STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS TUMBUHAN PAKAN BEKANTAN (Nasalis larvatus) DI TAMAN NASIONAL TANJUNG PUTING KALIMANTAN TENGAH (Studi Kasus di Areal Research Pondok Ambung )
ELISA FEBRI BETHESMAN PURBA
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS TUMBUHAN PAKAN BEKANTAN (Nasalis larvatus) DI TAMAN NASIONAL TANJUNG PUTING KALIMANTAN TENGAH (Studi Kasus di Areal Research Pondok Ambung )
ELISA FEBRI BETHESMAN PURBA
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan pada Program Studi Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
SUMMARY Elisa Febri Bethesman Purba. E34104002. Study of Feed Variety in Bekantan (Nasalis larvatus), at Tanjung Puting National Park, Center Kalimantan (Case Study in Pondok Ambung Areal Research). Under supervision of Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA. Bekantan (Nasalis larvatus) is one of an endemic primate in Indonesia, especially in Kalimantan and this species protected by the law. Bekantan had a priority to be an object in food ecology research because of this species is rare and also endemic. Their habitat limited in forest around the rivers, mangrove and peat swamp forests and nowadays some of that threatened by human activities. On February, 22nd 2008 fire attack Pondok Ambung Areal Research part of Tanjung Puting National Park which burned around 5,6 ha. This damage decrease the number of bekantan population along the year. Because of that, conservation action needed into population of bekantan, ecosystem of peat swamp forest and swamp forest around the rivers. Study about food variety in bekantan especially at Tanjung Puting National Park, Province of Center Kalimantan really important as an a conservation action in population of bekantan. Direct and indirect identification of feed variety was used as method to collect the data. Direct observation was conducted for 12 days on 4 groups of bekantan. Vegetation analyze was conducted by using line transect method. This study found 11 species that consumed by bekantan in 12 observation days. From 12 time monitoring, most after consumed vegetation is Genua motleyana, but they just consumed the leaves. Crudia teysmanii and Eugenia zeylanica are another choice often Genua motleyana. In Eugenia zeylanica, bekantan just consumed the flowers and leaves. Comparison between leaves : flowers : fruit is 79% : 18 % : 3%. Result from vegetation analysis in swamp forest and lowland forest found 22 food variety of bekantan. Result from species diversity indexs (ShannonWieners index) showed foods variety level in swamp forest is more diverse than in lowland forest. This difference may influenced by difference of seasons that related to tree phenology. If was found 22 foods species of bekantan in swamp forest and lowland forest, among them Genua motleyana, Syzygium leucoxylon, Neoscortechinia sp., Eugenia zeylanica and Crudia teysmanii. Bekantan prefer to consumed leaves than flowers and fruits.
RINGKASAN Elisa Febri Bethesman Purba. E34104002. Studi keanekaragaman Jenis Tumbuhan pakan Bekantan (Nasalis larvatus) Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah (Studi Kasus di Areal Research Pondok Ambung). Dibimbing oleh Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA. Bekantan (Nasalis larvatus) salah satu jenis primata yang terdapat di Indonesia merupakan primata endemik dari pulau Kalimantan yang dilindungi oleh undang-undang. Jenis primata ini perlu diprioritaskan untuk diteliti ekologi pakannya karena jenis ini tergolong langka dan endemik dengan habitat terbatas pada hutan di sekitar sungai, hutan bakau dan rawa gambut yang sebagian telah terancam oleh berbagai aktivitas manusia. Pada tanggal 22 Februari 2008, di areal research Pondok Ambung yang merupakan salah satu bagian dalam kawasan Taman Nasional Tanjung Puting terjadi kebakaran yang mengakibatkan kurang lebih 5,6 ha hutan terbakar. Kerusakan tersebut dapat mengakibatkan populasi bekantan dapat menurun sepanjang tahunnya, sehingga perlu upaya pelestarian populasi bekantan dan ekosistem hutan rawa gambut serta hutan rawa disekitar sungai. Maka diperlukan penelitian studi keanekaragaman jenis tumbuhan pakan bekantan (Nasalis larvatus) khususnya di Taman Nasional Tanjung Puting, Provinsi Kalimantan sebagai upaya pelestarian populasi bekantan. Metode pengumpulan data dilakukan dengan mengidentifikasi jenis pakan bekantan secara langsung dan tidak langsung. Pengamatan langsung dilakukan selama 12 hari dengan pengamatan terhadap 4 kelompok bekantan. Analisis vegetasi dilakukan dengan metode garis berpetak. Terdapat 11 jenis yang dimakan bekantan selama 12 hari pengamatan. Ganua motleyana yang paling sering dimakan bekantan dari 12 kali pengamatan 12 kali bekantan terlihat memakan jenis ini, bekantan hanya memakan bagian daunnya saja. Crudia teysmanii dan Eugenia zeylanica merupakan jenis pakan yang disukai bekantan setelah Ganua motleyana. Untuk jenis Eugenia zeylanica, bekantan memakan bagian bunga dan daun. Bekantan memakan bagian daun sebesar 79%, bagian bunga sebesar 18% dan bagian buah sebesar 3%. Dari hasil analisis vegetasi di hutan rawa dan hutan dataran rendah terdapat 22 jenis pakan bekantan. Dilihat dari indeks keanekaragaman jenis (indeks Shannon-Wieners) tingkat keanekaragaman pakan bagi bekantan di hutan rawa lebih beranekaragam dibanding dengan di hutan dataran rendah. Perbedaan ini dapat dipengaruhi oleh perbedaan waktu (musim) yang erat kaitannya dengan fenologi pohon. Terdapat 22 jenis pakan bekantan di hutan rawa dan hutan dataran rendah, diantaranya terdapat 5 jenis pakan yang disukai oleh bekantan yaitu Ganua motleyana, Syzygium leucoxylon, Neoscortechinia sp., Eugenia zeylanica dan Crudia teysmanii. Bekantan lebih dominan mengkonsumsi bagian daun dibanding bagian bunga dan buah.
PERNYATAAN Dengan
ini
saya
menyatakan
bahwa
skripsi
berjudul
Studi
Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Pakan Bekantan (Nasalis larvatus) di Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah (Studi Kasus di Areal research Pondok Ambung) adalah benar – benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing skripsi dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau yang dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Januari 2009
Elisa Febri Bethesman Purba NRP. E34104002
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Skripsi
:
Studi Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Pakan Bekantan (Nasalis larvatus) di Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah (Studi Kasus di Areal Research Pondok Ambung)
Nama
:
Elisa Febri Bethesman Purba
NRP
:
E34104002
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA Nip. 131 430 800
Mengetahui Dekan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor,
Dr. Ir. Hendrayanto, M. Agr Nip. 131 578 788
Tanggal Lulus :
i
KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas izin dan kemudahan-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih yaitu Studi Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Pakan Bekantan (Nasalis larvatus) di Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah, yang disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Tujuan pembuatan skripsi ini adalah untuk mengidentifikasi jenis tumbuhan pakan bekantan serta memperoleh data dan informasi mengenai keanekaragaman jenis tumbuhan pakan bekantan di hutan alam. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang keanekaragaman jenis tumbuhan pakan bekantan di hutan alam dan dapat digunakan sebagai panduan dalam kegiatan rehabilitasi lahan bagi kehidupan bekantan, ketika habitatnya mengalami gangguan.. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, baik pada saat penyusunan proposal, pelaksanaan kegiatan penelitian di lapangan dan pada saat penyelesaian skripsi ini. Dengan menyadari ketidaksempurnaan diri sebagai manusia, penulis berharap karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan terutama untuk pengelolaan kawasan konservasi di Taman Nasional Tanjung Puting.
Bogor, Januari 2009
Penulis
RIWAYAT HIDUP Elisa Febri Bethesman Purba, dilahirkan di Medan pada tanggal 28 Februari 1986 sebagai anak ketujuh dari tujuh bersaudara pasangan Pendeta James Karmen Purba dan Penginjil wanita Nemmy Damanik. Pada tahun 2004 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Pematang Siantar dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB dan menjadi mahasiswa Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif dalam Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) khususnya Kelompok Pemerhati Flora (KPF) pada tahun 2005, Persekutuan Mahasiswa Fakultas Kehutanan IPB, Ikatan Mahasiswa Siantar dan Sekitarnya (IKANMAS). Pada periode 2006-2007 menjabat sebagai Pengurus Persekutuan Mahasiswa Fakultas Kehutanan IPB. Penulis melakukan kegiatan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di CA Kamojang, CA Leuweung Sancang dan Perum Perhutani KPH Sukabumi pada tahun 2007. Pada tahun 2008, penulis melakukan kegiatan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di TN Tanjung Puting, Kalimantan Tengah. Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis melakukan penelitian skripsi dengan judul Studi Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Pakan bekantan (Nasalis larvatus) di Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah (Studi Kasus di Areal Research Pondok Ambung) di bawah bimbingan Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA.
ii
UCAPAN TERIMA KASIH Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Studi Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Pakan bekantan (Nasalis larvatus) di Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah (Studi Kasus di Areal research Pondok Ambung). Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini : 1. Tuhan Sang Pencipta, Kekuatan dan Inspirasi-Nya adalah tangan yang menyusun katakata ini. 2. Untaian rasa syukur tiada henti kehadirat Sang Pencipta yang memberikan mama Nemmy Damanik dan bapa James Karmen Purba sebagai orangtuaku dengan segala kasih sayang dan cintanya yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan doa, moril, dan materiil. 3. Untaian rasa syukur kepada keluarga besar : Keluarga bang Rikardo Purba, Keluarga bang Hendrik Purba, keluarga bang Toni Purba, Keluarga bang Kharisma Purba, abang Erwin Purba dan abang Jhon Edi Purba. 4. Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA selaku pembimbing skripsi atas bimbingan, masukan, diskusi dan nasihat-nasihat yang diberikan kepada penulis. 5. Ir. Suwarno Sutarahardja selaku dosen penguji dalam ujian komprehensif dari perwakilan Departemen Manejemen Hutan. 6. Arinana, S. Hut, M. Si selaku dosen penguji dalam ujian komprehensif dari perwakilan Departemen Teknologi Hasil Hutan. 7. Bapak Ir. Yohanes Sudarto, MSc. Selaku Kepala Balai Taman Nasional Tanjung Puting yang telah memberikan ijin dan dukungan dalam penelitian ini. 8. Prof. Birute Marija Filomena Galdikas. Selaku president OFI (Orangutan Foundation International) atas dukungan
moril maupun finansial selama penulis melaksanakan
penelitian. 9. Drs. Al Zaqie, Selaku Manager Projek OFI (Orangutan Foundation International) atas saran dan masukan selama penulis melaksanakan penelitian.
iii
10. Seluruh staf OFI (Orangutan Foundation International), Mas Fajar, Mas Ivran, Mas Robet, Mas Adi, Mas Hendra, Mas Jikun, Mba Floren atas bantuan yang diberikan selama penulis melaksanakan penelitian. 11. Lesan, Pawi, Bang Dudin, Pak Engkot, Om Cecep, Bang Iim, Bang Kis, Bang Manto, serta asisten lapang lainnya yang selalu siap membantu kegiatan lapang serta memberikan masukan selama penulis melaksanakan penelitian. 12. Bang Togu, Ka Devis, Mba Isna, dan kawan-kawan Yayorin-OFUK. 13. Batak’ers yang berada di FAHUTAN atas persaudaraan dan perjuangan kita selama ini. 14. Andri Ginting, Sangkot V. R. Situngkir dan Edward Usboko untuk persahabatan dan kegilaan kita selama ini, 15. Pengurus Persekutuan Fakultas Kehutanan IPB tahun 2006/2007 (Andri Ginting, Melincah Naibaho, Katherin, Novi, dan Lilis Tambunan) untuk kerjasama dan dukungan doanya. 16. Keluarga besar KSH 41 “emang beda lah..” atas segala dukungan, kebersamaan, kekompakan, semua hal yang dilakukan bersama, semua hal-hal yang bikin aneh, bikin kita kompak selalu. 17. Special thanks Nuri Fathia (Pan”) atas kasih sayang, dukungan serta semangat yang dicurahkan dan yang diberikan. 18. Tim se-perjuangan PKLP dan penelitian Taman Nasional Tanjung Puting : Dede, Hendra, Eko dan Ai. 19. Teman-teman se-perjuangan dalam HIMAKOVA. 20. Anak-anak tongkrongan Budak Bageur yang selalu berbagi keceriaan bersama (Boy, Yandri, Andri, Adi, Kaka, Tumpal, Heru, Dwi, dan yang tidak dapat disebutkan satu persatu). 21. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Akhir kata, penulis menyadari dalam penulisan Skripsi ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak atas semua dukungan, doa, saran dan kritik yang diberikan untuk penulisan skripsi ini.
iv
DAFTAR ISI Halaman
KATA PENGANTAR ....................................................................................... .
i
RIWAYAT HIDUP............................................................................................
ii
UCAPAN TERIMA KASIH.............................................................................
iii
DAFTAR ISI .....................................................................................................
v
DAFTAR TABEL ............................................................................................
viii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................
ix
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................
x
I
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ......................................................................................
1
1.2 Tujuan Penelitian ....................................................................................
2
1.3 Manfaat Penelitian .................................................................................
2
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi ...............................................................................................
3
2.2 Morfologi .................................................................................... ...........
4
2.3 Habitat .....................................................................................................
7
2.4 Penyebaran ..............................................................................................
8
2.5 Pakan ....................................................................................…………..
9
2.6 Perilaku Makan (Ingestive Behaviour) ………………………………...
10
III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat ……………………………………………………..
12
3.2 Bahan dan Alat .......................................................................................
12
3.3 Pengenalan Lapangan (Orientasi) ..........................................................
12
3.4 Metode Pengambilan Data ......................................................................
12
3.4.1 Identifikasi Jenis Pakan Bekantan (Nasalis larvatus) ....................
12
3.4.2 Analisis Vegetasi ............................................................................
13
3.4.3 Pembuatan Herbarium ....................................................................
14
3.5 Pengumpulan Data ...................................................................................
15
v
3.5. 1 Data Primer ...................................................................................
15
3. 5. 2 Data Sekunder .............................................................................
15
3.6 Pengolahan dan Analisis Data .................................................................
16
3.6.1 Indeks Nilai Penting ......................................................................
16
3.6.2 Tingkat Keanekaragaman Jenis .....................................................
17
IV KONDISI UMUM PENELITIAN 4.1 Sejarah dan Status Kawasan Taman Nasional Tanjung ..........................
18
4.2 Kondisi Fisik Taman Nasional Tanjung Puting ......................................
20
4.2.1 Geologi .........................................................................................
20
4.2.2 Tanah …..........................................................................................
20
4.2.3 Topografi ......................................................................................
21
4.2.4 Hidrologi .......................................................................................
21
4.2.5 Iklim ……………………………. .................................................
22
4.3 Kondisi Biotik Taman Nasional Tanjung Puting....................................
22
4.3.1 Flora ...............................................................................................
23
4.3.2 Fauna ..............................................................................................
23
4.4 Aksesibilitas ……………………………………………………………
27
V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Jenis Tumbuhan Pakan Bekantan ............................................................
28
5.2 Perilaku Makan ........................................................................................
35
5.2.1 Lokasi Makan ................................................................................
35
5.2.2 Waktu Makan ................................................................................
39
5.3 Struktur dan Komposisi Vegetasi ………………………………………
40
5.3.1 Vegetasi Hutan Rawa …………………………………………....
41
5.3.1.1 Tingkat Semai ………………………………………….
41
5.3.1.2 Tingkat Pancang ………………………………………..
42
5.3.1.3 Tingkat Tiang …………………………………………..
43
5.3.1.4 Tingkat Pohon ………………………………………….
44
5.3.2 Vegetasi Hutan Dataran Rendah ...................................................
46
5.3.2.1 Tingkat Semai ………………………………………….
46
5.3.2.2 Tingkat Pancang ………………………………………..
47
vi
5.3.2.3 Tingkat Tiang …………………………………………..
48
5.3.2.4 Tingkat Pohon ………………………………………….
49
V KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ..............................................................................................
51
6.2 Saran ........................................................................................................
51
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................
53
LAMPIRAN ......................................................................................................
56
vii
DAFTAR TABEL No.
Halaman
1. Perbedaan morfologi antar bekantan jantan dengan betina ………….
6
2. Klasifikasi Struktur Umur Bekantan …………………………………
6
3. Frekuensi Bagian Pakan Bekantan ……………………………………
28
4. Tingkat Kesukaan Bekantan Terhadap Pakan Pada Setiap Bulan….....
31
5. Daftar Jenis Pohon yang Dimakan Nasalis larvatus…………………….
32
6. Jumlah Kelompok Bekantan Yang Diamati………………………….
36
7. Analisis Vegetasi Tingkat Semai (15 jenis dengan nilai INP tinggi) ..
41
8. Analisis Vegetasi Tingkat Pancang (15 jenis dengan nilai INP tinggi).
42
9. Analisis Vegetasi Tingkat Tiang (15 jenis dengan nilai dominansi tinggi)…………………………………………………………………
43
10. Analisis Vegetasi Tingkat Pohon (15 jenis dengan nilai dominansi tinggi)…………………………………………………………………
44
11. Analisis Vegetasi Tingkat Semai (15 jenis dengan nilai INP tinggi) ..
46
12. Analisis Vegetasi Tingkat Pancang (15 jenis dengan nilai INP tinggi)…………………………………………………………………
47
13. Analisis Vegetasi Pada Tingkat Tiang (15 jenis dengan nilai dominansi tinggi)………………………………………………………………… 48 14. Analisis Vegetasi Tingkat Pohon (15 jenis dengan nilai dominansi tinggi)…………………………………………………………………
viii
49
DAFTAR GAMBAR No.
Halaman
1. Plot contoh untuk analisis vegetasi…………………………………….
14
2. Peta Studi Area Pondok Ambung…………………………………… ...
18
3. Peta Taman Nasional Tanjung Puting…………………………………..
19
4. Frekuensi bagian yang dimakan oleh bekantan …….……………… ....
31
5. Indeks keanekaragaman jenis pakan bekantan di hutan rawa dan hutan dataran rendah ..............................................................................
35
6. Ketinggian bekantan makan pada pohon dengan ketinggian 3 – 10 m dari permukaan air sungai. Daun rasau (A) dan daun muda Parastemon urophyllus (B). ...................................................................
36
7. Bekantan makan pada ujung pohon ........................................................
37
8. Bekantan menggunakan kedua tangannya untuk menarik ranting yang kemudian menggunakan mulut untuk mengambilnya....................
38
9. Piramida kerapatan semai (S), pancang (Pa), tiang (T), dan pohon (Po). (a) Genua motleyana, (b) Syzygium leucoxylon ………………………..
ix
45
DAFTAR LAMPIRAN No.
Halaman
1.
Jenis Pakan Bekantan Berdasarkan Bagian yang Dimakan …………………….
57
2.
Jumlah Bekantan dalam Kelompok yang Diamati ……………………………...
58
3.
Analisis Vegetasi Tingkat Semai Pada Hutan Rawa …………………………...
59
4.
Analisis Vegetasi Tingkat Pancang Pada Hutan Rawa ………………………...
61
5.
Analisis Vegetasi Tingkat Tiang Pada Hutan Rawa ……………………………
64
6.
Analisis Vegetasi Tingkat Pohon Pada Hutan Rawa …………………………...
66
7.
Analisis Vegetasi Tingkat Semai Pada Hutan Dataran Rendah ………………..
69
8.
Analisis Vegetasi Tingkat Pancang Pada Hutan Dataran Rendah ……………..
72
9.
Analisis Vegetasi Tingkat Tiang Pada Hutan Dataran Rendah ………………..
76
10.
Analisis Vegetasi Tingkat Pohon Pada Hutan Dataran Rendah ……………….
79
11.
Gambar Daun Pakan Bekantan …………………………………………………
82
12.
Gambar Hutan Rawa (a) dan Hutan Dataran Rendah (b) ………………………
83
13.
Gambar Kegiatan Analisis Vegetasi (a) dan Pembuatan Herbarium (b) ……….
83
14.
