TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi Berdasarkan penilaian Birdlife Internasional (2006), Burung Weris (Galllirallus
philippensis),
termasuk
kedalam
least
concern
(kurang
mengkhawatirkan). Taksonomi burung weris adalah sebagai berikut: King
: Animalia
Phylum
: Chordata
Kelas
: Aves
Order
: Gruiformes
Family
: Rallidae
Genus
: Gallirallus
Species
: Gallirallus philippensis
Burung weris masuk ke dalam famili Rallidae, atau burung rail, yaitu keluarga burung berukuran kecil hingga menengah. Habitat yang umum adalah rawa, dekat sungai atau danau, dan hutan lebat. Rallidae umumnya berkembang biak di daerah yang bervegetasi padat. Burung air adalah burung yang seluruh hidupnya bergantung pada daerah perairan. Menurut Rusila (1994), burung air dapat diartikan sebagai kelompok burung yang secara ekologis bergantung pada lahan basah. Lahan basah yang dimaksud adalah daerah lahan basah yang alami dan buatan, meliputi daerah bakau, rawa, dataran berlumpur, danau, tambak, dan sawah. Pada umumnya, Rallidae adalah omnivora. Banyak spesies dari famili Rallidae yang memakan invertebrata, buah-buahan, biji-bijian, dan hanya sedikit yang bersifat herbivor. Perilaku berkembang biak famili ini sulit diketahui apakah monogami, poligami, atau poliandri. Kebanyakan spesies ini jumlah telurnya 510 butir, namun ada juga burung yang bertelur hanya 1 butir, bahkan ada yang bertelur sampai 15 butir. Telur dalam satu sarang tidak selamanya menetas dalam jangka waktu bersamaan dan biasanya anak akan bergantung pada induknya sampai kurang lebih 1 bulan.
8
Morfologi Sifat kuantitatif adalah ciri-ciri makhluk hidup yang dapat diukur, dihitung atau diskor. Karakter ini ditentukan oleh banyak pasang gen (poligenik) dan sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Sifat kualitatif, seperti warna, pola warna, sifat bertanduk atau tidak bertanduk dapat dibedakan tanpa harus mengukurnya. Sifat kualitatif biasanya hanya dikontrol oleh sepasang gen (Noor 2010). Rail adalah famili yang cenderung bervariasi, berukuran kecil hingga menengah. Ukuran bervariasi dari 12 cm hingga 63 cm dengan bobot dari 20 g hingga 3 kg. Spesies Gallirallus torquatus memiliki paruh dan kaki gelap, paruh atas cokelat gelap, muka dan pipi hitam dengan strip putih dipipi. Burung ini memiliki panjang sayap 135-156 mm, Tarsus 46-53 mm, ekor 45-62 mm, paruh 41-48 mm. Gallirallus philipensis memiliki panjang sayap 129-144 mm, tarsus 39-46 mm, ekor 65-68 mm, dan panjang paruh 27-33 mm ( Allen et al. 2004). Ukuran panjang badan Gallirallus phillipensis adalah 28-33 cm, alis abu-abu pucat panjang, pita karat lebar melalui mata, bagian atas berbintik putih (Coates & Bishop 1997). Ozaki (2009) menyatakan bahwa untuk penentuan jenis kelamin pada Gallirallus okinawae dapat dilakukan melalui ukuran kepala dan tinggi paruh, sedangkan untuk melihat umur dari Gallirallus okinawae dapat dilakukan melalui bentuk dan warna bulu primer, paruh, dan mata. Habitat dan Penyebaran Famili ini menunjukkan tingkat keragaman habitat yang cukup tinggi yang meliputi crake, coot, gallinule rail, dan swamphens. Banyak dari famili ini yang akrab dengan tanah basah, dan juga daratan, kecuali padang tandus, dan wilayah kutub. Burung ini menyenangi daerah lembap atau lahan basah, seperti daerah dekat sungai, rawa, atau danau dengan vegetasi lebat. Burung ini biasanya cukup pemalu, tapi bisa menjadi sangat jinak dan berani dalam beberapa keadaan, seperti di daerah pulau di Great Barrier Reef. Beberapa spesies dari famili Rallidae hidup dalam berbagai jenis hutan, dari daerah dataran rendah sampai daerah dataran tinggi. Rallidae berkembang biak musiman, selama musim semi dan musim panas atau memasuki musim hujan di daerah tropis. Fakta-fakta ini tidak sama untuk
9
semua spesies, tapi kebanyakan mengikuti pola ini. Rail menampilkan tingkah laku seksual seperti pacaran dan pada akhirnya terjadi kopulasi. Pada beberapa spesies, kopulasi terjadi tanpa sebelumnya menampilkan tingkah laku pacaran. Sebelum kawin, biasanya Rail jantan Afrikan berjalan di sekitar betina dengan ekor diangkat dalam rangka untuk mengekspos bulu putih di bawah ekor atau Rail jantan berjalan di sekitar betina dengan sayap terangkat. Jantan dari genus "Sarothrura" ekornya bergetar dengan cepat dari sisi ke sisi dengan membungkuk atau sikap tegak. Burung weris banyak ditemukan di Australia, Asia,
dan wilayah
barat Pasifik, termasuk Filipina, Indonesia, New Guinea, Australia, Selandia Baru - di mana ia dikenal sebagai Buff Banded Rail. Burung weris ini memiliki 26 subspesies yang dua subspesies di antaranya telah punah, yaitu G.p. andrewsi, endemik di Pulau Chatham dan G.p. macquariensis endemik di Kepulauan Macquariensis. Ada satu subspesies yang dalam kategori langka, yaitu G.p. andrewsi diKepulauan Cocos. Coates dan Bishop (1997) menyatakan bahwa burung weris terdapat di daerah Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara. Habitat adalah bentuk komunitas biotik, atau sekumpulan komunitas biotik di mana seekor satwa atau populasi hidup (Bailey 1984). Habitat yang sesuai memenuhi semua syarat-syarat tempat hidup dari suatu spesies untuk suatu musim (habitat musim dingin, habitat perkembangbiakan) atau sepanjang tahun. Syaratsyarat habitat adalah bermacam tipe dari makanan, pelindung (cover), dan faktor lain yang dibutuhkan oleh spesies satwa liar untuk bertahan hidup dan berkembang biak. Alikodra (2010) menyatakan bahwa habitat adalah kawasan yang terdiri atas berbagai komponen, baik fisik maupun biologis, yang merupakan suatu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup dan berkembang biak suatu organisme secara alami. Lebih jauh dijelaskan bahwa habitat mempunyai fungsi dalam menyediakan makanan, air, dan sebagai pelindung. Komponen fisik dan komponen biotik membentuk sistem yang dapat mengendalikan kehidupan satwa liar. Semua organisme memiliki kemampuan untuk
hidup, tumbuh, dan
berkembang biak pada habitatnya. Habitat satwa terdiri atas dua komponen penting, yaitu lokasi geografis dan vegetasi. Oleh karena itu, berhasil tidaknya
10
suatu jenis satwa liar mempertahankan kelangsungan hidupnya ditentukan salah satunya oleh faktor karakteristik vegetasinya (Copperider et al. 1988). Habitat burung weris adalah padang rumput, subtropis/tropis kering, perairan, rawa-rawa, lahan gambut, pesisir laut, pesisir danau, dan perkebunan. Hilangnya habitat (habitat loss) mencakup semua bentuk perubahan struktur habitat yang mengakibatkan pengurangan luas dan kualitas habitat yang tersedia bagi spesis tertentu (Dekker dan McGowan 1995). Kerusakan habitat (habitat degradation) adalah berkurangnya kualitas habitat tanpa kehilangan semua lindungan vegetasi yang diakibatkan oleh kegiatan tebang pilih dan over grazing oleh ternak. Naungan (cover) adalah bagian dari habitat yang berfungsi sebagai tempat berlindung (terhadap panas matahari, predator, dan gangguan lain), beristirahat atau berkembang biak dari beberapa jenis satwa.
