TINJAUAN PUSTAKA
Keanekaragaman (Indeks Diversitas)
Keragaman jenis adalah sifat komunitas yang memperlihatkan tingkat keanekaragaman jenis organisme yang ada didalamnya. Untuk memperoleh keanekaragaman jenis cukup diperlukan kemampuan mengenal atau membedakan jenis meskipun tidak dapat mengidentifikasi jenis hama (Krebs, 1978). Indeks Keanekaragaman dapat digunakan untuk menyatakan hubungan kelimpahan spesies dalam komunitas. Keanekaragaman spesies terdiri dari jumlah spesies dalam komunitas (kekayaan spesies) dan kesamaan spesies. Kesamaan menunjukkan bagaimana kelimpahan spesies itu (jumlah individu, biomassa, penutup tanah, dsb) tersebar antara banyak spesies itu. Contohnya, pada suatu komunitas terdiri dari 10% spesies, jika 90% adalah 1 spesies dan 10% adalah 9 jenis yang tersebar, kesamaan disebut rendah. Sebaliknya jika masingmasing spesies jumlahnya 10%, kesamaannya maksimum. Beberapa tahun kemudian muncul penggolongan indeks atas indeks kekayaan dan indeks kesamaan. Setelah itu digabungkan menjadi Indeks Keanekaragaman dengan variabel yang menggolongkan struktur komunitas seperti jumlah spesies, kelimpahan relarif spesies (kesamaan), homogenitas dan ukuran dari area sampel (Anonimus, 2008). Keragaman hayati merupakan variabilitas antar mahluk hidup dari semua sumber daya, termasuk di daratan, ekosistem perairan dan kompleks ekologis termasuk juga keanekaragaman dalam speies di antara spesies dan ekosistemnya. Sepuluh persen dari ekosistem alam berupa suaka alam, suaka marga satwa,
Universitas Sumatera Utara
taman nasional, hutan lindung dan sebagian lagi untuk kepentingan budidaya plasma nufah yang dialokasikan sebagai kawasan yang dapat memberi perlindungan bagi keanekaragaman hayati (Arief, 2001). Jasa-jasa ekologis yang diemban oleh keanekaragaman hayati pertanian, diantaranya jasa penyerbukan, jasa penguraian, dan jasa pengendali hayati (predator, parasitoid, dan patogen) untuk mengendalikan hama, sangatlah penting bagi pertanian berkelanjutan. Dengan adanya kemajuan pertanian modern, prinsip ekologi telah diabaikan secara berkesinambungan, akibatnya agroekosistem menjadi tidak stabil. Perusakan-perusakan tersebut menimbulkan munculnya hama secara berulang dalam sistem pertanian, salinisasi, erosi tanah, pencemaran air, timbulnya penyakit dan sebagainya (Emden and Dabrowski, 1997).
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Indeks Keanekaragaman
Dalam ekosistem alami semua makhluk hidup berada dalam keadaan seimbang dan saling mengendalikan sehingga tidak terjadi hama. Di ekosistem alamiah keragaman jenis sangat tinggi yang berarti dalam setiap kesatuan ruang terdapat flora dan fauna tanah yang beragam. Sistem pertanaman yang beranekaragam berpengaruh kepada populasi spesies hama (Oka, 1995). Menurut Krebs (1978), ada 6 faktor yang saling berkaitan menentukan derajat naik turunnya keragaman, jenis yaitu : a) Waktu, keragaman komunitas bertambah sejalan waktu, berarti komunitas tua yang sudah lama berkembang, lebih banyak terdapat organisme dari pada komunitas muda yang belum berkembang. Waktu dapat berjalan dalam ekologi lebih pendek atau hanya sampai puluhan generasi.
Universitas Sumatera Utara
b) Heterogenitas ruang, semakin heterogen suatu lingkungan fisik semakin kompleks komunitas flora dan fauna disuatu tempat tersebar dan semakin tinggi keragaman jenisnya. c) Kompetisi, terjadi apabila sejumlah organisme menggunakan sumber yang sama yang ketersediannya kurang, atau walaupun ketersediannya cukup, namun
persaingan
tetap
terjadi
juga
bila
organisme-organisme
itu
memanfaatkan sumber tersebut, yang satu menyerang yang lain atau sebaliknya. d) Pemangsaan, untuk mempertahankan komunitas populasi dari jenis persaingan yang berbeda di bawah daya dukung masing-masing selalu memperbesar kemunginan hidup berdampingan sehingga mempertinggi keragaman. Apabila intensitas dari pemangsaan terlalu tinggi atau rendah dapat menurunkan keragaman jenis. e) Kestabilan iklim, makin stabil, suhu, kelembaban, salinitas, pH dalam suatu lingkungan
tersebut.
