TINJAUAN PUSTAKA Jarak Pagar (Jatropha curcas L) Jarak pagar (Jatropha curcas L) telah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia sejak tahun 1942-an. Beberapa nama daerah (nama lokal) yang diberikan kepada jarak pagar ini antara lain Jarak Kosta, Jarak Budeg (Sunda), Jarak Gundul, Jarak Pager (Jawa), Jarak Pager (Bali), Lulu Mau, Paku Kale, Jarak Pageh (Nusatenggara), dan Al Huwa Kamala (Maluku). Jatropha curcas dikenal sebagai tanaman pagar dan umumnya ditanam di sepanjang tepi jalan sehingga dikenal dengan sebutan tanaman jarak pagar. Tanaman perdu asal Amerika ini memiliki klasifikasi sebagai berikut, kingdom Plantae, subkingdom Tracheobionta, super divisi Spermatophyta, divisi Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, subkelas Rosidae, ordo Euphorbiales, famili Euphorbiaceae, genus Jatropha, dan spesies Jatropha curcas. Tanaman jarak diperlihatkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Jatropha curcas L. (Biotechcitylucknow, 2007) Tanaman jarak merupakan tanaman yang dapat tumbuh pada tanah yang kurang subur tetapi memiliki drainase yang baik dan tidak tergenang air. Tanaman jarak tumbuh optimal pada suhu berkisar antara 18 °C – 30 °C, ketinggian 0 - 2000 m di atas permukaan laut (dpl), dan curah hujan antara 300 mm - 1200 mm (Haryadi, 2005).
3
Produksi di Indonesia Tanaman jarak pagar dapat hidup lebih dari 20 tahun dengan tingkat produksi tanaman antara 8-15 ton biji/ha. Haryadi (2005) dan Hambali et al. (2006) menyatakan bahwa tanaman jarak pagar mulai berbunga setelah umur 3-4 bulan dan pada umur tersebut buah mulai terbentuk. Pemanenan dilakukan bila buah telah masak yang ditandai dengan kulit buah yang mulai menguning dan mengering. Biasanya buah masak pertama kali setelah umur 6-8 bulan. Produktivitas tanaman jarak berkisar antara 3,5-4,5 kg biji/pohon/tahun. Kadar rendemen minyak sebesar 35% dan dapat menghasilkan 2,5-5 ton minyak/ha/tahun (Haryadi, 2005). Produksi akan stabil setelah tanaman berumur lebih dari satu tahun dan bila dipelihara dengan baik. Potensi Tanaman Jarak Pagar Potensi terbesar jarak pagar ada pada buah yang terdiri dari biji dan cangkang (kulit). Bagian biji mengandung kulit dan inti yang menjadi bahan pembuatan biodiesel sebagai sumber energi pengganti solar. Minyak jarak pagar digunakan untuk penyabunan menghasilkan sabun dan meranolis/etanolis yang hasil akhirnya berupa biodiesel dan gliserin. Bungkil ekstraksi bisa menghasilkan pupuk dan sebagai bahan pembangkit biogas yang produk akhirnya berupa biogas pengganti minyak tanah (Brodjonegoro et al., 2005) Bungkil ekstraksi ini juga setelah didetoksifikasi dapat digunakan sebagai pakan ternak. BBJP mengandung nutrien yang sangat kaya, terutama kandungan proteinnya yang hampir sama dengan bungkil kedelai, bahkan bisa lebih. Menurut Brodjonegoro et al. (2005), komposisi proksimat BBJP bebas minyak terdiri dan 12,9% air; 10,1% abu; 45,1% protein kasar; 31,9% serat kasar dan bahan organik tidak bernitrogen. Pemanfaat Pohon Jarak Pagar Secara ekonomi, tanaman jarak pagar dapat dimanfaatkan mulai dari daun, buah, kulit dan batangnya. Menurut Gubitz et al. (1998), kegunaan pohon jarak diilustrasikan pada Gambar 2.
