13
TINJAUAN PUSTAKA Anak Balita Usia balita lebih dikenal sebagai golden age karena masa ini sangat menentukan pertumbuhan dan perkembangan anak selanjutnya. Anak balita adalah bayi sampai anak berusia lima tahun atau biasa yang disebut dengan anak bawah lima tahun. Anak balita, ibu hamil, dan ibu menyusui dalam ilmu gizi dikelompokkan sebagai golongan penduduk yang rawan terhadap kekurangan gizi termasuk Kekurangan Energi Protein (KEP). Oleh karena masalah gizi pada umumnya, khususnya KEP banyak terjadi pada anak balita maka perhatian lebih besar pada masalah KEP anak balita (Soekirman 2000). Masa balita hampir seluruh waktu anak berada ditangan orang tua dan sangat tergantung padanya. Orangtua selain berperan sebagai pengasuh dan pendidik anak dalam keluarga juga berperan penting dalam mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak karena orangtua yang lebih mengenal anaknya. Balita merupakan golongan yang rawan terkena masalah gizi. Makanan bergizi sangat penting diberikan kepada bayi sejak masih dalam kandungan. Jenis Kelamin Anak perempuan khususnya anak sulung diharapkan membantu pekerjaan rumah tangga dan menjaga adik-adiknya. Sedangkan jika anak yang lahir pertama kali adalah anak laki-laki, maka mereka memiliki keistimewaan karena memperoleh pekerjaan rumah tangga yang lebih sedikit dibandingkan yang perempuan serta diberi kesempatan untuk mengabaikannya (Hurlock 1980). Umur Menurut Hurlock (1980), sikap, kebiasaan, dan pola perilaku yang dibentuk selama bertahun-tahun pertama sangat menentukkan seberapa jauh individu-individu berhasil menyesuaikan diri dalam kehidupan ketika mereka bertambah tua. Pada tahun kedua tingkat pertumbuhan cepat menurun. Akan tetapi, selama tahun pertama peningkatan berat badan lebih besar daripada peningkatan tinggi. Masa kanak-kanak merupakan masa yang paling ideal untuk mulai memperkenalkan
kepada
anak
tentang
perilaku-perilaku
dasar
yang
berhubungan dengan gaya hidup sehat. Orang tua harus dapat memanfaatkan rasa ingin tahu anak dan menggunakan kesempatan ini untuk mengajarkan
14
masalah kesehatan, keselamatan dan gizi. Orangtua harus dapat meningkatkan kesadaran anak-anak mengenai lingkungan yang komplek serta pengaruhnya (Marotz dalam Ulfah 2008). Berat Badan Berat badan merupakan satu-satunya ukuran tunggal yang makin ekonomis dan paling peka untuk digunakan dalam praktek. Berat badan sangat dipengaruhi oleh perubahan-perubahan yang terjadi pada keadaan gizi, sehingga berat badan akan turun dengan menurunnya keadaan gizi. Perlambatan kecepatan pertumbuhan tubuh yang diukur dengan memakai variable berat badan, akan terlihat dalam waktu kurang dari satu bulan, jika kita mengamati naik dan turunnya berat badan tiap bulan. Demikian pula pengaruh infeksi pada gizi anak-anak juga jelas tampak bila kita memperhatikan besarnya penurunan berat badan yang terjadi sesudah anak menderita infeksi (Sukarni 1989). Karakteristik Keluarga Besar Keluarga Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, anak, dan anggota lain yang tinggal bersama dalam satu rumah dari pengelolaan sumberdaya yang sama. Besar keluarga akan mempengaruhi jumlah pangan yang dikonsumsi dan pembagian ragam yang yang dikonsumsi dalam keluarga. Kualitas dan kuantitas pangan secara langsung akan menentukan status gizi keluarga dan individu. Besar keluarga juga akan mempengaruhi luas per penghuni di dalam suatu bangunan rumah yang secara tidak langsung akan mempengaruhi kesehatan baik anak-anak maupun ibu (Sukarni 1989). Rumah yang padat penghuninya