Gambar Camp Areal Research Pondok Ambung ………………………………
83
x
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bekantan (Nasalis larvatus) adalah salah satu jenis primata yang terdapat di Indonesia merupakan primata endemik dari pulau Kalimantan yang dilindungi oleh undang-undang (undang-undang No. 5 tahun 1990 dan ordonansi perlindungan binatang-binatang liar No.266 tahun 1931). Jenis satwa primata ini perlu diprioritaskan untuk diteliti ekologi makannya karena jenis ini tergolong langka dan endemik, dengan habitat terbatas pada hutan di sekitar sungai, hutan bakau dan rawa gambut yang sebagian telah terancam oleh berbagai aktivitas manusia. Di Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah merupakan salah satu habitat bagi bekantan yang berupa hutan rawa gambut yang terdapat di sepanjang sungai. Kawasan Taman Nasional Tanjung Puting pada awalnya adalah kawasan Suaka Margasatwa Tanjung Puting yang merupakan gabungan dari Cagar Alam Sampit dan Suaka Margasatwa Kotawaringin. Status kawasan suaka margasatwa ditetapkan oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1936-1937 dengan luas sebesar 305.000 ha yang berfungsi untuk perlindungan satwaliar jenis primata yaitu orangutan (Pongo pygmaeus) dan bekantan (Nasalis larvatus). Pada tanggal 12 Mei 1984 berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 096/kpts-II/84 kawasan suaka alam ini ditetapkan menjadi kawasan taman nasional. Berdasarkan Surat Keputusan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam No. 45/kpts/IV-Sek/84 tanggal 11 Desember 1984 wilayah kerja Taman Nasional Tanjung Puting ditetapkan meliputi areal Suaka Margasatwa Tanjung Puting dengan luas kawasan 300.040 ha. Pada tanggal 22 Februari 2008, di areal research Pondok Ambung yang merupakan salah satu bagian dalam kawasan Taman Nasional Tanjung Puting terjadi kebakaran yang mengakibatkan kurang lebih 5,6 ha hutan terbakar. Jarak areal hutan yang terbakar dari pinggir sungai 70 m. Kebakaran ini mengakibatkan habitat bekantan mengalami gangguan. Kerusakan habitat bekantan di Taman Nasional Tanjung Puting dikarenakan adanya pembukaan lahan oleh masyarakat
sekitar taman nasional dengan cara membakar hutan, adanya kegiatan penambangan emas dan puya serta penebangan hutan. Kerusakan-kerusakan tersebut mengakibatkan populasi bekantan dapat menurun sepanjang tahunnya, karena bekantan kurang toleran terhadap kerusakan habitat (Wilson dan Wilson, 1975; Yeager, 1992). Dengan demikian perlu upaya pelestarian populasi bekantan dan ekosistem hutan rawa gambut serta hutan rawa disekitar sungai. Dalam program pelestarian bekantan tersebut diperlukan informasi tentang keanekaragaman jenis pakan yang dimakan bekantan. Sumber pakan primata dalam habitat merupakan salah satu faktor ekologis yang sangat menentukan terhadap kelestarian populasi primata. Kualitas dan kuantitas pakan dapat berpengaruh pada perilaku, organisasi sosial primata dan perilaku pergerakan primata (Jolly, 1972). Karena sumber pakan merupakan faktor ekologis yang sangat menentukan terhadap kelestarian populasi bekantan, maka diperlukan penelitian mengenai studi keanekaragaman jenis tumbuhan pakan bekantan (Nasalis larvatus) khususnya di Taman Nasional Tanjung Puting, Provinsi Kalimantan Tengah. 1.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengidentifikasi jenis tumbuhan pakan bekantan. 2. Memperoleh data dan informasi mengenai keanekaragaman jenis tumbuhan pakan bekantan di hutan alam. 1.3 Manfaat Penelitian 1. Menambah pengetahuan tentang keanekaragaman jenis tumbuhan pakan bekantan di hutan alam. 2. Sebagai panduan kegiatan rehabilitasi lahan bagi kehidupan bekantan, ketika habitatnya mengalami gangguan.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Genus Nasalis atau lebih dikenal dengan nama lain “Proboscis Monkey” diberikan oleh Geoffroy St. Hilaire melalui publikasinya yang berjudul “Tablean des Quadrumanes” pada tahun 1812. Sebelumnya pada tahun 1781 Van Wurmb telah memberikan nama Cercopithecus larvatus pada satwa ini (Martin, 1837 dalam Mardiastuti, 1982). Genus lain yang masih erat hubungannya dengan bekantan adalah “Snub-nosed Monkey” (Rhinopithecus) dari Cina Barat, Tonkin dan Kepulauan Mentawai, Sumatera (Direktorat Jenderal Kehutanan, 1978). Nasalis terbagi lagi menjadi 2 jenis, yaitu Nasalis concolor yang hidup endemik di Kepulauan Mentawai dan Nasalis larvatus yang hidup endemik di Pulau Kalimantan (Bismark, 1984) Menurut Napier and Napier (1967), bekantan (Nasalis larvatus) diklasifikasikan sebagai berikut : Ordo
: Primata Linnaeus, 1758
Sub Ordo
: Anthropoidea Mivart, 1864
Super famili
: Cercopitheciodea Simpson, 1931
Famili
: Cercopithecidea Gray, 1821
Sub Famili
: Colobinae Elliot, 1913
Genus
: Nasalis E. Geoffroy, 1812
Spesies
: Nasalis larvatus Wurmb, 1781
Selanjutnya Chasen (1940) membedakan lagi bekantan menjadi dua sub spesies yaitu Nasalis larvatus larvatus dan Nasalis larvatus orientalis. N.l. larvatus memiliki kepala yang berwarna lebih gelap, punggung sebelah bawah lebih kaya akan warna dibandingkan punggung dan bahu bagian depan yang berwarna lebih coklat. Sub spesies ini ditemukan di Pontianak, Kalimantan Barat. N. l. orientalis memiliki warna kepala yang tidak begitu jelas, bagian atas lainnya
berwarna lebih pucat tetapi seragam, punggung dan bagian atas berwarna agak kelabu. Sub spesies ini dapat ditemukan di Bulungan, Kalimantan Utara. Bekantan juga dikenal dengan nama lokal bekara, raseng, pika, batangan (Arief, 1998), kahau (Direktorat Jenderal Kehutanan 1978; Payne, Prancis dan Phillipps, 2000), kera belanda (LBN, 1982) dan monyet belanda (Direktorat Jenderal Kehutanan, 1978; Arief, 1998). Sedangkan dalam bahasa Inggris bekantan disebut “Proboscis Monkey” (Napier and Napier, 1967; Direktorat Jenderal Kehutanan, 1978; Yasuma and Alikodra, 1990; Payne et al., 2000) atau “Long-nosed Monkey” (Direktorat Jenderal Kehutanan, 1978). 2.2 Morfologi Bekantan memiliki ciri khusus yang tidak dijumpai pada jenis primata lain, yaitu hidung yang besar dan khas pada yang jantan dan dapat mencapai panjang lebih dari 7,5 cm. Pada bekantan jantan hidung tersebut terus berkembang walaupun bekantan sudah mencapai fase dewasa. Hidung pada jantan dewasa panjang seperti umbi dan melengkung ke bawah. Para ahli ada yang berpendapat bahwa hidung jantan tersebut adalah hasil adaptasi seleksi. Betina lebih tertarik pada jantan yang berhidung besar. Hidung betina dan bekantan muda lebih kecil, kurang lebih seukuran dengan hidung manusia dan mencuat ke atas. Bentuk hidung jantan yang unik ini digunakan untuk mengeraskan suara ketika ia mengeluarkan pekikan penandaan teritorial (Napier and Napier, 1967). Bekantan jantan yang mempunyai hidung paling besar berhak dinobatkan menjadi pemimpin kelompok (Suharyo, 2002). Ciri khas yang lain yang dimiliki bekantan adalah perut mereka yang buncit. Hal ini dikarenakan daun-daunan yang merupakan bahan makanan bekantan mempunyai nutrisi yang rendah, sehingga untuk memenuhi kebutuhan energi dan nutrisinya, bekantan harus makan daun-daunan dalam jumlah yang besar (Suharyo, 2002) Bekantan memiliki warna tubuh yang bervariasi. Tubuh bagian atas umumnya berwarna kuning keabu-abuan pucat dan kusam sampai coklat merah, lebih gelap pada punggung bagian atas dan mempunyai semacam tudung tengguli
pada bagian atas kepala (Payne et al., 2000), yang digambarkan oleh Yasuma and Alikodra (1990) sebagai rambut merah yang menyerupai topi pada bagian atas kepala. LBN (1982) menjelaskan bahwa rambut berwarna kuning coklat kemerahmerahan, terutama di kepala dan punggung bagian atas. Bagian belakang atau punggung berwarna merah bata (Napier and Napier, 1967). Ekor dan pantat keputih-putihan, terutama pada jantan dewasa (Payne et al., 2000). Ketika duduk di pohon, ekornya bergantung vertikal ke bawah (Yasuma and Alikodra, 1990; Payne et al. 2000). Pada bagian tubuh lainnya rambut berwarna coklat pucat dan kelabu putih terutama di dada, perut, dan ekor (LBN, 1982). Jantan dewasa memiliki kerah pucat di sekeliling leher bagian depan dan kedua sisinya (Payne et al., 2000). Bagian wajah bekantan berwarna merah tua kecoklatan dan tidak berbulu, sedangkan pada bayi atau individu muda mempunyai wajah berwarna biru tua (Napier and Napier, 1967; Payne et al., 2000). Wajah bekantan berbentuk “orthognathous” dengan sebuah profil lurus dan rahang yang jelas. Tulang hidung panjang dan lurus dibanding dengan Presbytis yang tulang hidungnya lebih pendek. Lekuk mata bagian dalam relatif sempit dibanding dengan jenis-jenis Colobinae lainnya, kecuali simias. Susunan gigi seri, taring, premolar dan molar (geraham) adalah 2/2, 1/1, 2/2, 3/3, jumlah 32 buah. Anggota badan bagian depan (radius dan humerus) dan bagian belakang (femur dan tibia) lebih panjang dibanding dengan Presbytis atau Colobus atau dapat dikatakan bahwa indeks intermembral pada bekantan tinggi. Kaki dan tangan bekantan berwarna abu-abu pucat dengan telapak tangan berwarna gelap. Tangan bekantan bersifat “prehensile”, yaitu dapat memegang benda dengan jari tangannya. Tangan digunakan dalam makan untuk memetik daun-daunan dan memasukkannya ke dalam mulut (Napier and Napier, 1967). Selain itu tangan digunakan juga untuk memegang dahan dalam kegiatan berjalan atau melompat (Alikodra, Yasuma, Santoso, Soekmadi dan Suzanna, 1990). Jarijari yang sangat panjang memungkinkan satwa ini menjadi pemanjat yang tangkas (Yasuma dan Alikodra, 1990).
Perbandingan morfologi antara bekantan jantan dengan betina dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 1 Perbedaan Morfologi antar Bekantan Jantan dengan Betina Morfologi Berat badan (Kg) Panjang kepala sampai badan (cm) Panjang ekor (cm) Sumber : Napier and Napier (1967)
Jantan 11,700-23,608 55,500-72,300 66,000-74,500
Betina 8,650–11,790 54,000-60,500 57,000-62,000
LBN (1982) menjelaskan bahwa umumnya bekantan memiliki badan yang ramping dan berekor panjang. Ekornya lebih panjang daripada badan dan kepala. Yang betina berukuran lebih kecil dan lebih ringan. Bekantan jantan yang sudah lewat dewasa berperut buncit dan dapat mengeluarkan suara seperti sapi melenguh pendek. Yeager (1990) mengkategorikan struktur umur bekantan sebagai berikut : Tabel 2 Klasifikasi Struktur Umur Bekantan Struktur Umur Jantan dewasa (Adult males)
Betina dewasa (Adult females)
Jantan setengah dewasa (Adolescent males)
Betina setengah dewasa (Adolescent females) Remaja (Juvenile) Anak/Bayi
Sumber : Yeager (1990)
Ciri-ciri Hidung besar (telah berkembang sempurna), alat kelamin luar tampak jelas, ukuran tubuh besar (20 sampai 22 kg), terdapat warna putih berbentuk segitiga pada bagian pinggul, lapisan-lapisan lemak terlihat jelas di bagian punggung, berkembang otot paha yang kuat. Ukuran tubuh relatif lebih kecil dari ukuran tubuh jantan dewasa (10 sampai 12 kg, puting susu tampak lebih jelas, hidung lebih kecil dan runcing Ukuran tubuhnya sama atau lebih besar dari pada betina dewasa, alat kelamin luar tampak jelas, otot bagian paha lebih berkembang dibandingkan dengan betina dewasa, hidung mulai membesar, tidak ada lapisan lemak di bagian punggungnya Memiliki ukuran tubuh yang hampir sama dengan betina dewasa, puting susu belum jelas. Ukuran tubuh setengah atau dua pertiga dari ukuran tubuh betina dewasa. Sudah bisa berdiri sendiri, tetapi masih tidur dengan induknya. Berumur 1,5 tahun atau kurang,bayi yang baru lahir memiliki warna yang lebih gelap dan muka berwarna gelap tetapi terus memudar, masih dekat dan bergantung dengan induknya.
2.3 Habitat Bekantan memiliki sifat “pemalu” dan daerah yang cenderung dihuni oleh bekantan berada di pedalaman, relatif tidak terganggu atau relatif jauh dari sungaisungai tempat pemukiman berkembang (Soendjoto, Akhdiat, Haitami, dan Kusmajaya, 2001b). Napier and Napier (1967) menjelaskan bahwa bekantan memiliki habitat berupa hutan rawa dan hutan mangrove dan mudah ditemukan di dekat sungai, atau pada vegetasi nipah (Nipa fruticans) dan rawa mangrove sepanjang pantai, teluk-teluk atau daerah pasang surut. Selanjutnya dijelaskan bahwa bekantan lebih suka berteduh pada vegetasi mangrove pada siang hari dan beristirahat pada pohon pedada (Sonenratia spp.) pada malam hari. LBN (1982) mencatat bahwa bekantan menyukai hutan bakau dekat muara sungai dan hutan dataran rendah di pedalaman yang dilalui sungai sebagai habitatnya. Selain itu, bekantan dikenal pula sebagai salah satu jenis monyet yang paling menyukai habitat di atas aliran sungai. Bekantan pandai berenang dan menyelam, bahkan tampak senang berjalan-jalan di lumpur dalam rawa di hutan bakau. Sungai termasuk komponen ekologi yang mempengaruhi pemilihan habitat oleh populasi bekantan di hutan bakau. Bagi bekantan sendiri, sungai berfungsi sebagai sumber air minum dan sarana untuk berenang (Bismark, 1994). Di Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan, habitat bekantan terdiri atas hutan mangrove, hutan galam, hutan tepi sungai, hutan rawa serta kebun masyarakat (ditanami karet dan buah-buahan). Keberadaan bekantan di hutan galam masih dalam penyelidikan, tetapi ada dua hipotesa yang dikembangkan, yaitu : 1) Fragmentasi habitat menyebabkan bekantan yang berada di hutan mangrove atau hutan tepi sungai tergusur ke hutan galam dan 2) Secara alami bekantan tersebut di hutan galam (Soendjoto, Akhdiat, Haitami dan Kusumajaya, 2001a). Bekantan yang hidup di hutan galam berukuran relatif lebih besar dan memiliki warna bulu lebih pucat dari pada bekantan di hutan mangrove. Di hutan galam, sumber pakan bekantan antara lain pucuk galam (Melaleuca cajuputi, sinonim M.leucadendron), piai (Acrostichum aureum), dan kelekai (Stenochlaena
palustris). Sedangkan di hutan karet sumber pakan utama bekantan adalah tanaman karet (Hevea brasiliensis) (Soendjoto, Djami’at, Johansyah dan Hairani, 2002). Di Sabah bagian Timur, sebagian besar bekantan sering ditemukan di hutan mangrove, campuran mangrove dan nipah serta di muara sungai, jarang ditemukan di dalam tegakan murni yang terdiri atas nipah Casuarina, hutan kerangas atau hutan rawa. Di Serawak dan P. Kalimantan, bekantan lebih umum ditemukan di tepi sungai dan hutan rawa gambut. Jantan soliter kadang terlihat di tepi hutan lainnya beberapa kilometer dari hutan mangrove atau sungai besar (Payne et al., 2000). 2.4 Penyebaran Bekantan adalah salah satu primata endemik yang hanya terdapat di Pulau Kalimtan, khususnya yang terdapat di muara S. Brunei dan P. Sebatik di perbatasan Sabah/Kalimantan Timur (Payne et al., 2000), dan beberapa pulau di dekat pantai (Yasuma and Alikodra, 1990; Payne et al., 2000), termasuk Pulau Bunyu dan Pulau Laut (Direktorat Jenderal Kehutanan, 1978). Sedangkan LBN (1982) mencatat bahwa bekantan dapat ditemukan di Kalimantan dan beberapa pulau kecil di sebelah Timurnya. Bekantan biasanya ditemukan di dekat sungai-sungai besar. Di sungaisungai Sabah bagian Timur yang lebih besar, bekantan terdapat jauh di hulu sungai (misalnya, di atas S. Danum di hulu S. Segama). Berdasarkan laporan yang diperoleh, di hulu S. Kapuas di Kalimantan Barat, di Tumbang Maruwe di S. Barito di Kalimantan Tengah, di S. Mahakam dan S. Kayan di Kalimantan Timur terdapat pulau bekantan. Kondisi saat ini sudah berubah, kemungkinan adanya bekantan di daerah hulu adalah kecil. Namun demikian bekantan masih dapat ditemui di beberapa bagian pesisir Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur, Khususnya di S. Barito. Penyebaran bekantan di Sabah bagian Barat, Brunei dan Serawak jarang dan tersebar, karena kerusakan habitat dan tekanan perburuan (Payne et al., 2000).
2.5 Pakan Makanan utama bekantan terdiri dari daun-daun muda (pucuk) serta sering ditemukan memakan pucuk dari tumpukan mangrove. Kurang lebih dari 5% dari makanannya berupa bunga dan buah, serta 95% berupa daun (Napier and Napier, 1967). Berdasarkan hasil penimbangan bobot kering kotoran bekantan, Bismark (1980) mengemukakan bahwa komposisi makanan bekantan terdiri dari 96,2% pucuk daun, daun muda, tangkai daun dan daun tua, 3,5% biji/buah, kuncup bunga dan kulit kayu, dan 0,3% insekta. Dilihat dari jumlah daun yang dikonsumsi oleh bekantan maka jenis monyet ini diduga sebagai pemakan daun lebih banyak di antara jenis-jenis monyet yang termasuk dalam anak suku Colobinae. Menurut Payne et. al. (2000) makanan bekantan terdiri dari atas dedaunan, buah-buahan dan pucuk daun. Salter and Aken (1983) menyatakan bahwa daun merupakan makanan utama bekantan. Alikodra, Yasuma dan Mustari (1991) menjelaskan bahwa bagian tumbuhan yang dimakan bekantan adalah daun (leaf), pucuk (shoot), bunga (flower), dan buah (fruit). Bekantan suka memilih makanannya (daun, pucuk, bunga, dan buah) yang masih muda dan segar. Salah satu makanan utama bekantan adalah pucuk-pucuk daun Sonneratia caseolaris, terutama bagian yang masih berwarna hijau muda (Napier and Napier, 1967; Mardiastuti, 1982; Alikodra et. al., 1991; Alikodra, 1997; Suharyo, 2002). Selain sebagai sumber pakan, tumbuhan ini juga digunakan sebagai tempat tidur dan istirahat. Dalam satu pohon sering terdapat 2-4 bekantan. Lamanya makan pada setiap pohon tergantung pada jenis pohon serta jumlah persediaan makanannya (Bismark, 1980). Dari penelitian yang dilakukan terhadap bekantan di Kebun Binatang Ragunan Jakarta, diperoleh data bahwa bekantan menghabiskan rata-rata 1572,5 gram ransum/ekor/hari (Alikodra et al., 1990). Menurut Bismark (1984) makanan yang paling banyak dikonsumsi adalah daun-daunan (96,2%). Dikatakan lebih lanjut bahwa selain dari pucuk yang masih lembut, bekantan juga memakan daun-daun tua, tangkai daun (petiol), paku-
pakuan, cendawan, dan umbut Pandanus sp. Makanan yang paling disukai terutama daun muda dan buah pedada (Sonneratia lanceolata) yang tumbuh di hutan bakau sepanjang tepian sungai dekat pantai (Suharto, 1989). Jenis lain yang juga dimakan oleh bekantan adalah rumbai-rumbai darat, laban (Vitex sp), waru laut (Hibiscus tilliaceus), Keladi air, karet (Hibiscus brasiliensis), durian (Durio sp), mersafat, masintan, karamunting laut, lai, kelakar, pakis, buas-buas, rumput peredang dan daun pepaya serta ketela pohon. Selain itu bekantan juga memakan buah kecapi dan karet (biasanya yang masih mentah), serta bunga durian dan lai (Alikodra et al., 1990). Untuk mendapatkan protein hewani, bekantan juga memakan larva insekta dan rayap. Umbut nipa (Alikodra et al., 1991; Alikodra, 1997) dan kulit batang (Alikodra dan mustari, 1993) menambahkan bahwa bekantan juga suka memakan serangga dan kepiting. Selain itu, untuk mencukupi kebutuhan mineral bekantan juga memakan ujung akar Rhizophora apiculata yang berasa asin dan diduga memakan tanah dan sarang rayap. Bekantan tidak dapat mengkonsumsi buah-buahan yang manis untuk menghindari makan gula yang banyak. Gula yang berlebihan akan terfermentasi dalam lambung bekantan dan akan menghasilkan banyak gas yang bisa menyebabkan perut kembung, yang apabila tidak segera diobati maka akan menyebabkan kematian (Suharyo, 2002). 2.6 Perilaku Makan (Ingestive behaviour) Bekantan biasanya makan di ujung-ujung pohon, duduk pada salah satu cabang atau ranting yang relatif besar. Salah satu tangan dipergunakan untuk berpegang pada cabang atau ranting di bagian atasnya sedangkan tangan yang lain untuk meraih makanan. Kalau berada pada posisi sulit, kedua tangan akan berfungsi untuk berpegangan sedangkan makanan langsung diambil dengan mulut (Bismark 1984, 1986). Selain digunakan dalam makan untuk memetik daundaunan, tangan juga berfungsi untuk memasukkan makanan ke dalam mulut (Napier and Napier, 1967). Cara mendapatkan makanan adalah dengan menggunakan tangan untuk memetik daun, lalu dimasukkan 1-3 lembar daun ke dalam mulut secara berurutan, lalu dikunyah (Alikodra et al., 1990). Sedangkan Bismark (1994) menjelaskan bahwa daun yang dikonsumsi bekantan adalah daun
muda dengan urutan 1 sampai 3 dari ujung ranting, bunga dan buah, yang diambil langsung dengan mulut atau dengan cara memetik. Daun dimakan dengan cara menggigit hingga 3 kali. Setiap gigitan dikunyah 15-30 kali. Sewaktu mencari makan, kelompok bekantan terbagi atas beberapa anak kelompok yang umumnya terdiri atas 1-7 ekor. Setiap anak kelompok makan pada beberapa pohon yang tidak begitu berjauhan satu sama lain. Dalam satu pohon biasa terdapat 2-4 ekor bekantan yang makan tanpa menunjukan persaingan diantara mereka. Lamanya makan pada setiap pohon bergantung pada jenis pohon serta jumlah persediaan makannya. Pada pohon Ganua motleyana, bekantan dapat bertahan selama 20-50 menit (Bismark, 1984). Kegiatan makan bekantan rata-rata sebesar 27,9%, sedangkan kegiatan berjalan dan istirahat masing-masing sebesar 19,9% dan 52,2%. Dari 3,6 jam waktu makan bekantan, 41,2% dilakukan di pagi hari, yaitu antara pukul 07.0010.00. Kegiatan makan yang tertinggi dicapai pukul 15.00-16.00 (Bismark, 1986). Selanjutnya dijelaskan bahwa lebih dari 50% kegiatan makan berada di ketinggian 10-15 meter. Alikodra et al. (1990) menyatakan bahwa aktivitas makan bekantan dipengaruhi oleh cuaca. Pada kondisi terang, aktivitas makan bekantan pada pagi hari lebih tinggi dibandingkan dengan sore hari, dan pada kondisi cuaca mendung (terjadi hujan) aktivitas makan bekantan dilakukan setelah cuaca terang (tidak hujan) dimana banyak dilakukan pada siang atau sore hari.
III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan selama 2 bulan, dimulai dari bulan Mei sampai dengan bulan Juni 2008. Penelitian dilakukan di areal studi Pondok Ambung – Sungai Sekonyer Kanan, Taman Nasional Tanjung Puting, Provinsi Kalimantan Tengah. 3.2 Bahan dan Alat Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa kompas, tali rafia, golok, gunting, peta kerja, meteran, patok kayu, kertas koran, alkohol, alat tulis menulis dan tally sheet. Bahan yang digunakan sebagai objek penelitian ini adalah kelompok bekantan dan jenis tumbuhan pakan bekantan. 3.3 Pengenalan Lapangan (Orientasi) Pengenalan lapangan atau orientasi lapangan dilakukan selama 1 minggu. Orientasi ini berupa habituasi terhadap kelompok-kelompok bekantan yang ada di sekitar sungai Sekonyer Kanan yang masuk ke dalam kawasan research Pondok Ambung. Tujuan dari kegiatan habituasi ini adalah untuk mengenali kelompokkelompok bekantan dan juga untuk membiasakan bekantan terhadap kehadiran peneliti. 3.4 Metode Pengambilan Data 3.4.1 Identifikasi Jenis Pakan Bekantan (Nasalis larvatus) Identifikasi jenis pakan bekantan di lapangan dilakukan secara pengamatan
langsung dan tidak langsung (wawancara non formal dan studi
literatur). Pengamatan langsung dilakukan selama 12 hari, pengamatan dilakukan pada pagi hari pada jam 06.00 sampai jam 09.00 dan pada sore hari pada jam 15.00 sampai jam 18.30. Bekantan yang diteliti atau yang diamati sebanyak 4 kelompok, dimana setiap hari kelompok bekantan yang diamati berbeda, ini dikarenakan kelompok yang sebelumnya diamati tidak selalu kembali ketempat asalnya. Jumlah bekantan pada setiap kelompok kurang lebih 8 – 15 ekor.
Identifikasi jenis difokuskan pada bagian-bagian yang dimakan oleh bekantan yang berupa daun muda/pucuk, daun tua, buah, dan bunga. 3.4.2 Analisis Vegetasi Metode analisis vegetasi yang digunakan adalah metode garis berpetak. Pada areal penelitian dibuat garis transek sepanjang 1 km (1000 m) yang diambil secara acak dari 10 km panjang Sungai Sekonyer Kanan, dengan plot-plot contoh sebanyak 50 plot yang dapat mewakili seluruh areal penelitian. Pada garis transek dibuat petak-petak contoh berukuran 2 m x 2 m, 5 m x 5 m, 10 m x 10 m, dan 20 m x 20 m. Untuk setiap petak ukur dilakukan pengukuran terhadap semua tingkat tumbuhan, yaitu : •
Petak 20 m x 20 m dilakukan pengukuran dan pencatatan terhadap tingkat pohon. Parameter yang diamati dan yang diukur meliputi : nama jenis, jumlah dan diameter pohon. Diameter yang diambil adalah diameter setinggi dada (dbh) serta ukuran diameternya ≥ 20 cm. Kegiatan pembuatan profil tajuk digunakan data tambahan yaitu panjang transek, lebar transek, tajuk terpanjang dan tajuk terpendek.