4
Jarak pagar (Jatropha curcas L) -Kayu bakar -Pelindung tanaman
‐Pengendalian erosi
-Tanaman pagar
Lateks - Protease penyembuh luka (Kurkina) - Obat - obatan
Daun - Pengembangan ulat sutra - Obat obatan - Zat anti radang
Buah Biji - Insektisida - Pakan ternak
Cangkang biji - Material bakaran - Biogas - Pupuk
Bungkil biji - Pakan ternak (varietas non toksik)
Kulit buah - Material bakaran - Pupuk hijau - Produksi biogas
Minyak biji - Produksi sabun - Bahan bakar - Insektisida - Obat-obatan
Gambar 2. Manfaat Tanaman Jarak Pagar (Gubitz et al., 1998). Curcin Curcin atau lectin adalah protein keras yang tidak mudah rusak. Curcin merupakan racun utama yang terdapat dalam tanaman jarak pagar. Curcin dapat dikurangi dengan perlakuan panas (Aderibigbe et al., 1997). Lin et al. (2003) mengatakan bahwa curcin berfungsi sebagai pengikat glikoprotein pada permukaan sel. Mekanisme curcin berhubungan dengan aktifitas N-glycosidase yang kemudian dapat mempengaruhi metabolisme. Peran curcin dalam tanaman adalah melindungi benih tanaman dari agen patogen
seperti
jamur,
virus,
dan
bakteri
dengan
mengikat
permukaan 5
mikroorganisme melalui residu gula dan menghambat pertumbuhannya. Curcin dapat menjadi inaktif dengan perlakuan pemanasan dan pemanasan kering jauh lebih baik daripada pemanasan basah (Aregheore et al., 1998). Forbolester Forbolester merupakan komponen toksik dalam Jatropha curcas yang diperoleh dengan ekstraksi menggunakan pelarut metanol (Rug et al., 2006). Sifat fisiologis dari forbolester adalah penyebab tumor atau kanker. Bentuk forbolester menyerupai diasigliserol yaitu turunan gliserol yang diperoleh dari dua kelompok hidroksil yang telah bereaksi dengan asam lemak membentuk ester dan bersifat karsinogenik.
Bentuk
forbolester
yang
paling
terkenal
yaitu
12-0-
tetradecanoylphorbol-13- acetate (TPA). Forbolester diketahui dapat mengaktivasi protein kinase C (PKC) yang meniru aktivitas diacigliserol (DAG). Protein kinase C (PKC) merupakan enzim kinase yang memodifikasi protein lain dengan menambahkan fosfat secara kimiawi dan memiliki pengaruh yang sangat nyata terhadap aktivitas yang mengarah pada respon fisiologis seperti proliferasi dan diferensiasi sel yang tidak terkontrol (Asaoka et al., 1992). Forbolester dapat meningkatkan afinitas PKC Ca²+ secara dramatis dan bersifat stabil serta tidak dapat terdegradasi secara cepat setelah menstimulasi PKC sehingga menyebabkan aktivitas yang mengarah pada respon fisiologis seperti proliferasi dan diferensiasi sel yang tidak terkontrol (Asaoka et al., 1992). Forbolester berperan sebagai penyebab sakit perut, efek iritasi kulit, dan pemacu tumor karena forbolester merangsang PKC yang dibutuhkan dalam sinyal transduksi dan proses perkembangan seluruh sel dan jaringan. Menurut Becker dan Makkar (1998), forbolester tahan terhadap panas hingga suhu 160 ºC selama 30 menit. Bungkil Biji Jarak Pagar BBJP merupakan hasil ikutan dari pembuatan minyak jarak, dan mengandung protein yang sangat tinggi yaitu 56-68 % (Becker dan Makkar, 1998). Menurut Francis et al. (2006), kandungan protein kasar BBJP varietas beracun (Cape Verde) adalah 56,4% sedangkan pada varietas tidak beracun (Mexico) sebanyak 63,8%. Kadar lemak bungkil yang diekstrasi berkisar 1-1,5% dengan kandungan abu berkisar 9,7%. Kelemahan BBJP sebagai pakan adalah adanya kandungan antinutrisi 6
