TINJAUAN PUSTAKA Kakao dan Produk Olahannya Kakao atau coklat dengan nama ilmiah Theobroma cacao Linneaus, telah dikenal manusia sejak jaman pendudukan kuno Maya dan Astek sebagai "makanan dewa-dewa“ dan banyak dipakai pada upacara adat, resep makanan mereka serta sebagai obat (Mao et al 2003). Setelah penyebarannya ke seluruh dunia, kakao telah dikenal sebagai obat untuk berbagai jenis penyakit, seperti anemia, sakit kepala, anoreksia, asma, diare, sakit mata dan kelelahan (Minifie 1999).
Gambar 1 Buah kakao Menurut Tjitrosupomo (1988), sistematika kakao adalah sebagai berikut : Divisi
: Spermatophyta
Sub Divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Sub Kelas
: Dialypetalae
Ordo
: Malvales
Famili
: Sterculiaceae
Genus
: Theobroma
Spesies
: Theobroma cacao Linneaus
Pohon kakao terutama dijumpai di daerah yang beriklim panas dan lembab, seperti Afrika Barat, Indonesia dan Srilanka (Minifie 1999). Indonesia adalah produsen kakao terbesar ketiga setelah Ivory Coast dan Ghana dengan
6
produksi tahunan mencapai 435 ribu ton. Luas areal penanaman kakao telah mencapai lebih dari 770 ribu hektar yang tersebar di seluruh propinsi, kecuali DKI Jakarta (DJBPP 2004). Daerah penghasil utama kakao di Indonesia adalah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sumatra Utara, dan Jawa Timur. Kakao sudah seharusnya menjadi produk unggulan di tanah air, karena Indonesia memiliki lahan luas yang memungkinkan budidaya kakao, tenaga kerja yang banyak, dan iklim tropis yang mendukung (DJBPP 2004). Tanaman kakao yang banyak dibudidaya di Indonesia adalah jenis kakao mulia atau kakao edel (fine atau flavour cocoa) yang berasal dari varietas criollo, dengan buah berwarna merah; dan jenis kakao lindak (bulk cocoa) yang berasal dari varietas forestero dan trinitario dengan warna buah hijau. Buah kakao yang telah matang ditandai dengan warna buah yang mulai semburat orange dari warna merah untuk kakao mulia, dan semburat kuning dari warna hijau untuk kakao lindak. Kakao lindak merupakan kakao kualitas kedua. Namun kakao jenis ini mendominasi perkebunan Indonesia ((DJBPP 2004; Minifie 1999). Disamping itu 90% kakao yang diproduksi petani belum terfermentasi serta mutunya rendah, sehingga suplier lebih senang mengekspor kakao mutu rendah tersebut dan mengimpor kakao olahan dari luar. Untuk meningkatkan daya saing, pemerintah telah mengeluarkan SNI agar produk kakao seluruhnya dilakukan fermentasi. Namun pada kenyataannya adanya monopoli dari negara pembeli kakao terbesar, membuat petani tetap menjual biji kakao non fermentasi yang bernilai rendah. Pohon kakao menghasilkan tandan bunga berwarna merah muda dan putih serta tidak begitu harum. Tandan tersebut menghasilkan buah yang masingmasing berisi 20-50 biji kakao. Biji kakao yang bermutu baik biasanya berukuran cukup besar, seberat lebih dari 1 gram per biji kering (Minifie 1999).
Kakao Fermentasi Kakao fermentasi adalah biji kakao masak yang diolah terlebih dahulu melalui proses pemeraman atau secara fermentasi alami. Sebelum difermentasi, buah kakao yang telah matang dipecah menggunakan batang kayu. Biji yang diperoleh masih terbungkus lendir, lalu difermentasikan dengan menumpuk dalam suatu wadah dari papan atau dionggokkan dengan alas lalu ditutup daun pisang
7
selama 7-12 hari, untuk memunculkan aroma khas coklat (Minifie 1999). Proses fermentasi ini amat kompleks karena melibatkan mikrobia tertentu seperti bakteri asam laktat dan khamir. Secara komersial, derajat fermentasi biji kakao ditandai dengan perubahan warna pada kotiledonnya. Munculnya warna coklat pada biji menandakan bahwa fermentasi berlangsung baik (Minifie 1999). Proses fermentasi kakao ditujukan untuk menentukan tingkat kandungan senyawa flavonoid yang selanjutnya akan menentukan karakteristik citarasa coklat yang dihasilkan (Cakirer 2003). Komposisi dan konsentrasi polifenol akan menurun selama fermentasi, di mana bentuk monomer, trimer dan tetramer lebih cepat menurun daripada bentuk oligomer (Cakirer 2003). Setelah proses fermentasi, biasanya biji kakao disortir lalu dikeringkan hingga kadar air maksimum 7,5% agar tidak ditumbuhi kapang. Pada tahap ini biji kakao selanjutnya dibersihkan dari kulit, sehingga siap digiling dan dipisahkan lemaknya (cocoa butter) untuk memperoleh bubur coklat (chocolate liquor). Lemak kakao yang diperoleh rata-rata sekitar 52-58%, lebih dari 5% adalah abu dan lebih dari 7% adalah bubur coklat (Belitz dan Grosch 1999). Bubur coklat mudah mengalami oksidasi, sehingga harus segera dipisahkan dari lemak dengan cara pengepresan. Hasilnya berupa balok-balok coklat yang rasanya pahit (bitter chocolate), tapi tahan disimpan dalam waktu yang relatif lama, walau masih mengandung kadar lemak sekitar 10-24%. Sampai tahap ini biasanya masih dilakukan proses pengepresan lanjut hingga mencapai kadar lemak < 20%. Bubuk kakao rendah lemak yang berwarna gelap dan aroma coklatnya lembut ini dimanfaatkan sebagai bahan pengisi kue, icing, bubuk puding, es krim dan minuman coklat (Belitz dan Grosch 1999).
Kakao Non Fermentasi Kakao non fermentasi adalah biji kakao masak yang langsung dikeringkan dan diekstraksi untuk diambil lemaknya. Lemak kakao merupakan materi yang sangat lembut dan bernilai gizi tinggi. Lemak kakao banyak digunakan sebagai bahan pengganti minyak ikan (cod-liver oil) dan bisa dikonsumsi sebagai suplemen saat masa-masa akhir kehamilan. Lemak kakao juga dipakai sebagai bahan pembentuk suppositoria dan pessaria yaitu sejenis alat kontrasepsi, bahan
8
krim, sabun, serta bahan pelapis pil. Oleh sebab itu lemak kakao sangat bernilai tinggi di industri farmasi dan kosmetika. Bubuk kakao bebas lemak merupakan sisa hasil ekstraksi lemak kakao tahap akhir. Produk kakao ini tidak begitu memiliki aroma khas coklat, agak pahit dengan kadar lemak hanya 2,59% dan belum banyak pemanfaatannya. Pada skala laboratorium, lemak dalam bubuk kakao dapat dipisahkan dengan metode soxhlet menggunakan pelarut petroleum eter (titik didih 40-60ºC) selama 16 jam. Bubuk kakao bebas lemak kemudian dikeringkan dengan oven. Polifenol kasar dapat diekstrak dari bubuk tersebut dengan penambahan metanol absolut (1:10), kemudian dihomogenisasi. Setelah disentrifugasi pada 4000 rpm selama 15 menit pada suhu dingin, diperoleh supernatan yang kemudian diuapkan untuk mendapatkan polifenol murni (Misnawi dan Selamat 2004). Polifenol kakao paling banyak terdapat pada bubuk kakao dibandingkan pada lemak kakao. Hal ini disebabkan polifenol tersimpan di dalam sel pigmen, yang menentukan warna kakao (Belitz dan Grosch 1999).
Komposisi Kimia dan Flavonoid Kakao Menurut Misnawi et al (2002), biji kakao yang difermentasi mengandung kadar polifenol sekitar 50-100 g/kg, sedangkan biji kakao non fermentasi mengandung polifenol yang lebih tinggi dibandingkan dengan biji kakao fermentasi, yaitu sekitar 120-180 g/kg. Keberadaan polifenol pada konsentrasi yang tinggi dalam kakao memberi pengaruh negatif terhadap citarasa, berupa rasa sepat dan pahit yang berlebihan serta menghambat pembentukan komponenkomponen aroma selama proses penyangraian biji kakao (Misnawi et al 2004). Pembentukan rasa sepat diduga melalui mekanisme pengendapan protein-protein yang kaya prolin dalam air ludah dan menyumbang pada rasa pahit khas coklat bersama alkaloid, beberapa asam amino, peptida dan pirazin (Bonvehi dan Coll 1997). Berdasarkan penelitian Zairisman (2006), bubuk kakao bebas lemak dari jenis kakao lindak masak non fermentasi mengandung total fenol sebesar 35,5 ppm tiap 0,8 mg/ml ekstrak kakao dalam pelarut air atau sekitar 4,43 g dalam 100
9
g bubuk kakao. Adapun komposisi kimia bubuk kakao lindak bebas lemak seperti tercantum pada Tabel 1. Tabel 1 Komposisi kimia bubuk kakao lindak bebas lemak per 100 gram berat kering. Nutrisi
Komposisi (g/100 g)
Karbohidrat
51,42
Protein
28,08
Lemak
2,59
Air
10,42
Abu
7,51
Sumber: Yuliatmoko (2007); Hasanah (2007); Amri (2007)
Adapun komposisi kimia bubuk kakao menurut Cheney (1999) dan menurut Daftar Komposisi Makanan (Indonesia) seperti tercantum pada Tabel 2. Tabel 2 Komposisi kimia bubuk kakao per 100 gram Nutrisi
Komposisi Menurut Data Base USA1
Komposisi Menurut Daftar Komposisi Makanan2
Kalori (Kcal) Lemak (g) Karbohidrat (g) Serat (g) Protein (g) Alkohol (g) PUFA (g) Kolesterol (mg) Vitamin A (µg) Vitamin E (mg) Karotenoid (mg) Vitamin B1 (mg) Vitamin B2 (mg) Vitamin B6 (mg) Asam Folat Total (µg) Vitamin C (mg) Magnesium (mg) Fosfor (mg) Potassium (mg) Sodium (mg) Calcium (mg) Besi (mg) Seng (mg) Tembaga (mg) Mangan (mg) Air (g) Kadar abu
228,49 13,50 53,35 27,90 19,59 1495,50 8,99 169,45 13,86 7,93 4,61 4,73 2,58 6,33
477,1 29,7 63,4 0 4,2 0 1,0 0 2 0 0 0,1 0,1 0,1 10,0 0 115 132 365 11 32 3,1 1,6 0 -
Sumber: 1)Cheney (1999); 2) NutriSurvey 2002.
10
Pada biji kakao terdapat karbohidrat misalnya pati, stachyosa, rafinosa, sukrosa, glukosa dan fruktosa (Belitz dan Grosch 1999). Sedangkan serat pangan yang terdapat di dalam biji antara lain pentosan, galaktan, musin yang mengandung asam galakturonat dan selulosa. Karbohidrat bersama-sama dengan asam amino berkontribusi pada pengembangan flavor melalui degradasi gula saat proses pemanasan (reaksi Maillard). Asam amino yang terdapat dalam biji kakao misalnya asam aspartat, glisin dan lisin (Minifie 1999). Sejumlah polifenol golongan flavonoid terdapat dalam biji kakao, termasuk di dalamnya katekin, epikatekin dan antosianin (Minifie 1999). Flavonoid adalah komponen yang memiliki berat molekul rendah, dan pada dasarnya adalah phenylbenzopyrones (phenylchromones) dengan berbagai variasi pada struktur dasarnya, yaitu tiga cincin utama yang saling melekat. Struktur dasar ini terdiri dari dua cincin benzena (A dan B) yang dihubungkan melalui cincin heterosiklik piran atau piron (dengan ikatan ganda) yang disebut cincin ”C” (Middleton et al 2000). Hal ini dipertegas lagi oleh Miean dan Mohamed (2001) bahwa struktur flavonoid adalah rangkaian cincin karbon C 6 C 3 C 6 . Struktur inilah yang membuat senyawa fenolik cenderung mudah larut dalam pelarut organik atau air (CIC 2001) (Gambar 2).
