6
TINJAUAN PUSTAKA Keanekaragaman Jenis Konsep keanekaragaman jenis (speciesdiversity) berawal dari apa yang disebutkan sebagai keanekaragaman hayati (biodiversity). Dalam definisi yang luas keanekaragaman hayati merupakan keanekaragaman kehidupan dalam semua bentuk dan tingkatan organisasi, termasuk struktur, fungsi dan proses-proses ekologi di semua tingkatan (Robert and Gilliam 1995). Semakin tinggi keanekaragaman hayati, dipercaya ekosistemnya akan semakin stabil (Elton 1958 dalam Kumar 1977), karena keanekaragaman hayati menyangkut keragaman dan kelimpahan relatif dari spesies (Magurran 1988). Keduanya menentukan kekuatan adaptasi dari populasi yang akan menjadi bagian dari interaksi spesies (Gregorius 1995). Smitinand (1995) mengungkapkan bahwa keanekaragaman hayati menyediakan manfaat ekonomi secara langsung dalam pangan, obat dan industri bahan baku, menjaga kelangsungan sistem alami yang memberikan peran penting bagi kehidupan seperti fotosintesis, pengaturan tata air dan iklim dan penyerapan polutan-polutan. Haryanto (1995) mengungkapkan bahwa 30.000 spesies tumbuhan memiliki bagian yang dapat dimakan, dan sepanjang sejarah kehidupan ummat manusia hanya 7.000 spesies yang telah dibudidayakan atau dikoleksi sebagai bahan pangan. Dari seluruh tumbuhan yang telah dimanfaatkan tersebut, 20 spesies memberikan sumbangan 90% pangan dunia, dan hanya 3 spesies (gandum, jagung dan padi) yang mensuplai kebutuhan pangan dunia lebih dari 50%. Banyak spesies buah-buahan yang dapat dikembangkan sebagai komoditi ekonomi. Paling sedikit 3.000 spesies buah-buahan tropis (200 spesies secara aktual telah dimanfaatkan). Sebagai suatu usaha dalam memberikan definisi yang lebih operasional, Crow et al. (1994) telah mengidentifikasikan keanekaragaman menjadi tipe-tipe atau sub-kelompok keanekaragaman, yaitu: komposisi, struktural dan fungsional. Keanekaragaman komposisi adalah keanekaragaman sesuatu dalam suatu wilayah, seperti jenis dalam suatu tegakan hutan. Keanekaragaman struktur dapat dicirikan dengan distribusi vertikal dan horisontal dari tumbuhan, ukuran tumbuhan atau
7
distribusi umur. Sedangkan keanekaragaman fungsional dicirikan dengan prosesproses
ekologi,
aliran
keanekaragaman
energi,
dan
hubungan.
Pada
tipe-tipe
tersebut
dapat dilihat dari berbagai tingkatan organisasi biologi,
misalnya dari tingkatan genetik, jenis/spesies, atau ekosistem (Probst and Crow 1991). Berdasarkan
tingkatan
organisasi
biologi
dalam
suatu
ukuran
keanekaragaman dan dengan pertimbangan kemudahan serta untuk lebih membatasi cakupan permasalahan atau lingkup perhatian, keanekaragaman jenis atau species diversity adalah ukuran keanekaragaman yang sering dipergunakan (Robert and Gilliam 1995). Keanakaragaman jenis pada dasarnya dapat disusun dari dua komponen. Pertama adalah jumlah spesies dalam suatu areal, yang mana para ahli ekologi menyatakannya sebagai kekayaan jenis (species richness). Komponen kedua adalah “species evennes” atau kemerataan. Selanjutnya dikembangkan lagi suatu indeks yang berupaya mengkombinasikan antara kekayaan jenis dan kemerataan jenis ke dalam satu nilai tunggal yang disebut sebagai indeks heterogenitas (kelimpahan jenis) (Morrison et al. 1992). Pengukuran distribusi individu dalam tiap jenis menjadi penting, karena dapat terjadi pada dua tempat yang sama keanekaragaman jenisnya tetapi sebaran individu dalam tiap jenisnya berbeda maka kedua tempat tersebut dapat sangat berbeda. Keanekaragaman jenis (species diversity) merupakan pertanyaan yang paling mendasar dan menarik dalam ekologi, baik teori maupun terapan (Magurran 1988). Banyaknya metode pengukuran keanekaragaman jenis tidak terlepas dari konsep keragaman jenis yang mempunyai dua komponen yaitu: jumlah jenis (species richness) yang disebut kepadatan jenis (species density) berdasarkan pada jumlah total jenis yang ada dan kesamaan atau kemerataan (evenness atau equatability) yang berdasarkan pada kelimpahan relatif suatu jenis dan tingkat dominansi (Krebs 1989; Magurran 1988). Menurut Mac Arthur (1984) keakeragaman jenis ditentukan oleh luas kawasan yang merupakan hubungan antara kawasan dengan keanekaragaman jenis di dalamnya. Keanekaragaman jenis akan berubah-ubah menurut waktu, dimana berbagai jenis datang dan pergi hingga tercapainya keseimbangan.
