4
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Listeria monocytogenes L. monocytogenes merupakan bakteri berbentuk batang rantai pendek, kadang ditemukan dalam bentuk tidak beraturan, bentuk Y ataupun kokus (Allerberger 2003; Garbutt 1997).
Menurut Anonimus (2005), bentuk
L. monocytogenes yang kadang ditemukan seperti bentuk kokus tersebut dapat dikelirukan dengan Streptococcus spp, dan bentuk sel yang kadang tampak memanjang dapat dikelirukan dengan Corynebacterium spp.
Bakteri ini
berukuran kecil (1,0-2,0 µm x 0,5 µm), Gram-positif, tidak berspora dan merupakan bakteri patogen intraseluler yang dapat ditemukan dalam monosit dan netrofil (Baek 2000; Donnelly 2001; Forsythe dan Hayes 1998) serta dalam lekosit susu tercemar (Doyle et al. 1987). Flagela peritrikus merupakan alat gerak L. monocytogenes yang dihasilkan pada suhu 20 – 25 oC (Gambar 1). Bakteri tersebut tidak menghasilkan flagela pada suhu 37 oC.
Filamen-aktin (F-aktin), yang merupakan alat gerak yang
tumbuh pada salah satu ujung bakteri, berpengaruh terhadap keganasan bakteri ini ketika menyerang sel induk semang (Anonimus 2005).
Gambar 1 L. monocytogenes berflagela peritrikus diamati dengan mikroskop elektron (Anonimus 2005)
5
L. monocytogenes menghasilkan toksin yang bekerja seperti hemolisin yaitu listeriolisin O (LLO), phosphatidylinositol-spesific phospholipase C (PIPLC) dan phosphatidylcholine-spesific phospholipase C (PC-PLC) Toksin LLO disebut juga SH-activated hemolysin yang dihasilkan pula oleh bakteri Gram positif lain seperti streptolysin O oleh Streptococcus grup A, pneumolysin oleh Pneumococcus dan Clostridium perfringens. Toksin ini dapat bertahan dalam fagolisosom karena enzim katalase dan dismutase superoksida yang dihasilkan dapat menetralisir pengaruh fagositik. PI-PLC dan PC-PLC melisis sel induk semang dengan merusak membran lemak seperti phosphatidylinositol dan phosphatidylcholine. Kemampuan menghemolisa darah merupakan salah satu karakter L. monocytogenes yang dapat dibedakan dengan lima spesies genus Listeria lainnya yaitu L. ivanovii, L. innocua, L. welshimeri, L. seeligeri dan L. grayi.
Hanya tiga spesies yang mempunyai kemampuan hemolitik, yaitu
L. monocytogenes, L. seeligeri dan L. ivanovii (Anonimus 2005; Donnelly 2001; Finegold dan Baron 1986; FSAI 2005). Menurut Donnelly (2001), L. monocytogenes memfermentasi rhamnosa dan glukosa tanpa menghasilkan gas dan dapat dibedakan dengan spesies Listeria lainnya dengan reaksi biokimiawi, seperti reduksi nitrat menjadi nitrit, β-hemolisis, produksi asam dari gula manitol, L-rhamnosa, D-xylosa dan uji Christie, Atkins, Munch-Petersen (CAMP), seperti ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1 Karakteristik spesies Listeria spp (Allerberger 2003; Donnelly 2001) Karakteristik
β-Hemolysis CAMP S. aureus R. equi Fermentasi Manitol Xylosa Rhamnosa Patogenik pada Manusia Ket
L. monocytogenes
L. ivanovii
L. seeligeri
+
+
+
-
-
-
+ -
+
+ -
-
-
-
+ ya
+ Jarang
+ Jarang
tidak
+ tidak
+ v tidak
(3 kasus)
(1 kasus)
: +: positif, -: negative, v: beragam
L. innocua L.welshimeri
L.grayi
6
L. monocytogenes termasuk golongan bakteri fakultatif anaerobik dan psikrotrofik yang tumbuh pada kisaran suhu 1 – 44 oC dengan pertumbuhan optimal pada suhu 35 – 37 oC (Ray 2001). Bakteri ini mampu tumbuh dan berkembangbiak dalam pangan yang disimpan pada suhu 4 oC selama 12 minggu, seperti ditunjukkan pada Gambar 2. Oleh karena itu listeriosis selalu dihubungkan dengan konsumsi susu, daging atau sayuran yang telah disimpan pada suhu refrigerator dalam waktu lama (Anonimus 2005).