akan
menyebabkan
berkurangnya
konsumsi
oksigen
dan
memudahkan penularan penyakit (Notoatmodjo 2007). Umur Orangtua Umur
orangtua
terutama
ibu
berkaitan
dengan pengalaman
ibu
dalam mengasuh anak. Seorang ibu yang masih muda kemungkinan kurang memiliki pengalaman dalam mengasuh anak sehingga dalam merawat anak didasarkan pada pengalaman orang tua terdahulu. Ibu dengan umur muda cenderung
memperhatikan kepentingannya
sendiri
daripada
kepentingan
anak dan keluarga. Sebaliknya pada ibu yang lebih berumur cenderung akan menerima dengan senang hati tugasnya sebagai ibu sehingga akan
15
mempengaruhi pula terhadap kuantitas dan kualitas pengasuhan anak (Hurlock 1980). Pendidikan Orangtua Pendidikan merupakan salah satu faktor yang penting dalam proses tumbuh kembang anak. Ibu yang memiliki tingkat pendidikan tinggi akan mudah menerima pesan dan informasi mengenai gizi dan kesehatan anak. Pendidikan ibu merupakan salah satu faktor penentu mortalitas bayi dan anak, karena tingkat pendidikan ibu berpengaruh terhadap tingkat pemahamannya terhadap perawatan kesehatan, higiene, dan kesadarannya terhadap kesehatan anak dan keluarga (Madanijah dalam Ulfah 2008). Pengetahuan
dan
pendidikan
formal
serta
keikutsertaan
dalam
pendidikan non formal dari orang tua dan anak-anak sangat penting dalam menentukan status kesehatan , fertilitas, dan status gizi keluarga seperti halnya pelayanan kesehatan dan keluarga berencana. Dengan demikian, informasi tentang masalah kesehatan dapat lebih mudah diterima oleh keluarga atau masyarakat (Sukarni 1989). Pekerjaan Orangtua Pekerjaan memiliki hubungan dengan pendidikan dan pendapatan serta berperan penting dalam kehidupan sosial ekonomi dan memiliki keterkaitan dengan faktor lain seperti kesehatan (Sukarni 1989). Seorang ibu yang tidak bekerja di luar rumah akan mewakili waktu yang lebih banyak dalam mengasuh serta merawat anak dibandingkan ibu yang bekerja di luar rumah. Perempuan yang bekerja di luar rumah dan mendapatkan penghasilan akan meningkatkan pengaruhnya dalam alokasi pendapatan keluarga. Pendapatan yang berasal dari perempuan berkolerasi erat dengan semakin membaiknya derajat kesehatan dan status gizi anak (Khomsan 2005). Pendapatan dan Pengeluaran Orangtua Pendapatan berhubungan dengan tingkat kesejahteraan keluarga. Keluarga dengan pendapatan terbatas besar kemungkinan kurang dapat memenuhi kebutuhan yang diperlukan. Pendapatan keluarga akan menentukan alokasi pengeluaran pangan dan non pangan sehingga apabila pendapatan keluarga rendah maka akan mengakibatkan penurunan daya beli (Firlie 2001). Pada tingkat keluarga, penurunan daya beli akan menurunkan kuantitas dan kualitas konsumsi pangan serta aksesbilitas pelayanan kesehatan, terutama bagi warga kelas ekonomi bawah. Hal ini akan berdampak negatif terhadap
16
kesehatan anak yang rentan terhadap gangguan kesehatan dan gizi (Hardinsyah 1997). Pendapatan juga merupakan faktor yang menentukan kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi. Semakin tinggi pendapatan maka semakin besar peluang untuk memilih pangan yang baik. Meningkatnya pendapatan perorangan maka terjadi perubahan-perubahan dalam susunan makanan (Suhardjo 1989). Kelompok yang berpendapatan rendah pada umunya mempunyai proporsi paling besar untuk pengeluaran pangan. Berlawanan, dengan kelompok masyarakat berpendapat tinggi, mereka mengalokasikan lebih pendapatan untuk non pangan (Sukandar 2007).
