turnbuhan liar dan rnenekan penggunaan
insektisida. Demikian juga pada saat pengolahan sawah sebaiknya tidak rnernbersihkan secara penuh pematang dan saluran air yang rnerupakan habitat laba-laba.
DAFTAR PUSTAKA Agnew, Ch. W. & J. W. Smith JR. 1989. Ecology of spiders (Araneae) in a peanut agroewsystem. Environ. Entomol. 18 ( I ) : 30 - 42. Alderweireldt. M. 1989. An ewlogical analysis of the spider fauna (Araneae) occuring in maize fields, Italian ryegrass and their edge zones, by means of different multivariate techniques. Agric. Ecosyst. Environ. 27:293-306. Altieri, M. A. & L. L. Schmidt. 1986. The dynamics of colonizing arthropod communities at the interface of abandoned, organic and commercial apple orchards and adjacent woodland habitats. Agric. Ewsyst. Environ. 16 : 29 - 43. Andow, D. A. 1991. Vegetational diversity and arthropod population response. Annu. Rev. Entomol. 36 : 561 - 586. Arifin, K. 1985. Perkembangan populasi wereng punggung putih (Sogatella furcifera Horvarth) dan laba-laba selama pertumbuhan padi. Penelitian Pertanian. 5 (1) : 5 - 7. 1987. Kemampuan predator (Paederus sp., Arifin. K. & T. Sumarto. Ophionea sp. dan Lycosa sp.) dalam memangsa wereng coklat (Nilaparvata lugens Stal.) pada tanaman padi di rumah kaca. Makalah d~sampaikanpada Kongres Entomologi Ill, Jakarta 30 September - 2 Oktober 1987. 1985. Arifin, M., S. Wirjosuhardjo, S. Mangoendihardjo & K. Untung. Kemampuan Lycosa pseudoannulafa Boes et Str. memangsa wereng wklat pada berbagai tingkat ketahanan padi. Penelitian Pertanian. 5 (1) : 40 -42. Barrion, A. T. 1980. The spider fauna of Philippine dryland and wetland rice agroecosystem. Faculty of the Graduate School, University of the Philippine at Los Banos. Thesis. 276 p. Barrion, A. T . & J. A. Litsinger. 1990. Taxonomy of rice insecf pests and their arthropod parasites and predators. Department of Entomology, lnternational Rice Research Institute. Manila. 580 p. Barrion, A. T. & J. A. Litsinger. 1994. Taxonomy of rice insect pests and the~rarthropods parasites and predators. In E. A. Heinrichs (ed). Biology and Management of rice insects. Publishing for One World Wiley Eastern Limited New Age International Limited. pp. 13 - 362.
Barrion, A. T. & J. A. Litsinger. 1995. Riceland spider of South and Southeast Asia. International Rice Research Institute. Manila. CAB International. 716 p. Begon, M., J. L. Harper & C. R. Townsend. 1986. Ecology : Individuals, population and communities. Blachwell Scientific Publications. 876 p. Berryman, A. A. 1981. Population systems : A general introduction. A General Press New York. 222 p. Biro Pusat Statistik (BPS). 1998. Buletin ringkas BPS. Jakarta. Bishop, L. 1990. Meteorological aspects of spider ballooning. Environ. Entomol. 19 (5) : 1381 - 1387. Bishop, L. & S. E. Riechert. 1990. Spider colonization of agroecosystem : Mode and source. Environ. Entomol. 19 (16) : 1738 - 1745. Cheng, J. 1995. Arthropods community structures in rice ecosystem of China. Paper presented at the Workshop on Sustainable IPM in Tropical Rice, Bogor. Indonesia, 5 - 7 Desember 1995. 15 p. Chiu, S. S. C. 1977. Biological control of brown planthopper, Nilaparvata lugens. Brown Planthopper Symposium, IRRI, Los Banos 18 - 22 April 1977. 48 p. Dicko, I. 0. 1998. Indigenous knowledge of pest and beneficial arthropods fauna on sorghum and groundnut in Burkinafaso. International Arachis Newsletter. 18 : 24 - 27. Foelix, R. F. 1982. Biology of spiders. Harvard University Press. Cambridge Massachisetts, and London, England. 306 p. Heinrichs. E. A. 1994. Rice. In E. A. Heinrichs (ed). Biology and management of rice insects. Publishing for One World Wiley Eastern Limited New Age International Limited. pp. 1 - 12. Heong, K. L. 1984. Quantitative evaluation in biological control. Lumpur, Malaysia. 19 p.
