II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hewan Percobaan Hewan percobaan atau hewan laboratorium memainkan peranan penting dalam perkembangan dan kemajuan ilmu biomedis. Hewan percobaan adalah hewan yang sengaja dipelihara dan diternakkan untuk dipakai sebagai hewan model guna mempelajari dan mengembangkan berbagai macam bidang ilmu dalam skala penelitian atau pengamatan laboratorik. Penggunaan hewan percobaan untuk penelitian banyak dilakukan di bidang fisiologi, farmakologi, biokimia, patologi, komperatif zoologi, dan ekologi dalam arti luas. Di bidang ilmu kedokteran selain untuk penelitian, hewan percobaan juga sering digunakan untuk keperluan diagnostik (Malole dan Pramono 1989). Jenis-jenis hewan percobaan meliputi hewan percobaan kecil, misalnya: mencit, tikus, marmut, dan kelinci; serta hewan percobaan lain, seperti: ayam, itik, babi, satwa primata, domba, dan kambing (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Pemilihan hewan percobaan untuk penelitian mempertimbangkan beberapa faktor, terutama tujuan dari penelitian itu sendiri. Misalnya, kelinci merupakan hewan percobaan yang cocok dan paling sering digunakan untuk penelitian tentang hiperkolesterolemia, karena kelinci memiliki cadangan lemak tubuh yang banyak (Sirois 2005) dan peka terhadap kolesterol (Muliasari 2009). Berbeda dengan anjing, kucing, dan tikus yang resisten terhadap pakan kolesterol. Satwa primata merupakan hewan yang sangat cocok digunakan dalam penelitian ilmiah yang ada kaitannya dengan manusia, karena satwa primata erat hubungannya dengan manusia misalnya fisiologi dan patologinya. Tetapi banyak faktor yang harus dipertimbangkan secara matang sebelum memutuskan hewan percobaan ini digunakan dalam penelitian, seperti sulitnya pengadaan hewan (satwa langka), biaya yang tinggi dan pemeliharaan yang rumit, pertimbangan kemampuan dan keselamatan pekerja dalam hal meng-handling hewan percobaan, dan resiko tertularnya pekerja laboratorium dari penyakit menular karena satwa primata dapat membawa organisme penyebab penyakit menular, terlebih virusvirus yang tidak begitu patogenik terhadap hewan tersebut tetapi sangat berbahaya terhadap manusia (Sirois 2005).
6
Penggunaan hewan percobaan untuk pengujian secara in vivo biasanya menunjukkan hasil deviasi yang besar dibandingkan dengan pengujian in vitro, karena adanya variasi individu. Supaya variasi tersebut minimal, hewan-hewan yang mempunyai spesies yang sama atau strain yang sama, usia yang sama, dan jenis kelamin yang sama, dipelihara pada kondisi yang sama pula (Malole dan Pramono 1989). Hewan percobaan yang umum digunakan dalam penelitian ilmiah adalah tikus. Tikus merupakan spesies pertama mamalia yang didomestikasi untuk tujuan ilmiah karena memiliki daya adaptasi yang baik. Tikus yang diproduksi sebagai hewan percobaan dan hewan peliharaan adalah tikus putih (Rattus norvegicus). Rattus norvegicus merupakan salah satu hewan percobaan yang paling sering digunakan dalam penelitian, karena memiliki karakter fungsional yang baik sebagai model bagi hewan mamalia (Hedrich 2000). Rattus norvegicus memiliki ciri-ciri panjang tubuh total 440 mm, panjang ekor 205 mm, bobot badan 140-500 g dengan rataan 400 g (Myers dan Armitage 2004). Tikus disapih hingga usia 21 hari dan memasuki masa dewasa pada usia 40-60 hari (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Rattus