MODIFIKASI MEDIA OGAWA SEBAGAI MEDIA TUMBUH Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis Abstrak Herrold’s egg yolk medium (HEYM) dan Löwenstein-Jensen (LJ) yang diperkaya dengan mycobactin merupakan standar isolasi untuk Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis (MAP). Kedua media tersebut cukup mahal digunakan sebagai media rutin di Indonesia. Di lain pihak telah diketahui bahwa media Ogawa merupakan isolasi Mycobacterium tuberculosis yang murah namun akurat. Kemampuan media Ogawa untuk mengisolasi MAP belum diketahui sehingga perlu dikembangkan untuk keperluan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menguji kemampuan media Ogawa yang dimodifikasi sebagai media tumbuh MAP. Setiap inokulum dari pengenceran seri isolat referensi MAP dan Mycobacterium avium subspesies avium (MAV) 100-06 sel/ml diinokulasikan pada media HEYM yang diperkaya mycobactin J (HEYMj), media Ogawa modifikasi tanpa mycobactin J (MOM A), dan media Ogawa modifikasi yang diperkaya dengan mycobactin J (MOM B). Masing-masing pengenceran isolat diinokulasikan pada setiap media tumbuh dengan ulangan 2 kali. Setelah 12 minggu diinkubasi pada suhu 37 °C, tidak ada MAP yang tumbuh pada MOM A dan MOM B sebaliknya MAV tumbuh pada semua media. Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis mulai tumbuh dari pengenceren 101 sel/ml pada HEYMj sedangkan untuk bakteri MAV mulai 103 sel/ml pada semua media) MOM A dan MOM B memiliki kemampuan yang setara dengan HEYMj sebagai media tumbuh MAV (Kappa=1), namun tidak mampu menumbuhkan MAP (Kappa=0). Pengembangan modifikasi media Ogawa (MOM) perlu dilakukan untuk memperoleh formula terbaik yang sesuai untuk pertumbuhan MAP. Kata kunci: Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis, Mycobacterium avium subspesies avium, modifikasi media Ogawa, HEYMj Abstract Herrold’s egg yolk medium (HEYM) and Löwenstein-Jensen (LJ) enriched with mycobactin J are standard media for isolatiotion of Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis (MAP). Both are quite expensive to be used for routine media in Indonesia. In the other hand, the Ogawa medium (OM), isolation media for Mycobacterium tuberculosis, is cheaper medium but quite accurate as standard. However, performance of OM for MAP isolation is unknown and needs to be developed for this purpose. This present study was undertaken to investigate the capability of modified Ogawa medium as growth medium for MAP. Each inoculum from serial dilutions of MAP and Mycobacterium avium subspecies avium (MAV) 100-106 cell/ml was inoculated into HEYM enriched with mycobactin J (HEYMj), into modified Ogawa medium without mycobactin J enrichment (MOM A), and modified Ogawa medium enriched with mycobactin J MOM B). After 12 weeks of incubation at 37 °C, MAP only grew in HEYMj but not in MOM A and MOM B; meanwhile the MAV grew in all medium. Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis started to grow from 101 cell/ml in HEYM but MAV start from 103 cell/ml in all media. The MOM A and MOM B performed as good as HEYMj as growth media for MAV (Kappa=1), but very poorly performed as the growth medium for MAP (Kappa=0).
