4
TINJAUAN PUSTAKA Jamu
Pengobatan tradisional adalah pengobatan dan atau perawatan, baik yang asli maupun yang berasal dari luar Indonesia, yang dilakukan dengan cara, obat, dan pengobatannya yang mengacu kepada pengalaman dan keterampilan turuntemurun, dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat. Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galanik) atau campuran dari bahan tersebut, yang secara turun-temurun, dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat, bahwa pengobatan tradisional merupakan salah satu upaya pengobatan dan atau perawatan cara lain di luar ilmu kedokteran dan ilmu perawatan (KepMenKes RI 1995). Seperti halnya obat modern, obat tradisional terdiri atas komponen berkhasiat dan komponen tak berkhasiat, yaitu bahan tambahan untuk memberi rasa, bau, dan warna sediaan, di samping bahan tambahan untuk formulasi sediaan jadi seperti bahan pengisi dan bahan pelicin (laktosa, talk, termasuk bahan pengawet). Komponen berkhasiat terdiri atas satu atau lebih simplisia yang merupakan salah satu organ tumbuhan seperti akar, batang, kulit batang, bagian kayu, daun, bunga, buah, biji, atau merupakan eksudat cairan tumbuhan yang mengering di udara. Obat tradisional pada umumnya mengandung lebih dari satu komponen berkhasiat.
Secara empirik alasan penggunaan lebih dari satu komponen
berkhasiat adalah pertimbangan bahwa komponen lebih dari satu akan memiliki khasiat yang lebih besar.
Komponen berkhasiat dalam simplisia disebabkan
adanya senyawa kimia dalam bahan alam secara umum dapat dikategorikan dalam alkaloid, terpenoid, minyak atsiri, atau glikosida yang semuanya merupakan metabolit sekunder. Senyawa kimia yang memiliki berbagai ragam struktur kimia sebenarnya
zat
toksik
di
dalam
tumbuhan
mempertahankan diri terhadap musuh-musuhnya.
yang
digunakan
untuk
Zat toksik ini dalam dosis
tertentu dapat dimanfaatkan sebagai obat. Jamu berupa ramuan tradisional sebagai salah satu upaya pengobatan telah dikenal luas dan dimanfaatkan oleh masyarakat untuk tujuan : mengobati penyakit
5
ringan, mencegah datangnya penyakit, menjaga ketahanan dan kesehatan tubuh, serta untuk tujuan kecantikan. Jamu adalah obat yang berasal dari tumbuhtumbuhan, hewan, mineral, atau sediaan bahan dari campuran tersebut. Komposisi jamu umumnya masih belum dibakukan dan dasar penggunaannya masih bersifat empirik. Bentuk sediaannya antara lain serbuk seduhan, rajangan seduhan dan sebagainya. Pengobatan tradisional dengan memanfaatkan bahanbahan alam dianggap relatif lebih aman dan harganya terjangkau bagi masyarakat luas. Di Indonesia, jamu telah digunakan sejak ratusan tahun yang lalu, baik sebagai obat ataupun sebagai minuman penyegar (Sayuti dkk 2005). Pengembangan obat dari alam bukan masalah yang mudah dan sederhana. Pengembangannya harus dilakukan secara bertahap dan sistematis dan sasaran prioritas yang jelas yaitu dengan mendorong terbentuknya kelompok obat fitofarmaka yang kegunaan atau manfaatnya telah jelas dengan bahan baku baik yang berupa simplisia maupun sediaan galenik yang telah memenuhi persyaratan mutu sehingga terjamin adanya keseragaman komponen aktif, keamanan, dan kegunaannya. Dengan demikian secara bertahap obat kelompok tersebut dapat memasuki dunia pengobatan modern dan menunjang upaya mencukupi kebutuhan obat bagi masyarakat luas. Pemanfaatan obat tradisional dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah terutama apabila telah dilakukan penelitian dan pengembangan dengan tahapan yang jelas dan sistematis. Tahapan tersebut meliputi: (1) pemilihan simplisia berdasarkan informasi dari masyarakat tentang pemanfaatan dan penelusuran pustaka tentang kandungan kimia dari tanaman tersebut, (2) uji penyaringan biologi yang meliputi uji farmakologi dan toksitas akut, (3) uji farmakodinamik, (4) uji toksisitas lanjut seperti uji toksisitas sub akut, kronis, dan khusus, (5) pengembangan formulasi, dan (6) uji klinik pada manusia.
6
Jamu Galohgor
Jamu galohgor banyak dikenal oleh suku sunda.