Lingkungan
yang
stabil,
lebih
memungkinkan
keberlangsungan evolusi. f) Produktifitas, juga dapat menjadi syarat mutlak untuk keanekaragaman yang tinggi. Keenam faktor ini saling berinteraksi untuk menetapkan keanekaragaman jenis dalam komunitas yang berbeda. Keanekaragaman spesies sangatlah penting dalam menentukan batas kerusakan yang dilakukan terhadap sistem alam akibat turut campur tangan manusia (Michael, 1995). Hambatan lingkungan merupakan faktor biotik dan abiotik di ekosistem yang cendrung menurunkan fertilitas dan kelangsungan hidup individu-individu
Universitas Sumatera Utara
dalam populsi organisme. Faktor tersebut menghalangi suatu organisme untuk dapat berkembang sesuai dengan potensi biotiknya. Foktor-faktor ligkungan tersebut ada dua yaitu faktor yang berasal dari luar populasi (faktor ekstrinsik) terdiri dari faktor biotik seperti makanan, peredasi dan kompetisi dan faktor abiotik seperti iklim, tanah, air dan faktor yang berasal dari dalam populasi (faktor intrinsik) seperti persaingan intrasfesifik dalam bentuk teritorialitas dalam tekanan sosial (Untung, 1996). Keanekaragaman tanaman merupakan
faktor
yang
mempengaruhi
tingginya keanekaragaman individu-individu yang ada didalamnya, semakin tinggi keragaman ekosistem dan semakin lama keragaman ini tidak diganggu oleh manusia, semakin banyak pula interaksi internal yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan stabilitas serangga. Hasil studi interaksi tanaman-gulma serangga diperoleh bahwa gulma mempengaruhi keragaman dan keberadaan serangga herbivora dan musuh-musuh alaminya dalam system pertanian. Bunga gulma tertentu memegang peranan penting sebagai sumber pakan parasitoid dewasa yang dapat menekan populasi serangga hama (Altieri, 1999).
Status Serangga pada Pertanaman Kelapa Sawit
Serangga dapat berperan sebagai pemakan tumbuhan, sebagai parasitoid (hidup secara parasit pada serangga lain), sebagai predator (pemangsa), sebagai pemakan bangkai, sebagai penyerbuk dan sebagai penular (vector) bibit penyakit tertentu (Putra, 1994). Agroekosistem merupakan tempat hidupnya berbagai jenis serangga, serangga-serangga tersebut dapat merugikan bagi tanaman budidaya dan dapat
Universitas Sumatera Utara
berguna. Salah satu dari serangga tersebut dapat berperang sebagai hama utama yang merupakan spesies hama yang pada kurun waktu lama selalu menyerang pada suatu daerah dengan intensitas serangan yang berat sehingga memerlukan usaha pengendalian yang seringkali dalam daerah yang luas. Tanpa usaha pengendalian maka hama ini akan mendatangkan kerugian ekonomik bagi petani. Biasanya pada agroekosistem hanya ada satu atau dua hama utama, sisanya adalah termasuk kategori hama yang lain (Untung, 1996). Hama minor atau disebut hama kadang-kadang adalah hama yang telah lama berada di suatu daerah, namun tidak dianggap begitu penting karena kerusakan yang ditimbulkannya masih bisa ditolerir oleh tanaman. Meskipun demikian, bila terjadi perubahan pada faktor lingkungan yang disebabkan baik oleh gangguan proses pengendalian alami atau keadaan iklim yang tidak menentu maupun kesalahan pegolahan oleh manusia, menyebabkan populasi hama meningkat dan menimbulkan kerusakan tanaman (Rukmana dan Sugandi, 1997). Serangga predator atau serangga pemangsa adalah organisme yang membunuh dan mengkonsumsi serangga mangsa selama hidupnya. Serangga predator pada umumnya berukuran lebih besar dan lebih kuat dari mangsanya sehingga mereka mampu menaklukkan mangsa tersebut sebelum dibunuh dan dikonsumsi. Karena ukuran tubuh dan sifat memangsanya mencolok, predator relatif mudah dikenali dan diamati secara langsung daripada parasitoid (Susilo, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Ledakan Populasi Serangga