log10 bakteri per ml
Waktu Simpan dalam Minggu
Gambar 2 Pertumbuhan Listeria dalam pangan pada suhu pembekuan (-20 °C) dan pada suhu refrigerator (4 °C). Diadaptasi dari Baron’s Medical Microbiology (Anonimus 2005) Sel L. monocytogenes masih mampu tumbuh dalam susu yang telah dipasteurisasi pada suhu 71 oC selama 15 detik, susu penuh yang dipasteurisasi secara komersial dengan HTST serta dalam produk susu seperti es krim, keju, yogurt dan susu skim (ICMSF 1996; Johansson 1998; Piyasena et al. 1998). Sel L. monocytogenes masih dapat ditemukan Pada susu pasteurisasi dengan suhu 72 oC selama 15 detik di hari kedua masa penyimpanan dalam suhu 4 oC. Pertumbuhan sel semakin meningkat setiap hari hingga 2.500 sel per ml pada hari kelima (Tabel 2).
7
Tabel 2 Jumlah sel L. monocytogenes dalam susu yang dipasteurisasi pada suhu 72 °C selama 15 detik yang disimpan pada suhu 4 °C selama 5 hari (Forsythe dan Hayes 1998) Hari 0 1 2 3 4 5
Penyimpanan segera pada suhu 4 °C
Jumlah sel per ml 0 0 40 150 300 2.500
Menurut Fardiaz (1992), faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan mikroorganisme terhadap panas adalah jumlah sel mikroorganisme, umur sel, suhu pertumbuhan, air, lemak, garam, karbohidrat, nilai pH, protein, senyawa antimikroba, suhu dan waktu pemanasan. Berbagai perlakuan dalam proses pengolahan atau pengawetan pangan ditujukan untuk membunuh atau menghambat pertumbuhan sel mikroorganisme. Perlakuan yang diberikan dalam dosis sublethal, yaitu dosis yang tidak mematikan, dapat mengakibatkan sel mengalami kerusakan sublethal sehingga menderita cekaman atau sakit.
Pemanasan dapat menyebabkan terjadinya
cekaman atau sakit pada sel mikroorganisme yang terdapat dalam pangan (Fardiaz 1992). Sel disebut mengalami kerusakan sublethal walaupun masih dapat tetap hidup.
Sel dapat mengalami kerusakan.
Tetapi bila sel masih mempunyai
kemampuan untuk melakukan metabolisme pada kondisi yang tidak menghambat dan kemudian kembali ke keadaan fisiologi yang normal, maka akhirnya sel masih dapat tumbuh dan berkembang biak. Mengisolasi mikroorganisme yang mengalami kerusakan sublethal dengan menumbuhkan di dalam media penyembuhan dapat memperbaiki kerusakan sel tersebut menjadi tumbuh normal dan berkembang biak.
Berbagai proses yang terjadi selama penyembuhan
diantaranya regenerasi ribosom yang telah mengalami degradasi, sintesis DNA, RNA, ATP, enzim, fosfolipid, protein dan sebagainya (Fardiaz 1992). Smith (1996) menyebutkan bahwa sel L. monocytogenes yang mengalami kerusakan sublethal dapat disembuhkan dengan suhu 37 °C pada media trpticase phosphate broth agar (TPBA), sedangkan pada suhu 5 °C dan 12 °C tidak terjadi proses penyembuhan terhadap sel yang mengalami kerusakan sublethal.
8
Menurut FSAI (2005), kemampuan L. monocytogenes bertahan hidup pada lingkungan sekitar dipengaruhi dua faktor utama yaitu reaksi cekaman secara umum dan pembentukan lapisan biofilm pada semua permukaan benda (Gambar 3). Biofilm adalah koloni bakteri yang melekat pada permukaan benda atau lingkungan dan berlindung dalam mariks extracellular polymeric substances (EPS) (Donlan dan Costerton 2000). Biofilm tahan terhadap desinfektan dan dapat
mencemari
pangan.