Gambar 2 Struktur dasar flavonoid Flavonoid lebih jauh dibagi menjadi beberapa sub kelas yang berbeda, yang umumnya diklasifikasikan berdasarkan substitusi atom atau gugus atom pada atom karbon cincin C. Klasifikasi tersebut terdiri dari flavon, flavonol, flavanon, flavanol, proantosianin, antosianin dan isoflavon (Gambar 3). Terdapat banyak komponen individual dalam masing-masing subkelas tersebut. Komponen tersebut berbeda dalam jumlah dan susunan dari gugus –OH, adanya substitusi dengan gula, asam galat dan sebagainya, serta struktur tiga dimensinya. Di alam,
11
senyawa fenolik kerap dijumpai terikat pada protein, alkanoid, dan terdapat di antara terpenoid (CIC 2001). Flavonoid
Antosianin
Proantosianin
Isoflavon
Flavanon
Flavonol
Flavanol
Flavon
Hesperetin Tangeretin
Quercetin Kaempferol
Epikatekin Katekin
Luteolin Apigenin
Delphinidin Sianidin
Polimer flavanol
Genistein Daidzein
Gambar 3 Penggolongan flavonoid dalam bahan pangan, sebagai bagian polifenol dalam tanaman (Murphy et al 2003) Flavonoid terdapat pada sebagian besar tanaman yaitu sebagai pigmen kuning atau merah pada bunga serta berfungsi sebagai perlindungan terhadap serangan mikroba atau serangga (Minifie 1999). Flavonoid kakao atau flavanol, juga merupakan metabolit atau senyawa yang diproduksi untuk mempertahankan biji yang sedang tumbuh dari serangan penyakit (CIC 2001). Bila bijinya telah dipanen untuk selanjutnya diolah, flavanol lalu memainkan peranan penting dalam pengembangan flavor. Konsentrasi flavanol bervariasi, tergantung pada varietas dari pohon kakao (CIC 2001). Tidak mudah membedakan varietas kakao mana yang mengandung flavanol yang tinggi dan mana yang rendah. Cakirer (2003) melaporkan bahwa warna biji kakao bisa digunakan sebagai indikator total konsentrasi flavanol dalam biji kakao, karena komponen kimia yang bertanggung jawab pada warna kakao adalah flavanol sendiri. Flavanol yang berada dalam bentuk monomer misalnya katekin dan epikatekin, sedangkan yang berada dalam bentuk oligomer dikenal sebagai proantosianidin atau prosianidin (CIC 2001) (Gambar 4). Identifikasi Wollgast et
12
al (2000) menyimpulkan bahwa flavonoid kakao 58% dalam bentuk oligomer, dan 37% di antaranya dalam bentuk monomer flavan-3-ol, sedangkan 5% sisanya berupa antosianin dan polifenolik lainnya. Secara teori, prosianidin dapat dipecah menjadi monomer-monomernya melalui pemecahan oksidatif dalam sistem butanol asam (Misnawi dan Selamat 2004), namun dalam tubuh enzim-enzim pencernaan diduga mampu melakukan pemecahan flavonoid kakao. Menurut Keen (2001), flavonoid kakao dalam bentuk monomer lebih mudah diserap tubuh daripada bentuk polimer atau oligomer. Yuliatmoko (2007) telah mengidentifikasi adanya katekin pada plasma subyek yang telah mengkonsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak selama 25 hari. Murphy et al (2003) juga melaporkan adanya peningkatan konsentrasi epikatekin dan katekin pada plasma subyek yang telah disuplementasi dengan prosianidin selama 28 hari.
Monomer : (+)- katekin
Prosianidin : dimer hingga dekamer
Gambar 4 Struktur kimia monomer dan oligomer flavonoid kakao
Aktivitas Antioksidan Flavonoid Sistem antioksidan sangat penting dalam pertahanan suatu organisme. Detoksifikasi ROS dilakukan oleh sistem enzimatik dan non enzimatik yang merupakan sistem pertahanan antioksidan dalam tubuh. Sistem enzim tersebut misalnya SOD, katalase, glutatione peroksidase, D-T diaphorase (Sies et al 1985). Sistem enzim seperti SOD dan katalase beraksi secara spesifik melawan ROS, sedangkan antioksidan non enzimatik kurang spesifik namun juga dapat memungut radikal baik organik maupun inorganik. Antioksidan enzimatik dan non enzimatik dapat diklasifikasikan menjadi larut air dan larut lemak, tergantung
13
di mana mereka terutama beraksi, di dalam fase cair atau dalam bagian membran sel yang lipofilik. Antioksidan hidrofilik misalnya asam askorbat dan asam urat, sedangkan termasuk antioksidan lipofilik misalnya ubiquinol, retinoid, karotenoid dan tokoferol (vitamin E). Sementara itu protein plasma, GSH dan asam urat termasuk antioksidan endogenus, sedangkan asam askorbat, karotenoid, retinoid, flavonoid dan tokoferol termasuk antioksidan makanan (Middleton et al 2000). Reaktif oksigen spesies (ROS) secara umum sebagai istilah bagi bentuk radikal dengan atom oksigen di tengah, seperti superoksida (O2*) dan hidroksil (•OH), atau jenis turunan oksigen non radikal seperti hidrogen peroksida (H2O2), oksigen singlet (1O2) dan asam hipoklorat (HOCl) (Middleton et al 2000). ROS berperan penting dalam aksi terhadap banyak senyawa asing, termasuk xenobiotik. Produksi ROS akan meningkat seiring dengan banyaknya kerusakan jaringan. Terbentuknya radikal bebas mengimplikasikan adanya penyakit seperti inflamasi atau gangguan sistem imun bahkan infarksi miokardinal dan kanker (Hodgson dan Levi 2000). Radikal bebas yang diproduksi dalam jumlah normal, sesungguhnya penting untuk menjaga fungsi biologis. Namun, jika jumlahnya berlebihan, ia akan mencari pasangan elektronnya dengan merampas secara radikal dari molekul lain yang mengakibatkan kerusakan oksidatif jaringan yang sering dikenal sebagai stres oksidatif (Sies 1985). Pembentukan ROS dalam sistem biologis yang menimbulkan kerusakan misalnya peroksidasi lipid membran, kerusakan oksidatif pada asam nukleat dan karbohidrat, oksidasi sulfidril dan kelompok protein lainnya yang rentan. Radikal bebas diketahui memiliki kecenderungan mengawali dan mengembangkan karsinogenesis (Hodgson dan Levi
2000). Banyak
penelitian melaporkan adanya peranan ROS dalam arterosklerosis, stroke, infarksi miokardinal, trauma, artritis, iskemia dan kanker (Middleton et al 2000). Jika jumlah radikal bebas makin banyak, antioksidan endogen tidak akan mampu lagi melumpuhkan secara efektif sehingga harus ada tambahan antioksidan dari luar (eksogen) yang berasal dari bahan makanan (Feldman
2002; Halliwel dan
Gutteridge 1999). Senyawa alami seperti flavonoid menurut banyak penelitian juga dikenal sebagai antioksidan. Hal ini disebabkan oleh strukturnya yang dapat menangkap
14
radikal bebas (free radical scavengers) dengan melepaskan atom hidrogen dari gugus hidroksilnya (Middleton et al 2000). Pemberian atom hidrogen ini akan menyebabkan radikal bebas menjadi stabil dan berhenti melakukan gerakan ekstrim, sehingga tidak merusak makromolekul seperti lipid, protein, dan DNA yang menjadi target kerusakan seluler (Gambar 5). Menurut Middleton et al (2000), flavonoid juga dapat bertindak sebagai quencer oksigen singlet dan sebagai pengkelat logam. Menurut Charpentier dan Cateora (1996) mekanisme antioksidan flavonoid adalah a) melalui penghambatan terbentuknya radikal bebas, b) menjadi perantara dalam netralisasi radikal bebas yang telah terbentuk ( scavenger ), c) menurunkan kemampuan radikal bebas dalam reaksi oksidasi, dan d) menghambat enzim oksidatif, misalnya sitokrom P-450 sehingga meningkatkan kerja enzim berikutnya yaitu GSH. Menurut Shahidi (1997), antioksidan diketahui bekerja pada berbagai tahapan oksidasi molekul lemak, yaitu dengan cara menurunkan kadar oksigen, menangkap singlet oksigen, pencegahan tahap inisiasi reaksi rantai melalui penangkapan radikal hidroksil, pengikatan ion logam katalisator, dekomposisi produk utama menjadi senyawa non radikal dan pemutusan reaksi rantai untuk mencegah kelanjutan penarikan elektron dari substrat.
Katekin
Radikal
Katekin kuinon
Gambar 5 Fitur aktivitas antioksidan flavonoid kakao (Rice –Evans 2001). Kapasitas antioksidan flavonoid tergantung pada kemampuan reduksi bentuk radikalnya dan kemudahan berubah menjadi bentuk radikalnya (Rice – Evans 2001). Karakter struktur yang mendasari kemampuan reduksi tersebut
15
antara lain adalah adanya struktur katekol (3’, 4’- dihidroksi) dalam cincin B; serta adanya ikatan rangkap 2,3 dan gugus 3-hidroksil dalam cincin C (Rice – Evans 2001). Sesuai dengan studi secara in vitro, pada studi in vivo atau manusia juga dilaporkan bahwa dosis kecil dari epikatekin sangat efektif sebagai antioksidan. Epikatekin dan flavonoid lainnya tidak hanya mempunyai efek antioksidan secara langsung, namun juga memiliki efek sinergis pada antioksidan lainnya seperti vitamin C dan E (Engler et al 2004). Kekuatan antioksidan flavonoid kakao didukung oleh kelarutannya yang tinggi dalam sistem yang heterogen, bahkan dalam sistem emulsi lemak sekalipun (Ziegleder dan Sandmeier 1983). Senyawa katekin dapat berperan sebagai antioksidan yang akan menghalau radikal bebas yang bersifat karsinogenik, sehingga tidak sempat menempel dengan DNA sel sehingga kerusakannya bisa dicegah (Middleton et al 2000). Menurut Ziegleder dan Sandmeier (1983), keampuhan katekin sebagai antioksidan hampir 100 kali lebih efektif dari vitamin C dan 25 kali lebih ampuh dari vitamin E. Hasil penelitian Selamat dan Misnawi (2002) mendapatkan bahwa aktivitas antioksidan polifenol biji kakao masih tetap tinggi bahkan lebih baik dari vitamin E (αtokoferol) walaupun telah dipanaskan sampai 140ºC selama 45 menit. Yuliatmoko (2007) melaporkan bahwa konsumsi minuman bubuk kakao lindak bebas lemak pada 18 orang wanita sehat selama 25 hari berpengaruh nyata dalam meningkatkan aktivitas antioksidan plasma yang meliputi peningkatan kadar vitamin C plasma, peningkatan antiradikal bebas, dan penurunan nilai malonaldehida (MDA) plasma serta memperpanjang phase lag diena terkonjugasi. Hasanah (2007) melaporkan bahwa konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak pada 18 wanita sehat selama 25 hari dapat meningkatkan aktivitas enzim antioksidan katalase baik pada eritrosit maupun plasma. Rein et al (2000) melaporkan bahwa dengan mengkonsumsi minuman kakao yang kaya flavanol, akan terjadi peningkatan kapasitas antioksidan darah dalam 2 jam setelah konsumsi. Di samping itu juga terjadi penurunan pada penanda yang berhubungan dengan kerusakan akibat radikal bebas. Hal ini mendukung konsep bahwa flavanol kakao berperan sebagai antioksidan dalam tubuh dan membantu mencegah kerusakan akibat radikal bebas.
16
Pada studi randomized cross-over pada 23 subyek yang sehat, diberikan konsumsi makanan Amerika biasa (terkontrol kandungan serat, kafein dan theobromine) dan makanan biasa yang disuplementasi dengan bubuk coklat dan dark
chocolate.