27 Improvement of modified Ogawa medium (MOM) should be carried out to find the best formula for MAP growth. Key words: Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis, Mycobacterium avium subspecies avium, modified Ogawa medium, HEYMj Pendahuluan Diagnosis Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis (MAP) secara cepat dan tepat masih menjadi kendala saat ini, sementara kebutuhan diagnosis yang cepat sangat dibutuhkan untuk membantu pengambilan tindakan di lapangan. Telah diketahui bahwa bakteri MAP menyebabkan Johne’s disease (JD) pada ruminansia dan diduga berperan dalam Crohn’s disease (CD) pada manusia. Kedua penyakit tersebut berpengaruh besar pada ekonomi peternakan maupun kesehatan masyarakat sehingga kecepatan diagnosis sangat membantu menekan kerugian yang ditimbulkan. Mycobacterium avium subspesies
paratuberculosis termasuk kelompok
bakteri Gram positif dari keluarga Mycobacteriaceae, yang mudah ditemukan di lingkungan. Spesies Mycobacterium avium complex saat ini diketahui memiliki 3 subspesies yaitu Mycobacterium avium subspesies avium, Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis, dan Mycobacterium avium subspesies silvaticum (Harris & Barletta 2001). Morfologi koloni MAP berbentuk lingkaran, permukaan mengkilap atau kasar dengan ukuran sel bakteri sebesar 0.2-0.7 X 1-10 μm, non motil, tahan asam dan alkohol, dengan suhu pertumbuhan 25-45 °C dan optimal 39 °C. Waktu tumbuh MAP dikenal sangat lambat yaitu berkisar 4-24 minggu bahkan sampai 18 bulan dan membutuhkan mycobactin yaitu senyawa hidroksimat pengikat besi, mampu tumbuh pada konsentrasi garam <5% pada pH 5.5 atau lebih serta mampu bertahan dalam makrofag meskipun sifatnya fakultatif (Holt et al. 1994; Cocito et al. 1994; SCAHAW 2000; Griffiths 2003). Pertumbuhan Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis paling lambat dibanding yang lain dan sangat membutuhkan senyawa mycobactin untuk kebutuhan metabolismenya.
Bakteri ini diketahui tidak memiliki kemampuan
mensistesis mycobactin sebagai media transpor zat besi (Fe) ke dalam sel sehingga sangat tergantung pada senyawa siderofor tersebut (Cocito et al. 1994).
Mycobactin merupakan senyawa yang secara alami dihasilkan oleh
Mycobacteria terutama M. phlei yang membantu MAP mengabsorbsi zat besi (Fe) untuk kebutuhan pertumbuhan. Berdasarkan karakter ini maka mycobactin
28 dapat digunakan untuk membedakan MAP dengan bakteri dari golongan Mycobacteriaceae lainnya (Anonim 2006). Metode isolasi dan pembiakan bakteri MAP secara konvensional merupakan gold standard bagi uji lainnya. Media isolasi yang umum digunakan adalah Herold’s egg yolk medium (HEYM) dan Löwenstein-Jensen (LJ) yang diperkaya dengan mycobactin J. Metode ini membutuhkan waktu yang lama (424 minggu) untuk menumbuhkan bakteri MAP dari contoh lapangan sedangkan untuk pembiakan isolat laboratorium dibutuhkan waktu yang lebih singkat (SCAHAW 2000). Media
isolasi
Mycobacterium
tuberculosis
berbasis
telur
yang
dikembangkan oleh Ogawa et al. pada tahun 1950 yang kemudian disebut media Ogawa (MO), saat ini banyak digunakan di beberapa laboratorium negara berkembang untuk pemeriksaan spesimen dari pasien tuberkulosis (TBC) (Hasegawa et al. 2002). Komponen media Ogawa yaitu KH2PO4, Na glutamat, gliserol, aquadest, telur, dan malachite green 2% (De Kantor et al. 1998). Media ini memiliki tingkat sensitivitas dan spesifisitas yang baik dan jauh lebih murah dibandingkan media yang telah dikenal sebelumnya. Metode isolasi kuman TBC dengan MO sangat ekonomis, sederhana, dan cepat namun tetap memiliki tingkat sensitivitas yang tinggi sehingga sangat sesuai dengan negara-negara yang memiliki kesulitan menyediakan media standar (Lubasi et al. 2004). Saat ini banyak dikembangkan di negara maju metode deteksi seperti radiometrik dan nonradiometrik BACTEC/MGIT yang cukup efisien untuk mengisolasi MAP (Zanetti et al. 1997) atau dengan memanfaatkan kemajuan teknik biomolekuler seperti PCR.
Media-media tersebut sangat mahal bagi
laboratorium-laboratorium di negara berkembang seperti Indonesia sehingga menjadi kendala dalam peneguhan diagnosis dan terlebih program surveilen terhadap bakteri MAP. berpeluang
untuk
Di lain pihak secara teoritis MO yang ekonomis,
dikembangkan
sebagai
media
pertumbuhan
MAP.
