16
TINJAUAN PUSTAKA
Bunga Kakao dan Layu Pentil Bunga kakao muncul dari bantalan bunga yaitu ketiak daun yang telah mengalami penebalan sehingga disebut bunga cauliflorous atau truncate (Gambar 1). Bunga kakao mempunyai beberapa bagian bunga yaitu sepal, petal, kepala sari, tangkai sari, putik, dan ovarium (Gambar 1). Bunganya berukuran kecil (sekitar r = 7.5 mm) dan berbentuk tangkai yang memanjang (Toxopeus 1985). Bunga kakao merupakan bunga lengkap yang mempunyai susunan K5 C5 A5 + 5G(5) yaitu 5 sepal, 5 petal, 10 stamen, dan 5 karpel. Tanaman kakao biasanya mengalami penyerbukan silang dan bersifat inkompatibilitas-sendiri. Walaupun demikian, beberapa varietas kakao yang dapat menyerbuk sendiri akan menghasilkan buah kakao yang bernilai jual yang lebih tinggi (Wood 1975). Bunga yang muncul dari bantalan bunga ditandai dengan membukanya sepal pada siang hingga malam hari. Pada pagi berikutnya, karpel dan stamen sudah dalam kondisi siap melakukan polinasi dengan bantuan serangga. Serangga kecil dilaporkan berhasil membantu terjadinya penyerbukan silang (Toxopeus 1985).
Gambar 1 Bunga kakao (A) dan bagian-bagian bunga kakao (B): sepal (Se), petal (Pe), stamen (Sta), staminodia (Std), putik (Pi), ovarium (Ov) (Chaidamsari et al. 2006a).
17
Salah satu masalah besar yang dapat menurunkan produksi kakao adalah layu pentil. Menurut McKelvie (1956), tanaman kakao dewasa yang tumbuh subur dapat menghasilkan 5000-10.000 bunga dalam setahun. Bunga yang terserbuki hanya 10 % dari total bunga dan kebanyakan bunga akan mengalami kematian dalam 24 jam karena tidak terserbuki. Bunga yang telah diserbuki berkembang menjadi buah pentil yang jumlahnya hanya sekitar 10-30%, sedangkan sebagian besar mengalami layu pentil. Menurut Alvin (1974), layu pentil pada kakao disebabkan karena persaingan dalam mendapatkan hasil fotosintesis, terutama karbohidrat. Persaingan ini terjadi antara buah dan buah serta antara buah dan pertumbuhan pucuk yang aktif (Humphries 1943). Lebih lanjut lagi, Tjasadihardja (1987) mengemukakan bahwa pucuk vegetatif merupakan konsumen karbohidrat terbesar sehingga pasokan karbohidrat ke bagian generatif menjadi berkurang.
Regulasi Transkripsi dan Kontrol Pembungaan Regulasi ekspresi gen mengontrol berbagai proses biologis di dalam sel (Scott 2000). Analisis genetik pada Arabidopsis memberikan informasi mengenai beberapa jalur pembungaan yaitu jalur fotoperiode, otonom, maupun giberelin (Reeves & Coupland 2001). Menurut Ratcliffe & Riechmann (2002), masingmasing jalur pembungaan tersebut ditimbulkan pada saat regulasi transkripsi yang pada akhirnya akan berpengaruh pada perkembangan meristem bunga. Faktor transkripsi didefinisikan sebagai protein yang mempunyai daerah spesifik pengikatan DNA yang selanjutnya dapat menimbulkan atau mencegah proses transkripsi. Faktor transkripsi dikelompokkan ke dalam suatu famili berdasarkan struktur dan interaksi faktor transripsi tersebut dengan daerah spesifik DNA yang akan ditempelinya (Luscombe et al. 2000). Terdapat beberapa famili faktor transkripsi yang hanya ditemukan pada tanaman, di antaranya LFY (Parcy et al. 1998), WRKY (Eulgem et al. 2000), dan AP2/EREBP (Saleh & Montserrat 2003). Berdasarkan analisis struktur protein, faktor transkripsi tersusun atas 4 daerah fungsional yaitu daerah pengikatan DNA, daerah regulasi transkripsi, daerah dimerisasi, dan daerah lokalisasi inti. Dengan keempat daerah ini maka faktor transkripsi dapat melakukan fungsinya (Liu et al. 2001).
