Paratuberculosis dan Produksi Susu Sapi Oleh Widagdo Sri Nugroho Staf Pengajar Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH UGM Fungsionaris Asosiasi Kesehatan Masyarakat Veteriner Indonesia Anggota Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia Cabang Yogyakarta Pendahuluan Paratubercolosis atau dikenal juga dengan Johne’s disease (JD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan Mycobacterium avium subspesies paratoberculosis (MAP) pada hewan. Penyakit ini merupakan salah satu permasalahan yang penting dalam industri peternakan sapi perah hampir di seluruh dunia. Penyakit ini sangat merugikan secara ekonomi bagi peternak akibat produktivitas yang sangat menurun pada hewan penderita meskipun konsumsi pakannya tetap dan dalam jangka panjang hewan mengalami kekurusan hingga kematian. Selain itu keberadaan penyakit ini dikaitkan dengan penyakit Crohns disease (CD) yaitu penyakit dengan penyebab yang sama namun menyerang manusia. Menurut laporan Komite Ahli Kesehatan dan Kesejahteraan Hewan Komisi Eropa tahun 2000 dinyatakan bahwa kerugian ekonomi para peternak yang sapinya terinfeksi subklinis MAP pada tahun 1987 diperkirakan sebesar ₤ 209 dari setiap ekor sapi penderita karena hasil susu yang menurun. Hasil penelitian terakhir diperkirakan kerugian akibat infeksi subklinis sebesar ₤ 100 per ekor dan meningkat menjadi ₤ 200 per ekor pada kasus yang berat. Kerugian diakibatkan kerena produksi susu yang menurun dan biaya penggantian. Penurunan produksi susu sebesar 16 % terlihat antara laktasi saat menderita sakit dengan 2 periode laktasi sebelumnya pada hewan penderita klinis. Diperkirakan kerugian karena penurunan produksi saja berkisar antara $ 200 juta - $ 250 juta per tahun, sementara di Spanyol kerugian pada peternakan domba berkisar € 120 dan € 60 untuk kasus klinis pada domba perah dan pedaging. Selain itu kerugian juga disebabkan karena kekurusan dan kematian, adanya peningkatan infertilitas dan rentan terhadap berbagai penyakit lain (Anonim, 2000). Tulisan ini bertujuan untuk memaparkan pengaruh paratuberculosis terhadap produksi susu sapi.
MAP dan produksi susu sapi
Nugroho WS
1
Etiologi Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis (MAP) merupakan bakteri gram positif yang dapat ditemui di alam/lingkungan. Bakteri ini termasuk dalam bakteri Mycobacterium kompleks yang memiliki 3 subpsesies, yaitu Mycobacterium avium subspesies avium, Mycobacterium avium subspesies silvaticum dan Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis (Harris & Barletta, 2001). Bakteri ini merupakan bakteri aerobik, non motil, tahan asam, berbentuk batang dengan pertumbuhan yang lambat. Untuk pertumbuhannya bakteri ini memerlukan mycobactin, senyawa hidroksamat pengikat besi sedangkan suhu pertumbuhan optimum berkisar 25–45 oC pada pH 5,5 (Griffiths, 2003). Waktu pertumbuhan sehingga koloni dapat terlihat berkisar 2 – 60 hari, koloni berwarna merah jambu, oranye, atau kuning dengan permukaan kasar, memproduksi katalase, arylsulfatase, dan mampu menelan lyzozym (Holt et al. 1994).
Patogenesis dan Gejala Klinis Micobacterium avium subspesies paratuberculosis menyebabkan Johnes disease (JD) yaitu penyakit radang granulomatosa usus yang bersifat kronis dan sulit disembuhkan pada hewan. Gejala yang terlihat adalah diare dan turunnya berat badan yang ekstrim dan dapat menimbulkan kematian (Griffiths, 2003) Setelah tertelan, bakteri ini akan segere menembus permukaan mukosa saluran pencernaan dan difagosit oleh makrofag. Kemampuan MAP bertahan di dalam makrofag merupakan suatu kelebihan bakteri ini dalam mengganggu inang. Di dalam makrofag bakteri mampu bertahan dan terlindung dari mekanisme kekebalan humoral. Status nutrisi dan hormonal hewan sangat mempengaruhi kepekaan infeksi bakteri ini. Pengurangan diet kalsium (Ca2+) berkaitan dengan peningkatan konsentrasi vitamin D (1,25-(OH)2D3 endogen) yang berefek menurunkan konsentrasi Ca2+. Paparan sementara hormon pertumbuhan dan prolaktin memperkuat multiplikasi MAP di dalam monosit (Stabel et al. 1996 dan Stabel et al. 1998 diacu Harris & Barletta 2001). Fluktuasi hormon-hormon tersebut selama masa kebuntingan dan laktasi mungkin memberi lingkungan yang baik bagi MAP untuk bermultiplikasi (Feola et al. diacu Harris & Barletta 2001).
