TINJAUAN PUSTAKA Balita Gizi pada Anak Balita Masa balita merupakan masa kehidupan yang sangat penting dan perlu diberikan perhatian yang serius. Pada masa ini berlangsung proses tumbuh kembang yang sangat pesat yaitu pertumbuhan fisik dan perkembangan psikomotorik (mental dan sosial) (Kurniasih dkk 2010). Pertumbuhan dan perkembangan balita sangat terkait dengan kondisi atau keadaan gizi balita tersebut. Keadaan gizi yang salah baik kekurangan atau pun kelebihan gizi dapat menyebabkan timbulnya masalah gizi. Pemberian ASI saja pada bayi setelah usia 6 bulan tidak lagi dapat memberikan cukup energi dan zat gizi untuk meningkatkan tumbuh kembang anak secara optimal. Pada usia di atas 6 bulan, bayi harus diberikan makanan pelengkap selain pemberian ASI. Periode usia bayi antara 6 hingga 24 bulan merupakan periode transisi yang sangat penting, sebab pada periode ini terdapat kemungkinan terjadinya ketidakcukupan asupan gizi yang paling besar serta trauma emosional yang dapat menimbulkan stres akibat hubungan ibu dengan bayi yang kurang dekat (Gibney et al 2009). Pertumbuhan Fisik Balita Pertumbuhan merupakan proses bertambahnya jumlah dan besar sel di seluruh bagian tubuh yang secara kuantitatif dapat diukur (Hidayat 2004). Menurut Jellife & Jellife (1989), pertumbuhan merupakan peningkatan pada ukuran tubuh baik organ-organ maupun jaringan-jaringannya dari masa konsepsi melalui tahap kanak-kanak dan remaja sampai kepada masa dewasa. Pertumbuhan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu internal (biologis, termasuk pengaruh genetik) dan eksternal (termasuk status gizi). Pada pertumbuhan yang lebih atau lambat sering disebabkan oleh beberapa faktor yang terjadi secara bersamaan atau secara berurutan. Menurut Sediaoetama (2000), jika seorang anak diukur berat badannya secara periodik maka akan terdapat suatu gambaran atau pola pertumbuhan anak tersebut. Terdapat dua fase pertumbuhan cepat (growth spurt) pada pola pertumbuhan seseorang, yaitu periode bayi dan balita serta periode remaja (adolescence). Di antara kedua fase tersebut terdapat fase pertumbuhan lambat (growth plateau), yaitu periode sekolah dan bagian akhir fase dewasa. Pada fase
5
pertumbuhan diperlukan banyak bahan baru dalam bentuk zat-zat gizi dibandingkan dengan fase umur dewasa. Terutama pada fase growth spurt, kebutuhan zat gizi akan meningkat dengan pesat sehingga suatu kondisi defisiensi pada fase umur ini akan segera berpengaruh pada pertumbuhan anakanak tersebut (Sediaooetama 2000). Menurut Arisman (2007), anak berumur 1-3 tahun akan mengalami pertambahan berat sebanyak 2-2,5 kg, dan tinggi sebesar rata-rata 12 cm setahun (tahun kedua 12 cm, dan tahun ketiga 8-9 cm). Berdasarkan standar WHO-NCHS, ditetapkan berat rata-rata anak balita usia 1 hingga 3 tahun masing-masing adalah 10,12, dan 14 kg. Karakteristik Keluarga Keluarga sebagai kelompok inti dari masyarakat merupakan lingkungan alami hasil pertumbuhan dan perkembangan anak, perlu terus diberdayakan sehingga menjadi lingkungan yang kondusif bagi tumbuh kembang anak. Menurut Suhardjo (1989), keluarga merupakan unit sosial dasar yang keberadaannya secara kelembagaan kuat dan strukturnya ditentukan oleh tradisi dan hukum walaupun hal ini sangat beragam antar budaya. Umur Orangtua Orang tua khususnya ibu yang terlalu muda (<20 tahun) cenderung kurang mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang cukup dalam mengasuh anak sehingga pada umumnya orang tua tersebut merawat dan mengasuh anak berdasarkan pada pengalaman orang tua terdahulu. Selain itu, faktor usia muda juga lebih cenderung menjadikan ibu lebih memperhatikan kepentingannya sendiri
daripada
kepentingan
anaknya
sehingga
kulitas
dan
kuantitas
pengasuhan anak kurang terpenuhi. Sebaliknya, pada ibu yang memiliki usia yang telah matang (dewasa) akan cenderung menerima perannya dengan sepenuh hati (Hurlock 1998). Pendidikan Orangtua Latar belakang pendidikan orang tua baik kepala keluarga maupun istri merupakan salah satu unsur penting yang ikut menentukan keadaan gizi anak. Pada masyarakat dengan rata-rata pendidikan rendah, menunjukkan prevalensi gizi kurang yang lebih tinggi, dan sebaliknya pada masyarakat dengan tingkat pendidikan cukup tinggi cenderung prevalensi gizi kurang pada anak reliatif lebih rendah (Satrapradja & Muhilal 1989).