Di desa Sukajadi,
kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor, ibu yang baru melahirkan memiliki kebiasaan mengkonsumsi jamu galohgor. Jamu galohgor biasanya diminum 2 kali sehari (pagi dan sore) sehabis melahirkan (post partum) sampai 40 hari setelah melahirkan. Bahkan jamu galohgor dikonsumsi seperti camilan (makanan ringan) karena rasanya yang tidak pahit dan gurih. Selain di kabupaten Bogor, jamu ini juga dikenal di beberapa daerah lain di Jawa Barat seperti di desa Maja, Kabupaten Majalengka dan Darmaraja, Kabupaten Sumedang, serta beberapa wilayah di kabupaten dan kotamadya Bogor (Roosita 2003). Jamu postpartum (postpartum herbs) adalah jamu yang diberikan kepada ibu yang baru melahirkan dengan tujuan untuk memperbaiki sirkulasi darah, menguatkan tubuh, mempercepat pemulihan rahim, dan meningkatkan produksi air susu. Jamu tersebut biasanya diberikan selama 40 hari setelah melahirkan dalam satu bentuk perawatan (Tilaar 1994). Jamu galohgor dibuat dengan menggunakan bahan 56 campuran, yang semuanya merupakan bahan dari tumbuh-tumbuhan baik tanaman liar atau tanaman yang sudah dibudidayakan.
Bahan-bahan tersebut terdiri atas daun,
batang, dan buah sebanyak 38 jenis, rempah-rempah 5 jenis, biji dan kacangkacangan 7 jenis, dan temu-temuan sebanyak 6 jenis.
Sedangkan persentase
terbanyak adalah biji dan kacang-kacangan (Pajar 2002). Jamu galohgor yang terbuat dari satu atau beberapa jenis tanaman memungkinkan memiliki kelebihan dan keterbatasan yang perlu diwaspadai. Kelebihan yang dimiliki jamu di antaranya adanya efek sinergis dari berbagai jenis zat gizi dan bioaktif yang dapat saling memperkuat efek jamu. Sedangkan keterbatasan yang perlu diwaspadai antara lain semakin banyaknya zat yang memiliki peluang bersifat toksik yang terdapat dalam jamu yang mungkin terakumulasi.
Namun sebaliknya efek toksik yang terdapat dalam beberapa
tanaman juga diduga dapat dinetralkan oleh zat toksik yang ada dalam tanaman lainnya (Roosita 2003).
7
Secara empirik jamu galohgor memiliki manfaat antara lain meningkatkan kondisi kesehatan ibu setelah melahirkan dan meningkatkan produksi ASI. Ibu yang mengkonsumsi jamu ini umumnya mengungkapkan bahwa efek yang dirasakan adalah peningkatan produksi air susu ibu, mempercepat pengeluaran darah nifas dan pemulihan kebugaran setelah proses persalinan. Khasiat jamu galohgor diperkuat dengan penelitian Pajar (2002) yang mengungkapkan bahwa jamu galohgor mengandung berbagai zat gizi di antaranya lemak (3.66 %), protein (12.06 %), karbohidrat (77.25 %), dan air (4.01 %). Selain itu, jamu galohgor pun mengandung komponen minyak atsiri yang dimanfaatkan dalam bidang kecantikan dan kesehatan. Penelitian Roosita (2003) mengungkapkan bahwa jamu galohgor dapat mempercepat involusi uterus dan peningkatan produksi susu induk tikus. Hasil pemotretan (fotografi) menunjukkan bahwa pemulihan uterus pada kelompok tikus yang diberi jamu lebih cepat tercapai. Begitu pula dengan meningkatnya produksi susu. Kelompok tikus yang diberi jamu mencapai puncak laktasi pada hari ke-7 sedangkan pada tikus kontrol puncak laktasi dicapai pada hari ke-14.
Sistem Imunitas Imunitas atau kekebalan adalah kemampuan tubuh untuk melawan infeksi, meniadakan kerja toksin dan faktor virulen lainnya yang bersifat antigenik dan imunogenik. Antigen adalah suatu bahan atau senyawa yang dapat merangsang pembentukan antibodi. Antigen dapat berupa protein, lemak, polisakarida, asam nukleat, lipopolisakarida, lipoprotein, dan lain-lain. Antigen adalah sifat suatu senyawa yang mampu merangsang pembentukan antibodi spesifik terhadap senyawa tersebut. Sedangkan imunogen adalah senyawa yang dapat merangsang pembentukan kekebalan/imunitas, dan imunogenik adalah adalah sifat senyawa yang dapat merangsang pembentukan antibodi spesifik yang bersifat protektif dan peningkatan kekebalan seluler. Jika sistem kekebalan melemah, kemampuannya untuk melindungi tubuh juga berkurang, sehingga membuat patogen, termasuk virus dapat tumbuh dan berkembang dalam tubuh. Sanitasi yang buruk, kesehatan personal, kepadatan penduduk, makanan dan air yang terkontaminasi serta
8
pengetahuan gizi yang kurang memberikan kontribusi terhadap kekebalan (Roitt 2003). Imunitas juga diartikan sebagai resistensi terhadap penyakit terutama penyakit infeksi.
Gabungan sel, molekul dan jaringan yang berperan dalam
resistensi terhadap infeksi disebut sistem imunitas. Reaksi yang dikoordinasi sel, molekul-molekul terhadap mikroba dan bahan lainnya disebut resspon imunitas (Baratawidjaja 2006). Sistem imunitas terdiri atas sistem imunitas alamiah atau nonspesifik (natural/innate/native) dan didapat atau spesifik (adaptive/acquired).