Ledakan populasi dapat terjadi jika suatu spesies dimasukkan ke dalam suatu daerah yang baru, dimana terdapat sumber-sumber yang belum dieksploitir oleh manusia dan tidak ada interaksi negatif (misalnya predator, parasit), dimana sebenarnya predator dan parasit memainkan peranan dalam menahan peledakan populasi
dan
memang
menekan
laju
pertumbuhan
populasi
(Heddy dan Kurniaty, 1996). Pestisida sering digunakan sebagai pilihan utama untuk memberantas organisme pengganggu tanaman, sebab pestisida mempunyai daya bunuh yang tinggi, dan hasilnya cepat untuk diketahui, namun bila aplikasinya kurang bijaksana pestisida dapat membunuh musuh alami hama sehingga dapat terjadi ledakan populasi hama (Wudianto, 1997). Saat ini sebagian besar perkebunan kelapa sawit milik negara maupun swasta masih cendrung menggunakan pestisida untuk mengendalikan hama-hama penting seperti ulat api, ulat kantung, kumbang badak dan tikus. Akibatnya terjadinya gangguan terhadap fungsi dan faktor-faktor pengendali alami yang ada di dalam ekosistem kelapa sawit. Sebenarnya sudah banyak ditemukan musuhmusuh alami yang potensial serta dapat dikembangbiakkan di laboratorium bahkan telah diperdagangkan, namun tampaknya tidak menarik untuk digunakan oleh pelaku perkebunan. Hal ini diduga karena daya bunuh mikroorganisme patogen (entomopatogenik) yang bekerja tidak langsung membunuh hama sasaran seperti
pestisida
tetapi
membutuhkan
waktu
beberapa
hari
(Prawirosukarto et al., 2002).
Universitas Sumatera Utara
Penggunaan pestisida yang tidak terkontrol dapat membunuh musuh alami sehingga musuh alami makin berkurang dan tidak mampu lagi mengendalikan serangga hama. Hama yang terbebas dari musuh alami itu kemudian mampu merekoloni, apalagi bila menjadi resisten tehadap pestisida itu, populasinya meningkat sangat cepat, dan terjadilah ledakan hama (Susilo, 2007). Menurut Allee et al (1955) pertumbuhan populasi organisme terbagi menjadi 5 tingkatan yaitu: Tingkat I : Merupakan periode peningkatan populasi yang tumbuh secara sigmoid. Periode ini terdiri dari 3 tahap yaitu tahap pembentukan populsi, tahap pertumbuhan cepat secara eksponensial dan tahap menuju keseimbangan. Tingkat II : Merupakan pencapaian aras atau
letak keseimbangan yang
merupakan garis asimtot dari kurva sigmoid. Pada tahap ini populasi telah mencapai stabilitas numerik. Tingkat III : Merupakan tahap oskilasi dan fluktuasi populasi. Oskilasi populasi adalah penyimpangan populasi sekitar aras keseimbangan secara simetris, sedangkan fluktuasi populasi merupakan penyimpangan populasi yang tidak simetris. Tingkat III berjalan dalam waktu cukup lama tergantung pada berfungsinya mekanisme umpan balik negatif yang bekerja pada populasi organisme tersebut. Apabila mekanisme ini oleh sebab-sebab tertentu menjadi tidak berfungsi lagi, terjadilah tingkat IV yang merupakan periode penurunan populasi atau periode pertumbuhan negatif. Kalau periode ini terus berlanjut kemudian
Universitas Sumatera Utara
akan terjadi tingkat terakhir pertumbuhan populasi yaitu tingkat V yang merupakan periode kepunahan populasi (Untung, 1996). Dalam keadaan ekosistem yang stabil populasi suatu jenis organisme selalu berada dalam keadaan keseimbangan dengan populasi organisme lainnya dalam komunitasnya. Keseimbangan ini terjadi karena adanya mekanisme pengendalian yang bekerja secara umpan balik negatif yang berjalan pada tingkat antar spesies (persaingan, peredasi) dan tingkat inter spesies (persaingan, pembagian territorial) (Untung, 1996).