Di negara-negara berkembang, orang-orang
miskin hampir membelanjakan pendapatannya untuk makanan. Di India Selatan keluarga-keluarga yang miskin menghabiskan 80 persen anggaran belanjanya untuk makanan, sedangkan di negara-negara maju hanya 45 persen (Berg 1986). Status Gizi Status gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variable tertentu, atau perwujudan dari zat gizi dalam bentuk variabel tertentu (Supariasa 2002). Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorbs) dan penggunaan zat gizi makanan yang dapat dinilai dengan berbagai cara, salah satunya dengan antropometri (Riyadi 1995). Menurut Almatsier (2006), status gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat yang setinggi mungkin. Antropometri adalah yang berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi (Jellife dan Jellife 1989). Pengukuran status gizi dengan menggunakan antropometri adalah dengan indeks berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran massa tubuh. Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu
17
makan atau menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Berat badan adalah parameter antropometri yang sangat labil. Berdasarkan karakteristik berat badan, maka indeks berat badan menurut umur digunakan sebagai salah satu cara pengukuran status gizi. Mengingat karakteristik berat badan yang labil, maka indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi seseorang saat ini (Supariasa et al. 2002). Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan, relative kurang sensitive terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu pendek. Indeks ini menggambarkan status gizi pada masa lalu. Beaton dan Bengoa (1973) dalam Supariasa (2002) menyatakan bahwa indeks TB/U disamping memeberikan gambaran status gizi masa lampau, juga lebih erat kaitannya dengan status sosial ekonomi. Menurut Supariasa (2002) berat badan memiliki hubungan yang linier dengan tinggi badan. Indeks BB/TB merupakan indikator yang baik untuk menilai status gizi saat ini. Indeks BB/TB merupakan indeks yang independen terhadap umur. Status Kesehatan Anak Balita Status kesehatan penduduk memberikan gambaran mengenai kondisi kesehatan penduduk dan biasanya dapat dilihat melalui indikator angka kesakitan yaitu persentase penduduk yang mengalami gangguan kesehatan sehingga mampu mengganggu aktivitas sehari-hari. Status kesehatan anak balita merupakan aspek dari kualitas fisik anak balita yang dapat mempengaruhi status gizi (BPS 2002). Status kesehatan dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu perilaku, lingkungan, keturunan, dan pelayanan kesehatan. Perilaku merupakan faktor yang memiliki presentase terbesar dibandingkan yang lain, yaitu sebesar 40%, sedangkan lingkungan sebesar 30%, keturunan sebesar 20%, dan pelayanan kesehatan sebesar 10% (Bloem 1974 dalam Notoatmodjo 2007). Status kesehatan seseorang berkaitan dengan keadaan penyakit yang dideritanya dan merupakan hasil dari proses interaksi antara faktor host, agen penyakit, dan lingkungan. Penyakit sendiri dipengaruhi oleh faktor lingkungan, keadaan gizi dan imunitas serta akses terhadap layanan kesehatan (Patriasih et al 2009). Lingkungan keluarga yang miskin umumnya hidup dalam kondisi yang kurang bersih dan memiliki perilaku hidup yang kurang sehat. Hal ini dapat berdampak
18
pada kesehatan penghuninya, serta dapat mempengaruhi keadaan kesehatan terutama pada anak. Jenis kesehatan yang erat kaitannya dengan lingkungan adalah penyakit ISPA, diare, flu, demam, dan penyakit cacar (Khomsan et al. 2009). Kesehatan adalah meliputi kesehatan badan, mental, dan sosial, dan bukan hanya keadaan bebas dari penyakit, cacat, dan kelemahan (Sukarni 1989). Soemanto (1990) menyatakan bahwa jenis penyakit yang sering diderita anak balita adalah batuk, pilek, diare, dan panas badan. Kesehatan anak balita harus mendapat perhatian penuh dari orangtua. Anak balita adalah makhluk yang belum mempunyai kemampuan untuk memelihara dirinya sendiri, mereka bergantung dari orangtua, orang-orang terdekat, dan pada lingkungannya. Menurut Soemowedojo (1976), untuk mengukur besarnya kejadian sakit pada golongan usia tertentu, perlu diketahui data penyakit yang diderita, meliputi macam-macam penyakit dengan prevalensinya dan banyak kejadian penyakit tertentu yang diderita. Golongan usia balita sangat rentan terhadap penyakitpenyakit menular yang masih banyak ditemukan dan merupakan masalah kesehatan utama di Indonesia. Pengetahuan Gizi Pengetahuan adalah segala sesuatu yang mencakup ingatan akan halhal yang pernah dipelajari dan disimpan dalam ingatan (Khomsan et al. 2007). Pengetahuan gizi merupakan pengetahuan tentang makanan dan zat gizi, sumber-sumber zat gizi pada makanan, makanan yang aman dikonsumsi sehingga tidak menimbulkan penyakit dan cara pengolahan makanan yang baik agar zat gizi dalam makanan tidak hilang serta bagaimana hidup sehat (Notoatmodjo 2007). Tingkat pengetahuan gizi seseorang berpengaruh terhadap sikap dan perilaku dalam pemilihan makanan yang pada akhirnya akan berpengaruh pada keadaan gizi yang bersangkutan. Menurut Khomsan et al. (2009), tingkat pengetahuan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku seseorang karena berhubungan dengan daya nalar, pengalaman dan kejelasan mengenai objek tertentu. Akan tetapi, hubungan antara pengetahuan terhadap sikap dan perilaku tidak linier, misalnya dalam hal konsumsi makanan dengan baik. Konsumsi makanan jarang dipengaruhi oleh pengetahuan gizi secara tersendiri, tetapi merupakan interaksi dengan sikap dan keterampilan gizi (Sanjur 1982 dalam Sukandar 2007).