Sistem
imunitas yang normal sangat penting untuk kesehatan manusia, dan makanan adalah salah satu faktor eksternal yang dapat mempengaruhi sistem imunitas. Pemeriksaan adanya perubahan fungsi imunitas memerlukan pendekatan dengan parameter sistem imunitas. Hasil review menunjukkan bahwa marker/pertanda fungsi imunitas yang umum digunakan untuk mengevaluasi penelitian intervensi zat gizi terhadap sistem imunitas terdapat 3 kategori yaitu high, medium, dan low. Produksi antibodi terhadap antigen spesifik, respon delayed-type hypersensitivity, vaccine-specific atau total secretory IgA dalam saliva diklasifikasikan dalam parameter high suitability. Marker yang termasuk medium adalah sel natural killer, oxidative burst terhadap phagocytes, proliferasi limfosit dan sitokin yang diproduksi oleh sel imunitas. Dikatakan dalam review tersebut bahwa tidak ada single marker yang dapat digunakan untuk menarik kesimpulan keadaan sistem imunitas maka dianjurkan menggunakan high dan medium adalah yang terbaik untuk mengukur sistem imunitas dalam intervensi gizi terhadap imunitas (Albers et al. 2005). Sistem imun non-spesifik adalah sistem pertahanan bawaan, yakni komponen normal tubuh yang selalu ditemukan pada individu sehat dan siap mencegah mikroba yang akan masuk ke dalam tubuh. Untuk menyingkirkan mikroba tersebut dengan cepat, imunitas non-spesifik melibatkan kulit dan selaput lendir, fagositosis, inflamasi, demam, serta produksi komponen-komponen antimikrobial (selain antibodi) (Tortora 2004). Sistem imun ini disebut nonspesifik karena tidak ditujukan terhadap mikroba tertentu, telah ada dan siap berfungsi sejak lahir.
Sistem ini merupakan pertahanan terdepan dalam
9
menghadapi serangan mikroba dan dapat memberikan respon secara langsung (Baratawidjaja 2006). Pertahanan non-spesifik melibatkan pertahanan fisik seperti kulit, selaput lendir, silia saluran pernafasan. Di samping itu melibatkan cairan tubuh seperti keringat, cairan asam lambung, laktoferin, komplemen, CRP, dan pertahanan seluler yang melibatkan sel darah putih baik mononuklir maupun polinuklir, serta sel NK. Sel darah putih terdiri dari dua jenis yaitu sel polinuklir yang terdiri dari basofil, eosinofil, dan neutrofil.
Sel polinuklir ini bergerak cepat dan sudah
berada di tempat infeksi dalam 2-4 jam. Sedangkan sel mononuklir terdiri dari limfosit dan monosit. Sel mononuklir bergerak lebih lambat dan memerlukan waktu 7-8 jam untuk sampai tempat infeksi. Dalam perkembangannya sel limfosit yang bergranula kecil berkembang menjadi sel B dan sel T limfosit. Sedangkan limfosit bergranula besar menjadi sel NK. Meskipun berbagai sel dalam tubuh dapat melakukan fagositosis, tetapi sel utama yang berperan dalam pertahanan non-spesifik adalah mononuklir serta sel polinuklir. Sel-sel ini berperan sebagai sel yang menangkap antigen, mengolah dan selanjutnya mempresentasikan ke sel T, yang dikenal sebagai sel penyaji atau APC. Kedua sel tersebut berasal dari sel asal hemopoietik. Sel polinuklir lebih sering ditemukan pada inflamasi akut, sedangkan monosit pada inflamasi kronik (Bratawidjaja, 2006). Berbeda dengan sistem imun non-spesifik, sistem imun spesifik mempunyai kemampuan untuk mengenal benda asing yang dianggap asing oleh dirinya. Benda asing yang pertama kali muncul dalam tubuh segera dikenal oleh sistem imun spesifik sehingga terjadi sensitasi sel-sel imun tersebut. Benda asing yang sama bila terpajan ulang akan dikenal lebih cepat, kemudian dihancurkan. Oleh karena sistem tersebut hanya dapat menyingkirkan benda asing yang sudah dikenal sebelumnya, maka sistem ini disebut spesifik (Baratawidjaja 2006). Peranan Zat Gizi Terhadap Imunitas Vitamin dan mineral di dalam tubuh selain berfungsi sebagai antioksidan yang dapat mencegah kerusakan sel dari radikal bebas, juga mempunyai peranan penting dalam sistem imunitas seperti pada aktivitas cytotoxic dan khususnya
10
dalam aktivitas microbicidal fagosit terkait dengan pembentukan SOR (spesies oksigen reaktif). Terbentuknya SOR adalah bagian dari fungsi fisiologi sel dalam pertahanan tubuh, terutama selama fagositosis atau aktivitas microbicidal. SOR dalam sel yang tidak dinetralkan oleh antioksidan dapat menjadi sumber kerusakan jaringan, karena radikal bebas dapat merusak komponen seluler dan menyebabkan kematian sel karena kerusakan molekuler akibat stress oksidatif. Oleh karena itu fungsi sel imun sangat kuat dipengaruhi oleh antioksidan atau keseimbangan antioksidan. Sementara itu, sistem imun sendiri sangat rentan terhadap stress oksidatif, karena sel imun sangat tergantung pada komunikasi antar sel melalui membran reseptor. Apabila terjadi kerusakan pada membran sel oleh radikal bebas dapat mengganggu komunikasi antar sel imun dengan APC yang selanjutnya akan berdampak pada produksi sitokin dan pada akhirnya akan menghambat produksi antibodi. Kekurangan satu macan zat gizi dapat mengganggu respon imun walaupun teraf kekurangan zat gizi pada tingkatan yang ringan. Data epidemiologi dan klinis menunjukkan bahwa defisiensi zat gizi mempengaruhi kemampuan kekebalan dan meningkatkan resiko infeksi.