6
Tingkat pendidikan ayah atau kepala keluarga secara langsung maupun tidak langsung menentukan keadaan ekonomi rumah tangga yang kemudian juga memberikan pengaruh dominan terhadap keadaan gizi balita. Pendidikan ibu di samping merupakan modal utama dalam menunjang perekonomian rumah tangga, juga berperan dalam pola penyusunan makanan untuk keluarga dan juga untuk pola pengasuhan anak. Rendahnya pendidikan ibu menyebabkan berbagai keterbatasan dalam menangani masalah gizi dan keluarga serta anak balitanya. Pendidikan ibu merupakan salah satu faktor penentu mortalitas bayi dan anak karena tingkat pendidikan ibu berpengaruh terhadap tingkat pemahamannya terhadap perawatan kesehatan, hygiene, dan kesadarannya terhadap kesehatan anak dan keluarga (Madanijah 2003). Pekerjaan Orangtua Semakin bertambah luasnya lapangan kerja maka semakin mendorong banyaknya kaum wanita yang bekerja, terutama di sektor swasta. Di satu sisi, hal tersebut berdampak positif bagi pertambahan pendapatan, namun di sisi lain berdampak negatif terhadap pembinaan dan pemeliharaan anak. Perhatian terhadap pemberian makan anak menjadi kurang, sehingga cenderung dapat menyebabkan anak menderita kurang gizi, yang selanjutnya berpengaruh buruk terhadap tumbuh kembang dan perkembangan otak anak (Suhardjo 1989). Pekerjaan yang berhubungan dengan pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan kualitas dan kuantitas makanan. Terdapat hubungan yang erat antara pendapatan dan status gizi, didorong oleh pengaruh yang menguntungkan dari pendapatan yang meningkat bagi perbaikan kesehatan dan masalah keluarga lainnya yang berkaitan dengan keadaan gizi hampir berlaku umum pada semua tingkat pendapatan. Rendahnya pendapatan dan rendahnya daya beli tidak memungkinkan untuk mengatasi kebiasaan makan dan cara-cara tertentu yang menghalangi perbaikan gizi yang efektif, terutama untuk anak-anak (Suhardjo 1989). Besar Keluarga Hubungan antara laju kelahiran yang tinggi dan kurang gizi, sangat nyata pada masing-masing keluarga. Pada suatu keluarga, terutama keluarga miskin akan lebih mudah untuk memenuhi kebutuhan makanannya jika jumlah keluarganya sedikit. Pangan yang tersedia untuk suatu keluarga yang besar mungkin cukup untuk keluarga yang besarnya setengah dari keluarga tersebut,
7
tetapi tidak cukup untuk mencegah gangguan gizi pada keluarga yang besar tersebut (Suhardjo 2003). Anak-anak yang tumbuh dalam suatu keluarga miskin adalah paling rawan terhadap kurang gizi diantara seluruh anggota keluarga, dan anak yang paling kecil biasanya paling terpengaruh oleh kekurangan pangan. Hal ini disebabkan karena semakin bertambah besar jumlah keluarga, maka pangan untuk setiap anak berkurang dan banyak orangtua tidak menyadari bahwa anakanak yang sangat muda memerlukan pangan yang relatif lebih banyak dibandingkan anak-anak yang lebih tua (Suhardjo 2003). Menurut Notoadmodjo (2007a), di dalam keluarga besar dan miskin, anak-anak dapat menderita karena penghasilan keluarga harus digunakan untuk orang banyak. Pendapatan