Setelah
empat
minggu,
subyek
yang
makan
dengan
disuplementasi coklat menunjukkan peningkatan kapasitas antioksidan total dalam darah, penurunan oksidasi Low Density Lipoprotein (LDL) dan peningkatan High Density Lipoprotein (HDL) (Wan et al 2001). Mathur et al (2002) melaporkan tentang studi cross-over non-blind pada 25 subyek sehat yang diberi coklat dan minuman kakao selama 6 minggu. Berdasarkan pengukuran yang dilakukan pada kinetika oksidasi LDL dan isoprostanes dalam urin, maka selama fase suplementasi kakao terjadi penurunan oksidasi LDL. Sedangkan tidak terjadi perubahan pada penanda inflamasi seperti sitokin darah, interlukin TNF dan C-reaktif protein sebelum dan sesudah perlakuan. Hasil penelitian di atas mendukung bukti bahwa konsumsi kakao yang mengandung flavanol sebagai bagian dari makanan campuran dapat meningkatkan kapasitas antioksidan dalam darah dan dapat mempengaruhi secara positif faktor yang berhubungan dengan kesehatan kardiovaskular, serta merupakan strategi diet yang penting untuk mendukung kesehatan jantung.
Metabolisme Flavonoid Metabolisme senyawa xenobiotik terdiri dari dua fase. Pada fase satu, toksikan bersifat lipofilik akan ditransformasikan oleh enzim-enzim fase satu (monooksigenase) menjadi senyawa-senyawa metabolit yang bersifat polarreaktif. Pada fase dua, metabolit yang terbentuk akan dikonjugasikan oleh enzim-enzim fase dua (konjugasi) sehingga dihasilkan senyawa yang bersifat hidrofilik dan mudah diekskresikan ke luar tubuh. Namun jika metabolisme senyawa xenobiotik menghasilkan produk yang reaktif, maka akan menimbulkan efek toksik bagi tubuh (Hodgson dan Levi 2000). Enzim sitokrom P450 berperan penting dan terlibat paling dominan pada reaksi fase I, yang mana dalam reaksi ini terjadi proses oksidasi, reduksi atau hidrolisis guna memasukkan gugus fungsional yang sesuai bagi reaksi konjugasi fase II. Flavonoid umumnya bersifat polar, sehingga ketika dikonsumsi akan
17
segera diserap, dan diduga langsung menginduksi aktivitas enzim-enzim fase II. Bioavailabilitas flavonoid tergantung pada struktur kimianya dan apakah molekul tersebut dikonjugasikan. Jalur penyerapan dan metabolisme flavonoid sangat umum, bila ada perbedaan jalur metabolik, maka ditentukan oleh 1) spesifitas dan aktivitas dari transporter, 2) spesifitas dan aktivitas dari enzim-enzim metabolisme, dan 3) stabilitas flavonoid (Williamson 2004). Flavonoid terdapat di tanaman atau bahan pangan umumnya dalam bentuk glikosidanya. Glikosida flavonoid bersifat stabil pada suhu pemanasan atau pemasakan biasa, stabil pada pH lambung yang asam, dan stabil terhadap enzimenzim gastrik. Karenanya glikosida flavonoid yang dikonsumsi, bisa mencapai usus dengan utuh. Lambung memiliki luas permukaan yang melakukan penyerapan lebih kecil dibandingkan dengan permukaan usus halus, sehingga memiliki keterbatasan dalam melakukan penyerapan aglikon flavonoid. Flavanol, seperti katekin dan oligomer proantosianidin, biasanya terdapat di alam dalam bentuk aglikon (unglycosylated) (Williamson 2004). Glikosida flavonoid harus mengalami deglikosilasi sebelum diserap di usus. Deglikosilasi dapat terjadi di beberapa sisi dari duodenum dan jejunum setelah transport flavonoid menuju enterosit., yaitu (1) di dalam lumen usus; (2) oleh enzim hidrolase yang terdapat pada brush border; atau (3) oleh hidrolase intraseluler. Deglikosilasi merupakan prasyarat untuk konjugasi oleh
enzim
intestinal, dan untuk ditransportasikan pada sisi serosal (dalam darah) atau mukosal
(dalam
usus).
Luminal
mengandung
glikosidase
yang
dapat
memindahkan gula dari flavonoid. Glikosidase ini bisa berasal dari sel yang luruh, sekresi intestinal, atau dari bagian makanan yang dikonsumsi dan juga bisa berasal dari sejumlah mikroorganisme. Di dalam brush border terdapat enzim lactase phlorizin hydrolase (LPH) yang berperan dalam hidrolisis laktosa. Enzim ini juga membantu deglikosilasi flavonoid sebelum penyerapan. Enzim ini beraksi di luar sel epitel sehingga molekul dapat dideglikosilasi di dalam lumen tanpa harus melintasi membran enterosit terlebih dahulu. Produk deglikosilasi adalah sebuah aglikon bebas yang kemudian berdifusi ke sel epitel secara difusi pasif atau fasilitas. Mekanisme penyerapan glikosida flavonoid ke enterosit juga melibatkan suatu transporter gula, yaitu SGLT1. SGLT1 akan mengikuti transpor
18
glikosida flavonoid ke dalam sel, untuk kemudian dideglikosilasi oleh βglukosidase sitosolik (Williamson 2004). Di usus terdapat enzim-enzim yang berperan dalam konjugasi senyawa xenobiotik, seperti glucuronosyl transferase (UGTs) dan glutathione transferase. Flavonoid membentuk konjugasi dengan glukuronida di usus halus. Pada model studi penyerapan usus halus yang menguji flavonoid yang ditransfer dari kompartemen mukosal ke komparteman serosal, didapatkan bahwa quercetin, katekin dan genistein terutama berada dalam bentuk terglukuronidasi. Enzim yang mengkatalis konjugasi di usus halus manusia kebanyakan adalah UGT1A1 dan 1A8, meskipun UGT1A9 juga berperan di hati. Bentuk terkonjugasi dari flavonoid, akan melindungi flavonoid dari fluida biologis. Dalam bentuk aglikon, flavonoid akan tidak stabil dan waktu paruhnya lebih pendek daripada dalam bentuk terkonjugasi. Flavonoid akan lebih stabil dalam bentuk terkonjugasi, dan dapat ditranportasikan ke jaringan. Namun tidak semua flavonoid terkonjugasi di usus, karena di dalam plasma juga didapatkan flavonoid yang tidak terkonjugasi walaupun dalam jumlah yang sangat sedikit. Flavonoid tersebut adalah katekin dan isoflavon pada kondisi, dosis dan waktu tertentu (Williamson 2004). Hati akan menerima flavonoid dari darah, termasuk darah dari usus halus selama melewati metabolisme yang pertama. Berdasarkan penelitian secara in vitro dan in vivo diketahui bahwa flavonoid dari usus halus akan mencapai hati, sepenuhnya dalam bentuk terkonjugasi dengan glukuronida. Glukuronida dari usus halus akan diambil ke sel hepatik oleh suatu transporter atau mekanisme lainnya.
Setelah
pengambilan
ini,
glukuronida
dari
usus
halus
akan
dideglukuronisasi di dalam sel oleh enzim β–glukuronidase lalu disulfatasi, atau glukuronida yang utuh dimetilasi. Pada reaksi sulfatasi yang terutama terjadi di hati, residu glukuronida flavonoid akan dipindahkan dan digantikan oleh sulfat. Sejumlah kecil flavonoid akan lepas dari konjugasi di dalam usus halus. Aglikon ini akan mencapai hati di mana akan terkonjugasi dengan sulfat, glukuronida dan mungkin termetilasi. Konjugat flavonoid akan dikirimkan ke bile lalu kembali ke usus halus. Lalu konjugat flavonoid akan ditranspor ke kolon tanpa mengalami dekonjugasi lagi. Di kolon akan mengalami deglukuronidasi
19
atau sulfatasi oleh mikroba di ileum atau kolon lalu terjadi reabsorpsi flavonoid, sebelum masuk dalam siklus hepatik. Darah mengangkut flavonoid ke jaringan di seluruh tubuh. Aglikon dapat masuk ke jaringan perifer secara difusi pasif atau fasilitas jika berada dalam plasma. Konjugat glukuronida harus ditransportasikan ke jaringan perifer karena sifatnya yang relatif hidrophilik dan berdifusi melalui membran dengan sangat lambat. Enzim-enzim mikroflora kolon, memiliki kapasitas yang sangat tinggi untuk reaksi dekonjugasi, termasuk deglikosilasi, deglukuronidasi dan desulfatasi. Secara in vitro, reaksi dekonjugasi berlangsung sangat cepat, hingga menghasilkan aglikon (Williamson 2004).
Manfaat Kakao bagi Pembuluh Darah Dewasa ini penelitian-penelitian di dalam dan di luar negeri telah banyak membuktikan manfaat flavonoid kakao bagi pembuluh darah. Fisher et al (2003) melaporkan studi tentang pengaruh konsumsi kakao kaya flavanol pada aliran darah periferal. Subyek yang sehat diminta meminum kakao kaya flavanol selama 5 hari, dan dilakukan pengukuran aliran darah pada hari pertama dan terakhir konsumsi. Subyek dengan minuman yang kaya flavanol mengalami kenaikan aliran darah periferalnya secara tajam dan terus menerus. Hal ini tampaknya berhubungan dengan produksi oksida nitrat, yaitu suatu molekul yang diproduksi dalam tubuh yang berperan penting dalam pengaturan respon pembuluh darah untuk mengalirkan darah. Sebaliknya subyek yang meminum kakao dengan sedikit flavanol tidak menunjukkan kenaikan aliran darah yang sama. Hasil yang sama juga ditunjukkan pada studi menggunakan subyek yang memiliki satu faktor resiko penyakit kardiovaskular, di mana subyek yang mengkonsumsi minuman kaya flavanol mengalami peningkatan aliran darah yang signifikan. Hal ini disebabkan terjadinya dilatasi pembuluh darah (relaksasi) yang paralel dengan peningkatan produksi oksida nitrat (Heiss et al 2003). Dilatasi pembuluh darah yang terjadi akan berpengaruh pada kadar eikosanoid dan juga pertahanan terhadap oksidasi (Mao et al 2002). Pada subyek yang sehat, dilatasi pembuluh darah segera terjadi pada 2 jam setelah konsumsi (Engler et al 2004).
20
Rein et al (2000) telah meneliti pengaruh minuman kakao yang mengandung flavanol saja dan kombinasinya dengan aspirin pada fungsi platelet. Platelet adalah sel dalam darah yang merupakan komponen utama pada pembekuan darah. Aspirin dikenal sebagai agen antiplatelet dan diberikan untuk menurunkan resiko penyakit kardiovaskular. Subyek sehat yang meminum kakao kaya flavanol saja, menunjukkan pembekuan darah yang lambat. Sedangkan pada subyek yang mengkonsumsi minuman kombinasi flavanol-aspirin, lebih menunjukkan efek yang saling mendukung dalam memodulasi faktor yang mempengaruhi pembekuan. Pada studi cross-over pada 16 subyek sehat yang diminta mengkonsumsi aspirin, minuman coklat dan kombinasi keduanya, fungsi platelet dievaluasi dengan berbagai tes misalnya induksi epinephrine pada 2 dan 6 jam setelah konsumsi. Diketahui bahwa flavanol dan aspirin sama-sama menghambat fungsi platelet. Bila aspirin telah menghambat pada jam ke 2 dan jam ke 6 setelah konsumsi, maka flavanol mulai menghambat setelah jam ke 6 (Rein et al 2000). Zhu et al (2002) melaporkan adanya penurunan yang signifikan pada kecenderungan eritrosit untuk mengalami hemolisis akibat radikal bebas setelah pemberian minuman yang mengandung flavanol kakao pada 5 – 6 ekor tikus Sprague Dawley maupun pada 8 orang sehat. Oligomer prosianidin kakao juga menunjukkan efek penghambatan proliferasi sel mikrovaskular endotel manusia pada angiogenesis karena stres oksidatif secara in vitro. Hal ini membuktikan bahwa komponen kakao tersebut dapat dimanfaatkan sebagai antitumor (Kenny et al 2004). Amri (2007) melaporkan bahwa konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak pada 18 wanita sehat selama 25 hari dapat meningkatkan kemampuan oksidatif eritrosit yang ditandai dengan penurunan kadar MDA eritrosit dan peningkatan aktivitas antioksidan eritrosit. Selain itu konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak dapat melindungi membran eritrosit dari kerusakan oksidatif yang ditandai dengan menurunnya persentase lisis yang disebabkan oleh beberapa oksidator. Olivia (2006) dan Zairisman (2006) melaporkan bahwa pada studi secara in vitro, aktivitas flavonoid kakao bebas lemak memiliki kapasitas sebagai
21
imunomodulator, karena dapat menstimulasi proliferasi sel limfosit. Hal ini diperkuat oleh Erniati (2007) yang membuktikan secara in vivo, bahwa setelah konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak selama 25 hari pada 18 subyek wanita sehat, aktivitas flavonoid kakao dapat menstimulasi proliferasi limfosit T dan limfosit B, yang diduga melalui stimulasi produksi sitokin, terutama IL-1, IL2 dan IL-4.