Kuata
Heong, K. L., G. B. Aquino and A. T. Barrion. 1991. Arthropod community structures of rice ecosystems in the Philippines. Bull. Entomol.Res. 81 : 407 - 416.
Holt, J., A. G. Cook, T. J. Perfectt & G. A. Norton. 1986. Simulation analysis of brown planthopper (Nilapan/ata lugens) population dynamics on rice in the Philippine. J. Appl. Ewl. 24(1) : 87-102. Horn, D. J. 1988. Ecological approach to pest management. The Guilford Press, New York. 285 p. Hossain, M. 1995. Rice research for food security and sustainable agricultural development in Asia : Achievements and future challenges. Geo-Journal 35 (3) 286 -298. Huggan, R. D. 1995. Co-evolution of rice and humans. Geo-Journal 35 (3) 262 - 265. Hung, N. Q. & L. P. Lan. 1995. Progress study on the arthropod community of rice ecosystems in the Mekong Delta, Vietnam. Paper presented at the Workshop on Sustainable IPM in Tropical Rice, Bogor, Indonesia. 5 - 7 Desember 1995. 39 p. Immonen, K. 2% J. Itamies. 1994. Wolf spiders (Araneae, Lycosidae) in four habitats in Kuhno, Central Finland. Memoranda Soc. Fauna Flora Fennica 70 : 87 - 95. lnternational Rice Research Institute. 1978. Annual Report for 1977. Los Banos, Philippines. 548 p. lnternational Rice Research institute. Banos, Philippines. 478 p.
1979. Annual Report for 1978. Los
lnternational Rice Research Institute. 1980. Annual Report for 1979. Los Banos, Philippines. 538 p. lnternational Rice Research Institute. 1983. Field problems of tropical rice. Los Banos Philippines. 172 p. Jackson, R. R. & S. D. Pollard. 1996. Predatory of jumping spiders. Annu. Rev. Entomol. 41 : 195 - 308. Kamal, N. Q., A. Odud & A. Begum. 1990. The spider fauna in and around the Bangladesh Rice Research Institute farm and their role as predator of rice insect pest. Philip. Entomol. 8 (2) : 771 - 777.
Kaston, B. J. 1978. How to know the spiders. The pictured Key Nature Series, WM. C. Brown Company Publishers Dubuque, Iowa. 272 p. Kidd, N. A. C. & M. A. Jervis. 1996. Population dynamics. In M. A. Jervis & N. A. Kidd (eds). Insect natural enemies. Practical approaches to their study and evaluation. Chapman & Hall London. 293 - 374. Kiritani, K. & N. Kakiya. 1975. An analysis of the predator-prey system in the paddy fields. Res. Popul. Ecol. 17 : 29 - 38. Kiritani, K., S. Kawahara, T. Sasaba & F. Nakasuji. 1972. Quantitative evaluation of predation by spiders on the green rice leafhopper, Nephotettix cinticeps Uhler, by a sight-count method. Res. Popul. Ecol. 13 : 187 - 200. Kobayashi, S. & H. Shibata. 1973. Seasonal changes in population density of spiders in paddy fields with reference to the ecological control of rice insects pests. Appl. Entomol. Zool. 17(4) : 193 - 202. Koponen, S. ?996. Diversity and similarity of northern spider faunas. Acta Zool. Fennica 201 : 3 - 5. Khush, G. S. 1995. Modern varieties - their real contribution to food supply and equity. Geo-Journal 35 (3) : 275 - 284. Kumar, P., R. Singh & S. K. Pandey. 1996. Population dynamics of rice leaf folder, Cnaphalocrosis medinalis Guen., in relation to stage of the crops, weather factors and predatory spiders. J. Entomol. Res. 20 (3) : 205- 210. Lampe, K. 1995. Rice Research : Food for 4 billion people. Geo-Journal 35 (3) 253 - 259. Luck, R. F. 1992. Techiques for studying the impact of natural enemies. In P. A. C. Ooi, G. S. tirn & P. S. Tengk (eds). Biological control : Issues in the tropics. Proceeding of the Biological Control Session Third. International Conference on Plant Protection in the Tropics Held in Genting Highlands, Malaysia. pp. 69-83. Luck, R. F., B. M. Shepard & P. E. Kenmore. 1988. Experimental methods for evaluating arthropod natural enemies. Annu. Rev. Entornol. 33 : 367 - 391.