yang menghambat penggunaannya antara lain curcin, forbolester, tanin, fitat, saponin, dan anti tripsin (Becker dan Makkar, 1998). Komposisi kimia BBJP menurut Makkar et al. (1998) disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi Kimia Bungkil Ekstraksi dari Jatropha curcas Varietas Beracun dan Non-Racun (% Bahan Kering) Tanpa Cangkang Varietas beracun 56,4
Varietas nonracun 63,8
Lemak (%)
1,5
1,0
Abu (%)
9,6
9,8
NDF
9,0
9,1
4346
4299
Komponen Protein Kasar (%)
Energi Bruto (kkal/kg) Sumber: Makkar et al. (1998)
Efek Negatif Penggunaan Bungkil Biji Jarak Pagar Penggunaan BBJP dalam ransum dapat memberikan efek negatif pada hewan yang mengkonsumsinya pada taraf pemberian yang tinggi (Sumiati et al., 2007). Penggunaan BBJP dalam ransum sebesar 5-15% sangat nyata menurunkan konsumsi ransum dan pertumbuhan ayam broiler. Angka mortalitas 100% dicapai pada umur 22 hari (ransum dengan tambahan 5% bungkil biji jarak), 13 hari (ransum dengan tambahan 10% bungkil biji jarak), dan 7 hari (ransum dengan tambahan 15% BBJP). Lusiana
(2008)
menyatakan
bahwa
efektivitas
penggunaan
BBJP
terdetoksifikasi dalam ransum menyebabkan kematian sebanyak 22 ekor (12,57%) dari 175 ekor total ayam broiler. Pemberian BBJP pada ransum ayam broiler dapat menyebabkan penurunan pertumbuhan dan mortalitas yang tinggi (Hidayah, 2007). Wardoyo (2007) menyatakan bahwa penggunaan 5% BBJP tanpa detoksifikasi pada mencit masih mungkin digunakan. Penggunaan 10% bungkil biji jarak pada mencit dapat menyebabkan kematian sebesar 50% dalam waktu 40 hari dan 15% BBJP menyebabkan kematian 100% dalam waktu 29 hari. Hasil penelitian Fajariah (2007) menunjukkan bahwa pemberian BBJP yang terdetoksifikasi kepada mencit menyebabkan penurunan bobot badan drastis dan diakhiri dengan kematian. Adam
7
(1974) menyatakan bahwa pemberian BBJP dalam ransum mengakibatkan terjadinya perubahan patologi pada usus halus, hati, jantung, ginjal, dan pembuluh darah. Detoksifikasi Racun Bungkil Biji Jarak Pagar Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengurangi kandungan curcin dan forbolester yang terdapat dalam BBJP agar penggunaan BBJP dapat ditolerir oleh hewan. Pengukusan selama 60 menit diikuti fermentasi menggunakan Rhizopus oligosporus dapat menurunkan kandungan antinutrisi BBJP (Sumiati et al., 2010). Kandungan antinutrisi BBJP yang difermentasi menggunakan Rhizopus oligosporus sebelum dan sesudah pengukusan selama 60 menit disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Antinutrisi BBJP Sebelum dan Sesudah Pengukusan Antinutrisi Forbolester (mg/g)
Kontrol 0,024
Pengukusan 60 Menit 0,015
Tanin (%)
0,13
0,007
Saponin (%)
1,04
0,39
Asam Fitat (%)
9,19
8,45
Antitripsin (%)
6,17
1,85
Sumber : Sumiati et al. (2010)
Penelitian yang telah dilakukan dengan cara biologis yaitu perlakuan fermentasi menggunakan berbagai kapang (Tjakradidjaja et al., 2007). Nurbaeti (2007) menyimpulkan bahwa pengolahan BBJP secara biologis difermentasi dengan kapang Rhizopus oligosporus adalah perlakuan yang terbaik dibandingkan dengan perlakuan yang diolah secara fisik dan kimia. Fermentasi dengan Rhizopus oligosporus lebih baik dalam menghilangkan kandungan curcin dan forbolester di dalam BBJP. Kandungan zat antinutrisi varietas beracun dan non-beracun BBJP dapat dilihat pada Tabel 3.