Zat gizi mikro seperti seng,
selenium, besi, tembaga, vitamin A, C, E dan B6 serta asam folat mempunyai pengaruh yang penting dalam respon imun (Wolvers et al.2006)
Vitamin A Vitamin A merupakan jenis vitamin yang aktif dan terdapat dalam beberapa bentuk, yaitu vitamin A alkohol (retinol), vitamin A aldehida (retinal), vitamin A asam (asam retinoat), dan vitamin A ester (ester retinil).
Retinol
apabila dioksidasi berubah menjadi retinal dan retinal dapat kembali direduksi menjadi retinol.
Selanjutnya retinal dapat dioksidasi menjadi asam retinoat
(Almatsier S, 2004). Fungsi vitamin A dapat berperan dalam proses melihat, proses metabolisme umum, dan proses reproduksi.
Pada proses melihat, vitamin A
berperan sebagai retinal yang merupakan komponen dari zat penglihat rhodopsin. Rhodopsin merupakan zat yang dapat menerima rangsang cahaya dan mengubah energi cahaya menjadi energi biolistrik yang merangsang indra penglihatan. Pada
11
dalam metabolisme umum di antaranya, 1) Integritas epitel. 2) Pertumbuhan. 3) Permeabilitas membran.
4) Pertumbuhan gigi.
5) Produksi hormon steroid.
Sedangkan dalam aspek reproduksi, defisiensi vitamin A memberikan efek kemandulan (Sediaoetama 2006). Vitamin A mempunyai peranan penting di dalam pemeliharaan sel epitel. Oleh karena itu, vitamin A sangat berperan dalam imunitas non spesifik, dimana dalam keadaan kekurangan vitamin A, integritas mukosa epitel terganggu, keadaan ini sebagian besar disebabkan karena hilangnya sel goblet penghasil mukus.
Salah satu dampak kekurangan vitamin A adalah meningkatnya
kerentanan terhadap kuman patogen di mata dan saluran nafas serta saluran pencernaan. Peranan vitamin A selain pada imunitas non spesifik juga pada imunitas seluler, seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Stephensen (2001) dan Villamor dan Fauzi (2005) dimana vitamin A selain mempengaruhi kekebalan alami dengan cara mengganggu pertahanan mukosal, juga dengan cara mengurangi
fungsi
neutrofil,
makrofag,
sel
NK,
dan
mempengaruhi
perkembangan sel Th dan sel B yang berfungsi sebagai pertahanan humoral dan seluler. Peranan vitamin A di dalam imunitas non spesifik dan spesifik juga telah dibuktikan oleh Reifen (2008). Mekanisme vitamin A adalah melalui perbaikan sistem imunitas dan integritas epitel. Bila tubuh memerlukan, vitamin A dimobilisasi dari hati dalam bentuk retinol yang diangkut oleh Retinol Binding Protein (RBP) yang disintesis di hati. Pengambilan retinol oleh berbagai sel tubuh bergantung pada reseptor pada permukaan, membran yang spesifik untuk RBP. Selanjutnya retinol diangkat melalui membran sel untuk kemudian diikatkan pada Celluler Retinol Binding Protein (CRBP) dan RBP kemudian dilepaskan seperti terlihat pada gambar berikut:
12
Ester Retinil (Makanan) Retinol (Mukosa Usus) β-karoten (Makanan)
Retinal (Usus Halus)
Sel-RBP Reseptor permukaan (sel sasaran)
Retinal (Mata)
RBP Prealbumin (darah)
Ester retinil
Kilomikron βlipoprotein (limfe)
Ester Retinil (Hati)
Asam retinoat (sel epitel)
Gambar 1 Alur transport vitamin A dalam tubuh (Krauses’s Food, Nutrition, dan Diet Theraphy 2000) Vitamin A dalam makanan sebagian besar terdapat dalam bentuk ester retinil, bersama karotenoid bercampur dengan lipida lain di lambung. Di dalam sel-sel mukosa usus halus, ester retinil dihidrolisis oleh enzim-enzim pankreas esterase menjadi retinol yang lebih efisien diabsorpsi daripada ester retinil. Sebagian dari karotenoid, terutama β-karoten di dalam sitoplasma sel mukosa usus halus dipecah menjadi retinol (Almatsier 2004). Retinol di dalam mukosa usus halus bereaksi dengan asam lemak dan membentuk ester dan dengan bantuan cairan empedu menyebrangi sel-sel villi dinding usus halus untuk kemudian diangkut oleh kilomikron melalui sistem limfe ke dalam aliran darah menuju hati. Dengan konsumsi lemak yang cukup sekitar 80-90 % ester retinil dan 40-60 % karotenoid dapat diabsorpsi (Ross AC 1999). Kurang lebih sepertiga dari semua karotenoid dalam makanan diubah menjadi vitamin A.
