KEANEKARAGAMAN JENIS Konsep keanekaragaman jenis (species diversity) berawal dari apa yang di sebutkan sebagai keanekaragaman hayati (biodiversity). Dalam definisi yang luas keanekaragaman hayati merupakan keanekaragaman kehidupan dalam semua bentuk dan tingkatan organisasi (Hunter, 1990), termasuk struktur, fungsi dan proses-proses ekologi di semua tingkatan ( Society of American Forester (1991) dalam Robert and Gilliam (1995)). Sebagai suatu usaha dalam memberikan definisi yang lebih operasional, Crow
et al. (1994) telah mengidentifikasikan keanekaragaman menjadi tiga tipe atau subkelompok keanekaragaman, yakni : komposisi, struktural dan fungsional. Keanekaragaman komposisi adalah keanekaragaman sesuatu dalam suatu wilayah, seperti jenis dalam suatu tegakan hutan. Keanekaragaman struktur dapat dicirikan dengan distribusi vertikal dan horisontal dari tumbuhan, ukuran tumbuhan, atau distribusi umur. Sedangkan keanekaragaman fungsional dicirikan dengan prosesproses ekologi, aliran energi, dan hubungan trophic level. Pada tipe-tipe tersebut keanekaragaman dapat dilihat dari berbagai tingkatan organisasi biologi, misalnya dari tingkatan genetik, jenis/spesies, atau ekosistem (Probst and Crow, 1991). Tiap tipe dan tingkatan keanekaragaman mengekspresikan berbagai skala spasial, dari lokal sampai global. Memperhatikan skala khususnya relevan dalam manajemen karena strategi yang baik pada tingkat lokal mungkin menurun untuk keanekaragaman tingkat regional (Crow, 1990). Whittaker (1977) dalam Magurran
'
(1988) mengemukakan mengenai skala pengukuran spasial dalarn inventarisasi keanekaragarnan, yakni : a.
Keanekaragaman titik (point diversity), yaitu nilai keanekaragaman pada suatu unit contoh yang diukur.
b.
Keanekaragaman alpha (alpha diversity), yakni nilai keanekaragaman pada suatu habitat yang homogen (kumpulan atau gabungan keanekaragaman titik).
c.
Keanekaragaman
gamma
(gamma
diversity),
yaitu
nilai
keanekaragaman suatu pulau atau landscape (kumpulan atau gabungan keanekaragaman alpha). d.
Keanekaragaman total (total d i v e r s i ~ jyaitu nilai keanekaragaman suatu wilayah biogeografi (kumpulan dari keanekaragaman gamma).
Robert (1995) mengusulkan juga untuk kemudahan agar menggunakan tiga -
skala spasial yakni
(I) Bagian dari areal tegakan yang dicirikan dengan suatu
kerusakan atau ciri tertentu sebagai akibat perlakuan yang berbeda terhadap lahan, komposisi, atau strukturnya (diistilahkan dengan "patch"). (2) Tegakan yakni suatu kumpulan pohon-pohon dan asosiasi vegetasi dari struktur yang serupa yang tumbuh pada kondisi lahan yang serupa. (3) Landscape yakni beragam kawasan lahan dengan komposisi berbeda dalam suatu interaksi ekosistem. Selain skala spasial, tipe maupun tingkatan keanekaragaman tersebut terjadi pula dalam skala waktu.
Untuk itulah sebelum menentukan keanekaragaman
sebelumnya hams ditentukan dulu tipe, tingkatan organisasi, dan skala spasial maupun temporal harus ditetapkan terlebih dahulu.
Keanekaragaman secara natural adalah dinan~ik bukan statik, karenanya keanekaragaman harus dikelola dan dimonitor dengall prosedur yang memperhatikan -
-
dinamika alam dan sifat-sifat dari ekosistem di mana mereka terbentuk. Informasi mengenai ukuran dan trend dari keanekaragaman ini dapat digunakan sebagai indikator mendesain sistem silvikultur lestari dengan memperhatikan lahan secara spesifik di dalam suatu manajemen hutan alam tropis (Bruenig, 1995). Berdasarkan tingkatan organisasi biologi dalam suatu ukuran keanekaragaman dan
dengan pertimbangan kemudahan serta untuk lebih membatasi cakupan
permasalahan atau lingkup perhatian, keanekaragaman jenis atau species diversity adalah ukuran keanekaragaman yang sering dipergunakan (Robert and Gilliam, 1995). Keanekaragaman jenis (species diversity) pada dasarnya dapat disusun dari dua komponen. Pertama adalah jumlah spesies dalam suatu areal, yang mana para ahli ekologi menyatakannya sebagai kekayaan jenis (species richness). Komponen ke dua adalah "species evennes" atau kemerataan. Selanjutnya dikembangkan'lagi suatu indeks yang berupaya mengkombinasikan antara kekayaan jenis dan kemerataan ke dalam satu nilai tunggal yang disebut sebagai indeks heterogenitas (kelimpahan jenis).