8
Tabel 3. Kandungan Zat Antinutrisi Penting dalam BBJP dari Varietas Beracun dan Non-Racun Komponen
Varietas Beracun
Varietas Non-Racun
Forbolester (mg/g biji)
2,79
0,11
Total fenol (% asam tannin eq.)
0,36
0,22
Tannin (% asam tannin eq.)
0,04
0,02
Fitat (% bahan kering)
9,4
8,9
Saponin (% diosgenin eq.)
2,6
3,4
Inhibitor tripsin (mg tripsin yang dihambat per g sampel)
21,3
26,5
Lektin (1 /mg bungkil yang memproduksi haemaglutinasi per ml medium)
102
51
Sumber: Francis et al. (2006)
BBJP mempunyai beberapa varietas yaitu varietas beracun (Cape Verde) dan non-racun berasal dari Meksiko. Kandungan protein kasar BBJP varietas beracun sebesar 56,4% dan varietas tidak beracun sebesar 63,8%. Varietas beracun mempunyai kandungan forbolester sebesar 2,79 mg/g kernel dan varietas tidak beracun sebesar 0,11 mg/g kernel. Kandungan lektin atau curcin untuk varietas beracun dan tidak beracun masing-masing sebesar 102 dan 51 per mg (Makkar et al., 1998). Pengolahan Bungkil Biji Jarak Pagar Proses Fisik Senyawa anti tripsin dan curcin bersifat labil terhadap panas dan umumnya pemanasan akan menurunkan kandungan kedua senyawa ini dalam bungkil. Makkar et al. (1998) melaporkan bahwa pemanasan dengan cara disangrai seperti yang dilakukan oleh masyarakat Meksiko terhadap biji jarak tidak mempengaruhi kandungan protein, lemak, atau abu tetapi terjadi penurunan yang cukup drastis terhadap aktivitas curcin dan anti tripsin, sedangkan kandungan fitat dan forbolester tidak mengalami perubahan. Proses fisik lain yaitu secara radiasi telah dilakukan untuk menghilangkan racun bungkil tetapi cara ini tidak berhasil menurunkan kandungan senyawa antinutrisi dan racun BBJP (Martinez-Herrera et al. 2006). 9
Secara keseluruhan, pemberian BBJP yang diolah secara fisika saja melalui pemanasan basah menggunakan autoclave dengan kadar air 66% dan kimia saja melalui ekstraksi dengan menggunakan heksan dan metanol selama 2 minggu yang diikuti masa pemulihan (tanpa BBJP) selama 7 hari tidak mampu memperbaiki performa ayam broiler sampai setara dengan perlakuan kontrol (tanpa BBJP). Kombinasi perlakuan fisika dan kimia mampu memperbaiki performa ayam broiler sampai setara dengan perlakuan kontrol setelah masa pemulihan selama 7 hari (Lusiana, 2008). Proses Kimiawi Proses detoksifikasi BBJP dilakukan dengan larutan basa seperti natrium hidroksida (NaOH), kalsium hidroksida (Ca(OH)2) atau kombinasi larutan natrium hidroksida (NaOH) dengan natrium hipoklorit (NaOCl). Penggunaan larutan NaOH 4% atau kombinasi dengan larutan natrium hipoklorit 10-25% dapat menghilangkan aktivitas lektin tetapi tidak mampu menurunkan kadar forbolester (Aregheore et al., 1998). Nurhikmawati (2007) menyimpulkan bahwa perlakuan kimia menurunkan kandungan curcin paling besar yaitu sebesar 77,78%. Perlakuan biologi dapat memperbaiki kualitas nutrisi BBJP yang ditandai dengan peningkatan kandungan bahan kering, protein kasar, Beta-N, dan fosfor serta lebih efisien karena persentase kehilangan bobot paling kecil. Penggunaan BBJP hasil perlakuan biologi (Rbio) memiliki asupan dan retensi bahan kering, kalsium, dan fosfor paling tinggi. Proses Biologis