TINJAUAN PUSTAKA Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis Pada tahun 1895, Johne dan Frothingham menemukan bakteri tahan asam yang menyebabkan bentuk atypical tuberculosis pada sapi di Jerman (Griffiths 2003). Pada tahun 1910, bakteri tersebut diberi nama Mycobacterium enteritidis chronicae pseudotuberculosis bovis johne yang selanjutnya dikelompokkan ke dalam Mycobacterium avium complex dan terakhir disebut Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis.
Bakteri ini merupakan patogen obligat pada
mamalia khususnya ruminansia yang menyebabkan radang granulomatosa saluran pencernaan yang dikenal sebagai paratuberkulosis atau Johne’s Disease (JD) (SCAHAW 2000).
Morfologi dan Karakter Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis (MAP) adalah bakteri Gram positif, berbentuk batang lurus atau sedikit bengkok dan terkadang bercabang dengan ukuran 0.2-0.7 X 1.0-10 μm. Dinding sel MAP tersusun dari lapisan lipida kompleks yang tebal. Bakteri ini bersifat aerobik, tidak bergerak aktif (non-motile) dan tidak berspora (Gallagher & Jenkins 1998; Harris & Barletta 2001). Kemampuan tumbuh Mycobacterium dikenal dua macam yaitu tumbuh cepat (koloni tampak dalam waktu kurang dari 7 hari) dan tumbuh lambat (koloni baru terlihat setelah 7 hari).
Secara umum Mycobacterium memiliki waktu
tumbuh 2-60 hari (Holt et al. 1994) namun untuk MAP dapat mencapai 18 bulan untuk isolat lapang (Shanahan 1994). Koloni memiliki permukaan halus atau kasar, tumbuh pada pada suhu 25-45 °C dengan suhu optimal 39 °C, bakteri ini juga mampu hidup di dalam makrofag, tahan pada pH 5.5, alkohol dan panas, membutuhkan senyawa mycobactin untuk mengikat zat besi lingkungan (Griffiths 2003). Sifat tahan panas MAP berbeda dengan Mycobacterium lainnya. Pasturisasi umumnya mampu mematikan Mycobacterium tuberculosis, M. bovis, dan lainnya namun hal ini kurang berhasil untuk MAP (Sung et al. 2004). Beberapa penelitian memperlihatkan MAP mampu bertahan pada suhu pasturisasi low temperature long time (LTLT) 63-63.3 °C selama 30 menit dan high temperature short time 71.7-72 oC selama 15 detik (Chiodini & HermonTaylor 1993; Grant et al. 1996). Kemampuan tahan panas ini diduga terkait
5 dengan protein 65kDa, GroES, antigen α, dan Ag 85B yang dimiliki MAP (ElZaatari et al. 1995; Sung et al. 2004) Bakteri umumnya membutuhkan zat besi untuk keperluan metabolisme, demikian halnya dengan Mycobacterium.
Senyawa besi kompleks dikelasi
bakteri melalui perantara senyawa siderofor untuk diangkut menembus membran hingga masuk ke sitoplasma. Dua jenis siderofor yang dikenal yaitu mycobactin yang larut lemak dan eksokelin (exochelin) yang larut air. Eksokelin merupakan protein bermolekul kecil yang terdapat pada cairan ekstraseluler. Zat besi dalam tubuh hewan pada umumnya disimpan dalam bentuk ferritin dan molekul transpor yang digunakan adalah transferrin dan lactoferrin.
Eksokelin yang
dihasilkan Mycobacterium akan mengkelasi zat besi dan membawanya melintasi membran sel. Selanjutnya zat besi diangkut oleh mycobactin masuk ke dalam sel bakteri. Kemampuan menghasilkan eksokelin dan myobactin hanya dimiliki oleh Mycobacteria dan Nocardia sehingga hal ini menjadi faktor penting dalam taksonomi bakteri ini. Pada umumnya Mycobacterium memiliki dua senyawa siderofor tersebut namun MAP dan beberapa strain MAV tidak mampu menghasilkan mycobactin.