Pemanfaatan MO sebagai media isolasi MAP belum diketahui kinerjanya. Waktu pertumbuhan MAP yang lebih lama dibandingkan spesies lain dan ketergantungan terhadap agen pengkelat zat besi perlu dipertimbangkan dalam mengembangkan MO untuk mendapat formulasi yang tepat. Modifikasi terhadap MO dengan menambahkan mycobactin J secara teoritis berpotensi digunkan sebagai media tumbuh MAP.
Pengembangan MO khusus untuk mengisolasi
MAP belum banyak dilakukan oleh karenanya modifikasi media Ogawa untuk
29 mengisolasi MAP sangat diperlukan sebagai alternatif media.
Alternatif ini
diharapkan lebih murah dan mudah dibuat namun tetap memiliki tingkat sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi sehingga dapat digunakan di negara Indonesia khususnya atau negara berkembang pada umumnya. Penelitian ini bertujuan untuk menguji kemampuan media Ogawa yang dimodifikasi
sebagai
media
tumbuh
Mycobacterium
avium
subspesies
paratuberculosis. Bahan dan Metode Tempat Penelitian dilakukan di Laboratorium Kesehatan Susu Universitas JustusLiebig Jerman.
Isolat M. avium subspesies paratuberculosis dan M. avium subspesies avium Isolat MAP dan MAV yang digunakan dalam penelitian ini adalah isolat referensi Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis 442 (MAP) dan Mycobacterium avium subspesies avium J14 (MAV) koleksi Laboratorium Kesehatan Susu Universitas Justus-Liebig Jerman.
Herrold’s Egg Yolk Medium Diperkaya Mycobactin J dan Ogawa Modifikasi Herrold’s egg yolk medium yang diperkaya mycobactin J (HEYMj) (Becton Dickinson, USA) dipakai sebagai media standar. Modifikasi media Ogawa A (MOM A) yang mengandung: 9.0 g pepton casein (pancreatic) (Merck, USA), 2.7 g ekstrak daging (Merck, USA), 9.0 g KH2PO4 (Sigma, USA), 3.0 g sodium glutamate (UBENA Gewürzvetrieb, Germany), 18.0 ml gliserol (Sigma, USA), 18.0 ml malachite green 2% (Merck, USA), 16.0 g agar-agar (Merck, USA), 100.0 ml emulsi kuning telur (Oxoid, England), 864.0 ml aquades (pH akhir 5.7). Media Ogawa B (MOM B) mengandung komponen seperti MOM A ditambah 0.002 g mycobactin J (Synbiotics, France).
Desain Penelitian Penelitian dilakukan dengan membagi tiga kelompok media yaitu HEYMj, MOM A, dan MOM B. Kelompok perlakuan inokulat terdiri dari inokulat MAP dan
30 MAV dengan dosis mulai 100 sel/ml sampai dengan 106 sel/ml. Ulangan masingmasing satuan perlakuan sebanyak 2 kali. Larutan stok bakteri disiapkan dengan mengambil satu ose sediaan bakteri kemudian dilarutkan dalam 1.5 ml PBS Tween-20 0.05% (Sigma, USA) dan homogenkan. Stok bakteri (sel/ml) dibuat dengan mengukur suspensi dengan spektrofotometer (Shimadzu UV-1601) pada panjang gelombang 660 nm dan tingkat adsorbensi 10% (Drews 1983). Pembuatan larutan seri dilakukan dengan mengambil 1 ml larutan stok bakteri (sel/ml) dan masukkan ke dalam 9 ml PBS Tween kemudian dihomogenkan.
Larutan yang baru diperoleh mengandung
MAP setara 106 sel/ml, kemudian ambil 1 ml larutan dari tabung terakhir (106 sel/ml) dan masukkan ke dalam 9 ml PBS Tween dan ulangi prosedur ini sampai diperoleh larutan seri dari 100–106 sel/ml. Inokulat disiapkan dari setiap larutan pengenceran, diambil 1 ml suspensi dan masukkan ke dalam tabung 1.5 ml Eppendorf (masing-masing 3 tabung). Sentrifus pada 13000 X g selama 30 menit dan buang 500 µl supernatan dan pelet dan supernatan yang tersisa kemudian dihomogenkan. Sebanyak 250 µl suspensi inokulasikan ke dalam MOM A, MOM B, dan HEYMj selanjutnya diinkubasi pada suhu 37 °C selama 12 minggu. Pada minggu pertama tabung diletakkan horizontal dengan tutup terbuka kemudian minggu selanjutnya ditegakkan dan tutup dikencangkan.