Pengolahan biologis dilakukan dengan cara fermentasi menggunakan kapang. Fermentasi adalah proses yang menghasilkan komponen kimia yang kompleks sebagai akibat adanya pertumbuhan maupun metabolisme mikroba (Muchtadi et al., 1992). Hasil penelitian Sumiati et al. (2007) menunjukkan bahwa pemberian BBJP yang difermentasi dengan Rhizopus oligosporus pada ayam broiler menghasilkan performa yang lebih baik dibandingkan dengan pemberian BBJP tanpa diolah. Penelitian Sumiati et al. (2008) menunjukkan bahwa fermentasi BBJP dengan Rhizopus oligosporus sangat efektif menurunkan kadar lemak dan antitripsin. Rendahnya kadar lemak diharapkan sejalan dengan rendahnya kadar forbolester 10
dalam BBJP karena menurut Wink (1993), forbolester terdapat pada lemak yang masih berada dalam BBJP. Rhizhopus oligosporus Fardiaz (1992) mendefinisikan fermentasi sebagai proses pemecahan karbohidrat dan asam amino. Fermentasi oleh berbagai kapang, khamir, dan bakteri dapat terjadi secara anaerobik fakultatif. Senyawa yang dapat dipecah dalam proses fermentasi adalah karbohidrat sedangkan asam amino hanya dapat difermentasi oleh beberapa jenis bakteri tertentu. Gandjar (1977) menyatakan bahwa Rhizopus oligosporus bersifat proteolitik yang menghasilkan enzim protease, dan berfungsi merombak senyawa yang kompleks menjadi senyawa yang sederhana sehingga akan menyebabkan terjadinya peningkatan kadar nitrogen dan asam amino. Jamur dalam pertumbuhannya memperoleh karbon dari substrat untuk merangsang pertumbuhan yang optimum dan peningkatan kandungan zat-zat makanan substrat yang lebih dari sebelumnya (Amri, 1998). Rhizopus oligosporus digunakan sebagai mikroba untuk fermentasi karena selain dapat memecah protein dan lemak, juga dapat menguraikan protein sebagai bahan pengemulsi yang terdapat dalam santan dan memecah emulsi santan sehingga terjadi pemisahan fraksi air, minyak, dan protein. Rhizopus oligosporus tumbuh pada kisaran 5-37 °C, dan optimum pada suhu 25 °C. Hal ini sesuai dengan penelitian Nurbaeti (2007) bahwa perlakuan biologis dengan penggunaan fermentasi Rhizopus oligosporus dapat menghasilkan respon terbaik dalam meningkatkan efesiensi penggunaan protein dan energi metabolis pada ayam broiler. Mahajati (2008) menyatakan bahwa penggunaan 5% bungkil biji jarak difermentasi kapang Rhizopus oligosporus dalam ransum masih dapat ditolerir oleh mencit. Enzim Enzim merupakan katalis hayati yang dapat meningkatkan kecepatan reaksi kimia tanpa enzim itu berubah atau terkonsumsi setelah reaksi selesai. Enzim merupakan biokatalisator untuk ikut serta dalam reaksi biologi. Reaksi kimia akan berjalan lambat tanpa bantuan enzim. Enzim menurut cara kerjanya menyerang molekul substrat dan diklasifikasikan menjadi dua enzim, yaitu enzim endogenus dan 11