8
Menurut Perrins dan Birkhhead (1983), makin sedikit jenis akan makin mempertinggi jumlah individu per jenis yang menggunakan suatu kawasan, jika hal tersebut terjadi maka kompetisi antar jenis akan berkurang tetapi kompetisi antar individu dalam setiap jenisnya akan bertambah. Berbagai
prinsip
ekologi yang
penting
tercakup
dalam konsep
keanekaragaman ini. Tampaknya konsep keanekaragaman digunakan oleh para ahli ekologi sebagai cara untuk melihat kemungkinan system feedback, karena makin tinggi keanekaragaman akan makin memperpanjang rantai makanan dan mempertinggi
kemungkinan
simbiosis
baik
mutualisme,
komensalisme,
parasitisme dan lain-lain serta mempertinggi kemungkinan mengendalikan hal-hal yang negatif (Odum 1971; Magurran 1988). Konsekuensi dari hal ini adalah bahwa suatu komunitas yang stabil misalnya yang memiliki cuaca yang relatif lebih teratur akan memiliki keanekaragaman yang lebih tinggi, dibandingkan dengan yang memiliki cuaca yang lebih beragam atau terganggu oleh kegiatan manusia (Odum 1971; Krebs 1978). Keanekaragaman yang makin tinggi merupakan cerminan dari stabilnya suatu komunitas, artinya setiap jenis atau bahkan individu telah memiliki tempat tersendiri dalam habitatnya tersebut (niche), sehingga jika terdapat gangguan sekecil apapun akan terganggu stabilitas tersebut. Rentannya hutan tropis yang memiliki keanekaragaman tinggi misalnya, disebabkan oleh sebaran individu per jenisnya relatif lebih merata tetapi kebanyakan dari jenis-jenis tersebut memiliki individu per jenis yang sedikit sehingga jika gangguan tersebut terjadi pada niche jenis-jenis tersebut maka jenis tersebut dapat punah, sedangkan
jenis yang
dominan yaitu yang memiliki individu per jenis yang lebih banyak akan lebih bertahan (Odum 1971; Krebs 1978; Krebs 1989). Keanakaragaman jenis adalah suatu karakteristik tingkatan komunitas berdasarkan organisasi biologisnya. Keanekaragaman jenis dapat digunakan untuk menyatakan struktur komunitas.
Suatu komunitas dikatakan mempunyai
keanekaragaman jenis yang tinggi (H' lebih dari 3) jika komunitas itu disusun oleh banyak spesies/jenis dengan kelimpahan spesies yang sama atau hampir sama. Sebaliknya jika komunitas itu disusun oleh sangat sedikit spesies (H’ = 1 – 3), dan jika sedikit saja spesies yang dominan, maka keanekaragamannya rendah (H’
9
kurang dari 1). Keanekaragaman yang tinggi menunjukkan bahwa suatu komunitas memiliki kompleksitas yang tinggi, karena dalam komunitas itu terjadi interaksi spesies yang tinggi pula. Jadi dalam suatu komunitas yang mempunyai keanekaragaman yang tinggi akan terjadi interaksi spesies yang melibatkan transfer energi (jaring-jaring makanan), predasi, kompetisi, dan pembagian relung yang secara teoritis lebih kompleks.
Kekayaan Jenis Kekayaan jenis adalah jumlah jenis pada suatu komunitas. Setiap jenis tidak mungkin mempunyai jumlah individu yang sama. Kekayaan jenis pertama kali dikemukakan oleh Meintossh tahun 1967, konsep yang dikemukakannya mengenai kekayaan jenis adalah jumlah jenis atau spesies dalam suatu komunitas. Kempton (1979) dalam Santosa (1995) mendefinisikan kekayaan jenis sebagai jumlah jenis dalam sejumlah individu tertentu. Sedangkan Huribert (1971) dalam Magurran (1988) menyatakan bahwa kekayaan jenis adalah jumlah spesies dalam suatu luasan tertentu. Beberapa indeks menyangkut kekayaan jenis yang umumnya dikenal adalah sebagai berikut : (1) Metode “rarefaction” yang pertama kali dikemukakan oleh Sanders (1968) yang kemudian disempurnakan oleh Hurlbert (1971) (Magurran 1988), (2) Indeks kekayaan jenis Margalef, (3) Indeks kekayaan jenis Menhinick, dan (4) Indeks kekayaan jenis JACKKNIFE.