norvegicus memiliki beberapa keunggulan, antara lain: penanganan dan pemeliharaan yang mudah karena tubuhnya kecil, kemampuan reproduksi yang tinggi dengan masa kebuntingan yang singkat, sehat, bersih, dan cocok untuk berbagai macam penelitian (Malole dan Pramono 1989). Penelitian yang telah pernah dilakukan menggunakan Rattus norvegicus adalah penelitian tentang hipertensi, diabetes insipidus, katarak, obesitas, diabetes melitus, dan lain-lain (Sirois 2005). Sistem klasifikasi tikus Rattus norvegicus menurut Myers dan Armitage (2004) adalah sebagai berikut: Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Kelas
: Mammalia
Ordo
: Rodentia
Famili
: Muridae
Genus
: Rattus
Spesies
: Rattus norvegicus
7
Terdapat tiga galur atau varietas tikus Rattus norvegicus yang biasa digunakan sebagai hewan percobaan yaitu galur Sprague Dawley yang memiliki kepala kecil, berwarna albino putih, dan ekornya lebih panjang dari badannya. Galur Wistar, memiliki kepala besar, berwarna putih, dan ekor yang lebih pendek. Galur Long Evans, lebih kecil dari tikus putih dan memiliki warna hitam pada kepala hingga tubuh bagian depan serta warna putih pada tubuh bagian belakang (Malole dan Pramono 1989). Penelitian ini juga menggunakan tikus sebagai hewan percobaan. Tikus yang digunakan dalam penelitian ini adalah spesies Rattus norvegicus (Albino Norway Rats) galur Sprague Dawley. Rattus norvegicus dipakai karena tergolong omnivora seperti halnya manusia, dan kebutuhan asam amino esensialnya menyamai kebutuhan manusia, khususnya anak-anak. Tikus putih dalam keadaan sehat dapat hidup 2-3 tahun. Satu minggu umur tikus putih ekuivalen dengan 30 minggu umur manusia, sehingga pengaruh zat gizi terhadap pertumbuhan dapat dipelajari dengan cepat pada tikus putih (Nio 1985). Ada dua sifat utama yang membedakan tikus dengan hewan percobaan lain, yaitu tikus tidak dapat muntah karena struktur anatomi yang tidak lazim pada tempat bermuara esofagus ke dalam lambung sehingga mempermudah proses pencekokan perlakuan menggunakan sonde lambung, dan tidak mempunyai kantong empedu (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Selain itu, tikus hanya mempunyai kelenjar keringat di telapak kaki. Ekor tikus menjadi bagian badan yang paling penting untuk mengurangi panas tubuh. Mekanisme perlindungan lain adalah tikus akan mengeluarkan banyak ludah dan menutupi bulunya dengan ludah tersebut (Sirois 2005).
2.2 Hati Hati merupakan kelenjar sekaligus organ parenkimatis terbesar di dalam tubuh. Hati tikus terdiri atas 4 lobus (Gambar 1), yaitu lobus medial yang terbagi menjadi sublobus kanan dan kiri oleh bifurcatio, lobus lateral kanan yang terbagi menjadi bagian anterior dan posterior, lobus kiri (lobus yang paling besar), dan lobus kaudatus yang terdiri atas dua sublobus seperti daun di dorsal dan ventral esofagus pada bagian kurvatura minor lambung (Suckow et al. 2006). Unit
8
fungsional dasar hati adalah lobulus hati, yang berbentuk silindris dengan panjang beberapa milimeter dan berdiameter 0.8 sampai 2 milimeter. Lobulus hati terbentuk mengelilingi vena centralis yang mengalir ke vena hepatica dan kemudian ke vena cava (Guyton dan Hall 1997). Hati mempunyai beberapa komponen sel, yaitu hepatosit (sel parenkim), sel sinusoidal (endotel, sel Kupffer, dan sel lemak), sel haematopoesis, sel saraf, saluran limfatik, dan pembuluh darah (Maronpot 1999).