19
Sikap Gizi Menurut Notoatmodjo (2007), sikap adalah suatu reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu. Sikap akan mempengaruhi proses berpikir, respon afeksi, kehendak, dan perilaku berikutnya. Sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan pre-disposisi tindakan atau perilaku. Sikap masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka tingkah laku yang terbuka (Notoatmodjo 2007). Sikap dapat bersifat positif dan dapat pula bersifat negatif. Sikap positif memiliki kecenderungan tindakan mendekati, menyenangi, dan mengharapkan objek tertentu. Sedangkan sikap negatif terdapat kecenderungan untuk menjauhi, menghindar, membenci, dan tidak menyukai objek tertentu. Sikap biasanya memainkan peranan utama dalam membentuk perilaku. Sikap yang positif akan menumbuhkan perilaku yang positif dan sikap negatif akan menumbuhkan perilaku yang negatif. Melalui proses belajar akan diperoleh pengalaman yang nantinya dapat membentuk sikap, kemudian sikap akan dicerminkan dalam bentuk praktek yang sesuai dengan yang diharapkan. Akan tetapi menurut Sumintarsih et al. (2000), menyatakan bahwa meskipun didukung oleh pengetahuan yang menumbuhkan suatu sikap dan keyakinan atas sesuatu, belum menjamin bahwa seseorang akan bertindak sesuai dengan apa yang diketahui dan dipahaminya. Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung dapat dinyatakan bagaimana pendapat responden terhadap suatu objek, serta secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pernyataan-pernyataan hipotesis yang kemudian ditanyakan pendapat responden melalui kuesioner (Notoatmodjo 2007). Perilaku Gizi Perilaku dipandang dari segi biologi adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang bersangkutan. Perilaku adalah apa yang dikerjakan oleh organisme tersebut, baik yang dapat diamati secara langsung atau secara tidak langsung. Perilaku dan gejala perilaku yang tampak pada kegiatan organisme dipengaruhi oleh faktor genetik (keturunan) dan lingkungan. Faktor genetik dan
20
lingkungan merupakan penentu dari perilaku makhluk hidup termasuk perilaku manusia. (Notoatmodjo 2007). Praktek adalah respon seseorang terhadap suatu rangsangan (stimulus). Praktek memiliki beberapa tingkatan (Notoatmodjo 2007) yaitu (1) persepsi, ialah mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil; (2) respon terpimpin, ialah dapat melakukan sesuatu sesuai urutan yang benar dan sesuai dengan contoh; (3) mekanisme, ialah melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan; dan (4) adopsi, ialah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Praktek terjadi setelah seseorang mengetahui stimulus atau objek kesehatan, kemudian mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui, dan selanjutnya akan melaksanakan dan mempraktekkan apa yang sudah diketahui. Pengukuran praktek dapat dilakukan secara tidak langsung, yakni dengan wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari, atau bulan yang lalu (recall). Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung, yaitu dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden (Notoatmodjo 2007). Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) merupakan bentuk perwujudan paradigma sehat, terutama pada aspek budaya perorangan, keluarga, dan masyarakat. PHBS adalah tindakan yang dilakukan oleh perorangan, kelompok, dan masyarakat yang sesuai dengan norma-norma kesehatan, menolong dirinya dan berperan aktif dalam pembangunan kesehatan untuk memperoleh derajat kesehatan yang tinggi (Sinaga et al. dalam Ulfah 2008). Menurut Yoon et al. (1997) dalam Safitri (2010), perilaku hidup sehat adalah perilaku yang berkaitan dengan upaya atau kegiatan seseorang mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya. Salah satu perilaku hidup sehat adalah melakukan pencegahan dan pengobatan penyakit. Upaya pencegahan dan pengobatan penyakit dapat dilakukan dengan meningkatkan daya tahan tubuh, perbaikan kesehatan diri dan lingkungan. Perilaku hidup bersih dan sehat di tatanan rumah tangga meliputi higiene perorangan (mencuci tangan pakai sabun, menggosok gigi, dan sebagainya), kebiasaan tidak merokok, pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan, penimbangan balita, imunisasi, gizi keluarga (sarapan pagi, makan makanan
21
beragam), dan keikutsertaan dalam dana sehat melalui askes dan jaminan pemeliharaan masyarakat (Depkes 2007). Indikator perilaku hidup bersih dan sehat diantaranya adalah: 1.
Persalinan dibantu oleh tenaga kesehatan Persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan (dokter, bidan, dan tenaga para medis lainnya) menggunakan peralatan yang aman, bersih, dan steril sehingga mencegah terjadinya infeksi dan bahaya kesehatan lainnya (Depkes 2007). Persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan diharapkan dapat menurunkan angka kematian ibu dan bayi (Proverawati & Rahmawati 2012)
2.