eksogenus. Enzim endogenus menyerang substrat pada ikatan interior sedangkan enzim eksogenus mendekati substrat dari satu atau ujung luar yang lain (Buhler et al., 1998). Enzim Fitase Enzim fitase yang diproduksi secara komersial adalah hasil encoding gen pada Aspergillus niger. Enzim fitase komersial asal Aspergillus niger sudah digunakan sebagai pakan aditif pada hewan monogastrik di Eropa (Wodzinski dan Ullah, 1996). Asam fitat memiliki sepuluh grup fosfat yang dapat dilepaskan oleh fitase pada kecepatan yang berbeda dan di dalam urutan yang berbeda pula. Wyss et al. (1998) meneliti kinetika pelepasan fosfat dan kinetik dari penggabungan kembali reaksi lanjutan pada produk akhir dari degradasi asam fitat oleh berbagai macam enzim fitase. Penelitian menunjukkan bahwa seluruh enzim fitase yang dihasilkan oleh fungi melepaskan lima dari sepuluh grup fosfat, dan produk akhirnya berupa mio-inositol 2- monofosfa. Ravindran et al. (1999) melaporkan bahwa pertambahan bobot badan, konsumsi ransum dan konversi ransum ayam broiler menurun dengan tingginya asam fitat dalam ransum tetapi performa tersebut dapat diperbaiki dengan penambahan enzim fitase mikroba (3-fitase). Jacob et al. (2000) melaporkan bahwa suplementasi enzim 3-fitase 0,01% dalam ransum ayam broiler yang berbasis gandum-bungkil kedelai (wheat-soybean meal diet) dapat menurunkan viskositas isi saluran usus halus dan nyata meningkatkan abu tulang tibia pada ayam broiler umur 42 hari. Viveros et al. (2002) menyatakan bahwa suplementasi enzim fitase natufos sebanyak 500 U/kg pada ayam broiler yang mengandung P-tersedia rendah (0,22% untuk umur 1 hari-3 minggu dan 0,14% untuk ayam umur 3-6 minggu) mampu memperbaiki performa dan meningkatkan penggunaan P, Ca, Mg, dan Zn. Enzim Selulase Selulase adalah nama bagi semua enzim yang memutuskan ikatan glikosidik beta-1,4 di dalam selulosa, sedodekstrin, selobiosa, dan turunan selulosa lainnya. Selulase tidak dimiliki oleh manusia sehingga manusia tidak dapat menguraikan selulosa. Penggunaan selulosa dapat dilakukan oleh hewan seperti kambing, sapi, dan insekta seperti rayap karena dalam sistem pencernaannya mengandung bakteri 12
dan protozoa yang menghasilkan enzim selulase yang akan menghidrolisis (mengurai) ikatan glikosidik beta-1,4 (Fadhli, 2011) Sumiati et al. (2009) menyatakan bahwa BBJP yang difermentasi kemudian ditambah dengan selulase cenderung meningkatkan pertumbuhan ayam Kampung sebesar 1,7% dibandingkan dengan pakan BBJP tidak diberi perlakuan. Hasil ini menunjukkan bahwa suplementasi selulase dalam pakan memiliki sedikit efek pada pertumbuhan ayam Kampung. Hal ini bisa disebabkan kandungan lignin yang tinggi dalam pakan, dan penggunaan selulase dengan konsentrasi 200 ml/ton pakan tidak efektif untuk memecah serat. Ayam Kampung Ayam Kampung digolongkan ke dalam bangsa Galliformes (unggas). Ayam Kampung merupakan salah satu keluarga ayam lokal yang berukuran kecil dan bentuknya agak ramping, serta memiliki keragaman genetis tinggi. Menurut Sulandari et al. (2007), ayam Kampung termasuk ke dalam kelas Aves, subkelas Neonithes, ordo Galliformis, genus Gallus, spesies Gallus domesticus. Variasi individu dalam satu jenis tidak hanya terbatas pada warna bulu, tetapi juga pada ukuran tubuh, produktivitas telur dan suara. Ayam kampung memiliki produktivitas telur yang rendah dan pertumbuhan tubuh lambat (Iskandar, 2004). Ayam Kampung memiliki kelebihan yaitu lebih tahan terhadap cekaman dan dagingnya disukai terutama
untuk
olahan
tertentu.