Sebagian dari karotenoid diabsorpsi tanpa mengalami
perubahan dan masuk ke dalam peredaran darah dalam bentuk karoten sebanyak 15-30 % karotenoid di dalam darah adalah β-karoten. Karotenoid ini diangkut di
13
dalam darah oleh berbagai bentuk lipoprotein, dan disimpan di dalam jaringan lemak dan kelenjar adrenal (Ross AC 1999) Penentuan kadar vitamin dalam bahan pangan perlu diperhatikan jumlah vitamin yang aktif, atau keaktifian vitaminnya. Sebagai contoh keaktifan vitamin A (retinol) dalam bahan pangan dinyatakan sebagai berikut:
β-karoten merupakan provitamin A yang terdapat dalam tanaman hijau. Perubahan karoten dalam tubuh terutama terjadi dalam mukosa dinding usus kecil manusia. Diperkirakan setiap 6 µg β-karoten mempunyai aktivitas biologis 1 µg retinol. Karena alasan tersebut, aktivitas vitamin A bahan makanan biasanya dinyatakan sebagai ekuivalen retinol, yang dilakukan dengan cara menambahkan kandungan retinol yang ada dengan 1/6 kandungan β-karoten. Satuan takaran untuk vitamin A yang digunakan adalah Internasional Unit (IU) atau Satuan Internasional (SI). Akan tetapi saat ini satuan yang banyak digunakan adalah Retinol Equivalent (RE), karena satuan ini lebih tepat serta dapat
memberikan
gambaran
keadaan
yang
sesungguhnya,
termasuk
pertimbangan masalah penyerapan karoten serta derajat konversinya menjadi vitamin A. 1 RE = 1 µg retinol (3,33 IU) 1 RE = 6 µg β-karoten (10 IU) 1 RE = 12 µg karotenoid (10 IU) Asupan makanan sumber vitamin A terdiri dari retinoid jika sumbernya pangan hewani dan karotenoid jika sumbernya berupa pangan nabati. β-karoten merupakan provitamin A yang memiliki aktivitas paling besar (Linder 1992). Aktivitas relatif provitamin A dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Aktivitas relatif provitamin A (karotenoid) No
Karotenoid
Aktivitas Provitamin A relative (%)
1
Beta karoten
100
2
Alfa karoten
50-54
3
Gamma karoten
42-50
14
4
Beta Zeakaroten
20-40
5
Beta karoten-5-6-mono-epokasi
21
6
3,4 dehidro beta karoten
75
7
Lutein
0
Sumber : Linder (1992) Faktor-faktor intraluminal mempengaruhi bioavailabilitas vitamin A (karotenoid). Di antaranya penghambatan oleh matriks intrinsik, penghambatan oleh sumber makanan berserat, perbedaan bentuk stereoisomer, hubungan terbalik antara makanan yang dicerna dan yang dikeluarkan, terjadinya reaksi destruksi oksidatif, peningkatan keberadaan lemak dan minyak, dan peningkatan proses pencernaan yang terjadi.
Mekanisme pemecahan secara enzimatis atau
nonenzimatis akan menyebabkan karotenoid teroksidasi dan menghasilkan senyawa turunan berupa karotenal dan retinoid (Bowman and Russel 2001).
Penilaian Status Vitamin A Penilaian status vitamin A penting untuk melihat kadar vitamin A dalam tubuh seseorang, termasuk pada hewan. Sebagian besar vitamin A dalam tubuh disimpan dalam bentuk retinil ester di dalam hati.