Menurut
Koutsoumanis
et
al.
(2003),
L. monocytogenes sebenarnya tidak bersifat tahan asam dan tidak dapat tumbuh pada pH < 4,5–4,6.
Akan tetapi, karena adanya cekaman lingkungan
mengakibatkan kemampuan bakteri untuk bertahan hidup pada suasana asam yang semakin meningkat.
Biofilm
Gambar 3 Biofilm L. monocytogenes pada peralatan terbuat dari baja. Gambar oleh Amy Wong (Seok dan Schraft 2000) Patogenesis Terdapat dua bentuk gejala klinis yang diakibatkan oleh infeksi L. monocytogenes yaitu listerial gastroenteritis/gastrointestinal illness (bentuk saluran pencernaan) dan invasive listeriosis (bentuk invasif).
Pada listerial
gastroenteritis, gejala klinis ditandai dengan mual, muntah, kram perut dan diare yang akan tampak setelah tertelannya bakteri selama lebih dari 12 jam (Dalton et al. 1997; Lovett dan Twedt 2004).
Perubahan keasaman lambung akibat
9
penggunaan obat-obatan antasida dan cimetidine dapat meningkatkan kepekaan terhadap infeksi Listeria. Manusia yang menelan sejumlah 1.000 sel L. monocytogenes akan menimbulkan gejala klinis seperti flu (rasa tidak enak badan, demam ringan) dan diare. Dilaporkan antara 1 – 10% manusia terinfeksi tanpa menunjukkan gejala klinis, namun dapat melepaskan L. monocytogenes melalui feses (Lovett dan Twedt 2004).
Fagositosis Listeria monocytogenes
Fagosom Lisis fagosom dan replikasi Listeria dalam sitosol F-aktin
Vakuola membran ganda
Lisis Vakuola
Gambar 4 Tahapan proses invasi dan penyebaran intraseluler L. monocytogenes (Elseiver 1992)
10
Gambar 4 menunjukkan tahapan proses invasive listeriosis, (a) bakteri menyerang mukosa saluran pencernaan dan berlekatan dengan sel usus dibantu oleh D-galaktosa yang ada pada permukaan sel bakteri.
Bakteri kemudian
menginvasi makrofag (sel parenkim) dan (b) terperangkap dalam vakuola yang disebut fagosom, (c) selanjutnya bakteri tersebut menghasilkan toksin LLO, C(PIPLC) dan C(PC-PLC) yang mempunyai kemampuan sitolitik untuk merusak fagosom agar dapat masuk ke dalam sitoplasma. Ketiga toksin tersebut juga mencegah pencernaan bakteri oleh enzim hidrolitik yang dihasilkan oleh lisosom, (d) secara cepat bakteri berkembang biak di dalam sitoplasma dan membentuk F-aktin, (e) bakteri akan menginvasi sel lain dengan bantuan F-aktin, mengakibatkan kerusakan sel dan septikemia, Setelah berhasil menginvasi sel lain, bakteri berada dalam vakuola dengan membran ganda dan (f) melanjutkan siklus hidupnya dengan terus menginvasi sel lain. Lima hari hingga tiga minggu setelah tertelan, bakteri ini menyebar ke seluruh tubuh dan mengakibatkan kerusakan pada sistem syaraf, jantung, mata, organ lain dan fetus. Infeksi pada sistem syaraf dapat menimbulkan meningitis, ensefalitis dan abses dengan tingkat fatalitas hingga 70%. Pada wanita hamil, bentuk ini mengakibatkan aborsi dan kematian bayi saat dilahirkan dengan rata-rata tingkat kematian sebesar 80% (Lovett dan Twedt 2004; Pelczar dan Chan 2005).
Data epidemiologi
menunjukkan bahwa invasive listeriosis dapat terjadi sebagai kasus sporadik dan epidemi. Kematian jarang terjadi pada manusia dewasa dengan kondisi baik. Namun angka kematian 50% dapat terjadi pada manusia dewasa dengan kekebalan rendah, kelahiran bayi atau remaja (Lovett dan Twedt 2004). Kemampuan L. monocytogenes untuk menimbulkan septikemia tergantung beberapa faktor, seperti jumlah bakteri yang tertelan, status kekebalan tubuh induk semang dan keganasan galur bakteri yang menginfeksi.