LL
ML
RL
CL
Gambar 1 Gambaran hati tikus yang terdiri dari empat lobus; LL = lobus kiri; ML = lobus medial; RL = lobus kanan; CL = lobus kaudatus. Sumber : http://www.fibrogenesis.com/content/1/1/6/figure/F2 Komponen struktural utama dari hati adalah sel hati atau hepatosit. Secara histologis, bentuk hepatosit serupa pada setiap spesies yaitu berbentuk polihedral dan memiliki satu atau dua inti. Hepatosit bersifat metabolik aktif dan memiliki banyak mitokondria, ribosom, rough endoplasmic reticulum, dan badan golgi. Peroksisom, smooth endoplasmic reticulum, dan lisosom juga terdapat pada sitoplasma. Hepatosit berderet secara radier dalam lobulus hati. Mereka membentuk lapisan setebal 1 atau 2 sel. Lempeng ini mengarah dari tepian lobulus ke pusat dan beranastomosis secara bebas. Antara lobulus ini dipisahkan oleh sinusoid hati (Samuelson 2007). Sinusoid hati merupakan kapiler yang menghubungkan pembuluh darah interlobularis, arteri hepatica, dan vena porta ke vena centralis. Sinusoid terdiri dari 2 tipe sel, yaitu sel endotel (sinusoidal endothelial cells) dan sel Kupffer yang merupakan makrofag jaringan yang dapat memfagosit bakteri dan benda asing di aliran darah hati. Di antara sel endotel dan sel hati terdapat ruang sempit yang
9
disebut ruang Disse yang menghubungkan pembuluh limfe di dalam septum interlobularis. Sel Kupffer mempunyai complement dan reseptor Fc yang dapat menghilangkan benda asing seperti sel debris dan sisa hasil perombakan sel darah merah. Selain sel endotel dan sel Kupffer juga terdapat komponen yang disebut Sel Ito (Ito Cells). Sel tersebut menyimpan banyak retinoid hati dalam droplet lemak yang banyak terlibat dalam dinamika retinol dalam tubuh (Samuelson 2007). Fungsi dasar hati dapat dibagi menjadi: (1) fungsi detoksifikasi, (2) fungsi metabolisme yang berhubungan dengan sebagian besar sistem metabolisme tubuh yakni metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein, (3) fungsi sekresi dan ekskresi yang berperan membentuk empedu dan mengalirkan empedu ke saluran pencernaan (Guyton dan Hall 1997). Aktivitas SOD tertinggi terdapat dalam hati, kemudian dalam kelenjar adrenal, ginjal, darah, limpa, pankreas, otak, paru-paru, lambung, usus, ovarium, timus, dan lemak (Chow 1988). Jurczuk et al. (2004) menyebutkan bahwa sistem pertahanan antioksidan di hati lebih efektif dibandingkan dengan organ lain. Hati berperan sebagai komponen utama pertahanan tubuh inang serta menginduksi toleransi terhadap antigen (Kleinman al. 2008).
2.3 Enteropathogenic Escherichia coli (EPEC) Escherichia coli merupakan bakteri Gram negatif yang berbentuk batang, tidak berspora, dan bersifat fakultatif anaerobik. E. coli merupakan bakteri yang normal terdapat di dalam usus besar manusia dan hewan berdarah panas dan dikenal sebagai bakteri yang tidak berbahaya, sehingga sering ditemukan pada feses. Bakteri enteropahtogenic E. coli (EPEC) didefinisikan sebagai bakteri yang memiliki
karakteristik
berikut:
(1)
kemampuan
menimbulkan
diare,
(2) kemampuan memproduksi sebuah bentukan histologi pada epitel usus yang dikenal
sebagai
lesio
attaching
and
effacing
(A/E
lesion),
dan
(3) ketidakmampuan memproduksi Shiga-like toxin (verocytotoxin). Karakteristik yang kedua merupakan pembeda antara EPEC dengan strain E. coli penyebab diare lainnya, yang meliputi enterotoxigenic E. coli (ETEC), enteroaggregative
10
E. coli (EAEC), dan enteroinvasive E. coli (EIEC). Karakteristik yang ketiga merupakan pembeda EPEC dengan E. coli penghasil Shiga-like toxin (STEC dan VTEC) dan enterohemorrhagic E. coli (EHEC) (Kaper et al. 2004). Proses patogenitas EPEC diawali dengan perlekatan bakteri pada sel epitel usus inang dan membentuk lesi attaching and effacing A/E (Gambar 2). Perlekatan awal EPEC pada sel epitel usus inang diperantarai oleh bundle-forming pilus (BFP) diikuti sekresi faktor virulen yang dikenal dengan “molecular syringe” berupa sistem sekresi tipe III. Salah satu faktor yang disuntikkan adalah Tir (translicated intimin receptor) yang berfungsi sebagai reseptor membran plasma untuk perlekatan EPEC. EPEC kemudian mengikat Tir melalui protein membran luar, intimin. Sinyal transduksi terjadi dalam sel inang, termasuk aktivasi protein kinase C (PKC), inositol triphosphate (IP3), dan pelepasan Ca2+. Beberapa protein sitoskeletal termasuk aktin, menjadi tempat melekatnya EPEC. Pada akhirnya, terjadi penyusunan kembali sitoskeletal setelah Tir-intimin berikatan, dan menghasilkan formasi pedestal-like structure (Lu dan Walker 2001).