Bioprospeksi Bioprospecting (bioprospeksi) merupakan kependekan dari biodiversity prospecting. Di dalam bioprospeksi terdapat serangkaian kegiatan yang bertujuan untuk mencari dan menemukan senyawa bioaktif baru melalui pemanfaatan keanekaragaman hayati. Secara filosofi potensi atau fungsi sumberdaya alam dalam kehidupan manusia tergantung pada jumlah dan jenis senyawa kandungannya. Sumberdaya alam yang berfungsi sebagai bahan pangan karena senyawa kandungannya yang paling dominan adalah protein, karbohidrat, dan lipid-lipid; vegetasi yang digunakan bidang perkayuan karena mengandung senyawa-senyawa polifenol,
10
selulosa, dan lignin-lignin dengan perbandingan tertentu; sumberdaya sebagai sumber energi karena mengandung senyawa-senyawa hidrokarbon; sumberdaya hayati yang digunakan sebagai obat-obatan, agrokimia, dan material sains karena mengandung senyawa-senyawa alkaloid, terpen-terpen, flavonoid; dan vegetasi yang dominan mengandung selulosa digunakan sebagai bahan dasar kertas serta berbagai contoh lainnya. Variasi dan komposisi senyawa-senyawa tersebut yang menjadikan sumberdaya hayati bernilai ekonomi tetapi nilai ekonomi itu pula yang memicu kerusakan sumberdaya hutan karena dimanfaatkan atau dieksploitasi secara berlebihan. Potensi sumberdaya hayati yang umum diperlukan manusia adalah bahan untuk keperluan perumahan, bahan dasar pakaian, bahan perabotan, dan bahan pangan. Potensi-potensi tersebut didasarkan pada variasi dan komposisi senyawa kandungan spesies. Pemanfaatan spesies sumber pangan telah dilakukan secara berkelanjutan karena spesies-spesiesnya memiliki daur hidup yang pendek sehingga mudah dibudidayakan. Berbeda dengan spesies sumber non-pangan umumnya memiliki daur hidup yang panjang sehingga termasuk kategori sumberdaya alam takterpulihkan. Pemanfaatan sumberdaya non-pangan menimbulkan masalah ekologis karena sukar regenerasi. Sumberdaya yang berpotensi untuk bahan perumahan, bahan perabotan, dan pakaian umumnya adalah vegetasi dan bagian yang dimanfaatkan adalah batang atau kayu. Bentuk pemanfaatan inilah yang menyebabkan semakin berkurangnya keanekaragaman hayati dan meluasnya lahan gundul pada negara-negara pemilik hutan termasuk Indonesia. Potensi senyawa kimia yang terkandung dalam spesies yang belum termanfaatkan dengan baik adalah alkaloid, terpen-terpen, fenol-fenol, dan flavanoid. Potensi utama kelompok senyawa tersebut adalah sebagai obat-obatan, agrokimia, dan material sains. Menurut Wildman (2000) potensi tersebut memiliki nilai ekonomi yang sama dengan kayu jika dikelolah secara baik. Kimia bahan alam suatu bidang ilmu yang berperan dalam kegiatan pemanfaatan spesies sebagai sumber obat-obatan, agrokimia, dan material sains. Rangkaian kegiatan pemanfaatan sumberdaya hayati dalam bidang obat-obatan, agrokimia, dan material sains disebut bioprospeksi yang meliputi kegiatan pemanfaatan potensi spesies, teknik pemanfaatan, dan pengembangan potensi melalui modifikasi
11
struktur molekul senyawa kandungannya. Ekplorasi potensi senyawa suatu penelitian untuk menemukan senyawa kandungan spesies sehingga memudahkan dalam pencarian teknik pemanfaatan serta pengembangan atau perluasan manfaat. Dengan demikian pengertian bioprospeksi adalah kegiatan pemanfaatan sumberdaya hayati dalam bidang obat-obatan, agrokimia, dan material sains. Potensi obat-obatan dan agrokimia didasarkan atas sifat bioaktif senyawa kimia yang terkandung dalam suatu spesies sedangkan material sains didasarkan pada profil struktur molekul senyawa yang prospek untuk dikembangkan atau dimodifikasi. Bioprospeksi pada prinsipnya adalah upaya pencarian, penelitian, pengumpulan, ekstraksi dan pemilihan sumberdaya hayati dan pengetahuan tradisional untuk mendapatkan materi genetik dan sumber biokimia yang bernilai ekonomi tinggi. Kegiatan ini penting untuk mendokumentasikan sumberdaya genetik keanekaragaman hayati sebelum ada pihak yang tidak bertanggung jawab mengeksploitasi habis kekayaan tersebut, sekaligus mencari sumber bagi keuntungan