Naungan dapat berfungsi
sebagai tempat mencari makan dan minum. Tingkah Laku Tingkah laku satwa dapat diartikan sebagai suatu ekspresi yang disebabkan oleh semua faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku satwa dinamakan rangsangan, stimuli atau agents, sedangkan aktivitas yang ditimbulkan dinamakan respons. Tingkah laku yang dipelajari tidak hanya apa yang dilakukan oleh hewan itu saja, tetapi juga kapan, dimana, bagaimana, dan mengapa tingkah laku terjadi. Macam dan banyaknya rangsangan yang diterima akan menghasilkan pengalaman hewan dari waktu kewaktu pada masa lalu, yang sangat mempengaruhi respons hewan (Suratmo 1979). Selanjutnya, rangsangan yang sama juga dapat mempunyai efek yang berbeda pada individu yang berbeda atau pada spesies yang berbeda. Pola perilaku merupakan segmen perilaku yang mempunyai fungsi adaptasi, untuk menjamin kelangsungan hidup dan keberadaan makhluk hidup pada suatu kawasan tertentu yang sesuai dengannya (Scott 1969). Tingkah laku terdiri atas campuran komponen-komponen yang diwariskan, dibawa dari lahir (insting), dan diperoleh dari lingkungan selama hidup, yaitu berupa pengalaman.
11
Respons hewan terhadap semua faktor rangsangan pada prinsipnya berasal dari suatu dorongan dasar untuk tetap hidup (Survive) dengan melakukan semua usaha. Survival suatu individu atau spesies bergantung pada kemampuannya memperoleh pakan, melakukan reproduksi, dan regenerasi. Dorongan dasar ini akan menentukan beberapa pola yang relatif tetap dalam tingkah laku hewan (Suratmo 1979). Perilaku makan adalah penampakan tingkah laku dalam kaitannya dengan aktivitas makan. Aktivitas makan itu sendiri merupakan bagian dari aktivitas harian. Pada burung, umumnya aktivitas tersebut dilakukan pada pagi hingga sore hari, kecuali pada beberapa jenis burung malam (Powel 1986). Perilaku makan binatang sangat bervariasi, baik lamanya makan maupun frekuensi tingkah laku pada saat makan. Perilaku makan dari tiap-tiap spesies hewan memiliki cara-cara yang spesifik. Faktor yang mempengaruhi berbedanya cara makan antara lain morfologi hewan yang mencari makan, rangsangan dari makanan itu sendiri, dan faktor dari dalam tubuh hewan yang akan memberikan urutan gerak tubuh pada binatang tersebut (Suratmo 1979). Kushlan (1978) mengidentifikasi tiga macam perilaku makan yang tampak pada famili Ardeidae, yaitu berdiri atau mengikuti mangsa (stand or stalk feeding), mengganggu dan memburu mangsa (disturb and chase feeding), serta menangkap mangsa diudara dan dibawah perairan (aerial and deep water feeding). Konservasi Satwa Liar Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya adalah pengelolaan sumberdaya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin
kesinambungan
persediaannya
dengan
tetap
meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya.
memelihara
dan
Kegiatan konservasi
berasaskan pelestarian dan kemampuan serta pemanfaatan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya secara berkelanjutan dan seimbang. Asas tersebut adalah landasan dalam mencapai tujuan yang diinginkan, yaitu mengusahakan terwujudnya
kelestarian
sumberdaya
alam
hayati
serta
kesinambungan
ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia (Widada et al. 2003).
12
Konservasi sumber daya alam adalah kegiatan yang meliputi perlindungan, pengawetan, pemeliharaan, rehabilitasi, introduksi, pelestarian, pemanfaatan, dan pengembangan. Sesuai dengan pengertian konservasi sumber daya alam secara umum, Alikodra (2002) menyatakan bahwa konservasi satwa liar merupakan kegiatan yang meliputi perlindungan, pengawetan, pemeliharaan, rehabilitasi, introduksi, pelestarian, pemanfaatan, dan pengembangan satwa liar. Jadi, tujuan kegiatan konservasi satwa liar adalah terjaminnya kelangsungan hidup satwa liar dan terjaminnya kebutuhan masyarakat untuk memanfaatkannya, baik langsung maupun tidak langsung, berdasarkan prinsip pelestarian. Konservasi Genetik Tolok
ukur
keberhasilan
kegiatan
konservasi
didasarkan
pada
keanekaragaman genetiknya sehingga keanekaragaman genetik menjadi indikator kunci yang penting. Keadaan alam yang berubah dari waktu kewaktu menyebabkan suatu spesies harus mampu beradaptasi dengan lingkungan yang berubah, untuk bertahan hidup. Variasi genetik menentukan kemampuan individu untuk beradaptasi terhadap perubahan (Haig dan Nordtrom 1991). Suatu organisme dikatakan mirip atau menyerupai induknya karena ada beberapa persamaan ciri-ciri yang dapat dilihat atau diwariskan. Ciri-ciri yang diwariskan itu disimpan sebagai informasi genetik dalam gen-gen yang secara molekuler tersusun atas asam nukleat DNA (Sofro 1994). Bila suatu ciri masih dinyatakan dalam perangkat genetiknya maka ciri-ciri ini disebut genotipe. Tapi jika genotipe ini sudah diekspresikan dalam bentuk suatu molekul protein dan dipengaruhi oleh faktor lingkungan maka ciri-ciri ini menjadi suatu penampilan atau fenotipe. Keanekaragaman genetik dari spesies liar Gallirallus okinawae dengan menganalisis haplotipe pada daerah non coding (Control Region) DNA genome mitokondria ditemukan keragaman nukleotida Gallirallus okinawae lebih tinggi daripada yang ditemukan dispesies lain burung langka. Keragaman nukleotida yang rendah didaerah kontrol (CR mt DNA) mungkin menunjukkan bahwa Gallirallus okinawae telah mengalami botleneck, atau dapat dikatakan bahwa program konservasi untuk Gallirallus okinawae sangat perlu karena spesies ini
13