Ketergantungan terhadap mycobactin ini menjadi
penanda khas untuk MAP meskipun saat ini Mycobacterium avium subspesies silvaticum dan beberapa MAV juga teridentifikasi memiliki ciri tersebut (Cocito et al. 1994). Mycobacteriaceae
memiliki
4
genus
Mycobacterium, Nocardia, dan Rhodococcus.
yaitu
Corynebacterium,
Spesies Mycobacterium avium
yang termasuk dalam genus Mycobacterium saat ini terbagi menjadi 3 subspesies yaitu Mycobacterium avium subspesies avium, Mycobacterium avium subspesies silvaticum, dan Mycobacterium avium subspesies partuberculosis. Komposisi basa dari genom masing-masing genus merupakan parameter taksonomi (Cocito et al. 1994). Saat ini dipakai metode biofisika (thermal profile atau buoyant density) dan dinyatakan dalam bentuk prosentase guanine+cytosine (G+C) dalam DNA. Komposisi
basa
Rhodococcus
(G+C)
63-73%,
dari
genom
Mycobacterium
Corynebacterium 62-70%,
dan
adalah
48-59%,
Nocardia
64-69%.
Komposisi basa untuk beberapa spesies Mycobacterium antara lain M. leprae 55-58% (di luar rentang ukuran genom Mycobacterium), MAP 66-67%,
M.
kansasii 64%, M. bovis dan M. tuberculosis 63-66%. Ukuran genom masingmasing spesies juga bervariasi seperti MAP 4.4X106 sampai 4.7X106 bp, ini lebih
6 besar dibandingkan spesies lain seperti MAV 3.5X106 bp, M tuberculosis 3.0 X106 sampai 4.2X106 bp, M. leprae 2.0X106 sampai 3.30X106 bp (Harris & Barletta 2001; Cocito et al. 1994).
Deteksi dan Identifikasi MAP Identifikasi fenotipik MAP dilakukan dengan menggunakan beberapa media seperti Herrold’s egg yolk medium (HEYM), Modified Dubos’s medium, Middlebrook 7H9, 7H10, 7H11, 7H12 Bactec medium, dan Löwenstein–Jensen medium (LJ) (Holt et al. 1994; OIE 2004). Pada media biakan seperti HEYM, LJ, atau Middlebrook 7H9 agar yang diperkaya mycobactin J, koloni akan terlhat halus atau kasar. Pada uji biokimia, MAP tidak menghasilkan niasin, peroksidase, nitrat reduktase, urease, arisulfatase, penisilinase, beta-glukosidase, dan tidak menghidrolisis Tween 80 dalam 10 hari. Beberapa strain menghasilkan sedikit katalase termo resisten dan semua strain susunan asam mikolak (mycolic acid) dan resisten terhadap thiophene-2-carboxylic
acid
hydrazide,
dan
isoniazid
(SCAHAW
2000).
Kelemahan dari metode isolasi adalah keberadaan bakteri yang tidak selalu dapat ditemukan dalam feses, susu, atau jaringan atau organ. Kelemahan lain adalah waktu pertumbuhan MAP yang lama yaitu 3-24 minggu, bahkan dapat mencapai 18 bulan (Shanahan 1994, Griffiths 2003) sehingga metode ini sulit memberikan keputusan yang cepat. Identifikasi bakteri dapat pula dilakukan dengan mewarnai ulas bakteri dengan pewarnaan tahah asam Ziehl-Neelsen (ZN). Metode ini dapat dilakukan dari contoh ulas dari organ terutama kelenjar limfoid saluran pencernaan/usus, feses, maupun susu penderita. Pada pewarnaan ZN ini MAP akan terlihat berbentuk batang dan berwarna merah (OIE 2004). Bakteri MAP sulit dibedakan dengan Mycobacterium sp. lainnya dengan teknik pewarnaan karena ukuranya yang tidak jauh berbeda. Deteksi terhadap MAP berdasarkan uji serologis dilakukan dengan complement fixation test (CFT), enzyme linked immunosorrbent assay (ELISA), agar gel immunodiffusion (AGID). Reaksi tanggap kebal humoral mulai dapat terdeteksi pada fase pre-klinis tanpa disertai pengeluaran bakteri di dalam fesesnya (McKenna et al. 2005; Roussel et al. 2007). McKenna et al. (2005) menjelaskan bahwa hasil uji ELISA berkaitan erat dengan fase perkembangan penyakit pada inang. Pada fase preklinis infeksi MAP, sensitivitas ELISA masih
7 sangat rendah dan akan meningkat pada fase klinis seiring reaksi tanggap kebal inang. Pendapat Osterstock et al. (2007) sejalan dengan Roussel et al. (2007) yang menyebutkan bahwa spesifisitas ELISA relatif tinggi yaitu 91-95% dengan melakukan absorbsi serum menggunakan M. phlei.