ekonomi di masa depan. Oleh karena itu keanekaragaman, struktur dan komposisi vegetasi sebagai komponen utama habitat perlu dikaji dan dianalisa. Demikian pula pemanfaatan keanekaragaman flora oleh masyarakat terutama pemanfaatannya sebagai bahan obat-obatan tradisional (Kehati 2001). Sedangkan menurut Reid et al. (1993), bioprospeksi adalah eksplorasi biodiversitas sumber-sumber genetik dan biokimia yang bernilai komersial, terutama mengacu pada industri farmasi, bioteknologi, dan pertanian. Bioprospeksi merupakan upaya untuk mencari kandungan kimia baru pada makhluk hidup, yang mempunyai potensi sebagai obat-obatan atau untuk tujuan komersial lainnya. Bioprospeksi dapat digunakan untuk menggali secara sistematis sumber-sumber keragaman biokimia dan genetik dari alam untuk pengembangan sumber baru dari senyawa kimia, gen, mikroorganisme, makroorganisme dan produk komersial lain, namun tetap memperhatikan konservasi secara berkesinambungan. Bioprospeksi dapat digunakan sebagai alternatif strategis pemanfaatan sumberdaya hutan pengganti kayu. Potensi bioprospeksi dapat diketahui dua cara yaitu melalui cara tradisional dan ilmiah. Banyak sumberdaya hayati di Indonesia
12
telah diketahui potensinya melalui kedua cara tersebut. Potensi spesies-spesies tersebut perlu dilakukan penilaian ekonomi sehingga konsep bioprospeksi dapat diterapkan secara formal dalam pengelolaan hutan. Indonesia memiliki berbagai spesies endemik dan non-endemik berpotensi bioprospeksi yang perlu dikelolah secara baik yaitu bernilai ekonomi tinggi dan berwawasan lingkungan sehingga dapat menggantikan bidang perkayuan. Pengelolaan dengan sistem bioprospeksi dapat dilakukan di Indonesia sehubungan dengan potensi sumberdaya hayatinya yang banyak. Penerapan konsep ini diperlukan landasan hukum oleh pemerintah pusat atau daerah. Dalam kaitannya dengan undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah pengelolaan sumberdaya alam dapat dilakukan oleh pemerintah daerah. Dengan demikian konsep bioprospeksi prospek dilakukan di Indonesia terutama daerah yang memiliki sumberdaya hutan yang cukup. Bioprospeksi
umumnya
dilakukan
berdasarkan
pada
pengetahuan
tradisional yang dimiliki oleh masyarakat tradisional, misalnya, suku-suku di Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai – Sumatera telah lama menggunakan ratusan jenis-jenis tanaman obat untuk mengatasi penyakit demam hingga penawar luka. Keberadaan industri jamu dan kosmetika, yang merupakan industri-industri besar menggali kekayaan budaya lokal tentang pemanfaatan jamu dan kosmetika tradisional. Mengingat penelitian dan pengembangan produk baru asal tanaman membutuhkan waktu dan biaya yang sangat mahal, maka harus dipakai cara dan strategi yang tepat. Strategi yang banyak dipakai adalah bioprospeksi, karena bioprospeksi adalah kegiatan pendayagunaan sumberdaya alam dan pemanfaatan pengetahuan tradisional. Indonesia yang kaya akan kenekaragaman hayati dan pengetahuan tradisional, merupakan salah satu negara potensial untuk tempat dilakukannya aktivitas bioprospeksi ini. Tidak adanya hukum yang jelas di negara tempat bioprospeksi ini berlangsung, umumnya berakhir dengan hilangnya kesempatan mendapatkan bagian keuntungan yang adil dan merata dari pengembangan potensi tersebut. Dengan hukum yang ada sekarang, terdapat banyak bukti adanya bioprospeksi illegal di berbagai tempat. Masyarakat tradisional seringkali merupakan obyek dari aktivitas tersebut, dieksploitasi tanpa pembagian keuntungan yang seharusnya mereka dapatkan.
13
Sekarang ini banyak peneliti dan lembaga riset asing memanfaatkan pengetahuan tradisional dari negara berkembang secara semena-mena untuk mendapatkan royalti bagi dirinya, bahkan tanpa melibatkan masyarakat tradisional pemilik pengetahuan. Para peneliti asing seringkali mengambil, tanpa memberi tahu pihak berwenang dan masyarakat setempat atas plasma nutfah yang mereka dapatkan dari hutan, padahal mungkin sumberdaya hayati itu bermanfaat dalam proses pembuatan ramuan obat tradisional.