MAP dan produksi susu sapi
Nugroho WS
2
Hewan mammalia secara aktif akan membatasi suplai zat besi kepada bakteri patogen. Sitokin makrofag diduga berfungsi membatasi secara aktif konsentrasi besi di dalam sel sehingga perkembangan bakteri terhambat. Makrofag teraktivasi akan menurunkan kerja reseptor transferin dan mengurangi konsentrasi besi. Bakteri Mycobacterium menghasilkan siderofor mycobactin larut lemak dan siderofor eksoselin larut air (MAP hanya menghasilkan soderofor eksoselin) dalam rangka mencari zat besi yang terbatas jumlahnya dalam sel inang. Kedua siderofor ini sangat berkaitan dengan patogenisitas Mycobacterium dan menjadi perangkat bertahan dan bereplikasi yang penting didalam makrofag (Harris & Barletta 2001) Jejas granulomatosa mulai muncul pada lokasi peyer patches. Luka ini akan bertahan dalam keadaan laten untuk waktu yang lama. Pada perkembangan infeksi selanjutnya luka pada peyer patche akan menyebar ke seluruh usus dan menimbulkan radang granulomatosa pada usus dan kondisi paling ekstrim adalah terbentuknya lubang (perforasi) pada usus. Lesi-lesi ini jelas akan mengganggu absorbsi makanan. Hal ini akan berakibat pada kondisi umum hewan sehingga akan memperlihatkan gejala-gejala klinis (Anonim, 2000).
Produksi Susu Beberapa penelitian yang mempelajari pengaruh infeksi MAP pada penampilan produksi susu sapi perah cukup banyak dilakukan dan memberikan hasil yang bervariasi. Penelitian pada sapi perah afkir akibat infeksi MAP menunjukkan bahwa pada saat diketahui menderita JD sub klinis ternyata produksinya menurun sebesar 6% pada laktasi kedua hingga akhir, bahkan penurunan mancapai 16% pada laktasi akhir sebelum dilakukan pengafkiran. Pernah melaporkan adanya penurunan sebesar 15% (853 kg) dari rerata produksi susu selama setahun pada sapi-sapi yang terinfeksi MAP sub klinis dibandingkan dengan sapi-sapi sehat dalam satu peternakan (Benedictus et al. 1987). Sementar itu Nardlund et.al (1996) menyatakan bahwa sapi-sapi yang secara positif MAP berdasarkan pengujian ELISA menunjukkan penurunan produksi susu Mature Equivalen (ME) sebesar 4 %. Pendapat berbeda disampaikan beberapa peneliti seperti Buergelt & Duncan (1978) yang menyatakan tidak ada perbedaan berarti pada produksi susu dari sapi-sapi afkir
MAP dan produksi susu sapi
Nugroho WS
3
karena dinyatakan menderita MAP subklinis berdasarkan pemeriksaan bakteriologi terhadap feses, ataupun saecara histopatologi dinyatakan positif menderita MAP dibandingkan dengan sapi-sapi sehat dalam satu peternakan. Pendapat senada juga disampaikan oleh Johnson et al. (2001) yang menegaskan bahwa tidak ada perbedaan yang berarti antara produksi susu, kadar protein, dan kadar lemak antara sapi penderita MAP subklinis dengan sapi sehat namun perbedaan antar kedua kelompok akan terlihat apabila dilihat berdasarkan kelompok umur dan periode laktasi sapi. Pendapat yang sangat bertentangan dengan hasil penelitian terdahulu juga dilaporkan oleh beberapa peneliti. McNab et al. (1991) menyatakan bahwa pada tingkat individu sapi-sapi yang positif MAP berdasarkan uji lipoarabinoannan (LAM)-ELISA (pengukuran berdasarkan pada kelompok bangsa dan rerata produksi susu per individu per tahun sejak sapi berumur 2 tahun) justru secara nyata memiliki produksi susu lebih tinggi dibandingkan sapi-sapi yang tidak sakit setelah diperbaiki tatalaksana peternakannya. Sejalan dengan pendapat ini dikemukakan oleh Wilson et al. (1993) yang menemukan bahwa produksi susu penderita infeksi MAP subklinis lebih tinggi dibanding hewan sehat namun hal ini tergantung pada kedewasaan dan stadium laktasi sapi. Hasil penelitian mereka juga menyebutkan bahwa produksi susu secara keseluruhan tidak menunjukkan perbedaan berarti antara produksi susu sapi sehat dan yang sakit, namun setelah dikelompokkan berdasarkan umur dan periode laktasi maka diketahui bahwa sapi dara (laktasi pertama) penderita MAP subklinis memiliki produksi susu ME lebih tinggi daripada sapi seumur yang sehat. Keadaan yang sebaliknya ditemukan pada periode laktasi kedua dan seterusnya dari sapi-sapi tersebut yang ternyata produksinya menjadi lebih rendah secara bermakna dibandingkan sapi sehat. Temuan beberapa penelitian yang tidak konsisten tersebut diduga berkaitan dengan metode diagnosis namun demikian dapat diduga juga karena mekanisme yang kompleks antara kejadian penyakit dengan fisiologi laktasi. Karakter periode laten dan ikubasi yang lama dari paratuberkulosis mungkin mempengaruhi mekanisme biologis sehingga memberikan gambaran hubungan paradoksial antara penyakit dan produksi susu. Pada sapi yang memiliki potensi produksi tinggi dan memiliki resiko terinfeksi namun masih dapat diharapkan memberikan produksi susu yang tinggi dari rerata produksi pada periode laktasi pertama dan mungkin juga yang kedua, kondisi ini sering terjadi pada
MAP dan produksi susu sapi
Nugroho WS
4
awal-awal infeksi. Awal infeksi tidak menimbulkan gejala klinis namun secara serologis ataupun biakan bakteri dapat ditemukan (reakasi positif). Pada perkembangan periode laktasi selanjutnya akan terlihat kecenderungan produksi susu yang menurun (Johnson et al. 2001). Hal lain yang perlu diperhatikan adalah peluang terjadinya baur (congfounding) antara
kasus
paratuberkulosis
dengan
kejadian
mastitis.