•
Petak 10 m x 10 m dilakukan pengukuran dan pencatatan untuk tingkat tiang. Parameter yang diamati atau yang diukur meliputi : nama jenis, jumlah dan diameter tumbuhan pada tingkat tiang, dengan batasan diameter yang diambil adalah antara 10 ≤ dbh < 20 cm
•
Petak 5 m x 5 m dilakukan pengukuran dan pencatatan untuk tingkat pancang. Parameter yang diamati atau diukur meliputi : nama jenis dan jumlah setiap jenisnya, dengan batasan pohon muda yang berdiameter < 10 cm. Atau anakan pohon dengan tinggi > 1,5 m.
•
Petak 2 m x 2 m dilakukan pengukuran dan pencatatan untuk tingakat semai. Parameter yang diamati atau yang diukur meliputi : nama jenis dan jumlah setiap jenis, dengan batasan anakan pohon mulai dari tingkat kecambah sampai yang memiliki tinggi < 1,5 m.
D
C
B
A
1 km
1 Km Gambar 1 Plot contoh untuk analisis Vegetasi Keterangan
:A:2mx2m B:5mx5m C : 10 m x 10 m D : 20 m x 20 m
3.4.3 Pembuatan Herbarium Herbarium adalah koleksi spesimen tumbuhan yang terdiri dari bagianbagian tumbuhan (ranting lengkap, dengan daun, serta kalau ada bunga dengan buahnya). Herbarium yang dibuat adalah dengan cara kering. Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam pembuatan herbarium : •
Mengambil contoh herbarium yang terdiri dari ranting lengkap dengan daunnya, kalau ada bunga dan buahnya juga diambil,
•
Dengan menggunakan penggunting daun, contoh herbarium dipotong dengan panjang kurang lebih 40 cm x 60 cm,
•
Kemudian contoh herbarium diberi etiket yang berukuran 3 cm x 5 cm. Etiket berisi keterangan tentang nomor spesies, nama lokal, lokasi pengumpulan dan nama pengumpul (kolektor) di lakukan di camp,
•
Spesimen atau contoh herbarium tersebut kemudian disemprot dengan alkohol 70 % secara merata pada semua bagian daun dan ranting lalu spesimen tersebut dimasukan/dibungkus rapi dengan kertas Koran,
•
Herbarium yang telah dimasukan kedalam koran, kemudian dimasukan ke dalam trasbek yang kemudian diikat dengan rapat dan rapi,
•
Herbarium yang sudah kering lengkap dengan keterangan-keterangan yang diperlukan diidentifikasi untuk
mendapatkan nama
ilmiahnya di
Herbarium Bogoriense Balitbang Botani, Puslitbang Biologi-LIPI, Bogor. 3.5 Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. 3.5.1 Data Primer Data primer merupakan data yang didapat melalui pengamatan secara langsung di lapangan meliputi data analisis vegetasi dan jenis pakan yang dimakan oleh bekantan secara langsung di lapangan. 3.5.2 Data Sekunder Data sekunder adalah data yang dikumpulkan untuk menunjang pelaksanaan penelitian yang didapat dengan cara studi pustaka atau dengan mencari literatur. Data sekunder tersebut berupa keadaan umum Areal Research Pondok Ambung, pengenalan jenis tumbuhan, wawancara mengenai jenis tumbuhan yang dimakan bekantan kepada masyarakat dan pekerja atau staf-staf Orangutan Foundation International (OFI) dan Orangutan Foundation UnitedKingdom (OFUK).
3.6 Pengolahan dan Analisis Data Data primer dan data sekunder yang telah dikumpulkan kemudian diolah dengan membandingkan hasil dari data sekunder yang telah diperoleh lalu dilakukan rekapitulasi data dalam bentuk tabel identifikasi : nama jenis dan nama famili pakan bekantan serta bagian yang dimakan oleh bekantan, juga ketersedian tumbuhan pakan bekantan di alam dilihat dari kerapatan, frekuensi dan dominansi jenisnya. 3.6.1 Indeks Nilai Penting Untuk mengetahui struktur dan komposisi vegetasi, maka pada jalur dilakukan analisis kerapatan, frekuensi dan dominansi untuk masing-masing jenis tumbuhan. Perhitungan dilakukan dengan menggunakan rumus-rumus sebagai berikut A. Kerapatan suatu jenis (K) K (batang/ha)
=
Jumlah individu setiap jenis Luas petak contoh
B. Kerapatan relatif suatu jenis (KR) KR (%)
=
Kerapatan suatu jenis x 100 % Kerapatan seluruh jenis
=
Jumlah plot ditemukan suatu jenis Jumlah seluruh plot
C. Frekuensi suatu jenis (F) F
D. Frekuensi relatif suatu jenis (FR) FR (%)
=
Frekuensi suatu jenis x 100% Frekuensi seluruh jenis
D (m2/ha)
=
Luas bidang dasar suatu jenis Luas petak contoh
LBDS (m2)
=
1/4 π d2
E. Dominansi suatu jenis (D)
F. Dominansi relatif suatu jenis (DR) DR (%)
=
Dominansi suatu jenis x 100% Dominansi seluruh jenis
Indeks Nilai Penting (INP) untuk pohon dan tiang adalah Kerapatan Relatif + Frekuensi Relatif + Dominansi Relatif (DR). Untuk tingkat pancang dan semai adalah Kerapatan Relatif + Frekuensi Relatif (FR). 3.6.2 Tingkat Keanekaragaman Jenis Untuk menghitung keanekaragaman jenis pakan dan keanekargaman jenis pada vegetasi hutan rawa dan hutan dataran rendah digunakan Indeks Keanekaragaman Shannon (H’) H’ = - Σ [Pi ln Pi] Pi =
Ni N
Keterangan :
H’
= Indeks Keanekaragaman Shannon
Ni
= Jumlah individu suatu jenis
N
= Jumlah individu seluruh jenis
IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Areal Research Pondok Ambung yang merupakan salah satu kawasan yang berada di dalam Taman Nasional Tanjung Puting, yang dikhususkan sebagai tempat atau kawasan penelitian. Areal penelitian ini masuk ke dalam Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) 1 di wilayah Timur kawasan di Pembuang Hulu dan berada di dekat aliran Sungai Sekonyer Kanan. Sungai Sekonyer Kanan memiliki air yang berwarna seperti air teh yang pekat dengan pH sekitar 5, kandungan mineral rendah, lumpur cukup dalam serta proses pembusukan di dalam air yang berjalan sangat lambat. Pondok Ambung belum memiliki data mengenai total luasan wilayahnya, tetapi telah memiliki areal jalur penelitian
Gambar 2 Peta Studi Area Pondok Ambung
4.1 Sejarah dan Status Kawasan Taman Nasinal Tanjung Puting Kawasan Taman Nasional Tanjung Puting pada awalnya merupakan kawasan Suaka Margasatwa Tanjung Puting yang merupakan gabungan dari Cagar Alam Sampit dan Suaka Margasatwa Kotawaringin. Status kawasan Suaka
Margasatwa ditetapkan oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1936-1937 dengan luas sebesar 305.000 ha yang berfungsi untuk perlindungan satwaliar jenis primata yaitu orangutan (Pongo pygmaeus) dan bekantan (Nasalis larvatus). Pada tanggal 12 Mei 1984 berdasarkan SK Menteri Kehutanan
No.
096/kpts-II/84 kawasan suaka alam ini ditetapkan menjadi kawasan Taman Nasional. Berdasarkan Surat Keputusan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam No. 45/kpts/IV-Sek/84 tanggal 11 Desember 1984 wilayah kerja Taman Nasional Tanjung Puting ditetapkan meliputi areal Suaka Margasatwa Tanjung Puting dengan luas kawasan 300.040 ha. Kemudian pada tanggal 25 Oktober 1996 melalui SK Menteri Kehutanan No. 687/kpts-II/96 luas kawasan menjadi 415.040 ha terdiri dari Suaka Margasatwa Tanjung Puting 300.040 ha, hutan produksi 90.000 ha (ex. PT Hesubazah), dan kawasan daerah perairan sekitar 25.000 ha. Letak astronomisnya terletak pada 02" 35' - 03" 35' LS, dan 111" 50'- 112" 15' BT.
Gambar 3 Peta Taman Nasional Tanjung Puting
4.2 Kondisi Fisik Taman Nasional Tanjung Puting 4.2.1 Geologi Tanjung Puting, seperti halnya kebanyakan daerah berawa-rawa dataran pantai Kalimantan, secara relatif berumur geologi muda dan daerah berawa-rawa datar yang meluas ke pedalaman sekitar 5-20 km dari pantai. Sebagian besar sedimen tanah/lumpur adalah alluvial muda. Dataran pantai merupakan bagian dari dataran atau dangkalan sunda yang muncul ke permukaan setelah jaman es Pleistocene dan kemudian secara bertahap dipenuhi oleh sedimen dari formasi pre-tertiary dan teriary dari Kalimantan Tengah. Bagian Utara kawasan taman nasional yang mencuat beberapa meter di atas permukaan laut mungkin merupakan bagian dari deposisi "sandstone" tertiary. Erosi lebih lanjut dari pegunungan dan tertahannya atau menggenangnya air di daerah pantai telah menyebabkan berlangsungnya proses pembentukan rawa-rawa dan kurang lebih 8.000-12.000 tahun yang lalu permukaan air laut naik mencapai ketinggian permukaan seperti yang ada saat ini serta kemungkinan malah lebih tinggi beberapa meter. Tepian sungai yang tinggi serta bukit-bukit pasir telah menahan aliran-aliran sungai dan sedimentasi lumpur serta lumpur laut telah menyebabkan terjadinya pertumbuhan (meluasnya) daratan dari dataran pantai Kalimantan. Di Tanjung Puting sendiri terlihat adanya pertumbuhan (perluasan) daerah pantai, dan dari perbandingan yang terlihat antara foto udara tahun 1949 dengan foto udara serta citra satelit saat ini tampak perbedaan yang nyata pada arah tanjung serta posisi garis pantai. 4.2.2 Tanah Pada umumnya tanah di kawasan Taman Nasional Tanjung Puting adalah "miskin" (kurang subur), "tercuci" berat serta kurang berkembang. Semua tanah bersifat sangat asam dengan kisaran pH antara 3,8-5,0. Tanah-tanah sekitar anakanak sungai dicirikan oleh suatu lapisan "top soil" yang berwarna abu-abu kecoklatan serta suatu lapisan "sub soil" yang lengket yang juga berwarna abu-abu kecoklatan. Di rawa-rawa daerah pedalaman (daerah hulu), tanah memiliki kandungan unsur organik yang lebih tinggi dan formasi gambut tersebar luas di
banyak tempat dengan ketebalan sampai 2 meter. Jalur-jalur tanah tinggi yang mendukung tumbuhnya hutan tanah kering (dry land forest), meskipun banyak diantaranya telah digarap atau ditanami, memiliki kandungan pasir yang lebih tinggi, bahkan kadang-kadang pasir kuarsa putih, namun telah tercuci habishabisan sebagai akibat perubahan besi ke senyawa-senyawa besi serta terus terlarutnya unsur-unsur ini. Semua tanah di Taman Nasional Tanjung Puting, seperti halnya sebagian besar tanah di Kalimantan adalah sangat tidak subur dan secara umum hanya mampu mendukung usaha pertanian secara temporer. 4.2.3 Topografi Secara umum, topografi Taman Nasional Tanjung Puting adalah datar sampai bergelombang dengan ketinggian 0 sampai 11 meter dari permukaan laut. Di bagian Utara, terdapat beberapa punggung pegunungan yang rendah dan bergelombang serta umumnya mengarah ke Selatan, akan tetapi di sebelah Selatan dari Sungai Sekonyer tidak terdapat pegunungan atau bukit. Anak-anak sungai telah terbentuk karena terjadinya luapan air sungai pada waktu musim hujan. Natai atau tanah tinggi banyak dijumpai di bagian tengah kawasan taman nasional. Natai ini terisolasi oleh rawa atau danau yang besar dimana jarang dijumpai pepohonan. Keadaan ini akan lebih tampak terutama pada musim hujan, yaitu antara bulan Oktober sampai dengan Februari. Daerah pantai sebagian berpasir (antara sungai Arut Tebal sampai Teluk Ranggau di bagian Barat dan Pantai Selatan) dan sebagian berlumpur (mulai dari muara Sungai Sekonyer ke selatan sampai Sungai Arut Tebal). Di Tanjung Puting sendiri terjadi pendangkalan pasir dan lumpur setiap tahun dan bergerak ke arah Selatan dan Barat. Beberapa daerah pantai dengan gundukan-gundukan pasir terdapat di sekitar muara Sungai Perlu. 4.2.4 Hidrologi Di dalam kawasan Taman Nasional Tanjung Puting terdapat 7 Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Sub DAS yaitu DAS Sekonyer, Buluh Kecil, Buluh Besar, Cabang, Perlu, Segintung dan DAS Pembuang. Dimana DAS dan Sub Das
tersebut mempunyai air yang berwarna hitam, serta mengalir dari bagian utara dan tengah kawasan taman nasional. Aliran sungai-sungai ini pelan dan di beberapa tempat terpengaruh oleh adanya pasang surut. Banjir sering terjadi dan beberapa danau sering terbentuk di daerah hulu sebagian besar terjadi pada musim hujan mulai bulan Oktober sampai dengan April. Air tanah menjadi bagian penting dari semua habitat di Tanjung Puting dan lebih dari 60 % kawasan taman nasional tergenang air paling tidak selama 4 bulan setiap tahunnya. Selama musim kemarau yang panjang, air payau dapat masuk ke daerah hulu sejauh ± 10 km, sepanjang Sungai Sekonyer. Fluktuasi harian dari permukaan air Sungai Sekonyer yang terkait dengan adanya pasang surut dapat diukur sampai ± 15 km dari muara. Fluktuasi musiman permukaan air di daerah rawa-rawa memiliki variasi rata-rata antara 1,5 sampai 2 meter dan di beberapa tempat bisa mencapai 3 meter. 4.2.5 Iklim Secara garis besar kawasan Taman Nasional Tanjung Puting mempunyai curah hujan rata-rata mencapai 2.400 mm/tahun. Berdasarkan tipe iklim Schmidt & Ferguson hal seperti ini termasuk dalam iklim selalu basah tipe A. 4.3 Kondisi Biotik Taman Nasional Tanjung Puting Taman Nasional Tanjung Puting memiliki beberapa tipe ekosistem, yaitu: 1. Ekosistem hutan tropika dataran rendah, 2. Ekosistem hutan tanah kering (hutan kerangas), 3. Ekosistem hutan rawa air tawar, 4. Ekosistem hutan rawa gambut, 5. Ekosistem hutan bakau, 6. Ekosistem hutan pantai, 7. Ekosistem hutan sekunder.
4.3.1 Flora Jenis-jenis tumbuhan yang dapat ditemui di Taman Nasional Tanjung Puting adalah meranti (Shorea sp.), ramin (Gonystylus bancanus), jelutung (Dyera costulata), gaharu, kayu lanan, keruing (Dipterocarpus sp.), ulin (Eusideroxylon zwagerii), tengkawang (Dracontomelas sp.), Dacrydium sp., Lithocarpus sp., Castanopsis sp., Hopea sp., Schima sp., Melaleuca sp., Diospyros sp., Beckia sp., Jackia sp., Licuala sp., Vatica sp., Tetramerista sp., Palaquium sp., Campnosperma sp., Casuarina sp., Ganua sp., Mesua sp., Dactylocladus sp., Alstonia sp., Durio sp., Eugenia sp., Calophyllum sp., Pandanus sp., Crinum sp., Sonneratia, Rhizophora, Barringtonia, nipah (Nypa fruticans), Podocarpus sp., rotan (Calamus sp.), dan Imperata cylindrica. Di bagian Utara kawasan terdapat hutan kerangas dan di lantai hutannya terdapat jenis tumbuhan pemakan serangga seperti kantong semar (Nepenthes sp.). Hutan rawa gambut yang tumbuhannya memiliki akar lutut, dan akar nafas yang mencuat dari permukaan air, ditemukan di bagian tengah kawasan dan di tepi beberapa sungai. Di sepanjang tepi semua sungai di kawasan ini terdapat hutan rawa air tawar (aluvial) dengan jenis tumbuhan yang kompleks termasuk jenis tumbuhan merambat berkayu yang besar dan kecil, epifit dan paku-pakuan dalam jumlah besar. Di daerah Utara menuju Selatan kawasan, terdapat belukar yang luas yang merupakan areal bekas tebangan dan kebakaran. Tumbuhan di daerah hulu Sungai Sekonyer terdiri atas hutan rawa yang didominasi oleh Pandanus sp. dan bentangan (bakung) yang mengapung, seperti Crinum sp. Hutan bakau (mangrove) yang berada di daerah pantai, dan payau yang berada di muara sungai, tedapat nipah yang merupakan tumbuhan asli setempat. Nipah tumbuh meluas sampai ke pedalaman sepanjang sungai. Di daerah pesisir pada pantai-pantai berpasir, banyak ditumbuhi tumbuhan marga Casuarina, Pandanus, Podocarpus, Scaevola dan Barringtonia. 4.3.2 Fauna Kawasan Taman Nasional Tanjung Puting dihuni oleh sekitar 38 jenis mamalia. Jenis-jenis tersebut antara lain tupai (Tapala spp.), tikus (Echinoserex
gymnurus), kumbang tando (Cycephalus variegates), Tarsius (Tarsius bancanus), kukang (Nycticebus coucang), kera ekor panjang (Macaca fascicularis), beruk (Macaca nemestrina), kelasi (Presbytis rubicunda), lutung (Presbytis cristata), bekantan (Nasalis larvatus), owa-owa (Hylobates agilis), orangutan (Pongo pygmaeus), trenggiling (Manis javanica), bajing (Ratuva affinis), landak (Hystrix brachyura), beruang madu (Helarctos malayanus), berang-berang (Lutra sp), musang (Matres flavigula), kucing batu (Felis bengalensis), macan dahan (Neofelis nebulosa), babi hutan (Sus barbatus), kancil (Tragulus javanicus), kijang (Muntiacus muntjak) dan mamalia air tawar yaitu ikan duyung (Dugong dugon) Meskipun observasi paling akhir menunjukkan hanya 3,5% dari jenis burung yang ada di Tanjung Puting endemik, akan tetapi Tanjung Puting secara khusus sangat penting bagi populasi ekstensif dan keanekaragaman burung yang ada di sana, yang mendiami habitat dataran rendah yang sangat luas, serta tidak dijumpai di tempat lain manapun. Daftar awal (preliminary list) mencatat 200 jenis burung hidup di kawasan taman nasional ini. Beberapa jenis yang telah tercatat misalnya "the bornean Bristlehead" atau "bald headed wood shrike" (Pityariasis gymnocephala), dinyatakan jarang ditemukan di tempat lain di Kalimantan. Beberapa jenis lainnya, bahkan termasuk jenis yang terancam punah. Jenis burung yang paling penting di Taman Nasional Tanjung Puting adalah sindanglawe atau storm's stork (Ciconia stormii), yang dinyatakan termasuk dari 20 jenis burung bangau yang paling langka di dunia serta dimasukkan ke dalam kategori terancam kepunahan oleh IUCN. Dikenal sebagai burung soliter di hutan primer yang lebat dan rawa-rawa, sindanglawe sering terlihat baik "sendirian" maupun dalam kelompok, di tepian sungai-sungai yang banyak terdapat di Tanjung Puting, bahkan pada tengah hari. Dibanding dengan kawasan lain di Indonesia, Tanjung Puting mungkin dapat dikatakan yang memiliki densitas paling besar. Sifat ekologis burung ini sangat mirip dengan bangau hitam (Ciconia nigra) yang sering memadati hutan primer di Eurasia dan daerah jelajah jenis burung ini "simpatrik" dengan "wolly-necked stork" (Ciconia episcopus) yang tampaknya berafiliasi dengan daerah-daerah terbuka. Tidak
banyak diketahui mengenai makanan sindanglawe ini, namun dikatakan bahwa cacing dan katak termasuk dalam daftar menunya. Beberapa jenis burung, terutama yang sebarannya luas atau yang mempunyai habitat di hutan rawa dapat ditemukan di Danau Burung yang berlokasi di dekat Sungai Buluh Besar. Antara lain bultok kecil (Megalaima australis), walet pantat kelabu (Collocalia fuciphaga), tepekong kecil (Hemiprocne comata), lelayang pasifik (Hirundo tahitica), kutilang hitam putih (Pycnonotus melanoleucos), kutilang emas (Pycnonotus atriceps), pernah teridentifikasi di Danau Burung. Beberapa tahun silam di Danau Burung juga tercatat keberadaan burung air, bahkan menjadi surga bagi burung air. Tidak mengherankan jika jumlahnya dapat mencapai ribuan dan membentuk koloni besar. Burung-burung tersebut terdiri atas lima jenis yang berbeda, yaitu Egretta alba, Anhinga melanogaster, Ardea purpurea, Nycticorax nycticorax, dan satu jenis "cormorant". Satu jenis burung, yaitu Egretta garzetta di Tanjung Puting hanya dapat ditemukan di Danau Burung saja. Akan tetapi, akibat kebakaran hutan, eksploitasi hutan, dan eksploitasi ikan yang menjadi makanan burung tersebut, saat ini sangat sulit menemukan burung-burung air tersebut di Danau Burung. Beberapa jenis elang juga telah teridentifikasi di kawasan Taman Nasional Tanjung Puting seperti elang laut perut putih, elang bondol, 'black kite', elang hitam, dan 'changeable hawk eagle'. Pada jenis elang laut perut putih (Haliaetus leucogaster), spesies ini hanya terdapat atau teragregasi di wilayah batas-batas terdepan pantai. Selama pemantauan di Tanjung Puting dan sekitarnya, elang laut perut putih termasuk sarangnya terdistribusi di wilayah perifer pantai dengan laut. Karakter pemilihan habitat disebabkan oleh pola makan spesies tersebut yang hampir 100 % diambil dari laut (ikan, kerang dan ketam) dan hanya ada satu catatan sekitar 500 m dari tepi pantai di Sungai Sinthuk, Desa Kapitan, bertengger berpasangan dan diperkirakan terdapat sarang elang laut perut putih di kawasan tersebut. Pada elang bondol (Haliastur indus), spesies ini terdistribusi random artinya dapat dijumpai di wilayah pesisir pantai sampai ke dalam radius 1000 m