Pengamatan Pengamatan dilakukan setiap hari untuk melihat pertumbuhan bakteri pada masing-masing kelompok selama 12 minggu.
Analisis Data Data yang dikumpulkan berupa data kategorial (positif/negatif) dari status tumbuhnya bakteri membentuk koloni sempurna setelah 12 minggu.
Setiap
kelompok inokulat disatukan hasilnya (pooled) dari setiap jenis media. Kemampuan media menjadi media tumbuh bakteri dianalisis dengan uji kesesuaian (Kappa) antara MOM A dan MOM B terhadap HEYMj. Hasil dan Pembahasan Modifikasi Media Ogawa Media Ogawa yang digunakan sebagai media isolasi M. tuberculosis adalah Ogawa 3% yang terdiri dari KH2PO4, monosodium glutamat, gliserol,
31 malachite green 2% dan telur ayam segar. Proses pembuatannya sederhana dengan melarutkan zat-zat garam terlebih dahulu dan disterilisasi 121 °C selama 30 menit, setelah didinginkan kemudian ditambahkan gliserol, malachite green, dan telur kemudian dihomogenkan.
Tahap selanjutnya setelah campuran
dimasukkan ke dalam tabung McCartney 14 ml, dikoagulasikan dengan menggunakan inspisator pada suhu 85 °C selama 45 menit pada posisi miring/slant (De Kantor et al. 1998). Media Ogawa asli ini belum dapat digunakan untuk isolasi MAP karena tidak mengandung mycobactin J sebagai zat pengikat besi. Modifikasi utama pada MO adalah menambahkan mycobactin J. Sifat mycobatin J yang tidak tahan panas menyebabkan penyesuaian komponen media Ogawa orisinil yang berbasis telur menjadi berbasis agar. Pada penelitian ini, komponen media Ogawa dimodifikasi sehingga terdiri dari pepton kasein (pancreatic), ekstrak daging, KH2PO4, sodium glutamat, gliserol, malachite green 2%, agar-agar, emulsi kuning telur, mycobactin J, sedangkan prosedur pembuatannya lebih sederhana yaitu dengan melarutkan seluruh komponen dengan akuades kecuali emulsi kuning telur dan mycobactin J. Campuran selanjutnya disterilisasi pada suhu 121 °C selama 15 menit kemudian didiamkan pada suhu 56 °C, kemudian emulsi kuning telur dan mycobactin J ditambahkan ke campuran sambil diaduk rata.
Setelah 15 menit pengadukan (homogen), agar yang masih cair
dimasukkan ke dalam tabung dan direbahkan dalam posisi miring hingga solid. Pengujian media terhadap cemaran dilakukan dengan menginkubasi 1 tabung pada suhu 37 °C selama 24 jam.
Penyimpanan media sebelum digunakan
dilakukan pada suhu 4 °C. Tidak ditemukan adanya kontaminasi bakteri dari proses pembuatan media Ogawa modifikasi ini maupun pada media penelitian.
Daya Tumbuh MAP pada Media Ogawa yang Dimodifikasi Mycobacterium avium subspesies
paratuberculosis referensi terlihat
tumbuh hanya pada media HEYMj dan tidak tumbuh pada media MOM A maupun MOM B.
Bakteri MAP terlihat tumbuh mulai minggu ke-4 pada
2
pengenceran 10 sel/ml hingga 106 sel/ml sementara untuk pengenceran 101 sel/ml baru terlihat pada minggu ke-6. Pengenceran 102 sel/ml pada minggu ke-4 baru memperlihatkan 7 koloni dan pada minggu ke-5 sudah tampak lebih dari 10 koloni hingga akhir pengamatan. Bakteri yang tumbuh pada pengenceran 103 sel/ml hingga 106 sel/ml sejak minggu ke-4 sudah terlihat lebih dari 20 koloni,
32 sedangkan pada pengenceran 101 sel/ml yang baru tumbuh pada minggu ke-6 jumlah koloninya berkisar antara 10-20 koloni.