Keluarga Menurut Suhardjo (1989), dengan meningkatnya pendapatan seseorang, maka akan terjadi perubahan-perubahan dalam susunan makanan. Akan tetapi, pengeluaran uang yang lebih banyak untuk pangan tidak menjamin lebih beragamnya konsumsi pangan. Rendahnya pendapatan merupakan rintangan yang menyebabkan orang-orang tidak mampu membeli pangan dalam jumlah yang dibutuhkan. Ada pula keluarga yang sebenarnya mempunyai penghasilan cukup namun sebagian anaknya berstatus kurang gizi. Pada umumnya tingkat pendapatan naik, maka jumlah dan jenis makanan cenderung untuk membaik, tetapi mutu makanan tidak selalu membaik (Suhardjo 2003). Perilaku Hidup bersih dan Sehat (PHBS) Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) adalah upaya memberikan pengalaman belajar bagi perorangan, keluarga, kelompok, dan masyarakat dengan membuka jalur komunikasi, memberikan informasi dan melakukan edukasi, guna meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku, melalui pendekatan advokasi, bina suasana (social support) dan gerakan masyarakat (empowerment) sehingga dapat menerapkan cara hidup sehat, dalam rangka menjaga, memelihara dan meningkatkan kesehatan masyarakat (Notoatmodjo 2007).
Pengembangan
lingkungan
bersih
dan
sehat
penting
untuk
diselenggarakan guna mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat, melalui peningkatan sanitasi lingkungan, baik pada lingkungan fisik, kimia atau biologis, termasuk perilaku (Effendi dkk 2010).
8
Terdapat empat baseline data yang penting diperhatikan dan merupakan indikator sukses dalam mencapai Indonesia Sehat, yaitu; 1) derajat kesehatan masyarakat setempat; 2) kesehatan lingkungan wilayah setempat; 3) perilaku hidup sehat masyarakat di wilayah kerja masing-masing tingkat Pemda; dan 4) sistem informasi kesehatan di masing-masing tingkat wilayah provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan desa (Depkes 2008 dalam Effendi dkk 2010). Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) menitikberatkan pada pengertian perilaku sehat, dan dibagi ke dalam tiga indikator, yaitu indikator nasional, indikator lokal spesifik, dan indikator di tiap tatanan. Pada tingkat nasional, terdapat tiga indikator PHBS, yaitu persentase penduduk tidak merokok, persentase penduduk yang mengonsumsi sayur dan buah-buahan, serta persentase penduduk yang melakukan aktifitas fisik/olahraga (Effendi dkk 2010). Indikator lokal spesifik merupakan indikator nasional yang ditambah dengan beberapa indikator lokal spesifik masing-masing daerah sesuai dengan situasi dan kondisi daerah. Menurut Depkes RI (2008), terdapat 16 indikator lokal spesifik PHBS yang dapat digunakan untuk mengukur perilaku sehat, yaitu; 1.
Ibu hamil memeriksakan kehamilannya
2.
Ibu melahirkan ditolong oleh tenaga kesehatan
3.
Pasangan usia subur (PUS) memakai alat KB
4.
Balita ditimbang
5.
Penduduk sarapan pagi sebelum melakukan aktifitas
6.
Bayi mendapatkan imunisasi lengkap
7.
Penduduk minum air bersih yang masak
8.
Penduduk menggunakan jamban yang sehat
9.