Gambar 2 Bentuk infeksi EPEC pada epitel usus. Sumber : Lu dan Walker (2001) 2.4 Bakteri Asam Laktat sebagai Probiotik Probiotik adalah mikroorganisme hidup yang biasanya ditambahkan ke dalam pangan dalam jumlah yang tepat sehingga dapat bermanfaat bagi kesehatan saluran pencernaan (Zubillaga et al. 2001). Naidu (1999) juga menyebutkan bahwa mikroba probiotik mempunyai hubungan dekat dengan kesehatan saluran pencernaan inang karena berperan mencegah kolonisasi dan proliferasi mikroba
11
patogen di usus. Definisi FAO/WHO (2002) tentang probiotik adalah mikroorganisme hidup yang saat dikonsumsi dengan jumlah yang cukup akan tetap hidup sampai mencapai saluran gastrointenstinal (GI tract) serta memberikan manfaat kesehatan. Mekanisme pertahanan intestinal oleh probiotik sebagaimana dikutip dalam Lu dan Walker (2001) adalah meningkatkan pertahanan inang dengan menduduki usus, sehingga: (1) mencegah kolonisasi patogen di usus, (2) memproduksi senyawa antimikroba, volatile fatty acids, dan modifikasi asam empedu yang pada gilirannya menciptakan lingkungan lumen yang kurang baik untuk pertumbuhan patogen, dan (3) merangsang respon sel imun dan mengaktivasi respon kekebalan dan inflamasi. Penyakit pada usus akan terjadi apabila ada faktor yang mengganggu integritas pertahanan epitel usus.
Gambar 3 Mekanisme pertahanan intestinal oleh probiotik. Sumber : Lu dan Walker (2001) Beberapa dekade terakhir, probiotik sudah dikembangkan dan digunakan sebagai terapi alternatif untuk penyakit diare. Bakteri probiotik yang umum digunakan untuk kepentingan ini adalah bakteri asam laktat (BAL), namun sebenarnya mikroba probiotik dapat berupa bakteri Gram positif, bakteri Gram negatif, khamir, dan fungi (Rolfe 2000). Bakteri asam laktat yang umum digunakan dan telah terbukti mempunyai efek probiotik pada manusia berasal dari
12
genus Lactobacillus dan Bifidobacterium, antara lain L. achidophilus, L. casei, L. fermentum, L. plantarum, L. reuteri, B. infantis, B. breve, B. animalis, B. adolescentis, dan B. longum. Bakteri–bakteri tersebut termasuk bakteri Gram positif, fakultatif yang normal terdapat dalam usus besar manusia dan sebagian besar merupakan mikroflora anaerobik (Liong 2007). Efek protektif probiotik terhadap infeksi usus yang diperlihatkan pada hewan model adalah mekanisme memproduksi asam, zat antimikroba, hidrogen peroksida, kompetisi nutrisi atau reseptor adhesi/penempelan, tindakan antitoksin, dan stimulasi sistem kekebalan tubuh (Marteau et al. 2001). Kullisaar et al. (2003) telah membuktikan bahwa beberapa strains bakteri asam laktat tersebut memiliki aktivitas antioksidan dan mampu menurunkan akumulasi reactive oxygen spesies (ROS)/radikal bebas pada inang, sehingga berpotensi menurunkan stess oksidatif. Selain itu, Kullisaar et al. (2002) melaporkan pula bahwa mengkonsumsi susu fermentasi yang mengandung L. fermentum ME-3 menunjukkan efek antioksidatif dan antiatherogenik. Bakteri asam laktat (BAL) merupakan bakteri yang telah dikenal sebagai probiotik. BAL adalah bakteri Gram positif yang bersifat mikroaerofilik, tidak berspora, dan mampu memfermentasi karbohidrat menjadi asam laktat. Bakteri asam laktat termasuk mikroorganisme yang aman jika ditambahkan dalam pangan karena sifatnya tidak toksik dan tidak menghasilkan toksin, maka disebut food grade microorganism atau dikenal sebagai