Prosedur ini cukup baik
meskipun masih memungkinkan terjadinya reaksi silang dengan MAC, khususnya M. intraselular sehingga dihasilkan reaksi positif palsu. Hal ini seringkali menyebabkan hasil uji serologis tidak sejalan dengan hasil isolasi bakteri dari feses. Identifikasi genotipik merupakan satu metode yang sangat membantu mengenali MAP dengan cepat. Insertion sequence (IS) merupakan elemen genetik yang bergerak dan hanya mengandung gen-gen terkait fungsi insersi. Lokasi IS berada di dalam struktur gen yang dapat menyebabkan terjadinya mutasi insersional (Lida et al. 1983 diacu oleh Green et al. 1989). Pengelompokan IS dilakukan berdasarkan pada kemiripan dan perbedaan struktur, organisasi, dan nukleotida serta protein sekuen terkait. Letak IS pada lokasi tertentu yang stabil dalam kromosom menjadikan mereka sebagai penanda dalam kajian restriction fragment length polymorphism (RFLP) untuk penentuan spesies dan kajian epidemiologi.
Struktur IS tersusun dari
transposon, dalam kajian lebih lanjut IS ini berkaitan dengan fungsi patogenik dan virulensi agen. Sejak dipublikasikan tahun 1989 penelitian terkait IS sangat banyak dan hingga tahun 1998 telah diidentifikasi sekitara 500 IS (Mahillon & Chandler 1998). Penggunaan polymerase chain reaction (PCR) sebagai salah satu metode diagnosis sangat membantu dalam penelitian tentang MAP. Green et al. (1989) berhasil mendapatkan sekuen elemen DNA untuk diagnosis MAP yang kemudian dikenal sebagai insertion sequence (IS) 900. Sekuen tersebut dikelompokkan dalam keluarga IS110, dengan ukuran 1451 bp dan komposisi G+C sebesar 66%.
Insertion sequence ini memiliki mayor open reading frames (ORF)
sejumlah 1197 nukleotida yang diprediksi mengkode 399 protein dan dapat mengkopi 15-20 genom MAP. Sumber IS900 tidak diketahui tetapi diduga dibawa oleh mycobacteriophage.
Pohon genetik IS900 menunjukkan bahwa MAP
masuk dalam kelompok Mycobacterium avium. Keunikan perangkat IS900 ini adalah tidak memiliki terminal inverted dan direct repeats. Insertion sequence 900 memiliki daya pembeda yang tinggi untuk mengidentifikasi MAP secara tepat sehingga digunakan untuk keperluan deteksi ataupun konfirmasi MAP.
8 Perkembangan selanjutnya primer IS900 yang spesifik MAP ini digunakan sebagai rujukan identifikasi MAP baik untuk konfirmasi isolat maupun diagnosis cepat.
Penggunaan primer IS900 juga digunakan untuk mendeteksi MAP
langsung pada beberapa contoh seperti susu segar, susu pasturisasi, dan keju (Grant et al. 1998; Giese & Ahrens 2000; Pillai & Jayarao 2002), feses (Motiwala et al. 2004; Strickland et al. 2005), maupun biopsi jaringan (Taddei et al. 2004; Hermon-Taylor et al. 1998). Sekuen genom lengkap MAP berhasil dipetakan oleh Li et al. (2005) sehingga akan dapat dijadikan rujukan dalam pengembangan metode deteksi dan produk biologis untuk pengendalian penyakit JD di masa mendatang. Harris dan Barletta (2001) menyatakan bahwa primer IS900 yang dirancang Vary et al. (1990) memiliki kelemahan yaitu adanya 229 wilayah amplifikasi yang tumpang tindih dengan IS1626 dari M. avium sehingga sering diperoleh hasil positif palsu.
Cousins et al. (1999) juga mendapatkan hasil
amplifikasi dari Mycobacterium lingkungan non-MAP menggunakan primer ini. Secara tegas Semret et al. (2006) menyatakan bahwa amplifikasi dari IS900 tidak cukup mewakili MAP. Kelemahan-kelemahan ini diidentifikasi oleh Bull et al. (2000) dan kemudian mengembangkan beberapa variasi IS900 yang dikenal sebagai multiplex PCR of IS900 loci (MPIL) untuk memperbaiki kinerja primer ini. Variasi MPIL didasarkan pada sekuen genom DNA dan didapatkan 14 variasi primer IS900 yang berbeda pada genom MAP. Temuan ini diharapkan mampu mengurangi hasil positif palsu. Selain pengembangan IS900 sebagai primer MAP, beberapa peneliti juga mengembangkan primer lain seperti yang dilakukan Cocito et al. (1994) yang mengembangkan F57. Primer ini dikloning dari segmen DNA MAP dalam satu vektor transkripsi. Klon F57 rekombinan terbukti spesifik untuk identifikasi agen JD. Sekuen F57 menghasilkan satu segmen 620 bp dengan kandungan G+C sebesar 58%.