Penduduk mencuci tangan dengan sabun
10. Penduduk menggosok gigi sebelum tidur 11. Penduduk tidak menggunkana napza 12. Penduduk mempunyai Askes/tabungan/uang/emas 13. Penduduk wanita memeriksakan kesehatan secara berkala dengan SADARI (periksa payudara sendiri) 14. Penduduk memeriksakan kesehatan secara berkala untuk mengukur hipertensi 15. Penduduk wanita memeriksakan kesehatan secara berkala dengan Pap Smear
9
16. Perilaku seksual dan indikator lain yang diperlukan sesuai prioritas masalah kesehatan yang ada di daerah Indikator lain yang juga digunakan untuk menentukan baik atau tidaknya PHBS pada suatu keluarga adalah indeks potensi keluarga sehat (IPKS), yang terdiri atas 7 macam indikator menurut Depkes (2008), antara lain sebagai berikut: 1. Tersedianya sarana air bersih 2. Tersedianya jamban keluarga 3. Lantai rumah bukan dari tanah 4. Peserta KB 5. Memantau tumbuh kembang anak 6. Tidak ada anggota keluarga yang merokok 7. Menjadi peserta JPKM Sasaran dari program PHBS mencakup lima tatanan, yaitu: tatanan rumah tangga, institusi pendidikan, tempat kerja, tempat umum dan sarana kesehatan. Sedangkan sasaran program PHBS dalam tatanan keluarga adalah pasangan usia subur, ibu hamil dan atau menyusui, balita dan remaja, usia lanjut, dan pengasuh anak (Depkes RI 2007c). Menurut Dinkes (2006), sasaran PHBS dalam tatanan rumah tangga adalah seluruh anggota keluarga secara keseluruhan, dan dibagi menjadi tiga kelompok, yakni: 1. Sasaran primer Merupakan sasaran utama dalam rumah tangga yang akan diubah perilakunya atau anggota keluarga yang bermasalah (individu dalam keluarga yang bermasalah). 2. Sasaran sekunder Merupakan sasaran yang dapat mempengaruhi individu dalam keluarga yang bermasalah, misalnya kepala keluarga, ibu, orangtua, tokoh keluarga, tokoh agama, tokoh masyarakat, petugas kesehatan dan lintas sector terkait, PKK, dan lain sebagainya. 3. Sasaran tersier Merupakan sasaran yang diharapkan dapat menjadi unsur pembantu dalam menunjang atau mendukung pendanaan, kebijakan, dan kegiatan untuk tercapainya pelaksanaan PHBS, misalnya seperti kepala desa, lurah, camat, kepala Puskesmas, guru, tokoh masyarakat, dan lain sebagainya.
10
Perilaku hidup sehat juga diklasifikasikan ke dalam beberapa perilaku menurut Becker (1979) dalam Notoatmodjo (2007b), yakni sebagai berikut: 1. Makan dengan menu seimbang (appropriate diet). Menu seimbang yang dimaksud adalah dalam arti kualitas yakni mengandung zat-zat gizi yang diperlukan tubuh, dan dalam arti kuantitas yakni jumlahnya cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh. 2. Olahraga teratur mencakup kualitas (gerakan) dan kuantitas dalam arti frekuensi dan waktu yang digunakan untuk olahraga. 3. Tidak
merokok.
Merokok
merupakan
kebiasaan
buruk
yang
mengakibatkan berbagai macam penyakit. Meski demikian, pada kenyataannya
kebiasaan
merokok
di
Indonesia
seolah
sudah
membudaya hampir 50% penduduk Indonesia usia dewasa. Bahkan saat ini diperkirakan sekitar 15% remaja telah merokok. 4. Tidak minum minuman keras dan narkoba. Kebiasaan minum minuman keras dan mengonsumsi narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya lainnya) juga semakin meningkat, yakni diperkirakan sekitar 1% penduduk Indonesia dewasa diperkirakan sudah mempunyai kebiasaan minum minuman keras. 5. Istirahat secara cukup. Meningkatnya kebutuhan hidup akibat tuntutan penyesuaian dengan lingkungan modern, mengharuskan orang untuk bekerja keras dan berlebihan sehingga waktu istirahat menjadi berkurang. Hal tersebut apabila terus berlanjut dapat membahayakan kesehatan. 6. Mengendalikan stres. Stres dapat terjadi pada siapa saja, dan lebih sebagai akibat dari tuntutan hidup yang sulit. Stres tidak dapat dihindari, namun yang terpenting adalah menjaga agar stres tidak menyebabkan gangguan kesehatan. Stres dapat dikendalikan dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang positif. 7. Perilaku atau gaya hidup yang positif bagi kesehatan, misalnya dengan tidak berganti-ganti pasangan dalam hubungan seks, dan penyesuaian diri dengan lingkungan. Pengetahuan gizi Pengetahuan adalah informasi yang disimpan dalam ingatan dan menjadi penentu utama perilaku seseorang (Engel 1995 dalam Khomsan dkk 2009). Tingkat pengetahuan seseorang akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku seseorang karena berhubungan dengan daya nalar, pengalaman, dan kejelasan