1. Kekayaan Jenis Kekayaan jenis pertama kali dikemukakan oleh McIntosh tahun 1967. Konsep yang dikemukakannya mengenai kekayaan jenis adalah jumlah jenislspesies dalam suatu komunitas. Kempton (1979) dalam Santosa (1 995) mendefinisikan kekayaan jenis sebagai jumlah jenis dalam sejumlah individu tertentu.
Sedangkan Hurlbert (1971) dalam Magurran (1988) menyatakan bahwa kekayaan jenis adalah jumlah spesies dalam suatu luasan tertentu. Beberapa indeks menyangkut kekayaan jenis yang umumnya dikenal adalah sebagai berikut : (1) Metode "rarefaction" yang pertama kali dikemukan oleh Sanders (1968) kemudian disempurnakan oleh Hurlbert (197 1) (Magurran, 1988),
(2) indeks kekayaan jenis Margalef, (3) indeks kekayaan jenis
Menhinick, (4) indeks kekayaan jenis JACKKNIFE 2. Kemerataan jenis Konsep ini menunjukkan derajat kemerataan kelimpahan individu antara setiap spesies. Ukuran kemerataan pertama kali dikemukakan oleh Lloyd dan Ghelardi (1964) dalam Magurran (1988) dapat pula digunakan sebagai indikator adanya gejala dominansi di antara setiap spesies dalam suatu komunitas.
Beberapa
indeks kemerataan yang umum dikenal di antaranya adalah : ( 1 ) indeks kemerataan Hurlbert, (2) indeks kemerataan Shanon-Wiener, (3) indeks. kemerataan yang dikemukakan oleh Buzas dan Gibson (1969) dalam Krebs (1989), (4) indeks kemerataan yang dikemukakan Hill (1973) dalam Ludwig dan Reynolds (1988) yang lebih dikenal dengan istilah Hill's evenness number . 3. Kelimpahan jenis Istilah heterogenitas pertama kali dikemukakan oleh ~ood'(1953) dalam Krebs (1989). Istilah lain untuk konsep ini adalah kelimpahan jenis
atau species
abundance (Magurran, 1988). Seperti dikemukakan semula bahwa konsep ini merupakan suatu indeks tunggal yang mengkombinasikan antara kekayaan jenis dan kemerataan jenis.
Diantara sekian banyak indek heterogenitas, ada tiga
indeks yang paling sering dipakai oleh peneliti di bidang ekologi, yakni : indeks Simpson, indeks Shannon-Wiener dan indeks Brillouin ( Poole, 1974; Krebs, 1989). Dalam hubungannya dengan komunitas hutan keanekaragaman jenis akan bervariasi dari suatu tipe hutan dengan tipe hutan lainnya. Dengan kata lain bahwa keanekaragaman
akan
bervariasi
dengan
kondisi
lahan.
Bruenig
(1995)
mengemukakan bahwa keanekaragaman jenis secara konsisten menurun dari kandungan humus podsol yang dalam - dangkal sesuai kajiannya pada beberapa tipe hutan (Dipterocarpaceae campuran
-
kerangas perbukitan - hutan kerapah) di
Sarawak, Brunei dan Cina Selatan, serta di Bana daerah Amazone. Disimpulkannya bahwa kekayaan spesies berhubungan dan dibatasi kondisi tanah di mana terdapat zone perakaran, aerasi dan kelembaban tanah, kandungan hara dan kualitas humus. Dalam kondisi lingkungan yang ekstrim, keanekaragaman akan rendah karena hanya sedikit spesies yang marnpu beradaptasi dengan kondisi tersebut (Grime, 1979
dalam Roberts dan Gilliam, 1995). Keanekaragaman jenis yang tercermin daiam jumlah jenis pohon yang ditemukan dalam hutan kerangas sangat bervariasi seperti contoh yang dikemukakan -
-
oleh Bruenig
(1972) mengungkapkan bahwa tipe hutan kerangas dengan tanah
podsolik putih kelabu dan belum mengalami gangguan dapat memiliki 69
- 75
spesies tingkat pohon. Sementara itu di hutan lindung Mandor Kalimantan Barat yakni pada tipe hutan kerangas tanah datar dengan jenis tanah humus podsol serta telah mengalami gangguan, Hadisaputro dan Said (1988) melaporkan terdapat 12 jenis pohon pada tingkat tiang dan 28 jenis untuk tingkat tiang pada petak berukuran
0,4 ha. Selain itu Riswan (1979) melaporkan di Sebulu Kalimantan Timur dalam plot berukuran 0,5 ha ditemukan 27 jenis pohon pada hutan kerangas primer dan hanya 8 jenis pohon pada hutan kerangas sekunder.