Primer F57 mampu mengidentifikasi MAP dengan baik dari
jaringan hewan penderita JD yang telah diparafin (Coetsier et al. 2000). Pengembangan F57 sebagai primer identifikasi MAP dikembangkan oleh Vansnick et al. (2004) dengan target gen F57 yang memiliki panjang 424-432 bp. Kinerja primer F57 dengan metode nested PCR sangat baik dengan kemampuan deteksi hingga 1 CFU per PCR dan daya pembeda yang sangat baik. Penggunaan F57 untuk deteksi MAP pada susu dengan metode RT-PCR juga memberikan kinerja yang sangat baik pada tingkat sensitivitas pada 102 sel/ml
9 (Tasara & Stephan 2005). Berdasarkan berbagai hasil penelitian di atas para peneliti menganjurkan penggunaan metode deteksi lebih dari 1 macam termasuk pada analisis molekular dengan menggunakan setidaknya 2 primer.
Paratuberkulosis pada Hewan Paratuberkulosis pada hewan terutama terjadi pada ruminansia seperti sapi, domba, dan kambing namun dapat terjadi pula pada satwa liar seperti bison, kijang, kelinci, dan kadang ditemukan pula pada burung-burung liar meski tidak menimbulkan gejala klinis (Cocito et al. 1994; Buergelt et al. 2000; Acha & Szyfres 2003).
Hewan penderita paratuberkulosis akan menunjukkan gejala
sakit 2-5 tahun setelah infeksi.
Penderita paratuberkulosis subklinis akan
merugikan peternak karena penurunan produksi susu dan rendahnya kinerja reproduksi. Kerugian industri peternakan sapi perah di Amerika Serikat karena penyakit ini diperkirakan mencapai US $ 1.5 milyar per tahun (Stabel 1996).
Epidemiologi dan Penyebaran Penyakit Sejak dikenal pertamakali, kasus JD telah diketahui tersebar di berbagai tempat. Pada tahun 1934 sebuah penelitian di Perancis memperlihatkan bahwa prevalensi kasus JD hanya 0.8%. Berbagai survei yang dilakukan pada peternakan sapi di negara-negara Eropa memperlihatkan prevalensi JD yang bervariasi seperti di Inggris sekitar tahun 1950 mencapai 11-17%, di Denmark pada tahun 1965 sebesar 2.3% dan meningkat pada tahun 1972 yang mencapai 9.8%. Di Amerika Serikat survei tahun 1980 memperlihatkan tingkat penyakit pada peternakan sapi sebesar 1.2% (SCAHAW 2000).
Laporan tahun 1997
menunjukkan peningkatan prevalensi JD di Amerika yang mencapai 21.6% dan 40% dari peternakan yang terinfeksi tersebut memiliki lebih dari 300 sapi penderita (Gonda et al. 2006). Tingginya prevalensi menunjukkan penyakit ini sulit dikendalikan. Faktor lingkungan sangat berperan dalam kelangsungan penyakit ini. Raizman et al. (2004) melakukan penelitian untuk mengetahui distribusi MAP di lingkungan peternakan sapi perah di Minnesota.
Hasil penelitian ini memperlihatkan
prevalensi peternakan yang tercemar MAP mencapai 53-73%, sedangkan distribusi keberadaan bakteri di peternakan terdapat pada lokasi–lokasi seperti pada gang/jalan ternak 77%, penampungan pupuk/kotoran 68%, lokasi melahirkan 21%, kandang sapi sakit 18%, air limbah 6%, dan daerah penyapihan
10 3%. Pergantian musim terbukti tidak mempengaruhi terjadinya kasus JD pada peternakan (Strickland et al. 2005). Hal ini sejalan dengan temuan Whan et al. (2005) yang sepanjang musim dapat menemukan MAP dari air yang tidak diberi perlakuan (untreated) di Irlandia Utara. Tingginya kejadian juga diduga karena keberadaan kelinci liar sebagai vektor biologis MAP yang menularkannya ke peternakan sapi perah dan hewan liar lain (Judge et al. 2006).
Patogenesis Paratuberkulosis Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis menyebabkan Johnes disease (JD) yaitu penyakit radang granulomatosa usus yang bersifat kronis dan sulit disembuhkan pada hewan.