dari pantai. Tetapi, spesies ini juga dapat dijumpai sampai ke pelosok-pelosok hutan kecuali di wilayah pegunungan. Berikut beberapa jenis burung lainnya yang dapat ditemukan di Taman Nasional Tanjung Puting, antara lain cangak besar (Ardea sumatrana), bletok rawa (Buloridos striatus), tamtoma kedondong hitam (Dupeter flapicolis), bangau tongtong (Leptoptilos javanicus), belibis pohon (Dendrocyna arcuata), alap-alap kelelawar (Machaerthampus alcinus), alap-alap Asia (Pernis ptylorhynchus), elang bondol (Haliastur Indus), alap-alap sisko (Accipiter trivigatus), alap-alap Jepang kancil (Accipiter gularis), elang garuda hitam (Ictinaetus malayanus), elang hitam kepala kerbau (Icthyophaga ichthyaetus), elang ikan kecil (Icthyophaga nana), baca (Spilornis cheela), elang belalang (Microhierax fringillarius), puyuh mahkota (Rollulus routroul), blelang sempidan (Lophura erythrophithaima), kuau bolwer (Lophura bulweri), kuau melayu (Polypiectron malacenses), kuau besar (Argusianus argus), trulek pasifik (Pluvialis dominica), trinil batis merah (Tringa tetanus), camar hitam sayap putih (Chlidonias leocopterus), rangkong kode (Anorrhinus galeritus), rangkong tahun (Rhiticeros corugatus), dan rangkong badak (Buceros rhinoceros). Selain satwaliar diatas terdapat juga herpetofauna, namun karena jenis satwaliar ini kurang populer di Taman Nasional Tanjung Puting sehingga catatan mengenai keberadaan hewan ini pun masih sangat terbatas. Akan tetapi, paling tidak terdapat beberapa jenis reptil yang berhasil teridentifikasi, yaitu buaya sinyong supit (Tomistoma schlegel), buaya muara (Crocodilus porosus), bidawang (Trionyx cartilaganeus), ular sawa (Python reticulates), ular sendok (Naja-naja), kura-kura (Testuda emys) dan biawak (Varanus salvator). Beberapa jenis amphibi, sebetulnya terdapat di kawasan Taman Nasional Tanjung Puting, tetapi observasi dan identifikasi terhadap amphibi belum pernah dilakukan. Beberapa jenis ikan juga telah teridentifikasi, mulai dari ikan yang biasa dikonsumsi masyarakat seperti lais, toman, seluang, bakut, dan sebagainya, sampai jenis ikan hias, seperti ikan arwana. Ikan arwana dengan penampilannya yang begitu indah dan mempesona telah mengundang orang-orang tertentu untuk menangkap, kemudian menjualnya. Harganya yang tinggi di pasaran, membuat
bisnis penjualan ikan arwana menjadi sesuatu yang menjanjikan. Tidak mengherankan jika keberadaan ikan arwana semakin terancam, bukan hanya karena eksploitasi terhadap jenis ikan ini, melainkan juga karena pencemaran sungai oleh limbah penambangan emas yang kerap kali terjadi. 4.4 Aksesibilitas Cara terbaik menuju Taman Nasional Tanjung Puting adalah melalui Kumai, kota kecamatan dan pelabuhan laut yang terletak 15 km dari Pangkalan Bun (Ibukota Kabupaten Kotawaringin Barat). Di Pangkalan Bun terdapat bandar udara yang menghubungkan ke kota-kota Ketapang, Palangka Raya, Sampit, Banjarmasin dan Semarang. Dari Pangkalan Bun ke Kumai pengunjung dapat memakai taksi umum atau taksi carteran. Kumai juga dapat dicapai dengan kapal laut PELNI (Krakatau, Bukit Raya, dan Lawit) dari Semarang, Surabaya dan Banjarmasin. Untuk mencapai lokasi kawasan Taman Nasional Tanjung Puting dari Kumai dapat menggunakan Klotok atau Speed Boat.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Jenis Tumbuhan Pakan Bekantan Bekantan (Nasalis larvatus) merupakan primata yang termasuk subfamili Cilobinae, pada umumnya golongan primata yang dominan memakan daun (folivorous). Bekantan sangat menyukai daun-daun muda (pucuk) dan juga tidak jarang bekantan terlihat memakan bunga dan buah. Hal ini dapat dilihat dari hasil pengamatan selama 12 hari (12 kali pengulangan) yang disajikan dalam lampiran, didapat frekuensi makan bekantan berdasarkan bagian yang dimakan. Tabel 3 Frekuensi Bagian Pakan Bekantan Frekuensi Relatif No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Jenis Ganua motleyana Symplocos fasciculata Crudia teysmanii Eugenia zeylanica Parastemon urophyllus Dialium indum Actinodaphne sp Polyalthia lateriflora Santiria laevigata Syzygium leucoxylon Syzygium tawaense
Frekuensi
Daun (%)
Bunga (%)
Buah (%)
12
21.05
0.00
0.00
5 8 7 4
5.26 14.04 8.77 7.02
3.51 0.00 3.51 0.00
0.00 0.00 0.00 0.00
1 2 5 2 6
1.75 3.51 5.26 0.00 7.02
0.00 0.00 3.51 0.00 3.51
0.00 0.00 0.00 3.51 0.00
5
5.26
3.51
0.00
Dari Tabel 3 dapat terlihat bahwa pakan yang disukai oleh bekantan adalah jenis Ganua motleyana dengan frekuensi perjumpaan makan yang terbesar yaitu sebanyak 12 kali yang berarti dalam setiap pengamatan bekantan terlihat memakan jenis ini. Pohon Ganua motleyana berukuran sedang, tinggi pohon kirakira sampai 40 m, diameter batang bisa mencapai 100 cm, pohon tidak berbanir tetapi kadang-kadang mempunyai banir kecil berbentuk akar napas dan daun pada umumnya terkumpul di ujung ranting. Bekantan sangat suka jenis ini karena di dalam daun Ganua motleyana terdapat kandungan mineral yang dibutuhkan bekantan seperti lateks, resin, tanin, terpenol, dan fenol, hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Bismark pada tahun 1980 di Taman Nasional
Tanjung Puting yang menyatakan bahwa jenis Ganua motleyana merupakan pakan yang disukai oleh bekantan. Tidak terlihatnya bekantan memakan buah atau bunga Ganua motleyana disebabkan karena jenis ini belum berbunga atau berbuah pada saat pengamatan dilakukan. Pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Bismark (1980), bekantan tidak memakan buah dan bunga Ganua motleyana, tetapi pada penelitian yang dilakukan oleh Yeager (1989) bahwa bekantan memakan buah Ganua motleyana. Faktor ini dipengaruhi oleh lamanya penelitian yang dilakukan. Selain jenis Ganua motleyana yang disukai oleh bekantan terdapat juga jenis Crudia teysmannii dan Eugenia zeylanica yang sering dimakan oleh bekantan, ini terlihat dari frekuensi perjumpaan makan bekantan pada saat pengamatan. Untuk jenis Crudia teysmannii, bekantan terlihat memakan bagian daunnya saja, tidak terlihat bahwa bekantan memakan buah dan bunganya. Pada jenis Eugenia zeylanica bekantan memakan bagian daun dan bunganya. Dari 12 kali pengamatan, terlihat 5 kali bekantan memakan bagian daunnya dan 2 kali bekantan terlihat memakan bagian bunganya. Pada jenis Symplocos fasciculata, Polyalthia lateriflora dan Syzygium tawaense, bekantan terlihat memakan jenis ini sebanyak 5 kali ulangan. Bekantan memakan bagian daun dan bunga pada ketiga jenis ini. Terlihat 3 kali ulangan bekantan memakan bagian daun dari jenis Symplocos fasciculata, Polyalthia lateriflora dan Syzygium tawaense dan 2 kali ulangan terlihat bekantan memakan bagian bunga dari ketiga jenis tersebut. Parastemon urophyllus dimanfaatkan bekantan sebagai pakannya,tetapi hanya bagian daunnya saja, tidak terlihat bekantan memakan bagian bunga dan buah dari jenis ini. Bekantan terlihat memakan bagian daun Parastemon urophyllus sebanyak 4 kali ulangan. Pada jenis Dialium indum, bekantan hanya terlihat 1 kali ulangan memakan daun jenis ini. Dari 11 pakan yang dimakan bekantan berdasarkan Tabel 3. Terlihat bahwa jenis Dialium indum yang jarang dimakan oleh bekantan, ini disebabkan karena melimpahnya daun-daun pada jenis pohon-pohon yang disukai oleh bekantan. Actinodaphne sp. dimakan bekantan hanya bagian daunya saja, dari hasil pengamatan, terlihat bekantan memakan jenis ini sebanyak 2 kali ulangan, untuk jenis Syzygium leucoxylon, bekantan memakan bagian daun dan bunganya. Terlihat bekantan memanfaatkan Syzygium leucoxylon sebanyak 6 kali ulangan, dengan 4 kali ulangan terlihat bekantan memakan bagian
daun Syzygium leucoxylon dan 2 kali ulangan terlihat bekantan memakan bagian bunganya. Untuk jenis Santiria laevigata, bekantan hanya memanfaatkan bagian buahnya saja, bagian daun dan bunganya tidak terlihat bekantan memakannya. Dari Tabel 3 hanya jenis Santiria laevigata yang bagian buahnya dimanfaatkan. Bekantan memakan buah untuk memenuhi kebutuhan akan air, walaupun bekantan merupakan jenis primata yang bersifat folivorous (dominan pemakan daun-daunan) tetapi bekantan tetap membutuhkan buah sebagai kebutuhan pakannya untuk memenuhi kandungan mineral yang dibutuhkan bekantan. Selain dari buah, bekantan mendapatkan air dari embun yang menempel pada daun dan juga dari daun yang masih basah akibat hujan. Selama pengamatan, cuaca pada waktu pengamatan selalu hujan sehingga kebutuhan akan buah bagi bekantan berkurang ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Bismark yang menyatakan pada umumnya, pada saat musim kering, konsumsi terhadap buah-buahan cenderung meningkat, karena jumlah pucuk dan daun muda sangat kurang. Masalah dalam pakan primata adalah senyawa fitokimia yang bersifat toksin, disamping selulosa dan lignin. Jenis primata pemakan daun terutama dari anak suku Colobinae, dalam mencerna selulosa bersimbiosa dengan mikroba lambung (Bauchop, 1978). Terdapat dua faktor utama dalam ekologi makan (feeding ecology) pada primata yaitu primata mempunyai komposisi pakan tertentu, sesuai dengan kondisi habitat dan musim (Curtin dan Chivers, 1979) sehingga keadaan tersebut dapat menunjukkan perbedaan pola perilaku makan. Faktor berikutnya adalah perilaku makan primata berkaitan erat dengan kualitas sumber pakan seperti tingginya kadar selulosa yang tidak dapat dicerna serta adanya senyawa sekunder yang bersifat toksin dalam pakan (Oates, 1977). Dalam hasil penelitian Yeager (1989), bekantan memiliki tingkat kesukaan pada pakan yang berbeda-beda setiap bulannya, tersaji dalam Tabel 4. Dari hasil pengamatan yang dilakukan bahwa Ganua motleyana dan Eugenia zeylanica merupakan makanan kesukaan dari bekantan ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Yeager pada tahun 1989.
Tabel 4 Tingkat Kesukaan Bekantan Terhadap Pakan Pada Setiap Bulan Bulan
1
Tingkat Pakan 2
3
Januari Februari
Ganua motleyana Eugenia sp. 3
Eugenia sp. 3 Licania splendens
Ryparosa javanica Ganua motleyana
Maret April Mei Juni July
Ganua motleyana Ganua motleyana Ganua motleyana Eugenia sp. 3/4 Eugenia sp. 3/4
Eugenia sp. 3 Lophopetalum javanicum Eugenia sp. 3/4 Ganua motleyana Ganua motleyana
Licania splendens Licania splendens Garcinia dulcis Lophopetalum javanicum Lophopetalum javanicum
Eugenia sp. 3/4 Eugenia sp. 3/5 Lophopetalum javanicum Lophopetalum javanicum Garcinia tubifera
Ryparosa javanica Pandanus sp. (Randa) Litsea sp Lophopetalum javanicum
Agustus Lophopetalum javanicum September Lophopetalum javanicum Oktober Eugenia sp. 3/4 November Eugenia sp. 3/4 Desember Eugenia sp. 3/4 Sumber : Yeager (1989)
Sedikitnya bunga dan buah yang dimakan oleh bekantan disebabkan karena pada saat penelitian ketersedian bunga dan buah sedikit, ini karena pada waktu penelitian bukan musim buah dan bunga. Keanekaragaman jenis pakan yang dimakan bekantan dipengaruhi oleh musim atau waktu. Apabila daun muda, pucuk, daun tua, buah-buahan, dan bunga sangat melimpah di alam maka keanekaragaman jenis makanan bekantan akan beranekaragam pula, akan tetapi sebaliknya, apabila jenis pakan bekantan terbatas maka terbatas pula jenis makanan bekantan. Pada hal ini, keadaan sewaktu penelitian di lapangan menunjukan bahwa keanekaragaman jenis pakan bekantan terbatas yang mengakibatkan terbatas pula data jenis pakan yang diperoleh.
Gambar 4 Frekuensi Bagian yang Dimakan Oleh Bekantan
Dari hasil pengamatan (seperti terlihat pada gambar 2), didapat persentase bekantan memakan bagian daun sebesar 79 % , sedangkan bekantan memakan bagian bunga sebesar 18 % dan bekantan memakan buah sebesar 3 %, ini membuktikan bahwa bekantan merupakan jenis primata yang bersifat folivorous. Hasil yang didapat ini juga didukung atau sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Bismark (1980) yang menyatakan bahwa bekantan memakan pucuk daun, daun muda, daun tua dan tangkai daun sebesar 96,2 % sedangkan biji/buah-buahan, kuncup bunga dan kulit kayu yang dimakan bekantan sebesar 3, 5 % dan bekantan memakan serangga sebesar 0,3 %. Dari hasil di atas menunjukan bahwa bekantan banyak mengkonsumsi daun-daunan. Dari hasil analisis vegetasi yang dilakukan, terdapat 22 jenis yang digunakan oleh bekantan sebagai pohon pakannya. Pada hutan rawa terdapat 20 jenis yang digunakan sebagai pakan oleh bekantan dari total 88 jenis yang terdapat di hutan rawa. Pada hutan dataran rendah terdapat 17 jenis yang digunakan bekantan sebagai pakannya, dari total 135 jenis yang terdapat di hutan dataran rendah.
Hasil ini disesuaikan dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Bismark (1980) dan Yeager (1989). Tabel 5 Daftar Jenis Pohon yang Dimakan Nasalis larvatus Nama Lokal Abu-abu rawa Banitan Bati-bati Bekapas Bentan Gembor Jelutung/panting Kemanjing Keranji Ketiau Lamanaduk Mahang Mampai Medang Merang Pempasir
Nama ilmiah
Famili
Symplocos fasciculata Polyalthia lateriflora Eugenia zeylanica Neoscortechinia sp. Parastemon urophyllus
Bagian yang dimakan Daun
Bunga
Symplocaceae Annonaceae Myrtaceae Euphorbiaceae Rosaceae
+ + + ++ +
+ + +
Dehaasia incrassata Dyera costulata Garcinia dioica Dialium indum
Lauraceae Apocynaceae Guttferae Fabaceae
+ + + +
Ganua motleyana Diospyros pilosanthera Macarenga hypoleuca Crudia teysmannii Actinodaphne sp
Sapotaceae Ebenaceae Euphorbiaceae Caesalpiniaceae Lauraceae
++++ + + +++ +
Tetramerista glabra Calophyllum sp
Theaceae Clusiaceae
+ +
Buah
Keterangan P dan Y P dan Y B,P dan Y Y B dan P Y Y B dan Y P dan Y
++ +
+
B,P dan Y B,P dan Y Y P dan Y P dan Y B Y
Lanjutan Tabel 5 Nama lokal
Nama ilmiah
Famili
Santiria laevigata
Burceraceae
Artocarpus anisophyllus Gonystilus bancanus Gluta renghas Syzygium leucoxylon Syzygium tawaense
Moraceae Gonystylaceae Anacardiaceae Myrtaceae Myrtaceae
Poga Puak Ramin Rengas Ubar merah Ubar putih
Bagian yang dimakan Daun Bunga Buah + + ++ ++ ++
Keterangan
+
P dan Y
+
Y Y Y P dan Y P dan Y
+ + ++ ++
Sumber : Bismark (1980) dan Yeager (1989) : Keterangan : ++++ Paling banyak ; +++ Sering dimakan ; ++ Biasa ; + Kadang-kadang ; B = Bismark ; P = Purba ; Y = Yeager
Dari jenis pohon yang dimakan oleh bekantan (lihat Tabel 5), famili Anacardiaceae, Burceraceae, Sapotaceae, Myrtaceae, Moraceae dan Ebenaceae mengandung berbagai bahan tertentu berupa lateks, resin, tanin, terpenol, dan fenol (Curtin dan Chivers, 1979). Makanan yang dimakan bekantan akan dicerna oleh bakteri yang terdapat di dalam organ pencernaan bekantan. Sistem pencernaan bekantan (umumnya pada subfamili Colobinae) mirip ruminansia, sistem pencernaan tersebut dikenal dengan polygastric, diantaranya terdapat organ “fore-stomach”, tempat terjadinya proses fermentasi makanan oleh bakteri. Dari proses fermentasi tersebut didapatkan hasil (Bennet, 1983) : •
Bakteri menghasilkan vitamin, dengan demikian satwa tidak terlalu tergantung pada vitamin yang dikandung makanan, terkecuali vitamin A dan D
•
Bakteri dapat menggunakan nitrogen non protein untuk tumbuh. Urea yang terjadi akibat katabolisme protein dapat dirubah bakteri menjadi protein. Bakteri dapat lolos dari lambung ke usus halus sehingga satwa mendapat tambahan protein yang berkualitas tinggi
•
Penggunaan urea dalam sintesa protein oleh mikro flora menyebabkan penurunan jumlah urea sehingga menghemat pengeluaran air dalam bentuk urin
•
Bakteri dapat menetralisir pengaruh toksin yang berasal dari tumbuhan yang dimakan satwa
•
Besarnya jumlah bakteri dan perkembangbiakan yang cepat menyebabkan laju fermentasi cepat pula sehingga membuat toksin pada makanan baru tidak aktif, disamping itu terjadi degradasi karbohidrat menjadi asam lemak mudah menguap. Dari Tabel 5 dihasilkan jenis-jenis tumbuhan yang terdapat dan tersebar di
tepi Sungai Sekonyer Kanan adalah Eugenia zeylanica, Crudia teysmannii, Dialium indum, Parastemon urophyllus, dan Symplocos fasciculata. Dari semua jenis pakan bekantan tersebut yang terdapat di pinggir Sungai Sekonyer Kanan, jenis Ganua motleyana merupakan tempat tidur yang disukai oleh bekantan. Ditinjau dari pola makannya, bekantan termasuk folivorous (lebih dominan memakan daun), walaupun bekantan juga memanfaatkan larva insekta dan rayap sebagai tambahan protein hewani. Dari hasil penelitian yang dilakukan Bismark (1980), makanan yang dikonsumsi oleh bekantan terdiri dari daun muda/pucuk, daun tua, buah-buahan, bunga, paku-pakuan, cendawan dan insekta. Bekantan sebagai primata pemakan daun yang bersifat seperti ruminansia (Hladik, 1978) butuh pakan yang perbandingan protein dengan serat kasarnya rendah (Bennett dan Sebastian, 1988). Adanya pemilihan jenis pakan yang dilakukan pada bekantan karena kandungan mineral pada daun di setiap jenis tumbuhan berbedabeda Sedikitnya pakan di hutan dataran rendah yang dapat diteliti diakibatkan karena selama penelitian tidak terlihat bahwa bekantan memanfaatkan dataran rendah untuk mencari makan, itu disebabkan karena melimpahnya jenis dan jumlah pakan yang terdapat di hutan rawa, sehingga mengakibatkan pergerakan atau luas wilayah jelajah bekantan semakin kecil. Tempat bekantan mencari makan dalam habitatnya dimulai dari pohon-pohon tempat tidurnya. Di lokasi penelitian, bekantan tidur di dekat tepi sungai (Sungai Sekonyer Kanan). Dilihat dari indeks keanekaragaman jenis (indeks Shannon-wieners) seperti terlihat pada gambar 5, tingkat keanekaragaman pakan bagi bekantan di hutan rawa lebih beranekaragam dibanding dengan keanekaragaman pakan bekantan di hutan dataran rendah. Keanekaragaman jenis pakan juga dipengaruhi oleh perbedaan waktu (musim) yang erat kaitannya dengan fenologi pohon.
Selama waktu penelitian, merupakan musim daun muda/pucuk. Bunga dan buah belum berkembang atau tidak musimnya, sehingga dari hasil pengamatan didapat bahwa bekantan banyak mengkonsumsi bagian daun muda/pucuk. Tidak semua jenis pohon memiliki daun muda, ini dikarenakan setiap jenis tumbuhan memiliki perbedaan waktu dalam berkembangnya daun-daun muda.
Gambar 5 Indeks Keanekaragaman Jenis Pakan Bekantan Di Hutan Rawa dan Hutan Dataran Rendah 5.2 Perilaku Makan 5.2.1 Lokasi Makan Pengamatan dilakukan mulai dari pinggir Sungai Sekonyer Kanan yang merupakan hutan rawa. Hutan rawa yang terdapat di Pondok Ambung bersifat homogen atau dapat dikatakan sama. Panjang Sungai Sekonyer Kanan kurang lebih 10 km. Dari hasil pengamatan kelompok bekantan yang terdapat di Sungai Sekonyer Kanan, didapatkan kurang lebih 11 kelompok. Ini dapat ditarik kesimpulan bahwa jarak antar kelompok di Sungai Sekonyer Kanan kurang lebih 1 km. Selama pengamatan tidak terlihat adanya persaingan antar kelompok dalam merebutkan makanan. Hal ini dikarenakan melimpahnya pakan bekantan di
sepanjang Sungai Sekonyer Kanan di daerah Pondok Ambung. Pengamatan jumlah kelompok bekantan dilakukan sebanyak 3 kali ulangan. Tabel 6 Jumlah Kelompok Bekantan Yang Diamati Nama Kelompok Gembrot Brother Dekil Paw
Dewasa
Remaja
Anak
Jantan
Betina
Jantan
Betina
1 2 2
6 2 3
2 2 2
4 1 3
1 1 1
1
2
1
2
1
Pohon-pohon yang berada di pinggir sungai atau pohon-pohon di hutan rawa yang sebagai pakan bagi bekantan digunakan sebagai tempat tidurnya. Pemilihan jenis pakan sebagai tempat tidur bagi bekantan bertujuan untuk memudahkan bekantan untuk melakukan kegiatan makan di pagi hari. Tempat makan bekantan dimulai dari tepi sungai (pohon tempat tidur) sampai perbatasan antara hutan rawa dengan dataran rendah (tanah kering). Pada waktu bekantan makan di pinggir sungai, ketinggian pohon yang digunakan yaitu 5 – 15 m, ketinggian ini dipengaruhi oleh keberadaan daun muda. Jika daun muda melimpah pada ketinggian 10 m, maka bekantan makan pada ketinggian tersebut.
(A)
(B)
Gambar 6 Ketinggian bekantan makan pada pohon dengan ketinggian 3 – 10 m dari permukaan air sungai. Daun rasau (A) dan daun muda Parastemon urophyllus (B)
Tapi pada umumnya bekantan makan pada pohon dengan ketinggian 2 – 30 m. Dalam aktifitas sehari-hari, bekantan makan pada ketinggian 10 – 15 m (30,5 %), 15 – 20 m (22,5 %) sedangkan pada ketinggian 25 – 30 m hanya 5 % (Bismark, 1980). Pada pengamatan didapat bekantan makan di ujung-ujung pohon.
Gambar 7 Bekantan makan pada ujung pohon Pada waktu makan, bekantan menggunakan salah satu tangannya untuk berpegangan pada ranting atau batang pohon yang berada di atas dan tangan yang satu digunakan untuk memetik ranting yang ada daunnya yang telah dipilih untuk dimakan. Cara bekantan untuk mendapatkan makanannya berupa daun dengan memetik ranting daun atau juga dengan menarik ranting kemudian daun diambil dengan menggunakan mulut. Ranting yang dipetik oleh bekantan biasanya daunnya tidak dimakan habis, jarang terlihat bekantan memakan habis daun yang ada pada ranting tersebut. Selama pengamatan hampir tidak pernah bekantan
mengambil daun dengan cara bergelantungan. Daun yang dikonsumsi bekantan adalah daun muda dengan urutan 1 sampai 3 dari ujung ranting, bunga dan buah. Daun
dimakan
satu
per
satu
atau
sekali
dua
lembar
dengan
cara
menggabungkannya dan daun dimakan dengan cara menggigit hingga tiga kali. Setiap gigitan dikunyah antara 10 – 30 kali adalah salah satu strategi bekantan untuk membantu pencernaan secara fisik dan merangsang keluarnya air liur guna untuk mempertahankan pH lambung agar proses fermentasi pakan oleh bakteri lambung dapat berjalan optimum (Bismark, 1980).