dapat dikategorikan spesies yang terancam punah dan mungkin untuk spesies lain dari famili Rallidae(Ozakiet al. 2010). Keanekaragaman genetik identik dengan keanekaragaman alela dan heterozigositas genotipe. Hilangnya keanekaragaman hayati dapat menyebabkan: penyimpangan genetik secara acak, derajat silang dalam (inbreeding yang tinggi), dan pengurangan populasi yang efektif dari suatu spesies. Strategi yang dapat diaplikasikan pada populasi yang kecil ialah dengan memasukkan individuindividu baru dari populasi lain yang heterogen secara teratur sehingga akan meningkatkan kualitas genetik (Haig & Nordstrom 1991). DNA Mitokondria DNA yang terdapat dalam sel terdiri atas DNA inti dan DNA sitoplasma. DNA sitoplasma berupa DNA mitokondria dan DNA kloroplast. Genom inti dan sitoplasmik ini menjadi karakter organisme sehingga dapat dijadikan sebagai acuan dalam perbandingan ciri, baik kesamaan maupun perbedaannya. Semakin dekat kekerabatan pada tingkat takson maupun tingkatan keturunan (lineage) dari organisme tersebut maka semakin besar kesamaan pada tingkatan molekulnya. Hal ini yang menjadi dasar perunutan hubungan evolusi dan asal usul organisme (Duryadi 2005). DNA mitokondria memiliki karakteristik sebagai molekul DNA yang diturunkan secara utuh tanpa adanya rekombinasi, memiliki molekul dengan ukuran kecil/pendek yang susunannya berbeda dari DNA inti, dan memiliki variasi basa nukleotida yang lebih tinggi dibandingkan dengan DNA inti. Tingginya variasi basa nukleotida disebabkan DNA mitokondria memiliki laju perubahan 5-10 kali lebih tinggi dibandingkan DNA inti (Muladno 2006). DNA mitokondria (mtDNA) mempunyai beberapa kelebihan yang menjadikannya banyak digunakan untuk mengidentifikasi keragaman genetik dan dinamika populasi. Beberapa kelebihan tersebut adalah (1) memiliki ukuran yang kompak dan relatif kecil (16.000-20.000 pasang basa), tidak sekompleks DNA inti sehingga dapat dipelajari satu kesatuan yang utuh; (2) berevolusi lebih cepat (3) hanya sel telur yang menyumbangkan material mitokondria sehingga mitokondria DNA hanya diturunkan dari induk betina; dan (4) bagian-bagian dari genom
14
mitokondria berevolusi dengan laju yang berbeda sehingga dapat berguna untuk studi sistematika dan penelusuran kesamaan asal usul (Park dan Moran 1995). DNA mitokondria hewan secara umum memiliki jumlah dan jenis gen yang sama. Berdasarkan jenis gennya, genom mitokondria dibagi menjadi 2 bagian, yaitu daerah penyandi (coding region) yang terdiri atas 37 gen, yaitu 13 gen penyandi protein, 2 gen penyandi rRNA, dan 22 gen penyandi tRNA. Daerah bukan penyandi terdiri atas daerah kontrol (control region) yang memegang peranan dalam proses transkripsi dan replikasi genom mitokondria (Anderson et al. 1981). Genom mitokondria pada kelompok burung sedikit berbeda dari susunan gen pada vertebrata lainnya.
Perubahan yang terjadi diduga karena adanya
pertambahan dan pengurangan gen pada replikasi mtDNA sehingga menghasilkan susunan gen yang baru (Quinn & Wilson 1993). Menurut Kvist (2000), perbedaan susunan genom mitokondria terletak pada urutan sel penyandi protein ND5 dan daerah D-loop. Menurut Mindell et al. (1998), urutan gen pada genom mitokondria vertebrata (selain ayam) adalah ND5, ND6, tRNAglu, Cyt-b, tRNAThr, tRNAPro dan D-loop, sedangkan genom mitokondria ayam mempunyai urutan gen ND5, Cyt-b, tRNAThr, tRNAPro, ND6, tRNAGludan D-loop. Susunan gen pada Pecidae, Cuculidae, Passeriformes, dan Falconiformes menjadi ND5, Cyt-b, tRNAThr, D-loop tRNAPro, ND6, tRNAGlu. Penggunaan gen cyt-b digunakan dalam analisis genetik karena kodon ketiga mengalami perubahan yang cepat sehingga dapat digunakan untuk memperkirakan tingkat perbedaan antar subspecies. Gen cyt-b dapat digunakan untuk menganalisis perubahan pada tingkat populasi dan mengetahui hubungan filogeni. Penggunaan runutan mtDNA dengan penanda cyt-b untuk studi keragaman genetik, penyebaran, evolusi, dan hubungan filogeni telah banyak dilakukan pada burung (Ericson & Johansson 2003; Zhang et al. 2007). Smith & Filardi (2007) melakukan penelitian pada ordo Passeriformes, Psittaciformes, Colombiformes, Apodiformes, dan Coraciiformes.
ABSTRAK LUCIA JOHANA LAMBEY. Karakteristik Morfologi, Perbedaan Jantan dan Betina, dan Pendugaan Umur Burung Weris (Gallirallus philippensis) di Minahasa Sulawesi Utara. Dibimbing oleh RONNY RACHMAN NOOR, WASMEN MANALU, dan DEDY DURYADI SOLIHIN. Tujuan penelitian ini adalah melihat kekerabatan Gallirallus philippensis antar lokasi di Minahasa, dan membedakan jenis kelamin, serta pendugaan umur berdasarkan perubahan morfologi Gallirallus philippensis. Tiga puluh lima ekor Gallirallus philippensis diambil dari empat lokasi, yaitu Tondano, Papontolen, Ranoyapo, dan Wusa. Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa panjang paruh, panjang sayap, dan panjang shank tidak berbeda di empat lokasi yang diamati. Analisis PCA dari karakteristik morfometrik menunjukkan bahwa komponen utama pada burung weris adalah panjang shank dan panjang ekor. Analisis klaster menunjukkan bahwa Gallirallus philippensis di Minahasa memiliki tingkat kekerabatan yang tinggi. Analisis deskriptif menunjukkan bahwa bobot badan, panjang paruh, lebar paruh Gallirallus philippensis jantan lebih tinggi dibanding betina. Pendugaan umur Gallirallus philippensis dapat ditentukan berdasarkan warna iris mata, warna paruh, warna bulu bagian leher, dan pertumbuhan bulu bagian sayap. Kata kunci : Gallirallus philippensis, morfologi, jenis kelamin, umur
16
ABSTRACT LUCIA JOHANA LAMBEY. Morphological Characteristics, Sex Differences, and Age Estimation of Weris (Gallirallus philippensis) in Minahasa, North Sulawesi. Under Supervision of RONNY RACHMAN NOOR, WASMEN MANALU, and DEDY DURYADI SOLIHIN. The aims of this study were to study Gallirallus philippensis similarity intersites in Minahasa, to conduct sex determination, to determine the age of Gallirallus philippensis using morphological characteristic changes. Thirty five of weris birds were taken from four locations i.e Tondano, Papontolen, Ranoyapo, and Wusa in Minahasa, North Sulawesi. The results of descriptive analysis showed that beak lenght, wing length, and shank length did not differ among the birds in the four locations. The result of Principle Component Analysis of morphometric characteristics showed that the main component in the location were shank length and tail lenght. Based on Cluster Analysis results, the four populations had high similarity. Descriptive analysis showed that body weight, beak length, beak width of males weris were larger than those of females weris. Age of Gallirallus philippensis could be determined by the colors of the iris, beak, and feather of the neck, and the growth of the wing feathers. Keywords: Gallirallus philippensis, morphology, sex, age