Hasil tersebut menunjukkan
bahwa media Ogawa modifikasi baik MOM A dan MOM B sebagai media tumbuh MAP belum menunjukkan kinerja sebaik HEYMj. Hal ini dapat diketahui dari uji kesesuaian antara media tersebut dengan HEYMj sebagai media standar (Kappa=0) seperti ditampilkan pada Tabel 3. Table 3 Hasil uji kesesuaian media MOM A dan MOM B terhadap HEYMj atas pertumbuhan MAP Media Kesesuaian Kesesuaian Kappa observasi yang diharapkan (%) (%) MOM A VS HEYMj 57.1 57.1 0 MOM B VS HEYMj
57.1
57.1
0
Daya Tumbuh MAV pada Media Ogawa yang Dimodifikasi Mycobacterium avium subspesies avium tumbuh pada media HEYMj, MOM A, dan MOM B. Pada seluruh media, koloni MAV dari pengenceran 103 sel/ml hingga 106 sel/ml terlihat tumbuh minggu ke-4 kecuali pada media MOM A dan MOM B hanya pada pengenceran 105 sel/ml dan 106 sel/ml. Baru pada minggu ke-5 koloni MAV mulai tumbuh dari pengenceran 103 sel/ml dan 104 sel/ml. Jumlah koloni MAV pada HEYMj dengan pengenceran 103 sel/ml dan 104 sel/ml berkisar antara 10-20 koloni setiap tabungnya, sedangkan pada pengenceran 105 sel/ml dan 106 sel/ml jumlah koloni yang tumbuh lebih dari 20 setiap tabungnya. Pada media MOM A dan MOM B hanya berkisar 10-20 koloni per tabung dari pengenceran 103 sel/ml hingga 106 sel/ml. Hasil ini menunjukkan bahwa sebagai media pertumbuhan MAV kedua media Ogawa modifikasi ini tidak berbeda kemampuannya dengan HEYMj (kappa=1) seperti terlihat pada Tabel 4. Tabel 4 Hasil uji kesesuaian media MOM A dan MOM B terhadap HEYMj atas pertumbuhan MAV Media Kesesuaian Kesesuaian Kappa observasi yang diharapkan (%) (%) MOM A VS HEYMj 100 51 1 MOM B VS HEYMj
100
51
1
33 Kecepatan diagnosis terhadap suatu agen penyakit akan mempengaruhi kecepatan pengambilan tindakan penanganan yang tepat di lapangan. Identifikasi MAP pada penyakit Johne di Indonesia selama ini masih mengandalkan media agar LJ dan HEYM.
Keduanya dikenal sebagai media
standar untuk isolasi Mycobacterium khususnya MAP yang di Indonesia ketersediaan media tersebut masih menjadi kendala dalam proses diagnosis. Pengembangan media berbahan dasar telur untuk isolasi M. tuberculosis telah dikembangkan untuk membantu negara-negara berkembang dalam mencukupi kebutuhan media isolasi bakteri tersebut.
Media Ogawa adalah
media berbasis telur yang dikembangkan oleh Ogawa et al. pada tahun 1950 dan saat ini banyak digunakan di beberapa laboratorium negara berkembang untuk pemeriksaan spesimen dari pasien TBC dengan efikasi setara dengan media standar LJ (Ang et al. 2001; Hasegawa et al. 2002). Menurut Lubasi et al. (2004) MO memiliki tingkat sensitivitas berkisar 81.7-90.3% dan tingkat spesifisitas antara 92.3-96.7%, oleh karenanya MO dapat menjadi alat uji alternatif yang murah namun tetap memiliki tingkat akurasi yang tinggi untuk M. tuberculosis. Penelitian ini menggunakan kuning telur sebagai suplemen sehingga berbeda dengan media Ogawa yang menggunakan telur utuh sebagai bahan utama.
Modifikasi ini dilakukan karena alasan teknis yang berkaitan dengan
penambahan mycobactin J yang peka terhadap panas.