Dilaporkan bahwa
tertelannya sejumlah 100 cfu/g L. monocytogenes yang mencemari pangan dapat mengakibatkan wabah listeriosis (CAC 2007; Swaminathan 2001). Penyebaran melalui pangan merupakan penyebaran utama penyakit ini. Namun infeksi listeriosis dapat pula disebarkan secara vertikal (ibu ke anak) melalui plasenta, zoonotik melalui kontak langsung antara tangan yang terluka dengan bahan infeksi dan melalui infeksi di rumah sakit (infeksi nosokomial).
11
Kasus Listeriosis pada Manusia L. monocytogenes penyebab listeriosis ditemukan di Inggris pada tahun 1924 oleh EGD Murray, RA Webb dan BR Swann serta secara terpisah oleh J Pirie, sebagai penyebab penyakit septikemia pada kelinci dan babi (Boland et al. 2001; Rocourt 1999). Menurut Donnelly (2001), pertama kali mikroorganisme ini dikenal dengan nama Bacterium monocytogenes, yang menyebabkan lesi pada hati kemudian disebut dengan Listeria hepatolitica, yang pada akhirnya tahun 1940 ditetapkan dengan nama Listeria monocytogenes. Nama Listeria diberikan untuk menghormati seorang Dokter ahli bedah Inggris, Joseph Lister . Kasus listeriosis pada manusia pertama kali dilaporkan terjadi pada tentara penderita meningitis di akhir Perang Dunia ke-1. Semenjak itu, listeriosis merupakan penyakit yang ditularkan melalui pangan (foodborne disease) yang mendapat perhatian khusus dalam kesehatan masyarakat.
Tingkat kematian
penyakit ini lebih dari 25% pada kelompok beresiko, seperti wanita hamil dan individu dewasa dengan status kekebalan rendah. mencapai 50% pada bayi.
Tingkat kematian dapat
Tingkat fatalitas dilaporkan sekitar 20-30%.
(Allerberger 2003; Anonimus 2005; Gilbert et al. 1989). Selama tiga dekade terakhir, di beberapa negara industri dilaporkan terjadi peningkatan masalah keamanan pangan dan setiap tahun dilaporkan hingga 10% atau lebih populasi manusia terjangkit foodborne disease. Hal yang sama berlaku juga di negara berkembang dan menjadi serius bila diakhiri kematian. Perkembangan industri diikuti peningkatan urbanisasi telah merombak sistem pengiriman
pangan
yang
mengakibatkan
peningkatan
produksi
pangan.
Beredarnya pangan melalui perdagangan internasional seiring dengan era globalisasi dan liberalisasi meningkatkan resiko penyebaran penyakit menular. Selain itu tingginya jumlah produksi yang tidak sebanding dengan lingkungan dan pengetahuan yang kurang dalam penanganan pangan pada sebagian karyawan yang terlibat dalam industri pangan dapat meningkatkan cemaran pada bahan pangan.
Pengawasan ketat pada titik kendali kritis bagian pengolahan dan
pengemasan pangan merupakan salah satu upaya untuk mengendalikan terjadinya foodborne disease (Kaferstein 1997).
12
Pada manusia, listeriosis merupakan penyakit yang timbul secara sporadik, namun telah dilaporkan terjadi epidemi di beberapa negara.
Data FoodNet
Amerika Serikat menunjukkan bahwa Listeria merupakan bakteri patogen kedua setelah Salmonella yang menyebabkan foodborne disease di Amerika Serikat dengan perkiraan jumlah kasus 28% per tahun. Bakteri patogen lain yang bertanggungjawab atas foodborne disease adalah Shigella, Campylobacter dan E. coli O157:H7 (Mead et al. 1999).
Di Amerika Serikat terjadi 32 kali wabah
penyakit listeriosis pada periode tahun 1973-1992 yang disebabkan oleh memakan keju lunak yang tidak mengalami pasteurisasi terlebih dahulu.