22
Tabel 3 Ringkasan penelitian tentang pengolahan dan manfaat kakao bagi kesehatan No.
Tema Penelitian
Referensi
Lokasi
1.
Peningkatan aliran atau relaksasi pembuluh dan sirkulasi darah; peningkatan produksi oksida nitrat (fungsi endothelia) dan pengaruh pada kadar eikosanoid serta ketahanan terhadap oksidasi
Fisher et.al (2003) Heiss et.al, (2003) Mao et al(2002). Engler et al(2004)
Harvard, USA Jerman Davis, USA San Fransisco, USA Davis, USA
2.
Penurunan tendensi pembentukan pembekuan darah, penghambatan fungsi platelet (aktivitas, agregasi) melalui penurunan ekspresi P-selectin, dan agregasi karena induksi ADP dan kolagen
Rein et.al (2000) Holt et al( 2002) Murphy et.al (2003)
Davis, USA Davis, USA Australia
3.
Peningkatan kapasitas antioksidan total dalam darah ; penurunan oksidasi LDL dan peningkatan HDL; pengaruh pada penanda inflamasi seperti sitokin darah, interlukin TNF dan C-reaktif protein; penghambatan proliferasi sel mikrovaskular endotel manusia pada angiogenesis karena stres oksidatif (antitumor)
Rein et.al (2000) Wan et al,2001 Mathur et.al (2002) Kenny et.al (2004)
Davis, USA Davis, USA Dallas, USA Davis, USA
4
Penurunan kecenderungan hemolisis eritrosit akibat radikal bebas.
Zhu et.al (2002), (2005)
Davis, USA
5
Peningkatan konsentrasi monomer polifenol kakao secara kimiawi
Misnawi et al (2004)
Jember, Indonesia
6.
Pengaruh polifenol kakao pada cita rasa dan perubahan selama fermentasi
7
Peningkatan oksidasi polifenol pada biji kakao selama fermentasi secara enzimatis
Misnawi et al (2001)
Jember, Indonesia
8
Pengaruh bubuk kakao bebas lemak terhadap : Efek perlindungan pada sel darah manusia secara in vitro, sifat oksidatif dan proliferasi limfosit manusia, aktivitas antioksidan, bioavailabilitas flavonoid dalam plasma, eritrosit darah, profil darah lengkap, enzim antioksidan dan sistem detoksifikasi.
Olivia (2006); Zairisman (2006); Erniati(2007); Yuliatmoko (2007); Amri .(2007); Hasanah(2007) Kusumaningtyas(2008)
Bogor, Indonesia
Misnawi et al (2001) Jember, Indonesia
23
Tabel 4 Pengaruh komponen aktif kakao pada kesehatan secara in vivo pada tikus dan manusia No Komponen Dosis Manfaat Subyek Referensi aktif 1
Epikatekin (E)
213mgP+46mgE (coklat batang)
Meningkatkan fungsi endotelia
21 org sehat, 2 mgg
Engler et al (2004).
2
Prosianidin (P)
0.375 g/kg bb (minuman)
Dapat diserap darah/tubuh
5 org sehat (3 lk, 2 pr)
Holt et al (2002)
18,75 g (minuman)
Menghambat fungsi platelet
30 org sehat, 3 kelompok
Rein et al (2000)
651 mg (coklat batang &minuman)
Menurunkan oksidasi LDL
25 org sehat, cross over, non-blind
Mathur et al (2002)
234mg/d (tablet)
Menurunkan fungsi platelet
32 org sehat (17 lk, 15 pr), 28 hr double-blind, randomized, placebo controlled
Murphy et al (2003)
100mg
Menghambat hemolisis eritrosit
5-6 tikus SD
Zhu et al (2002)
8 org sehat (lk), cross-over.
Zhu et al (2005)
3
Flavanol & prosianidin (FP)
0,25-0,5 g/kg bb (minuman)
Komponen Darah Darah manusia mempunyai berat kurang lebih sebesar 8% dari berat tubuh manusia. Darah terdiri atas unsur-unsur seluler sebanyak 45% yang tersuspensi dalam suatu larutan bersifat cair, yaitu plasma yang bervolume 55% dari keseluruhan volume. Adapun komponen seluler tersebut meliputi eritrosit atau sel darah merah, platelet atau trombosit, lekosit atau sel darah putih. Lekosit terbagi atas sel yang bergranula yaitu netrofil, eosinofil dan basofil; serta sel yang tidak bergranula yaitu limfosit dan monosit (Koolman dan Rohm 2000). Masing-masing komponen darah mempunyai fungsi yang spesifik dalam tubuh, seperti tercantum pada Gambar 6. Separasi pada suatu sampel darah yang telah diberi agen anti pembekuan dengan sentrifugasi, akan memisahkan sel darah merah pada dasar tabung, plasma
24
pada bagian atas tabung dan sel darah putih berada di antaranya dengan membentuk lapisan buffy coat seperti tercantum pada Gambar 7 (Olivia 2006). Komponen Darah
eritrosit transpor O2, CO2
trombosit pembekuan darah
lekosit, sistem imun
agranulosit
granulosit dikenal juga sebagai
polimorfonukleosit terdiri dari
limfosit Limfosit: 24 %, Produksi antibodi: T-sel, B-sel, Natural Killer Cells
monosit
basofill
Monosit: 4 %, Membunuh mikroba dg proses fagositosis
Basofil; 0,5-1 %, Dia 810µm, Mengeluarkan heparin,histamin seratonin dalam reaksi alergi, respon inflammasi
netrofil Netrofil; 60-70 %. Dia 10-12 µm Fagositosis, membunuh bakteri dengan lisozim & oksidan kuat, meningkat saat infeksi akut
eosinofil Eosinofil 2-4 %. Dia 10-12 µm. Membunuh efek histamin dlm reak si alergi Fagositosis kompleks antigen-antibodi Merusak cacing parasit
Gambar 6 Diagram komponen darah plasma lekosit atau lapisan buffy coat eritrosit
Gambar 7 Separasi sampel darah menurut berat jenisnya Fungsi Darah Darah mempunyai berbagai fungsi di dalam tubuh manusia. Darah merupakan alat transpor gas oksigen dan karbondioksida, mengangkut zat-zat makanan yang diserap dari usus ke dalam hati dan organ-organ lainnya, sehingga organ-organ tetap terpelihara dengan baik. Selain itu darah mengambil produk
25
akhir metabolisme dari jaringan dan membawanya ke paru-paru, hati dan ginjal untuk diekskresikan. Darah juga membantu distribusi ion-ion dan hormon di dalam organisme (Koolman dan Rohm 2000). Darah juga berfungsi sebagai homeostatis yaitu menjaga persediaan air di dalam sistem pembuluh darah, sel-sel ruang intraseluler dan daerah ekstraseluler agar selalu berada dalam keadaan seimbang. Darah juga mengatur keseimbangan asam-basa bekerja sama dengan paru-paru, hati dan ginjal. Transpor panas dalam tubuh juga diatur oleh darah sehingga suhu tubuh dapat terjaga (Koolman dan Rohm 2000). Darah juga berfungsi sebagai pertahanan tubuh yaitu dengan menghasilkan sel-sel sistem imun dan antibodi. Bila molekul-molekul dan sel-sel asing masuk ke dalam organisme, segera tubuh membentuk pertahanan baik berupa mekanisme tidak spesifik maupun spesifik. Darah juga mempunyai suatu sistem yang bekerja menggumpalkan darah dan menghentikan perdarahan secara fisiologik atau hemostasis serta mampu mencairkan kembali gumpalan-gumpalan darah atau fibrinolisis (Koolman dan Rohm 2000).
Pembentukan Sel Darah Semua jenis sel darah di produksi dalam sumsum tulang oleh sel yang disebut hematopoietik stem sel (multipotent stem cell). Stem sel ini sangat sedikit jumlahnya, hanya sekitar satu dalam 10.000 sel sumsum tulang dan menempel pada garis osteoblast pada permukaan sebelah dalam rongga tulang. Stem sel juga mengekspresikan protein permukaan sel yang ditandai dengan CD34. Stem sel memproduksi dua jenis keturunan dengan cara mitosis, yaitu stem sel anak dan sel-sel yang akan berdiferensiasi menjadi bermacam jenis sel darah lainnya. Pada orang dewasa sel darah diproduksi sebanyak 1011 per hari. Jalur diferensiasi sel disajikan seperti pada Gambar 8. Jalur mana yang akan dipilih diatur oleh kebutuhan akan jenis sel darah yang dikontrol oleh sitokin atau hormon yang sesuai, misalnya: interlukin-7 (IL-7), erithropoietin (EPO), dan thrombopoietin (TPO). IL-7 adalah sitokin utama dalam stimulasi stem sel untuk memulai jalur pembentukan limfosit. EPO yang diproduksi oleh ginjal, akan meningkatkan
26
produksi sel darah merah. TPO dibantu oleh IL-11 akan menstimulasi produksi megakaryosit, yang lalu berfragmentasi membentuk platelet. Granulocyte macrophage colony stimulating factor (GM-CSF) dibawah pengaruh granulocyte colony stimulating factor (G-CSF) akan berdiferensiasi menjadi netrofil. Lebih lanjut setelah distimulasi oleh IL-5 akan membentuk eosinofil, dan oleh IL-3 akan distimulasi untuk membentuk basofil. Dengan stimulasi oleh macrophage colony stimulating factor (M-CSF) sel anakan granulosit akan berdiferensiasi menjadi monosit, makrofag dan sel dendritik (Permono et al 2006; Lowe 1988; Weiss 1975). Pada orang dewasa, bila jaringan pembentuk sel-sel darah ekstramedular seperti limpa, limfonodi dan timus mengalami stres, maka sumsum tulang akan mengadakan kompensasi yaitu sebagai sumber pembentukan sel-sel darah. Lekosit adalah salah satu sel darah yang merupakan produk dari proses ini (Lowe 1988). Sel darah putih jumlahnya lebih sedikit daripada sel darah merah dengan perbandingan 1:700. Tidak seperti halnya sel darah merah dan platelet, ketika menjalankan fungsinya, sel darah putih langsung dilepaskan dalam jaringan. Sel darah putih memiliki inti sel. Sel darah putih juga memiliki internal struktur termasuk inti sel dan mitokondria yang berbeda fungsi dengan yang terdapat pada sel darah merah. Waktu hidup lekosit tidak diketahui dengan persis, nampaknya sekitar 3-12 hari untuk lekosit bergranular dan untuk yang tidak bergranular lebih panjang (Williams et al 1987). Granulosit atau lekosit yang bergranula misalnya neutrofil, eosinofil dan basofil. Pembentukan granulosit atau granulopoiesis di mana terjadi proliferasi yang dilakukan oleh sel stem pada sumsum tulang, dipengaruhi oleh faktor ekstrinsik dan faktor intrinsik. Faktor intrinsik yang banyak berperan adalah sistem hormonal dalam tubuh yaitu antara lain : a) androgen, yang merangsang produksi granulosit; b) antagonis adrenergik, estrogen, hormon pertumbuhan, prolaktin, progesteron dan tiroksin, yang tidak mempengaruhi granulosit dan monosit; serta c) deksametason dan prostaglandin E2 (PGE2) yang secara aktif mempengaruhi pertumbuhan dan diferensiasi granulosit dan monosit (Lowe 1988).