Kebun Talun Kebun-talun telah lama dikembangkan oleh masyarakat pedesaan di Jawa Barat. Sistem kebun-talun merupakan bentuk agroforestry yang “ideal” karena pada dimensi produk ia dapat menyediakan bahan pangan, buah-buahan, kayu bakar, bahan bangunan; ia dapat menghasilkan produk atau subsistensi keluarga maupun pendapatan cash; pada dimensi waktu ia dapat memberikan hasil bulanan, musiman, tahunan. Pada dimensi fungsi ia dapat mempunyai fungsi ekonomi, ekologi dan sosial budaya (Suharjito 2002). Berdasarkan pengertian yang umum dikenal masyarakat, definisi istilah kebun-talun adalah tanah darat dengan status milik yang ditanami dengan campuran berbagai jenis tumbuhan berupa pohon penghasil kayu dan/atau buahbuahan. Lokasi kebun-talun kebanyakan agak jauh dari pemukiman, namun dijumpai pula beberapa talun yang lokasinya dekat pemukiman, tetapi seluruhnya terletak di luar pemukiman, dalam arti tidak ada bangunan rumah di dalam suatu bidang lahan kebun talun. Menurut Michon (1983) dalam Rahmanendra (2001) bentuk agroforestry yang biasa ditemukan di daerah tropis ada tiga, yaitu pekarangan, talun, dan kebun campuran. Adapun perbedaannya adalah sebagai berikut: a. Pekarangan Pekarangan mempunyai sistem pengaturan tanaman yang jelas dan baik, serta biasanya berada di sekitar rumah.Luas minimal sekitar 0,1 hektar, dipagar dan ditanami dengan berbagai macam tanaman mulai dari jenis
14
sayuran, hingga pepohonan yang berukuran sedang dengan ketinggian tajuk mencapai 20 meter. b. Talun Talun mempunyai ukuran lebih luas dengan penanaman pohon sedikit rapat, tinggi pohon bisa mencapai 35 meter dengan beberapa pohon yang tumbuh secara liar dari jenis herba dan liana. c. Kebun Campuran Kebun campuran terdiri dari jenis tumbuhan yang cenderung homogen dengan satu jenis tanaman pokok dan beberapa jenis tanaman herba. Harada et al. (2001), dan Lisnurita membedakan kebun-talun (forest garden) dengan kebun campuran (mixed garden) berdsarkan lokasi, struktur, dan komposisi jenis tumbuhan, serta intensitas pengelolaaannya. Menurut mereka kebun-talun terletak jauh dari pemukiman dan biasanya menempati lereng bukit (lokasi curam); struktur dan komposisi tumbuhannya lebih kompleks dan nampak liar; serta kurang intensif pengelolaannya. Adimihardja (1992) menyebut bentuk dengan definisi tersebut sebagai leuweung talun. Sedangkan kebun campuran, meskipun letaknya juga di luar pemukiman, namun lebih dekat dibandingkan kebun-talun; struktur dan komposisinya tidak sekompleks kebun-talun; dan pemeliharaannya lebih intensif. Harada et al. (2001), dan Iskandar et al. (1981) menyebut bentuk dengan definisi tersebut sebagai kebun-talun atau talun muda. Nair (1993) menyebutkan bahwa kebun-talun adalah “Tree Garden” yang biasa ditemukan di beberapa tempat di Pulau Jawa. Kebun-talun biasanya memiliki ciri-ciri tidak berada pada kawasan yang kompak, tetapi berpencarpencar antara satu desa dengan desa lainnya. Selain itu bentuk usaha kebun-talun tidak selalu murni bercocok tanam pepohonan, adakalanya terpadu atau dikombinasikan dengan cabang-cabang usaha tani lainnya (perkebunan, peternakan dan lain-lain). Wiersum (1982) menjelaskan bahwa kebun-talun didominasi oleh tanaman berkayu (perennial). Dengan komposisi seperti ini kebun-talun mampu menjaga ketersediaan unsur hara, mencegah erosi dan membantu penyerapan air. Kebuntalun juga mampu menghasilkan tanaman yang ditujukan untuk pemenuhan pangan keluarga dan apabila memungkikan sisanya dapat dijual. Lebih jauh
15
Wiersum menyebutkan bahwa kebun-talun mungkin saja mengalami perubahan dari segi prakteknya tergantung pada kondisi iklim, tanah, dan sosial-ekonomi masyarakat setempat. Menurut Djajapertjunda (1995), salah satu syarat lokasi budidaya pada lahan kering seperti kebun-talun adalah kedekatan lahan kering tersebut dengan pemukiman dan aksesibilitasnya, sehingga nantinya dapat mendukung kegiatan pemasaran hasil-hasil pertanian. Secara umum kebun-talun yang ditanami pepohonan multi guna dapat membentuk sebuah kawasan hutan di luar hutan negara. Sasaran pokok dari bentuk-bentuk agroforestry seperti kebun-talun adalah mengoptimalkan
produk
gabungan
pertanian-perhutanan-peternakan,