Kebiasaan merokok Perokok terdiri dari perokok pasif dan perokok aktif. Keduanya sama-sama berbahaya,
yakni
dapat
menyebabkan
masalah
kesehatan
seperti
kerontokan rambut, gangguan pada mata, menyebabkan penyakit paru-paru kronik, merusak gigi, stroke, kanker kulit, kemandulan, impotensi, kanker rahim, dan keguguran (Depkes 2007). 3.
Imunisasi Imunisasi bertujuan agar anak menjadi kebal terhadap penyakit sehingga dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas serta dapat mengurangi kecacatan akibat penyakit tertentu (Hidayat 2004). Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi ialah TBC, dipteria, pertusis, tetanus, polio dan campak, melalui kegiatan vaksinasi BCG, DPT, Polio dan campak pada umur dibawah 14 bulan, vaksinasi DPT pada anak-anak SD kelas 1, dan vaksinasi TT pada anak SD kelas 4 (Sukarni 1989).
4.
Penimbangan Balita Penimbangan bayi dan balita dimaksudkan untuk memantau pertumbuhan setiap bulan. Penimbangan bayi dan balita dimulai dari umur 1 bulan sampai 5 tahun di Posyandu sehingga dapat diketahui balita tumbuh sehat atau tidak dan mengetahui kelengkapan imunisasi serta dapat diketahui bayi yang dicurigai menderita gizi buruk (Depkes 2007).
5.
Kebiasaan sarapan Sarapan penting dilakukan sebelum melakukan aktivitas pada pagi hari. Manfaat sarapan adalah dapat menyediakan karbohidrat yang siap digunakan untuk meningkatkan kadar gula darah.
22
6.
Peserta Akes/JPKM Program jaminan kesehatan untuk masyarakat miskin penting untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
7.
Kebiasaan Mencuci Tangan dengan Sabun Mencuci tangan dengan sabun adalah salah satu tindakan sanitasi dengan membersihkan tangan dan jari jemari menggunakan air dan sabun oleh manusia untuk menjadi bersih dan memutuskan mata rantai kuman. Mencuci tangan dengan sabun dikenal juga sebagai salah satu upaya pencegahan penyakit. Hal ini dilakukan karena tangan seringkali menjadi agen yang membawa kuman dan menyebabkan patogen berpindah dari satu orang ke orang lain, baik dengan kontak langsung ataupun kontak tidak langsung.
8.
Kebiasaan menggosok gigi Membiasakan menggosok gigi sebelum tidur dan setelah makan merupakan salah satu contok praktik higiene perorangan. Kegiatan menggosok gigi bertujuan untuk membersihkan mulut dari sisa makanan yang dapat membentuk plak pada gigi.
9.
Kebiasaan Olahraga Olahraga merupakan aktivitas fisik yang dilakukan secara teratur untuk berbagai tujuan, antara lain untuk kesehatan, kebugaran, rekreasi, pendidikan, dan prestasi (Irianto 2011).
10. Makan Seimbang Tidak ada satupun jenis makanan yang mengandung lengkap semua zat gizi yang mampu membuat seseorang untuk hidup sehat, tumbuh kembang, dan produktif. Setiap orang perlu mengkonsumsi aneka ragam makanan dalam jumlah yang mencukupi. Positive Deviance Positive deviance merupakan suatu keadaan penyimpangan positif yang berkaitan dengan kesehatan, pertumbuhan dan perkembangan anak-anak tertentu dengan anak-anak lain di dalam lingkungan masyarakat atau keluarga yang sama. Secara khusus pengertian positive deviance dapat digunakan untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan serta status gizi yang baik dari anak-anak yang hidup di dalam keluarga miskin dan hidup di lingkungan miskin (kumuh), dimana sebagian besar anak lainnnya menderita gangguan pertumbuhan dan perkembangan dengan kondisi mengalami gizi kurang (Zeitlin et al. 1990).