11
konsep mengenai obyek tertentu. Semakin baik pengetahuan gizi seseorang maka akan semakin memperhatikan kualitas dan kuantitas pangan yang dikonsumsinya (Khomsan dkk 2009). Pengetahuan tentang gizi yang harus dimiliki masyarakat antara lain kebutuhan-kebutuhan bagi tubuh (karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral). Selain itu, jenis-jenis makanan sehari-hari yang mengandung zat-zat gizi yang dibutuhkan tubuh tersebut, baik secara kualitataif dan kuantitatif, akibat atau penyakit-penyakit yang disebabkan karena kekurangan gizi dan sebagainya (Notoatmodjo 2007b). Menurut Pranadji (1988) dalam Ulfa (2006), pengetahuan termasuk di dalamnya pengetahuan gizi dapat diperoleh melalui pendidikan formal dan pendidikan informal. Pendidikan yang dimaksud adalah proses yang dilakukan secara sadar, terus menerus, sistematis, dan terarah yang mendorong terjadinya perubahan-perubahan pada setiap individu di dalamnya. Soewendo & Sadli (1990) dalam Ulfa (2006) mengatakan bahwa tingkat pengetahuan gizi ibu berhubungan erat dengan tingkat pendidikan formal ibu. Semakin tinggi tingkat pendidikan formal ibu, maka akan semakin luas wawasan berpikirnya sehingga akan lebih banyak informasi zat gizi yang dapat diserap. Sikap dan Perilaku gizi Menurut Mar’at (1981) dalam Khomsan dkk (2009), sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, namun berupa predisposisi dari tingkah laku, yakni predisposisi untuk bertindak senang atau tidak senang terhadap obyek tertentu mencakup komponen kognisi, afeksi, dan konasi. Komponen kognisi akan menjawab pertanyaan apa yang dipikirkan atau dipersepsikan tentang suatu obyek, sedangkan komponen afeksi menjawab pertanyaan tentang apa yang dirasakan, senang atau tidak senang terhadap suatu obyek. Komponen konasi akan menjawab pertanyaan bagaimana kesediaan atau kesiapan untuk bertindak terhadap obyek. Sikap seseorang terhadap makanan dipengaruhi oleh pengalaman dan respon yang diperlihatkan oleh orang lain terhadap makanan sejak masa anakanak. Pengalaman yang diperoleh ada yang dirasakan menyenangkan atau sebaliknya, sehingga individu dapat mempunyai sikap suka atau tidak suka terhadap makanan (Suhardjo 2003). Perilaku
gizi
individu
meliputi
segala
sesuatu
yang
menjadi
pengetahuannya (knowledge), sikapnya (attitude), dan tindakannya (action).
12
Dengan demikian perilaku gizi tidak muncul dalam diri individu tersebut (internal), melainkan merupakan hasil interaksi individu dengan lingkungannya (Slamet 1975 dalam Khomsan 1993). Perilaku Gizi Seimbang Ibu pada Balita Gizi seimbang adalah pola makan yang seimbang antar zat gizi yang diperoleh dari aneka ragam makanan dalam memenuhi kebutuhan zat gizi untuk hidup sehat, cerdas, dan produktif (Hidayat 2009). Sosialisasi pemahaman gizi seimbang telah dilakukan sejak tahun 1950, yakni dengan menggunakan slogan Empat Sehat lima Sempurna (ESLS), yang kemudian pada tahun 1994 diganti menjadi pedoman umum gizi seimbang (PUGS) sebab slogan ESLS dianggap tidak lagi memadai (Soekirman 2000). Pedoman umum gizi seimbang (PUGS) berisi atas 13 pesan dasar gizi seimbang yang disertai dengan logo tumpeng /kerucut dan anjuran porsi makan menurut kelompok umur. Bahan makanan dalam tumpeng gizi seimbang dikelompokkan berdasarkan fungsi utama zat gizi, yang dikenal sebagai Tri Guna Makanan, yaitu: 1) sumber zat tenaga (padi-padian, umbi-umbian, dan tepungtepungan), 2) sumber zat gizi pengatur (sayuran dan buah), 3) sumber zat pembangun