Gambar 8 Bekantan menggunakan kedua tangannya untuk menarik ranting yang kemudian menggunakan mulut untuk mengambilnya. Sewaktu mencari makan, kelompok bekantan terbagi atas beberapa anak atau sub kelompok. Kelompok besar pada bekantan yang diamati memiliki 8 – 15 ekor. Pada saat mencari makan, kelompok besar ini terbagi menjadi 2 – 4 anak kelompok dengan jumlah bekantan kurang lebih 3 – 5 ekor per anak kelompok. Pada waktu di pohon pakannya, kadang terdapat 3 – 5 ekor dan juga tidak jarang terlihat 1 ekor pada pohon pakannya. Pada waktu makan tidak terlihat adanya perkelahian atau persaingan dalam pemilihan pohon pakan, ini diakibatkan karena
pohon pakan yang
tersedia beranekaragam dan tersedia dalam jumlah yang
cukup. Lamanya waktu makan tergantung pada jenis pohon serta jumlah persediaan makannya. Pada saat pengamatan (pada sore hari) kadang terdengar adanya suara suara yang saling bersahutan antara kelompok bekantan yang satu dengan kelompok bekantan yang lain. Suara ini menunjukkan bahwa kelompok bekantan memiliki teritori-teritori tertentu dan juga untuk memberikan sinyal kepada anggota kelompoknya, bahwa ada kelompok lain yang akan masuk ke dalam teritori mereka. 5.2.2 Waktu Makan Aktivitas harian bekantan dimulai pada saat matahari telah terbit atau pada saat pagi hari telah terang, biasanya bekantan telah beraktivitas pada jam 06.00 WIB dan berakhir beraktivitas pada saat hari telah gelap, kira-kira jam 18.30 WIB. Berdasarkan hasil penelitian Bismark (1980), aktivitas makan bekantan setiap harinya kurang lebih 3, 4 jam per hari yang dilakukan pada saat yang berbeda-beda. Waktu makan yang paling tinggi dicapai pada jam 10.00 WIB sampai dengan jam 11.00 WIB. Kemudian aktivitas makan menurun hingga jam 15.00 WIB dan aktif kembali setelah jam 15.00 WIB sampai jam 18.00 WIB. Pada saat pengamatan, bekantan sudah berada di pinggir atau tepi sungai jam 16.00 WIB sampai mencari pohon tidur pada jam 18.30 WIB. Dari 3,4 jam waktu makan dalam sehari, 1,2 jam hanya digunakan untuk makan pada sore hari (36 %), yaitu dari jam 15.00 WIB – 18.00 WIB, pada saat mana bekantan sudah berada pada tempat yang jaraknya 10 -150 m dari pinggir sungai (Bismark, 1980). Selama itu, aktivitas makan bekantan diselingi oleh istirahat, berjalan dan juga bermain, jikalau masih berada jauh dari pinggir sungai. Setelah berada di pinggir sungai bekantan mencari tempat makan yang sekaligus juga sebagai tempat tidur. Jarang terlihat satu kelompok bekantan menggunakan 1 pohon tempat tidur, biasanya kelompok bekantan menggunakan 2 – 3 pohon yang jaraknya saling berdekatan sebagai pohon tidur. Keaktifan makan pada pagi hari maupun sore hari tergantung pula dengan jarak makanan utama dari pohon tempat tidur.
5.3 Struktur dan Komposisi Vegetasi Struktur hutan merupakan hasil penataan ruang oleh komponen penyusun tegakan dan bentuk pertumbuhan. Struktur ini mempunyai unsur penyusun yang berupa bentuk hidup, stratifikasi dan penutupan vegetasi yang digambarkan melalui keadaan diameter, tinggi, penyebaran dalam ruang, keanekaragaman jenis, tajuk serta kesinambungan jenis. Struktur hutan dengan komposisinya yang tertentu akan berbeda-beda sesuai dengan kondisi lingkungan atau habitatnya (Richards, 1964). Komposisi hutan dapat diartikan sebagai variasi jenis flora yang menyusun suatu komunitas. Berdasarkan komposisi flora, dapat diketahui jenis-jenis tumbuhan utama dari suatu kawasan hutan. Untuk dapat bertahan dan hidup di dalam keadaan tertentu, suatu tumbuhan harus memiliki bahan-bahan penting yang diperlukan untuk pertumbuhan dan berkembang biak. Keperluan-keperluan dasar ini bervariasi antara jenis dengan keadaan (Odum, 1994). Banyaknya individu dari suatu jenis tumbuhan dapat ditaksirkan atau dihitung. Nilai kerapatan (density) dapat menggambarkan bahwa jenis-jenis dengan nilai kerapatan tingggi memiliki pola penyesuaian yang besar (Samingan, 1987). Frekuensi suatu jenis digunakan untuk mengukur keterdapatan jenis dalam kuadrat yang besarnya tertentu, yang tersebar secara acak dalam suatu komunitas. Frekuensi ditentukan dengan mencatat kehadiran dan ketidakhadiran suatu jenis dan bukan jumlah individu suatu jenis (Loveless, 1989). Pada umumnya, semakin
besar
tumbuhan, semakin
besar pula
pengaruhnya terhadap keadaan habitat, sehingga semakin besar pula kendalinya terhadap komunitas yang diakibatkannya. Oleh karena itu, dalam suatu komunitas dapat dikemukakan tentang tumbuhan yang dominan, yang berarti tumbuhan yang karena ukurannya atau jumlahnya atau karena kedua-duanya mempunyai pengaruh terbesar terhadap habitat dan mendominasi atau merajai seluruh komunitas (Loveless, 1989).
5.3.1 Vegetasi Hutan Rawa Hutan rawa (peat swamp forest) di Taman Nasional Tanjung Puting, lebih dari 60 % mendominasi kawasan taman nasional, terutama di sepanjang aliran sungai. Hutan rawa di sini berbeda dengan hutan rawa lainnya, airnya berwarna seperti air teh yang pekat dengan pH sekitar 5, kandungan mineral rendah serta proses pembusukan di dalam air berjalan sangat lambat (Galdikas, 1978). Dari hasil analisis vegetasi, didapat struktur dan komposisi hutan rawa sebagai berikut : 5.3.1.1 Tingkat Semai Komposisi vegetasi tingkat semai meliputi 42 jenis (30 jenis yang teridentifikasi dan 12 jenis yang tidak teridentifikasi) dengan 21 famili yang teridentifikasi. Jenis yang mendominasi adalah Syzygium leucoxylon, dengan nilai INP sebesar 33,30 % dengan nilai frekuensi sebesar 0,24, yang menunjukan bahwa jenis ini terdapat pada 12 petak dari 50 total petak pengamatan. Urutan dominansi selanjutnya adalah Diospyros pilosanthera dengan INP 18,41 %, Ganua motleyana dengan INP 15,23 %, dan Knema cinera dengan INP 14,85 %. Keanekaragaman pada tingkat semai sebesar 2, 93 %. Pada tingkat semai didapat tingkat keanekaragaman sebesar 2,93. Tabel 7 Analisis Vegetasi Tingkat Semai (15 jenis dengan nilai INP tinggi) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Nama lokal
Nama ilmiah
Ubar merah Lamanaduk Ketiau Kumpang
Syzygium leucoxylon Diospyros pilosanthera Ganua motleyana Knema cinerea
Medang Kayu malam Bedaru rawa Poga Jejambu
Actinodaphne sp
Pudu Selumbar/bliantapah Medang kabui Meranti
Artocarpus kemando Jackiopsis ornata
Kepodu Ubar putih
Cantleya corniculata Santiria laevigata Eugenis cuprea
Shorea leprosula Syzygium tawaense
K
KR
F
FR
INP
H’
3200 1600 1400 1100 650
22.78 11.39 9.96 7.83 4.63
0.24 0.16 0.12 0.16 0.18
10.53 7.02 5.26 7.02 7.89
33.30 18.41 15.23 14.85 12.52
2.93
800 400 650 400 250
5.69 2.85 4.63 2.85 1.78
0.12 0.12 0.04 0.08 0.08
5.26 5.26 1.75 3.51 3.51
10.96 8.11 6.38 6.36 5.29
200 250 200 300 200
1.42 1.78 1.42 2.14 1.42
0.08 0.06 0.06 0.04 0.04
3.51 2.63 2.63 1.75 1.75
4.93 4.41 4.06 3.89 3.18
Dari hasil analisis vegetasi pada tingkat semai terdapat 15 jenis sebagai pakan bekantan, jenis tersebut adalah Polyalthia leteriflora, Neoscortechinia sp., Parastemon
urophyllus,
Dialium
indum,
Ganua
motleyana,
Diospyros
pilosanthera, Macarenga hypoleuca, Tetramerista glabra, Santiria laevigata, Actinodaphne sp., Artocarpus anisophyllus, Gonystilus bancanus, Gluta renghas, Syzygium leucoxylon, dan Syzygium tawaense, dengan tingkat keanekaragaman pakan sebesar 1,47. Dari 15 jenis pakan tersebut jenis Syzygium leucoxylon, Diospyros pilosanthera dan Ganua motleyana memiliki nilai INP tinggi. 5.3.1.2 Tingkat Pancang Komposisi vegetasi pada tingkat pancang meliputi 64 jenis (dengan 44 jenis yang teridentifikasi nama ilmiahnya) dengan 26 famili yang dapat diidentifikasi. Jenis yang memiliki INP tertinggi adalah Artocarpus anisophyllus sebesar 13,39 %, urutan INP tinggi selanjutnya yaitu jenis Actinodaphne sp. Sebesar 11,68 %, Ganua motleyana sebesar 11, 67 % dan Pternandra coerulescens sebesar 10,67 %. Tingkat keanekaragaman tingkat pancang sebesar 3,63. Tabel 8 Analisis Vegetasi Tingkat Pancang (15 jenis dengan nilai INP tinggi) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Nama lokal
Nama ilmiah
Puak Medang Ketiau Pansulan
Artocarpus anisophyllus Actinodaphne sp Ganua motleyana Pternandra coerulescens
Kumpang Bedaru rawa Jejambu Tembaras Medang kabui
Knema cinerea Cantleya corniculata Eugenis cuprea Memecylon sp
Ubar basung Bangan Ramin Ubar merah Rengas Kayu malam
Cuponiopsis sp Syzygium leucoxylon Gonystilus bancanus
K
KR
F
FR
INP
H’ 3.63
288
6.62
0.5
6.78
13.39
296 272 264 184
6.80 6.25 6.07 4.23
0.36 0.4 0.34 0.4
4.88 5.42 4.61 5.42
11.68 11.67 10.67 9.65
200 264 224 152 112
4.60 6.07 5.15 3.49 2.57
0.34 0.22 0.28 0.24 0.24
4.61 2.98 3.79 3.25 3.25
9.20 9.05 8.94 6.74 5.83
128 104 120 112 104
2.94 2.39 2.76 2.57 2.39
0.2 0.22 0.18 0.18 0.12
2.71 2.98 2.44 2.44 1.63
5.65 5.37 5.20 5.01 4.02
Dari hasil vegetasi pada tingkat pancang terdapat 16 jenis pakan bekantan yaitu Polyalthia leteriflora, Eugenia zeylanica, Neoscortechinia sp., Parastemon urophyllus, Dehaasia incrassate, Dyera costulata, Dialium indum, Ganua motleyana, Diospyros pilosanthera, Crudia teysmannii, Actinodaphne sp., Artocarpus anisophyllus, Gonystilus bancanus, Gluta renghas, Syzygium leucoxylon, dan Syzygium tawaense, dengan tingkat keanekaragaman pakan sebesar 1,18. Dari 16 jenis pakan bekantan tersebut, Actinodaphne sp, Ganua motleyana dan Syzygium leucoxylon yang memiliki nilai INP tinggi. 5.3.1.3 Tingkat Tiang Komposisi vegetasi pada tingkat tiang terdapat 47 jenis (37 jenis yang teridentifikasi nama ilmiahnya) dengan 23 famili. Jenis yang mendominasi pada tingkat pohon adalah Artocarpus anisophyllus dengan nilai dominansi 1.196 m2/ha dan INP sebesar 34, 20 %. Urutan dominansi selanjutnya adalah Ganua motleyana sebesar 0,772 m2/ha dengan INP sebesar 22.98 %, Knema cinerea sebesar 0,574 m2/ha dengan INP 17,42 % dan Gluta renghas sebesar 0,572 m2/ha dengan INP 18,57 %. Keanekaragaman pada tingkat tiang sebesar 3,36. Tabel 9 Analisis Vegetasi Tingkat Tiang (15 jenis dengan nilai dominansi tinggi) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Nama lokal
Nama ilmiah
Puak Ketiau Kumpang Rengas
Artocarpus anisophyllus Ganua motleyana Knema cinerea Gluta renghas
Bedaru rawa Pansulan Medang Lamanaduk Banitan
Cantleya corniculata Pternandra coerulescens Actinodaphne sp Diospyros pilosanthera Polyalthia lateriflora
Meranti Bekapas Jelutung/ pantung Kengkoban
Shorea leprosula Neoscortechinia sp.
Merang Resak
Tetramerista glabra Vattica rassak
Dyera costulata
K
KR
F
FR
D
DR
INP
H’ 3.36
66
11.91
0.42
9.42
1.196
12.9
34.20
44 30 34 28
7.94 5.42 6.14 5.05
0.3 0.26 0.28 0.2
6.73 5.83 6.28 4.48
0.772 0.574 0.572 0.474
8.31 6.18 6.16 5.10
22.98 17.42 18.57 14.64
36 30 26 24 16
6.50 5.42 4.69 4.33 2.89
0.2 0.24 0.2 0.18 0.14
4.48 5.38 4.48 4.04 3.14
0.46 0.456 0.426 0.392 0.348
4.95 4.91 4.59 4.22 3.75
15.93 15.70 13.76 12.59 9.77
18
3.25
0.16
3.59
0.332
3.57
10.41
14
2.53
0.1
2.24
0.242
2.60
7.37
14 12
2.53 2.17
0.12 0.1
2.69 2.24
0.232 0.192
2.50 2.07
7.71 6.47
12
2.17
0.12
2.69
0.19
2.05
6.90
Dari hasil analisis vegetasi pada tingkat tiang, terdapat 17 jenis pakan yang dimakan
bekantan
yaitu
Symplocos
fasciculata,
Polyalthia
leteriflora,
Neoscortechinia sp., Parastemon urophyllus, Dehaasia incrassate, Dyera costulata, Ganua motleyana, Diospyros pilosanthera, Macarenga hypoleuca, Crudia
teysmannii,
Tetramerista
glabra,
Actinodaphne
sp.,
Artocarpus
anisophyllus, Gonystilus bancanus, Gluta renghas, Syzygium leucoxylon, dan Syzygium tawaense, dengan nilai tingkat keanekaragaman pakan sebesar 1,69. Dari 17 jenis pakan tersebut, janis Artocarpus anisophyllus, Ganua motleyana dan Gluta renghas memiliki nilai dominansi tinggi dari jenis pakan yang lainnya. 5.3.1.4 Tingkat Pohon
Komposisi vegetasi pada tingkat pohon terdapat 52 jenis (39 jenis yang
teridentifikasi nama ilmiahnya) dengan 23 famili yang teridentifikasi. Jenis yang mendominansi pada tingkat pohon adalah Gluta renghas, dengan nilai dominansi 4,48 m2/ ha dengan nilai INP 36,60 %, kemudian Shorea leprosula sebesar 3,91 m2/ha dengan nilai INP 27,01 %, Ganua motleyana sebesar 2,87 m2/ha dengan INP 31,27 % dan Mezzettia parviflora sebesar 1,93 m2/ha dengan INP 17,38 %. Keanekaragaman pada tingkat pohon sebesar 3,25. Tabel 10 Analisis Vegetasi Tingkat Pohon (15 jenis dengan nilai dominansi tinggi) No
Nama lokal
Nama ilmiah
K
KR
F
FR
D
DR
INP
H’ 3.25
1 2
Rengas Meranti
Gluta renghas Shorea leprosula
31 17
13.54 7.42
0.52 0.42
8.05 6.5
4.48 3.91
15.01 13.09
36.60 27.01
3
Ketiau Makai/kemiting natai Bliantapah/ selumbar Tomau
Ganua motleyana
29
12.66
0.58
8.98
2.88
9.63
31.27
Mezzettia parviflora
11.5
5.02
0.38
5.88
1.93
6.48
17.38
Jackiopsis ornata
7.5
3.28
0.24
3.72
1.82
6.10
13.10
4
1.75
0.14
2.17
1.75
5.85
9.77
Ramin Pudu Lamanaduk Kumpang Penempalaan Sindur rawa/blansuit Kempas Bedaru rawa Jelutung/pantung
Gonystilus bancanus Artocarpus kemando Diospyros pilosanthera Knema cinerea Kokoona ohraceae
5.5 12 10 18 6.5
2.4 5.64 4.37 7.86 2.84
0.2 0.3 0.34 0.38 0.18
3.1 4.64 5.26 5.88 2.79
1.67 1.21 1.15 0.78 0.67
5.60 4.05 3.86 2.60 2.23
11.10 14.33 13.49 16.34 7.86
Sindora bruggemanii
9.5
4.15
0.3
4.64
0.58
1.95
10.74
Koompassia malaccensis Cantleya corniculata Dyera costulata
1.5 5 5
0.66 2.18 2.18
0.06 0.16 0.2
0.93 2.48 3.1
0.58 0.54 0.54
1.94 1.82 1.81
3.53 6.48 7.09
4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Dari hasil analisis vegetasi tingkat pohon, terdapat 15 jenis pakan yang dimakan bekantan yaitu Polyalthia leteriflora, Neoscortechinia sp., Parastemon urophyllus, Dyera costulata, Dialium indum, Ganua motleyana, Diospyros pilosanthera, Crudia teysmannii, Tetramerista glabra, Actinodaphne sp., Artocarpus anisophyllus, Gonystilus bancanus, Gluta renghas, Syzygium leucoxylon, dan Syzygium tawaense, dengan nilai keanekargaman pakan sebesar 1,25. Dari 15 jenis tersebut didapatkan bahwa jenis Gluta renghas, Ganua motleyana dan Gonystilus bancanus memiliki dominansi tinggi dibandingkan dengan jenis pakan yang lainnya. Dari hasil analisis vegetasi yang dilakukan di hutan rawa, didapat bahwa jenis pakan bekantan di hutan rawa akan lestari, hal ini didapat dengan melihat nilai kerapatan dari setiap jenis pakan pada setiap tingkatan. Pada jenis Ganua motleyana yang sangat disukai bekantan, nilai kerapatan jenis ini berbentuk piramid, dimana nilai semai lebih besar dibanding dengan nilai pancang, nilai pancang lebih besar dari nilai tiang, nilai tiang lebih besar dari nilai pohon dengan nilai semai sebesar 1400 ind/ha, pancang sebesar 272 ind/ha, tiang sebesar 44 ind/ha dan pohon sebesar 29 ind/ha. Pada jenis Syzygium leucoxylon nilai kerapatan pada setiap tingkatan membentuk piramid yang sama seperti jenis Ganua motleyana yang memiliki nilai semai sebesar 3200 ind/ha, pancang sebesar 120 ind/ha, tiang sebesar 10 ind/ha dan pohon sebesar 2 ind/ha. Jenis pakan bekantan ini akan lestari karena akan mengalami regenerasi atau pertumbuhan secara normal. Po T Pa
29
2
44
10
272
120
1400
3200
S (a)
(b)
Gambar 9 Piramida Kerapatan Semai (S), Pancang (Pa), Tiang (T), dan Pohon (Po). (a) Genua motleyana, (b) Syzygium leucoxylon
Pada jenis Neoscortechinia sp dan Crudia teysmanii terdapat perbedaan bentuk kerapatan pada setiap tingkatan. Pada jenis Neoscortechinia sp. nilai kerapatan pada pancang lebih kecil dibanding nilai kerapatan pada tiang. Besarnya nilai kerapatan semai adalah 100 ind/ha, pancang sebesar 16 ind/ha, tiang sebesar 18 ind/ha dan pohon sebesar 3 ind/ha. Jenis Crudia teysmanii memiliki bentuk kerapatan yang sama dengan jenis Neoscortechinia sp. tetapi pada jenis Crudia teysmanii kerapatan pada tingkat semai tidak ada. Besarnya nilai kerapatan semai sebesar 0 ind/ha, pancang sebesar 56 ind/ha, tiang sebesar 8 ind/ha dan pohon sebesar 3 ind/ha. Hal ini dapat terjadi karena adanya berbagai faktor yang mempengaruhi pertumbuhan atau regenerasi jenis tidak normal yaitu jenis tersebut kalah bersaing dengan jenis lain, penyebaran secara alami kurang dan juga adanya pengambilan anakan yang dilakukan oleh masyarakat atau pihakpihak tertentu untuk mensukseskan GERHAN (Gerakan Rehabilitasi Lahan), karena selama melakukan penelitian adanya pihak masyarakat atau pihak tertentu yang sedang mencari jenis anakan tertentu untuk kegiatan GERHAN. 5.3.2 Vegetasi Hutan Dataran Rendah 5.3.2.1 Tingkat Semai Komposisi vegetasi pada tingkat semai terdapat 64 jenis (37 jenis yang teridentifikasi nama ilmiahnya) dengan 27 famili. Jenis yang memiliki nilai penting yang tertinggi pada tingkat semai ini adalah Eugenis cupreae dari famili Myrtaceae sebesar 29,83 %, Urutan INP tinggi selanjutnya yaitu jenis Aporosa lucida dari famili Euphorbiaceae sebesar 27,35 %, Actinodaphne sp. dari famili Lauraceae sebesar 12,69 %. Pada tingkat semai nilai keanekaragamannya sebesar 2,99. Tabel 11 Analisis Vegetasi Tingkat Semai (15 jenis dengan nilai INP tinggi) No
Nama lokal
Nama ilmiah
K
KR
F
FR
INP
H’ 2.99
1
Jejambu
Eugenis cuprea
11700
22.20
0.52
7.62
29.83
2
Pepagar
Aporosa lucida
8850
16.79
0.72
10.56
27.35
3 4 5
Medang Koman Ubar
Actinodaphne sp Psychotria viridiflora
3750 2100 2600
7.12 3.98 4.93
0.38 0.42 0.22
5.57 6.16 3.23
12.69 10.14 8.16
6
Ubar merah
Syzygium leucoxylon
2400
4.55
0.22
3.23
7.78
Lanjutan Tabel 11 No
Nama lokal
Nama ilmiah
K
KR
F
FR
INP
H’ 2.99
7 8 9
Bekapas Medang kuning Reribu
Neoscortechinia sp.