23
Konsep positive deviance pertama kali muncul dalam penelitian gizi pada 1970-an. Para peneliti mengamati bahwa meskipun kemiskinan di masyarakat, beberapa keluarga miskin memiliki anak bergizi baik. Menurut Sternin (2007) dalam
Sab’atmaja
(2010)
positive
deviance
adalah
suatu
pendekatan
pengembangan yang berbasis masyarakat. Berdasarkan keyakinan bahwa pemecahan masalah yang dihadapi masyarakat pada prinsipnya telah ada dalam masyarakat itu sendiri. Menurut Aryastami (2006), Positive Deviance (PD) adalah suatu metode pengembangan masyarakat melalui pendekatan komunitas. Di bidang gizi masyarakat, metode ini dapat dianalogkan sebagai anak yang memiliki status gizi baik telah dibesarkan dimana banyak keluarga dan masyarakatnya menderita gizi buruk dan rawan penyakit. Pada dasarnya metode PD ini bisa diterapkan untuk
berbagai permasalahan yang didalamnya memerlukan
perubahan sosial atau perilaku di mana sudah ada individu-individu di dalam masyarakat tersebut yang berhasil menemukan strategi untuk mengatasi masalah yang sama. Seringkali solusi permasalahan tersebut tidak disadari, padahal secara nyata ada di dalam budaya setempat. Positive deviance didasarkan pada asumsi bahwa beberapa solusi untuk mengatasi masalah gizi sudah ada di dalam masyarakat, hanya perlu diamati untuk dapat diketahui bentuk penyimpangan positif yang ada, dari perilaku masyarakat tersebut. Upaya yang dilakukan dapat dengan memanfaatkan kearifan lokal yang berbasis pada keyakinan bahwa setiap individu memiliki kebiasaan dan perilaku khusus, atau tidak umum yang memungkinkan mereka dapat menemukan cara-cara yang lebih baik, untuk mencegah kekurangan gizi dibandingkan tetangga mereka yang memiliki kondisi ekonomi yang sama tetapi tidak memiliki perilaku yang termasuk penyimpangan positif. Kebiasaan keluarga yang menguntungkan sebagai inti positif deviance dibagi menjadi tiga atau empat kategori utama yaitu pemberian makan, pengasuhan, kebersihan, dan mendapatkan pelayanan kesehatan (Core 2003). Sanitasi Lingkungan Sanitasi lingkungan adalah pengawasan lingkungan fisik, biologis, sosial, dan ekonomi yang mempengaruhi kesehatan manusia dimana lingkungan yang berguna ditingkatkan dan diperbanyak, sedangkan yang merugikan diperbaiki dan dihilangkan (Entjang 2000). Sanitasi lingkungan dapat pula diartikan sebagai kegiatan yang ditujukan untuk meningkatkan dan mempertahankan standar
24
kondisi
lingkungan
yang
mendasar
yang
mempengaruhi
kesejahteraan
masyarakat. Kondisi tersebut mencakup: (1) pasokan air yang bersih dan aman; (2) pembuangan limbah dari hewan, manusia, dan industri yang efisien; (3) perlindungan makanan dari kontaminasi biologis, dan kimia; (4) udara yang bersih dan aman; (5) rumah yang bersih dan aman. Sanitasi lingkungan sangat mempengaruhi kesehatan dan kebersihan lingkungan. Sementara lingkungan yang bersih dan sehat menjadi suatu indikator kesehatan seseorang. Kesehatan seseorang akan terlihat dari daya tahan tubuh terhadap suatu penyakit sehingga dapat menurunkan angka kesakitan dan angka kematian. Selain itu lingkungan yang bersih dan sehat akan mencegah penyakit menular (Sukandar 2007). Pemukiman yang sanitasinya tidak baik seperti tidak tersedia air bersih, jamban, tempat pembuangan sampah, tidak tersedia saluran pembuangan air kotor memungkinkan seseorang dapat menderita penyakit infeksi yang menyebabkan seseorang kurang gizi. Penyakit infeksi tersebut antara lain diare dan cacingan. Sanitasi Air Air bersih dan sehat merupakan air yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari yang tidak mengandung kotoran dan kuman, sehingga aman untuk dikonsumsi dan tidak menimbulkan gangguan kesehatan (Latifah et al. 2002). Selain itu, menurut Notoatmodjo (2007), air yang sehat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Syarat fisik: syarat air yang dilihat dari fisiknya antara lain jernih, tidak berwarna, tidak berasa, dan tidak berbau. b. Syarat kimiawi: tidak mengandung zat-zat berbahaya seperti zat-zat racun atau zat-zat organik lebih tinggi dari jumlah yang ditentukan c. Syarat bakteriologis: air yang bebas dari segala bakteri, terutama bakteri patogen Air bersih belum tentu dikatakan sehat, menurut Entjang (2000) untuk memperoleh air minum yang sehat dapat diperoleh melalui 1) sumber air yang bersih; 2) tangan dan tempat penampungan air bersih; 3) wadah penampung air disertai dengan tutup dan sering dibersihkan; 4) memasak air sampai mendidih sebelum diminum; 5) menggunakan alat-alat minum yang bersih (termasuk gayung sebagai alat pengambil air harus bersih).