Pada wabah
tersebut dilaporkan terjadi 58 kematian dari 1.700 manusia terinfeksi. Wabah di California, tahun 1985, merupakan wabah terbesar dengan jumlah 48 kematian dari 142 manusia dewasa terinfeksi, terdiri atas 93 wanita hamil dan 49 manusia dewasa lainnya.
Tingkat fatalitas kedua kelompok tersebut, masing-masing
sebesar 32% (Anonimus 2005; Jay 2000). Tahun 1981, dilaporkan terjadi wabah listeriosis di Kanada dengan jumlah 34 wanita hamil dan 23 bayi yang baru dilahirkan terinfeksi. Tingkat kematian pada wabah tersebut mencapai 30% pada 77 manusia dewasa beresiko. Wabah tersebut berhubungan dengan konsumsi selada lokal (Anonimus 2005). Sampai saat ini laporan mengenai gejala penyakit yang disebabkan oleh L. monocytogenes melalui makanan di Indonesia belum ada. Namun data dari negara Malaysia mengenai pencemaran bakteri ini pada berbagai produk pangan dapat menjadi gambaran bahwa bakteri ini bukannya tidak mungkin masuk dan mencemari makanan di Indonesia.
Iklim dan kebiasaan makan penduduknya
hampir sama dengan di Indonesia. Hasil survei di Malaysia menunjukkan 43 % tercemar L. monocytogenes setelah dilakukan pemeriksaan terhadap 234 contoh pangan mentah dan siap saji (Arumugaswamy et al. 1994).
Sumber Cemaran Listeria monocytogenes pada Pangan L. monocytogenes dapat ditemukan pada lingkungan, seperti debu, tanah, air laut dan tawar, tanaman, hewan liar dan domestik, makanan hewan termasuk silase, limbah rumah potong hewan, selokan dan sedikit ditemukan pada feses (Donnelly 2001; Garbutt 1997). L. monocytogenes juga ditemukan pada buah-
13
buahan, susu mentah, keju, daging, produk daging, hot dog yang tidak dimasak, ikan, rennet, daging unggas, ayam masak yang disimpan pada suhu dingin, ayam masak siap saji, susu pasteurisasi dan produk susu lainnya (Garbutt 1997). Hewan ternak terinfeksi L. monocytogenes dengan menunjukkan gejala listeriosis akan melepaskan L. monocytogenes melalui susu, darah dan fesesnya. Loken et al. (1982) dalam Donelly 2001), melaporkan adanya pelepasan sel L. monocytogenes yang tinggi pada susu yang dihasilkan oleh sapi dan domba terinfeksi tanpa disertai gejala klinis. Menurut Sanjaya et al. (2007), cemaran mikroba pada susu dapat terjadi pada ambing, alat penampung susu, alat penyimpan susu, transportasi, industri pengolahan dan konsumen. Sumber cemaran L. monocytogenes pada susu dan produknya dapat ditemukan pada rantai pengolahan, termasuk susu mentah, lingkungan, peralatan, alat pengemas, pengelolaan sampah, pengendali hewan pengganggu hingga higiena karyawan yang terlibat (Lovett dan Twedt 2004).
Faktor-faktor Pendukung Pertumbuhan Listeria monocytogenes Berikut ini merupakan faktor-faktor dalam produk pangan yang tidak mendukung pertumbuhan L. monocytogenes (Henning dan Cutter 2001): a. Water activity (aw) minimum 0,92. b. pH kurang dari 4,39 pada suhu 75 0 F. c. aw 0,85 dan pH 4,6 yang selalu berpengaruh pada kestabilan produk namun tidak merupakan batas pertumbuhan untuk L. monocytogenes. d. Pangan dalam kemasan tertutup yang disucihamakan secara komersial dan disimpan dalam refrigerator (aseptik) e. Pada pemeriksaan laboratorium tidak menunjukkan adanya pertumbuhan L. monocytogenes f. Produk pangan tidak mendukung pertumbuhan mikroba L. monocytogenes memiliki toleransi terhadap garam dan dapat tumbuh dalam kadar larutan NaCl hingga 10%. Menurut Sutherland et al. (2003) mikroba ini mempunyai kemampuan bertahan hingga delapan minggu dalam 20% NaCl. Ryser (1999) melaporkan kemampuan pertumbuhan L. monocytogenes dalam
14
larutan garam dapat meningkat secara dramatis dengan penurunan suhu penyimpanan. Pengaruh listerisidal dari pengawetan sangat dipengaruhi oleh suhu, pH, kandungan garam, aw dan tipe serta kandungan makanan tambahan dalam pangan. Kemampuan potassium sorbat dalam mencegah pertumbuhan L. monocytogenes sangat tergantung pada suhu penyimpanan dan pH media. Semakin rendah suhu penyimpanan dan pH media, semakin tinggi efektifitas potassium sorbat menghambat pertumbuhan L. monocytogenes. Sodium benzoat mempunyai daya hambat lebih besar dibandingkan potassium sorbat atau sodium propionat. Hambatan dan inaktivasi L. monocytogenes pada bahan pangan oleh sodium benzoat dipengaruhi beberapa faktor, seperti suhu, kadar larutan asam benzoat dan pH.