1100 2750 1850
2.09 5.22 3.51
0.36 0.12 0.22
5.28 1.76 3.23
7.37 6.98 6.74
10 11 12 13 14 15
Luwari Kumpang Mentangur Jamai Ubar samak Ubar putih
Schima wallichii Knema cinerea
1000 1150 750 900 1500 950
1.90 2.18 1.42 1.71 2.85 1.80
0.28 0.26 0.24 0.2 0.12 0.14
4.11 3.81 3.52 2.93 1.76 2.05
6.00 5.99 4.94 4.64 4.61 3.86
Rhodamnia cinerea
Dari hasil analisis vegetasi tingkat semai didapat 9 jenis tumbuhan pakan yang dimakan bekantan yaitu Polyalthia lateriflora, Neoscortechinia sp., Parastemon urophyllus, Diospyros pilosanthera, Actinodaphne sp., Santiria laevigata, Gluta renghas, Syzygium leucoxylon dan Syzygium tawaense, dengan nilai tingkat keanekaragaman sebesar 0,58. Jenis Actinodaphne sp., Syzygium leucoxylon dan Neoscortechinia sp., memiliki nilai INP tinggi dibanding dengan jenis pakan yang lainnya. 5.3.2.2 Tingkat Pancang Komposisi vegetasi pada tingkat pancang terdapat 86 jenis (50 jenis yang dapat teridentifikasi nama ilmiahnya) dengan 26 famili. Jenis yang memiliki nilai penting (INP) tertinggi pada tingkat pancang ini adalah Aporosa lucida dengan famili Euphorbiaceae sebesar 20,42 %. Urutan INP tinggi selanjutnya yaitu jenis Eugenis cupreae dari famili Myrtaceae sebesar 15,66 %, Pometia alnifolia sebesar 9,34 %. Pada tingkat pancang didapat nilai tingkat keanekaragaman sebesar 3,61 Tabel 12 Analisis Vegetasi Tingkat Pancang (15 jenis dengan nilai INP tinggi) No 1 2 3 4 5 6
Nama lokal Pepagar Jejambu Belimbing kasai Jamai Ubar Luwari
Nama ilmiah
K
KR
F
FR
INP
H’
13.39 9.17 5.82 5.24
0.52 0.48 0.26 0.3
7.03 6.49 3.51 4.05
20.42 15.66 9.34 9.29
3.61
Rhodamnia cinerea
736 504 320 288
Schima wallichii
328 200
5.97 3.64
0.2 0.3
2.70 4.05
8.67 7.69
Aporosa lucida Eugenis cuprea Pometia alnifolia
Lanjutan Tabel 12 No 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Nama lokal
Nama ilmiah
Kumpang Pasak bumi Bebara
Knema cinerea Eurycoma longifolia
Pansulan Koman Reribu Medang Ubar merah
Pternandra coerulescens Psychotria viridiflora Actinodaphne sp Syzygium leucoxylon
Mentangur
K
KR
F
FR
INP
H’ 3.61
168 168 200 160 120
3.06 3.06 3.64 2.91 2.18
0.32 0.3 0.18 0.2 0.22
4.32 4.05 2.43 2.70 2.97
7.38 7.11 6.07 5.61 5.16
160 104 152 80
2.91 1.89 2.77 1.46
0.16 0.22 0.14 0.2
2.16 2.97 1.89 2.70
5.07 4.87 4.66 4.16
Dari hasil analisis vegetasi pada tingkat pancang didapat 13 jenis tumbuhan pakan yang dimakan bekantan, yaitu Polyalthia lateriflora, Neoscortechinia sp., Parastemon urophyllus, Dialium indum, Diospyros pilosanthera, Macarenga hypoleuca, Actinodaphne sp., Tetramerista glabra, Santiria laevigata, Artocarpus anisophyllus, Gluta renghas, Syzygium leucoxylon dan Syzygium tawaense dengan nili tingkat keanekaragaman sebesar 0,52. Jenis Actinodaphne sp. dan Syzygium leucoxylon memiliki nilai INP tinggi dibanding dengan jenis pakan yang lainnya. 5.3.2.3 Tingkat Tiang Komposisi vegetasi pada tingkat tiang terdapat 57 jenis (32 jenis yang teridentifikasi nama ilmiahnya) dengan 19 famili. Dilihat dari nilai dominansinya maka jenis Schima wallichii dari famili Theaceae memiliki nilai tertinggi yaitu 0,798 m2/ha dengan nilai INP sebesar 26,84%. Urutan selanjutnya yaitu jenis Syzygium sp. dari famili Myrtaceae sebesar 0,630 m2/ha dengan nilai INP sebesar 23,27%, jenis Pempaning buah besar dengan nilai dominansi sebesar 0,606 m2/ha dengan nilai INP sebesar 21,01 %. Pada tingkat tiang didapatkan tingkat keanekaragamannya sebesar 3,57 Tabel 13 Analisis Vegetasi Pada Tingkat Tiang (15 jenis dengan nilai dominansi tinggi) No
Nama lokal
1
Luwari
2 3
Ubar samak Pempaning buah besar
Nama ilmiah Schima wallichii
K
KR
F
FR
D
DR
INP
H’ 3.57
42
9.63
0.24
6.74
0.798
10.47
26.84
36 30
8.26 6.88
0.24 0.22
6.74 6.18
0.630 0.606
8.27 7.95
23.27 21.01
Lanjutan Tabel 13 No
Nama lokal
Nama ilmiah
K
KR
F
FR
D
DR
INP
H’ 3.57
4
Ubar
32
7.34
0.24
6.74
0.494
6.48
20.56
5 6 7 8 9
Medang tembaga Pempaning Gerunggang Butun Bangan
26 12 16 16 6
5.96 2.75 3.67 3.67 1.38
0.18 0.12 0.14 0.12 0.06
5.06 3.37 3.93 3.37 1.69
0.474 0.268 0.258 0.240 0.238
6.22 3.52 3.39 3.15 3.12
17.24 9.64 10.99 10.19 6.18
10 11 12 13
Ubar merah Kumpang darah Ubar putih Pansulan
14 12 10 10
3.21 2.75 2.29 2.29
0.1 0.1 0.1 0.1
2.81 2.81 2.81 2.81
0.220 0.182 0.180 0.176
2.89 2.39 2.36 2.31
8.91 7.95 7.46 7.41
14
Bintangur
10
2.29
0.1
2.81
0.172
2.26
7.36
15
Temboras
12
2.75
0.1
2.81
0.168
2.2
7.76
Cratoxylon arborescens
Syzygium leucoxylon Knema sp Syzygium tawaense Pternandra coerulescens Calophyllum pulcherrimum Memecylon sp
Dari hasil analisis vegetasi tingkat tiang didapatkan 11 jenis tumbuhan pakan yang dimakan bekantan yaitu Eugenia zeylanica, Diospyros pilosanthera, Macarenga hypoleuca, Actinodaphne sp., Tetramerista glabra, Calophyllum sp., Santiria laevigata, Artocarpus anisophyllus, Gluta renghas, Syzygium leucoxylon dan Syzygium tawaense dengan tingkat keanekaragaman sebesar 0,52. Jenis Syzygium leucoxylon dan Syzygium tawaense yang memiliki nilai dominansi tinggi dibanding jenis pakan lainnya. 5.3.2.4 Tingkat Pohon Komposisi vegetasi pada tingkat pohon terdapat 67 jenis (35 jenis yang teridentifikasi nama ilmiahnya) dengan 21 famili. Dilihat dari nilai dominansi, jenis Schima wallichii dari famili Theaceae memiliki nilai dominansi tertinggi sebesar 4,32 m2/ha dengan nilai INP sebesar 60,45 %. Urutan selanjutnya yaitu jenis Cratoxylon arborescens dari famili Guttaceae sebesar 2,89 m2/ha dengan nilai INP 42,85 % dan jenis Tomau sebesar 0,85 m2/ha dengan nilai INP 12,11 %. Pada tingkat pohon didapatkan tingkat keanekaragaman sebesar 3,23. Tabel 14 Analisis Vegetasi Tingkat Pohon (15 jenis dengan nilai dominansi tinggi) No 1 2
Nama lokal Luwari Gerunggang
Nama ilmiah Schima wallichii Cratoxylon arborescens
K 44.0 33.5
KR 22.17 16.88
F 0.66 0.46
FR 12.41 8.65
D 4.32 2.89
DR 25.88 17.33
INP
H’
60.45 42.85
3.23
Lanjutan Tabel 14 No 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Nama lokal Tomau Nyatuh Medang tembaga Meranti Semonu
Nama ilmiah Palaquium rostratum Shorea leprosula Elaeocarpus valetonii
K
KR
F
FR
D
DR
INP
H’
6.5 4.5
3.27 2.27
0.20 0.16
3.76 3.01
0.85 0.62
5.08 3.72
12.11 8.99
3.23
10.5 1.5 7.0 5.0
5.29 0.76 3.53 2.52
0.36 0.06 0.22 0.14
6.77 1.13 4.14 2.63
0.57 0.42 0.41 0.38
3.43 2.53 2.46 2.30
15.49 4.42 10.12 7.45
1.51 2.77 1.76 2.27 1.51
0.12 0.16 0.10 0.16 0.12
2.26 3.01 1.88 3.01 2.26
0.36 0.36 0.35 0.32 0.31
2.15 2.13 2.12 1.92 1.86
5.91 7.90 5.76 7.19 5.62
Medang Rengas Merang Kepodu Ubar
Actinodaphne sp Gluta renghas Tetramerista glabra
Kumpang Ubar putih Pempaning buah besar
Knema cinerea
3.0 5.5 3.5 4.5 3.0
Syzygium tawaense
3.5
1.76
0.12
2.26
0.29
1.71
5.73
5.0
2.52
0.14
2.63
0.26
1.54
6.69
Dari hasil analisis vegetasi tingkat pohon didapatkan 11 jenis tumbuhan pakan yang dimakan bekantan yaitu Neoscortechinia sp., Parastemon urophyllus, Garcinia dioica, Ganua motleyana, Diospyros pilosanthera, Actinodaphne sp., Tetramerista glabra, Santiria laevigata, Gluta renghas, Syzygium leucoxylon dan Syzygium tawaense dengan tingkat keanekaragaman sebesar 0,48. Jenis Actinodaphne sp., Gluta renghas dan Tetramerista glabra memiliki nilai dominansi tinggi dibandingkan dengan jenis pakan yang lainnya. Dari hasil analisis vegetasi pada hutan dataran rendah, didapatkan bahwa pakan bekantan akan lestari, ini dilihat dari tingkat keanekaragaman pakan pada semai, pancang, tiang dan pohon. Tingkat keanekaragaman pakan pada semai lebih tinggi dibandingkan pada tingkat keanekaragaman pakan pada pancang, tiang dan pohon. Tingkat keanekargaman pakan pada pancang dan tiang memiliki nilai yang sama besar yaitu 0,52, sedangkan tingkat keanekargaman pakan pada pohon lebih kecil dibandingkan tingkat keanekaragaman pakan pada tiang. Nilai perbandingan tingkat keanekaragaman pakan pada semai, pancang, tiang dan pohon di vegetasi hutan dataran rendah tidak terlampau besar jika dibandingkan pada tingkat keanekaragaman pakan pada semai, pancang, tiang dan pohon pada vegetasi hutan rawa. Tingkat keanekaragaman pakan pada hutan rawa lebih besar dibandingkan tingkat keanekaragaman pakan pada hutan dataran rendah.
VI.
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan Dari hasil penelitian ini diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Jumlah jenis tumbuhan pakan bekantan di hutan rawa lebih beranekaragam dibandingkan di hutan dataran rendah. Pada hutan rawa terdapat 20 jenis sedangkan pada hutan dataran rendah terdapat 17 jenis tumbuhan pakan bekantan. 2. Terdapat 5 jenis pakan yang disukai oleh bekantan yaitu Ganua motleyana, Syzygium leucoxylon, Neoscortechinia sp., Eugenia zeylanica dan Crudia teysmanii. 3. Dilihat dari struktur populasi tingkat semai, pancang, tiang dan pohon pada jenis Ganua motleyana dan Syzygium leucoxylon bahwa pakan bekantan akan lestari. 4. Tingkat keanekaragaman pakan bekantan pada tiap struktur tingkatan yang diukur melalui indeks Shannon –Wieners pada hutan rawa dan hutan dataran rendah. Pada hutan rawa didapat keanekaragaman pakan pada tingkat semai sebesar 1,47; pada tingkat pancang 1,18; pada tingkat tiang 1,69 dan pada tingkat pohon 1,25. Pada hutan dataran rendah didapat keanekaragaman pakan pada tingkat semai sebesar 0,58; pada tingkat pancang 0,52; pada tingkat tiang 0,52 dan pada tingkat pohon 0,48. 6.2 Saran 1. Perlunya pengendalian klotok (perahu mesin) yang keluar masuk kawasan, karena dapat merubah perilaku bekantan menjadi tidak alami, 2. Dengan diketahuinya keanekaragaman pakan bagi bekantan diharapkan habitat bekantan yang telah rusak baik akibat kebakaran, pertambangan liar, pembukaan lahan dan sebagainya dapat dilakukan kegitan rehabilitasi sesuai dengan jenis yang terdapat dihabitatnya,
3. Diperlukan waktu penelitian yang panjang atau lama untuk mendapatkan data yang lengkap mengenai pakan bekantan. Baik berupa bunga, buah, daun muda/pucuk, daun tua, paku-pakuan, cendawan dan insekta 4. Diperlukan penelitian mengenai pemanfaatan hutan dataran rendah sebagai kebutuhan atau habitat bagi bekantan, 5. Diperlukan penelitian tentang pola penggunaan waktu dan ruang bagi bekantan ketika air sungai lagi mengalami pasang.
1
DAFTAR PUSTAKA Alikodra, H. S., S. Yasuma, N. Santoso , R. Soekmadi, E. Suzanna. 1990. Studi Ekologi Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb, 1781) di Hutan Lindung Bukit Soeharto, Kalimantan Timur [catatan penelitian]. Proyek Peningkatan Perguruan Tinggi. Tidak Diterbitkan. Alikodra, H. S., S. Yasuma, A. H. Mustari. 1991. Studi Ekologi dan Konservasi Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb, 1781) di Hutan Lindung Bukit Soeharto, Kalimantan Timur [catatan penelitian]. Tidak Diterbitkan. Alikodra, H. S. dan A. H. Mustari. 1993. Studi Ekologi dan Konservasi Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb, 1781) di Delta Sungai Mahakam, Kalimantan Timur : Perilaku dan Fungsi Habitat [catatan penelitian]. Tidak Diterbitkan. Alikodra, H. S. 1997. Populasi dan Prilaku Bekantan (Nasalis larvatus) di Samboja Koala, Kalimantan Timur. Media Konservasi 5(2) : 67-72 Arief, H. 1998. Primata. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Bogor : Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bauchop, T. 1978. Digestion of Leaves in Vertebrata Arboreal Folivores, p. 139204. In : The Ecology of Arboreal Folivores (G. G. Montgomery ed.) Smithsonian Institute, Washingtone D. C. Bennett, E. L. 1983. The Banded Langur : Ecology of a Colobinae in West Malaysian Rain Forest. Ph. D. Dissertation. Cambridge : Cambridge University. Bennett, E. L. and A. C. Sebastian. 1988. Social Organization and Ecology of Proboscis Monkeys (Nasalis larvatus) in Mixed Coastal in Sarawak. Int. J. of Primatol. 9 (3) : 233-255. Bismark, M. 1980. Populasi dan Tingkah Laku Bekantan (Nasalis larvatus geoffr) di Suaka Margasatwa Tanjung Putting, Kalimantan Tengah. Laporan LPH No. 375. --------------. 1984. Biologi dan Konservasi Primata di Indonesia [makalah]. Bogor : Institut Pertanian Bogor, Fakultas Pascasarjana. --------------. 1986. Habitat dan Tingkah Laku Bekantan (Nasalis larvatus) di Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur. Kumpulan Seminar pada Forum FPS-IPB. Bogor. --------------. 1994. Studi Ekologi Makan Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb) di Hutan Bakau Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur [disertasi]. Bogor : institut Pertanian Bogor, Fakultas Pascasarjana. Chasen, F. N. 1940. A Handlist of Malaysian Mammals. Bull of The Raffl Mus 15 : 83-84.
2
Curtin, S. . nd D. J. Chivers. 1979. Leaf Eating Primate of Peninsular Malaysia, The Siamang and The Dusky eaf Monkey, p. 441-464. In : The Ecology of Arboreal Folivores (D. J. Chivers ed.). Yearbook of Physical Anthropology 20 : 421-439. Direktorat Jenderal Kehutanan. 1978. Pedoman Pengelolaan Satwa Langka Jilid I: Mammalia, Reptilia dan Amphibia. Bogor : Direktorat Jenderal Kehutanan. Galdikas, B. M. F. 1978. Orang utan Adaptation at Tanjung Puting Reserve, Central Borneo. Ph. D. Disersertation, Univ. California, Los Angeles (Unpublished). Hladik, C. M. 1978. Adaptive Strategies of Primates in Relation of Leaf Eating p. 373 – 395. The Ecology of Arboreal Folivore (G. G. Montgomery ed.) Smithsonian Institution Prees, Washington, D. C. Jolly, A. 1972. The Evolution of Primate behavior. Macmillan Publishing Co., Inc. New York. [LBN] Lembaga Biologi Nasional. 1982. Beberapa Jenis Mammalia. Bogor : LIPI. Loveless, A. R. 1989. Prinsip-prinsip Biologi Tumbuhan untuk Daerah Tropika, Jilid 2.Jakarta : PT. Gramedia Jakarta. hlm 242. Mardiastuti, A. 1982. Studi Populasi dan Habitat Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb) di Cagar Alam Pulau Kaget, Barito Kuala, Kalimantan Selatan [skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor, Fakultas Kehutanan. Martin, W. 1837. Notes in The Anatomy of The Proboscis Monkey (Simia nasalis). Proc. Of The Zool Soc of London : 70-74. Napier, J. R. and Napier, P. H. 1967. A Handbook of Living Primates. New York : Academic Pr. Oates, J. F. 1977. The guereza and its food, p. 276-313. In : Primate Ecology (T. H. Clutton-Brock ed.). Academic Press London. Odum,P. E. 1994. Dasar-dasar Ekologi. Ed ke-3. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. hlm. 132 Payne, J. Francis, C. M. Phillipps, K. 2000. Panduan Lapangan Mamalia di Kalimantan, Sabah, Serawak dan Brunei Darussalam. Kartikasari SN, Penerjemah. Jakarta : Wildlife Conservation Society and The Sabah Society. Terjemahan dari : A Field Guide of The Mammals of Borneo. Richards, P.W. 1964. The Tropical Rain Forest. The Cambridge University Press, Cambridge, hlm .2. Salter, R. E. and K. M. Aken. 1983. The Proboscis Monkey in Bako National Park, Sarawak. Tigerpaper 10(3) : 6-8.
3
Samingan, T. 1987. Metode dan Teknik Analisis Vegetasi Alam, Metode Pengukuran Vegetasi Darat, PPLH IPB Kursus Penyusunan Analisis Dampak Lingkungan Angkatan V. Bogor. hlm 5. Soendjoto, M. A., M. Akhdiyat, M. Haitami, I. Kusumajaya. 2001a. Persebaran dan Tipe Habitat Bekantan (Nasalis larvatus) di Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Media Konservasi 7 (2) : 55-61. ------------------------. 2001b. Bekantan di Hutan Galam : Quo Vadis. Warta Konservasi Lahan Basah 10 (1) : 18-19. Soendjoto, M. A., Djami’at, Johansyah, Hairani. 2002. Bekantan Juga Hidup di Hutan Karet. Warta Konservasi Lahan Basah 10 (4) : 27-28. Suharto, A. S. 1989. Bekantan, Monyet Belanda dari Kalimantan. Suara Alam No. 73 : 54-55. Jakarta : Gramedia Suharyo, S. P. 2002. Impian Seekor Bekantan. Bul Safari News 5 (12) : 9-15. Yasuma, S and H. S. Alikodra. Mammals of Bukit Soeharto Protection Forest. Samarinda : Japan International Cooperation Agency (JICA) and Directorate Ganeral of Higher Education. Yeager, C. P. 1989. Feeding Ecology of The Proboscis Monkey (Nasalis larvatus). Int. J. of Primatology 10 (6) : 497-529. ----------------. 1990. Notes on The Sexual Behaviour of The Proboscis Monkey (Nasalis larvatus). Am. J Primatol 21 : 223-227. ----------------. 1992. Changes in Proboscis Monkey (Nasalis Larvatus) Group Size and Density at Tanjung Puting National Park, Kalimantan Tengah, Indonesia. Tropical Biodiversity I (1) : 49-55. Wilson, C. C. and W. L. Wilson. 1975. The Influence of Selective logging on Primates and Some Other Animals in East Kalimantan. Folia Primatol 23 : 245-274.
Lampiran 1 Jenis Pakan Bekantan Berdasarkan Bagian yang Dimakan (12 kali ulangan) Pengamatan Jenis
I 1
Ganua motleyana Symlocos fasciculata Crudia teysmanii Eugenia zeylanica Parastemon urophyllus Dialium indum Actinodaphne sp Polyalthia lateriflora Santiria laevigata Syzygium leucoxylon
2
II 3
√ √
1
2
√
√ √
III 3
1 √
√ √
2
IV 3
1
2
√ √
V 3
1
2
VI 3
√
1
2
3
√ √
√
√ √
√ √
√ √ √
√
√ √
√
√ Syzygium tawaense Keterangan : 1 = Daun ; 2 = Bunga ; 3 = Buah.
√ √
√
√ √
57
…….lanjutan 1 Pengamtan Jenis
VII 1
VIII
2
3
√
Ganua motleyana Symlocos fasciculata Crudia teysmanii Eugenia zeylanica
1
IX
2
3
√
1
X
2
3
√
√
2
√ √
√
3
1
2
XII 3
√
√
1
2
3
√
√
√ √
Parastemon urophyllus Dialium indum Actinodaphne sp Polyalthia lateriflora Santiria laevigata
1
XI
√
√
√ √ √
√
√
√ √
√
Syzygium leucoxylon Syzygium tawaense Keterangan : 1 = daun ; 2 = Bunga ; 3 = Buah.
