3
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Keanekaragaman Jenis Keanekaragaman hayati atau biological diversity (biodiversity) adalah
seluruh keanekaan bentuk kehidupan di muka bumi ini beserta interaksinya (BAPPENAS 2003). Keanekaragaman hayati memliki dua komponen utama, yaitu kekayaan jenis yang merupakan jumlah jenis dari suatu areal dan kemerataan jenis yang merupakan kelimpahan relatif suatu individu pada setiap spesies (Feldhamer et al. 1999). Kedua komponen tersebut memiliki nilai perhitungan yang dikenal dengan indeks kekayaan jenis dan indeks kemerataan jenis. Ledwig dan Reynold (1988) menyatakan bahwa indeks tersebut digabungkan menjadi satu nilai yang sama dengan indeks keanekaragaman. BAPPENAS (2003) menyatakan ada tiga tingkatan yang terkait dengan keanekaragaman hayati, yaitu: 1) Keanekargaman ekosistem: keanekaan bentuk dan susunan bentang alam daratan maupun perairan, dimana makhluk atau organisme hidup berinteraksi dan membentuk keterkaitan dalam lingkungan fisiknya. 2) Keanekaragaman jenis: keanekaan jenis organisme yang menempati suatu ekosistem, di darat maupun di perairan. 3) Keanekaragaman genetik: keanekaan individu di dalam suatu jenis yang disebabkan oleh perbedaan genetik antara individu. Keanekaragaman merupakan hal yang paling penting dalam mempelajari suatu komunitas. Keanekaragaman jenis merupakan pertanyaan yang paling mendasar dalam ekologi, baik teori maupun terapan sehingga ahli ekologi harus mengetahui cara mengukur keanekaragaman jenis dan memahami hasil pengukurannya (Odum 1971). Permasalahnya banyak sekali metode yang berkembang namun sampai saat ini belum ada kesepakatan dari para ahli ekologi untuk metode tersebut. Namun, banyak pengukuran keanekaragaman jenis tidak terlepas dari konsep keragaman jenis yang mempunyai dua komponen, yaitu (1) jumlah jenis (species richeness) yang disebut kepadatan jenis (species density), berdasarkan pada jumlah total jenis yang ada dan (2) kesamaan/kemerataan (evenness atau equatability) yang
4
berdasarkan pada kelimpahan relatif suatu jenis dan tingkat dominansi (Odum 1971; Krebs 1992; Magguran 1988).
2.2.
Bio-Ekologi Mamalia Mamalia merupakan kelompok yang memiliki kelas tertinggi dalam dunia
hewan. Pada umumnya mamalia dibagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu mamalia kecil dan mamalia besar. Mamalia kecil adalah mamalia yang memiliki berat badan berkisar antara 2 g - 5 kg. Jenis-jenis mamalia kecil antara lain adalah kelelawar (Chiroptera), bajing dan tikus (Rodentia), tupai (Scadentia). Sedangkan mamalia besar adalah mamalia yang berat badannya diatas 5 kg (Bouliere 1975). Taksonomi mamalia menurut Jasin (1992) adalah sebagai berikut: Kingdom
: Animalia
Sub Kingdom : Metazoa Filum
: Chordata
Sub Filum
: Craniata
Klas
: Mamalia Selanjutnya Jasin (1992) menyebutkan bahwa kelas mamalia sendiri
menjadi tiga sub kelas, yaitu: 1) Sub kelas Prototheiria, yang hanya terdiri dari satu ordo, yaitu monotremata 2) Sub kelas Allotheria (sudah punah) 3) Sub kelas Theria, yang terdiri dari 27 ordo, yaitu Marsupialia, Insektivora, Dermopyera, Chiroptera, Primata, Tillodontia (sudah punah), Taediodota (sudah punah), Edentata (Xanathra), Pholidota, Lagomorpha, Rodentia, Cetacea, Carnivora, Condylartha, Litopterma, Notoungulata, Astrapotheria, Tubulidentata,
Pantodonta,
Dinocerata,
Pyirotheria,
Proboscidea,
Embrithopoda, Hyracoida, Sirenia, Prissodactyla, dan Artiodactyla. Mamalia yang ada di Indonesia terdiri dari 15 ordo, yaitu Monotremata, Marsupilalia,
Insektivora,
Dermopyera,
Chiroptera,
Primata,
Pholidota,
Lagomorpha, Rodentia, Catacea, Carnivora, Proboscieda, Sirenia, Prissodactyla, Artiodactyla. Ordo yang terdapat di Malaya (termasuk Sumatera) dan Singapura terdiri dari 9 ordo, yaitu Insektivora, Dermopyera, Chiroptera, Primata, Pholidota,
5
Rodentia, Proboscidea, Prissondactyla, dan Artiodactyla. Ciri-ciri khusus mamalia sebagai berikut (Medway 1978): 1.