Magurran, A. A. 1987. Ecological diversity and ifs measurement. Princeton University Press, Princeton, New Jersey. 179 p. Mangan, R. L. & R. A. Byers. 1989. Effects of minimum tillage practices on spider activity in old field swards. Environ. Entomot. 18 (6) : 945 - 952. Mclver, J. D. & C. H. Tempelis. 1993. The arthropod predators of antmimetic and aposematic prey : a serological analysis. Ecol. Entomol. 18 : 218 -222. Nakamura, K. 1968. The ingestion in wolf spiders. I. Capacity of gut of Lycosa pseudoannulafa. Res. Popul. Ecol. 10 : 45 - 53. Nakamura, K. q972. The ingestion in wolf spiders. II. The expression of degree of hunger and amount of ingestion in relation to spiders hunger. Res. Popul. Ecol. 14 : 82 - 96. Nugaliyadde, L. 1995. Population growth of rice brown planthopper in Sri Lanka. Paper presented at the Workshop on Sustainable IPM in Tropical Rice, Bogor. Indonesia, 5 - 7 Desember 1995. 14 p. Nyffeler, M., D. A. Dean & W. L. Sterling. 1987a. Evaluation of the importance of the striped lynx spider, Oxyopes salticus (Araneae, Oxyopidae) as a predator in Texas cotton. Environ. Entomol. 16 (2) : 355 - 359. Nyffeler, M., D. A Dean & W. L. Sterling. 1987b. Predation by lynx spider, Peucetia viridans (Araneae, Oxyopidae), inhabiting cotton and woody croton plants in East Texas. Environ. Entomol. 36 (2) : 355 - 359. Nyffeler, M. & G. Benz. 1988. Feeding ecology and predatory importance of wolf spiders (Pardosa spp.) (Araneae, Lycosidae) in winter wheat fields. J. Appl. Entomol. 106 : 123 - 134. Nyffeler, M., W. L Sterling & D. A. Dean. 1994. How spiders make a living. Environ. Entomol. 23 (6) : 1357 - 1367. Oka, I. N. 1995. Pengendalian hama terpadu dan implementasinya di Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 255 h. Okuma, C., M. H. Lee & N. Hokyo. 1978. Fauna of spiders in a paddy fields in Suweon, Korea. Esakia 1 1 : 81 - 88.
Ooi, P. A. C. & B. M. Shepard. 1994. Predators and parasitoids of rice insect pest. tn E. A. Heinrichs (ed). Biology and management of rice insects. Publishing for One World, Wiley Eastern Limited, New Age International Limited. pp. 585-612. Plagens, M. J. 1986. Aerial dispersal of spiders (Araneae) in a Florida corn fields ecosystem. Environ. Entomol. 12 : 272 - 585. Powell, W., M. P. Watton & M. A. Jervis. 1996. Populations and communities. In M. Jervis & N. Kidd. (eds). Insect natural enemies. Practical approaches to their study and evaluation. Chapman & Hall, London. pp. 223 - 292. Price, J. F. & M. Shepard. 3980. Sampling ground predators in soybean fields. In M. Kogan & D. C. Herzog (eds). Sampling methods in soybean entomology, Springer Verlag, New York. pp. 532 - 543.