17
Pendahuluan Burung weris (Gallirallus philippensis; L 1766) dianggap sangat rentan terhadap kepunahan, karena dari 20 spesies dari genus Galliralus yang masih ada hanya dua yang dianggap tidak terancam, salah satunya adalah Gallirallus philippensis (Taylor & van Perlo 1998). Sebagian besar anggota genus Gallirallus adalah spesies kepulauan, beberapa diantaranya dikategorikan endemik dan masuk kedalam klasifikasi endangered dan extinct, karena
tingginya gangguan dari
predator, seperti ular, kadal, anjing, dan kucing, serta adanya degradasi habitat akibat aktivitas manusia. Menurut data dari IUCN, Gallirallus philippensis termasuk ke dalam kriteria LC (least concern) atau belum mengkhawatirkan, namun di daerah Minahasa jenis ini dijadikan sebagai salah satu makanan sumber protein hewani, dan dikhawatirkan telah terjadi pemanfaatan yang tidak terkendali. Hal ini dibuktikan dengan kesulitan dalam memperoleh burung weris di pasar-pasar tradisional di Minahasa saat ini. Taylor & van Perlo (1998) melaporkan tentang pengukuran morfologi famili Rallidae, seperti panjang sayap, ekor, culmen, tarsus, bobot badan, dan total kepala yang diambil baik dari burung hidup dan spesimen. Kesimpulan yang didapat adalah bahwa sebagian besar famili Rallidae memiliki ukuran yang sama, baik jantan dan betina, walaupun jantan sedikit lebih besar dari betina. Lebih lanjut dikatakan bahwa sesudah bulu tumbuh, sangat sulit dibedakan antara burung dara atau remaja dari yang sudah dewasa. Karakterisasi terhadap bangsa hewan atau ternak lokal adalah input yang sangat berharga dalam pemanfaatan yang berkelanjutan dan pelestarian sumber daya genetik hewan tersebut (Noor 2010). Permasalahan yang menjadi dasar sehingga diperlukan suatu karakteristik morfologi adalah belum tersedianya data yang lengkap perihal karakteristik fenotipik, dan kekerabatan burung weris yang ada di Minahasa sehingga diperlukan suatu inventarisasi karakteristik morfologi ukuran-ukuran tubuh (morfometrik) sebagai salah satu kekayaan sumber daya genetik di Minahasa. Selain itu, burung weris merupakan salah satu burung monomorfik yang sulit untuk dibedakan antara jantan dan betina dari bentuk dan warna bulu sehingga informasi tentang ukuran tubuh dan kondisi tubuh yang berkaitan dengan dimorfisme seksual akan sangat berharga.
18
Karakterisasi ini sangat bermanfaat untuk membantu proses penangkaran dan sebagai dasar penelitian spesies lain dari genus Gallirallus. Data pengukuran eksternal yang dikumpulkan dalam penelitian ini ialah mengenai umur dan jenis kelamin yang berguna untuk perbandingan antara spesies dan mempelajari hubungan perubahan evolusi serta adaptasi burung weris terhadap lingkungan atau habitatnya. Tujuan penelitian ini adalah mempelajari keragamaan fenotipik, mengetahui kekerabatan beberapa burung weris yang ada di Minahasa, membedakan jenis kelamin berdasarkan ukuran tubuh, serta pendugaan umur burung weris berdasarkan perubahan morfologi.
Bahan dan Metode Burung weris (Gallirallus philippensis; L 1766) yang diperoleh di lapangan berdasarkan pernyataan Coates & Bishop (1997), Kennedy et al (2004) memiliki ciri-ciri panjang sayap 129–144 mm, tarsus 39–46 mm, ekor 65–68 mm, dan panjang paruh 27–33 mm. Ukuran panjang total Gallirallus philippensis adalah 28-33 cm, alis abu-abu pucat panjang, pita karat lebar melalui mata, bagian atas mata bergaris putih serta bintik-bintik putih dibagian belakang (Gambar 2).
Gambar 2 Burung weris (Gallirallus philippensis) Penelitian dilaksanakan di Kota Tondano, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara pada bulan Mei 2011 sampai Desember 2011. Pemilihan lokasi didasarkan atas pertimbangan akses kemudahan untuk memperoleh materi dan tidak berbeda jauh dari habitat alaminya, yaitu persawahan. Penentuan lokasi pengambilan
19
sampel dilakukan secara purposive sampling dengan memilih beberapa lokasi yang ada di Minahasa, yaitu Tondano, Minahasa (posisi 1º 17’ 31,60” N 124º 54’ 03,94” E 681,5 m dpl), Wusa, Minahasa Utara (posisi 1º 34’ 01,24” N 124º 55’ 37,97” E 81,82 m dpl), Papontolen, Minahasa Selatan (posisi 1º 16’ 22,17” N 124º 37’ 27,73” E 13,3 m dpl), Ranoyapo , Minahasa Selatan (posisi 0º 54’ 47,95” N 124º 28’ 22,25” E 346,7 m dpl) (Gambar 3). Jumlah sampel yang dikoleksi dari Tondano, Wusa, Ranoyapo, dan Papontolen masing-masing sebanyak 9, 9, 7, dan 10 ekor atau totalnya sebanyak 35 ekor dari burung weris yang telah mencapai dewasa tubuh.
Sumber : Bakosurtanal Gambar 3 Sebaran sampel burung weris dari daerah Minahasa. Data morfologi yang diukur ialah bobot badan yang diukur dengan menimbang individu burung dengan timbangan digital, panjang paruh yang diukur dari pangkal sampai ujung paruh, panjang sayap diukur dari ujung scapula (lipatan sendi sayap) sampai ujung bulu sayap primer terpanjang tanpa penekanan (alami), panjang ekor yang diukur antara pangkal bulu ekor sampai ujung bulu ekor terpanjang, dan panjang shank yang diukur dari belakang sendi intertarsal kearah bawah sampai daerah sole. Sampel yang diperoleh dari daerah hasil tangkapan dibawa ke Tondano dan langsung dilakukan pengukuran pada hari itu untuk semua sampel. Panjang sayap dan ekor diukur dengan menggunakan mistar logam dengan akurasi 1mm,
20
panjang paruh, lebar paruh, dan panjang shank diukur dengan menggunakan jangka sorong dengan akurasi 0.1 mm, dan bobot badan menggunakan timbangan pesola dengan akurasi 1 g. Hasil pengukuran beberapa karakter tubuh dalam bentuk data sheet Excel ditabulasi kemudian dianalisis secara deskriptif untuk mendapatkan nilai rataan dan simpangan baku. Perbedaan rataan ukuran-ukuran tubuh antarlokasi diuji dengan menggunakan uji Duncan. Analisis morfologi dilakukan dengan analisis multivariat, yaitu Principle Component Analisis (PCA) dari program minitab 16, demikian pula dengan analisis klaster. Karakteristik Morfometri Berdasarkan Jenis Kelamin Sebanyak 34 ekor dari 35 sampel
burung weris yang telah diukur
karakteristik morfometri selanjutnya dibedah untuk melihat organ reproduksi (testis dan ovarium).