Tubuh biasanya diliputi rambut yang lepas secara periodik, kulit banyak mengandung kelenjar keringat dan kelenjar susu.
2.
Ekor umumnya panjang dan dapat digerak-gerakkan.
3.
Memiliki empat anggota kaki (kecuali Anjing laut dan Singa laut tidak memiliki kaki belakang), masing-masing kaki memiliki kurang lebih lima jari yang bermacam-macam bentuknya yang disesuaikan dengan keperluan.
4.
Penapasan hanya dengan paru-paru, hasil ekskresi berupa urine.
5.
Suhu tubuh tetap.
6.
Hewan jantan mempunyai alat kopulasi berupa penis, fertilasi terjadi didalam tubuh betina.
2.3.
Penyebaran Mamalia Besar Ada banyak untuk membedakan penyebaran fauna di Indonesia. Lekagul
dan McNeely (1977) menyatakan bahwa sistem yang mendapat tanggapan luas adalah berdasarkan Sclater 1958 dan Wallace 1987, yang membagi dunia ke dalam 6 wilayah geografis fauna, yaitu: Paleartik, Oriental, Australia, Neartik, Neotropik, dan Ethopia. Penyebaran fauna dapat diikuti dari pola sejarah geologi, sehingga dapat dikenal adanya pola penyebaran fauna khas. Akan tetapi untuk beberapa hal ada jenis tertentu yang mempunyai penyebaran luas, terutama bagi jenis-jenis burung tertentu ataupun bagi jenis organisme yang pola penyebarannya melalui pola air. Bahkan manusia mempunyai peranan penting dalam penyebaran satwaliar sejak 10.000 tahun yang lalu (Alikodra 1990). Pergerakan mamalia besar dari daratan utama Asia ke Subwilayah Sunda 18.000 tahun yang lalu, berlangsung pada saat terjadinya pengumpulan es sehingga permukaan air laut turun 85 m dari keadaanya yang sekarang. Pada saat itu muncul paparan Sunda yang menghubungkan Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Semenanjung Malaysia. Berbagai jenis mamalia terutama herbivora mengadakan penyesuaian dengan cara bergerak secara perlahan-lahan dari Utara ke Salatan (Alikodra 1990). Setalah terjadinya pemisahan pulau akibat
6
mencairnya es, jenis-jenis beradaptasi dan berevolusi pada kondisi yang baru dan berlainan, yang kadang menghasilkan subjenis baru atau bahkan jenis baru. Semakin lama isolasi yang terjadi, semakin banyak fauna-fauna yang berbeda, seperti yang ditunjukan oleh jumlah satwa yang endemik di Sulawesi dengan lebih dari 70% jenis mamalia darat yang endemik (Zon 1979). Penyebaran mamalia mempunyai kecendrungan untuk dibatasi oleh penghalang-penghalang fisik seperti sungai, samudera, dan gunung, serta oleh penghalang ekologis seperti batas tipe hutan dan adanya jenis saingan yang telah menyesuaikan secara optimal dengan habitatnya sekarang. Sehingga penghalangpenghalang fisik itu dapat digunakan untuk menarik batas geografis fauna sepanjang batas fisik atau ekologis (Alikodra 1990). Fauna Sumatera sangat erat hubunganya dengan fauna yang berada di Semenanjung Malaysia dengan relatif sedikit mamalia endemik, misalnya Kelinci sumatera (Nesolagus netsheri). Sesuai dengan kondisi biogeografisnya. Pulau Kalimantan (mamalia endemik sebanyak 18 jenis) memiliki jenis-jenis satwaliar endemik yanng lebih tinggi dibandingkan Pulau Sumatera (mamalia endemik sebanyak 10 jenis) (Whitten et al. 1987 dalam Alikodra 2002).
2.4.