-
Rauf, A. 1989. Aspek ekologi pengelolaan hama. Materi kursus singkat IPM, Manado. 5 - 21 Januari 1989. Rauf, A. 1994. Pengenda1;ian hama terpadu : Back to basic. Disampaikan dalam Seminar Himpunan Mahasiswa Proteksi Tanaman, Bogor. 3 Desember 1994. 10 h. Rauf, A,, T. Marse & N. K. Hutagalung. 1994. Pengendalian hama terpadu : Kasus sekolah lapang di Jawa Barat. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Pengembangan Keterkaitan Kelembagaan Dalam Rangka Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia Agribisnis, Bogor. 20 September 1994. 21h. Rauf, A. 1996. Analisis ekosistem dalam pengendalian hama terpadu. Materi Pelatihan Peramalan Hama dan Penyakit Tanaman Padi dan Palawija Tingkat Nasional. Jatisari. 2 - 9 Januari 1996. I1h. Riechert, S. E. & T. Lockley. 1984. Spiders as biological control agents. Annu. Rev. Entomol. 29 : 299 - 320. Roach, S. H. 1987. Obseniation on feeding and prey selection by Phidippus audax (Hentz) (Araneae : Salticidae). Environ. Entomol. 16 (5) : 1098 2102. Robinson, M. H. 1982. Courtship and mating behavior in spiders. Annu. Rev. Entomol. 27 : 1 - 20.
Rubla, E. G., L. P. Almazan & K. L. Heong. 1990. Predation of yellow stem borer (YSB) moths by wolf spider. IRRN. 15 (5). Settle, W. H., H. Ariawan, E. T. Astuti, W. Cahyana, A. L. Hakim, D. Hidayana, A. S. Lestari, Sartanto & Pajarningsih. 1996. Managing tropical rice pests through conservation of generalist natural enemies and alternative prey. Ecology 77 (7) : 1975 - 1988. Shepard, 8. M., A. T. Barrion & J. A. Litsinger. 1987. Friends of the rice farmer. Helpfull, insects, spiders and pathogens. IRRl Los Banos, Laguna Philippine. 136 p. Shepard, M., E. F. Shepard, G. R. Carner, M. D. Hammig, A. Rauf, S. G. Turniseed & Samsudin. 1997. Prospects for IPM in secondary food crops. Makalah disampaikan pada Kongres V dan Simposium Entomologi, Perhimpunan Entomologi, Bandung. 30 p. Southwood, T. R. E. 1978. Ecological methods with particular reference to the study of insect populations. The English Language Book Society and Chapman and Hall. 524 p. Sterling, W. L, A. Dean & N. M. Abd El-salam. 1992. Economic benefits of spiders (Araneae) and insect (Herniptera : Miridae) predators of cotton fleahoppers. J. Econ. Entomol. 85 (1) : 52 - 57. Triwidodo, H. & A. Rauf. 1996. Pengendalian hama terpadu : Back to basics. Makalah disarnpaikan pada Seminar lkatan Sosiologi Indonesia Cabang Bogor dan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertan~an,Bogor. 9 PTurnbull, A. L. 1973. Ecology of the true spiders (Araneomorphae). Annu. Rev. Entomol. 18 : 305 - 348. van den Berg, H., K. Hasan & M. Marzuki. 1998. Evaluation of pesticide effects on arthropod predator populations in soya bean in farmer's field. Biocont. Sci. and Tech. 8 : 125 - 137. Vungsilabutr, P. 1995. Population growth pattern of the rice brown planthopper in Thailand ( in relation to the population of its parasitoids and predator). Paper presented at the Workshop Sustainable IPM in Tropical Rice, Bogor, Indonesia. 5 - 7 Desember 1995. 30 p.