mengawetkan dan memperbaiki lahan serta memanfaatkan tenaga kerja tersedia sebaik-baiknya. Price (1995) mengemukakan bahwa fungsi utama dari kebun dengan pola tanam campuran adalah sebagai buffer atau penyangga dari tekanan selama musim paceklik. Di Jawa Barat evolusi agroforestry berkembang dalam sistem “KebunKebun talun”. Widagda et al. (1984), melukiskan sistem kebun-talun yang terdiri dari tiga fase, yaitu kebun, kebun campuran, dan talun. Fase pertama, yang terbentuk sesudah menebang hutan, merupakan kebun, yang biasanya ditanami tanaman semusim. Hasil tanaman dari kebun dikonsumsi sendiri oleh keluarga petani dansebagian lagi dijual. Sesudah dua tahun, di kebun mulai tumbuh anakan tanaman keras. Makin lama ruangan bagi tanaman semusim makin berkurang. Maka mulailah terbentuk kebun campuran. Nilai ekonomi kebun campuran, kurang dari kebun. Akan tetapi biofisiknya meningkat, karena kebun campuran berperan penting dalam konservasi tanah dan air. Sesudah tanaman semusim dalam kebun campuran dipanen, lapangan biasanya ditinggalkan selama kurang lebih dua-tiga tahun, sehingga didominasi oleh tanaman keras. Fase ini disebut talun, yaitu tingkat klimaks dari sistem kebun talun. Fase talun didominasi oleh campuran berbagai tanaman keras dari bambu, yang membentuk tiga strata. Bentuk talun dapat bermacam-macam, seperti pohon-
16
pohonan yang menghasilkan kayu bakar atau kayu bangunan, kebun bambu atau suatu campuran pohon-pohon, termasuk pohon buah-buahan. Tahap akhir dari evolusi menuju ke pekarangan adalah pembangunan rumah pada kebun dan kegiatan intensifikasi semua kegiatan pemeliharaan tanaman pokok, tanaman komersial, tanaman tahunan, serta tanaman tua. Di luar Jawa kebun-talun berkembang bersamaan dengan sistem pertanian yang dilakukan oleh masyarakat tradisional. Sebagai contoh di Sumatera terdapat sistem “Kebun Multi Lapisan Tajuk”. Dalam sistem ini terdapat suatu integrasi yang erat antara jenis tanaman kehutanan dan tanaman perdagangan. Masyarakat membagi tata guna lahan atas tanah sawah, kebun pekarangan, kebun campuran (antara lain terdiri dari kayu manis, jambu mente, kopi, tanaman buah-buahan, dan tanaman keras yang digunakan untuk perkakas) (Aliadi dan Jatmiko, 1999). Dalam prakteknya pengelolaan kebun-talun senantiasa bertumpu dan menggunakan teknologi lokal yang mampu diterapkan dan dilaksanakan oleh masyarakat. Kalaupun menggunakan teknologi baru (yang masih asing bagi masyarakat) harus melalui proses adaptasi dan hanya akan menggunakan teknologi tersebut dalam batas yang dikuasai masyarakat. Karena dalam perkembangannya yang senantiasa berdasarkan pada pengetahuan dan pengalaman masyarakat (berbasiskan masyarakat), maka secara evolusi perkembangan talun, yang merupakan praktek agroforestry lokal yang telah dikembangkan masyarakat secara turun-menurun, sangat berpotensi untuk terus dikembangkan di berbagai daerah yang disesuaikan dengan budaya dan pengetahuan masyarakat setempat. Jika kita perhatikan struktur komunitas tanaman dalam suatu kebun-talun, maka
akan
terlihat
adanya
keanekaragaman
jenis
yang
relatif
besar.
Keanekaragaman jenis tersebut dapat terdiri atas tanaman budidaya maupun tumbuhan liar yang mampu bersaing untuk tetap hidup. Pemanfaatan aneka jenis tumbuhan ini tidak terlepas dari segala kegiatan kehidupan sosial penduduknya. Dengan berbekal kemampuan dan pengetahuan hasil warisan leluhur dalam pemahaman tentang manfaat tumbuhan, maka mereka mampu menjabarkan pengetahuan rakyat tadi dalam sistem klasifikasi pemanfaatan tumbuhan sebagai berikut :
17
1. Tumbuhan sebagai penyedia bahan pangan (baik untuk makanan pokok, makanan tambahan maupun sebagai bahan untuk pembuatan minuman ataupun untuk rempah-rempah) 2. Tumbuhan sebagai penyedia bahan sandang 3. Tumbuhan sebagai penyedia bahan papan dan perlengkapan lain (seperti bahan bangunan rumah, bahan untuk alat rumah tangga dan pertanian, bahan tali temali serta anyam-anyaman, dan lain-lain) 4. Tumbuhan untuk bahan obat-obatan dan kosmetika 5. Tumbuhan sebagai bahan pewarna 6. Tumbuhan sebagai sumber pelengkap upacara tradisional dan kegiatan sosial 7. Tumbuhan sebagai bahan pemenuhan keindahan, seni dan lain-lain (Walujo 2003). Tumbuhnya kebun talun sebagai unit ekonomi pertanian warga Kasepuhan dapat merupakan pemasukan/komoditi utama bila dikerjakan secara intensif dan sungguh-sungguh karena hasil padi tidak untuk diperjualbelikan.
