Kejadian dan Peluang Infeksi Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis pada Manusia Melalui Susu Sapi dan Produk Olahannya
oleh
Widagdo Sri Nugroho Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH UGM Fungisonaris Asosiasi Kesehatan Masyarakat Veteriner Anggota Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia Cabang Yogyakarta Ringkasan Bakteri Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis (MAP) adalah bakteri gram positif, tahan asam dan alkohol serta memiliki daya tahan terhadap panas. Pertumbuhan bakteri ini lambat namun kemampuan menimbulkan penyakit sangat merugikan, infeksi MAP pada hewan menimbulkan penyakit Johne’s Disease (JD) sedangkan pada manusia menyebabkan Crohn’s Disease (CD), kedua penyakit tersebut memiliki ciri-ciri gejala dan patologis yang sama yaitu menimbulkan randang kronis pada usus terutama ileum dan kolon yang khas dengan bentuk granulomatosa. Gejala yang ditimbulkan tidak spesifik seperti diare, muntah, demam, hingga diare berdarah sehingga sering tidak terdiagnosis dengan segera. Kasus Crohn’s Disease merupakan penyakit yang telah menjadi masalah di negara maju (Eropa dan Amerika), dan memiliki kecenderungan meningkat setiap tahunnya. Di Eropa diketahui insidensi kasus ini sebesar 5,6 kasus per 10.000 orang per tahun dan hingga tahun 2000 diperkirakan telah mencapai 200.000 orang penderita. Penyebaran penyakit diduga telah terjadi di Asia karena tingginya migrasi manusia antar benua saat ini. Hubungan antara JD dan CD masih dalam penelitian, beberapa peneliti menyatakan tidak ada bukti yang kuat bahwa MAP ditularkan dari hewan atau hasilnya. Tetapi beberepa peneliti menyatakan bahwa susu sapi dan produk olahannya merupakan bahan pangan yang diduga kuat sebagai sumber penularan. Di Amerika diketahui 68% susu mentah yang dihasilkan 61 peternakan mengandung bakteri MAP sedangkan 7% susu pasterurisasi komersial di Inggris dan Wales diketahui masih mengandung bakteri tersebut. Pada kajian laboratorik, teknik pasteurisasi susu mentah yang diinokluasi bakteri MAP ternyata masih belum mampu mematikan bakteri ini secara sempurna bahkan dengan dosis inokulat yang rendah (101 cfu/ml). Pada pembuatan keju, dalam whey masih dapat ditemukan bakteri dan justru MAP meningkat hingga 10 kali pada saat susu berubah menjadi dadih namun menurun perlahan hingga masa pemeraman lebih dari 27 minggu. Penelitian di Australia menunjukkan adanya strain MAP sapi yang diisolasi dari penderita CD, hal ini memperkuat dugaan adanya keterkaitan antara kasus JD pada sapi, susu, dan kasus CD. Perlunya penangan yang komprehensif dalam rangka mengendalikan penyakit ini sejak dari penangan hewan di peternakan hingga produknya siap dikonsumsi. Kualitas higiene dan sanitasi baik pada manajemen peternakan, penanganan susu saat pemanenan dan pascapanennya. Kata kunci: Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis, Crohn’s Disease, Johne’s Disease, susu, pasteurisasi.
Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis
1
Pendahuluan Infeksi Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis (MAP) belum banyak dikenal di Indonesia meskipun di negara maju telah menjadi permasalahan cukup besar bagi kesehatan masyarakatnya. Pada manusia infeksi MAP dikenal sebagai Crohn’s Disease (CD) sedangkan pada hewan dikenal sebagai Paratuberculosis atau Johne’s Disease (JD). Di Eropa diketahui insidensi kasus ini sebesar 5,6 kasus per 10.000 orang per tahun dan hingga tahun 2000 diperkirakan telah mencapai 200.000 orang penderita. Pada tahun 1994 Swedia mengeluarkan dana mencapai € 40 juta untuk pengobatan dan penanganan kasus CD ini (Anonim, 2000). Bakteri MAP dikenal pertama kali di Jerman pada tahun 1895 oleh Johne dan Frothingham. Mereka menemukan bakteri tahan asam yang menyebabkan bentuk atypical dari tuberculosis yang diisolasi dari hewan. Tahun 1910 bakteri tersebut diberi nama Mycobacterium enteritidis chronicae pseudotuberculosis bovis johne, pada perkembangan selanjutnya bakteri tersebut dikelompokkan dalam Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis, sedangkan penyakit yang disebabkannya disebut sebagai