Pergerakan dan Daerah Jelajah Satwaliar Pergerakan adalah suatu strategi dari individu ataupun populasi untuk
menyesuaikan dan memanfaatkan keaadaan lingkungannya agar dapat hidup dan berkembangbiak secara normal. Pergerakan satwaliar merupakan suatu perilaku, sehingga mempunyai pola-pola tertentu sesuai dengan jenisnya. Pergerakan ini erat hubungannya dengan sifat individu dan kondisi lingkungannya seperti ketersediaan makanan, fasilitas untuk berkembangbiak, pemangsaan, kondisi cuaca, sumber air maupun adanya pengerusakan lingkungan (Alikodra 2002). Pola pergerakan dan jarak tempuh satwa dipengaruhi oleh sifat satwanya dan tergantung pada jumlahnya serta distribusi sumber makanannya (Smith et al. 1975). Pada saat sumber makanan melimpah dan dekat dengan daerah inti satwa, maka pergerakan satwa tersebut tidak terlalu jauh. Pergerakan satwa ini sangat didukung dengan waktu aktifnya. Berdasarkan waktu aktifnya satwa digolongkan menjadi tiga jenis, yaitu diurnal, nokturnal, dan diurnal-nokturnal.
7
Daerah jelajah yaitu wilayah yang dikunjungi satwaliar secara tetap karena dapat mensuplai makanan, minum, serta mempunyai fungsi sebagai tempat berlindung/bersembunyi, tempat tidur dan tempat kawin (Boeghey 1973; Pyke 1983; Van Noordwijk 1985 dalam Entebe 2005). Pengertian daerah jelajah (home range) dibedakan dengan daerah inti satwa yang merupakan tempat untuk melakukan kegiatan khusus, seperti tidur, bersarang kawin, dan lain-lain. Territory akan sangat dipertahankan dengan pihak yang bersangkutan (Burt 1949 dalam Entebe 2005). Daerah jelajah satwa dapat berubah-ubah, tergantung kepada pola pergerakan satwa dan jarak tempuhnya, biasanya daerah jelajah tersebut tidak dipertahankan, selain itu daerah jelajah satwa merupakan bagian penting dari populasi satwa, karena selain mencerminkan sifat satwa juga mencerminkan kondisi habitat dimana satwa itu berada. Luas wilayah daerah jelajah sangat tergantung dengan ukuran tubuh satwaliar baik dari golongan herbivora maupun karnivora (Mace et al. 1983). Terdapat tiga aspek perilaku yang menyangkut kehadiran satwa dengan posisi tertentu di tempat dan pada saat pengamatan dilakukan, yaitu: organisasi sosial, pola pemanfaatan ruang dan pola pemanfaatan waktu. Ketiga aspek ini mempengaruhi keberadaan satwa yang teramati, sehingga pengamat dapat mengelola ketiga aspek ini dengan baik (Santosa 1993).
2.5.
Dampak Pembalakan Terhadap Kehidupan Satwaliar Pembalakan intensif sangat berpengaruh terhadap kerusakan struktur hutan
terutama di kawasan hutan yang persentase komersialnya tinggi (Whitmore 1982 dalam Yusuf 1998). Haryanto (1987) juga berpendapat bahwa kegiatan pembalakan dengan sistem mekanis secara intensif menyebabkan tumbuhnya jenis-jenis pionir secara dominan, seperti Macaranga spp., Mallotus spp., dan Anthhocephalus spp.. Hal ini berarti menandakan rusaknya struktur hutan, yang berarti rusaknya habitat berbagai jenis satwaliar yang ada didalamnya. Pengaruh perubahan kondisi habitat akibat pembalakan terhadap satwaliar bervariasi menurut tingkat perubahan dan kemampuan beradaptasi jenis. Di areal bekas pembalakan yang bebas dari gangguan memegang peranan penting dalam
8
memperkecil pengaruh negatif tersebut. Rinaldi (1985) dalam Yusuf (1998) berpendapat bahwa di Way Kambas Siamang dapat beradapatasi dengan baik pada kondisi vegetasi tanpa strata A yang didominasi oleh jenis-jenis yang berfamili non Dipterocarpaceae. Begitu juga hasil penelitian Haryanto (1987) Hylobates muelleri dan Presbytis rubicunda yang sanggup beradaptasi dengan baik pada areal dengan strata yang lengkap. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Effendi (1985) dan Lumme (1994) di HPH menunjukan terjadinya penurunan populasi bagi beberapa jenis seperti Beruang (Helarctos malayanus) dan Tapir (Tapirus indicus) di daerah Sumatera dan Babi rusa (Babyrousa babyrusa) di daerah Sulawesi. Namun beberapa jenis lainnya tampak tidak terpengaruh dengan adanya kegiatan ini seperti: Babi hutan (Sus spp.), Surili (Presbytis aygula), Tupai (Tupaia javanica) serta Siamang (Hylobates syndactylus).