Penambahan
mycobactin J sangat penting dan merupakan modifikasi utama pada MOM supaya MAP dapat mengambil zat besi dari media untuk kepentingan metabolismenya. Peran kuning telur sebagai komponen media dalam proses isolasi MAP diteliti oleh Harris et al. (2005) dengan menambahkannya pada media cair ESP II. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa pertumbuhan MAP pada media cair ESP II yang ditambah kuning telur lebih baik dibandingkan yang tidak ditambah dengan kuning telur. Penambahan kuning telur itu mampu meningkatkan kepekaan media cair sehingga identifikasi bakteri dapat dipercepat.
Meskipun peran kuning telur dalam biakan MAP belum banyak
diketahui namun diduga mampu menetralisir aksi HPC atau bahan dekontaminan lainnya yang digunakan untuk mendekontaminasi contoh dari bakteri lain. Komponen lain dalam MOM ini bertujuan untuk memberikan lingkungan yang mendukung kehidupan bakteri pada umumnya, seperti ekstrak daging, pepton, sodium glutamat, KH2PO4.
Amezaga dan Booth (1999) menjelaskan
Pepton berfungsi sebagai osmoproteksi bagi bakteri dan secara umum fungsi
34 komponen media pertumbuhan bakteri adalah sebagai sumber energi, penyimpanan energi, pengaturan translasi, dan pengaturan oksidasi-reduksi. Beberapa zat seperti inositol, maltosa, glukosa berperan dalam stimulasi metabolik sementara serat dan dekstrin berfungsi menstimulasi reproduksi. Ekstrak telur, hati, limpa marmut/tikus berperan sebagai faktor pertumbuhan lipoid. Penekanan penelitian ini adalah pada penambahan mycobactin J sebagai senyawa yang membantu MAP mengabsorbsi zat besi. Zat besi sangat diperlukan dalam metabolisme bakteri, pemenuhan zat ini diperoleh dari lingkungannya. Masuknya zat besi ke dalam sel memerlukan senyawa pengikat zat besi (iron-binding compound) yang diproduksi oleh bakteri yang bersangkutan atau oleh bakteri lainnya. Barclay dan Ratledge (1983) menduga bahwa bakteri yang memiliki sifat ketergantungan pada senyawa pengikat besi dari luar tidak disebabkan karena ketidakmampuan mensintesis mycobactin secara genetik tetapi lebih pada kondisi represif dari lingkungan yang mempengaruhi fenotipnya. Dilaporkan pula bahwa MAP yang dikenal sangat tergantung pada mycobactin dari luar ternyata memiliki kemampuan mensintesis senyawa itu namun dalam jumlah sangat sedikit sehingga tidak mencukupi kebutuhannya. Tetapi dalam kondisi nutrisi dan lingkungan yang baik dalam waktu lama seperti biakan di laboratorium maka sifat ketergantungan tersebut akan hilang seperti yang diperlihatkan pada M. avium subspesies avium. Mycobactin
merupakan
senyawa
siderofor
yang
membantu
mikroorganisme menyerap logam yang sangat terbatas ketersediaannya di lingkungan. Dikenal dua macam siderofor pada Mycobacterium, yaitu myobactin yang merupakan siderofor larut lemak (lipid-soluble siderophore) dan exochelin yang merupakan siderofor larut air (water-soluble siderophore) (Barclay & Ratledge 1983; Snow 1970). M. tuberculosis yang mampu bertahan di dalam makrofag akan mengembangkan mekanisme penghindaran proses fusi dengan lysosom dan menghasilkan mycobactin bakteri juga mampu tumbuh (De Voss et al. 2000).
Senyawa ini juga menjadi media kontak antara bakteri dengan
fagosom sekaligus menyeimbangkan pengiriman zat besi ke dalam sel bakteri (Lou et al. 2005).
Enzym ektraseluler ini memiliki afinitas yang sangat kuat
terhadap zat besi (Kochan et al. 1971) dan mampu memobilisasi zat besi dari beberapa sumber seperti ferric amonium citrate, ferritin, dan transferin dengan proses reduksi logam (Homuth et al. 1998).