Karena itu pengukuran
cadangan vitamin A dalam hati merupakan indeks terbaik untuk mengetahui status vitamin A, namun pengukuran dengan cara biopsi tidak mungkin dilakukan pada penelitian di lapangan. Sebagai gantinya, total serum vitamin A atau yang lebih baru lagi konsentrasi serum retinol lebih sering digunakan. Selain mengukur serum retinol, status vitamin A dapat dikur dengan mengukur serum Retinol Binding Protein, serum retinil ester, serum karotenoid, metode Conjunctival Impression Cytology (CIC), metode stable Isotope dan cadangan total vitamin A, Relative Dose Respone (RDR), dan Modified Relative Dose Respone (MRDR) (Permaesih 2009). Secara historis, retinoid dan karotenoid telah dapat diukur menggunakan instrumen yang menggunakan prinsip penyerapan atau fluorescence. Pemisahan senyawa
dilakukan
dengan
menggunakan
High
Performance
Liquid
Chromatograpy (HPLC). Metode analisis yang umum digunakan adalah dengan
15
menggunakan deteksi visible untuk menganalisis karotenoid
(450 nm) atau
deteksi UV untuk menganalisis retinoid, dengan menggunakan kolom C18. Isomer cis-trans dapat terpisah dengan baik dengan menggunakan HPLC (kolom silika atau alumina). Selama proses pemisahan, sampel hendaknya terlindung dari panas, cahaya, dan senyawa oksidator (Bowman and Russel 2001). Retinol diubah di dalam serum membentuk Retinol Binding Protein (RBP), dimana karotenoid bergabung dengan lipoprotein. Untuk menganalisis serum retinol, RBP didenaturasi terlebih dahulu dengan menggunakan alkohol atau asetonitril untuk melepaskan retinol ke dalam pelarut organik untuk dianalisis. Vitamin A di dalam jaringan disimpan dalam bentuk ester, kebanyakan dalam bentuk retinil palmitat. Walaupun demikian, retinil ester dapat diekstrak secara langsung ke dalam pelarut organik. Dalam tahap ini, biasanya diawali dengan adanya pengendapan protein seluler dan diikuti dengan hidrolisis ester untuk melepaskan retinol bebas. Karotenoid adalah komponen dominan di alam. Hewan tidak dapat mensintesis karotenoid, akan tetapi diperoleh dari tanaman yang dikonsumsi (Bowman and Russel 2001). Zat Besi (Fe) Besi adalah mineral mikro yang paling banyak dalam tubuh manusia dan hewan. Orang dewasa mengandung antara 2,5 dan 4 g dimana 2,0-2,5 g dalam sirkulasi yakni dalam sel darah merah, sebagai komponen Hb. Dalam jumlah sedikit (± 300 mg) erat hubungannya dengan beberapa enzim, terutama heme yang mengandung sitokrom dan dalam kompleks besi-sulphur-protein dalam transpor elektron deoksidasi fosforilasi dalam sel, di samping enzim-enzim hati, katalase, oksigenase triptofan dan beberapa lagi yang lain (Linder 1992). Pada saluran pencernaan besi mengalami proses reduksi dari bentuk feri (Fe3+) menjadi fero (Fe2+) yang mudah diserap. Proses reduksi dibantu oleh adanya vitamin C dan asam amino. Sebaliknya, adanya asam fitat yang terkonsumsi bersama biji-bijian atau bahan lain akan mempersulit penyerapan besi, sebab asam fitat dengan besi membentuk senyawa yang tidak larut (Winarno 2002).
16
Zat besi berperan dalam imunitas dalam pembentukan sel-sel limfosit. Di samping itu, dua protein pengikat besi yaitu transferin dan laktoferin dapat mencegah terjadinya infeksi dengan cara memisahkan besi dari mikroorganisme yang diperlukan untuk berkembang biak (Winarsi 2007). Zat besi yang cukup akan meningkatkan aktivitas neutrofil yang memiliki kemampuan membunuh bakteri intraseluler.
Keseimbangan zat besi di dalam tubuh cukup untuk
differensiasi dan proliferasi (Calder et al. 2002). Zat besi ketika di dalam tubuh akan mengalami perubahan bentuk. Zat besi yang akan diserap bergabung dahulu dengan protein (apoprotein) yang terdapat dalam dinding usus, sehingga terbentuklah feritin, dan masuk dalam plasma darah. sebagaimana pada Gambar 2. Lumen
Epitel
Fe(OH) 2
Plasma Darah
Penyimpanan
Fe(OH) 2
Fe(OH) 2
Fe(OH)2
Fe(OH) 3 +
Fe(OH)3 +
Fe(OH)3 +
Beta globulin
Prekursor
Siderofilin
Feritin
Prekursor Apoferitin (Tidak stabil)
Feritin
(Transport Fe)
Gambar 2. Perubahan struktur besi di dalam tubuh. Seng (Zn) Seng merupakan komponen penting dari berbagai enzim. Paling sedikit 15-20 metalo-enzim yang mengandung seng telah diisolasi dan dimurnikan. Seng juga terdapat dalam karboksi peptidase dan dehidrogenase dalam hati. Sebagai kofaktor, seng dapat meningkatkan keaktifan enzim lainnya. Seng dalam protein nabati kurang tersedia dan lebih sulit digunakan tubuh manusia daripada seng yang terdapat dalam protein hewani. Hal tersebut disebabkan karena adanya asam fitat yang mampu mengikat ion-ion logam (Winarno 2002).