Setelah tertelan, bakteri ini akan segera
menembus permukaan mukosa saluran pencernaan dan difagosit oleh makrofag. Kemampuan MAP bertahan di dalam makrofag merupakan suatu kelebihan bakteri ini dalam mengganggu inang dan bakteri mampu bertahan dan terlindung dari mekanisme kekebalan humoral (Stabel et al. 1998). Hewan mammalia secara aktif akan membatasi suplai zat besi kepada bakteri patogen. Fungsi sitokin pada makrofag diduga untuk membatasi secara aktif konsentrasi besi di dalam sel sehingga perkembangan bakteri terhambat. Makrofag teraktivasi akan menurunkan kerja reseptor transferin dan mengurangi konsentrasi zat besi. Bakteri Mycobacterium menghasilkan siderofor mycobactin larut lemak dan siderofor eksokelin larut air dalam rangka mencari zat besi yang terbatas jumlahnya dalam sel inang. Kedua siderofor ini sangat berkaitan dengan patogenisitas Mycobacterium dan menjadi perangkat penting bakteri dalam bertahan dan bereplikasi di dalam makrofag (Harris & Barletta 2001). Lesi granulomatosa mulai muncul pada lokasi peyer patches. Luka ini akan bertahan dalam keadaan laten untuk waktu yang lama. Pada perkembangan infeksi selanjutnya dari peyer patche akan menyebar ke seluruh usus dan menimbulkan radang granulomatosa pada usus dan kondisi paling ekstrim adalah terbentuknya lubang (perforasi) pada usus. mengganggu absorbsi makanan.
Lesi-lesi ini jelas akan
Hal ini akan berakibat pada kondisi umum
hewan sehingga akan memperlihatkan gejala-gejala klinis yang akan muncul sekitar 2-5 tahun sejak infeksi bakteri ke dalam inang (SCAHAW 2000). Gejala Klinis Pedet yang terinfeksi MAP seringkali tidak memperlihatkan gejala klinis hingga 2-3 tahun kemudian.
Rute utama infeksi melalui makanan, susu,
11 kolostrum yang tercemar MAP. Jumlah bakteri sebanyak 5x108 CFU mampu menimbulkan penyakit pada kambing umur 3 bulan dan gejala klinis muncul setelah 11 bulan kemudian (Begg et al. 2005). Perkembangan penyakit paratuberkulosis dibagi menjadi 3 stadium. Stadium 1 adalah stadium subklinik, hewan tidak menunjukkan gejala klinis, tanggap kebal seluler tinggi tetapi tidak ada pengeluaran MAP dalam feses. Pada stadium 2, hewan dalam kondisi subklinik dengan tanggap kebal seluler dan humoral yang sedang.
Fase ini juga ditandai dengan peningkatan
konsentrasi MAP pada mukosa usus dan ruang usus. Stadium 3 (fase terminal) merupakan fase hewan menunjukkan gejala klinik yang ditandai adanya diare kronis, gejala infeksi umum seperti emasiasi, penurunan produksi susu, edema difus, anemia, dan infertilitas yang merupakan tanda akhir yang dominan (Cocito et al. 1994). Aborsi dan alopesia merupakan tanda yang terlihat pada stadium lanjut dan hewan mati dengan status kaheksia. Pada fase klinis jumlah bakteri yang dikeluarkan melalui feses dapat mencapai 1010 CFU/g feses. Distribusi MAP selain pada organ pencernaan juga dapat terdapat pada organ reproduksi hewan jantan dan betina terinfeksi. Organisme ini dapat diisolasi dari fetus yang berasal dari sapi penderita meskipun penularan melalui intrauteri belum dapat dibuktikan (Stabel 1998). Metode Diagnosis Organisasi Kesehatan
Hewan
Dunia
(Office
International
des
Epizootica/OIE) telah mengeluarkan panduan diagnosis paratuberkulosis. Diagnosis dapat dilakukan dengan identifikasi agen, uji serologis, dan test of cellmediated immunity. Identifikasi agen dapat dilakukan dengan melakukan nekropsi, pemeriksaan mikroskopik, biakan bakteri, dan pelacakan DNA. Pengujian serologi dapat dilakukan dengan complement fixation test, ELISA, dan AGID sedangkan untuk test of cell-mediated immunity dilakukan dengan gamma interferon assay dan delayed type hypersensitivity (OIE 2004). Diagnosis Paratuberkulosis berdasarkan gejala klinis cukup sulit dilakukan karena perjalanan penyakit yang cukup lama.