S'TRUKTUR TEGAKAN Pengertian struktur tegakan dapat berlainan tergantung pada tujuan penggunaan -
istilah tersebut, sehingga beberapa ahli memberi arti yang berbeda-beda. Struktur tegakan dapat ditinjau dari dua arah, yaitu : struktur tegakan vertikal dan horisontal (Ibie, 1997). Struktur tegakan vertikal oleh Richard (1964) dinyatakan sebagai sebaran jumlah pohon dalam berbagai lapisan tajuk. Sedangkan Husch et al. (1982) menyatakan bahwa struktur tegakan horisontal merupakan istilah untuk menggambarkan sebaran jenis pohon dengan dimensinya, yaitu diameter pohon dalam suatu kawasan hutan. Struktur tegakan hutan biasanya digambarkan melalui diagram profil. Diagram ini merupakan suatu sketsa dari semua pohon yang berada pada areal yang memiliki ukuran lebar 7,5 m dan panjang 60 meter. Untuk gambaran vertikal pohon, umumnya pohon-pohon dengan tinggi > 4,5 m atau 6 m yang relatif dimuat dalam diagram. Dengan demikian lebih diutamakan atau terbatas pada pohon-pohon yang berada pada fase dewasa (Whitmore, 1986). Daniel et al. (1987) mengemukakan bahwa struktur tegakan menunjukan sebaran dan atau kelas diameter dan kelas tajuk. Pada hutan tidak seumur sering mempunyai karakteristik distribusi semua diameter yang diasumsikan dimiliki oleh
'
tegakan semua umur. Hutan hujan tropis merupakan suatu tipe dari tegakan tidak seumur yang mana distribusi kelas diameternya sesuai dengan bentuk "J" terbalik. Oliver dan Larson (1990), menjelaskan bahwa struktur tegakan adalah sebaran sementara dan sebaran fisik pohon-pohon dalam suatu tegakan. Sebarannya dapat digambarkan berdasarkan : (I) jenis pohon, (2) bentuk ruang horisontal dan vertikal,
(3) besarnya pohon atau bagian pohon yang mencakup volume tajuk, .has daun, dan lain-lain, (4) umur pohon, (5) kombinasi dari kondisi-kondisi yang telah disebutkan sebelumnya. Struktur tegakan baik horisontal maupun vertikal suatu tegakan hutan merupakan suatu alat yang dapat berperan didalam memelihara keanekaragaman jenis yang ada (Kohyama, 1993) Pengetahuan menyangkut struktur tegakan ini dapat memberikan informasi mengenai dinamika populasi suatu jenis atau kelompok jenis mulai dari tingkat semai, pancang, tiang dan pohon maupun tumbuhan bawah (Marsono dan Sastrosumarto, 1981). Dikaitkannya masalah tumbuhan bawah dalam hubungannya dengan struktur tegakan hutan adalah karena tumbuhan bawah merupakan elemen penting dalarn fungsi dan struktur dari suatu sistem ekologi hutan (Crow, 1990). Seiain itu struktur tegakan dalam ini ukuran dari elemen pohon yang membentuk * tegakan serta sebaran jenis pohon yang ada diyakini mempengarubi terbentuknya karakteristik tumbuhan bawah yang ada (Kohyama, 1993; Jones, 2002) Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan struktur tegakan adalah lebih mengarah ke struktur tegakan horisontal, yakni menyangkut nilai luas bidang dasar, frekuensi dan kerapatan pohon.
.