Berdasarkan hasil pengamatan organ reproduksi, ke-34
sampel tersebut dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin. Analisis untuk mengetahui sebaran data dari jenis kelamin jantan dan betina digunakan grafik kotak plot (boxplot). Prinsip dari boxplot adalah 50% dari data pengamatan menyebar dalam kotak (box), dan median adalah 50% dari data pengamatan menyebar pada nilai median kotak plot (boxplot). Pendugaan Umur Berdasarkan Karakteristik Morfologi Selain
pengambilan
langsung
di
lapangan,
secara
paralel
dibuat
penangkaran untuk anak burung hasil penetasan telur memakai mesin tetas. Telur yang diperoleh di habitat alaminya yaitu daerah persawahan di Minahasa. Anak burung hasil penetasan mulai diamati dari umur 1 hari sampai 60 hari. Pengambilan data pertumbuhan dan perkembangannya dilakukan dengan mengamati langsung karakteristik burung tersebut, yaitu mencakup perubahan warna iris mata, pertumbuhan sayap, warna paruh, dan warna alis mata. Pengambilan gambar melalui kamera dan rekaman video dilakukan pada hari ke1, 10, 20, 30, 40, 50, dan 60.
21
Hasil dan Pembahasan Karakterisasi Gallirallus philippensis Berdasarkan Lokasi Hasil analisis deskripsi morfometri (Tabel 1) menggambarkan bahwa burung weris di lokasi Papontolen dan Ranoyapo memiliki rataan bobot tubuh yang lebih berat dibandingkan dengan bobot tubuh burung weris yang ada dilokasi Tondano dan Wusa, walaupun sama-sama sudah mencapai dewasa tubuh. Perbedaan ini diduga dipengaruhi oleh perbedaan umur karena diambil di alam dan beberapa faktor lingkungan, seperti ketersediaan pakan, suhu, dan posisi geografis lokasi. Tabel 1 Perbedaan bobot badan burung weris yang ditangkap di lokasi Papontolen dan Ranoyapo diduga disebabkan tanaman padi sebagai sumber pakan memasuki fase berbuah dan proses irigasi di persawahan masih berjalan sehingga air pada lokasi persawahan dalam jumlah yang banyak menyebabkan ketersediaan pakan burung weris yang sangat bervariasi dan melimpah. Burung weris sangat mudah memperoleh makanan, baik sebagai sumber energi maupun sebagai sumber protein, sedangkan untuk lokasi
persawahan di Tondano dan Wusa
tanaman padinya sebagian besar siap untuk dipanen sehingga kondisi persawahan dikeringkan. Walaupun ketersediaan padi sebagai pakan adalah melimpah, jenis pakan sebagai sumber protein, yaitu cacing dan moluska, berkurang bila sawah dikeringkan. Pada saat ditangkap, bobot badan burung weris di daerah Tondano lebih kecil dibanding dengan yang di Ranoyapo dan Papontolen. Fenomena yang sama terjadi pula pada burung persinggahan, yaitu memiliki
Robin (Erithacus rubecula) pada daerah bobot tubuh lebih besar karena habitatnya
menyediakan kelimpahan makanan (Gyimothy et al. 2011).
22
Tabel 1 Deskripsi morfometri burung weris (Gallirallus philippensis) berdasarkan lokasi Lokasi Peubah
Ranoyapo (n=7) (rataan ± sd)
Popontolen(n=10) (rataan ± sd)
Wusa (n=9) (rataan ± sd)
Tondano (n=9) (rataan ± sd) 158.69 b ± 12.85
182.21a ± 20.75
196.00a ± 10.18
158.36b ± 18.26
Panjang paruh (cm)
2.92 a ± 0.31
2.83 a ± 0.35
2.64 a ± 0.22
2.79 a ± 0.27
Lebar paruh ((cm)
0.98 a ± 0.11
`0.98 a ± 0.17
0.96 a ± 0.08
0.82 b ± 0.10
Panjang ekor (cm)
6.43ab ± 0.81
5.79b ± 1.22
6.79 a ± 0.45
6.17ab ± 0.86
Panjang sayap (cm)
19.66 a ± 1.28
19.25 a ± 2.76
18.61 a ± 0.98
18.36 a ± 1.41
Bobot tubuh (g)
Panjang shank (cm) 4.44 a ± 0.33 4.33 a ± 0.34 4.06 a ± 0.47 4.10 a ± 0.39 Keterangan : huruf-huruf berbeda dalam baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05)
Lebar paruh burung weris di 3 lokasi, yaitu Papontolen, Wusa, dan Ranoyapo tidak berbeda, kecuali lokasi Tondano yang memiliki nilai lebih rendah dibandingkan dengan 3 lokasi tersebut. Keseluruhan habitat tempat burung weris ini ditemukan berupa daerah persawahan atau lahan basah buatan yang fungsi utamanya sebagai tempat menanam padi. Burung weris menjadikan persawahan sebagai tempat mencari makan karena banyak ditemukan hewan invertebrata, seperti keong (moluska), krustacea dan ekinodermata. Perbedaan ukuran morfologi berkaitan dengan perbedaan pakan dan habitat. Seperti burung Robin (Erithacus rubecula) yang hidup pada 3 tipe habitat yang berbeda mempunyai ukuran tarsus pendek dan paruh yang panjang karena ukuran pakannya yang bervariasi (Rosinska 2007). Morfologi paruh dan tarsus merupakan karakter yang dapat mengalami evolusi karena karakter-karakter tersebut dipengaruhi oleh adaptasi terhadap perubahan pola dan jenis pakannya (Grenier & Greenberg 2005). Hal ini dapat diamati pada burung pemakan serangga (insectivorous) yang mencari makan di bagian atas pohon dan dedaunan, pada semak belukar, burungburung tersebut mempunyai ukuran paruh dan tarsus yang relatif lebih panjang (Carrascal et al. 1990). Karakter lain, seperti panjang paruh, panjang sayap, dan panjang shank, adalah relatif sama, sedangkan panjang ekor dan lebar paruh berbeda. Berdasarkan hasil analisis PCA (Principle Component Analysis) didapatkan Eigen value dan persentase varians (Tabel 2), yang menunjukkan bahwa cukup
23
dengan dua sumbu (PC1 dan PC2) sudah dapat menjelaskan komponen utama dalam pengamatan ini. Hal tersebut terlihat dari Eigen value PC1 sebesar 4,0785 dan PC2 sebesar 1,3101, sedangkan sumbu yang lain memiliki nilai yang sangat kecil. Demikian juga dengan persentase varians PC1 sebesar 68% dan PC2 sebesar 21% sehingga total 89% kontribusi untuk penentuan komponen utama dapat dijelaskan oleh sumbu 1 (PC1) dan sumbu 2 (PC2). Observasi, kontribusi pada sumbu 1 (PC1) diberikan pada panjang shank sedangkan pada sumbu 2 (PC2) diberikan oleh panjang ekor (Gambar 4). Tabel 2 Eigen value dari empat lokasi burung weris (Gallirallus philippensis) di Minahasa PC1
PC2
PC3
Eigen value
4.0785
1.3101
0.6114
%variance
0.680
0.218
0.102
Cumulative
0.680
0.898
1.000
Bobot tubuh (g)
0.465
-0.080
0.425
Panjang paruh (cm)
0.410
-0.301
-0.565
Lebar paruh (cm)
0.314
0.617
0.401
Panjang ekor (cm)
-0.252
0.675
-0.485
Panjang sayap (cm)
0.468
0.257
-0.184
Panjang shank (cm)
0.484
0.034
-0.264
Keterangan: Angka dengan cetakan tebal menunjukkan parameter yang sangat berpengaruh
24
Biplot of B tubuh, ..., p shank
Wusa
1.0
p ekor
l paruh
Second Component
Ranoyapo 0.5
p sayap
0.0
p shank B tubuh p paruh
-0.5
Papontolen -1.0
Tondano
-1.5 -2
-1
0 First Component
1
2
Gambar 4 Proyeksi dari lokasi dan karakter morfologi dalam bidang dua dimensi
Menggunakan analisis multivariat yang lain, yaitu analisis klaster (Gambar 5), hasilnya menunjukkan pengelompokan sejumlah individu ke dalam kelompokkelompok berdasarkan derajat kemiripan yang paling dekat.