17
Seng memegang peranan penting dalam banyak fungsi tubuh, sebagai bagian dari enzim atau sebagai kofaktor pada kegiatan lebih dari 200 enzim. Seng juga memiliki peranan penting dalam sintesa asam nukleat, oleh karena itu seng sangat diperlukan dalam sistem imun di tingkat seluler yaitu menstabilkan struktur molekul dari komponen seluler dan membran serta berkontribusi dalam menjaga integritas sel dan organ. Peranan lain dari seng adalah untuk sintesis protein, maka keberadaan seng sangat terkait dengan sistem imun humoral karena komponen terbesar dari antibodi adalah protein. Di dalam sintesa asam nukleat juga memerlukan seng, oleh karena itu kecukupan seng akan mempengaruhi kualitas sel-sel imun dan selanjutnya akan mempengaruhi aktivitas sel-sel imun seperti makrofag dalam fagositosis yang selanjutnya akan mempengaruhi produksi antibodi. Peran tersebut telah dibuktikan bahwa kekurangan seng akan menurunkan aktivitas sel Natural Killer, CD4+, dan CD8+, juga menurunkan proliferasi limfosit (Prasad 2000). Zat gizi lain yang mempunyai peran dalam imunitas yaitu vitamin C, vitamin E, dan selenium.
Vitamin C memegang peranan penting sebagai
antioksidan yang membantu menetralisir radikal bebas disebabkan karena terpapar ultraviolet dari matahari, rokok dan polusi lainnya. Tubuh manusia mempunyai kemampuan untuk menetralisisr radikal bebas tetapi kemampuan tersebut menurun dengan semakin bertambahnya usia. Vitamin C dapat meningkatkan fungsi imun dengan menstimulasi produksi interferon (protein yang melindungi sel dari serangan virus). Vitamin C juga menstimulasi kemotaksis dan respon proliferasi netrofil, serta melindungi sel dari radikal bebas yang diproduksi oleh netrofil teroksidasi (Winarsi 2007). Vitamin E atau α-tokoferol merupakan antioksidan yang larut dalam lemak. Vitamin ini banyak terdapat dalam membran eritrosit dan lipoprotein plasma. Vitamin E di dalam memelihara integritas sel membuat permeabilitas membran dapat tetap terjaga. Integritas sel ini sangat mempengaruhi suatu sel terutama sel T helper dalam berinteraksi dengan antigen presenting sel. Selain itu, peranan vitamin E pada sistem imun di antaranya dapat meningkatkan proliferasi sel T dan membaiknya rasio CD4+/CD8+.
18
Selenium adalah mineral kelumit yang penting untuk sintesis protein dan aktivitas enzim gluatation peroksidate (GSH-PX). Kekurangan selenium dapat menyebabkan nekrosis hati dan penyakit degeneratif (Winarsi 2007). Selenium terdapat dalam glutation peroksida yang mempuyai peranan katalisator dalam pemecahan peroksida yang terbentuk di dalam tubuh menjadi ikatan yang tidak bersifat toksik.
Peroksida dapat berubah menjadi radikal bebas yang dapat
mengoksidasi asam lemak tidak jenuh yang ada pada membran sel, sehingga merusak membran sel tersebut. Selenium juga bekerja sama dengan vitamin E dalam peranannya sebagai antioksidan (Almatsir 2004). Selenium diperlukan untuk mencapai respon imun yang optimal,selenium juga dapat mempengaruhi sistem imunitas innate dan adaptive. Di samping itu selenium juga berperan di dalam regulasi reaksi redoks dan berfungsi sebagai antioksidan, membantu mempertahankan integritas membran dan melindungi sel dari kerusakan DNA (Wintergrest at al. 2007).
Integritas membran sangat
diperlukan dalam sistem imunitas karena produksi sitokin sangat ditentukan oleh reseptor yang terdapat dalam membran sel, oleh karena itu selenium sangat diperlukan untuk menigkatkan imunitas seluler. Selain itu, kerusakan DNA juga akan mempengaruhi makrofag dalam fagositosis sehingga akan menurunkan fungsi makrofag sebagai APC. Persembuhan Luka Persembuhan luka adalah kembali menjadi normalnya integritas kulit dan jaringan yang berada di bawahnya. Kulit merupakan bagian tubuh yang menutupi permukaan dan memiliki fungsi utama sebagai pelindung dari berbagai macam gangguan dan rangsangan luar.
Fungsi perlindungan ini terjadi melalui
mekanisme biologis, seperti pembentukan lapisan tanduk secara terus menerus, respirasi dan pengaturan suhu tubuh, produksi sebum dan keringat, dan pembentukan pigmen melanin untuk melindungi kulit dari bahaya sinar ultraviolet matahari, sebagai peraba dan perasa, serta pertahanan terhadap tekanan dan infeksi dari luar (Mutschler 1991).