Kearifan Lokal Istilah Arif dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai tahu, mengetahui, bijaksana, cerdik, pandai, berilmu dalam banyak hal. Oleh karena itu maka kearifan dapat disepadankan maknanya dengan pengetahuan, keccrdikan. Kepandaian, kebijaksanaan dalam pengambilan suatu keputusan atau penyelesaian suatu masalah. Kearifan umumnya baru dapat dipahami atau diterima apabila telah terbukti ketepatannya setelah keputusan itu dilaksanakan. Dalam Konteks pengeiolaan sumbcrdaya alam dan lingkungan maka kearifan dapat didefinisikan sebagai pengetahuan yang dikembangkan oleh suatu kelompok masyarakat yang terhimpun dari pengalaman panjang dalam mengelola alam dan
dalam
ikatan
yang
saling
menguntungkan
(manusia
dan
lingkungan)
secara berkelanjutan dan harmonis (Purba 2003). Zakaria (1994) mendefinisikan Kearifan lokal merupakan pengamatan dan pengalaman masyarakat di dalam proses interaksi yang terus rnenerus dengan
18
lingkungan yang ada disekitarnya. Oleh karena kearifan lingkungan itu merupakan pengetahuan yang ada di dalam kebudayaan tertentu, maka corak suatu kearifan lokal dicirikan oleh corak kebudayan dimana kearifan lingkungan (ecologikal wisdom) menjadi bagian dari kearifan lokal yang dimiliki olen masyarakat terscbut. Pengetahuan lokal masyarakat yang mengandung nilai-nilai kearifan pada dasarnya adalah hasil berbagai proses percobaan yang dilakukan secara turuntemurun dan terbukti berhasil, yang dikembangkan untuk mendukung kelestarian lingkungannya. Kelestarian kehidupan masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan terjadi karena mereka telah menerapkan sistem pengelolaan yang memperhatikaan aspek konservasi baik disadari ataupun tidak. (Manik 2000 dalam Arafah 2002). Konsep kearifan lokal menurut Mitchel et al. (2000), berakar dari sistem pengetahuan dan pcngelolaan lokal atau tradisional. Pengetahuan lokal adalah kumpulan pengetahuan dan cara berpikir yang berakar dalam kebudavaan suatu kelompok manusia, yang merupakan hasil pengamatan dalam kurun waktu yang lama. Menurut Zakaria (1994) bahwa pada dasarnya sistem pengetahuan lokal atau ada juga yang menyebutnya sebagai suatu kearifan tradisonal dapat didefenisikan sebagai pengetahuan kebudayaan yang dimiliki oleh suatu masyarakat tertentu yang mencakup sejumlah pengetahuan kebudayaan yang berkenaan dengan model- model pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari. Kearifan tersebut berisikan gambaran tentang anggapan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan struktur lingkungan, fungsi lingkungan, reaksi alam terhadap tidakan-tindakan manusia dan hubungan-hubungan yang sebaiknya tercipta antarmanusia dan lingkungan alamnya. Penerapan kearifan lokal masyarakat perlu memperhatikan beberapa hal seperti : pertama, bahwa kearifan masyarakat tidak perlu dibatasi hanya pada masyarakat tradisional, pinggiran, terasing, miskin dan sebagainya, kedua. tidak perlu mempertentangkan antara ilmu yang serba logis, rasional dan terstruktur, kearifan atau pengetahuan mereka yang tidak logis, tidak rasional dan sebagainya, karena pada dasarnya manusia mempunyai kapasitas yang sama untuk bertindak rasional dan logis
19
berdasarkan fakta, asumsi-asumsi, peluang, hambatan dan nilai-nilai yang dianut (Babcook 1999 dalam Arafah 2002). Interaksi kearifan masyarakat tradisional dengan keanekaragaman hayati dalam kesehariannya telah melahirkan sistem pengetahuan yang dinamis dan bermanfaat bagi kelestarian sumberdaya hayati. Sistem tabu masyarakat Badui misalnya mencegah mereka membuka hutan secara berlebihan. Sistem pertanian suku ini juga telah berhasil melestarikan plasma nutfah padi dan ccnderung menurunkan serangan hama maupun penyakit sehingga lebih berkelanjutan secara ekoiogis dibandingkan sistem monokultur pertanian modern. Masyarakat di Madura bagian barat misalnya mampu mengidentifikasi 12 kultivar salak sedangkan para ahli botani hanya mampu mengidentifikasi 9 kultifar saja. Di Bagian timur Indonesia pembcrlakuan Sistem Sasi oleh masyarakat di pulau Kei dan Haruku Propinsi Maluku dalam pengelolaan Keanekaragaman hayati yaitu bahwa setiap masyarakt asli maupun pendatang dilarang memasuki, mengambil sesuatu dalam suatu kawasan selama periode tertentu (Bappenas, 2003). Di Provinsi Maluku Utara ada beberapa adat atau budaya yang mengandung nilai-nilai kearifan yang mengarah ke perlindungan lingkungan dalam keseharian kehidupan masyarakat secara umum antara lain budaya adat "Sasi", "Matakao", "Uru", dan penentuan waktu panen sesuatu tanaman secara bersama-sama, atau penanaman tanaman langka dan tebang