27
Eosinofil merupakan lekosit yang bergranula, memiliki 2 lobus dalam intinya, terdapat 2-4 % dari lekosit atau hanya sedikit saja terdapat dalam darah (0-450/ul) dan berdiameter 10-12 um (Sutedjo 2006).
Gambar 8 Jalur diferensiasi sel (Permono et al 2006) Basofil merupakan lekosit yang intinya terdapat granula besar yang menyerupai huruf S, berdiameter 8-10 µm, terdapat 0,5-1% dari jumlah seluruh lekosit (Sutedjo 2006). Trombosit atau platelet adalah sel kecil bergranula dengan diameter 2-4 µm. Jumlah berkisar antara 250.000-500.000 atau rata-rata sekitar 300.000/µl darah dan pada keadaan normal mempunyai waktu paruh 4 hari. Jumlah ini dipelihara oleh mekanisme homeostatik. Sekitar 60-70% trombosit yang dibentuk sel megakariosit yang lepas dari sumsum tulang berada dalam peredaran darah, sedangkan sisanya sebagian terdapat di dalam limpa (Williams et al 1987). Proses pembentukan sel-sel darah dewasa dipengaruhi berbagai faktor seperti lingkungan mikro dari sumsum tulang, network yang sangat komplek dari sitokin dan faktor pertumbuhan hematopoietik serta suplai yang memadai dari nutrisi-nutrisi, vitamin dan komponen mikro dalam makanan lainnya. Flavonoid
28
dilaporkan juga mempengaruhi pembentukan sel-sel darah dan fungsinya (Middleton et al 2000).
Eritrosit atau Sel Darah Merah Eritrosit merupakan sel yang berbentuk biconcave discoid dengan diameter 7 µm dan ketebalan 1-3 µm. Eritrosit terdapat sekitar 45% volume darah, yaitu 4.8 x 106/mm3 pada wanita dewasa dan 5.5 x 106/mm3 pada pria dewasa. Jumlah ini dapat bervariasi melebihi nilai kisaran tergantung faktor kesehatan dan ketinggian. Orang yang tinggal di tempat 18.000 kaki di atas permukaan laut bisa memiliki sel darah merah 8.3 x 106/mm3 (Weiss 1975).
Gambar 9 Karakteristik bentuk biconcave sel darah merah dari scanning mikrograf elektron (Lehninger 1994). Eritropoisis atau pembentukan eritrosit terjadi di sumsum tulang oleh aktivitas stem sel atau hemocytoblast. Sel-sel yang belum dewasa dengan diameter 20-23 µm membelah secara mitosis dan mengalami beberapa transformasi sebelum menjadi eritrosit. Pertama-tama stem sel menghasilkan rubriblast yang berbentuk bulat dengan inti di tengah dan sitoplasma yang agak buram.
Melalui
tahapan
pengembangan
seperti
prorubricyte,
rubricyte,
metarubricyte hingga reticulocyte, inti dan sel eritrosit menjadi lebih kecil. Reticulocyte merupakan prekursor eritrosit dan terdiri dari satu inti dan organela seperti mitokondria, aparatus Golgi, retikulum endoplasma dan ribosom. Sel-sel ini membentuk dua polipeptida yaitu α- dan β- globin dan protoporpirin dengan Fe dari hemoglobin. Setelah mensintesis hemoglobin ini, reticulocyte memulai proses diferensiasi di mana mereka kehilangan inti dan organelanya, sehingga pada saat sel darah merah dewasa muncul di aliran darah, sel tersebut sudah tidak
29
memiliki inti sel dan kemampuan metaboliknya terbatas. Sel darah merah ini tidak bisa mensintesis hemoglobin. Pada saat sel darah merah muncul di plasma, mereka masih bercampur dengan sedikit reticulocyte yang tersisa (0.5 sampai 1.5%) (Williams et al 1987; Koolman dan Rohm 2000). Waktu hidup sel darah merah antara 105 sampai 120 hari. Ketika sel darah merah mulai menua, mereka menjadi mudah rapuh dan akhirnya rusak oleh fragmentasi mekanis saat mengalami tekanan selama bersirkulasi dan fagositosis di hati dan limpa. Dalam waktu hidup tersebut, 0.8% dari populasi sel darah merah rusak dan diperbarui setiap harinya (120 x 109 sel). Sebagian besar besi dalam hemoglobin akan dipakai ulang, sedangkan porsi heme yang tersisa akan didegradasi menjadi pigmen empedu yang diekskresikan oleh hati. Mekanisme homeostatis mampu memelihara volume sel darah merah tetap seimbang, di mana penurunan jumlah sel darah merah akan mengaktivasi sekresi hormon erythropoietin yang menstimulasi sumsum belakang untuk meningkatkan produksi sel darah merah (Williams et al 1987; Koolman dan Rohm 2000).
Hemoglobin dan Fungsinya Di dalam sel darah merah terdapat larutan jenuh hemoglobin yang berfungsi penting dalam transpor O2 dan CO2 antara paru-paru dan jaringan. Organisme tingkat tinggi memerlukan suatu sistem transpor untuk oksigen (O2), karena O2 sukar larut dalam air. Jadi dalam 1 L plasma hanya sekitar 3,2 ml O2 yang dapat larut. Sebaliknya hemoglobin yang terkandung di dalam darah manusia (sekitar 160 g/L) mengikat 220 ml O2/L, artinya 70 kali lipat dari yang terkandung dalam plasma (Williams et al 1987; Koolman dan Rohm 2000). Hemoglobin orang dewasa (HbA) adalah suatu tetramer dari dua rantai-α (141 asam amino) dan dua rantai-β (146 asam amino) dengan berat molekul masing-masing sekitar 16 kDa. Subunit-α dan β dapat dibedakan dari urutannya tetapi keduanya terlipat dengan cara yang serupa. Kurang lebih 80% asam amino globin membentuk heliks-α. Hemoglobin merupakan pigmen sel darah merah yang berperan dalam transpor O2 dan CO2. Molekul hemoglobin seberat 64,5 kDa dapat mengikat 4 molekul oksigen. Fe+2 dalam haem secara dapat balik mengikat oksigen untuk
30
diangkut ke jaringan, sementara bentuk oksidasi Fe+3 dalam methemoglobin menyebabkan hemoglobin kehilangan kapasitasnya dalam mengangkut oksigen (Koolman dan Rohm 2000). Pengukuran konsentrasi hemoglobin dalam darah secara umum dilakukan untuk mengetahui adanya anemia karena defisiensi besi (Gibson 2005). Namun pengukuran Hb bukan satu-satunya parameter, karena sering kali hal ini menimbulkan kesalahan klasifikasi karena kisaran nilai normal Hb pada orang sehat bertumpang tindih dengan nilai Hb pada orang anemia karena defisiensi besi. Konsentrasi Hb dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain : -
Variasi biologis, di mana nilai Hb pada malam hari lebih rendah daripada pada pagi hari, dengan nilai lebih dari 10 g/L (Gibson 2005).
-
Umur dan jenis kelamin. Pada saat bayi usia 6 bulan, nilai Hb pada bayi perempuan lebih rendah daripada pada bayi laki-laki. Setelah menginjak usia remaja, Hb pada wanita lebih rendah dibanding pada pria. Hb pria meningkat karena pengaruh hormon testosteron dan kematangan seksualnya, sekitar 20 g/L lebih tinggi dibanding wanita. Nilai Hb akan cenderung menurun dengan bertambahnya usia.
-
Ras. Keturunan Afrika memiliki Hb 5-10 g/L lebih rendah daripada orang Kaukasia.
-
Kehamilan. Saat hamil wanita mengalami peningkatan volume plasma dan massa sel darah merah. Hal ini menyebabkan Hb mengalami dilusi/pengenceran, sehingga nilai Hb menjadi turun.
-
Ketinggian. Ketinggian menyebabkan suatu respon adaptasi dalam tubuh terhadap tekanan oksigen yang rendah dan penurunan oksigen jenuh dalam darah. Semakin tinggi tempat seseorang berada (> 1000 m), nilai hematokrit dan Hb akan meningkat secara bertahap.
-
Anemia karena defisiensi besi. Defisiensi terjadi karena cadangan besi habis terpakai, sedangkan suplai pada jaringan kurang. Hal ini akan menurunkan konsentrasi Hb.
-
Kekurangan komponen nutrisi seperti protein, vitamin A, B6, B12, riboflavin, folat dan tembaga akan menurunkan konsentrasi Hb.
31
-
Infeksi. Infeksi parasit (protozoa malaria) akan menurunkan konsentrasi Hb dengan merusak eritrosit dan menekan pembentukan eritrosit baru. Infeksi kronis dan inflamasi penyakit tertentu, perdarahan, malnutrisi protein juga menurunkan konsentrasi Hb.
-
Kebiasaan merokok. Kebiasaan merokok akan menjadikan konsentrasi Hb lebih tinggi, karena adanya penurunan kapasitas angkut O2 darah akibat adanya gas CO, di mana akan menginduksi peningkatan level karboksihemoglobin (Sutedjo 2006; Gibson 2005; Koolman dan Rohm 2000; Williams 1987; Yoshikawa 1974).
Tabel 5 Rata-rata (SD) konsentrasi Hb (g/L) menurut umur dan jenis kelamin Umur (tahun) 1-2 3-5 6-11 12-15 16-19 20-49 50-69 >70
Wanita
Pria 122.0 (7.34) 124.4 (7.57) 130.9 (7.92)
134.3 (9.27)) 133.7 (8.21) 134.8 (9.12) 136.5 (9.82) 135.6 (10.68)
142.4 (10.0) 152.9 (10.03) 153.0 (9.68) 150.1 (10.64) 145.3 (12.87)
Sumber : Gibson 2005
Meskipun dalam sehari sebanyak 10-15 mg zat besi bisa dikonsumsi, namun hanya 1-2 mg (10-15%) yang diserap untuk menggantikan zat besi yang hilang secara steady state, dan diambil oleh sumsum tulang untuk pembentukan hemoglobin, atau disimpan dalam jaringan retikuloendotelia (Eastwood 2003). Penyerapan zat besi akan meningkat saat masa pertumbuhan, kehilangan darah, dan kehamilan. Penyerapan zat besi terjadi pada usus halus bagian atas dan dikontrol oleh sel mukosal, serta dimediasi oleh reseptor spesifik pada permukaan mukosa usus. Zat besi dalam bentuk Fe+2 yang terdapat dalam makanan hewani lebih mudah diserap daripada zat besi yang terdapat dalam makanan nabati, di mana zat besi ini agak dipengaruhi oleh komponen lain dalam bahan pangan. Dalam usus, haem dilepaskan dari hemoglobin, myoglobin, atau sitokrom melalui degradasi proteolitik fraksi protein. Haem lalu ditranspor melalui brush border sel epitel untuk berikatan dengan reseptor. Sekali diserap dalam sel, zat besi akan dibebaskan secara enzimatik dari haem oleh haem oksigenase (Eastwood 2003). Zat besi dari makanan nabati berada dalam bentuk kompleks sebagai Fe+3 (non-haem) yang berikatan dengan protein, fitat, oksalat, fosfat dan karbonat.
32
Bentuk kompleks ini berberat molekul besar sehingga kurang bisa diserap. Zat besi non-haem diambil dari lumen usus melalui membran border pada sisi reseptor yang diduga sebagai glikoprotein. Zat besi yang diserap akan melalui plasma dan berikatan dengan protein transferin. Asam askorbat memfasilitasi penyerapan zat besi sehingga mudah larut. HCl gastrik akan memfasilitasi penyerapan zat besi non-haem dengan mengkonversi Fe+3 menjadi Fe+2. Defisiensi zat besi yang berkepanjangan akan menyebabkan atropi gastrik. Gastrektomi dan malabsorpsi juga dapat menyebabkan anemia karena defisiensi zat besi (Eastwood 2003). Asam fitat, fosfat, karbonat, polifenol, tanin, kalsium, mangan, kadmium, kobalt, copper, oksalat dan bikarbonat pankreatik dapat mengikat zat besi dan menurunkan penyerapan zat besi. Penyerapan zat besi akan meningkat ketika ada peningkatan produksi sel darah merah, dan akan semakin meningkat pada orang yang mengalami defisiensi zat besi. Kontrol penyerapan zat besi tergantung pada aktivitas sumsum tulang dan cadangan zat besi. Cadangan zat besi akan rusak saat kehamilan, di mana pertumbuhan janin akan menstimulus peningkatan penyerapan zat besi (Eastwood 2003).