Kekurangan
ayam
Kampung
adalah
perkembangbiakkannya lambat, pertumbuhan lambat, dan kerangka tubuh kecil sehingga pertumbuhan daging memerlukan waktu yang lebih lama (Hardjosworo dan Rukmiasih, 2000). Kecepatan pertumbuhan ayam Kampung dipengaruhi oleh sifat genetik, kualitas pakan, dan kesehatan serta manajemen pemeliharaan. Sistem pemeliharaan tradisional tidak dapat menghasilkan produksi daging dan telur yang tinggi. Hal tersebut disebabkan oleh serangan penyakit dan kurang terpenuhinya kebutuhan gizi sehingga pertumbuhan lambat. Ayam Kampung memiliki bobot badan yang lebih rendah dibandingkan dengan ayam pedaging dan ayam dwiguna (Hardjosworo dan Levine, 1995). Produksi telur ayam Kampung yang dipelihara secara tradisional berkisar antara 135 butir/tahun, karena adanya aktivitas mengeram dan mengasuh anak yang lama, yakni 107 hari (Sulandari et al., 2007). Unggas ini mempunyai prospek yang 13
menjanjikan baik secara ekonomi maupun sosial karena merupakan bahan pangan bergizi tinggi (Gunawan dan Sundari, 2003) serta permintaannya cukup tinggi (Bakrie et al., 2003). Pangsa pasar nasional untuk daging dan telur ayam buras masing-masing mencapai 40% dan 30%. Hal ini dapat mendorong peternak kecil dan menengah untuk mengusahakan ayam buras sebagai penghasil daging (Iskandar et al., 1998) dan telur (Rohaeni et al., 2004). Berdasarkan data statistik dari Direktorat Jenderal Peternakan, populasi ayam Kampung pada akhir tahun 2009 sebesar 249,963,499 ekor (Ditjennak, 2010). Untuk meningkatkan populasi, produksi, produktivitas, dan efisiensi usahatani ayam buras, pemeliharaannya perlu ditingkatkan dari tradisional ke arah agribisnis (Zakaria, 2004). Karkas Karkas unggas merupakan bagian tubuh yang tersisa setelah dilakukan penyembelihan, pembuluan, dan pembuangan jeroan, serta pemotongan kaki, kepala, dan leher (Saifudin, 2000). Perbandingan bobot karkas terhadap bobot hidup atau dinyatakan sebagai persentase karkas sering digunakan sebagai ukuran produksi. Komponen karkas terdiri atas otot, lemak, kulit, dan tulang yang memiliki kecepatan tumbuh yang berbeda-beda. Soeparno (1994) menambahkan bahwa persentase karkas akan meningkat seiring dengan peningkatan bobot potong. Faktor-faktor yang mempengaruhi persentase bobot karkas adalah bangsa, umur, jenis kelamin, ransum, dan bobot potong (Diwyanto et al., 1979). Hasil penelitian Suharti et al. (2008) menyatakan rataan bobot karkas ayam broiler umur 5 minggu dengan pemberian ransum daun salam sebesar 570-583 g. Arief (2000) menyatakan bahwa rataan persentase bobot karkas ayam Kampung umur 6 minggu dengan pemberian ransum kombinasi pollard dan duckweed adalah 56,63-58% sedangkan pada umur 12 minggu berkisar antara 66,49-69,35%. Persentase karkas ayam Kampung umur 9 minggu yang diberi ransum bungkil inti sawit berkisar antar 58,05-59,67% (Dadan, 2004). Potongan Komersial Karkas Merkley et al. (1980) membagi karkas menjadi lima bagian besar potongan komersial yaitu dada, sayap, punggung, paha atas, dan paha bawah. Dada merupakan bagian dari tubuh yang paling banyak dagingnya. Potongan komersil punggung 14
adalah bagian karkas yang dipotong pada batas persendian tulang belikat yang berbatasan dengan tulang dada sampai dengan batas persendian tulang paha kiri dan paha kanan. Sayap dipisahkan dari karkas pada persendian bahu. Potongan komersial paha atas adalah bagian karkas yang dipotong sepanjang persendian tulang paha yaitu dari persendian coxae sampai lutut. Potongan komersial paha bawah adalah bagian karkas yang dipotong dari sendi lutut sampai intersica (Bahij, 1991). Pakan merupakan faktor yang mempengaruhi persentase potongan komersial karkas (Morran dan Orr, 1970). Menurut Muryanto et al. (2002), persentase potongan komersial karkas ayam Kampung umur 12 minggu yang terdiri dari dada, paha atas, paha bawah, punggung, dan sayap berturut-turut sebesar 17,20; 19,00; 18,00; 23,10, dan 15,81%. Potongan komersial karkas ayam Kampung umur 14 minggu yang terdiri dari dada, sayap, punggung, paha atas, dan paha bawah berturutturut 23,49; 14,11; 25,7; 18,11; dan 18,32% (Hapsari, 2004).
15