Efektifitas
asam
benzoat
dalam
menghambat
pertumbuhan
L. monocytogenes semakin tinggi bila diinkubasi pada suhu yang lebih tinggi. Kandungan asam benzoat yang tinggi juga akan mempercepat proses inaktivasi bakteri bila dibandingkan dengan kandungan yang rendah. Sedangkan proses inaktivasi oleh asam benzoat akan semakin cepat pada pH rendah, seperti penggunaan asam untuk menyesuaikan media pertumbuhan (Ryser 1999).
Susu Ultra High Temperature (UHT) Menurut SNI 01-3141-1998 tentang baku mutu susu segar (fresh milk), susu merupakan cairan yang berasal dari ambing ternak perah sehat dan bersih yang diperoleh dengan cara pemerahan yang benar sesuai ketentuan yang berlaku, yang kandungan alaminya tidak dikurangi atau ditambah sesuatu apapun dan belum mendapat perlakuan apapun kecuali proses pendinginan. Sedangkan susu hasil olahan adalah susu yang telah mengalami proses pengolahan sehingga mengalami perubahan bentuk menjadi bentuk cair, bubuk, condensed (kental) atau padat. Definisi susu UHT menurut SNI 01-3950-1998, adalah produk susu yang diperoleh dengan cara mensucihamakan susu minimal pada suhu 135 oC selama dua detik dengan atau tanpa penambahan bahan makanan dan bahan tambahan makanan yang diizinkan, serta dikemas secara aseptik. Batas cemaran mikroba pada susu UHT yang dihitung dengan angka lempeng total dipersyaratkan
15
berjumlah 0 koloni/g baik untuk susu UHT tawar maupun yang diberi zat penyedap cita rasa (Tabel 3). Tabel 3 Spesifikasi persyaratan mutu susu UHT menurut SNI 01-3950-1998 No
Jenis Uji
1. 1.1. 1.2. 1.3. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 7.1. 7.2. 7.3. 7.4. 7.5. 8. 9. 9.1.
Keadaan Warna Bau Rasa Protein (Nx6,37) Lemak Bahan Kering Tanpa Lemak Total padatan Pewarna tambahan Cemaran Logam Timbal (Pb) Tembaga (Cu) Seng (Zn) Timah (Sn) Raksa (Hg) Cemaran arsen Cemaran mikroba Angka Lempeng Total
*) Jenis
A B
= =
Persyaratan
Satuan
Jenis A*)
Jenis B*)
%, b/b %, b/b %, b/b -
Khas, normal sesuai label Khas, normal sesuai label Khas, normal sesuai label Min. 2,7 Min. 3,0 Min. 80 Tidak dipersyaratkan Tidak dipersyaratkan
Khas, normal sesuai label Khas, normal sesuai label Khas, normal sesuai label Min. 2,4 Min. 2,0 Tidak dipersyaratkan Min. 12 Sesuai SNI 01-0222-1998
mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
Maks. 0,30 Maks. 20,0 Maks. 40,0 Maks. 40,0 Maks. 0,03 Maks. 0,10
Maks. 0,30 Maks. 20,0 Maks. 40,0 Maks. 40,0 Maks. 0,03 Maks. 0,10
0
0
koloni/g
susu UHT tawar susu UHT yang diberi zat penyedap citarasa
Menurut Bylund (1995), pemanasan UHT untuk membunuh bakteri dalam pangan digunakan sebagai teknik pengawetan pangan bentuk cair dengan suhu 135 - 140 oC selama beberapa detik. Anonimus (1997) menyebutkan bahwa UHT merupakan proses pemanasan susu di atas 100 oC dan dikemas secara aseptik, sehingga setelah inkubasi kurang lebih selama 14 hari pada suhu 30 ± 1 oC, susu dapat terbebas dari mikroba pembusuk. Teknik UHT
merupakan teknik