18
Daerah pengikatan DNA dapat didefinisikan sebagai polipeptida yang menempel pada daerah cis acting DNA target. Polipeptida ini tersusun oleh sejumlah asam amino yang mempunyai tingkat kemiripan tinggi dalam satu famili. Suatu famili dari faktor transkripsi dapat dibagi menjadi beberapa subgrup berdasarkan perbedaan residu yang terdapat pada daerah pengikatan DNA (Liu et al. 2001). Daerah regulasi transkripsi dibagi menjadi dua jenis yaitu yang bersifat mengaktifkan dan yang menghambat transkripsi. Daerah yang mengaktifkan transkripsi biasanya tersusun oleh asam amino yang bersifat asam seperti prolin dan glutamin, sedangkan asam amino penyusun daerah penghambat transkripsi sampai sekarang belum jelas. Selanjutnya, daerah dimerisasi dapat didefinisikan sebagai tempat bersatunya semua faktor transkripsi yang terlibat dalam regulasi gen tertentu. Daerah lokalisasi inti biasanya dicirikan dengan banyaknya susunan asam amino arginin dan lisin (Liu et al. 2001). Gen LFY Gen LFY merupakan gen yang berperan penting dalam pembungaan bersama dengan gen AP1 dan AP2 (Huala & Ian 1992), gen TFL1 (Schultz & George 1993). Ekspresi gen LFY, AP1, dan AP2 dipengaruhi oleh aktivitas gen TFL1. Ketiga gen ini berfungsi dalam pembentukan bunga sehingga apabila salah satu dari ketiga gen ini menglami mutasi, dipastikan akan terjadi konversi bunga menjadi struktur mirip bunga. Lebih lanjut lagi, mutasi pada gen LFY akan mengakibatkan perubahan pada ekpresi gen kelas B yaitu mutasi pada pembentukan petal dan karpel (Schultz & George 1993). Hal ini membuktikan bahwa gen LFY mempunyai dua peranan yaitu dalam pembentukan identitas meristem bunga dan dalam pembentukan organ bunga (Parcy et al. 1998) LFY merupakan faktor transkripsi spesifik tanaman yang menempel pada DNA gen target dengan 7 ikatan heliks (Hames 2008). Protein LFY menempel pada DNA gen target dengan sekuen terkonservasi CCANTG pada gen AP1 dan AG (Busch et al. 1999). LFY sebagai faktor transkripsi dalam melakukan fungsinya membutuhkan koregulator yaitu WUS (Lohmann et al. 2001 ) dan UFO (Lee et al. 1997).
19
Protein LFY yang menempel pada salah satu bagian DNA target membentuk 2 lipatan b-strand dan 7 heliks. Heliks α2 dan α3 ini berinteraksi dengan major groove DNA target sehingga interaksi protein dengan DNA terjadi. Pada heliks α2 dan α3 banyak ditemukan asam amino yang mempunyai gugus amida yaitu asparagin dan asam amino yang bersifat basa yaitu lisin. Asam amino lisin ternyata berinteraksi dengan daerah minor groove DNA target (Hames et al. 2008). RNA LFY terdeteksi pada primordia daun dan jumlahnya mencapai puncaknya pada saat terjadi inisiasi pembungaan (Blazquez et al. 1997). Sessions et al. (2000) melaporkan bahwa protein LFY terdekteksi di semua lapisan bunga. Lebih lanjut lagi, Wu et al. (2003) melaporkan bahwa pergerakan protein LFY dari satu sel ke sel lainnya karena adanya difusi.