25
Menurut Subandriyo et al. (1997) sumber air minum yang bersih dan sehat dapat diperoleh dari air pompa, air ledeng, sumur yang terlindungi, dan mata air yang terlindungi. Sumur yang baik harus memenuhi syarat antara lain jarak sumur dengan kamar mandi minimum 10 meter dan dinding sumur 1 meter di atas tanah dan 3 meter dalam tanah serta harus dibuat dari tembok yang tidak tembus air agar perembesan air dari sekitar tidak terjadi. Sanitasi Lingkungan Perumahan Rumah adalah tempat manusia berlindung dari panas terik matahari, hujan, dan hal-hal lain yang dapat mengganggu kesehatan, keamanan, dan kenyamanan manusia. Kondisi rumah adalah salah satu faktor yang menentukan keadaan sanitasi lingkungan. Menurut Winslow dalam Entjang (2000), rumah yang tidak sehat dapat mengakibatkan pula tingginya kejadian infeksi penyakit dalam masyarakat. Rumah yang sehat harus memenuhi kebutuhan fisiologis dan psikologis serta dapat menghindar terjadi kecelakaan dan penyakit. Rumah dikatakan sehat jika memenuhi beberapa persyaratan, diantaranya: 1. Lantai rumah harus mudah dibersihkan misalnya lantai yang terbuat dari keramik, tegel atau semen dan kayu atau bamboo. Lantai tanah tidak memenuhi syarat kesehatan karena dapat menjadi sumber penyakit seperti cacing dan bakteri penyebab sakit perut. 2. Atap rumah harus kuat dan tidak mudah bocor misalnya genteng, asbes, dan seng. 3. Dinding rumah yang baik adalah tembok yang dapat dicat dan dibersihkan dengan mudah. 4. Ventilasi udara biasanya berupa jendela yang dilengkapi dengan lubang angin. Fungsi ventilasi udara adalah untuk pertukaran udara agar udara di dalam ruangan tetpa bersih dan segar. 5. Rumah harus memiliki sumber air bersih dan sehat. 6. Jumlah kamar mandi sebaiknya disesuaikan dengan jumlah anggota keluarga. Setiap kamar mandi biasanya dilengkapi dengan jamban atau WC. 7. Rumah harus memiliki sarana pembuangan air limbah dan sampah 8. Kandang ternak harus terpisah cukup jauh dari rumah agar rumah terjaga kebersihan dan kesehatannya.
26
Pembuangan Limbah Manusia Kotoran manusia adalah semua benda atau zat yang tidak dipakai lagi oleh tubuh dan harus dikeluarkan dari dalam tubuh. Zat-zat yang harus dikeluarkan dari dalam tubuh ini berbentuk tinja (feses), air seni (urin), dan CO2. Kotoran
manusia
(feses)
adalah
sumber
penyebaran
penyakit
yang
multikomplek. Penyebaran penyakit yang bersumber pada feses dapat melalui berbagai macam jalan atau cara. Tinja dapat langsung mengkontaminasi makanan, minuman, sayuran, dan juga air, tanah, dan serangga. Peranan tinja dalam penyebaran penyakit sangat besar (Notoatmodjo 2007). Pengelolaan pembuangan limbah kotoran manusia merupakan hal penting yang juga harus diperhatikan karena banyak penyakit yang dapat disebarkan melalui pembuangan kotoran manusia. Pengelolaan pembuangan kotoran manusia yang baik dan memenuhi syarat kesehatan adalah tidak mengotori tanah permukaan, tidak mengotori air permukaan, tidak mengotori air tanah, kotoran tidak boleh terbuka sehingga dapat digunakan oleh lalat untuk bertelur atau berkembang biak, kakus harus terlindungi atau tertutup, dan pembuatannya mudah dan murah (Entjang 2000). Pembuangan Sampah Air Limbah Rumah Tangga Sampah adalah semua zat atau benda yang sudah tidak terpakai baik yang berasal dari rumah tangga atau dari proses industri. Ada dua jenis sampah, yaitu sampah organik dan sampah anorganik. Manusia perlu mengatur sampah agar
sampah
tidak
membahayakan
manusia
tersebut,
yaitu
dengan
penyimpanannya, pengumpulan, dan pembuangan (Sukarni 1989). Air limbah terdiri dari kotoran manusia, air kotoran dari dapur, kamar mandi, termasuk air kotor dari permukaan tanah. Air limbah diatur agar dapat mencegah pengotoran sumber air rumah tangga, menjaga kebersihan makanan, melindungi ikan dari pencemaran, melindungi air minum dari ternak, mencegah perkembangbiakan bibit penyakit, menghilangkan adanya bau-bauan, dan pemandangan tak sedap (Sukarni 1989). Pemukiman Kumuh Menurut Khomarudin (1997) lingkungan pemukiman kumuh memiliki definisi sebagai berikut: lingkungan yang berpenghuni padat (melebihi 500 org per Ha), kondisi sosial ekonomi masyarakat rendah, jumlah rumahnya sangat padat dan ukurannya dibawah standar, sarana prasarana tidak ada atau tidak