Secara umum,
berdasarkan parameter ukuran tubuh populasi burung pada empat daerah terbagi dalam tiga kelompok, yaitu kelompok pertama adalah populasi burung di Tondano dan Wusa, selanjutnya keduanya tergabung dalam kelompok yang lebih jauh, yaitu dengan daerah Ranoyapo dan hubungan yang lebih jauh lagi, yaitu dengan kelompok burung di Papontolen walaupun tingkat perbedaannya sangat sedikit sekali. Hal ini menunjukkan bahwa diantara keempat lokasi di Minahasa memiliki hubungan morfologis yang sangat dekat.
Hasil ini ditunjukkan pula pada
konstruksi pohon dendogram (Gambar 5). Penyebaran burung weris yang ada pada keempat lokasi di Minahasa masih mungkin terjadi walaupun jarak terbang dari burung weris tidak sejauh jarak antara masing-masing lokasi.
25
Dendrogram
Average Linkage, Correlation Coefficient Distance
Similarity
99.99
100.00
100.00
100.00
Tondano
Wusa
Ranoyapo
Papontolen
Variables
Gambar 5
Dendogram tingkat kesamaan ukuran tubuh pada empat populasi burung weris (Gallirallus philippensis) di Minahasa
Biasanya burung weris hasil tangkapan dipelihara beberapa saat kemudian baru dipotong sesuai kebutuhan sehingga kemungkinan ada yang terlepas, ataupun pada proses pengangkutan beberapa burung bisa terlepas sehingga terjadi perkawinan burung weris pada lokasi yang berbeda. Selain itu, antardaerah di Minahasa dipisahkan oleh sungai yang satu dengan lainnya dihubungkan oleh jembatan penyeberangan sehingga perpindahan dari satu lokasi ke lokasi yang lain bisa terjadi dan tidak menutup kemungkinan terjadi pula perkawinan antara burung dari satu lokasi dengan lokasi yang lain, yang berakibat burung weris di empat lokasi yang berbeda memiliki banyak kesamaan. Hubungan yang sangat erat antara komunitas burung dengan keragaman habitat menunjukkan bahwa burung sangat bergantung pada keragaman kompleksitas pohon dan semak (Chettri et al. 2005). Ada perbedaan struktur komunitas burung pada daerah yang mempunyai struktur vegetasi yang berbeda, ataupun antara vegetasi alami dengan yang terganggu (Paerman 2002). Struktur vegetasi mempengaruhi pemilihan habitat oleh burung. Burung weris yang ada di Minahasa dapat dikatakan diperoleh pada habitat yang sama, yaitu daerah persawahan sehingga kelimpahan sumber pakan di daerah tersebut cenderung sama.
26
Pada kondisi habitat yang tidak lagi memenuhi kebutuhan hidup, burung akan berpindah ke wilayah lain. Berbagai tipe habitat menyediakan kelimpahan sumber pakan untuk berbagai jenis burung (Howes et al. 2003), walaupun menurut Paerman (2002) hubungan antara struktur vegetasi dan struktur komunitas burung terkadang sulit untuk diamati. Perbedaan Jenis Kelamin Berdasarkan Data Morfometri Secara umum berdasarkan warna bulu yang dimiliki burung weris adalah jenis burung yang monomorfik, yaitu tidak dapat dibedakan antara jantan dan betina. Yong (2011) menyatakan bahwa sembilan ukuran parameter pada burung Swinhoe's Storm Petrels tidak dapat digunakan untuk pembedaan jenis kelamin walaupun dari warna menunjukkan bahwa burung betina memiliki refleksi warna pada bulu-bulu di bagian perut yang lebih tinggi, dan pada bagian mahkota refleksi warna lebih tinggi pada jantan. Berdasarkan analisis data morfometrik, burung weris jantan memiliki bobot tubuh, panjang paruh, dan lebar paruh yang berbeda dari burung betina. Bobot tubuh burung jantan lebih berat dari betina, yang disebabkan burung jantan lebih agresif untuk berburu dan menangkap mangsa dibanding betina sehingga burung jantan
memiliki
kesempatan
untuk
memperoleh
makanan
lebih
besar
dibandingkan dengan burung betina. Oleh karena itu, tampaknya burung weris memiliki dimorfisme seksual (Tabel 3). Fenomena yang sama dapat ditemukan pada burung lain, yaitu bobot badan Blackbird (Turdus merula) jantan lebih berat dibandingkan betina pada setiap musim (Wysocki 2002).