Hematokrit (HMT) Hematokrit didefinisikan sebagai volume fraksi darah di mana bertempat sel darah merah yang dinyatakan dalam 100 ml/ 1 dl total darah, atau biasa disebut sebagai packed cell volume (PCV). Hematokrit merupakan perbandingan bagian dari darah yang mengandung eritrosit terhadap volume seluruh darah dihitung dalam %. Persentasi HMT yang tinggi menunjukkan tingkat konsentrasi darah yang semakin kental. Keadaan ini dapat menyebabkan plasma darah keluar dari pembuluh darah, yang bisa berlanjut pada keadaan shok hipovolemik (Sutedjo 2006). Pada defisiensi zat besi, HMT akan turun karena Hb yang terbentuk berkurang. Diagnosa demam berdarah dengue, diperkuat dengan nilai HMT >20% dari nilai normal. Peningkatan kadar HMT juga tampak pada gejala penyakit hipolevelemia, dehidrasi, polisitemia vera, diare berat, asidosis diabetikum, emfisema paru, iskemik serebral, eklampsia, efek pembedahan dan luka bakar. Sedangkan penurunan nilai HMT terjadi pada pendarahan, anemia,
33
leukimia, penyakit Hodkins, limfosarcoma, mieloma multiple, gagal ginjal kronik, serosis hepatis, malnutrisi defisiensi vitamin B dan C, kehamilan, SLE, arthritis reumathoid, dan ulkus peptikum (Sutedjo 2006) Pengukuran HMT sama dengan pengukuran Hb. Nilai normal HMT: Anak
: 33-38 %
Laki-laki dewasa
: 40-48 %
Wanita dewasa
:37.0 – 47.0(%)
Mean Corpuscular Hemoglobin Consentration (MCHC) Jika konsentrasi Hb dan HMT diketahui, maka rata-rata konsentrasi Hb dalam sel darah merah dapat dihitung, yaitu dengan istilah yang dikenal sebagai MCHC. MCHC dihitung sebagai : MCHC (g/L) =
Hemoglobin (g/L) Hematokrit (vol. fraksi)
Nilai MCHC kurang dapat dipengaruhi oleh faktor usia dibandingkan oleh indeks sel darah merah lainnya. Namun indeks ini dinilai kurang bermanfaat dibanding indeks-indeks sel darah merah karena selama terjadi defisiensi zat besi, paling akhir mengalami penurunan (Gibson 2005). Konsentrasi MCHC akan rendah pada anemia defisiensi zat besi, tapi akan normal pada makrositik anemia karena defisiensi folat dan vitamin B12, dan juga pada anemia karena penyakit kronis. Nilai normal pada orang dewasa berkisar antara 320-360 g/L. Nilai < 300 g/L mengindikasikan hipokromia yang berhubungan dengan defisiensi zat besi (Gibson 2005).
Fungsi Limfosit Limfosit adalah tipe sel pusat sistem imun. Ekspresi imunitas merupakan interaksi antara limfosit dengan makrofag dan sel pendukung lainnya. Limfosit akan memberikan respon terhadap suatu antigen yang masuk ke dalam tubuh melalui sistem imunitas seluler maupun imunitas humoral (Roitt 2002). Limfosit merupakan lekosit yang tidak bergranula, memiliki inti yang besar, dan berukuran sedikit lebih besar dari eritrosit. Limfosit dihasilkan oleh jaringan limpatik dan berperan penting dalam proses kekebalan dan pembentukan
34
antibodi (Sutedjo 2006). Ada beberapa jenis limfosit yang memiliki fungsi berbeda-beda, walaupun bentuknya hampir serupa di bawah mikroskop. Jenis yang umum dari limfosit antara lain limfosit B (sel B) dan limfosit T (sel T). Limfosit T dan limfosit B mampu memberikan respon stimulasi terhadap mitogen berupa kemampuan berproliferasi, yang menunjukkan status imunitas seluler (Roitt 2002). Limfosit B bertanggung jawab pada pembentukan antibodi dan pada manusia normal berjumlah 5-15 % dari total limfosit, sedangkan limfosit T berjumlah 65-80 % dari total limfosit. Limfosit T terdiri dari subset sel yaitu inflammatory T cells, yang merekrut makrofag dan netrofil menuju sisi yang terinfeksi atau jaringan yang rusak; cytotoxic T lymphocytes (CTLs), yang membunuh virus yang menginfeksi atau sel tumor; dan helper T cells, yang meningkatkan produksi antibodi oleh sel B (Roitt 2002). Limfosit yang telah berubah menjadi sel T akan berpindah dari sumsum tulang ke timus untuk menjadi dewasa di sana. Sel B dan sel T akan tinggal di lymph nodes, limpa dan jaringan lainnya. Pada saat menghadapi antigen, limfosit akan melanjutkan pembelahan sel dan menjadi sel dewasa secara fungsional. Populasi limfosit mempunyai reseptor antigen yang beragam, namun setiap limfosit hanya dapat mengenal beberapa antigen, sehingga dalam proses respons imun limfosit saling bekerja sama untuk mengeliminasi beragam antigen yang masuk ke dalam tubuh (Roitt 2002). Jumlah normal limfosit adalah 20-35% dari seluruh lekosit. Penurunan jumlah limfosit dijumpai pada gejala-gejala penyakit kanker, leukemia myeloid, hiperfungsi adrenokortikal, anemia aplastik, agranulositosis, gagal ginjal, sindrom nefrotik, dan SLE. Sedangkan peningkatan jumlah limfosit dijumpai pada gejalagejala penyakit leukemia limfositik, infeksi virus, infeksi kronik, penyakit Hodkins, dan hipofungsi adrenokortikal (Sutedjo 2006).
Fungsi Monosit Monosit merupakan lekosit dengan sitoplasma yang tidak bergranula, berinti besar dengan ukuran dua kali lebih besar daripada eritrosit (Sutedjo 2006). Monosit dibuat pada jaringan limpatik, terdapat sekitar 4% dari seluruh lekosit. Monosit meninggalkan darah dan menjadi makrofag dan sel dendritik. Makrofag
35
sangat besar dan merupakan sel fagosit yang memakan benda asing (antigen) yang memasuki tubuh dan memakan serpihan sel-sel tubuh yang rusak dan mati (Roitt 2002). Makrofag membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan netrofil untuk mencapai sisi yang terinfeksi, namun mereka sampai dalam jumlah yang lebih besar.
Gambar 10 Sel NK yang sedang menempel pada sel target (TC)(Roitt 2002). Jumlah normal monosit adalah 2-8% dari jumlah seluruh lekosit. Jumlah ini akan mengalami penurunan pada gejala-gejala penyakit leukemia limfosit dan anemia aplastik serta akan mengalami peningkatan pada gejala penyakit karena infeksi virus, penyakit parasit, leukemia monosit, dan kanker (Sutedjo 2006). Konsentrasi limfosit dan monosit umumnya dibaca bersama-sama pada alat QBC, yaitu dengan kisaran nilai normal 1.7 – 4.9(x109/L).
Fungsi Netrofil Netrofil merupakan lekosit yang bergranula dengan inti yang memiliki banyak lobus, sehingga disebut polimorfonuklear. Netrofil terdapat sekitar 6070% dari jumlah lekosit dan berdiameter 10-12 µm . Netrofil merupakan lekosit pertama yang merespon invasi bakteri ke dalam tubuh, paling cepat bereaksi terhadap radang dan perlukaan serta merupakan garis depan pertahanan selama fase infeksi akut (Sutedjo 2006). Mereka menembus dinding kapiler menuju sisi yang terinfeksi untuk memakan bakteri dengan cara fagositosis sambil melepaskan enzim lisozim. Pada orang sehat, netrofil selalu menjaga tempattempat yang memang banyak terdapat bakteri seperti di tenggorokan dan usus, agar tidak terdapat bakteri yang membahayakan. Jumlah netrofil akan berkurang bila tubuh terpapar radiasi dosis tinggi, kemoterapi dan berbagai bentuk stres lainnya. Hal ini akan menyebabkan bakteri yang semula tidak membahayakan
36
menjadi berkembang biak, sehingga mengakibatkan opportunistic infection (Roitt 2002). Penurunan jumlah netrofil dijumpai sebagai gejala penyakit karena infeksi virus, leukemia, agranulositosis, anemia aplastik, dan anemia defisiensi besi. Sedangkan peningkatan jumlah netrofil dijumpai pada infeksi akut, penyakit radang, kerusakan jaringan, penyakit Hodkins, apendiksitis akut, dan pankreatitis akut (Sutedjo 2006). Nilai normal netrofil seperti tercantum pada Tabel 6. Segmen adalah istilah bagi netrofil yang telah dewasa, sedangkan pita adalah sebutan untuk netrofil yang belum dewasa. Tabel 6 Nilai normal hitung jenis lekosit dalam % dan milimeter kubik dalam Sutedjo (2006) No 1
Jenis lekosit Netrofil (total)
Dewasa (%) 50-70
Dewasa (mm3) 2500-7000
2 3 4 5
a. Segmen b. Pita Eosinofil Basofil Monosit Limfosit
50-65 0-5 1-3 0,4-1,0 4-6 25-35
2500-6500 0-500 100-300 40-100 200-600 1700-3500
Anak/bayi Bayi =61% Umur 1 th=2% Sama dengan dewasa Sama dengan dewasa Sama dengan dewasa Sama dengan dewasa 4-9% Bayi=34%, 1th=60% 6th=42%, 12th=38%
Gambar 11 Netrofil yang dikelilingi sel darah merah (Roitt 2002). Flavonoid diketahui memiliki aktivitas yang mempengaruhi fungsi netrofil. Beberapa flavonoid diketahui dapat menghambat stimulasi pelepasan enzim lisosomal netrofil kelinci. Juga dilaporkan bahwa flavonoid kuersetin mampu menghambat sekresi enzim lisosomal yang diinduksi oleh concanavalin A pada netrofil babi dan subyek manusia sehat. Flavonoid ini tidak berpengaruh pada binding concanavalin A pada reseptor membran sel (Middleton et al 2000).
37
Oksigen radikal dan reaktif oksigen intermediet non radikal yang dilepaskan oleh netrofil dan sel fagosit lainnya merupakan indikasi adanya inflamasi atau gangguan sistem imun (Ward et al 1991). Beberapa flavonoid diketahui sebagai pemulung oksigen radikal atau radikal bebas. Sehingga flavonoid akan sangat mengganggu produksi reaktif oksigen intermediet oleh netrofil dan sel fagosit lainnya. Hal ini terjadi karena adanya NADPH oksidase, yaitu suatu enzim yang memproduksi oksidan yang kuat dan terdapat pada permukaan membran netrofil. Gangguan flavonoid pada produksi reaktif oksigen intermediet oleh netrofil dan sel fagosit lainnya diduga berkontribusi pada aktivitas anti-inflamasi dari komponen ini (Middleton et al 2000). Flavonoid juga dilaporkan menghambat pelepasan β-glucuronidase dan lisozim oleh netrofil, serta menghambat pelepasan asam arakidonat dari membran. Aksi flavonoid ini sangat kompleks dan berhubungan dengan tipe sel serta stimulan aktivasinya.