POLA SEBARAN SPASIAL Pola sebaran spasial tanaman maupun satwa merupakan karakter penting dalam komunitas ekologi. Hal ini biasanya merupakan kegiatan awal yang dilakukan untuk meneliti suatu komunitas dan merupakan ha1 yang sangat mendasar dari kehidupan suatu organisme (Cornel, 1963 &lam Ludwig and Reynold, 1988). Pola sebaran spasial ini merupakan aspek penting dalam struktur populasi dan terbentuk oleh faktor intrinsik spesies dan kondisi habitatnya (Iwao, 1970). Hutchinson (1953) dalam Ludwig and Reynold (1988) menyebutkan faktorfaktor yang mempengaruhi pola sebaran spasial, yaitu : a. Faktor vektorial, yaitu faktor yang dihasilkan dari aksi lingkungan (misalnya angin, intensitas cahaya, dan air) b. Faktor reproduksi, yaitu bagaimana cara organisme tersebut bereproduksi c. Faktor co-aktif, yaitu faktor yang dihasilkan dari intraspesifik (misalnya kompetisi) d. Faktor stokastik, yaitu faktor yang dihasilkan dari variasi acak pada beberapa faktor di atas. Terdapat tiga pola dasar sebaran spesies yaitu : (1) acak atau random , (2) mengelompok atau clump, (3) seragam atau uniform (Odum, 1971 ; Ludwig and Reynold, 1988 ; McNaughton and Wolf, 1990). Pola acak terbentuk sebagai akibat dari lingkungan yang homogen (Odum, 1971; Ludwig and Reynold, 1988) atau perilaku yang non selektif (Ludwig and --.
-
Reynold, 1988; McNaughton and Wolf, 1990). Rosalina (1 996) mengemukakan
bahwa sebagian besar jenis flora khususnya di daerah tropis, pola sebarannya adalah umumnya acak.
Bruenig (1995) mengemukakan bahwa terbentuknya pola acak
suatu jenis dikarenakan jenis tersebut dalam proses hidupnya dapat bertahan dan berlangsung relatif baik tanpa persyaratan khusus dalam ha1 cahaya dan hara. Pola sebaran non acak (mengelompok atau seragam) menunjukkan bahwa terdapatnya suatu faktor pembatas pada populasi yang ada (Ludwig and Reynold, 1988). Pola sebaran yang tidak acak biasanya ditemui akibat adanya keteraturan sebagai akibat adanya kendala atau faktor pembatas terhadap keberadaan jenis tertentu atau kesesuaian jenis dari populasi tertentil terhadap lingkungan (Rosalina, 1996). Bila sebaran tersebut mengelompok, berarti keberadaan suatu individu pada -
suatu titik meningkatkan peluang adanya individu yang saina pada suatu titik yang lain di dekatnya.
Pola mengelompok
terjadi sebagai akibat individu akan
mengelompok pada habitat yang lebih sesuai dengan tuntutan hidupnya. Selain itu pola sebaran mengelompok diakibatkan oleh heterogenitas faktor-faktor lingkungan dari tempat tumbuh, variasi dari individu di dalam populasi dapat merupakan resultante dari model reproduktif, dan kesesuaian tempat tumbuh atau tapak (Ludwig and Reynold, 1988). Sedangkan sebaran populasi seragam merupakan kejadian yang berlawanan seperti apa yang terjadi pada sebaran mengelompok (McNaughton and Wolf, 1990). Sebaran suatu spesies dikontrol oleh faktor lingkungannya terutama berlaku bagi organisme yang mempunyai kisaran kemampuan adaptasi yang sempit (Bartholomew 1958 dalam Krebs, 1989). Selanjutnya Krebs (1989) menyatakan
,
bahwa hewan atau tumbuhan dalam fase awal kehidupannya sering mempunyai -
kepekaan yang tinggi terhadap lingkungan. Faktor-faktor yang membatasi distribusi antara lain tingkah laku, suhu, hubungan timbal balik dengan organisme lain, kelembaban serta faktor fisik dan kimia lainnya. Pola sebaran spasial yang didapat dari hutan hujan tropis merupakan kunci penting untuk memahami keberadaan dan kelimpahan jenis-jenis pohon (Niyama et al., 1999). Manokaran et al. (1992) dalam Niyama et al., (1999) mengungkapkan
berdasarkan penelitian mengenai pola spasial spesies pohon di Hutan Cadangan Pasoh Peninsular Malaysia, bahwa sebaran spasial yang terjadi pada spesies pohon tergantung pada topografi, kelembaban tanah, posisi pohon induk, dan celah kanopi.