paratuberculosis atau Johne’s Disease (Anonim, 2000). Kejadian infeksi MAP pada manusia pertama kali diketahui tahun 1913 oleh Dlazil di daerah Western Infirmay, Glasgow. Semula penyakit ini dikenal hanya terjadi pada ileum namun tahun 1960 Lockart-Mumnery dan Marson mengidentifikasi adanya radang pada kolon dan membentuk granuloma, karena daerah radang yang lebih banyak pada usus besar maka sering juga disebut sebagai chronic inflamatory bowels disease (IBD) (Anonim, 2000). Meskipun penyakit Crohn lebih merupakan bentuk radang kronis non spesifik yang menyerang bagian ileum dan kolon (bowel) namun demikian radang dapat juga terjadi pada seluruh bagian sistem pencernaan. Penderitaan pasien CD dapat berlangsung lama bahkan penyakit ini menyertai pasien selama hidupnya meski sangat sedikit menimbulkan kematian. Karakter penyakit yang bersifat intermiten dalam menimbulkan gejala klinis maupun keparahan, terkadang kemunculan gejala memerlukan tindakan operasi untuk penanggulangannya. Hal ini menggambarkan bahwa penyakit ini sangat sulit disembuhkan mirip dengan penyakit yang disebabkan oleh bakteri segenus lainnya seperti M. tuberculosis yang menyebabkan radang paru. Faktor kualitas higiene dan sanitasi lingkungan yang jelek berkontribusi terhadap kejadian penyakit. Umumnya manusia terpapar pada umur 15-24 tahun dan kadang justru pada keluarga dengan kualitas higiene yang baik (Anonoim 2000). Kasus CD
Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis
2
sering didapatkan juga pada penderita AIDS atau pengidap HIV karena MAP sering dapat diisolasi dari sistem pencernaan mereka (Richter et al. 2002). Kasus CD seringkali dikaitkan dengan produk susu dan hasil olahannya. Grant et al.(1996) melaporkan pasteurisasi susu yang diinokulasi 104 – 107 cfu/ml dengan metode high temperatur short time (HTST) dan low temperatur long time (LTLT) mampu mengurangi 4-50% bakteri inokulat, hal ini berarti masih ada bakteri yang mampu bertahan dalam susu yang telah dipasteurisasi tersebut. Tahun 1996 diketahui bahwa susu pasteurisasi yang dijual di supermarket di Inggris dan Wales ternyata masih mengandung bakteri MAP (Millar et al. 1996) keadaan tersebut juga dapat ditemukan pada susu pasteurisasi di supermarket Irlandia (O’Reilly et al. 2004) dan pada produk berbasis susu seperti produk keju cheddar (Danaghy et al. 2004). Meskipun demikian belum diperoleh bukti korelasi yang kuat antara penyakit CD dengan kasus JD pada sapi, susu, dan produk olahannya. Tulisan ini lebih bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai infeksi MAP pada manusia dan hewan serta peluang penularannya pada manusia melalui susu dan produk olahannya.
Morfologi dan Karakter Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis termasuk bakteri dalam keluarga Mycobacteriaceae, spesies Mycobacterium avium complex (Harris & Barletta 2001). Mikroba ini merupakan bakteri yang dapat ditemui di alam, tergolong gram positif, berbentuk batang dengan ukuran 0,2-0,7 X 1-10 μm, non motil, tahan asam dan alkohol, suhu pertumbuhuan 25-45oC dan optimal 39oC, tumbuh lambat (2-60 hari) dan membutuhkan mycobactin senyawa hidroksimat pengikat besi, mampu tumbuh pada konsentrasi garam <56% pada pH 5,5 (Griffiths 2003). Bakteri ini juga memiliki kemampuan bertahan dalam makrofag meskipun sifatnya fakultatif (Bannantine & Stabel 2002). Karakter lain yang menonjol adalah kemampuan tahan terhadap panas, hal ini terbukti dari masih dapat ditemukannya beberapa susu pasteurisasi di pasaran yang mengandung MAP (Grant et al. 1996, Grant et al. 2002, Millar et al. 2002, dan O’Reilley et al. 2004). Sung & Collins (1998) menyatakan bahwa D value untuk MAP isolat klinis yang diinokulasikan pada susu masing-masing D68 228,8 detik, D65 47,8 detik, D68 21,8 detik dan D71 11,67 detik dan ditegaskan bahwa bakteri ini masih dapat ditemukan meski
Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis
3
telah dipasteurisasi secara HTST. Penelitian lebih lanjut berhasil mengetahui adanya protein GroE, antigen α, dan Ag 85B yang diduga bertanggung jawab terhadap kemampuan resistensi bakteri terhadap panas (Sung et al. 2004).