mikroorganisme yang Generally
Recognized As Safe (GRAS) yaitu mikroorganisme yang tidak beresiko terhadap kesehatan, bahkan beberapa jenis bakteri tersebut berguna bagi kesehatan. Bakteri probiotik umumnya dimasukkan ke dalam pangan fermentasi berbasis susu. Untuk dapat dikatakan sebagai probiotik, maka BAL harus memenuhi syarat antara lain: (1) tahan terhadap asam lambung (pH 1.5-5.0), (2) stabil terhadap asam empedu dan mampu bertahan hidup selama berada dalam usus kecil, (3) mampu bertahan (survive) dan berkolonisasi di saluran pencernaan, (4) mampu mempertahankan suatu keseimbangan mikroflora usus melalui kompetisi dan inhibisi terhadap kuman-kuman patogen, seperti memproduksi senyawa antimikroba seperti asam laktat, hidrogen peroksida, dan bakteriosin,
13
(5) tidak patogen dan tidak toksik, (6) stabil selama penyiapan sampai dengan penggunaan agar dapat disediakan massal dalam industri pangan (Lisal 2005).
2.5 Radikal Bebas dan Antioksidan Cu,Zn-SOD Radikal bebas (free radical), oksidan (oxidant) yang berupa reactive nitrogen species (RNS) atau reactive oxygen species (ROS) merupakan molekul yang mempunyai satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan (unpaired electron) pada orbital luarnya. Elektron yang tidak berpasangan ini akan menjadi sangat reaktif dalam upaya memperoleh pasangan dengan cara menarik elektron dari biomakromolekul disekitarnya, seperti protein, asam nukleat, dan asam deoksiribonukleat (DNA). Oksidasi dan degradasi makromolekul yang merupakan komponen sel akan mengakibatkan kerusakan pada sel tersebut (Halliwell dan Gutteridge 1999). Pada kondisi fisiologis normal, sel memproduksi radikal bebas sebagai konsekuensi logis terhadap reaksi biokimia dalam kehidupan aerobik. Senyawa radikal bebas yang terlibat dalam berbagai proses patologik berasal dari berbagai sumber di antaranya sebagai reaksi reduksi oksidasi (redoks) biokimia yang melibatkan senyawa oksigen. Reaksi ini terjadi pada sebagian besar proses metabolisme tubuh normal, tetapi oleh suatu sebab senyawa tersebut terdapat dalam jumlah yang berlebihan. Senyawa yang dihasilkan dari reaksi ini disebut senyawa oksigen reaktif yang sebagian berbentuk radikal seperti hidroksil dan superoksida serta sebagian lagi berbentuk non radikal seperti asam hipokrit, singlet oksigen, dan hidrogen peroksida (Jhonson dan Giulivi 2005). Awal terbentuknya radikal bebas adalah dari proses reduksi molekul oksigen dalam rangkaian transpor elektron dalam mitokondria atau dalam prosesproses lain yang terjadi secara acak dari berbagai proses kimiawi dalam tubuh yang melibatkan senyawa organik maupun inorganik. Radikal bebas yang terbentuk mempunyai masa paruh yang sangat pendek, tetapi tetap mempunyai potensi besar yang dapat merusak sel. Bila reaksi terus berlanjut maka terjadi suatu reaksi berantai (chain reaction) sampai radikal bebas itu dihilangkan oleh sistem antioksidan tubuh. Naiknya level radikal bebas atau kurangnya antioksidan tubuh menyebabkan stress oksidatif. Telah dilaporkan oleh Wresdiyati et al.