Fungsi Eosinofil Eosinofil merupakan polimorfonukleus yang bergranula yang bertugas melakukan pembunuhan parasit di luar sel. Pada inti granula terdapat suatu protein dasar utama, sedangkan dalam matrik granula terdapat protein kation dan peroksidase. Enzim lain yang terdapat pada eosinofil antara lain arylsulfatase B, fosfolipase dan histaminase D. Enzim-enzim ini mempunyai reseptor permukaan untuk komplemen C3b dan dalam keadaan aktif menghasilkan suatu letupan respiratori yang hebat bersamaan dengan terbentuknya metabolit oksigen aktif (Roitt 2002). Sebagian besar cacing dapat mengaktifkan jalur komplemen alternatif. Pembungkusan tubuh mereka oleh C3b memungkinkan melekatnya eosinofil melalui reseptor C3b. Apabila kontak tersebut berlanjut ke tahap pengaktifan, eosinofil akan mengawali serangan ekstraselulernya termasuk pelepasan protein dasar utama dan protein kation untuk merusak membran parasit (Roitt 2002). Jumlah eosinofil akan meningkat tajam pada penyakit-penyakit tertentu khususnya yang disebabkan oleh infeksi cacing parasit, alergi, kanker tulang, testis dan otak. Sedangkan penurunan jumlahnya terjadi pada hiperfungsi
38
adrenokortikal, stress, shock dan luka bakar (Sutedjo 2006). Nilai normal eosinofil seperti tercantum pada Tabel 6. Flavonoid kuersetin dilaporkan dapat menghambat sekresi eosinofil akan kristal protein Charcot-Leyden yang diinduksi oleh ionophore A23187 dan sekresi protein kation (Sloan et al 1991). Flavonoid tertentu juga menghambat degranulasi eosinofil yang distimulasi oleh stimulan imunologis atau nonimunologis, seperti alergen dan platelet activating factor (PAF) (Middleton et al 2000). Hal ini diduga berkontribusi pada mekanisme anti inflamasi dan anti alergi flavonoid.
Fungsi Basofil Basofil merupakan sel mast yang meronda atau bersirkulasi, dan merupakan sel yang penting dalam patogenesis dari fase akhir reaksi alergi (Middleton et al 2000). Jumlah basofil akan meningkat selama terjadi infeksi. Basofil meninggalkan darah dan berkumpul pada sisi yang terinfeksi atau inflamasi lainnya. Di sana mereka mengeluarkan isi granulanya sambil melepaskan berbagai mediator seperti histamin, serotonin, prostaglandin dan leukotrien, yang akan meningkatkan aliran darah menuju area inflamasi. Mediator yang dilepaskan basofil berperan penting pada beberapa respon alergi, seperti demam karena alergi rumput kering dan respon terhadap sengatan serangga (Roitt 2002). Basofil juga berperan pada kondisi inflamasi steril yang disebabkan oleh stres, seperti dermatitis atopik, interstisial sistitis, migrain dan sklerosis. Sehingga penurunan jumlah basofil dapat dijumpai pada penderita stres, reaksi hipersensitivitas dan kehamilan (Sutedjo 2006). Nilai normal basofil seperti tercantum pada Tabel 6. Konsentrasi netrofil, eosinofil dan basofil dapat dibaca bersama-sama pada alat QBC dalam konsentrasi granulosit, yaitu dengan kisaran nilai normal 1.8 – 7.2(x109/L). Proliferasi basofil dan sel mast diatur oleh faktor stem sel. Beberapa penelitian melaporkan bahwa flavonoid baicalein dan turunannya menghambat proliferasi sel mast (Middleton et al 2000). Lalu Nagai et al (1995) melaporkan bahwa genistein dapat menghambat pelepasan histamin yang diinduksi oleh faktor
39
stem sel dari sel mast tikus. Hal ini membuktikan adanya mekanisme anti-alergi dari jenis flavonoid tertentu. Sel mast dan basofil memiliki reseptor-reseptor yang berafinitas tinggi terhadap IgE dalam membran plasmanya. Cross-linking pada reseptor-reseptor ini penting dalam memicu proses sekresi histamin dan mediator lainnya dan mengawali pembentukan mediator turunan fosfolipid baru. Beberapa flavonoid telah menunjukkan penghambatan proses sekresi ini dalam beberapa mekanisme. Pengaturan flavonoid terhadap proses sekresi ini banyak dibuktikan pada penelitian sekresi histamin dari sel mast tikus yang distimulasi oleh antigen dan mitogen (Fewtrell dan Gomperts 1977). Flavonoid juga menghambat pelepasan histamin pada basofil manusia karena stimulasi antigen. Efek ini tidak dipengaruhi secara nyata oleh peningkatan Ca2+ ekstraselular, sehingga diduga penghambatan ini bukan proses yang bergantung pada AMP- siklik (Middleton et al 2000). Menurut penelitian, aktivitas penghambatan di atas berhubungan dengan fitur struktural flavonoid seperti adanya 1) keto grup C4; 2) ikatan rangkap tidak jenuh pada posisi C2-C3 dalam cincin γ-pyron; dan 3) adanya hidroksilasi dalam cincin B. Beberapa flavonoid yang berada dalam bentuk glikosida ternyata tidak memiliki aktivitas penghambatan. Flavonoid memiliki struktur yang mirip dengan disodium cromoglycate ( cromolyn) yaitu suatu obat antialergi (Middleton et al 2000). Basofil mengandung asam askorbat (vitamin C) dalam konsentrasi tinggi yang melakukan proses oksidasi terhadap radikal bebas pada sel yang distimulasi. Sehingga diduga vitamin C ini akan berperan sebagai pemulung radikal yang melindungi kerusakan oksidatif membran selama eksositosis. Flavonoid mungkin juga beraksi dengan model yang sama (Ortner 1980).
Fungsi Platelet Platelet adalah sel dalam darah yang merupakan komponen utama pada pembekuan darah. Selain peranannya dalam hemostasis dan trombosis, platelet juga berperan dalam kejadian-kejadian inflamasi selular. Beberapa mediator proinflamasi yang merupakan turunan platelet antara lain tromboksan A2,
40
serotonin, transforming growth factor beta (TGF-β), faktor pertumbuhan asal trombosit (platelet-derived growth factor, PDGF) dan metabolit lipoksigenase (LO). Beberapa di antaranya terlibat dalam patogenesis asma dan berperan dalam aterogenesis (Middleton et al
2000). PAF juga dikenal sebagai mediator
proinflamasi yang diturunkan dari fosfolipid membran oleh aktivitas enzim fosfolipase A2 dan asetil transferase yang terdapat dalam sel mast, basofil, eosinofil dan sel endotelia. Membran sel trombosit mengandung reseptor untuk kolagen, faktor dinding pembuluh von Willebrand dan fibrinogen. Sitoplasmanya mengandung aktin, miosin, glikogen, lisosom dan dua macam granula : a ) granula padat yang mengandung senyawa non protein seperti : serotonin, adenosine diphosphate (ADP) serta nukleotida lainnya, b) granula yang mengandung protein termasuk faktor pembekuan dan faktor pertumbuhan asal trombosit (platelet-derived growth factor, PDGF). PDGF juga dibentuk oleh makrofag dan sel endotelium. PDGF merangsang penyembuhan luka dan merupakan mitogen kuat bagi otot polos vaskular (Ganong 1999). Flavonoid genistein dilaporkan dapat menghambat adhesi, agregasi dan sekresi platelet pada studi in vitro maupun in vivo. Efek flavonoid pada platelet dapat dihubungkan dengan penghambatan metabolisme asam arakidonat oleh siklooksigenase (Middleton et al 2000). Kemungkinan juga potensinya dalam menghambat
siklik
AMP
fosfodiesterase
dapat
menjelaskan
kemampuannya dalam menghambat fungsi platelet. Rein et al
sebagian
(2000) juga
melaporkan peranan flavovoid kakao sebagai agen antiplatelet dan diberikan untuk menurunkan resiko penyakit kardiovaskular. Subyek sehat yang meminum kakao kaya flavanol saja, menunjukkan pembekuan darah yang lambat.
Mekanisme Hemostasis Trombosit
memiliki
mekanisme
hemostasis
yang
akan
bekerja
memperkecil kehilangan darah setelah terjadi suatu luka pada sistem pembuluh darah, yaitu melalui proses penggumpalan darah (Koolman dan Rohm 2000). Penggumpalan darah adalah perubahan enzimatik dari protein plasma yang larut yaitu fibrinogen menjadi suatu jaringan kerja yang berbentuk serabut polimer
41
yang tidak larut. Dalam hal ini enzim trombin memecahkan secara proteolitik peptida-peptida kecil dari molekul fibrinogen. Akibatnya tempat ikatan menjadi terbuka bebas, sehingga memungkinkan molekul-molekul fibrin beragregasi menjadi polimer fibrin. Proses ini dilanjutkan dengan pembentukan jaring-jaring kovalen antara asam-asam amino rantai samping fibrin dengan bantuan γglutamiltransferase (faktor XIII). Ikatan yang dibentuk dari proses tersebut disebut ikatan isopeptida dan menghasilkan suatu gumpalan molekul yang padat atau trombus (Koolman dan Rohm 2000). Penggumpalan darah dapat terjadi melalui dua jalur yaitu melalui luka jaringan atau jalur reaksi ekstravaskuler; atau melalui suatu proses yang dimulai dari sisi dalam suatu pembuluh darah atau jalur reaksi intravaskuler. Kemudian pada kedua jalur tersebut berlangsung suatu kaskade pemecahan protein. Dari prekursor enzim yang tidak aktif (zimogen), dibebaskan proteinase serin yang menyerang protein lainnya. Kedua jalur reaksi memerlukan Ca2+ dan fosfolipid, dan berakhir pada aktivasi protrombin menjadi trombin melalui faktor Xa (Koolman dan Rohm 2000). Jalur reaksi ekstravaskuler dilepaskan melalui kolagen, yang biasanya tidak terdapat pada sisi dalam pembuluh darah. Kolagen menyebabkan aktivasi kontak faktor XII. Jalur ekstravaskuler dimulai dengan pelepasan faktor III dari sel jaringan yang terluka. Hal tersebut menyebabkan suatu penggumpalan pada daerah luka dalam waktu beberapa detik (Koolman dan Rohm 2000). Penggumpalan darah berada dalam suatu keseimbangan tetap antara aktivasi dan hambatan. Untuk menghambat penggumpalan darah, tersedia di dalam plasma suatu inhibitor protease yang sangat efektif. Misalnya protein c di dalam plasma mengurus suatu pemecahan proteolitik dari faktor V dan VIII. Karena protein tersebut diaktifkan oleh trombin, maka dalam hal ini terdapat suatu mekanisme penggumpalan darah yang dapat dimatikan dengan sendirinya. Untuk dapat memanfaatkan faktor penggumpalan II, VII, IX dan X, diperlukan ion Ca2+, yang terikat pada residu γ-karboksi glutamat (Gla). Sintesis asam amino ini melalui glutamat karboksilasi menggambarkan suatu modifikasi protein yang tergantung vitamin K (Koolman dan Rohm 2000).
42
Fibrinolisis Trombus dari fibrin dapat dilebur kembali oleh proteinase plasmin. Plasmin terdapat di dalam plasma sebagai zat awal yaitu plasminogen, dan diaktifkan oleh proteinase lainnya dari berbagai jaringan, yaitu aktivator plasminogen dari ginjal (urokinase) dan aktivator plasmin jaringan (t-PA) dari endotel pembuluh darah. Suatu α2-antiplasmin di dalam plasma berfungsi mengontrol aktivasi plasmin. Urokinase, t-PA dan streptokinase yaitu suatu proteinase bakteri, digunakan secara farmakologik untuk melarutkan trombin setelah infark jantung (Williams et al 1987).