Pada umumnya gejala klinis
terlihat pada saat hewan sudah dalam kondisi terinfeksi parah. Cocito et al. (1994) menjelaskan bahwa stadium perkembangan penyakit berpengaruh terhadap metode diagnosis klinik maupun laboratorik. Diagnosis laboratorik MAP sampai saat ini masih dikembangkan untuk mendapatkan metode yang cepat dan akurat. Diagnosis serologis yang sering
12 dilakukan adalah dengan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Variasi sensitivitas uji ELISA sangat tergantung pada fase respon sistem kekebalan inang dan reaksi silang bila inang terinfeksi M. avium complex (MAC). Sensitivitas ELISA untuk mendeteksi MAP ini bervariasi 42-88% sehingga seringkali diperoleh hasil yang berbeda antara uji ini dengan uji isolasi (Collins 2002; McKenna et al. 2005). Diagnosis MAP dapat dilakukan berdasarkan uji cell-mediated immunity yaitu dengan gamma interferon assay dan delayed-typed hipersensitivity test (DTH). Uji DTH menggunakan purified protein derivative (PPD) johnin dan akan menghasilkan rekasi penebalan pada kulit setelah 72 jam diinjeksi intradermal dengan PPD johnin (OIE 2004). Primer IS900 menjadi satu alat deteksi molekuler yang cukup banyak membantu diagnosis MAP. Beberapa hasil penelitian menggunakan primer IS900 memperlihatkan adanya positif palsu.
Salah satu sebabnya adalah tingkat
homologi DNA MAP dengan MAC yang mencapai 97% (Bannantine et al. 2002). Pengembangan
primer
untuk
deteksi
MAP
kemudian
dilakukan
untuk
mendapatkan tingkat akurasi yang tinggi. Beberapa primer kemudian ditemukan seperti F57 (Cocito et al. 1994), ISMap02 (Stabel & Bannantine 2005), dan ISMav2 (Wells et al. 2006) namun banyak peneliti tetap merekomendasikan untuk mengkombinasikannya dengan primer IS900. Penelitian Vansnick et al. (2004) menunjukkan bahwa dari 53 isolat Mycobacterium non MAP tidak satupun yang teramplifikasi dengan primer ini. Primer IS900 mampu mendeteksi MAP sampai 1 CFU per PCR namun demikian dalam beberapa penelitian diperoleh beberapa hasil yang bervariasi tergantung dari jenis sampel yang diuji. Stabel et al. (2004) dengan metode konvensional mampu mendeteksi 12 dari 165 sampel feses yang mengandung MAP 1 CFU/g. Metode real-time PCR (RT-PCR) yang dilakukan O’Mahony dan Hill (2004) mampu mendeteksi MAP dalam susu segar hingga konsentrasi <100 CFU/ml. Kinerja primer IS900 mendeteksi MAP sangat baik dan direkomendasikan oleh OIE untuk digunakan sebagai salah satu metode identifikasi (OIE 2004).
Penyakit Crohn dan Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis Penyakit Crohn (Crohn’s disease/CD) adalah penyakit yang dideskripsikan oleh Crohn, Ginzberg, dan Oppenheimer pada tahun 1932 sebagai peradangan granulomatosa pada usus besar terutama pada ileum sampai kolon. Penyakit
13 semacam ini sebenarnya telah diketahui sejak abad 16 namun baru Crohn dan teman-temannya yang menjelaskan secara spesifik (Chiodini 1989). Di Eropa insidensi kasus CD sebesar 5.6 kasus per 100000 orang per tahun dan hingga tahun 2000 diperkirakan telah mencapai 200000 penderita. Kerugian ekonomi yang ditimbulkan cukup besar seperti yang dialami pemerintah Swedia yang harus mengeluarkan dana € 40 juta (sekitar 560 miliar rupiah) untuk pengobatan dan penanganan kasus CD pada tahun 1994 (SCAHAW 2000).
Etiologi Crohn’s Disease Penyebab CD secara pasti hingga saat ini masih dalam perdebatan. Chamberlin dan Naser (2006) menjelaskan ada tiga teori penyebab CD yaitu teori autoimun (immune dysregulation theory), teori defisiensi kekebalan (immune deficiency), dan teori mikobakterial (mycobacterial theory).
Teori autoimun
menjelaskan bahwa terjadinya CD sebagai akibat ketidaktepatan aktivasi sistem kekebalan mukosa usus secara terus menerus yang dipicu oleh keberadaan flora normal di dalam lumen. Teori defisiensi kekebalan menekankan timbulnya CD karena cacat bawaan sistem kekebalan yang menyebabkan tanggap kebal yang berlebihan dengan penyebab yang belum teridentifikasi.