14
(2002) dan Wresdiyati et al. (2003), bahwa keadaan stress oksidatif menimbulkan penurunan kandungan antioksidan copper, zinc-superoksida dismutase (Cu,ZnSOD) pada hati dan ginjal tikus. Antioksidan adalah senyawa atau bahan bioaktif yang berfungsi mencegah, menurunkan reaksi oksidasi, memutus, menghambat, menghentikan, dan menstabilkan radikal bebas (Margaill 2005). Enzim antioksidan intraseluler terdiri atas enzim katalase, glutation peroksidase, dan superoksida dismutase (SOD). Superoksida
dismutase
terdiri
atas
3
isoform,
yakni
Cu, Zn-SOD,
Mn-SOD, dan Fe-SOD (Valko et al. 2007). Superoksida dismutase pertama kali ditemukan oleh Mann dan Keillis pada tahun 1938 pada saat mengisolasi protein yang berwarna biru dari eritrosit sapi. Protein tersebut selanjutnya diketahui mengandung Cu. Pada tahun 1968, McCord dan Fridovich berhasil menemukan adanya aktivitas katalitik dismutase radikal superoksida pada protein tersebut dan selanjutnya protein yang berhasil diidentifikasi aktivitas katalitiknya ini dinamai superoksida dismutase (SOD). Selanjutnya pada tahun 1972, Fridovich juga menemukan Cu,Zn-SOD pada berbagai tingkatan organisme, seperti yeast atau ragi, Neurospora crassa, bayam, benih gandum, hati ikan, dan hati ayam. Oleh banyak peneliti selanjutnya protein ini ditetapkan sebagai antioksidan enzimatis endogen (Fridovich 1995). Antioksidan superoksida dismutase bekerja mengkatalisis dismutasi anion superoksida (O2 -) yang merupakan oksigen reaktif menjadi hidrogen peroksida (H2O2) dan oksigen (O2). Dalam tubuh hewan mamalia, SOD mempunyai berbagai macam jenis dan lokasi, antara lain Mn-SOD yang terdapat dalam mitokondria, SOD ekstraseluler, dan Cu,Zn-SOD terdapat pada sitosol dan inti sel (Yon et al. 2008). Enzim antioksidan Cu,Zn-SOD merupakan protein enzimatis yang memiliki berat molekul 32.000 Dalton dan tersusun atas dua subunit identik yang mengandung sekelompok logam aktif, yaitu atom tembaga (Cu) dan seng (Zn). Atom Cu pada Cu,Zn-SOD berperan dalam aktivitas enzimatis, sedangkan Zn berfungsi sebagai stabilisator (Fridovich 1995). Antioksidan Cu,Zn-SOD merupakan salah satu SOD paling stabil karena setiap subunit tergabung oleh ikatan non-kovalen dan terangkai oleh ikatan disulfida. Enzim ini mempunyai
15
peranan penting dalam pertahanan tubuh melawan radikal-radikal bebas anion superoksida atau yang merupakan produk metabolisme parsial oksigen (Wresdiyati dan Astawan 2004).