Tabel 3 Deskripsi morfometri Gallirallus philippensis berdasarkan jenis kelamin Jenis Kelamin Peubah
Betina(n=16) (rataan ± sd)
Jantan(n=18) (rataan ± sd)
161.80a ± 22.91
185.73b ± 15.55
Panjang paruh
2.64a ± 0.26
2.92b ± 0.29
Lebar paruh
0.89a ± 0.12
0.98b ± 0.14
Panjang ekor
6.29a ± 0.95
6.27a ± 0.97
Panjang sayap Panjang shank
18.57a ± 1.44 4.13a ± 0.36
19.25a ± 2.11 4.34a ± 041
Bobot tubuh
Keterangan : huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata
27
Hasil analisis boxplot terhadap karakter bobot badan menunjukkan bahwa burung jantan memiliki sebaran nilai lebih kecil dibandingkan dengan burung betina. Hal ini mencerminkan bahwa keragaman bobot tubuh burung weris jantan lebih kecil. Nilai median bobot badan burung weris jantan berada pada angka 186,25 g, jika dibandingkan dengan nilai median burung betina yang sebagian besar data menunjukkan menyebar di atas nilai median. Hal ini sejalan dengan pendapat Taylor dan van Perlo (1998) bahwa sebagian besar spesies dari genus Rallidae memiliki ukuran yang sama baik jantan dan betina, walaupun jantan sedikit lebih besar dari betina. Selanjutnya (Ozaki 2009) menyatakan dari karakter morfometri Gallirallus okinawae yang diukur menunjukkan nilai rataan jantan lebih besar dibandingkan betina. Burung jantan memiliki paruh lebih panjang dan lebih lebar dari betina. Panjang paruh burung weris jantan mempunyai nilai median 2.92 cm, dan nilai ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan burung weris betina. Diduga hal ini disebabkan dalam proses mengasuh anak untuk burung weris dilakukan oleh kedua induknya, induk betina mengasuh anaknya dalam sarang, sedangkan induk jantan berfungsi untuk mencari makan bagi anak-anaknya sehingga paruh jantan lebih panjang dari betina. Pada familli Rallidae, burung jantan lebih banyak menggunakan paruhnya untuk mencari makanan dan memecahkan cangkang krustasea. Diduga hal ini menyebabkan bagian paruh jantan biasanya lebih panjang dan sempit dibandingkan dengan betina. Sievwright & Higuchi (2011) menyatakan bahwa paruh panjang dan tipis pada Oriental Honey Buzzard dengan ujung bengkok mengalami proses evolusi karena sering digunakan untuk mengambil larva serta menggali sarang tawon untuk keluar dari tanah. Melalui pengidentifikasian ciri-ciri morfologi kunci dengan menggunakan pengukuran morfometrik memungkinkan untuk lebih memahami adaptasi dan proses evolusi terkait dengan perilaku makan pada burung. Setiap spesies memiliki ukuran yang optimal. Panjang sayap merupakan karakter kunci yang berhubungan dengan perilaku burung, seperti migrasi dan mencari makan (Hall et al.2004). Burung jantan dalam aktivitas mencari makan maupun dalam mempertahankan daerahnya sangat aktif sehingga sayap burung jantan lebih panjang dibandingkan dengan burung betina. Hall et al. (2004)
28
menyatakan bahwa burung Reed warblers (Acrhocephalus scirpaceous) sebagai burung yang memiliki daya terbang jarak jauh, mempunyai karakter morfologi yang sangat berbeda antara burung jantan dan betina.
Burung jantan lebih
panjang sayapnya dibandingkan betina sehingga dikatakan faktor morfometri kunci untuk membedakan jenis kelamin adalah dengan mengukur panjang sayap. Rosinska (2007) menyatakan bahwa untuk burung migran keberhasilan sexing dengan menggunakan panjang sayap adalah 80%-81%. Hal ini tidak terjadi pada burung weris, karena burung weris memiliki jangkauan terbang yang terbatas, tidak seperti burung migran. Alasan lain yang dapat mendukung hasil penelitian ini adalah habitat burung weris yang menyediakan
kelimpahan
makanan
bagi
burung
weris
sehingga
tidak
membutuhkan usaha bagi burung weris jantan dalam mencari makanan untuk burung weris betina maupun anaknya. Selain itu, diduga ukuran sampel yang kurang sehingga keragaman data kecil. Oleh karena itu, burung weris jantan memiliki panjang sayap yang hampir sama dengan betina. Dengan kata lain, panjang sayap jantan tidak berbeda nyata dibandingkan dengan betina (Tabel 3). Panjang ekor burung weris jantan tidak berbeda nyata dari betina. Pengukuran panjang ekor sangat bervariasi sehingga variabel ini tidak dapat digunakan secara tunggal untuk sexing (Rosinska 2007). Berdasarkan hasil uji t (Tabel 3) didapat bahwa karakter burung weris jantan, yaitu bobot badan, panjang paruh, dan lebar paruh, berbeda nyata dari burung weris betina.
29
220
3.6 3.4
200
180
160
150.1 140
Panjang Paruh (cm)
Bobot Tubuh (gram)
3.2
186.25
3.0
2.915 2.8 2.6
2.59
2.4 2.2
120
2.0 Betina
Jantan
Betina
8
1.2
1.1
7
1.0
0.975 0.905
0.9
Panjang Ekor (cm)
Lebar Paruh (cm)
jantan
6.45
6.35 6
5
0.8 4 0.7 Betina_1
Jantan_1
Betina_2
5.25
Jantan_2
22
5.00
4.50 4.25
4.245 4.11
4.00
Panjang Sayap (cm)
Panjang Shank (cm)
20 4.75
19.55 18
18
16
14
3.75 3.50
12 Betina
Jantan
Betina_3
Jantan_3
Gambar 6 Perbandingan pengukuran enam karakter morfologi burung jantan dan betina
30
Pendugaan Umur Pendugaan umur dilakukan terhadap burung weris hasil penetasan sebanyak 27 ekor.
Selama pengamatan, banyak burung yang mati dan yang berhasil
mencapai umur 60 hari hanya 1 ekor. Karakter morfologi yang mengalami perubahan setelah penetasan dan selama pertumbuhan umur burung dipenangkaran adalah warna iris mata, yaitu pada saat menetas mata anak burung keseluruhannya berwarna hitam, kemudian perlahan-lahan mulai mengalami perubahan warna pada bagian iris mata dari warna hitam pada umur 1 hari sampai 20 hari. Selanjutnya, secara perlahan pula mulai mengalami perubahan warna menjadi kecokelatan dan pada umur 30 hari secara perlahan-lahan warna berubah dari cokelat agak muda kewarna cokelat tua. Pada umur 60 hari, warna cokelat mulai berubah menjadi agak kemerahan dan jika diamati pada sampel-sampel yang ditangkap di habitat alaminya didapatkan warna iris mata dari warna cokelat tua sampai warna merah agak muda sampai ke warna merah. Diduga warna iris mata akan mengalami perubahan dari hitam kemudian kewarna cokelat dan akhirnya semakin bertambah umur maka akan mengalami perubahan menjadi merah (Gambar 7). Hal ini sejalan dengan pernyataan (Rosinska 2007), usia burung Robin sesuai dengan perubahan karakteristik menyangkut bentuk, warna, ukuran bulu, ukuran mandibula, dan ukuran ekor. Alis mata burung weris pada saat baru menetas belum tampak garis putih, namun setelah burung berumur 30 hari mulai nampak warna putih di bagian atas mata. Sejalan dengan bertambahnya umur, maka warna alis mata yang putih akan semakin jelas dengan bertambah panjang (Gambar 7). Warna paruh pada saat telur menetas sampai umur 1 hari berwarna merah muda dengan warna putih pada ujung paruh. Pada hari ke-2, warna putih pada ujung paruh mulai hilang dan benar-benar hilang pada hari ke-3. Pada hari ke-10, warna paruh berubah dari merah muda menjadi warna hitam dimulai dari pangkal paruh sampai ke ujung paruh. Pada hari ke-30, warna paruh mulai mengalami perubahan dari hitam dan secara perlahan berubah menjadi merah muda dimulai pada pangkal paruh sampai akhirnya pada ujung paruh. Selanjutnya, warna paruh akan mulai berubah kembali menjadi kehitaman yang dimulai dari ujung paruh
31
sampai pada pangkal paruh. Burung yang ditangkap biasanya mempunyai paruh berwarna merah muda sampai warna kehitaman. Bulu leher mengalami perubahan dari warna hitam secara perlahan-lahan menjadi warna abu-abu, selanjutnya muncul spot putih bercampur dengan warna kecokelatan. Sejalan dengan bertambahnya umur pada hari ke-60, warna bulu leher kembali berubah menjadi warna abu-abu. Bulu pada bagian sayap mulai bertumbuh pada waktu pengamatan hari ke20, dan pada hari ke-60, bulu pada bagian sayap, yaitu bulu primer, sekunder, dan alula sudah tumbuh sempurna. Pada waktu pengamatan 60 hari, didapatkan bulu sayap telah bertumbuh sempurna sehingga diduga bahwa burung tersebut telah memasuki fase pertumbuhan dara (Gambar 8). Ozaki (2009) menyatakan bahwa pertumbuhan bulu burung sesudah lahir sampai menjadi burung dara, bulu burungnya hampir sama dengan bulu burung dewasa sehingga pada pengamatan eksternal sangat sulit membedakan burung dara dari burung dewasa. Ditambahkan
bahwa pengetahuan yang terbatas tentang bulu Gallirallus
okinawae menyebabkan sangat sulit untuk membedakan umur burung melalui pengamatan bulu burung (Ozaki 2009). Ketersediaan pakan berperan penting untuk pertumbuhan dan kualitas bulu burung (Desrochers 1992). Secara keseluruhan, perubahan warna bagian-bagian tubuh burung weris dapat ditampilkan pada Gambar 9.