Agregasi Platelet Faktor von Willebrand (vWF) berperan pada proses adhesi dan mengendalikan faktor VIII dalam sirkulasi. Apabila dinding pembuluh darah terluka, trombosit melekat pada kolagen, laminin dan vWF yang terpapar dinding pembuluh melalui integrin. Proses adhesi trombosit tidak memerlukan aktivasi metabolik trombosit, tetapi pengikatan pada kolagen akan memicu aktivitas trombosit. Aktivitas dapat dihasilkan melalui ADP dan trombin. Trombosit yang aktif dapat berubah bentuk dan melekat pada trombosit lain (agregasi trombosit). Proses agregasi bisa dirangsang oleh faktor pengaktif trombosit (plateletactivating factor, PAF). PAF merupakan sitokin yang diekskresikan oleh netrofil, monosit dan trombosit. Pemeriksaan agregasi trombosit dapat dilakukan berdasarkan perubahan transmisi cahaya. Proses agregasi memerlukan agregator, yang paling sering digunakan adalah ADP. Hasil pemeriksaan agregasi trombosit bergantung pada kadar ADP yang dipakai sebagai agregator. Setelah terjadi pelekatan trombosit pada endotel yang merusak, akan terjadi agregasi trombosit yang besar diikuti fase berikutnya yaitu reaksi pelepasan dari trombosit (platelet release reaction), dengan melepaskan bahan-bahan dari dalam trombosit seperti fosfolipase A2. Enzim ini akan melepaskan asam arakidonat (AA) dari fosfolipid membran. AA akan mensintesa prostagladin melalui proses siklooksigenase menjadi prostaglandin G2 (PGG2) dan melalui proses siklik endoperoksidase menjadi prostaglandin H2 (PGH2), selanjutnya melalusi proses sintesis prostasiklin pada sel endotel akan menjadi prostasiklin I2 (PGI2) yang
43
menyebabkan dilatasi arteri dan berperan dalam penghambatan agregasi trombosit. PGH2 juga akan berubah menjadi tromboxan A2 (TXA2) dan melalui proses hidrólisis menjadi tromboxan B2 yang berperan dalam agregasi trombosit serta konstriksi arteri. TXA2 dan PGI2 merupakan hormon lokal yang mengatur keseimbangan aliran darah koroner. Bila terjadi gangguan keseimbangan sehingga TXA2 lebih dominan, maka akan mudah terjadi aterosklerosis (Ganong 1999; Williams et al 1987)
Plasma Darah Plasma adalah suatu larutan encer yang terdiri atas elektrolit, zat-zat makanan, metabolit, protein, vitamin, mikro elemen dan hormon. Plasma darah mengandung konsentrasi ion natrium, kalsium dan klorida yang tinggi. Sedangkan konsentrasi protein (anion proteinat), ion kalium, magnesium dan fosfat terdapat lebih besar di dalam sel. Komposisi elektrolit di dalam plasma menyerupai komposisi elektrolit di dalam air laut (Koolman dan Rohm 2000). Fase cair darah yang telah membeku dikenal sebagai serum. Serum berbeda dengan plasma karena serum tidak mengandung fibrinogen dan proteinprotein lain yang dibutuhkan pada penggumpalan darah (Koolman dan Rohm 2000). Protein-protein utama plasma antara lain: serum albumin, lipoprotein densitas
sangat
rendah
(VLDL),
lipoprotein
densitas
rendah
(LDL),
immunoglobulin lipoprotein densitas tinggi, fibrinogen, dan prothrombin. Selain protein tersebut, plasma juga mengandung sejumlah protein-protein pengangkut khusus seperti transferrin yang mengangkut besi. Di samping protein-protein, plasma juga mengandung komponen organik, metabolit organik, dan hasil-hasil pembuangan. Komponen anorganik yang ada dalam plasma adalah NaCL, buffer bikarbonat, buffer fosfat, CaCI2, MgCI2, KCI, dan Na2SO4. Sedangkan metabolit organik dan hasil-hasil pembuangan yang dikandung plasma adalah glukosa, asam amino, laktat, piruvat, badan keton, sitrat, urea, dan asam urat (Lehninger 1994). Plasma darah juga mengandung hampir 700 mg lipida per 100 ml, yang terikat pada α dan ß-globulin. Komponen lipida yang dimaksud adalah lipida total, triasil gliserol, kolesterol dan esternya, dan fosfolipid.
44
Pengukuran konsentrasi komponen-komponen plasma penting dalam diagnosis dan pengobatan penyakit. Volume plasma normal adalah sekitar 5 % berat badan atau secara kasar sebanyak 3500 ml pada berat badan 70 kg. Dalam penelitian secara in vitro,
peroksidasi lipid dapat mempercepat
oksidasi LDL yang ditangkap oleh makrofag dan membentuk lipid-sel busa. Hal ini merupakan tahap awal dari lesi aterosklerosis dalam arteri intima. Mekanisme pembentukan dan penguraian hidroperoksida lipid di dalam plasma darah penting diketahui dalam upaya pencegahan aterosklerosis (Chung et al 2005). Plasma manusia dilengkapi dengan mekanisme pertahanan antioksidan. Antioksidan plasma yang penting adalah asam askorbat, asam urat, α-tokoferol dan albumin, yang berikatan dengan bilirubin serta group sulfihidril protein. Disamping itu, enzim superoksidase dismutase ektraseluler dan selenium yang tergantung pada glutation peroksidase di laporkan dapat meningkatkan pertahanan antioksidan plasma (Chung et al 2005). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa senyawa bioaktif seperti polifenol dapat melindungi plasma dari oksidasi oleh radikal bebas. Menurut Zakaria et al (2001) senyawa yang dikandung oleh ekstrak jahe dapat meningkatkan resistensi LDL plasma terhadap oksidasi dan melindungi akumulasi kolesterol dalam makrofag.
Dalam penelitian lain dikatakan bahwa senyawa
polifenol pada produk kakao dapat menurunkan oksidasi LDL pada plasma (Mathur et al 2002). Disamping itu, senyawa polifenol pada kakao juga telah dilaporkan dapat meningkatkan antioksidan gizi yaitu vitamin E plasma dan menurunkan kadar MDA plasma (Fraga et al 2005). Penelitian secara in vivo yang menggunakan plasma sebagai model menyebutkan senyawa epikatekin telah ditemukan dalam plasma setelah 2 jam mengkonsumsi produk coklat dan kakao (Rein et al 2000). Dalam penelitian yang lain disebutkan bahwa suplemetasi asam askorbat dapat mencegah terbentuknya peroksidasi lipid dalam plasma (Chung et al 2005).
Quantitative Buffy Coat (QBC) Quantitative Buffy Coat hematology system banyak digunakan untuk mendeteksi adanya parasit malaria dalam sampel darah yaitu dengan menghitung
45
jumlah trombosit pasien (Liarte et al 2001). Metode yang digunakan adalah dengan memasukkan sampel darah sebanyak 50 µl ke dalam tabung kapiler berkapasitas 60 µl yang mengandung pewarna acridine orange, lalu diletakkan pada dudukan tabung secara horisontal dan disentrifugasi pada 12000 rpm/menit selama 5 menit. Setelah waktu berakhir akan terjadi pemisahan komponenkomponen darah menurut berat jenisnya. Dengan menggunakan software tertentu, konsentrasi komponen darah seperti hematokrit, hemoglobin, MCHC, lekosit, granulosit, limfosit dan monosit serta platelet dapat dibaca melalui autoreader berdasar fluoresensi komponen-komponen darah tersebut. Alat ini awalnya dirancang untuk menyederhanakan dan mempersingkat diagnosis pasien yang diduga terkena malaria, karena kelebihannya mampu menganalisa hanya sedikit volume sampel darah secara sensitif dan dalam waktu singkat. Namun saat ini QBC bisa digunakan juga untuk melakukan analisa profil darah pasien untuk kasus yang lebih luas. Selain QBC, berbagai metoda untuk mengestimasi konsentrasi komponen darah dapat diperoleh di pasaran. Namun sebagian besar metoda tersebut tidak praktis digunakan karena harga peralatannya yang terlalu mahal atau biaya operasionalnya yang tidak murah. Di antaranya ada DHT hemoglobin meter (Developing Health Technology, Barton Mills, United Kingdom) yang cukup akurat, berdasar pada teknik fotometri (OD 523 nm) serta relatif murah. Selain itu digunakan juga flow cytometry-based hematology analyzer (CellDyn 3000; Abbott Laboratories, Santa Clara, CA) yang otomatis dan beresolusi tinggi. Namun kelemahan alat ini selain mahal adalah selalu harus dilakukan sekali bahkan mungkin dua kali kalibrasi sebelum dioperasikan (Boormann
et al 2004).
Pengoperasian peralatan yang sangat sensitif ini hendaknya selalu dilakukan oleh satu orang yang terlatih, untuk menghindari kesalahan pengukuran oleh orang yang berbeda-beda. Kadangkala untuk kasus tertentu perlu dipilih peralatan mana yang paling tepat digunakan, sesuai kebutuhan dan sensitivitas yang kita inginkan. QBC merupakan metoda dengan memakai fluorescen yang langsung dan cepat untuk mengidentifikasi parasit darah. Liarte et al (2001) menganalisa sumsum tulang dan darah perifer untuk mengetahui parasit Leishmania yang
46
bersirkulasi di darah pada pasien yang menderita American visceral leishmaniasis (AVL). Chatel et al (1999) juga melaporkan bahwa QBC merupakan metoda yang sensitif dan spesifik untuk diagnosis parasit malaria. Selain itu juga dapat untuk mendeteksi parasit darah lainnya seperti Trypanosoma, Babesia, dan Leptospira. Adapun hasilnya bisa dikonfirmasi kembali menggunakan hemoskopi dengan standar Giemsa dan dengan identifikasi memakai antibodi titer terhadap Borrelia spp. menggunakan immunofluorescen dan Western blot.
Penentuan Ukuran Sampel Pada studi statistik meliputi survei, percobaan atau studi observasi, diperlukan perencanaan desain studi dan pelaksanaan yang baik. Unit percobaan dan pengamatan harus diseleksi dari populasi yang sesuai, biasanya secara acak dan memakai peralatan yang terkalibrasi (Lenth 2001). Studi haruslah memiliki ukuran sampel yang sesuai dengan tujuan utama studi, biasanya berukuran cukup besar agar diperoleh hasil yang signifikan secara statistik. Penentuan ukuran sampel biasanya harus memenuhi power 80%-95%. Pada percobaan yang melibatkan manusia atau hewan sebagai subyek, ukuran sampel sangatlah penting karena alasan etika. Apabila ukuran sampel terlalu kecil maka perlakuan yang diberikan dapat beresiko membahayakan subyek. Bila ukuran sampel terlalu besar, akan beresiko melibatkan sejumlah subyek yang tidak perlu untuk mendapatkan perlakuan tertentu, bahkan dapat mengabaikan manfaat yang bisa didapatkan. Namun tidak selalu ukuran sampel tersebut penting dalam setiap studi. Pada pengujian obat dan percobaan di industri biasanya dilakukan percobaan yang singkat dan berukuran sampel kecil. Studi klinis biasanya juga dilakukan dalam jangka waktu tertentu yang pendek dan disertai serangkaian analisa-analisa di antara periode tersebut. Studi didesain dengan sederhana untuk mengetahui korelasi suatu perlakuan dengan status kesehatan subyeknya (Lenth 2001).
47
Kondisi Vital Pemeriksaan kondisi vital biasa dilakukan untuk memeriksa status kesehatan seseorang. Pemeriksaan harus dilakukan oleh seorang dokter atau paramedis yang berwenang memberikan rekomendasi. Pemeriksaan kondisi vital yang umumnya dilakukan meliputi pulse rate, respiratory rate, tekanan darah dan suhu tubuh. Pulse rate merupakan banyaknya denyut jantung dalam satu menit. Nilai pulse rate orang dewasa sehat normal yaitu antara 60-100 per menit. Respiratory rate adalah banyaknya pernapasan selama satu menit. Nilai normal respiratory rate orang dewasa yaitu antara 12 – 20 kali per menit. Nilai tersebut sangat bervariasi tergantung dari umur individu (Linder 1992). Tekanan darah adalah kekuatan darah dalam menekan dinding arteri. Setiap kali jantung berdetak (sekitar 60-70 kali per menit pada saat istirahat), darah akan dipompa melalui arteri. Tekanan darah berada pada titik yang tinggi saat jantung berdenyut memompa darah, yaitu yang disebut dengan tekanan sistolik. Sedangkan ketika jantung beristirahat, yaitu pada jeda antara denyutan, maka tekanan darah berada pada titik yang rendah, yang disebut dengan tekanan diastolik (Linder 1992). Nilai normal tekanan darah sistolik dan diastolik rate orang sehat yaitu antara 120/80 mmHg. Kisaran normal suhu tubuh manusia bervariasi tergantung pada kecepatan metabolisme individu. Bila metabolisme tubuh berlangsung cepat, maka suhu tubuh akan lebih tinggi dari normal, begitu juga sebaliknya. Suhu tubuh juga dipengaruhi oleh waktu saat pengukuran dilakukan. Suhu tubuh akan lebih rendah pada pagi hari, saat bangun dari tidur, dan akan lebih tinggi pada malam hari setelah aktivitas sepanjang hari dan setelah makan (Linder 1992). Suhu tubuh orang sehat yaitu antara 36,4 – 37,1 °C