pemanasan dalam sistem tertutup yang dilakukan dalam waktu cepat diikuti oleh pendinginan. Terdapat dua metode teknik UHT, yaitu pemanasan tidak langsung disertai pendinginan melalui perantara panas (indirect heating) dan pemanasan susu dengan aliran panas secara langsung (direct heating) (Bylund 1995). Teknik UHT pada susu telah dilakukan secara ekstensif di negara Eropa daripada Amerika Serikat. Pemanasan UHT ditujukan untuk membunuh seluruh mikroba baik pembusuk maupun patogen (Bylund 1995; Fraizer dan Westhoof 1988). Proses UHT pada susu diawali dengan pemerahan susu sapi secara aseptik, kemudian mengalirkan ke tangki pendingin dengan alat pompa. Tangki pendingin
16
akan mempercepat susu mencapai suhu dingin melalui pengadukan mekanis. Pada umumnya setelah itu, susu disimpan selama tiga hari di peternakan sebelum dikirimkan ke industri pengolahan susu. Langkah selanjutnya adalah klarifikasi dengan memusingkan susu di dalam mangkuk klarifikasi untuk membersihkan susu dari debu dan kotoran serta kemungkinan adanya mikroba.
Proses
pemisahan dilakukan dengan menghangatkan susu pada suhu 35-40 oC untuk melarutkan lemak susu.
Susu kemudian dipusingkan untuk mempercepat
pemisahan lemak. Susu tanpa lemak tersebut kemudian distandarisasi dengan mencampur krim atau skim susu untuk mendapatkan kandungan lemak yang diinginkan. Tahapan selanjutnya adalah proses pasteurisasi yang diikuti oleh homogenisasi untuk mengurangi globula lemak sehingga dihasilkan bentuk dan ukuran lemak yang sama. Pengemasan merupakan tahapan akhir sebelum susu pasteurisasi disalurkan. Proses ini dapat dilihat pada Gambar 5 (Bylund 1995; Scott 2008). Perlakuan sterilisasi pada susu hampir sama dengan UHT namun dengan suhu lebih tinggi dan dalam waktu lama. Istilah sterilisasi pada susu adalah sterilisasi komersial dengan masih ditemukannya sejumlah mikroba. Pada industri pengalengan, sterilisasi komersial adalah tindakan pemanasan pada produk pangan dalam kaleng. Proses aseptik digunakan secara terpisah antara sterilisasi produk dan pengemasan.
Produk yang telah steril kemudian dimasukkan ke
dalam kemasan steril melalui sistem pengemasan yang steril pula (Scott 2008). Perlakuan pemanasan susu dapat mempengaruhi kandungan nutrisi dan cita rasa susu.
Kandungan lemak, laktosa dan garam mineral tidak banyak
mengalami perubahan setelah susu dipanaskan, namun berbeda dengan protein dan vitamin (Bylund 1995).
Mikroba Susu dan Pengendaliannya Mikroba patogen yang dapat ditemukan dalam susu adalah Mycobacterium bovis, Brucella spp., Salmonella spp., Campylobacter,
L.
monocytogenes,
E. coli, Y. enterocolitica, S. aureus dan B. cereus (Garbutt 1997).
Menurut
Bylund (1995), mikroba pada susu dapat dikatagorikan sebagai bakteri asam laktat, koliform, asam butirat, asam propionat dan bakteri pembusuk. Bakteri
17
asam laktat, koliform, asam butirat (Clostridium sp.) dan asam propionat (Lactobacillus sp.) merupakan bakteri anaerob yang rata-rata mati pada suhu pasteurisasi. Perlakuan UHT pada susu diharapkan dapat membunuh mikroba mesofilik dan termofilik berspora tahan panas, baik aerob maupun anaerob (Westhoff 1981).