(kacang-kacangan,
makanan
hewani
dan
hasil
olahannya)
(Soekirman 2000). Ada pun 13 pesan dasar gizi seimbang yang disosialisasikan pada masyarakat dan keluarga, antara lain: 1. Makan aneka ragam makanan setiap hari 2. Makanlah makanan yang mengandung cukup energi 3. Makanlah makanan sumber karbohidrat setengah dari kebutuhan energi dan upayakan mengandung karbohidrat kompleks 4. Batasi konsumsi lemak dan minyak sampai 25% dari kecukupan energi 5. Gunakan garam beryodium 6. Makanlah makanan sumber zat besi 7. Berikan ASI saja pada bayi sampai umur 6 bulan dan berikan MP ASI sesudahnya 8. Biasakan makan pagi 9. Minumlah air bersih yang aman dan cukup jumlahnya 10. Lakukan aktivitas fisik secara teratur 11. Hindari minum minuman beralkohol 12. Makanlah makanan yang aman bagi kesehatan 13. Bacalah label pada makanan yang dikemas
13
Pola makan yang bergizi seimbang sangat penting pada usia balita, yakni bukan hanya untuk pertumbuhan fisik, tetapi juga untuk perkembangan kecerdasannya (Kurniasih dkk 2010). Meski demikian, pada usia balita sangat sering timbul masalah-masalah yang berkaitan dengan pola makan dan gizi, sehingga kemudian menimbulkan dampak negatif bagi pertumbuhan dan perkembangan balita. Beberapa masalah pola makan dan gizi yang sering terjadi pada balita usia 3-5 tahun antara lain adalah tidak menyukai sayuran, memilihmilih makanan, serta menyukai makanan junk food. Masalah-masalah tersebut jika dibiarkan oleh orangtua, khususnya ibu, maka akan menjadi kebiasaan yang kurang baik bagi balita di masa mendatang dan akan menyebabkan timbulnya masalah-masalah baru di kemudian hari (Kurniasih dkk 2010). Menurut Kurniasih dkk (2010), terdapat empat prinsip gizi seimbang bagi usia balita agar pertumbuhan dan perkembangannya optimal, yakni: 1) penganekaragaman makanan, 2) pola hidup bersih, 3) aktivitas fisik, dan 4) pemantauan berat badan balita. Keragaman makanan balita setiap hari harus mengandung gizi seimbang dan harus dapat memenuhi kebutuhan akan makanan pokok, lauk pauk, sayur, dan buah untuk menghindari berbagai masalah pola makan dan kesehatan pada balita. Kebersihan dan kesehatan lingkungan juga sangat penting untuk diperhatikan dalam prinsip gizi seimbang. Pola hidup bersih perlu diajarkan pada anak-anak sejak usia dini untuk dapat menumbuhkan kebiasaan hidup bersih. Kebiasaan hidup bersih yang dapat diajarkan pada balita, khususnya usia 3-5 tahun antara lain adalah sebagai berikut; 1. Mencuci tangan hingga bersih menggunakan sabun dan membilasnya dengan air pancuran atau air mengalir. Cuci tangan diajarkan pada balita, yakni pada saat sebelum dan setelah makan, setelah bermain, dan setelah baung air kecil atau buang air besar. 2. Ibu membiasakan untuk menutup makanan menggunakan tutup saji serta membiasakan anak tidak memegang makanan langsung dengan tangan, melainkan dengan menggunakan sendok. 3. Mengajarkan anak menjaga kebersihan gigi dan mulut, yakni dengan mengajarkan anak untuk menggosok gigi dua kali sehari, yaitu setelah makan dan sebelum tidur. Aktivitas fisik merupakan bagian penting untuk mengimbangi makanan yang dikonsumsi serta untuk menjaga kesehatan dan kebugaran. Seorang ibu
14