2.6 Imunohistokimia Imunohistokimia adalah metode pewarnaan jaringan yang merupakan gabungan dari tiga cabang ilmu pengetahuan, yaitu: (1) imunologi, karena prinsip pewarnaan ini adalah ikatan antigen dan antibodi, (2) histologi, menyangkut penggunaan preparat dengan ketebalan mikro yang pengamatannya dengan mikroskop cahaya, dan (3) kimia, karena pewarnaan yang dilakukan berdasarkan reaksi kimia (Ramos-Vara 2005). Teknik imunohistokimia yang ditemukan AH Coons pada tahun 1941 adalah teknik identifikasi unsur pokok jaringan secara in situ melalui reaksi antigen-antibodi spesifik dan diberi label agar terlihat dengan mikroskop. Ikatan antigen-antibodi sangat spesifik ibarat ikatan kunci dan gembok (lock and key). Teknik ini menggunakan dua antibodi, yaitu antibodi primer dan antibodi sekunder (Ramos-Vara 2005). Antibodi primer yang digunakan pada penelitian ini adalah antibodi monoklonal terhadap Cu,Zn-SOD dan antibodi sekunder (antiantibodi primer) yang digunakan adalah antibodi yang sudah terkonjugasi dengan peroksidase (Dako envision peroxidase system atau DEPS). Antibodi sekunder yang digunakan dapat bereaksi beberapa jenis antibodi monoklonal yang dibuat dari beberapa jenis hewan. Prinsip pewarnaan imunohistokimia dapat dilihat pada Gambar 4. Antibodi primer SIGMA S2147
Antibodi sekunder (K1491) Peroksidase
Antigen (Cu,Zn-SOD)
DAB + H2O2
Endapan coklat + H2O
Jaringan hati Gambar 4 Prinsip teknik pewarnaan imunohistokimia.
16
Enzim antioksidan Cu,Zn-SOD di jaringan hati dikenali sebagai antigen oleh antibodi primer (antibodi monoklonal terhadap Cu,Zn-SOD). Antigen akan diikat oleh antibodi primer. Selanjutnya, antibodi primer akan berikatan dengan antibodi sekunder yang telah dikonjugasikan dengan peroksidase (DEPS). sehingga keberadaan peroksidase ini melambangkan adanya kompleks antigenantibodi. Peroksidase berfungsi mengkatalisis reaksi antara kromogen (diamino benzidine atau DAB ) dan hidrogen peroksida (H2O2), sehingga terbentuk endapan berwarna coklat yang menunjukkan keberadaan SOD. Semakin tua intensitas warna coklatnya berarti semakin banyak kandungan SOD-nya.
2.7 Penelitian Pendahuluan Arief et al. (2008) telah melakukan isolasi bakteri asam laktat (BAL) golongan Lactobacillus, Lactococcus, dan Streptococcus dari daging sapi bangsa peranakan Ongol yang dijual di berbagai pasar tradisional di daerah Bogor. Bakteri asam laktat tersebut selanjutnya diuji kemampuannya bertahan pada kondisi sesuai dengan kondisi saluran pencernaan manusia, antara lain pH, garam empedu, serta aktivitas antimikrobanya terhadap bakteri patogen. Hasil penelitian pendahuluan tersebut menunjukkan bahwa terdapat 10 bakteri asam laktat isolat indigenus yang mempunyai kemampuan bertahan pada pH asam lambung yaitu pH 2 dan pH usus 7.2, serta pada kondisi garam empedu 0.5% sesuai dengan kondisi saluran pencernaan. Kesepuluh BAL tersebut adalah dari spesies Lactobacillus spp., Lactococcus spp., dan Streptococcus spp. BAL tersebut memiliki kemampuan bakterisidal terhadap mikroba patogen karena mampu menghasilkan senyawa bioaktif asam laktat, asam asetat, serta senyawa bakteriosin. Selain itu, bakteri asam laktat tersebut juga mempunyai kemampuan penghambat yang baik terhadap tiga jenis bakteri patogen, yaitu enterotoxigenic E. coli (ETEC), Salmonella Thypimurium, dan Staphylococcus aureus. Mengacu pada kriteria probiotik yang dikeluarkan oleh FAO/WHO (2002), kesepuluh isolat bakteri asam laktat ini layak dikatakan sebagai probiotik. Sifat fungsional lainnya telah diteliti oleh Astawan et al. (2009) yaitu mengenai kemampuan bakterisidal dari 10 isolat BAL terhadap bakteri enteropathogenic E. coli (EPEC) secara in vitro. Hasilnya diperoleh dua spesies BAL
17
yang mempunyai kemampuan terbaik sebagai probiotik, yaitu Lactobacillus plantarum dan Lactobacillus fermentum. Kedua bakteri asam laktat inilah yang akan dipakai pada penelitian ini.