Teori mikobakterial
mengungkapkan bahwa kejadian CD merupakan hasil interaksi Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis dengan sistem kekebalan tubuh inang. Dugaan bakteri MAP sebagai penyebab CD muncul saat Dalziel pada tahun 1913 menemukan perubahan patologi usus pasiennya berupa keradangan granulomatosa yang sangat mirip dengan perubahan patologis usus sapi penderita JD. Saat itu Dalziel belum berhasil mengisolasi bakteri tahan asam seperti halnya pada penderita JD.
Semula penyakit ini dikenal hanya terjadi
pada ileum, namun tahun 1960 Lockart-Mummery dan Morson mengidentifikasi adanya radang pada kolon dan membentuk granuloma, karena daerah radang yang lebih banyak pada usus besar maka sering juga disebut sebagai chronic inflamatory bowels disease (IBD) (SCAHAW 2000). Temuan bakteri MAP pada darah pasien CD (Naser et al. 2004) menguatkan dugaan MAP sebagai penyebab CD. Collins et al. (2000) melakukan penelitian yang menggunakan beberapa alat uji untuk mengidentifikasi adanya infeksi
MAP
pada
penderita
inflammatory
bowel
disease
(IBD)
dan
menyimpulkan adanya keterkaitan kuat antara MAP dan CD. Pendapat tersebut dikuatkan oleh Bull et al. (2003) yang menyatakan bahwa MAP secara spesifik
14 menimbulkan radang kronis yang terjadi pada penderita CD dan hal ini secara jelas membuktikan hubungan sebab akibat antara MAP dengan CD.
Epidemiologi dan Distribusi Penyakit Crohn Pada awal kasus CD dikenali, kejadian penyakit banyak dialami oleh masyarakat
Eropa
Utara
dan
etnis
Anglo-Saxon
masyarakat Eropa Selatan, Asia, dan Afrika.
dibandingkan dengan
Perkembangan selanjutnya
keberadaan imigran Asia menjadi pembawa penyakit ini ke daerah Asia. Kajiankajian epidemiologi CD cukup banyak dilakukan di Eropa dan Amerika namun sebagian besar berupa kajian retrospektif yang datanya didasarkan dari laporanlaporan dan kurang didukung identifikasi etiologi agen secara akurat. Tabel 2 Rataan insidensi kasus CD (per 100000 orang/tahun) selama tahun 1991-1994 di Eropa (SCAHAW 2000) Pusat Kajian Daerah utara Reykjavic (Islandia) Oslo (Norwegia) Copenhagen (Denmark) Dublin (Irlandia) Leicester (Inggris) Non migran Migran Maastricht (Belanda) Essen (Jerman) Amiens (Perancis) Total daerah utara Daerah selatan Milan-Varese (Italia) Crema-Cremona (Italia) Regio Emilia (Italia) Florence (Italia) Vigo (Spanyol) Sabadell (Spanyol) Braga (Portugal) Ioannina (Yunani) Almada (Portugal) Palermo, Sisilia (Italia) Heraklion, Crete (Yunani) Beer Sheva (Israel) Total daerah selatan Total seluruh daerah
Laki-laki
Perempuan
Total
8.8 (15) 7.6 (48) 5.3 (20) 4.8 (19)
7.9 (13) 8.2 (52) 8.9 (34) 6.5 (27)
8.4 (28) 7.9 (100) 7.2 (54) 5.7 (46)
1.7 (2) 8.3 (4) 8.1 (37) 3.1 (17) 8.1 (29) 6.2 (191)
6.6 (8) 2.0 (1) 10.1 (45) 5.3 (29) 10.8 (39) 7.9 (248)
4.2 (10) 5.0 (5) 9.1 (82) 4.2 (46) 9.5 (68) 7.0 (439)
1.4 (2) 2.2 (5) 4.8 (10) 2.4 (10) 7.8 (27) 4.0 (10) 3.0 (5) 1.2 (2) 1.9 (4) 7.4 (6) 7.6 (11) 2.3 (5) 3.9 (101) 5.1 (292)
3.5 (5) 2.9 (6) 3.9 (11) 4.0 (17) 3.1 (11) 6.8 (17) 5.7 (10) 0.6 (1) 3.3 (7) 6.0 (6) 2.0 (3) 6.5 (14) 4.0 (108) 6.1 (356)
2.5 (7) 2.6 (11) 4.3 (25) 3.2 (27) 5.4 (38 ) 5.4 927) 4.4 (15) 0.9 (3) 2.6 (11) 6.6 (12) 4.7 (19) 4.4 (19) 3.9 (209) 5.6 (648)
Kajian prospektif mulai dilakukan tahun 1991 hingga 1994 oleh para klinikus Eropa yang meliputi 20 pusat kajian terhadap pasien umur 15-64 tahun
15 untuk memperoleh gambaran dan insidensi kasus secara lebih tepat.