Agrobacterium tumefaciens Agrobacterium tumefaciens dikenal sebagai bakteri penyebab penyakit pada tanaman berkotiledon karena menyebabkan tumor mahkota (Sheng & Vitaly 1996). Komponen bakteri Agrobacterium tumefaciens yang penting dalam melakukan invasi ke tanaman yaitu daerah T-DNA yang menyandikan gen vir. Selain itu, peran protein yang disandikan oleh gen chv yang terletak pada kromosom bakteri Agrobacterium tumefaciens juga mempunyai andil dalam pembentukan tumor mahkota (Citovsky et al. 1992). Hal lain yang menarik dari bakteri Agrobacterium tumefaciens adalah adanya gen penyandi untuk sintesis hormon pertumbuhan dan gen penyandi terbentuknya senyawa yang mengandung asam amino dan turunan gula. Hormon ini berfungsi pada saat Agrobacterium tumefaciens sudah menginvasi tanaman sehingga bakteri tersebut dapat tumbuh dengan baik. Selanjutnya, senyawa asam amino dan turunan gula yang dihasilkan bakteri tersebut dikenal dengan senyawa opin, dan senyawa opin tersebut mempunyai 2 jenis yaitu nopalin dan oktopin (Hooykaas & Alice 1994). Proses transfer gen dari Agrobacterium tumefaciens ke dalam genom tanaman terjadi melalui beberapa tahap yaitu kolonisasi bakteri, induksi sistem virulensi bakteri, pembentukan kompleks transfer T-DNA, transfer T-DNA ke
20
dalam genom tanaman, dan integrasi T-DNA ke dalam genom tanaman. Tahap kolonisasi bakteri diawali dengan menempel dan masuknya Agrobacterium tumefaciens ke tanaman melalui luka (Matthysse 1986). Tahap induksi virulensi bakteri ditandai dengan terekspresinya gen virA yang dirangsang dengan dikeluarkannya senyawa asetosiringon oleh tanaman yang mengalami luka (Pan et al. 1993). Protein ini selanjutnya berinteraksi dengan protein ChvE yang disandikan oleh gen chvE (Ankenbauer & Nester 1990) sehingga mengaktifkan gen virG sehingga gen vir lainnya menjadi aktif (Jin et al. 1990). Selanjutnya, tahap pemotongan T-DNA dari plasmid TI yang melibatkan gen virD1 dan vir D2 (Durrenberger et al. 1989). Protein VirE2 berperan sebagai melindungi utas T-DNA selama proses transportasi ke sel tanaman dari enzim pendegradasi T-DNA tersebut (Zupan et al. 1996). Protein Vir yang lain adalah protein VirB yang berperan membentuk pori-pori sehingga ss T-DNA dapat keluar dari sel bakteri dan masuk ke sel tanaman (Rashkova et al. 1997). Tahap terakhir adalah integrasi sekuen T-DNA ke dalam genom tanaman dengan mekanisme rekombinasi nonhomologi (Sonti et al. 1995). Untaian ss T-DNA yang pertama kali menyisip pada kromosom adalah ujung 5’ yaitu ujung RB dan diakhiri dengan LB (Tinland et al. 1995)
Kultur Jaringan Kultur melalui biji merupakan suatu metode yang biasa dilakukan untuk mendapatkan satu tanaman yang utuh. Sedangkan untuk tanaman yang tidak berbunga, kultur jaringan dapat dijadikan salah satu solusi untuk mendapatkan satu tanaman yang utuh menggunakan bagian dari tanaman tersebut seperti daun, batang, ataupun akar. Hal ini merupakan konsep kultur jaringan yang dikenal dengan istilah totipotensi (Acquaah 2004). Dalam kultur jaringan, sel atau jaringan membutuhkan lingkungan biotik dan abiotik yang sesuai. Pengkondisian aseptik mutlak diperlukan dalam kultur jaringan. Selain itu, kultur jaringan juga membutuhkan pensuplaian nutrisi yang dimiripkan pada kondisi normal di mana sel atau jaringan itu tumbuh. Media kultur jaringan terdiri atas empat macam yaitu elemen mineral, bahan organik, regulator pertumbuhan, dan sistem pendukung. Bahan mineral terdiri atas unsur
21