Masalah Rayap pada Tanaman Kelapa Sawit
Bahan-bahan yang berkayu yang melimpah pada lahan gambut merupakan habitat yang ideal bagi rayap. Rayap tersebut bersarang pada tunggul-tunggul kayu yang melapuk di sekitar tanaman kelapa sawit, dimana mereka bertahan hidup dan berkembangbiak. Apabila sisa-sisa kayu telah habis dari sana mereka mulai merayap membentuk lorong-lorong kembara menuju tanaman kelapa sawit. Rayap akan mulai menyerang tanaman menyerang kelapa sawit dan merusak jaringan-jaringan hingga menyebabkan kematian tanaman. Tanaman kelapa sawit di lahan gambut dapat terserang rayap pada umumnya yang sudah berumur tua karena ketersediaan seratnya sudah tinggi (Purba et al., 2002). Rayap merupakan serangga yang hidup bermasyarakat. sebagai makhluk sosial, rayap selalu hidup dalam koloni. rayap tidak bisa hidup sendiri, karena dalam koloni ada bahan-bahan dan proses-proses untuk kelangsungan hidupnya. Satu kelompok rayap akan hidup di dalam satu koloni yang membentuk sebuah kota tersendiri dan mempunyai system pemerintahan yang khas (Susetya, 1994).
Universitas Sumatera Utara
Jenis rayap yang sering dijumpai pada areal perkebunan kelapa sawit adalah Coptotermes curvignathus Holmgren dan Macrotermes gilvus Hagen. C.curvignathus lebih berbahaya karena menyerang jaringan hidup dan dapat mematikan tanaman kelpa sawit. Rayap ini merupakan spesies asli yang banyak terdapat pada hutan primer di Indonesia dan Malaysia, terutama di dataran rendah serta daeharah dengan penyebaran curah hujan merata sepanjang tahun C. curvignathus mudah dibedakan dengan jenis rayap lainnya dari ciri pertahanan dirinya, prajurit yang terganggu segera mengeluarkan cairan putih dari kelenjar di kepalanya untuk mempertahankan diri. Banyak jenis tanaman yang dapat diserang oleh C. curvignathus diantaranya karet, kapuk, kopi, kelapa, ubi kayu dan kelapa sawit (Ginting et al., 2002). Telah di deskripsikan gejala serangan rayap tanah pada sawit menghasilkan (umur 8 tahun). Gejala awal yang tampak secara visual, rayap naik kepermukaan tanaman melalui alur pelepah daun sawit (8 alur) dengan cepat. Langkah berikutnya rayap membentuk koloni pada tandan buah dan naik mencapai titik tumbuh selanjutnya memakan titik tumbuh. Pada skala serangan berat, tandan buah segar sawit (muda dan tua) dirusak oleh rayap hingga pangkal tangkainya tampak keropos dan busuk (Gurning dan Purba, 1997). Pengamatan atau sensus gejala serangan rayap perlu segera dilakukan di seluruh blok setelah diketahui adanya gejala serangan yang bersangkutan. Hal ini dapat diketahui dengan cara melakukan sensus per blok. Pengamatan atau sensus dilakukan setiap bulan sekali dengan cara mendatangi setiap pohon di masingmasing blok. Jika ditemukan pohon terserang maka ditentukan kriteria
Universitas Sumatera Utara
serangannya atas dasar gejala luar serangan yang terlihat. Kriteria gejala serangan rayap didasarkan atas gejala luar, sebagai berikut: a. Serangan ringan; ditandai oleh adanya lorong rayap yang terbuat dari tanah yang berada di permukaan batang dan mengarah ke bagian atas. Semua pelepah masih berwarna hijau dan normal. b. Sarangan sedang; ditandai oleh adanya beberapa daun pupus yang layu atau kering, sedangkan pelepah bagian bawah masih terlihat segar atau hijau dan normal. c. Serangan sangat berat (tanaman sudah mati); jika serangan sudah sampai ke titik tumbuh (umbut). Hanya beberapa pelepah di bagian bawah saja yang masih tertinggal dengan warna kuning pucat atau sudah mengering. (Pahan, 2006).