35 Nama mycobactin diberikan sesuai dengan spesies/gen penghasilnya seperti mycobactin yang dihasilkan oleh M. tuberculosis dikenal sebagai mycobactin T (De Voss et al. 2000), pada MAV dikenal sebagai mycobactin A, M. smegmatis dikenal sebagai mycobactin S (LaMarca et al. 2004) dan MAP dikenal sebagai mycobactin J (Barclay & Ratledge 1983). Media Ogawa modifikasi B dalam penelitian ini telah ditambah mycobactin J namun ternyata belum mampu menumbuhkan biakan MAP seperti pada HEYMj. Kondisi serupa juga terjadi pada MOM A yang sengaja tidak ditambah mycobactin J dengan harapan MAP tidak tumbuh pada media ini.
Kesesuaian media modifikasi ini dibandingkan
dengan HEYMj dan diperoleh nilai kesesuaian yang sangat rendah (Kappa=0) pada penumbuhan MAP namun hasil sebaliknya terlihat pada penumbuhan MAV pada semua media (HEYMj, MOM A, dan MOM B) yang memperlihatkan pertumbuhan sangat baik (Kappa=1). Hasil ini mengindikasikan bahwa kinerja MOM sangat berpotensi untuk pertumbuhan Mycobacterium sp. yang tidak memiliki ketergantungan pada senyawa siderofor seperti M. smegamtis, M. avium subspescies avium, M. avium subspesies sylvaticum, M. bovis, M. tuberculosis. Ketidakmampuan MOM B menumbuhkan MAP dalam penelitian ini kemungkinan terjadi karena penambahan mycobactin J yang kurang tepat proporsi atau kurang merata di dalam media (konsentrasi 2 μg/l) sehingga tidak mencukupi kebutuhan bakteri. Peralatan yang memiliki kapasitas besar (10 liter) sementara MOM B hanya dibuat dengan volume 0.5 liter. Dosis mycobactin J sebesar 0.002 mg/l yang dilarutkan dalam 1 ml ethanol absolut sehingga hanya 0.5 ml yang dicampurksan dalam 0.5 l MOM B yang dibuat. Keadaan ini yang diduga yang menjadi faktor tidak meratanya mycobactin J dalam media sehingga tidak mampu membantu MAP tumbuh pada MOM B. Whitaker (1996) menyebutkan bahwa reaksi enzym dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu konsentrasi enzym, penghambat, konsentrasi kofaktor, suhu, dan pH. Aktivitas tertinggi enzym ektraseluler ini optimal pada suhu 37 °C dan pH antara 5-10 (Homuth et al. 1998) hal ini telah terpenuhi dalam penelitian ini dengan pH media MOM pada 5.7 dan suhu inkubasi 37 °C. Di dalam media ini juga ditambahkan gliserol sesuai dengan formula asli Ogawa, namun menurut Sung dan Collins (2003) gliserol dapat mengurangi resistensi MAP terhadap keasaman media.
36 Sebagai media penumbuh MAV MOM memiliki kinerja yang tidak kalah dengan HEYMj sebagai media standar. Hal ini menjelaskan bahwa MOM sudah memenuhi kebutuhan dasar sebagai media pertumbuhan genus Mycobacterium. Formula MOM ini perlu diuji terhadap spesies Mycobacterium yang lain dan bakteri Gram positif lain maupun Gram negatif untuk melihat sensitivitas dan spesifisitasnya.
Pengembangan formula secara khusus sebagai media
penumbuh MAP harus dilanjutkan mengingat media ini memiliki nilai ekonomis dan sangat dibutuhkan dalam diagnosis MAP di Indonesia khususnya.
Kesimpulan dan Saran Kinerja
media
Ogawa
modifikasi
sebagai
media
pertumbuhan
Mycobacterium avium subspesies avium sama baiknya dengan media standar herrold’s egg yolk medium namun belum dapat digunakan sebagai media pertumbuhan Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis. Perlu dilakukan penelitian lanjut untuk mendapatkan formula media Ogawa modifikasi yang sesuai untuk pertumbuhan Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis. Teknik penambahan mycobactin J dalam media perlu dipertimbangkan untuk memastikan bahwa enzim tersebut benar-benar tercampur secara baik dalam media.