dapat mengajak dan membiasakan anak balitanya untuk melakukan aktivitas fisik secara rutin. Aktivitas di luar ruang yang terpapar sinar matahari bermanfaat bagi densitas tulang anak. Aktivitas fisik yang dianjurkan pada usia balita adalah aktivitas fisik yang banyak mengeluarkan tenaga (permainan aktif) seperti kejarkejaran, lempar bola, loncat bantal, main sepeda, berenang, serta jalan/lari pagi, dan bukan permainan pasif seperti computer games atau play station. Pendampingan orangtua, khususnya ibu dalam aktivitas fisik balita sangat penting karena kedekatan orangtua kepada anak dalam melakukan kegiatan bersama akan menumbuhkan bonding effect (kedekatan bati/emosional) antara orangtua dan anak (Kurniasih dkk 2010). Pemantauan berat badan ideal pada balita juga sangat penting, yakni untuk mengetahui ada tidaknya penurunan atau kenaikan berat badan pada balita. Menurut Kurniasih dkk (2010), prinsip berat badan ideal pada anak adalah anak yang sehat, dengan bertambah umur maka bertambah juga berat badannya. Menurut standar WHO, berat badan ideal anak laki-laki usia 2 tahun adalah 12,2 kg, dan pada anak perempuan adalah 11,5 kg. Untuk seterusnya, setelah usia 2 tahun sampai 5 tahun, pertambahan berat badan rata-rata adalah 2-2,5 kg per tahun. Beberapa perilaku gizi seimbang yang dapat dilakukan oleh ibu pada anak balita usia 2-5 tahun antara lain adalah menimbang berat badan anak setiap bulan ke
posyandu/klinik,
imunisasi
dan
pemberian
kapsul
vitamin
A
dari
posyandu/puskesmas setempat, serta mengkonsultasikan masalah kesehatan/gizi anak pada dokter atau ahli kesehatan (Kurniasih dkk 2010). Penilaian Konsumsi Pangan Tahap pertama kekurangan zat gizi dapat diidentifikasi dengan cara menilai konsumsi makanannya. Metode pengukuran konsumsi makanan berdasarkan jenis data yang diperoleh dapat dibedakan menjadi tiga, yakni metode kualitatif , metode kuantitatif, dan metode kualitatif-kuantitatif. Metode penilaian konsumsi makanan yang bersifat kualitatif biasanya digunakan untuk mengetahui frekuensi makan, frekuensi konsumsi menurut jenis bahan makanan dan menggali informasi tentang kebiasaan makan (food habits), serta cara-cara memperoleh bahan makanan tersebut. Metode pengukuran konsumsi makanan yang bersifat kualitatif antara lain adalah metode frekuensi makanan (food frequency), metode dietary history, metode telepon, dan metode pendaftaran makanan (food list) (Supariasa dkk 2002).
15
Adapun metode kuantitatif digunakan untuk mengetahui jumlah makanan yang
dikonsumsi
sehingga
dapat
dihitung
konsumsi
zat
gizi
dengan
menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) atau daftar lain yang diperlukan seperti Daftar Ukuran Rumah Tangga (URT), Daftar Konversi Mentah Masak (DKMM), dan Daftar Penyerapan Minyak. Metode-metode untuk pengukuran konsumsi secara kuantitatif antara lain adalah metode recall 24 jam, perkiraan makanan (estimated food record), penimbangan makanan (food weighing), metode food account, metode inventaris (inventory method), dan pencatatan
(household
food
record). Sementara
itu,
beberapa
metode
pengukuran yang dapat menghasilkan data yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif antara lain adalah metode recall 24 jam dan metode riwayat makan (dietary history) (Supariasa dkk 2002). Penilaian konsumsi makanan dapat dilakukan pada taraf rumah tangga atau individu. Cara yang digunakan pada kedua taraf tersebut bisa saja berbeda atau sama. Adapun cara-cara penilaian konsumsi makanan yang dapat digunakan untuk penilaian konsumsi makanan di tingkat rumah tangga,antara lain dengan cara inventaris (inventory method), cara pendaftaran (food list method), cara recall, dan cara penimbangan (weighing method). Sedangkan yang hanya dapat digunakan untuk penilaian konsumsi makanan individu adalah recall dan penimbangan. Penilaian Status Gizi Balita Status gizi merupakan keadaan kesehatan individu atau kelompok yang ditentukan oleh derajat kebutuhan fisik akan energi dan zat-zat gizi lain yang diperoleh dari makanan, yang dampak fisiknya dapat diukur secara antropometri (Suhardjo 2003). Menurut Hardinsyah & Martianto (1988), konsumsi makanan merupakan salah satu faktor yang secara langsung berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Salah satu indikator yang menentukan status gizi keluarga adalah dengan mengetahui status gizi balita dan anak yang peka terhadap konsumsi zat gizi. Kelompok umur yang rentan terhadap penyakit-penyakit kekurangan gizi adalah kelompok bayi dan anak balita. Oleh karena itu, indikator yang paling baik untuk mengukur status gizi masyarakat adalah melalui status gizi bayi dan balita (Notoadmodjo 2007b). Menurut Supariasa dkk (2002), status gizi dapat dinilai dengan dua cara, yakni secara langsung dan tidak langsung. Penilaian gizi secara langsung meliputi antropometri, biokimia, klinis, dan biofisik, sedangkan