Luka kulit adalah terdapatnya kerusakan
morfologi jaringan kulit atau jaringan yang lebih dalam. Sehingga, persembuhan luka adalah kembali normalnya kerusakan morfologi kulit dan jaringan yang lebih
19
dalam dengan kembalinya integritas kulit dan jaringan yang berada di bawahnya melalui beberapa tahap peradangan akut. Proses persembuhan luka terdiri dari tiga fase yaitu fase yaitu fase peradangan, fase fibroelastik serta fase pematangan dan perampingan jaringan (Jones et al. 1996). Proses peradangan pada perlukaan meningkatkan tekanan hidrostatik dan mengganggu keseimbangan dalam pembuluh darah. Keadaan ini menyebabkan lebih banyak cairan keluar meninggalkan pembuluh darah untuk memasuki
jaringan.
Dinding
venula
dan
kapiler
yang
kehilangan
permeabilitasnya terhadap protein menyebabkan albumin, globulin, dan fibrinogen tercurah menuju jaringan sehingga jaringan mengandung cairan dengan komposisi serupa plasma darah. Proses peradangan ditandai dengan beberapa faktor, seperti: vasodilatasi pembuluh darah lokal yang mengakibatkan terjadinya aliran darah setempat yang berlebihan, kenaikan permeabilitas kapiler disertai dengan kebocoran cairan ke dalam ruang interstial.
Peradangan merupakan
rangkaian reaksi yang menyebabkan jaringan yang luka diperbaiki dan diganti dengan jaringan baru serta reaksi yang menyebabkan musnahnya agen-agen yang membahayakan jaringan tubuh atau juga mencegah agar agen-agen tersebut tidak menyebar luas (Rukmono 1973). Proses peradangan mencakup perekrutan sel-sel radang dari pembuluh darah menuju jaringan luka. Sel-sel yang mengilfiltrasi daerah luka di antaranya adalah netrofil, limfosit, dan makrofag. 1.
Neutrofil Sel neutrofil merupakan sel pertahanan pertama terhadap kontaminasi mikroba pada peradangan. Kehadiran sel ini pada daerah luka dipengaruhi oleh adanya produk-produk yang dilepaskan oleh bakteri dan sel-sel yang rusak atau mati. Neutrofil bertugas membunuh dan memfagosit partikelpartikel asing yang terdapat pada luka dengan cara fagositosis (Vegad 1995).
Setelah memfagosit partikel asing (termasuk sisa nekrosa sel
inang), neutrofil akan mati dan akan digantikan oleh makrofag sebagai sel pertahanan kedua. 2.
Limfosit
20
Limfosit merupakan unsur kunci pada proses kekebalan tubuh. Limfosit dibentuk di sumsum tulang pasca kelahiran, tetapi sebagian besar dibentuk di dalam kelenjar limfe, timus, dan linpa dari sel prekursor yang berasal dari sumsum tulang (Ganong, 2003). Limfosit tidak memiliki kemampuan untuk melakukan fagositosis dan hanya memiliki kemampuan untuk melakukan kemotaksis yang terbatas. Dalam persembuhan luka, peran limfosit adalah melepaskan limfokin yang mempengaruhi populasi dari sel-sel radang lainnya.
Beberapa limfokin yang dilepaskan limfosit
berpengaruh terhadap makrofag dalam proses persembuhan luka (Handayani 2006). 3.
Makrofag Makrofag merupakan salah satu sel radang dalam proses fagositosis. Makrofag mulai bermunculan setelah neutrofil menyelesaikan tugasnya. Menurut Kalangi (2004) makrofag mencerna dan memfagosit organisme patogen dan debris jaringan termasuk sel-sel neutrofil yang tidak berguna lagi. Fase proliferasi meliputi aktivitas mitosis sel-sel epidermis, sel-sel endotel,
dan sel-sel fibroblas.
Fibroblas, sel-sel radang dan pembuluh darah baru
memenuhi jaringan luka dan membentuk jaringan granulasi yang akan terlihat berwarna merah muda dan bergranulasi. Pada fase ini mulai terjadi proses reepitelisasi dimana sel-sel epitel mulai bermigrasi dan berproliferasi ke jaringan luka (Singer dan Clarks 1999). Pada pengamatan patologi anatomi dalam fase ini, pada luka akan terlihat adanya jaringan granulasi yang ditandai dengan munculnya keropeng. Fase pematangan ditandai dengan berkurangnya jumlah fibroblas secara berkala dan penurunan jumlah pembuluh-pembuluh kapiler.
Serabut kolagen
mengalami pertambahan jumlah dan menyusun diri sepanjang garis lebar luka. Secara berangsur-angsur luka meningkatkan kekuatan integritasnya terhadap tekanan. Pada fase pematangan ini, matriks ekstraseluler sementara yang telah terbentuk pada fase sebelumnya digantikan oleh matriks kolagen dermis. Tahap akhir dari persembuhan luka ini merupakan tahap yang hampir bersamaan dengan tahap granulasi. Komposisi dan struktur matriks ekstraseluler yang terbentuk
21
pada masa jaringan granulasi akan terus menerus berubah. Perubahan ini akan tergantung pada waktu setelah terjadi perlukaan dan jarak tepi luka (Putriyanda 2006).