√ √
√
Lampiran 2 Jumlah Bekantan dalam Kelompok yang Diamati Nama Kelompok Gembrot Brother Dekil Paw
Dewasa
Remaja
Janatan
Betina
Jantan
Betina
1 1 2 1
6 2 3 2
2 1 0 1
0 0 0 2
Anak 0 0 0 1
Dewasa
Remaja
Janatan
Betina
Jantan
Betina
1 2 1 0
2 1 1 0
1 2 2 0
4 1 3 0
Anak 1 1 1 0
Dewasa
Remaja
Janatan
Betina
Jantan
Betina
1 1 1 1
3 2 2 2
2 0 1 1
0 1 0 1
Anak 1 0 0 1
58
Lampiran 3 Analisis Vegetasi Tingkat Semai Pada Hutan Rawa No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Nama lokal Bangan Banitan Bedaru rawa Bekapas Bekunyit Bentan Jejambu Kayu malam Kemanjing buah besar Kemanjing buah kecil Kengkoban Kepodu Keranji
Nama ilmiah
Famili
K
KR
F
FR
INP
H’
Annonaceae Icacinaceae Euphorbiaceae Ebenaceae
0.36 0.71 2.85 0.71 1.07
0.02 0.04 0.12 0.04 0.04
0.88 1.75 5.26 1.75 1.75
1.23 2.47 8.11 2.47 2.82
2.93
Polyalthia lateriflora Cantleya corniculata Neoscortechinia sp. Diospyros polyalthioide
50 100 400 100 150
Parastemon urophyllus Eugenis cuprea
Rosaceae Myrtaceae
Garcinia farvifolia
Clusiaceae Clusiaceae
150 400 800 100 100
1.07 2.85 5.69 0.71 0.71
0.02 0.08 0.12 0.04 0.02
0.88 3.51 5.26 1.75 0.88
1.94 6.36 10.96 2.47 1.59
50 300 50 1400 50
0.36 2.14 0.36 9.96 0.36
0.02 0.04 0.02 0.12 0.02
0.88 1.75 0.88 5.26 0.88
1.23 3.89 1.23 15.23 1.23
Dialium indum Ganua motleyana
Fabaceae Sapotaceae
Kumpang tahun Lamanaduk
Dacryodes rostrata Knema cinerea Knema sp Knema sp Diospyros pilosanthera
Burseraceae Myristicaceae Myristicaceae Myristicaceae Ebenaceae
50 1100 100 150 1600
0.36 7.83 0.71 1.07 11.39
0.02 0.16 0.02 0.02 0.16
0.88 7.02 0.88 0.88 7.02
1.23 14.85 1.59 1.94 18.41
Mahang
Macaranga hypoleuca
Euphorbiaceae
150
1.07
0.02
0.88
1.94
Ketiau Klingkala burung Krata kuwai Kumpang Kumpang merah
59
…….lanjutan 3 No 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42
Nama lokal Medang Medang kabui Mensira Merang Meranti Para Penjaring bukit Penyigai Poga Poga punai Puak Pudu Ramin Rengas Selumbar/bliantapah Tembaras Tempusu Tentulang Tomau Ubar merah Ubar putih
Nama ilmiah
Famili
K
KR
F
FR
INP
Actinodaphne sp Gonocaryum impressinervium Tetramerista glabra Shorea leprosula
Lauraceae Lauraceae Icacinaceae Theaceae Dipterocarpaceae
650 250 50 150 200
4.63 1.78 0.36 1.07 1.42
0.18 0.06 0.02 0.04 0.06
7.89 2.63 0.88 1.75 2.63
12.52 4.41 1.23 2.82 4.06
Amoora rubiginosa
Meliaceae
Santiria laevigata
Burseraceae
50 50 100 650 50
0.36 0.36 0.71 4.63 0.36
0.02 0.02 0.02 0.04 0.02
0.88 0.88 0.88 1.75 0.88
1.23 1.23 1.59 6.38 1.23
Artocarpus anisophyllus Artocarpus kemando Gonystilus bancanus Gluta renghas Jackiopsis ornata
Moraceae Moraceae Thymelaeaceae Anacardiaceae Rubiaceae
50 250 100 50 200
0.36 1.78 0.71 0.36 1.42
0.02 0.08 0.02 0.02 0.08
0.88 3.51 0.88 0.88 3.51
1.23 5.29 1.59 1.23 4.93
Memecylon sp
Melastomataceae
Fagraea caelanica
Loganiaceae
Syzygium leucoxylon
Myrtaceae
150 150 100 50 3200
1.07 1.07 0.71 0.36 22.78
0.04 0.04 0.04 0.02 0.24
1.75 1.75 1.75 0.88 10.53
2.82 2.82 2.47 1.23 33.30
Syzygium tawaense
Myrtaceae
200
1.42
0.04
1.75
3.18
H’
60
Lampiran 4 Analisis Vegetasi Tingkat Pancang Pada Hutan Rawa No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Nama lokal Asam-asam/kepodas Bangan Banitan Bati-bati Bebara Bedaru rawa Bekapas Bekunyit Bentan Blantuka Gembor Jangkang Jejambu Jejantik Jelutung/pantung Kayu malam Kemanjing buah besar Kemanjing buah kecil Kengkoban Kepodu Keranji Ketiau
Nama ilmiah
Famili
K
KR
F
FR
INP
H’
Diciyoneura acuminata
Fabaceae Annonaceae Myrtaceae
1.65 2.94 0.74 0.18 0.37
0.14 0.2 0.08 0.02 0.04
1.90 2.71 1.08 0.27 0.54
3.55 5.65 1.82 0.45 0.91
3.63
Polyalthia lateriflora Eugenia zeylanica
72 128 32 8 16
Cantleya corniculata Neoscortechinia sp. Diospyros polyalthioide Parastemon urophyllus Lophopetalum javanicum
Icacinaceae Euphorbiaceae Ebenaceae Rosaceae Calastraceae
200 16 72 64 8
4.60 0.37 1.65 1.47 0.18
0.34 0.04 0.16 0.1 0.02
4.61 0.54 2.17 1.36 0.27
9.20 0.91 3.82 2.83 0.45
Dehaasia incrassata Xylopia malayana Eugenis cuprea Baccaurea sumatrana Dyera costulata
Lauraceae Annonaceae Myrtaceae
16 48 264 8 8
0.37 1.10 6.07 0.18 0.18
0.02 0.1 0.22 0.02 0.02
0.27 1.36 2.98 0.27 0.27
0.64 2.46 9.05 0.45 0.45
104 56 40 56 24
2.39 1.29 0.92 1.29 0.55
0.12 0.12 0.1 0.12 0.06
1.63 1.63 1.36 1.63 0.81
4.02 2.91 2.27 2.91 1.36
8 272
0.18 6.25
0.02 0.4
0.27 5.42
0.45 11.67
Apocynaceae
Garcinia farvifolia
Clusiaceae Clusiaceae
Dialium indum Ganua motleyana
Fabaceae Sapotaceae
61
…..lanjutan 4 No 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45
Nama lokal Klingkala burung Kopi hutan Krata kuwai Kumpang Lamanaduk Makai/Kemiting natai Mampai Mandoking Mantangur Medang Medang kabui Mensira Mentabuan Meranti Nyatuh jangkar Pansulan Para Pempaning Penyigai Pepagar Poga punai Puak Pudu
Nama ilmiah
Famili
K
KR
F
FR
INP
Rubiaceae Dacryodes rostrata Knema cinerea Diospyros pilosanthera
Burseraceae Myristicaceae Ebenaceae
8 8 8 184 56
0.18 0.18 0.18 4.23 1.29
0.02 0.02 0.02 0.4 0.14
0.27 0.27 0.27 5.42 1.90
0.45 0.45 0.45 9.65 3.18
Mezzettia parviflora Crudia teysmannii
Annonaceae Caesalpiniaceae
Actinodaphne sp
Lauraceae
16 56 8 8 296
0.37 1.29 0.18 0.18 6.80
0.04 0.1 0.02 0.02 0.36
0.54 1.36 0.27 0.27 4.88
0.91 2.64 0.45 0.45 11.68
Gonocaryum impressinervium
Lauraceae Icacinaceae
Shorea leprosula Palaquium rostratum
Dipterocarpaceae Sapotaceae
152 24 16 32 8
3.49 0.55 0.37 0.74 0.18
0.24 0.04 0.04 0.08 0.02
3.25 0.54 0.54 1.08 0.27
6.74 1.09 0.91 1.82 0.45
Pternandra coerulescens Amoora rubiginosa Quercus bennettii
Melastomataceae Meliaceae Fagaceae
Aporosa lucida
Euphorbiaceae
264 48 16 80 24
6.07 1.10 0.37 1.84 0.55
0.34 0.12 0.04 0.12 0.06
4.61 1.63 0.54 1.63 0.81
10.67 2.73 0.91 3.46 1.36
Artocarpus anisophyllus Artocarpus kemando
Burseraceae Moraceae Moraceae
64 288 48
1.47 6.62 1.10
0.1 0.5 0.12
1.36 6.78 1.63
2.83 13.39 2.73
H’
62
…….lanjutan 4 No 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64
Nama lokal Purang Rambutan hutan Ramin Rengas Resak Romania Saruh Selumbar/bliantapah Semonu Sindur rawa/blansuit Sugi babi Tembaras Tempusu Tentulang Tomau Ubar basung Ubar merah Ubar minyak Ubar putih
Nama ilmiah
Famili
K
KR
F
FR
INP
Bouea oppositifolia Cuponiopsis sp Gonystilus bancanus Gluta renghas
Anacardiaceae Sapindaceae Thymelaeaceae Anacardiaceae
8 16 104 112 40
0.18 0.37 2.39 2.57 0.92
0.02 0.02 0.22 0.18 0.08
0.27 0.27 2.98 2.44 1.08
0.45 0.64 5.37 5.01 2.00
Vattica rassak
Dipterocarpaceae
Jackiopsis ornata Elaeocarpus valetonii Sindora bruggemanii
Rubiaceae Elaeocarpaceae Fabaceae
40 64 8 8 24
0.92 1.47 0.18 0.18 0.55
0.08 0.14 0.02 0.02 0.06
1.08 1.90 0.27 0.27 0.81
2.00 3.37 0.45 0.45 1.36
Memecylon sp
Melastomataceae
Fagraea caelanica
Loganiaceae
56 224 32 40 24
1.29 5.15 0.74 0.92 0.55
0.08 0.28 0.06 0.08 0.06
1.08 3.79 0.81 1.08 0.81
2.37 8.94 1.55 2.00 1.36
112 120 8 80
2.57 2.76 0.18 1.84
0.24 0.18 0.02 0.12
3.25 2.44 0.27 1.63
5.83 5.20 0.45 1.63
Syzygium leucoxylon Syzygium tawaense
Myrtaceae Myrtaceae Myrtaceae Myrtaceae
H’
63
Lampiran 5 Analisis Vegetasi Tingkat Tiang Pada Hutan Rawa No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Nama lokal Abu-abu rawa Asam-asam/kepodas Banitan Bedaru rawa Bejungkung Bekapas Bekunyit Bentan Blantuka Gembor Girah Jangkang Jejantik Jelutung/pantung Kemanjing buah besar Kemau Kengkoban Kepodu Ketiau Kumpang Lamanaduk Mahabai
Nama ilmiah
Famili
K
KR
F
FR
D
DR
INP
H’
Symplocos fasciculata Diciyoneura acuminata Polyalthia lateriflora Cantleya corniculata
Symplocaceae Fabaceae Annonaceae Icacinaceae
2 6 24 28 2
0.36 1.08 4.33 5.05 0.36
0.02 0.06 0.18 0.2 0.02
0.45 1.35 4.04 4.48 0.45
0.046 0.112 0.392 0.474 0.042
0.50 1.21 4.22 5.10 0.45
1.30 3.63 12.59 14.64 1.26
3.36
Neoscortechinia sp. Diospyros polyalthioide Parastemon urophyllus Lophopetalum javanicum Dehaasia incrassata
Euphorbiaceae Ebenaceae Rosaceae Calastraceae Lauraceae
18 12 4 4 4
3.25 2.17 0.72 0.72 0.72
0.16 0.1 0.04 0.04 0.04
3.59 2.24 0.90 0.90 0.90
0.332 0.178 0.06 0.058 0.068
3.57 1.92 0.65 0.62 0.73
10.41 6.32 2.26 2.24 2.35
Xylopia malayana Baccaurea sumatrana Dyera costulata Garcinia farvifolia
Annonaceae Apocynaceae Clusiaceae
2 2 2 14 8
0.36 0.36 0.36 2.53 1.44
0.02 0.02 0.02 0.1 0.08
0.45 0.45 0.45 2.24 1.79
0.022 0.036 0.016 0.242 0.182
0.24 0.39 0.17 2.60 1.96
1.05 1.20 0.98 7.37 5.20
Ganua motleyana Knema cinerea
Sapotaceae Myristicaceae
2 14 4 44 30
0.36 2.53 0.72 7.94 5.42
0.02 0.12 0.04 0.3 0.26
0.45 2.69 0.90 6.73 5.83
0.03 0.232 0.064 0.772 0.574
0.32 2.50 0.69 8.31 6.18
1.13 7.71 2.31 22.98 17.42
Diospyros pilosanthera Mezzettia sp
Ebenaceae Annonaceae
26 2
4.69 0.36
0.2 0.02
4.48 0.45
0.426 0.02
4.59 0.22
13.76 1.02
64
…..lanjutan 5 No 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47
Nama lokal
Nama ilmiah
Famili
K
KR
F
FR
D
DR
INP
0.72 1.44 0.36 5.42 0.36
0.04 0.08 0.02 0.24 0.02
0.90 1.79 0.45 5.38 0.45
0.064 0.128 0.02 0.456 0.018
0.69 1.38 0.22 4.91 0.19
2.31 4.62 1.02 15.70 1.00
Macarenga sp Crudia teysmannii
Caesalpiniaceae
Actinodaphne sp Gonocaryum impressinervium
Lauraceae Icacinaceae
4 8 2 30 2
Tetramerista glabra Shorea leprosula Pternandra coerulescens Aglaia sp
Theaceae Dipterocarpaceae Melastomataceae Meliaceae
2 12 16 36 4
0.36 2.17 2.89 6.50 0.72
0.02 0.1 0.14 0.2 0.04
0.45 2.24 3.14 4.48 0.90
0.02 0.192 0.348 0.46 0.082
0.22 2.07 3.75 4.95 0.88
1.02 6.47 9.77 15.93 2.50
Kokoona ohraceae Artocarpus anisophyllus Artocarpus kemando Bouea oppositifolia Gonystilus bancanus
Celastraceae Moraceae Moraceae Anacardiaceae Thymelaeaceae
6 66 10 6 2
1.08 11.91 1.81 1.08 0.36
0.06 0.42 0.1 0.06 0.02
1.35 9.42 2.24 1.35 0.45
0.11 1.196 0.14 0.126 0.056
1.18 12.9 1.51 1.36 0.60
3.61 34.20 5.55 3.78 1.41
Gluta renghas Vattica rassak
Anacardiaceae Dipterocarpaceae
Selumbar/bliantapah Sindur rawa/blansuit Tembaras Tempusu Ubar basung
Jackiopsis ornata Sindora bruggemanii
Rubiaceae Fabaceae
34 12 2 2 2
6.14 2.17 0.36 0.36 0.36
0.28 0.12 0.02 0.02 0.02
6.28 2.69 0.45 0.45 0.45
0.572 0.19 0.056 0.04 0.04
6.16 2.05 0.60 0.43 0.43
18.57 6.90 1.41 1.24 1.24
Memecylon sp
Melastomataceae
Ubar merah Ubar putih
Syzygium leucoxylon
Myrtaceae Myrtaceae
6 8 10 10
1.08 1.44 1.81 1.81
0.04 0.06 0.1 0.1
0.90 1.35 2.24 2.24
0.078 0.09 0.124 0.152
0.84 0.97 1.33 1.64
2.82 3.76 5.38 5.68
Syzygium tawaense
Myrtaceae
8
1.44
0.08
1.79
0.15
1.61
4.85
Mahang Mampai Mandoking Medang Mensira Mentabuan Merang Meranti Pansulan Parak Penempalaan Puak Pudu Ramania Ramin Rengas Resak Saruh
H’
65
Lampiran 6 Analisis Vegetasi Tingkat Pohon Pada Hutan Rawa No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Nama lokal Asam-asam/kepodas Banitan Bedaru rawa Bejungkung Bekapas Bekunyit Bentan Blantuka Jangkang Jelutung/pantung Kariwaya Kayu malam Kemanjing buah besar Kemanjing buah kecil Kempas Kengkoban Kepodu Keranji Ketiau Kratakuai Kumpang Lamanaduk
Nama ilmiah
Famili
K
KR
F
FR
D
DR
INP
H’
Diciyoneura acuminata Polyalthia lateriflora Cantleya corniculata
Fabaceae Annonaceae Icacinaceae Euphorbiaceae
1.09 0.44 2.18 0.22 1.31
0.1 0.04 0.16 0.02 0.12
1.55 0.62 2.48 0.31 1.86
0.14 0.05 0.54 0.12 0.17
0.47 0.17 1.82 0.40 0.57
3.11 1.23 6.48 0.93 3.74
3.25
Neoscortechinia sp.
2.5 1 5 0.5 3
Diospyros polyalthioide Parastemon urophyllus Lophopetalum javanicum Xylopia malayana Dyera costulata
Ebenaceae Rosaceae Calastraceae Annonaceae Apocynaceae
4 0.5 1 1.5 5
1.75 0.22 0.44 0.66 2.18
0.14 0.02 0.04 0.04 0.2
2.17 0.31 0.62 0.62 3.1
0.34 0.02 0.08 0.07 0.54
1.15 0.06 0.25 0.25 1.81
5.07 0.59 1.31 1.53 7.09
Ficus sumatrana
Moraceae
Garcinia farvifolia
Clusiaceae Clusiaceae Fabaceae
1 1.5 1.5 0.5 1.5
0.44 0.66 0.66 0.22 0.66
0.04 0.04 0.06 0.02 0.06
0.62 0.62 0.93 0.31 0.93
0.36 0.10 0.11 0.02 0.58
1.22 0.32 0.35 0.07 1.94
2.28 1.60 1.94 0.60 3.53
Dialium indum Ganua motleyana Dacryodes rostrara
Fabaceae Sapotaceae Burseraceae
1 4.5 1.5 29 0.5
0.44 1.97 0.66 12.66 0.22
0.02 0.14 0.06 0.58 0.02
0.31 2.17 0.93 8.98 0.31
0.04 0.54 0.15 2.87 0.02
0.13 1.80 0.49 9.63 0.06
0.88 5.94 2.08 31.27 0.59
Knema cinerea Diospyros pilosanthera
Myristicaceae Ebenaceae
18 10
7.86 4.37
0.38 0.34
5.88 5.26
0.78 1.15
2.60 3.86
16.34 13.49
Koompassia malaccensis
66
…..lanjutan 6 No. 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47
Nama lokal
Nama ilmiah
Famili
K
KR
F
FR
D
DR
INP
Makai/kemiting natai Mampai Medang Mentibu
Mezzettia parviflora Crudia teysmannii Actinodaphne sp
Annonaceae Caesalpiniaceae Lauraceae
Merang Meranti Nyatuh jangkar Pembelinangan Penaga/munsap
Tetramerista glabra
Theaceae
11.5 2.5 3.5 1 1.5
5.02 1.09 1.53 0.44 0.66
0.38 0.06 0.14 0.04 0.06
5.88 0.93 2.17 0.62 0.93
1.93 0.16 0.19 0.09 0.33
6.48 0.55 0.62 0.29 1.09
17.38 2.57 4.32 1.35 2.68
Shorea leprosula Palaquium rostratum
Dipterocarpaceae Sapotaceae
Calophyllum soulauri Kokoona ohraceae
Clusiaceae Celastraceae
17 1 0.5 1 6.5
7.42 0.44 0.22 0.44 2.84
0.42 0.04 0.02 0.04 0.18
6.5 0.62 0.31 0.62 2.79
3.91 0.34 0.06 0.24 0.67
13.09 1.14 0.20 0.80 2.23
27.01 2.20 0.73 1.86 7.86
Garcinia balica Artocarpus anisophyllus Artocarpus kemando Alstonia scholaris Bouea oppositifolia
Euphorbiaceae Moraceae Moraceae Apocynaceae Anacardiaceae
0.5 6 12 0.5 1.5
0.22 2.62 5.64 0.22 0.66
0.02 0.22 0.3 0.02 0.06
0.31 3.41 4.64 0.31 0.93
0.09 0.33 1.21 0.43 0.08
0.31 1.09 4.05 1.44 0.26
0.84 7.12 14.33 1.97 1.85
Gonystilus bancanus Gluta renghas Vattica rassak
Thymelaeaceae Anacardiaceae Dipterocarpaceae
Phobe grandis
Lauraceae
5.5 31 2 0.5 0.5
2.4 13.54 0.87 0.22 0.22
0.2 0.52 0.08 0.02 0.02
3.1 8.05 1.24 0.31 0.31
1.67 4.48 0.11 0.04 0.14
5.60 15.01 0.38 0.13 0.48
11.10 36.60 2.49 0.66 1.01
Jackiopsis ornata Sindora bruggemanii
Rubiaceae Fabaceae
0.5 7.5 9.5 0.5
0.22 3.28 4.15 0.22
0.02 0.24 0.3 0.02
0.31 3.72 4.64 0.31
0.03 1.82 0.58 0.02
0.11 6.10 1.95 0.06
0.64 13.10 10.74 0.59
Memecylon sp
Melastomataceae
0.5
0.22
0.02
0.31
0.02
0.05
0.58
Penempalaan Perapat Puak Pudu Pulai Ramania Ramin Rengas Resak Rindawangi Saru batu Saruh selumbar/Bliantapah Sindur rawa/blansuit Sugi babi Tembaras
H’
67
…..lanjutan 6 No. 48 49 50 51 52
Nama lokal Tentangis Tomau Ubar basung Ubar merah Ubar putih
Nama ilmiah
Syzygium leucoxylon Syzygium tawaense
Famili
K
KR
F
FR
D
DR
INP
Myrtaceae Myrtaceae Myrtaceae
0.5 4 2 1.5 2
0.22 1.75 0.87 0.66 0.87
0.02 0.14 0.08 0.06 0.08
0.31 2.17 1.24 0.93 1.24
0.03 1.75 0.09 0.14 0.11
0.09 5.85 0.30 0.46 0.38
0.62 9.77 2.41 2.05 2.49
H’
68
Lampiran 7 Analisis Vegetasi Tingkat Semai Pada Hutan Dataran Rendah No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Nama lokal Bangan Banitan Bedaru rawa Bekapas Belampipisan Belimbing kasai Bentan Betapai Butun Cempaka piring Habu-habu Idur Jamai Jane Jaring tupai Jejambu Jirak Kapayang Kayu malam Kelangkala bukit Kemanjing buah kecil Kepodu Keranji
Nama ilmiah Polyalthia lateriflora Cantleya corniculata Neoscortechinia sp.
Famili
K
KR
F
FR
INP
H’
0.38 0.09 0.19 2.09 0.09
0.08 0.02 0.04 0.36 0.02
1.17 0.29 0.59 5.28 0.29
1.55 0.39 0.78 7.37 0.39
2.99
Annonaceae Icacinaceae Euphorbiaceae
200 50 100 1100 50 250 50 50 50 500
0.47 0.09 0.09 0.09 0.95
0.04 0.02 0.02 0.02 0.08
0.59 0.29 0.29 0.29 1.17
1.06 0.39 0.39 0.39 2.12
50 50 900 200 50
0.09 0.09 1.71 0.38 0.09
0.02 0.02 0.2 0.06 0.02
0.29 0.29 2.93 0.88 0.29
0.39 0.39 4.64 1.26 0.39
Pometia alnifolia Parastemon urophyllus Ctenolophon parvifolius
Rosaceae Linaceae
Ixora stenophylla
Rubiaceae
Symplecos celastrifolia Nephelium eriopetalum Rhodamnia cinerea
Symplocaceae Sapindaceae
Pithecellobium rosulatum
Fabaceae
Eugenis cuprea
Myrtaceae
11700 100 150 100 100
22.2 0.19 0.28 0.19 0.19
0.52 0.02 0.04 0.04 0.02
7.62 0.29 0.59 0.59 0.29
29.83 0.48 0.87 0.78 0.48
Clusiaceae
50 100 200
0.09 0.19 0.38
0.02 0.04 0.08
0.29 0.59 1.17
0.39 0.78 1.55
Dialium indum
Fabaceae
69
……lanjutan 7 No 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47
Nama lokal Koman Kopi layu hitam Kumpang Kumpang merah Lamanaduk Luwari Mandoking Marigalang Medang
Nama ilmiah
Famili
K
KR
F
FR
INP
Psychotria viridiflora Knema cinerea Knema sp Diospyros pilosanthera
Rubiaceae Rubiaceae Myristicaceae Myristicaceae Ebenaceae
2100 850 1150 300 100
3.98 1.61 2.18 0.57 0.19
0.42 0.1 0.26 0.06 0.02
6.16 1.47 3.81 0.88 0.29
10.14 3.08 5.99 1.45 0.48
Schima wallichii
Theaceae
Actinodaphne sp
Lauraceae Lauraceae
1000 150 300 3750 50
1.9 0.28 0.57 7.12 0.09
0.28 0.06 0.04 0.38 0.02
4.11 0.88 0.59 5.57 0.29
6 1.16 1.16 12.69 0.39
2750 350 750 50 300
5.22 0.66 1.42 0.09 0.57
0.12 0.04 0.24 0.02 0.06
1.76 0.59 3.52 0.29 0.88
6.98 1.25 4.94 0.39 1.45
50 300 50 450 450
0.09 0.57 0.09 0.85 0.85
0.02 0.08 0.02 0.1 0.18
0.29 1.17 0.29 1.47 2.64
0.39 1.74 0.39 2.32 3.49
300 8850 600 350
0.57 16.79 1.14 0.66
0.1 0.72 0.12 0.06
1.47 10.56 1.76 0.88
2.04 27.35 2.9 1.54
Medang kabui Medang kuning Medang tembaga Mentangur Nyatuh Pamai Pansulan Pasak bumi Pempaning Pempaning buah besar Penjarang bukit Penseluangan Pepagar Poga Poga beruang
Lauraceae Lauraceae Palaquium rostratum
Sapotaceae
Pternandra coerulescens Eurycoma longifolia Quercus bennettii Quercus sp
Melastomataceae Simaraubaceae Fagaceae Fagaceae
Aporosa lucida Santiria laevigata
Euphorbiaceae Burseraceae Burseraceae
H’
70
…..lanjutan 7 No 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64
Nama lokal Pondu Pudu Rengas Reribu Resak Semonga Semonu Srigunung Sundi Tembaras Tentulang Tomau Ubar Ubar basung Ubar merah Ubar putih Ubar samak
Nama ilmiah
Famili
K
KR
F
FR
INP
Garcinia dulcis Artocarpus kemando Gluta renghas
Clusiaceae Moraceae Anacardiaceae
Vattica rassak
Dipterocarpaceae
100 300 200 1850 100
0.19 0.57 0.38 3.51 0.19
0.04 0.02 0.08 0.22 0.02
0.59 0.29 1.17 3.23 0.29
0.78 0.86 1.55 6.74 0.48
Santiria apiculata Elaeocarpus valetonii Diospyros burifolia
Burseraceae Elaeocarpaceae Ebenaceae
Memecylon sp
Melastomataceae
100 200 50 50 200
0.19 0.38 0.09 0.09 0.38
0.04 0.08 0.02 0.02 0.08
0.59 1.17 0.29 0.29 1.17
0.78 1.55 0.39 0.39 1.55
Fagraea caelanica
Loganiaceae
Syzygium leucoxylon
Myrtaceae Myrtaceae Myrtaceae
450 100 2600 50 2400
0.85 0.19 4.93 0.09 4.55
0.12 0.04 0.22 0.02 0.22
1.76 0.59 3.23 0.29 3.23
2.61 0.78 8.16 0.39 7.78
Myrtaceae Myrtaceae
950 1500
1.8 2.85
0.14 0.12
2.05 1.76
3.86 4.61
Syzygium tawaense
H’
71
Lampiran 8 Analisis Vegetasi Tingkat Pancang Pada Hutan Dataran Rendah No
Nama lokal
Nama ilmiah
Famili
K
KR
F
FR
INP
1
Bangan
2
Banitan
Polyalthia lateriflora
3
Bayuwan
Crudia gracilis
8
0.15
0.02
0.27
0.42
4
Bebara
200
3.64
0.18
2.43
6.07
5
Bedaru
24
0.44
0.04
0.54
0.98
Annonaceae
32
0.58
0.08
1.08
1.66
64
1.16
0.14
1.89
3.06
6
Bedaru rawa
Cantleya corniculata
Icacinaceae
24
0.44
0.06
0.81
1.25
7
Bekapas
Neoscortechinia sp.