16
penilaian gizi secara tidak langsung meliputi survei konsumsi makanan, statistik vital, dan faktor ekologis. Cara yang digunakan untuk menentukan status gizi sangat tergantung pada tahapan keadaan kurang gizi. Indikator yang digunakan tergantung pada waktu, biaya, tenaga, dan tingkat ketelitian penelitian yang diinginkan, serta banyaknya orang yang akan dinilai status gizinya. Penilaian status gizi secara antropometri secara umum adalah berhubungan dengan ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Menurut Supariasa dkk (2002), pengukuran antropometri digunakan untuk melihat ketidakseimbangan asupan energi dan protein. Ketidakseimbangan tersebut terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot, dan jumlah air dalam tubuh. Beberapa kelebihan dari penilaian status gizi secara antropometri menurut Supariasa dkk (2002) adalah prosedurnya sederhana, aman, dan dapat dilakukan dalam jumlah sampel yang besar; relatif tidak membutuhkan tenaga ahli; alatnya murah, mudah dibawa, dan tahan lama; metodenya tepat dan akurat; dapat mendeteksi atau menggambarkan riwayat gizi di masa lampau; serta dapat mengidentifikasi status gizi baik, kurang, dan buruk karena sudah ada ambang batas yang jelas. Adapun beberapa kelemahan dari penilaian status gizi secara antropometri antara lain tidak sensitif untuk mendeteksi status gizi dalam waktu singkat; adanya faktor di luar gizi seperti penyakit, genetik, dan penurunan penggunaan energi; adanya kesalahan pada saat pengukuran sehingga dapat mempengaruhi presisi, akurasi, dan validitas pengukuran antropometri gizi. Parameter antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi. Menurut Supariasa dkk (2002), kombinasi antara beberapa parameter disebut sebagai indeks antropometri. Adapun beberapa indeks antropometri yang sering digunakan antara lain Berat Badan menurut Umur (BB/U), Tinggi Badan menurut Umur (TB/U), dan Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB). Perbedaan penggunaan indeks tersebut akan memberikan gambaran prevalensi status gizi yang berbeda-beda. Menurut Wattelow (1973) dalam Notoadmodjo (2007a), penilaian status gizi yang dianjurkan adalah dengan menggunakan indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) hanya cocok
17
untuk mengukur status gizi pada masa lalu, sedangkan indeks berat badan menurut umur (BB/U) tidak atau kurang mampu membedakan antara malnutrisi akut dan malnutrisi kronik. Status gizi dengan indikator berat badan menurut umur (BB/U) lebih mencerminkan status gizi saat ini. Berat badan menggambarkan massa tubuh (otot dan lemak) yang sangat sensitif terhadap perubahan mendadak, seperti terserang penyakit infeksi, penurunan nafsu makan, atau penurunan jumlah makanan yang dikonsumsi. Sebaliknya, indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) lebih menggambarkan status gizi masa lalu, sebab tinggi badan lebih menggambarkan pertumbuhan skeletal yang dalam keadaan normal berjalan seiring dengan pertumbuhan umur (Riyadi 2003). Indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) merupakan indikator yang baik untuk menyatakan status gizi, sebab indeks BB/TB dapat memberikan gambaran proporsi berat badan relatif terhadap tinggi badan pada waktu sekarang, sehingga indeks ini dijadikan sebagai indikator kekurusan (Supariasa dkk 2002).