.
32
1h
10 h
40 h
20 h
50 h
30 h
60 h
Gambar 7 Perubahan warna pada bagian kepala yaitu paruh, iris mata, warna alis mata sejak umur 1 hari sampai 60 hari.
20 hr
30 hr
40 hr
alula
50 hr
Gambar 8 Pertumbuhan bulu sayap selama waktu pengamatan 60 hari
60 hr
33
Umur 1 hari
Perubahan Karakter Gambar Keseluruhan bulu berwarna hitam pekat Mata hitam, paruh merah muda, dan pada ujung paruh warna putih pada hari ke 3 warna putih hilang Warna shank abu-abu tua
10 hari
Keseluruhan bulu berwarna hitam pekat Mata hitam, keseluruhan paruh berwarna hitam Warna shank abu-abu tua
20 hari
Keseluruhan bulu mulai berubah warna menjadi abu-abu tua, dan buluh pada sayap mulai tumbuh dengan bercak-bercak putih
30 hari
Alis putih pada bagian mata Warna iris mata berubah kecokelat muda Bulu pada bagian belakang dan sayap mulai berubah warna menjadi kecokelatan Pada bagian leher berubah menjadi abu-abu muda
40 hari 50 hari
60 hari
Sebagian besar belakang berwarna cokelat Garis cokelat dibawah alis Bulu sayap primer dan sekunder mulai tumbuh sempurna Sebagian paruh berwarna merah muda Pada bagian leher abu-abu mudah bercampur cokelat dan spot putih Warna iris mata dari cokelat muda kecokelat tua Warna cokelat dibawah alis putih semakin jelas Keseluruhan paruh berwarna merah muda
Iris mata berwarna cokelat tua Keseluruhan bagian leher berubah menjadi abuabu muda
Gambar 9 Perubahan karakter burung weris dari umur 1 hari sampai 60 hari
34
Simpulan Burung weris (Gallirallus philippensis) pada empat lokasi di Minahasa memiliki tingkat kesamaan morfologi yang tinggi. Berdasarkan hasil pengukuran terdapat perbedaan
karakter
morfometri pada Gallirallus philippensis, yaitu
burung weris jantan lebih besar dibandingkan betina pada karakter bobot tubuh, panjang paruh, dan lebar paruh.
Perubahan karakter morfologi terutama
perubahan warna pada bagian kepala dan pertumbuhan bulu sayap terlihat jelas berdasarkan perkembangan umur, dengan demikian dapat dijadikan dasar pendugaan umur burung.
Saran Penelitian karakter morfologi perlu dikembangkan lebih lanjut dengan lokasi yang lebih luas atau lebih menyebar terutama untuk daerah Sulawesi
Daftar Pustaka Carrascal LM, Moreno E, Tellera JL. 1990. Ecomorphological Relationships in a Group of Insectivorous Bird of Temperate Forest in winter. Holarctic ecology 13: 105-111 Chettri N, Deb DC, Sharma E, Jackson R. 2005. The reliationship bird communities and habitat a study along a tracking corridor in the sikkim Himalaya. Mount Res Develop 25: 235-243. Coates BJ, Bishop KD. 1997. Panduan Lapangan Burung-burung di Kawasan Wallacea. Bird Life International Desrochers A. 1992. Age and foreging success in European Blackbird variation between and within individuals. Anim Behav 43:885-894. Gyimóthy Zs, Gyurácz J, Bank L, Bánhidi P, Farkas R, Németh Á, CsörgőT. 2011. Autumn migration of Robins (Erithacus rubecula) in Hungary. Biologia 66(3): 548–555. Hall S, Ryttman H, Fransson T, Stolt B. 2004. Stabilising selection on wing length in reed warblers (Acrocephalus scirpaceus). J Avi Bio 35:7-12. Howes J, Bakewell D, Rusila-Noor Y. 2003. Panduan Studi Burung Pantai. Bogor: Wetlands International-Indonesia Programme. Kennedy RS, Gonsales PC, Dickinson EC, Miranda HC, Fisher TH. 2000. A Guide to the Birds of the Philippines. Oxford: Oxford University Press.
35
Noor RR. 2008. Genetika Ternak. Edisi ke-4. Jakarta: Penebar Swadaya Ozaki K. 2009. Morphological differences of sex and age in the Okinawa Rail Gallirallus okinawae. Ornithol Sci 8: 117-124. Paeman PB. 2002. The scale of community structure: habitat variation and avian guilds in the tropical forest. Ecologic Monographs 72: 19-39. Rosiñska K. 2007. Biometrics and morphology variation within sex-age groups of Robins (Erithacus rubecula) migrating through the Polish Baltic coast. Ring 29, 1-2: 91-106. Sievwright H, Higuchi H. 2011. Morphometric analysis of the unusual feeding morphology of Oriental Honey Buzzards.Ornithologic Sci 10(2):131-144. Taylor B, van Perlo B. 1998. A guide to the Rails, Crakes, Gallinules and Coots of the world: Pica Press. Wiens JA. 1989. The ecology of bird communities 1. Cambridge: Cambridge University Press. Wisocki D. 2002. Biometrical analysis of an urban population of the Blackbird (Turdus merula ) in Szczecin (NW Poland). Ring 24, 2:69-7676. Yong CC, Young NH, Gil PJ, Gyu LK. 2011. Swinhoe's Storm Petrels (Oceanodroma monohris) show no apparent sexual dimorphism in size and color. Ornithologic Sci 10(2):145-149.
36