Pemerahan
Pengaliran
Pendinginan dan Agitasi
Pengiriman
Klarifikasi
Separasi dan Standarisasi
Pasteurisasi
HTST
UHT
Homogenisasi
Pengemasan dan Distribusi
Gambar 5 Proses pengolahan susu UHT (Gillis 2005)
18
Wabah foodborne disease yang terkait dengan susu pasteurisasi dihubungkan dengan ditemukannya Campylobacter spp., Salmonella spp., E. coli O157:H7, L. monocytogenes dan Yersinia spp. Wabah ini biasanya terjadi karena proses pasteurisasi yang kurang baik dan atau adanya cemaran pasca pasteurisasi (ICMSF 1998). Proses pasteurisasi juga tidak dapat merusak enterotoksin seperti yang diproduksi oleh S. aureus (ICMSF 1998). Pasteurisasi dapat merusak beberapa mikroba pembusuk yang ada pada susu mentah, khususnya psikrotropik yang berkembangbiak pada suhu rendah. Setelah pasteurisasi produk susu masih mengandung sejumlah mikroba termodurik, seperti Micrococcus dan Enterococcus dan mikroba asam laktat. Oleh karena itu susu pasteurisasi mempunyai masa simpan yang terbatas. Masa simpan susu pasteurisasi berkisar antara 7–14 hari dan beragam menurut musim. Mikroba dan spora yang dapat bertahan pada perlakuan sterilisasi tidak dapat berkembang pada keadaan normal penyimpanan (Hersom dan Hulland 1980). Suhu dan kombinasi waktu sterilisasi untuk produk susu berkisar antara 105-120 oC selama 10-40 menit (Hinriches dan Rademacher 2003). Baik susu UHT maupun sterilisasi dapat merusak endospora bakteri (Deeth dan Datta 2003). Kedua produk susu tersebut dapat disimpan tanpa pendinginan dalam jangka waktu tertentu. Beberapa wabah foodborne disease yang berhubungan dengan susu pasteurisasi dikarenakan cemaran pada saat proses pasteurisasi atau pasca pasteurisasi (ICMSF 1998). Pada susu mentah dan susu pasteurisasi dilaporkan adanya cemaran yang berasal dari tempat pengumpul dan proses pasca pasteurisasi. Sumber pencemaran di peternakan sapi perah adalah air peternakan dan pabrik, ember susu, mesin perah, kaleng penampung susu, cairan pencuci tangan pemerah, cairan pencuci tangan pekerja lain, peralatan pasteurisasi, peralatan pengemasan, bahan kemasan, tempat penyimpan dari kayu dan saringan contoh (Prejit et al. 2007). Pertumbuhan mikroba dapat diperkecil dan dihindari dengan mengawasi secara ketat titik kendali kritis yang memberikan kemungkinan mikroba mencemari susu pasca pasteurisasi seperti proses pendinginan, pasteurisasi, pengisian dan pengemasan serta penyimpanan (Gambar 6).
19
Susu sapi
#CCP1
Pengumpul susu
*CCP2
Pengiriman Susu dingin
#CCP3
Pasteurisasi Susu setelah pemanasan Susu pasteurisasi Pengemasan
#CCP4 #CCP5 *CCP6
Penyimpanan dingin
#CCP7
Pemasaran Gambar 6 Titik kendali kritis pada proses pengolahan susu (Prejit et al. 2007) *Poin cemaran mayor #Poin cemaran minor CCP CCP1 CCP2 CCP3 CCP4 CCP5 CCP6 CCP7
= = = = = =
Critical Control Point (Titik Kendali Kritis) Higiena pemerah, hewan dan proses pemerahan Pengendali sanitasi alat dan lingkungan Kestabilan suhu pendinginan dan mutu pengumpul susu yang baik Persiapan suhu pemanasan, higiene peralatan Pengendali sanitasi dan kebersihan alat pasteurisasi HTST secara periodik = Bahan kemasan yang aseptik, higiene lingkungan dan peralatan pengemas = Pemeliharaan suhu pendinginan, meminimalisir pencemaran pasca pasteurisasi