27
memenuhi syarat teknis dan kesehatan, hunian dibangun diatas tanah milik negara atau orang lain dan diluar perundang-undangan yang berlaku. Di kota-kota besar biasa ditemukan adanya daerah kumuh atau pemukiman miskin. Perkembangan lingkungan pemukiman di daerah perkotaan tidak terlepas dari pesatnya laju pertumbuhan penduduk baik karena faktor pertumbuhan penduduk secara alami maupun proses urbanisasi. Pertumbuhan penduduk dan terbatasnya lahan di daerah perkotaan menyebabkan semakin berkembangnya rumah petak kecil yang diperjualbelikan dan disewakan kepada para pendatang. Rumah-rumah petak kecil tersebut kemudian berkembang menjadi kawasan padat dan kumuh yang disebut dengan kawasan kumuh (slum area) (Gusmaini 2010). Biasanya penghuni pemukiman kumuh menempati kawasan yang sesungguhnya tidak diperuntukkan sebagai daerah pemukiman, oleh penduduk miskin kawasan tersebut diokupasi untuk dijadikan tempat tinggal, seperti bantaran sungai, di pinggir rel kereta api, tanah-tanah kosong di sekitar pabrik atau pusat kota, dan di bawah jembatan. Pemukiman kumuh biasanya memiliki tingkat kepadatan populasi tinggi dan berpenduduk miskin karena umumnya dihuni oleh orang-orang yang memiliki penghasilan sangat rendah, terbelakang, pendidikan rendah, jorok, dan lain sebagainya. Kawasan kumuh juga menjadi pusat masalah kesehatan karena kondisinya yang tidak higienis. Ciri yang menonjol dari pemukiman kumuh yang berada di gang sempit, adalah kerapatan bangunannya yang tinggi, diindikasi oleh jarak antar bangunan yang relatif dekat (bersebelahan dan berhadapan) dengan kontruksi bangunan permanen. Dampak dari kerapatan bangunan yang tinggi, adalah kondisi ventilasi yang menjadi buruk akibat kurangnya sirkulasi udara; drainase-nya menjadi sempit dan dangkal karena lahan terbatas, akibatnya pada saat musim hujan pemukiman tersebut sangat potensi mengalami kebanjiran; tata letak tidak teratur dan jalan sempit menyebabkan surkulasi pergerakan tidak terarah, bigitu pula dengan sanitasi lingkungan (sampah dan air limbah) menjadi tidak baik (Suparlan 1984). Kemiskinan Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat
28
pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan merupakan masalah global. Jumlah penduduk miskin sangat dipengaruhi oleh besarnya Garis Kemiskinan (GK) karena penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki ratarata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan. Selama Maret 2011-Maret 2012, Garis Kemiskinan naik sebesar 6,63 persen, yaitu dari Rp 355.480 per kapita per bulan pada Maret 2011 menjadi Rp 379.052 per kapita per bulan pada Maret 2012. Dengan memperhatikan komponen Garis Kemiskinan (GK), yang terdiri dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM), terlihat bahwa peranan komoditi makanan
lebih
besar
dibandingkan
peranan komoditi
bukan
makanan
(perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan). Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan) di DKI Jakarta pada bulan Maret 2012 sebesar 363,20 ribu (3,69 persen) (BPS 2012). Menurut Bappenas (2007) dari berbagai faktor penyebab masalah gizi, kemiskinan dinilai memiliki peranan penting dan bersifat timbal balik, artinya kemiskinan akan menyebabkan kurang gizi dan individu yang kurang gizi akan berakibat atau melahirkan kemiskinan. Masalah kurang gizi memperlambat pertumbuhan ekonomi dan mendorong proses pemiskin melalui tiga cara. Pertama, kurang gizi secara langsung menyebabkan hilangnya produktivitas karena kelemahan fisik. Kedua, kurang gizi secara tidak langsung menurunkan kemampuan fungsi kognitif dan berakibat pada rendahnya tingkat pendidikan. Ketiga, kurang gizi dapat menurunkan tingkat ekonomi keluarga karena meningkatkan pengeluaran untuk berobat. Kemiskinan secara langsung menyebabkan rendahnya konsumsi pangan, sering sakit, sering hamil, umunya bekerja sebagai buruh dan keluarga miskin cenderung memiliki jumlah anggota keluarga lebih besar. Faktor-faktor tersebut secara langsung dan tidak langsung menyebabkan terjadinya kurang gizi. Keadaan kurang gizi pada sumber daya manusia mengakibatkan produktivitas menjadi rendah (World Bank 2006).