makro dan mikro dan salah satu kompisisi bahan mineral yang biasa digunakan dalam kultur jaringan diperkenalkan oleh Murashige and Skoog pada tahun 1962. Makronutrien terdiri atas nitrogen, ammonium, fosfor, dan kalium, sedangkan mikronutrien terdiri atas kalsium, magnesium, klorida, besi, sulfur, natrium, boron, mangan, seng, tembaga, kobalt, dan iod. Bahan organik yang diperlukan dalam kultur jaringan adalah sumber karbon dan faktor yang mendukung pertumbuhan seperti gula, vitamin, mio-inositol, bahan organik kompleks (ekstrak khamir), dan arang aktif. Zat pengatur pertumbuhan juga sangat diperlukan dalam kultur jaringan. Auksin dan sitokinin merupakan zat pengatur tumbuhan utama yang biasanya digunakan. Perbandingan auksin dengan sitokinin didasarkan pada tujuan induksi akar atau batang. Auksin berperan dalam induksi akar, sedangkan sitokinin berperan dalam induksi batang. Komposisi media yang tidak kalah pentingnya adalah bahan pemadat yaitu agar yang terbuat dari polisakarida alga merah. Ciri khusus agar yang menjadikannya digunakan sebagai bahan pemadat yaitu tidak bereaksi dengan bahan media yang lainnya dan hanya memadat pada pH di atas 4.5 (Acquaah 2004). Kultur jaringan tanaman dapat dibagi menjadi 5 tahap penting meliputi tahap seleksi bahan tanaman dan persiapan, inisiasi, poliferasi tunas, perakaran, dan aklimasi. Pemilihan bahan tanaman yang sesuai dengan standar dan perawatan dalam kondisi aseptik mutlak dilakukan pada tahap pertama. Selanjutnya, tahap inisiasi ditandai dengan pekerjaan mempersiapkan eksplan, proses sterilisasi eksplan hingga mendapatkan eksplan yang aseptik. Tahap poliferasi tunas mencakup semua pekerjaan setelah tahap inisiasi sampai didapatkan tunas yang sehat, steril, dan siap untuk menjalani tahap perakaran. Tahap perakaran diawali dengan pembindahan tunas yang telah lolos tahap sebelumnya ke media perakaran. Proses aklimatisasi merupakan tahap akhir pada kultur jaringan yaitu ditandai dengan pemindahan tanaman ke media tanah (Trigiano & Gray 2000).
Polymerase Chain Reaction (PCR) & Reverse Transcription PCR (RT-PCR) PCR merupakan suatu metode yang dapat digunakan untuk memperbanyak suatu sekuen DNA atau RNA target. Metode ini diperkenalkan oleh Kary Mullis
22
pada pertengahan tahun 1985. Karena kelebihan metode ini dalam segi kesederhanaan dan tingkat kesensitifan dalam memperbanyak sekuen target, maka metode ini banyak dipakai saat ini (Saiki et al. 1988). Proses PCR terdiri atas tiga tahap. Tahap awal merupakan tahap denaturasi menggunakan suhu tinggi sekitar 90-95 °C. Pada tahap ini utas ganda DNA mengalami pemisahan satu sama lain sehingga menjadi utas tunggal. Tahap kedua disebut tahap penempelan primer yang biasanya dilakukan pada suhu 45-55°C. Primer yang telah dirancang sebelumnya akan melekat pada utas DNA cetakan sesuai dengan pasangan basa nukleotidanya. Tahap yang terakhir adalah pemanjangan nukleotida yang ditandai dengan pembentukan utas baru DNA menggunakan nukleotida dNTP dan tahap ini biasanya dilakukan pada suhu sekitar 70-75°C (Innis et al. 1991). RT-PCR merupakan metode untuk menghasilkan complementary DNA (cDNA) dengan RNA sebagai cetakannya (O’Connell 2002). Molekul cDNA tersebut selanjutnya digunakan diperbanyak dengan menggunakan PCR (Sambrook et al. 2001). Karena kelebihannya dalam tingginya tingkat sensitivitas, maka metode ini biasa digunakan untuk keperluan pembuatan pustaka cDNA, identifikasi kelainan proses transkripsi, identifikasi ekspresi gen, dan identifikasi kontaminan RNA pada suatu sampel.
Karena tingginya tingkat kespesifikan
metode ini, maka metode ini dapat digunakan untuk menghasilkan cDNA dengan jumlah RNA yang sedikit (O’Connell 2002). Kekhususan metode ini adalah penggunaan enzim yang terlibat dalam proses transkripsi balik yang biasa disebut enzim reverse transcriptase (RT). Contoh enzim RT yang digunakan secara komersial misalnya enzim RT yang berasal dari sel yang diinfeksi oleh Moloney murine leukimia virus (MMLV) dan Avian myleoblastosis virus (AMV) (Reece 2004).