pilih. Kearifan lokal yang dimiliki masyarakat ini temyata telah menahan laju kepunahan tanaman. seperti ditemukannya beberapa pohon tanaman cengkeh Afo yang telah berumur 400 tahun di Ternate, hutan pala di Calabay Bacan dan hutan cengkeh di Kabosa Bacan, Dokiri di Tidore dan Halmahera scrta hutan kenari di Bacan dan H'almahera yang telah berumur sekitar 350 tahun (Hadad et al. 2002). Dari keberagaman sistem lokal ini bisa ditarik beberapa prinsip-prinsip kearifan lokal/tradisional yang dihormati dan dipraktekkan oleh komunitaskomunitas masyarakat adat, yaitu antara lain: 1) Keterganrungan manusia dengan alam yang mensyaratkan keselarasan hubungan dimana manusia merupakan bagian
dari alam itu sendiri yang harus dijaga keseimbangannya; 2) Penguasaan atas wilayah adat tertentu bersifat eksklusif sebagai hak penguasaan dan/atau kepemilikan bersama komunitas (comunai property resources) atau kolektif yang
20
dikenal sebagai wilayah adat (di Maluku dikenal sebagai petuanan di Sumatera dikenal dengan ulayat dan tanah mar go) sehingga mengikat semua warga untuk menjaga dan mengelolanya untuk keadilan dan kesejahteraan bersama serta mengamankannya dari eksploitasi pihak luar. Banyak contoh kasus menunjukkan bahwa keutuhan sistem kepemilikan komunal atau kolektif ini bisa mencegah munculnya eksploitasi bcrlebihan atas lingkungan lokal; 3) Sistem pengetahuan dan struktur pengaturan (pemerintahan) adat memberikan kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi dalam pemanfaatan sumberdaya hutan; 4) Sistem alokasi dan penegakan hukum adat untuk mengamankan sumberdaya milik bersama dari penggunaan berlebihan, baik oleh masyarakat sendiri maupun oleh orang luar komunitas; 5) Mekanisme pemerataan distribusi hasil "panen” sumberdaya alam milik bersama yang bisa meredam kecemburuan sosial di tengah-tengah masyarakat (Nababan 2002). Prinsip-prinsip ini berkembang secara evolusioncr sebagai akumulasi dari temuan-temuan pengalaman masyarakat adat selama ratusan tahun. Karenanya prinsip-prinsip ini pun bersifat multi-dimensional dan terintegrasi dalam sistem religi, struktur sosial, hukum dan pranata atau institusi masyarakat adat yang bersangkutan. Bagaimanapun, komunitas-komunitas masyarakat adat ini telah membuktikan diri mampu bertalian hidup dengan sistem-sistem lokal yang ada. Komunitas-komunitas lokal di pedesaan yang tidak lagi mendefinisikan dan menyebut dirinya sebagai masyarakat adat, juga secara berkelanjutan menerapkan kearifan (pengetahuan dan tata cara) tradisional ini dalam kehidupannya, terrnasuk dalam memanfaatkan sumberdaya dan keanekaragaman hayati untuk memenuhi kebutuhannya
seperti
pengobatan,
penyediaan
pangan
dan
sebagainya.
Keberpihakan terhadap kearifan lokal/tradisional dengan segala pranata sosial yang mendukungnya merupakan modal awal yang utama bagi pengabdian kita terhadap keberlanjutan kehidupan di Indonesia (Nababan 2003). Sistem Pengetahuan yang dimiliki masyarakat bukanlah sesuatu yang statis tetapi dinamis karena berkembang seiring dengan interaksi yang berlangsung dengan sistem pengetahuan dari luar, sehingga terbentuk keseimbangan baru yang diharapkan mampu menjawab
berbagai rnasalah dalam rangka pengelolaan sumberdaya
alam. Bahwa degradasi lingkungan dan menipisnya sumberdaya hutan merupakan
21
akibat dari perencanaan pembangunan terutama dalam pengelolaan kawasan konservasi
yang
cenderung
mendiskreditkan
kelompok masyarakat
lokal/tradisional yang berada disekitar kawasan tersebut (Wiratno 2002).
Pengetahuan tradisional (Indigenous knowledge) dan asli masyarakat lokal merupakan suatu yang unik dalam satu kultur ataupun satu masyarakat yang sering disebut pengetahuan asli, pengetahuan lokal, nilai-nilai tradisional atau ilmu tradisional. Masyarakat lokal, telah memiliki berbagai pengetahuan yang luas tentang ekosistem dimana mereka hidup. Pengetahuan bagaimana cara memanfaatkan sumberdaya alam secara berkelanjutan yang ada di lingkungannya dengan karakteristik kehidupan sosial masyarakatnya (Anonim 1997). Sistem-sistem lokal berbeda satu sama lain tergantung budaya dan tipe ekosistem setempat. Pada umumnya berupa sistem pengetahuan dan pengelolaan sumberdaya lokal yang diwariskan dan ditumbuhkembangkan secara turunmenurun. Sebagai contoh: masyarakat adat ekosistem rawabagian Selatan pulau Kimaam, Kabupaten Merauke, Papua berhasil mengembangkan 144 kultivar ubi. Komunitas adat Dayak di Kalimantan, memiliki sistem perladangan berotasi. Adat sasi di sebagian besar Maluku mengatur keberlanjutan pemanfaatan atas suatu kawasan dan jenis-jenis hayati tertentu (Nababan 2001).