CELAH KANOPI Celah kanopi (rumpang atau gap) merupakan kejadian alam yang umum dijumpai di hutan hujan tropika.
Celah
terjadi akibat pohon yang mati,
patahlrebahnya batang atau dahan pohon oleh berbagai faktor seperti mati karena usia, angin, tanah longsor, gempa bumi, penebangan pohon dan sebagainya (Hartshorn, 1978). Selanjutnya Whitmore (1986), mengungkapkan bahwa disamping diakibatkan oleh faktor angin, badai dan kilat, serangan binatang seperti serangga dan jamur dapat menyebabkan kematian pohon besar secara perlahan dan menciptakan adanya celah. Selain terbentuknya celah rebahnya pohon-pohon besar akan menghasilkan pula gundukan atau lubang pada tanah setinggi 1 - 2 meter akibat terbongkarnya tanah oleh akar-akar pohon yang rebah.
*
Terbentuknya celah merupakan titik kritis bagi permudaan dan perkembangan dari banyak jenis pohon penyusun tajuk hutan di hutan hujan tropika (Harstshon,
1978; Denslow, 1980; Whitmore, 1986). Terbentuknya celah mengakibatkan pengurangan kompetisi akar dan perubahan iklim mikro seperti peningkatan kualitas dan kuantitas cahaya, peningkatan temperatur dan menurunnya kelembaban (Hartshorn, 1978; Whitmore, 1986). Celah juga dapat meningkatkan kandungan hara dengan membusuknya tanaman yang mati, mengurangi kompetisi akar, serta terkadang merubah relief mikro dan profil tanah (Whitmore, 1986). Hal lain yang penting adalah dengan terbentuknya celah berarti berkurang atau hilangnya pengendalian oleh jenis dominan terhadap anakan pohon yang ada di bawahnya. Keberadaan dan pertumbuhan dari berbagai spesies pohon sangat berkaitan erat , dengan dengan ukuran celah dan posisi spesies dalam celah, terutama pada tingkat semai. Ketahanan dan keberadaan pohon pada tingkat semai adalah lebih besar pada celah dibandingkan kanopi tertutup (Gray and Spies, 1996). Permudaan dalam celah adalah suatu mekanisme penting dalam memelihara populasi dan komunitas dari berbagai tipe hutan. Karakteristik celah berupa ukuran dan kepadatan celah kanopi sangat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan permudaan (Yamamato, 1995). Ukuran celah juga dapat mempengaruhi jenis mana yang dapat mengkolonisasi suatu celah (Hartshorn, 1978). Penebangan dengan sistem tebang pilih yang dilakukan terhadap pohon-pohon hutan Dipterocarpaceae berdampak pada terbentuknya celah dengan ukuran besar, kerusakan hampir 50 % pada tegakan tinggal serta berdampak signifikan terhadap
.
pengurangan jumlah anakanlsemai untuk dapat bertahan dalam proses regeneras,i tegakan.
Terbentuknya celah dalam ukuran yang besar ini akan meningkatkan
temperatur tanah, menurunkan kelembaban, meningkatkan laju evaporasi dan erosi. Selain itu dengan meningkatnya temperatur tanah berdampak mengurangi kemampuan inokulum mikoryza. Terbentuknya karakteristik biologis dan fisik dalam hubungan dengan ukuran celah yang besar membatasi kemampuan regenerasi dari permudaan yang ada (Gardingen et al., 1998). Keadaan menyangkut celah kanopi seperti dijelaskan diatas berperan menciptakan suatu mekanisme suksesi dan kompetisi jenis secara lokal serta menghasilkan
dinamika pada komposisi dan struktur komunitas tegakan hutan
(Denslow, 1980; Hartshorn, 1978). Berbagai spesies akan berbeda keberhasilannya dalam celah dari berbagai ukuran, karenanya ukuran celah merupakan suatu ha1 penting yang berpengaruh terhadap komposisi jenis dan pola spasial dalam hutan (Whitmore, 1986). Pendapat yang mendukung pernyataan bahwa celah kanopi dapat memberikan pengaruh -
-
terhadap pola spasial jenis pohon dikemukakan oleh Armesto et al. (1986) dalam Niyama et al. (1999) yang mengemukakan bahwa kerusakan dalam skala besar meningkatkan proporsi spesies tersebar secara random, sedangkan celah yang diakibatkan pohon tumbang meningkatkan proporsi jenis pohon yang menyebar secara mengelompok.
.