Pengendalian Rayap
Selama ini pengendalian rayap pada perkebunan kelapa sawit di lahan gambut
umumnya
dilakukan
secara
konvensional,
yaitu
dengan
lebih
mengutamakan insektisida, bahkan sering dilakukan aplikasi terjadwal tanpa didahului dengan monitoring populasi rayap. Cara ini tidak efisien karena seluruh areal tanaman diaplikasi dengan insektisida. Disamping memboroskan uang, juga akan
menimbulkan
dampak
buruk
berupa
pencemaran
lingkungan
(Purba et al., 2002). Selain penggunaan bahan kimia pengendalian rayap dapat juga dilakukan secara biologi. Cara ini dengan memanfaatkan nematoda, bakteri, dan jamur yang
Universitas Sumatera Utara
diumpankan kepada rayap sehingga akan mengganggu sistem pencernaan rayap (Prasetiyo dan Yusuf, 2005). Menghancurkan sarang rayap dan membunuh semua anggota koloninya, terutama ratu adalah salah satu pengendalian rayap. Namun di areal pertanaman kelapa sawit yang terserang, terutama di areal gambut sulit untuk menemukan sarang rayap. Selain itu pohon yang terserang juga perlu diisolasi agar hubungan antara pohon dengan sarang rayap dapat diputus. Hal ini dianggap perlu karena rayap baru akan selalu datang dari sarangnya ke pohon yang terserang untuk menggantikan rayap yang sudah mati (Pahan, 1996). Menurut Bakti (2004) nematoda Steinernema carpocapsae memiliki efektifitas cukup baik untuk mengendalikan rayap. Nematoda ini banyak ditemukan di dalam tanah, sehingga efektif digunakan untuk mengendalikan rayap
C. curvignathus yang selalu berhubungan dengan tanah. Pemberian nematoda dengan jumlah terkecil menimbulkan mortalitas 38,16% dan dengan jumlah tertinggi menimbulkan mortalitas 60,80%. Penelitian mengenai pengaruh jamur Metarhizium anisopliae (Mets.) dan Beauveria
bassiana
(Balsamo)
Vuillemin
Sorokin
terhadap
rayap
C. curvignathus Holmgren telah dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi dan Toksikologi, Departemen Biologi ITB pada bulan November 2004 – April 2005. Rayap C. curvignathus diperoleh dari Pusat Studi Ilmu Hayati IPB Bogor dan jamur B. bassiana serta M. anisopliae diperoleh dari BALITROP Bogor. Penelitian ini menyimpulkan bahwa B. bassiana dan M. anisopliae dapat digunakan untuk mengendalikan rayap C. curvignathus (Novianty, 2005).
Universitas Sumatera Utara
Deskripsi Perkebunan
Bagi Indonesia, tanaman kelapa sawit memiliki arti penting bagi pembangunan perkebunan nasional. Selain mampu menciptakan kesempatan kerja yang mengarah pada kesejahtraan masyarakat, juga sebagai sumber perolehan devisa negara. Dalam hal ini banyak perkebunan kelapa sawit yang berkembang, tidak hanya yang dikembangkan oleh negara, tetapi juga perkebunan rakyat dan swasta. Salah satu perusahaan swasta yang turut serta dalam partisipasi tersebut adalah PT. Bilah Plantindo, dibawah manajemen
PT. Tolan Tiga yang
berkedudukan di Gedung Bank Sumut lantai 7 jln. Imam Bonjol No. 18. Perusahaan yang merupakan Penanaman Modal Asing (PMA) ini berdiri sejak tahun
1978
dan
masih
berproduksi
dengan
baik
sampai
saat
ini
(Amdal, 2009). Kawasan pembangunan kebun terletak di Desa Bilah, Kecamatan Bilah Hilir, Kabupaten Labuhanbatu Provinsi Sumatera Utara. Adapun luas areal perkebunan ini adalah 2.960 ha. Pembukaan kebun ini telah mendapat izin dari pemerintah pusat dan daerah No. 15/HGU/DA/1988 tanggal 28-11-1986 dan No. 62/HGU/DA/1986 tanggal 17-10-1988 tentang Hak Guna Usaha (HGU). Dukungan Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu dan seluruh masyarakat Kecamatan Bilah Hilir akan menjadi sumbangan besar untuk kemajuan perkebunan kelapa sawit Indonesia. Meluas pembangunan perkebunan kelapa sawit ini akan menjadikan kabupaten Labuhan Batu dan seluruh masyarakatnya memegang peranan penting dalam agribisnis kelapa sawit Nasional, mengingat masih luasnya lahan yang tersedia dan sesuai untuk budidaya tanaman kelapa sawit di daerah ini (Amdal, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Kegiatan perkebunan PT. Bilah Plantindo sejak berdirinya perusahaan adalah aktivitas pembibitan, pemeliharaan tanaman, pemupukan, replanting dan pemungutan hasil. Perkebunan ini tidak mempunyai pabrik pengolahan sendiri sehingga produksi dikirim ke PKS PT. Pangkatan Indonesia dan masih termasuk satu manajemen dengan PT. Bilah Plantindo (Amdal, 2008). Kegiatan replanting dilakuakan setelah tanaman berumur 25 tahun. Replanting dilakukan dengan pengolahan tanah terlebih dahulu kemudian dilakukan dengan penumbangan tanaman kelapa sawit. Tanaman yang sudah ditumbang dicincang dan disusun pada jalur panen (Amdal, 2008).
Universitas Sumatera Utara