Hewan
dengan
uji
paratuberkulosis positif memiliki potensi untuk meningkatkan ataupun menurunkan resiko kejadian mastitis. Pengamatan terhadap produksi susu dari kedua kasus tersebut mungkin lebih banyak dipengaruhi kasus mastitis. Temua beberapa penelitian yang tak konsisten atas produksi susu diperoleh antara hubungan kasus mastitis dan paratuberkulosis sub klinis. Belum banyak penelitian mendalam yang mengungkap mekanisme penurunan produksi susu akibat kasus paratuberkolosis. Kompleksitas yang ditimbulkan mungkin disebabkan perjalanan penyakit yang panjang dan reaksi fisiologis tubuh hewan untuk beradaptasi dengan panyakit ini. Secara teknis kelemahan kemampuan absorbsi nutrisi tampak dengan semakin mengurusnya tampilan tubuh sapi meskipun tetap makan dengan baik. Penelitian yang berkaitan dengan tampilan ataupun mekanisme sintesis di dalam sel kelenjar susu belum pernah dilaporkan. Hal ini cukup menarik untuk dipelajari lebih lanjut.
Kesimpulan Pengaruh paratuberkulosis terhadap produksi susu masih sangat bervarasi. Belum dapat dijelaskan dengan pasti mekanisme MAP mempengaruhi proses produksi susu.
Daftar Pustaka Anonim, 2000, Possible Links Between Crohn’s Disease and Paratuberculosisi. Scientific Committee Health and Animal Welfare, European Commission, Directorate-General Health & Consumer Protection Benedictus G, Dijkhuizen AA, Stelwagen J. 1987. Economic Losses Due to Paratuberculosis in Dairy cattle. Vet.Rec. 121:142-146 Buergelt CD & Duncan JR. 1978. Age and Milk Production Data of Cattle Culled From A Dairy Herd With Paratuberculosis. JAVMA 173:478-480
MAP dan produksi susu sapi
Nugroho WS
5
Griffiths M. 2003. Mycobacterium paratuberciulosis. Di dalam: Foodborne Pathogenes, 1st ed. Woodhead Pub.Ltd. and CRC press LLC. hlm. 489-500. Harris NB & Barletta RG. 2001. Mycobacterium avium subsp.paratuberculosis in Veterinary Medicine. Clin. Microbiol. Rev. 3: 489-512 Holt JG, Kreig NR, Sneath PHA, Staley JT. Williams ST. 1994. Bergey’s Manual of Determinantive Bacteriology. 9 th ed. Lippincott Williams & Wilkins. USA. hlm. 597-603. Johnson YJ, Kaneene JB, gardiner JC, Loyd JW, Sprecher DJ, Coe PH. 2001. The Effect of Subclinical Mycobacterium paratuberculosis Infection on Milk Production in Michigan Dairy Cows. J.Dairy Sci. 84:2188-2194 McNab WB, Meek AH, Martin SW, Duncan JR. 1991. Associations Between Dairy Production Indices and Lipoparabinomannan Enzyme-immunoassay Results for Paratuberculosis. Am. J. Vet. Res 87:837-838. Nardlund KV, Goodger WJ, Pelletier J, Collins MT. 1996. Associations Between Subclinical Paratuberculosis and Milk Production, Milk Components, and Somatic Cell Counts in dairy Herds. JAVMA 208:1872-1876 Wilson DJ. Rossiter C. Han HR, Sears PM.1993. Association of Mycobacterium paratuberculosis Infectiom With Reduced Mastitis, But With Decrease Milk Production and Increased Cull rate In Clinically Normal Dairy Coes. Am. J.Vet. Res. 54:1851-1818.
MAP dan produksi susu sapi
Nugroho WS
6