Patogenesis dan Gejala Klinis Jalannya penyakit Crohn ini diduga melibatkan interaksi faktor genetik dan lingkungan tetapi mekanisme utama yang bertanggungjawab terhadap inisiasi radang kronis usus masih belum jelas. Terlepas dari agen penyebabnya, ada 3 teori mekanisme terjadinya penyakit ini yaitu reaksi persisten atas infeksi usus, adanya kerusakan barier mukosa usus terhadap antigen, dan regulasi tanggap kebal sel inang yang menyimpang (Anonim 2000). Jalannya penyakit diawali dengan masuknya sejumlah bakteri dan atau toksin yang kemudian menembus mukosa usus hingga mencapai lamina propria.Kemampuan invasi bakteri terhadap sel inang ini diketahui dikendalikan protein 35 kDa yang bertanggung jawab terhadap protein membran mayor (MMP) yang merupakan vaktor virulensi dari bakteri ini (Bannatine et al. 2003). Kerusakan berlanjut, dan menyebabkan tereksposnya se-sel pertahanan di lamina propria sehingga terjadi mekanisme fagositosis bakteri oleh makrofag. Hasil interaksi ini adalah adanya radang pada daerah infeksi. Kerusakan jaringan yang terjadi pada CD pada awal infeksi biasanya berupa ulcer mukosa yang umumnya berada di bawah jaringan simpul limfa. Terkadang lesi mengecil namun pada kasus lain peradangan berkembang dan meluas pada seluruh lapisan usus dan menebal. Lokasi radang dapat terjadi pada ileum dan kolon sendiri-sendiri namun lebih sering terjadi pada kedua bagian tersebut seluruhnya. Perubahan yang khas terjadi pada lapisan submukosa dengan ditemukannya lymphoedema dan infiltrasi sel limfotik dan melanjut menjadi fibrosis dengan batas yang jelas atau disebut radang granulomatosa (Anonim 2000). Gejala klinis penyakit CD tidak mudah dikenali mengingat kejadian ksaus yang bersifat kronis. Pada umumnya gejala awal yang tampak adalah diare yang kronis, perut sakit terutama pada kuadran kanan bawah (seperti radang usus buntu), demam, anoreksia, berat badan turun, konstipasi. Ada beberapa patokan untuk mengenali penyakit ini yaitu: (1) inflamasi yang ditandai dengan rasa sakit pada perut kuadran kanan bawah, (2) obstruksi (buntu) akibat penyempitan usus mengakibatkan rasa sakit yang sangat pada perut (kolik), perut tegang, konstipasi, dan muntah, (3) radang ileum
Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis
4
yang menyeluruh (difus) mengakibatkan malnutrisi , dan (4) fistula dan abses abdomen, kondisi yang melanjut dapat menyebabkan usus bocor, demam, sakit perut, diare berdarah dan memicu timbulnya kanker (Anonim 2000)
Metode Deteksi Bakteri MAP merupakan bakteri yang cukup sulit diisolasi karena sangat pemilih dalam kebutuhan nutrisi untuk pertumbuhannya selain memiliki waktu tumbuh yang lambat (2-60 hari) dibandingkan bakteri lain, bahkan dibandingkan bakteri dalam satu genus MAP tergolong paling lambat. Sampel untuk isolasi/deteksi MAP dapat berupa feses, jaringan usus/simpul limfa, susu, dan darah. Permasalahan metode detesi secara cepat hingga saat ini masih menjadi kendala dalam meneguhkan diagnosis. Deteksi secara serologis dilakukan dengan ELISA, atau IFN gamma assay namun tingkat sensitivitasnya masih rendah. Isolasi dengan media biakan lebih banyak dilakukan meskipun membutuhkan waktu yang lebih lama. Media isolasi yang digunakan dapat berupa media cair seperti BACTEC 12B, kaldu Middlebrook 7H9, Septi-Check AFB atau dengan media padat seperti Middlebrook 7H10/7H11, Mitchinson’s selective 7H11, Wallenstein, Lowenstein-Jensen (LJ) (Holt et al. 1994), dan media Ogawa (Aditama & Luthni 2002). Identifikasi/konfirmasi dilakukan dengan uji kimia yaitu uji urease, pyrazinanidase, reduksi nitrat, asam phosphat, β galaktosidase, katalase α seterase, niasin, fotokromogenik, skotokromogenik (Holt et al. 1994). Saat ini telah banyak dikembangkan deteksi MAP secara biomolekuler, metode ini diyakini memiliki tingkat kepekaan yang tinggi, praktis dan cepat. Dasar metode deteksi yang digunakan adalah analisis polymerase chain reaction (PCR) yang dimodifikasi dengan berbagai hal dalam rangka meningkatkan ketepatan deteksi. Metode tersebut antara lain dengan menggunakan IS900 sebagai sequen pengenal MAP yang digunakan oleh Millar et al. (1996), Doran etl al. (1997), Pillai & Jayarao (2002), dll yang mampu mendeteksi cemaran MAP pada susu hingga tingkat cemaran hanya 10 cfu/ml, metode nested PCR yang digunakan oleh Ibrahim et al. (2004), Rapid-Real Time PCR yang digunakan untuk mendeteksi dan menghitung DNA MAP pada susu oleh O’Mahony & Hill (2004). Pengembangan metode deteksi MAP saat ini masih dilakukan mengingat kebutuhan deteksi yang cepat dan tepat sangat dibutuhkan untuk memberikan kepastian dan sebagai dasar terapi bagi penderita.
Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis
5
Epidemiologi Infeksi Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis Kejadian pada hewan. Kasus infeksi MAP pada hewan (1895) sudah lebih dahulu diketahui dibandingkan pada manusia (1913). Kasus paratuberculosis (JD) diketahui semakin meluas kejadiannya
di
wilayah
Eropa,
namun
demikian
kajian
yang
dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah baru dimulai tahun 1934 di Inggris, pada saat itu diketahui prevalensi JD pada sapi sebesar 0,8%. Berbagai kajian selanjutnya dilakukan di Inggris dengan mengambil sampel sapi-sapi yang disembelih di rumah pemotongan hewan (RPH) selama tahun 1950an memberikan angka prevalensi sebesar 11-17%, sementara di Denmark pada tahun 1965 prevalensi JD diketahui sebesar 2,3% dan menunjukkan kecenderungan meningkat pada tahun berikutnya sehingga pada tahun 1972 didapatkan angka prevalensi sebesar 9,8%. Di Belgia analisis ELISA terhadap 300 sampel serum sapi mengindikasikan 12%-nya terinfeksi MAP, sedangkan di Spanyol teridentifikasi 67% sapi pada peternakan terinfeksi. Pada tahun 1980an survei nasional di AS dengan metode isolasi bakteri diketahui 1,6% dari 7000 ekor sapi yang diperiksa positif terinfeksi MAP (Anonim 2000). Tingkat kejadian pada sapi potong dan sapi perah menunjukkan perbedaan, berdasarkan kajian di Belgia dan Belanda memperlihatkan hal tersebut, baik pada tingkat peternakan maupun pada tingkat ternak. Berdasarkan uji serologis, prevalensi infeksi MAP pada sapi pedaging sebesar 17,4% pada tingkat peternakan dan 1,2% pada tingkat ternak sedangkan pada sapi perah prevalensi tingkat peternakan sebesar 54,7% dan tingkat ternak sebesar 2,5%. Hasil kajian tersebut menunjukan angka prevalensi sebenarnya (true prevalence), apabila angka sensitivitas dan spesifisitas kajian ditingkatkan menjadi 30% dan 99,5% maka prevalensi sebenarnya akan mencapai 70,6% pada tingkat peternak dan 6,9% pada tingkat ternak (Anonim 2000). Hal ini menggambarkan bahwa kasus JD telah menjadi masalah yang luas dengan implikasi yang kompleks pula.
Kejadian pada manusia Adanya perubahan patologis pada usus kecil yang mirip antara kasus JD dengan kasus CD diduga keduanya ditimbulkan oleh agen penyebab yang sama. Pada awal kasus ini dikenali, kejadian penyakit banyak dialami oleh masyarakat Eropa Utara dan etnis Anglo-saxon dibandingkan masyarakat Eropa Selatan, Asia dan Afrika. Perkembangan selanjutnya keberadaan imigran Asia menjadi pembawa penyakit ini ke
Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis
6
daerah Asia. Kajian-kajian epidemiologi CD cukup banyak dilakukan di Eropa dan Amerika namun sebagian besar berupa kajian retrospektif yang mendasarkan datanya dari laporan-laporan dan kurang didukung identifikasi etiologi agen secara akurat. Mulai tahun1991 hingga 1994 para klinikus Eropa melakukan kajian prospektif dengan membentuk 20 pusat kajian untuk mendapatkan gambaran dan insidensi kasus secara lebih tepat. Hasil kajian tersebut dapat dilihat pada tabel 1, dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap peluang kejadian (Shivananda et al. diacu Anonim 2000). Kajian kasus-kontrol yang dilakukan Berstein et al. (2004) memperlihatkan bahwa berdasarkan uji serologis (ELISA) untuk identifikasi MAP terhadap empat kelompok observasi (pasien CD, ulcerativ colitis/UC, sehat, lain-lain) memperlihatkan prevalensi seropositif sebesar 35% dari seluruh kelompok. Prevalensi pada setiap kelompok tidak berbeda nyata dan rentang prevalensi masing-masing kelompok berkisar antara 33,637,8%. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa uji seropositif MAP tidak berbeda nyata di antara jenis kelamin, umur, sejarah radang usus (inflamatory bowel disease/IBD) dalam keluarga, asal kelahiran dari negara berkembang, penduduk asli atau pendatang, dan pernah tinggal di peternakan (unggas, sapi, babi) atau tidak. Penelitian tersebut mengindikasikan bahwa tidak ada hubungan yang nyata antara kejadian CD dengan infeksi MAP. Pendapat ini berbeda dengan Collins et al. (2000) yang melakukan penelitian yang menggunakan beberapa alat uji untuk mengidentifikasi adanya infeksi MAP pada pasien IBD. Hasil pengujian Collins et al. berdasarkan pengujian IS 900 PCR, memperlihatkan bahwa MAP dideteksi pada 26,2% penderita UC dan 19% pada pasien CD sedangkan dari kelompok kontrol (sehat) hanya sebesar 6,3% yang dapat terdeteksi. Hasil uji serologi menunjukkan bahwa kelompok pasien CD memiliki seroprevalen sebesar 20,7%, penderita UC 6,1% dan kelompok kontrol hanya 3,9%. Kondisi ini memperlihatkan adanya peran MAP baik sebagai agen penyebab utama ataupun sebagai infeksi sekunder dalam menimbulkan kasus IBD. Pendapat tersebut dikuatkan oleh Bull et al. (2003) yang menyatakan bahwa MAP secara spesifik menimbulkan radang klinis yang terjadi pada penderita CD dan hal ini secara jelas membuktikan hubungan sebab akibat antara MAP dengan CD.
Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis
7
Tabel 1. Rerata insidensi (per 100.000 orang/tahun) dan jumlah kasus CD pada rentang usia 15 – 64 tahun selama tahun1991-1994 di 20 pusat kajian di Eropa Pusat Kajian
Laki-laki
Perempuan
Total
Reykjavic (Islandia)
8,8 (15)
7,9 (13)
8,4 (28)
Oslo (Norwegia)
7,6 (48)
8,2 (52)
7,9 (100)
Copenhagen (Denmark)
5,3 (20)
8,9 (34)
7,2 (54)
Dublin (Irlandia)
4,8 (19)
6,5 (27)
5,7 (46)
Non migran
1,7 (2)
6,6 (8)
4,2 (10)
Migran
8,3 (4)
2,0 (1)
5,0 (5)
Maastricht (Belanda)
8,1 (37)
10,1 (45)
9,1 (82)
Esen (Jerman)
3,1 (17)
5,3 (29)
4,2 (46)
Amiens (Perancis)
8,1 (29)
10,8 (39)
9,5 (68)
Total daerah utara
6,2 (191)
7,9 (248)
7,0 (439)
Milan-Varese (Italia)
1,4 (2)
3,5 (5)
2,5 (7)
Crema-Cremona (Italia)
2,2 (5)
2,9 (6)
2,6 (11)
Regio Emilia (Italia)
4,8 (10)
3,9 (11)
4,3 (25)
Florence (Italia)
2,4 (10)
4,0 (17)
3,2 (27)
Vigo (Spanyol)
7,8 (27)
3,1 (11)
5,4 (38 )
Sabadell (Spanyol)
4,0 (10)
6,8 (17)
5,4 927)
Braga (Portugal)
3,0 (5)
5,7 (10)
4,4 (15)
Ioannina (Yunani)
1,2 (2)
0,6 (1)
0,9 (3)
Almada (Portugal)
1,9 (4)
3,3 (7)
2,6 (11)
Palermo, Sisilia (Italia)
7,4 (6)
6,0 (6)
6,6 (12)
Heraklion, Crete (Yunani)
7,6 (11)
2,0 (3)
4,7 (19)
Beer Sheva (Israel)
2,3 (5)
6,5 (14)
4,4 (19)
Total daerah selatan
3,9 (101)
4,0 (108)
3,9 (209)
Total seluruh daerah
5,1 (292)
6,1 (356)
5,6 (648)
Daerah utara
Leicester (Inggris)
Daerah selatan
Sumber: (Anonim 2000)
Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis
8
Kejadian cemaran MAP pada susu dan penularan ke manusia Penyebaran penyakit infeksi MAP baik pada manusia maupun hewan diduga dapat terjadi dari air, tanaman, dan daging mentah namun hal ini belum didukung dengan data yang cukup. Daya tahan MAP dalam lingkungan dipelajari Whittington et al. (2004), penelitian tersebut memperlihatkan bahwa bakteri MAP mampu bertahan dalam tanah kering yang teduh hingga 55 minggu sedangkan pada rerumputan yang tercemar feses penderita paratuberculosis, MAP mampu bertahan hingga 24 minggu. Penularan pada manusia diduga kuat berkaitan dengan produk susu sapi dan hasil olahannya. Millar et al. (1996) dengan metode PCR mendeteksi keberadaan MAP pada susu sapi pasteurisasi yang dijual di supermarket Inggris dan Wales. Hasil pengujian tersebut memperlihatkan 7% (22 sampel) dari 312 sampel susu pasteurisasi tersebut mengandung MAP dan 9 isolat bakteri dari 22 sampel positif itu mampu bertahan selama 13-40 bulan dalam media cair dan bersaing dengan organisme lain. Di Amerika pengujian susu segar di tingkat peternakan, diketahui tingkat cemaran sebesar 68% dari 61 peternakan yang diuji (Stabel et al. 2002). Survey yang dilakukan Advisory Committee on the Microbiologi Safety Food pada berbagai produk susu di Inggris menunjukkan hasil seperti dalam tabel 2. Tabel 2. Prevalensi MAP pada susu di Inggris Jenis sampel
Jumlah sampel
Jumlah sampel positif (%)
Susu mentah
201
4 (,0)
Susu pasteurisasi
476
10 (2,1)
Susu utuh
191
3 (1,6)
Semi-skim
145
5 (3,4)
Skim
140
2 (1,4)
UHT
2
0 (0)
679
14 (2,1)
Susu seluruhnya
( Sumber : Advisory Committee on the Microbiologi Safety Food diacu Griffiths 2000) Pada pasteurisasi skala komersial dengan kapasitas 2000 lt/jam, pengaruh pasteurisasi HTST susu sapi yang tercemar secara alami ternyata sedikit sekali mengurangi kemampuan MAP untuk bertahan dalam susu (Grant et al. 2002a). Grant et al. (2002b) selanjutnya menemukan 19 sampel susu segar dan 67 sampel susu pasteurisasi dari total 241 sampel (segar dan pasteurisasi)
terdeteksi mengandung
MAP. Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis
9