Euphorbiaceae
32
0.58
0.08
1.08
1.66
8
Belampipisan
8
0.15
0.02
0.27
0.42
9
Belimbing kasai
Pometia alnifolia
320
5.82
0.26
3.51
9.34
10
Bentan
Parastemon urophyllus
Rosaceae
32
0.58
0.06
0.81
1.39
11
Buku nisan
Pleiocarpidia polyneura
Rubiaceae
8
0.15
0.02
0.27
0.42
12
Bulu-bulu
Ficus vasculosa
Moraceae
8
0.15
0.02
0.27
0.42
13
Butun
8
0.15
0.02
0.27
0.42
14
Cempaka piring
Ixora stenophylla
Rubiaceae
112
2.04
0.14
1.89
3.93
15
Gambir
8
0.15
0.02
0.27
0.42
16
Gerunggang
Cratoxylon arborescens
Hyperieaceae
24
0.44
0.04
0.54
0.98
17
Idur
Nephelium eriopetalum
Sapindaceae
48
0.87
0.08
1.08
1.95
18
Jane
8
0.15
0.02
0.27
0.42
19
Jejambu
Eugenis cuprea
504
9.17
0.48
6.49
15.66
20
Jamai
Rhodamnia cinerea
288
5.24
0.3
4.05
9.29
21
Jeramun
8
0.15
0.02
0.27
0.42
22
Jira
8
0.15
0.02
0.27
0.42
Helicia excelsa
Myrtaceae
Proteaceae
H’ 3.61
72
…..lanjutan 8 No 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46
Nama lokal Kapayang Kayu malam Kemanjing buah besar Kemanjing buah kecil Kepodu Keranji Koman Kopi hutan Kopi layu hitam Kratakuai Kubing Kumapang Lamanaduk Luwari Mahang Manggis hutan Medang Medang kabui Medang kuning Mensira Mentangur Merang Pamai Pansulan
Nama ilmiah
Famili
K
KR
F
FR
INP
24 56 8 64 8
0.44 1.02 0.15 1.16 0.15
0.06 0.08 0.02 0.1 0.02
0.81 1.08 0.27 1.35 0.27
1.25 2.1 0.42 2.52 0.42
0.44 0.44 2.18 0.15 0.29
0.06 0.06 0.22 0.02 0.04
0.81 0.81 2.97 0.27 0.54
1.25 1.25 5.16 0.42 0.83
Garcinia farvifolia
Clusiaceae Clusiaceae
Dialium indum
Fabaceae
Dacryodes rostrara
Rubiaceae Rubiaceae Burseraceae
24 24 120 8 16
Knema cinerea Diospyros pilosanthera Schima wallichii Macaranga hypoleuca
Myristicaceae Ebenaceae Theaceae Euphorbiaceae
32 168 48 200 8
0.58 3.06 0.87 3.64 0.15
0.06 0.32 0.08 0.3 0.02
0.81 4.32 1.08 4.05 0.27
1.39 7.38 1.95 7.69 0.42
Garcinia sp. Actinodaphne sp
Gonocaryum impressinervium
Clusiaceae Lauraceae Lauraceae Lauraceae Icacinaceae
24 104 24 8 8
0.44 1.89 0.44 0.15 0.15
0.04 0.22 0.04 0.02 0.02
0.54 2.97 0.54 0.27 0.27
0.98 4.87 0.98 0.42 0.42
Tetramerista glabra
Theaceae
Pternandra coerulescens
Melastomataceae
80 40 16 160
1.46 0.73 0.29 2.91
0.2 0.06 0.02 0.2
2.7 0.81 0.27 2.7
4.16 1.54 0.56 5.61
H’
73
…..lanjutan 8 No 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69
Nama lokal
Nama ilmiah
Famili
K
KR
F
FR
INP
Calophyllum pulcherrimum
Clusiaceae
8 24
0.15 0.44
0.02 0.02
0.27 0.27
0.42 0.71
Amoora rubiginosa Eurycoma longifolia Quercus bennettii
Meliaceae Simaraubaceae Fagaceae
16 168 8 48 8
0.29 3.06 0.15 0.87 0.15
0.04 0.3 0.02 0.06 0.02
0.54 4.05 0.27 0.81 0.27
0.83 7.11 0.42 1.68 0.42
88 56 736 8 40
1.6 1.02 13.39 0.15 0.73
0.16 0.12 0.52 0.02 0.08
2.16 1.62 7.03 0.27 1.08
3.76 2.64 20.42 0.42 1.81
16 24 16 32
0.29 0.44 0.29 0.58
0.04 0.06 0.04 0.04
0.54 0.81 0.54 0.54
0.83 1.25 0.83 1.12
32 32 160 16 8
0.58 0.58 2.91 0.29 0.15
0.06 0.08 0.16 0.04 0.02
0.81 1.08 2.16 0.54 0.27
1.39 1.66 5.07 0.83 0.42
8 8
0.15 0.15
0.02 0.02
0.27 0.27
0.42 0.42
Pantirana Pantis Para Pasak bumi Pempaning Pempaning buah besar Pempaning buah kecil Penjarang bukit Penseluangan Pepagar Pisang-pisang Poga Poga beruang Poga punai Pondu Puak Pudu Ramania Rengas Reribu Resak Sampa Sapu gigi
Aporosa lucida
Euphorbiaceae
Santiria laevigata
Burseraceae Burseraceae
Garcinia dulcis Artocarpus anisophyllus
Clusiaceae Moraceae
Artocarpus kemando Bouea oppositifolia Gluta renghas
Moraceae Anacardiaceae Anacardiaceae
Vattica rassak
Dipterocarpaceae
H’
74
…..lanjutan 8 No 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86
Nama lokal Saru Selumbar/Bliantapah Semonu Srigunung Sugi babi Sundi Tembaras Tentulang Tetugal Tomau Tunding Ubar Ubar basung Ubar merah Ubar minyak Ubar putih Ubar samak
Nama ilmiah
Famili
K
KR
F
FR
INP
Rubiaceae Elaeocarpaceae Ebenaceae
8 8 32 8 8
0.15 0.15 0.58 0.15 0.15
0.02 0.02 0.04 0.02 0.02
0.27 0.27 0.54 0.27 0.27
0.42 0.42 1.12 0.42 0.42
Memecylon sp Fagraea caelanica Popowia bancana
Melastomataceae Loganiaceae Annonaceae
8 48 32 104 8
0.15 0.87 0.58 1.89 0.15
0.02 0.12 0.04 0.12 0.02
0.27 1.62 0.54 1.62 0.27
0.42 2.49 1.12 3.51 0.42
Syzygium sp Syzygium sp Syzygium leucoxylon Syzygium sp
Myrtaceae Myrtaceae Myrtaceae Myrtaceae
8 328 16 152 8
0.15 5.97 0.29 2.77 0.15
0.02 0.2 0.04 0.14 0.02
0.27 2.7 0.54 1.89 0.27
0.42 8.67 0.83 4.66 0.42
Syzygium tawaense Syzygium sp
Myrtaceae Myrtaceae
32 80
0.58 1.46
0.06 0.12
0.81 1.62
1.39 3.08
Jackiopsis ornata Elaeocarpus valetonii Diospyros burifolia
H’
75
Lampiran 9 Analisis Vegetasi Tingkat Tiang Pada Hutan Dataran Rendah No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Nama lokal Bangan Bati-bati Bebara Bejungkung
Nama ilmiah Eugenia zeylanica
Famili
K
KR
F
FR
D
DR
INP
H
6
1.38
0.06
1.69
0.238
3.12
6.18
3.57
Myrtaceae
2 6 2 10 2
0.46 1.38 0.46 2.29 0.46
0.02 0.06 0.02 0.1 0.02
0.56 1.69 0.56 2.81 0.56
0.032 0.054 0.048 0.172 0.028
0.42 0.71 0.63 2.26 0.37
1.44 3.77 1.65 7.36 1.39
2 16 2 16
0.46 3.67 0.46 3.67
0.02 0.12 0.02 0.14
0.56 3.37 0.56 3.93
0.052 0.24 0.034 0.258
0.68 3.15 0.45 3.39
1.7 10.19 1.47 10.99
6 8 4 2 4
1.38 1.83 0.92 0.46 0.92
0.04 0.06 0.04 0.02 0.04
1.12 1.69 1.12 0.56 1.12
0.078 0.118 0.07 0.022 0.068
1.02 1.55 0.92 0.29 0.89
3.52 5.07 2.96 1.31 2.93
2 4 4 2 6
0.46 0.92 0.92 0.46 1.38
0.02 0.04 0.04 0.02 0.06
0.56 1.12 1.12 0.56 1.69
0.03 0.07 0.056 0.028 0.082
0.39 0.92 0.73 0.37 1.08
1.41 2.96 2.77 1.39 4.14
12 2 2
2.75 0.46 0.46
0.1 0.02 0.02
2.81 0.56 0.56
0.182 0.05 0.034
2.39 0.66 0.45
7.95 1.68 1.47
Bintangur Blogu Buku nisan Butun Durian hutan
Calophyllum pulcherrimum Pleiocarpidia polyneura
Rubiaceae
Gerunggang Idur beruang Jane Jaring tupai Jejambu
Cratoxylon arborescens
Hyperieaceae
Pometia pinnata
Sapindaceae
Pithecellobium rosulatum Eugenis cuprea Baccaurea sumatrana
Fabaceae Myrtaceae Euphorbiaceae
Jejantik Kayu malam Keriwaya Ketikal Kuak Kubing Kumpang darah Kumpang merah Lamanaduk
Knema sp Knema sp Diospyros pilosanthera
Myristicaceae Myristicaceae Ebenaceae
76
……lanjutan 9 No 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47
Nama lokal Luwari Mahang Marigalang Medang Medang kabui Medang tembaga Merang Pansulan Pempaning Pempaning buah besar Pempaning buah kecil Pempasir Poga Poga beruang Puak Pudu Rambutan hutan Rengas Reribu Resak Saru Semonga Semonu Sindur
Nama ilmiah
Famili
K
KR
F
FR
D
DR
INP
Schima wallichii Macaranga hypoleuca
Theaceae Euphorbiaceae
Actinodaphne sp
Lauraceae Lauraceae
42 6 2 8 8
9.63 1.38 0.46 1.83 1.83
0.24 0.02 0.02 0.06 0.08
6.74 0.56 0.56 1.69 2.25
0.798 0.072 0.03 0.132 0.134
10.47 0.94 0.39 1.73 1.76
26.84 2.88 1.41 5.25 5.84
26 2 10 12 30
5.96 0.46 2.29 2.75 6.88
0.18 0.02 0.1 0.12 0.22
5.06 0.56 2.81 3.37 6.18
0.474 0.046 0.176 0.268 0.606
6.22 0.6 2.31 3.52 7.95
17.24 1.62 7.41 9.64 21.01
8 2 2 2 2
1.83 0.46 0.46 0.46 0.46
0.06 0.02 0.02 0.02 0.02
1.69 0.56 0.56 0.56 0.56
0.128 0.024 0.048 0.02 0.026
1.68 0.31 0.63 0.26 0.34
5.2 1.33 1.65 1.28 1.36
1.38 0.92 0.92 0.46 0.46
0.06 0.04 0.04 0.02 0.02
1.69 1.12 1.12 0.56 0.56
0.12 0.088 0.044 0.028 0.028
1.57 1.15 0.58 0.37 0.37
4.63 3.19 2.62 1.39 1.39
0.46 0.92 1.83 1.38
0.02 0.04 0.08 0.06
0.56 1.12 2.25 1.69
0.044 0.06 0.158 0.122
0.58 0.79 2.07 1.6
1.6 2.83 6.15 4.66
Tetramerista glabra Pternandra coerulescens Quercus bennettii
Lauraceae Theaceae Melastomataceae Fagaceae
Artocarpus anisophyllus
Clusiaceae Buraseraceae Burseraceae Moraceae
Artocarpus kemando Cuponiopsis sp Gluta renghas
Moraceae Sapindaceae Anacardiaceae
Vattica rassak
Dipterocarpaceae
6 4 4 2 2
Santiria apiculata Elaeocarpus valetonii Sindora bruggemanii
Burseraceae Elaeocarpaceae Fabaceae
2 4 8 6
Calophyllum sp Santiria laevigata
H’
77
…..lanjutan 9 No 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57
Nama lokal Sugi babi Sundi Temboras Tentangis Tentulang Ubar Ubar merah Ubar minyak Ubar putih Ubar samak
Nama ilmiah
Famili
K
KR
F
FR
D
DR
INP
Memecylon sp
Melastomataceae
Fagraea caelanica
Loganiaceae
2 2 12 4 2
0.46 0.46 2.75 0.92 0.46
0.02 0.02 0.1 0.04 0.02
0.56 0.56 2.81 1.12 0.56
0.046 0.036 0.168 0.084 0.018
0.6 0.47 2.2 1.1 0.24
1.62 1.49 7.76 3.14 1.26
Syzygium sp Syzygium leucoxylon Syzygium sp Syzygium tawaense Syzygium sp
Myrtaceae Myrtaceae Myrtaceae Myrtaceae Myrtaceae
32 14 2 10 36
7.34 3.21 0.46 2.29 8.26
0.24 0.1 0.02 0.1 0.24
6.74 2.81 0.56 2.81 6.74
0.494 0.22 0.026 0.18 0.63
6.48 2.89 0.34 2.36 8.27
20.56 8.91 1.36 7.46 23.27
H’
78
Lampiran 10 Analisis Vegetasi Tingkat Pohon Pada Hutan Dataran Rendah No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Nama lokal Bangan Bedaru Bedelan Bekapas Bentan Bukir Butun Durian hutan Gerunggang Haharang Idur beruang Jane Jejantik Kahawa hutan Kemanjing Kepodu Keriwaya Ketiau Kratakuai Kumpang Kumpang darah Kumpang tahun
Nama ilmiah
Neoscortechinia sp. Parastemon urophyllus
Famili
K
KR
F
FR
D
DR
INP
H
1.26 0.76 0.5 0.25 0.5
0.1 0.06 0.04 0.02 0.04
1.88 1.13 0.75 0.38 0.75
0.17 0.16 0.07 0.03 0.08
1.04 0.95 0.44 0.16 0.45
4.18 2.83 1.69 0.79 1.71
3.23
Euphorbiaceae Rosaceae
2.5 1.5 1 0.5 1 0.5 4 0.5 33.5 1.5
0.25 2.02 0.25 16.88 0.76
0.02 0.12 0.02 0.46 0.06
0.38 2.26 0.38 8.65 1.13
0.04 0.19 0.02 2.89 0.13
0.25 1.11 0.11 17.33 0.79
0.87 5.38 0.74 42.85 2.67
0.76 0.5 0.76 0.25 0.25
0.06 0.04 0.06 0.02 0.02
1.13 0.75 1.13 0.38 0.38
0.07 0.05 0.08 0.03 0.18
0.4 0.28 0.46 0.16 1.05
2.28 1.53 2.34 0.79 1.68
Cratoxylon arborescens
Hyperieaceae
Pometia pinnata
Sapindaceae
Baccaurea sumatrana
Euphorbiaceae
Garcinia dioica
Clusiaceae
1.5 1 1.5 0.5 0.5
Ganua motleyana Dacryodes rostrara Knema cinerea
Sapotaceae Burseraceae Myristicaceae
3.5 0.5 3 0.5 3
1.76 0.25 1.51 0.25 1.51
0.1 0.02 0.08 0.02 0.12
1.88 0.38 1.5 0.38 2.26
0.35 0.04 0.12 0.03 0.31
2.12 0.25 0.73 0.16 1.86
5.76 0.87 3.75 0.79 5.62
Knema sp Knema sp
Myristicaceae Myristicaceae
1.5 1
0.76 0.5
0.06 0.04
1.13 0.75
0.07 0.08
0.44 0.47
2.32 1.73
79
…..lanjutan 10 No 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45
Nama lokal Lamanaduk Lurangan Luwari Mandoking Marigalang Medang Medang kabui Medang tembaga Melukan Membelinangan Mentabuan Mentawa Merang Meranti Nyatuh Pakit Pamai Pangkiran semut Pansulan Pempaning Pempaning buah besar Podu Poga
Nama ilmiah
Famili
K
KR
F
FR
D
DR
INP
Diospyros pilosanthera
Ebenaceae
Schima wallichii
Theaceae
0.5 0.5 44 1 0.5
0.25 0.25 22.17 0.5 0.25
0.02 0.02 0.66 0.04 0.02
0.38 0.38 12.41 0.75 0.38
0.08 0.02 4.32 0.06 0.04
0.48 0.13 25.88 0.37 0.23
1.1 0.75 60.45 1.63 0.86
Actinodaphne sp
Lauraceae Lauraceae Lauraceae Dipterocarpaceae
5 1.5 10.5 0.5 0.5
2.52 0.76 5.29 0.25 0.25
0.14 0.06 0.36 0.02 0.02
2.63 1.13 6.77 0.38 0.38
0.38 0.17 0.57 0.03 0.2
2.3 1 3.43 0.18 1.19
7.45 2.89 15.49 0.81 1.82
Theaceae Dipterocarpaceae Sapotaceae
0.5 0.5 5.5 1.5 4.5
0.25 0.25 2.77 0.76 2.27
0.02 0.02 0.16 0.06 0.16
0.38 0.38 3.01 1.13 3.01
0.02 0.03 0.36 0.42 0.62
0.1 0.16 2.13 2.53 3.72
0.73 0.79 7.9 4.42 8.99
Melastomataceae Fagaceae
1 1 0.5 1.5 3.5
0.5 0.5 0.25 0.76 1.76
0.04 0.04 0.02 0.06 0.1
0.75 0.75 0.38 1.13 1.88
0.05 0.07 0.03 0.05 0.23
0.32 0.43 0.17 0.33 1.4
1.58 1.69 0.8 2.21 5.04
Burseraceae
5 0.5 2.5
2.52 0.25 1.26
0.14 0.02 0.1
2.63 0.38 1.88
0.26 0.02 0.15
1.54 0.1 0.93
6.69 0.73 4.06
Shorea foxworthyi
Tetramerista glabra Shorea leprosula Palaquium rostratum
Pternandra coerulescens Quercus bennettii
Santiria laevigata
H
80
…..lanjutan 10 No 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67
Nama lokal Poga beruang Poga punai Pondu Pudu
Nama ilmiah
Famili
K
KR
F
FR
D
DR
INP
Burseraceae
0.5 1.5 1 0.5 0.5
0.25 0.76 0.5 0.25 0.25
0.02 0.06 0.04 0.02 0.02
0.38 1.13 0.75 0.38 0.38
0.04 0.15 0.09 0.02 0.02
0.25 0.92 0.53 0.11 0.14
0.88 2.8 1.78 0.74 0.77
3 2 0.5 1 1
1.51 1.01 0.25 0.5 0.5
0.12 0.06 0.02 0.02 0.04
2.26 1.13 0.38 0.38 0.75
0.36 0.11 0.02 0.05 0.04
2.15 0.66 0.12 0.28 0.22
5.91 2.8 0.75 1.16 1.47
7 0.5 1.5 1 0.5
3.53 0.25 0.76 0.5 0.25
0.22 0.02 0.06 0.04 0.02
4.14 0.38 1.13 0.75 0.38
0.41 0.03 0.17 0.04 0.02
2.46 0.15 1.04 0.24 0.11
10.12 0.78 2.92 1.5 0.74
0.25 0.25 3.27 2.27 0.25
0.02 0.02 0.2 0.16 0.02
0.38 0.38 3.76 3.01 0.38
0.03 0.02 0.85 0.32 0.1
0.16 0.13 5.08 1.92 0.61
0.79 0.75 12.11 7.19 1.24
1.76 1.51
0.12 0.1
2.26 1.88
0.29 0.12
1.71 0.74
5.73 4.13
Garcinia dulcis Artocarpus kemando Cuponiopsis sp
Clusiaceae Moraceae Sapindaceae
Gluta renghas Vattica rassak Lygodium microphylum
Anacardiaceae Dipterocarpaceae Schizoacaceae
Jackiopsis ornata
Rubiaceae
Elaeocarpus valetonii Elaeocarpus griffithii
Elaeocarpaceae Elaeocarpaceae
Sindur Sugi babi Sundi Tentangis Tomau
Sindora bruggemanii
Fabaceae
Ubar Ubar merah Ubar putih Ubar samak
Syzygium sp Syzygium leucoxylon
Myrtaceae Myrtaceae
0.5 0.5 6.5 4.5 0.5
Syzygium tawaense Syzygium sp
Myrtaceae Myrtaceae
3.5 3
Rambutan hutan Rengas Resak Ribu-ribu Saru selumbar/Bliantapah Semonu Sesambil Simpur balang/rariga
H
81
Lampiran 11 Gambar Daun Pakan Bekantan
Bentan
Ketiau
Mampai
Banitan
Ramin
Lamanaduk
Merang
Ubar merah
Keranji
Lampiran 12 Gambar Hutan Rawa (a) dan Hutan Dataran Rendah (b)
(a)
(b)
Lampiran 13 Gambar Kegiatan Analisis Vegetasi (a) dan Pembuatan Herbarium (b)
(a)
(b)
Lampiran 14 Gambar Camp Areal Research Pondok Ambung