Hasil
kajian tersebut memperlihatkan bahwa jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap peluang kejadian (Shivananda et al. diacu oleh SCAHAW 2000) dan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 menunjukkan kasus CD yang telah menyebar di Eropa dengan insidensi kasus di setiap daerah di atas 5 kasus per 100000 orang per tahun. Belanda sebagai negara pengekspor susu dan produk olahannya memiliki insidensi CD cukup tinggi (9.1).
Laporan Hruska et al. (2005) menyebutkan
angka insidensi CD semakin meningkat 50-150 kasus per 100000 orang per tahun dan di negara yang memiliki kasus paratuberkulosis pada sapi perah, kambing, dan ternak lainya juga memiliki prevalensi CD yang tinggi.
Potensi MAP Sebagai Foodborne Disease Kemiripan perubahan patologi organ penderita CD dengan JD pada sapi menimbulkan dugaan potensi penularan MAP dari hewan ke manusia. Media penularan yang paling dicurigai adalah susu sapi dan produk olahannya seperti susu pasturisasi, keju, dan susu formula. Banyak sekali informasi keberadaan MAP dalam komoditi tersebut. Taylor et al. (1981) berhasil mengisolasi MAP dari susu segar yang dihasilkan sapi penderita JD klinis, namun Sweeney et al. (1992) mendapatkan 9 isolat MAP dari susu segar sapi penderita JD subklinis. Pengolahan susu dengan pasturisasi teryata belum mampu memusnahkan MAP seperti pada Listeria monocytogenes maupun Mycobacterium bovis (Collins 1996). Millar et al. (1996) menggunakan metode PCR IS900 mendeteksi MAP pada susu high temperature short time (HTST) sebanyak 7% dari 312 contoh yang diuji. Temuan MAP pada susu HTST juga ditemukan di Inggris (Grant et al. 2002a), di Irlandia (O’Reilly et al. 2004) dan Republik Ceska (Ayele et al. 2005). Produk susu olahan seperti susu formula dan keju juga masih dapat terkontaminasi MAP. Hruska et al. (2005) berhasil mendeteksi bakteri tersebut dengan metode PCR pada susu formula bayi, sedangkan penelitian Akineden et al. (2006) selain mendeteksi dengan PCR juga mendapatkan isolat MAP dari makanan bayi. Donaghy et al. (2004) secara laboratorik memperlihatkan bahwa MAP masih dapat hidup pada keju cheddar, demikian juga temuan Ikonomopoulos et al. (2005) yang mendeteksi keberadaan MAP pada keju yang dijual di ritel Yunani dan Republik Ceska.
16 Banyaknya data memperlihatkan bahwa MAP memiliki kemampuan bertahan dalam perlakuan panas.
Chiodini dan Hermon-Taylor (1993)
melaporkan bahwa MAP lebih tahan panas dibandingkan dengan M. bovis. Pada skala laboratorium, sebanyak 3-10% dari MAP yang dikotaminasikan pada susu segar dengan dosis 104 CFU/ml mampu bertahan setelah dipanaskan pada suhu 71.7 oC selama 15 detik (HTST). Sung dan Collins (1998) mendapatkan waktu yang dibutuhkan untuk menurunkan 1 log 10 bakteri (nilai D) MAP pada suhu 71 o
C adalah 11.67 detik, sedangkan untuk suhu 68 oC adalah 21.8 detik, pada suhu
65 oC adalah 47.8 detik dan 62 oC adalah 228.8 detik. Penelitian Sung dan Collins (1998) tersebut juga memperlihatkan bahwa MAP akan tetap dapat ditemukan dalam susu meskipun telah dipasturisasi apabila pada susu mentahnya mengandung lebih dari 101 sel/ml. Sung et al. (2004) berhasil mengidentifikasi beberapa protein dari bakteri MAP yang diduga mengendalikan kemampuan tahan panas. Beberapa protein tersebut adalah GroES, Ag85, dan antigen α. Protein GroES yang juga dikenal sebagai heat shock protein bertanggungjawab melindungi sel dari panas yang dengan cepat memperbaiki denaturasi atau kesalahan pelipatan protein. Antigen 85 dan antigen α merupakan trehalose mycolyltransverases berperan dalam penyusunan dinding sel mycobacteria. Kemampuan inilah yang menjadikan MAP sangat berpotensi menular ke manusia melalui makanan (foodborne disease).