Hasil olahan susu juga masih dapat tercemar MAP, seperti yang dilakukan oleh Sung & Collins (2000) yang mengamati pengaruh pH, garam, dan pemanasan terhadap daya tahan MAP pada proses pembuatan keju. Mereka menginokluasikan bakteri MAP pada susu bahan baku yang akan diolah menjadi keju. Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa tingkat inaktivasi MAP lebih tinggi pada pH rendah yaitu 4, 5, dan 6 sedangkan kadar garam (NaCl) hanya sedikit mempengaruhi. Pada pemanasan yang kemudian diikuti dengan masa pemeraman selama 60 hari akan mampu mengurangi jumlah MAP dalam keju hingga 2 log(102cfu/ml) dari susu tercemar yang dipasteurisasi sebelum diolah menjadi keju. Donaghy et al. (2004) mendapatkan nilai D untuk keju yang susu bahan bakunya juga diinukolasi MAP berkisar 90-107 hari tergantung jenis dan jumlah inokulat. Inokulasi MAP yang dilakukan setelah pasteurisasi memperlihatkan sekitar 4% bakteri tersebut didapatkan pada whey selama pembuatan keju. Jumlah bakteri MAP meningkat hingga 10 kali pada saat susu menjadi dadih dan selanjutnya menurun secara perlahan hingga masa pemeraman lebih dari 27 minggu. Bagian lain dari penelitian ini juga menunjukan bahwa masih ada MAP dalam pasteruisasi pada suhu 72oC selama 15 detik. Whittington et al. (2000) menyatakan di Australia ditemukan adanya MAP strain sapi yang diisolasi dari penderita CD. Selain dari produk asal hewan, peluang infeksi secara vertikal juga dapat terjadi dari ibu ke anak melalui air susu ibu (ASI), dikemukakan Naser et al. (2000) yang berhasil mengisolasi MAP dari air susu 2 orang ibu penderita CD sementara dari 5 orang ibu sehat tidak didapatkan bakteri tersebut. Banyak kasus yang selalu mengaitkan antara kejadian CD dengan susu sapi namun Collins (1997) mengingatakan bahwa fokus penelitian sebaiknya tidak hanya pada susu dan hasil olahannya saja tetapi perlu juga dikembangkan pada produk lainnya seperti daging baik dari sapi, domba, atau kambing.
Pengobatan dan Kontrol Penyakit Pengobatan terhadap penyakit ini cukup sulit karena kemampuan bakteri yang dapat masuk ke dalam makrofag. Beberapa obat seperti streptomycin, isonazid dan rifampicin kurang dapat memberikan hasil yang memuaskan dengan cara pengobatan tunggal sehingga untuk meningkatkan efektifitas dan mencegah resistensi obat maka dapat dilakukan kombinasi pengobatan dengan obat-obat tersebut (Anonim 2000). Mor et al. (1996) menyatakan penggunaan Benzoxazinorifamycin KRM-1648 memiliki potensi yang baik untuk pengobatan MAP secara intermiten hanya obat ini memiliki
Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis
10
kelarutan yang rendah dalam darah. Linezolid juga merupakan obat antimycobacteria alternatif, konsentrasi linezolid dalam darah yang direkomendasikan berkisar 2-32 μg/ml didasarkan
pada
tingkat
resistensi
bakteri
yang
ada.
Hal
lain
yang
perlu
dipertimbangkan adalah efek samping obat ini yang dapat menekan aktivitas sumsum tulang (Brown-Elliott et al. 2003). Upaya pencarian metode pengobatan juga dilakukan dengan mempelajari mekanisme/substansi yang dapat mengangkut zat aktif obat masuk ke dalam sel dan juga interaksi zat aktif tersebut dengan sel inang. Interaksi obat antimycobakteria dengan aktivitas makrofag terinfeksi MAP dipelajari oleh Sano et al. (2004), yang berhasil mengetahui aktivitas antimycobakteria seperti rifampicin, rifobutun, isoniazid, clofozamine, dan beberapa golongan quinolon ternyata justru mengganggu sistem antimycobakterium sel makrofoag yang diperantari reaksi oksigen (ROIs) namun obatobat tersebut tidak mengganggu sistem antimycobakterium sel inang yang diperantarai reaksi nitrogen (RNIs) maupun asam lemak bebas (FFAs). Pemahaman ini akan membantu pengembangan obat-obat anti MAP atau bakteri lainnya yang mampu masuk ke dalam makrofag. Tindakan pencegahan perlu dilakukan untuk mengontrol penyebaran penyakit ini. Secara teori manusia dapat terinfeksi melalui kontak langsung dengan manusia ataupun hewan penderita ataupun secara tak langsung melalui pengan tercemar. Penularan dapat melalui feses penderita sehingga harus selalu menjaga kebersihan secara benar terutama setelah buang air besar dengan mencuci tangan dengan air bersih dan sabun ataupun antiseptik. Tidak mengonsumsi pangan terutama susu dalam kondisi mentah, melakukan pemanasan (pasteurisasi ataupun sterilisasi) untuk menginkatifkan atau mematikan mikroorganisme yang ada didalamnya. Bagi produsen keju disarankan untuk memperhatikan pH dan waktu pemeraman yang mampu mengurangi tingkat cemaran MAP semaksimal mungkin. Minimal waktu pemeraman yang disarankan adalah 3 bulan dengan suhu rendah untuk menurunkan jumlah bakteri 1 log. Perebusan air secara benar khususnya yang dikonsumsi mengingat air juga menjadi media yang berpotensi menyebarkan bakteri ini.
Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis
11
Kesimpulan Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis merupakan ancaman baru (emerging disease) bagi kesehatan manusia yang memiliki peluang ditularkan dari susu dan produk olahannya. Keterkaitan antara kasus Johne’s Disease pada sapi dengan Crohn’s Disease pada manusia perlu dikaji lebih mendalam untuk mengetahui lebih dalam mekanisme penularan dan upaya mencari cara pencegahan penularan yang efektif. Kasus Crohn’s Disease merupakan penyakit yang disebabkan bakteri MAP telah menjadi permasalahan besar bagi kesehatan dan perekonomian terutama di negara maju. Penyakit ini memiliki kecenderungan yang meluas ke berbagai daerah termasuk di Indonesia sehingga diperlukan kajian untuk mengetahui statusnya dan tingkat ancaman yang ada. Kemampuan bakteri MAP tahan terhadap panas perlu diwaspadai masyarakat dengan menjaga kualitas higiene pangan dan sanitasi lingkungan dalam rangka pencegahan terjadinya penyakit CD. Pengelolaan peternakan dengan selalu memantau kesehatan ternak, sanitasi lingkungan peternakan, dan menjaga kualitas higiene produk untuk menekan peluang pencemaran dan penyebaran MAP.
Daftar Pustaka Anonim, 2000, Possible Links Between Crohn’s Disease and Paratuberculosis. Scientific Committee Health and Animal Welfare, European Commission, Directorate-General Health & Consumer Protection Aditama TY & Luthni E. 2002 Buku Petunjuk Teknik Pemeriksaan Laboratorium Tuberkulosis. RS Persahabatan, Jakarta. Bannatine JP & Stabel JR. 2002. Killing paratuberculosis Within Macrophages. 2180/2/2
of Mycobacterium avium subsp. http://www.biomedcentral.com/1471-
Bannatine JP, Huntley JFJ, Miltner E, Stabel JR, Bermudez LE. 2003. The Mycobacterium avium subsp. paratuberculosis 35 kDa protein Plays a role in invasion of Bovine Epithelial Cells. Microbiology 149:2061-2069 Bernstein CN, Blanchard JF, Rawsthorne P, Collins MT. 2004. Population-Based case Control Study of Seroprevalence of Mycobacterium paratuberculosis in Patients with Crohn’s Disease and Ulcerative Colitis. J Clin. Microbiol. 3:1129-1135
Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis
12
Brown-Elliott BA, Crist CJ, Mann LB, Wilson RW, Wallace Jr RJ. 2003. In Vitro of Linezolid Against Slowly Growing Nontuberculous Mycobacteria. Antimicrob. Agents Chemother. 5:1736-1738 Bull TJ. McMinn EJ, Sidi-Boumedine K, Skull A, Durkin D, Neild P, Rhodes G, Pickup R, Hermon-Taylor. 2003. Detection and Verification of Mycobacterium avium subsp. paratuberculosis in Fresh Ileocolonic Mucosal Biopsy Specimens from Individuals with and without Croh’s Disease. J. Clin. Microbiol. 7: 2915-2923 Collins MT. 1997. Mycobacterium paratuberculosis: A Potential Food-Borne Pathogen?. J.Dairy Sci. 80:3445-3448 Collins MT, Lisby G, Moser C, Chicks D, Christensen S, Reichelderfer M, Hoib N, Harms BA, Thomsen OO, Skibsted U, Binder V. 2000. Results of Multiple Diagnostic tests for Mycobacterium avium subsp. paratuberculosis in Patients with Inflammatory Bowels Disease and in Controls. J. Clin. Microbiol. 12:4373-4381 Donaghy JA, Totton NL, Rowe MT. 2004. Persistence of Mycobacterium paratuberculosis during Manufacture and Ripening of Cheddar Cheese. Appl. Environ. Microbiol. 8:4899-4905 Doran T, Tizard M, Millar D, Ford J, Sumar N, Loughlin M, Hermon-Taylor J. 1997. IS900 Targets Translation Initiation Signals in Mycobacterium avium subsp. paratuberculosis of Facilitate Expression of Its hed Gene. Microbiol. 143:547-552 Grant IR, Ball HJ, Neill SD, Rowe MT. 1996. Inactivation of Mycobacterium paratuberculosis in Cows’Milk at Pasteurization Temperatures. Appl and Environ. Microbiol. 2:631-636 Grant IR, Hitchings EI, McCartney A, Ferguson F, Rowe MT. 2002a. Effect of Commercial-Scale High-temperature, Short-Time Pasteurization on the Viability of Mycobacterium paratuberculosis in Naturally Infected Cows’ Milk. Appl and Environ. Microbiol 2:602-607 Grant IR, Ball HJ, Rowe MT. 2002b. Incidence of Mycobacterium paratuberculosis in Bulk Raw and Commercially Pasteurized Cows Milk from Approved Dairy Processing Establishments in the United Kingdom. Appl and Environ. Microbiol. 5:2428-2435 Griffiths M. 2002. Mycobacterium paratuberciulosis. Di dalam: Food-borne Pathogenes, 1st ed. Woodhead Pub.Ltd. and CRC press LLC. hlm. 489-500 Harris NB & Barletta RG. 2001. Mycobacterium avium subsp.paratuberculosis in Veterinary Medicine. Clin. Microbiol. Rev. 3: 489-512 Holt JG, Kreig NR, Sneath PHA, Staley JT. Williams ST. 1994. Bergey’s Manual of Determinantive Bacteriology. 9 th ed. Lippincott Williams & Wilkins. USA. hlm. 597603
Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis
13
Ibrahim A, ElSanousi S, Aradaib I. 2004. Detection of Mycobaterium avium subsp. paratuberculosis Using Nested Polymerase Chain Reaction (nPCR). Vet. Arhiv. 74:27-35 Millar D, Ford J, Sanderson J, Whitey S, Tizard M, Doran T, Taylor JH. 1996. IS900 PCR To Detect Mycobacterium paratuberculosis in Retail Supplies of Whole Pasteurised Cows ‘ Milk in England and Wales. Appl and Environ. Microbiol. 9:3446-3452 Mor N, Simon B, Heifets L. 1996. Bacteriostatic and Bactericidal Activities of Bemzoxazinorifamycin KRM-1648 against Mycobacterium tuberculosis and Mycobacterium avium in Human Macrophages. Antimicrob. Agents Chemother. 6:1482-1485 Naser SA, Scwartz D, Shafran I. 2000. Isolation of Mycobacterium avium subsp. paratuberculosis from breast milk of Corhn’s Disease Patients, Americ. J. Gastro. 4:1094-095. O’Mahony J & Hill C. 2004. Rapid Real-Time PCR Assay for Detection and Quantitation of Mycobacterium avium subsp. paratuberculosis DNA in Artificilaly Contaminated Milk. Appl. Environ. Microbiol. 8: 4561-4568 O’Rielly CE, O’Conor L, Anderson W, Harvey P, Grant IR, Donaghy J, Rowe M, O’Mahony P. 2004. Surveillance of Bulk Raw and Commercially Pasteurized Cows’ Milk from Approved Irish Liquid-Milk Pasteurization Plants To Determine the Incidence of Mycobacterium paratuberculosis. Appl.Environ.Microbiol. 9:5138-5144 Pillai SR & Jayarao BM. 2002. Application of IS 900 PCR for Detection of Mycobacterium avium subsp. paratuberculosis Directly From Raw Milk. J.Dairy Sci. 85:1052-1057 Richter E, Wessling J, Lugering N, Domschke W, Rusch-Gerdes S. 2002. Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis Infection in a Patien with HIV , Germany. Emerging Infectious Disease 7:729-731 Sano K, Tomioka H, Sato K, Sano C, Kawauchi H, Cai S, Shimizu T. 2004. Interaction of Antimycrobial Drugs with the Anti-Mycobacterium avium Complex Effects of Antimicrobial Effectors, Reactive Oxygen Intermediates, Reactive Nitrogen Intermediates, and Free Fatty Acids Produced by Macrophages. Antimicrob. Agents Chemother. 6:2132-2139 Stabel JR, Wells SJ, Wagners BA. 2002. Relationships Between Fecal Culture, ELISA, and Bulk Tank Milk Test Results for Johne’s Disease in US Dairy Herds. J.Dairy Sci. 85:525-531 Sung N & Collins MT. 1998. Thermal Tolerance of Mycobacterium paratuberculosis. Appl and Environ. Microbiol. 3:999-1005 Sung N, Takayama K, Collins MT. 2004. Possible Associatin of GroES and Antigen 85 Protein with Heat Resistance of Mycobacterium paratuberculosis. Appl. Environ. Microbiol. 3:1688-1697 Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis
14
Sung N & Collins MT. 2000. Effect of Three Factors in Cheese production (pH, Salt, and Heat) on Mycobacterium avium subsp. Paratuberculosis Viability. Appl. Environ.Microbiol. 4:1334-1339 Whittington RJ, Hope AF, Marshall DJ, Taragel CA, Marsh I. 2000. Molecular Epidemiology of Mycobacterium avium subsp. paratuberculosis: IS900 Restriction Fragment Length Polymorphism and IS1311 Polymorphism Analyses of Isolates from Animals and Human in Australia. J. Clin. Microbiol. 9:3240-3248 Whittington RJ, Marshall DJ. Nicholls PJ, Marsh IB, Reddacliff LA. 2004. Survival and Dormancy of Mycobacterium avium subsp.paratuberculosis in the Environtmen. Appl. Environ. Microbiol. 5:2989-3004
Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis
15